mengukur kemampuan seorang siswa dibandingkan siswa lain dalam satu kelompok
atau kelas. Penilaian acuan norma dimanfaatkan guru kelas untuk membandingkan
posisi siswa diantara siswa yang lain di dalam satu kelas (Gronlund, 1982).
siswa dengan siswa yang lain dalam kelompoknya. Seorang siswa bisa dikatakan pintar
di kelas A, namun belum tentu siswa tersebut dapat dikategorikan pintar di kelas lain.
Kualitas atau posisi prestasi siswa dipengaruhi oleh kualitas prestasi kelompoknya
Penilaian acuan norma merupakan penilaian yang dilakukan dengan mengacu pada
norma kelompok, nilai yang diperoleh siswa diperbandingkan dengan nilai-nilai siswa
yang lain yang termasuk dalam kelompok itu. PAN merupakan pendekatan klasik, sebab
pencapaian hasil belajar siswa siswa dengan siswa lain yang mengikuti pembelajaran
Hasil tes yang diperoleh seorang siswa dibandingkan dengan kelompoknya agar
dapat diketahui posisi siswa tersebut di kelasnya. Penilaian acuan norma juga bisa
digunakan untuk tes seleksi, seperti seleksi pegawai dan seleksi masuk perguruan
kelompok tertentu. Selain itu penilaian acuan norma juga digunakan untuk mengetahui
hasil belajar seseorang pada materi dengan cakupan yang luas (Suprananto, 2012).
acuan norma adalah pemberian nilai yang mengacu pada nilai kelompok yang diperoleh
oleh seorang siswa terhadap nilai yang diperoleh siswa-siswa dalam kelompoknya.
2. Karakteristik Penilaian Acuan Normatif
(siswa) terhadap kemampuan siswa lainnya. Maksud dari hal tersebut yaitu
b. Penilaian acuan norma bersifat relatif, artinya bahwa penilaian dapat berubah
c. Nilai dari penilaian acuan norma bukan merupakan ukuran kemampuan dan
(Trisnamansyah, 2009)
setiap populasi terdapat nilai yang heterogen, sehingga terdapat kelompok baik,
kelompok sedang, dan kelompok kurang. Persebaran nilai siswa yang sifatnya
heterogen akan membentuk sebuah kurva normal. Normalnya kurva ini sebagai tanda
bahwa penilaian akan berpatokan dari nilai yang tersebar di dalam populasi itu sendiri
Nilai rerata (mean) dan standar deviasi (Sd) merupakan nilai yang digunakan untuk
membentuk kurva normal. Kurva normal akan membentuk seperti lonceng berdasarkan
penghitungan rerata dan standar deviasi. Distribusi skor dalam kurva normal cenderung
Ada bebagai cara untuk menentukan peringkat atau posisi siswa di dalam
kelompok, namun dalam pembahasan ini hanya akan dibahas 4 cara, yaitu (Suharsimi
Arikunto, 2009):
a. Simple Rank
Rangking sederhana atau simple rank adalah cara untuk mengurutkan dan
skor siswa akan diurutkan dari siswa yang memiliki nilai tertinggi hingga siswa
Contoh :
Keterangan:
Siswa yang memiliki skor sama maka mendapatkan rangking yang sama,
b. Percentile Rank
menunjukkan persentase skor yang ada di bawahnya. Melalui metode ini lebih dapat
b. Menghitung jumlah siswa yang memiliki nilai/skor dibawah siswa yang akan
diukur.
kelompok.
𝑵−𝑺𝑹
Rumus menghitung percentile rank: PR = 𝑵
𝐱 𝟏𝟎𝟎
PR = percentile rank
menentukan simple rank dari data nilai tersebut menjadi Tabel 2. Maka akan dicoba
untuk menghitung percentile rank dari siswa yang bernama Kumala yang menduduki
𝑁−𝑆𝑅
PR = 𝑁
x 100
20−7
PR = 20
x 100
13
PR = 20 x 100
PR = 65%
Berdasarkan hasil perhitungan, maka Kumala terletak dalam kelompok yang dapat
Yaitu menentukan posisi siswa dengan membentuk beberapa kelompok dalam satu
kelas yang dibatasi oleh nilai standar deviasi (Suharsimi Arikunto, 2009).
(2009), yaitu:
Formula rata-rata:
𝜮𝑿
X= 𝑵
𝜮𝒇𝑿𝟐 𝜮𝒇𝑿 𝟐
SD = √ 𝑵
− (𝑵
)
b) Kelompok sedang
Kelompok siswa yang memiliki skor antara -1 standar deviasi dan +1 standar
deviasi.
c) Kelompok kurang
Kelompok yang memiliki skor -1 dan siswa yang kurang dari nilai tersebut.
Contoh :
Skor f fx Fx2
8 4 32 256
7 9 63 441
6 11 66 396
5 3 15 75
4 3 13 48
𝛴𝑋
X= 𝑁
188
X=
30
X = 6.27
Nilai standar deviasi (SD) :
𝛴𝑓𝑋 2 𝛴𝑓𝑋 2
SD = √ − ( )
𝑁 𝑁
1216 188 2
SD = √ 30
− ( 30 )
SD = √40.53 − 39.18
SD = √1.35
SD = 1.16
Maka:
a. Kelompok atas
Semua siswa yang memiliki skor ≥ 7.43 , yaitu siswa yang memiliki nilai 8
sebanyak 4 orang.
b. Kelompok sedang
Semua siswa yang memiliki skor antara 5.11 dan 7.43 , yaitu siswa yang
c. Kelompok kurang
Semua siswa yang memiliki skor ≤ 5.11 , yaitu siswa yang memiliki nilai 5 dan
menjadi bentuk yang baku. Standar deviasi merupakan rata-rata penyimpangan skor
𝑿𝟏 −𝑿
T = 𝑿𝒔𝒔 + 𝑺𝑫
𝑺𝑫
T = T-score
𝑋1 = Skor siswa
Contoh :
Seorang siswa memeperoleh skor 90, dengan nilai rerata di kelasnya 75 dan standar
deviasi nya adalah 10, maka berapa skor baku siswa tersebut?
Jawab :
𝑋1 −𝑋
T = 𝑋𝑠𝑠 + 𝑆𝐷 𝑆𝐷
90−75
T = 50 + 10 10
T = 50 + 10 . (1.5)
T = 50 + 15
T = 65
Sehingga, siswa yang memiliki skor mentah (raw score) sebesar 90, yang
kemudian diubah menjadi bentuk baku menjadi 65. Nilai rerata konstan sebesar 50
hasil konversi bentuk baku tidak harus 100 sebab tergantung pada rerata dalam
dengan penampilan orang lain, maka penafsiran hasil tes semacam ini adalah penafsiran
Penilaian model ini diperkenalkan oleh Glaser pada tahun 1963. Glaser dan Nitko
(1971) mendefinisikan penilaian acuan kriteria sebagai penilaian yang dilakukan untuk
penampilan khusus. Istilah ‘kriteria’ mengacu pada domain (area) yang didefinisikan
Interpretasi skor penilaian acuan kriteria bersifat absolut karena penilaian ini
Kompetensi yang diukur dengan tes yang berdasarkan acuan kriteria harus
terdefinisi dengan baik, dan kualitas interpretasi skor juga semakin baik jika definisi
kriterianya semakin jelas. Biasanya penilaian dengan acuan kriteria mencakup domain
fokus isi atau ketrampilan yang sempit. Dengan demikian kita data membuat pernyataan
definitif tentang suatu kemampuan atau ketrampilan spesifik yang dapat ditampilkan
seorang siswa. Contohnya, suatu tes matematika yang berfokus hanya pada penjumlahan
pecahan. Dengan demikian, penguji akan memperoleh informasi yang spesifik berkaitan
dengan kecakapan siswa dalam penjumlahan pecahan ini. Jika tes tersebut berisi
berbagai persoalan dalam matematika (seperti yang biasa terjadi pada penilaian acuan
norma), maka akan lebih sulit untuk mengamati pada bagian mana sesungguhnya
Meskipun interpretasi acuan kriteria ini banyak diterapkan pada domain yang
sempit, namun seringkali pula diterapkan pada domain yang lebih luas. Misalnya pada
sebagian besar tes ijin praktek professional seperti pengacara, psikolog, penguji, dll.
absolut
terbatas/sempit
Memiliki beberapa aitem untuk mengukur tiap-tiap tujuan atau ketrampilan yang diuji.
Aitem dipilih yang baik, yang mencakup domain isi, kesulitan aitem sesuai dengan
Berikut ini beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam penyusunan penilaian
2. Biasanya cakupan yang diujikan terbatas naun dengan sejumlah besar butir tes
6. Terutama dilakukan untuk tes kesiapan belajar, tes formatif, dan tes diagnostik.
Interpretasi tes beracuan kriteria menekankan pada apa yang diketahui atau dapat
dilakukan oleh peserta ujian, bukan membandingkannya dengan peserta ujian lain.
Contoh yang paling umum dari interpretasi penilaian beracuan kriteria ini adalah
persentase jawaban benar, misalnya jika seorang siswa menjawab benar 85% dari soal-
Acuan kriteria mengandung asumsi bahwa hampir semua orang dapat belajar
apa saja, namun waktu yang diperlukan berbeda-beda. Konsekuensinya, ada program
Tipe lain dari interpretasi tes beracuan kriteria ini adalah mastery testing. Mastery
testing ini mencakup apakah peserta ujian telah mencapai tingkat tertentu untuk
penguasaan pengetahuan atau ketrampilan dan biasanya dilaporkan dalam satu laporan
lulus atau tidak lulus, tuntas atau tidak tuntas. Lulus diartikan menguasai materi,
Contoh mastery testing ini adalah ujian SIM. Tes tertulis yang diperlukan untuk
dengan baik dan aman. ‘Cut score’ telah dibuat sebelum ujian, dan skor yang sama atau
lebih tinggi dari ‘cut score’ tersebut artinya “lulus” dan sebaliknya, skor di bawah ‘cut
Contoh lain misalnya, penguji hendak menilai penguasaan siswa kelas satu SD
untuk materi mengeja suku kata. Penguji menentukan ‘cut score’ adalah 85%. Maka,
anak-anak yang memperoleh skor 85% atau lebih dinyatakan lulus, sedangkan yang
memperoleh skor di bawah 85% dinyatakan belum lulus. Tidak ada perbedaan bagi siswa
yang memperoleh skor 85% dan 100%. Mereka berdua dinyatakan sama-sama lulus.
“interpretasi berdasarkan standar”. Pada mastery testing’, hasil hanya diukur pada satu
interpretasi, hasilnya lulus atau tidak lulus. Pada interpretasi berdasarkan standar,
biasanya ada tiga sampai lima kategori penampilan siswa. Misalnya, hasil pada suatu tes
prestasi dapat dinyatakan sebagai tidak cakap, cakap sebagian, cakap, atau cakap
melebihi kriteria. Misalnya: A untuk skor benar 90%-100%, B untuk skor benar 80-89%, C
untuk skor benar 70-78%, D untuk skor benar 60-69%, dan F untuk skor di bawah 60%.
membandingkannya dengan siswa lain. ini berarti tidak ada batasan jumlah siswa yang
memperoleh nilai tertentu. Misalnya, suatu kelas yang siswanya menguasai penjumlahan
pecahan, dapat terjadi semuanya mendapat nilai A untuk materi penjumlahan pecahan ini.
Namun variabilitas level kesukaran soal terkadang menjadi permasalahan. Dapat terjadi
bahwa seorang penguji cenderung membuat soal yang terlalu mudah bagi siswa,
sehingga sebagian besar mendapat nilai A, namun ada penguji yang cenderung membuat
soal yang lebih sukar, sehingga kemungkinan tidak banyak yang mendapat nilai A. Hal ini
menjadi kesulitan dalam melakukan interpretasi atas arti suatu skor berdasarkan standar
Penggunaan penilaian acuan kriteria ini memerlukan adanya dua hal, yaitu uraian
tentang wilayah kriteria kemampuan dan standar batas (cut score). Wilayah kriteria
berkaitan dengan suatu kemampuan, diungkapkan dalam deskripsi wilayah kriteria, format
butir alat ukur, dan contoh bukti alat ukur. Dari wilayah kriteria ini kemudian disusun alat
ukur berupa perangkat populasi dan peragkat sampel alat ukur. Biasanya yang disusun
adalah perangkat sampel alat ukur. Sementara standar batas penguasaan kemampuan
adalah skor yang menjadi pemisah antara pemisah (batas) antara peserta ujian yang
Ada berbagai metode untuk menentukan standar batas kriteria, namun di sini akan
Metode Nedelsky
Metode ini digunakan untuk menentukan batas minimum penguasaan wilayah kriteria
yang menurut pikirannya dapat dijawab dengan betul oleh peserta ujian dengan batas
penguasaan minimum
3. Dari ahli tersebut diperoleh skor harapan, yaitu peluang menjawab benar pada butir
4. Rata-rata skor harapan dari semua ahli dalam panel dijadikan standar batas minimum
Contoh:
Suatu ujian terdiri atas 8 butir soal dengan 4 pilihan jawaban, di antaranya ada 1 jawaban
benar. Peserta tes yang kurang menguasai dapat menjawab benar melalui terkaan
1 4 ¼
2 4 ¼
3 4 ¼
4 4 ¼
5 4 ¼
6 4 ¼
7 4 ¼
8 4 ¼
32 2
Selanjutnya, ahli X1 menghilangkan pilihan jawaban yang dirasa dapat dijawab dengan
menjadi:
Tabel 5. Peluang Butir Tes soal metode Nedelsky yang dikurangi
dengan kemungkinan pilihan jawaban benar
Butir Pilihan jawaban Probabilitas/peluang
1 3 1/3
2 3 1/3
3 2 ½
4 1 1
5 3 1/3
6 1 1
7 2 ½
8 1 1
16 5
Maka batas penguasaan minimum menurut ahli X1 adalah skor 5. Sementara ahli X2 dan
X3 juga melakukan hal yang sama dengan apa yang dilakukan oleh ahli X1
Tabel 6. Peluang Butir Tes soal metode Nedelsky oleh ahli 2 dan ahli 3
Butir Ahli X2 Ahli X3
Pilihan jawaban Probabilitas/peluang Pilihan jawaban Probabilitas/peluang
1 3 1/3 3 1/3
2 3 1/3 3 1/3
3 2 ½ 3 1/3
4 2 ½ 1 1
5 3 1/3 3 1/3
6 3 1/3 1 1
7 3 1/3 3 1/3
8 3 1/3 3 1/3
22 3 20 4
Jadi, standar batas minimum penguasaan adalah rata-rata penilaian ketiga ahli, yaitu
1/3(5+3+4)=4
Metode Angoff
Langkah-langkah untuk penentuan standar batas (cut score) pada metode Angoff yaitu:
3. Menghitung rata-rata laporan dari semua ahli pada panel serta dari persentasi
peserta tes yang berpenguasaan minimum, ditetapan batas minimum wilayah kriteria.
Contoh:
Salah seorang ahli menilai butir tes dan menaksir persentase peserta dengan kemampuan
minimum penguasaannya.
Jadi, standar batas minimum penguasaan adalah rata-rata penilaian ketiga ahli, yaitu
1/3(64%+63%+65%)=64%
No PAN PAK
Dimaksudkan untuk
Untuk mengadakan seleksi pada
9. mengklasifikasikan seseorang,
individu atau membuat rangking
mendiagnosa belajar siswa
D. KELEBIHAN DAN KEKURANGAN
No Kelebihan Kekurangan
siswa lai
2. Analisis butir tes dapat membantu Kurang adil jika siswa berada di
No Kelebihan Kekurangan
4. Lebih adil, karena prestasi siswa Pendidik kadang kurang kompeten dan
diukur apa adanya, tidak dibandingkan kurang percaya diri untuk membuat
siswa
pendidikan. Sejak sebelum kemerdekaan hingga masa orde baru, Indonesia memiliki
kurikulum yang mengacu pada tujuan yang lebih luas yaitu kemerdekaan Indonesia dan
belum memiliki penilaian yang jelas. Data yang kami temukan, menunjukkan bahwa tahun
yang membahas mengenai Sistem Pendidikan Nasional. Pada BAB XII Pasal 43, tertulis
bahwa “terhadap kegiatan dan kemajuan belajar peserta didik dilakukan penilaian”
namun tidak disebutkan dengan jelas seperti apa standar penilaian yang diberlakukan.
Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Undang-
terdapat 4 komponen dasar yaitu Kurikulum dan Hasil Belajar, Penilaian Berbasis Kelas,
(Depdiknas,2002). Penilaian hasil belajar siswa dalam KBK ditemukan dalam Penilaian
Berbasis Kelas yang terpapar jelas pada Peraturan Pemerintah Republik Indonesia
Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan Bab X pasal 63 bahwa
memantau proses, kemajuan dan perbaikan hasil dalam bentuk ulangan harian, ulangan
tengah semester, ulangan akhir semester dan ulangan kenaikan kelas. Penilaian berbasis
kelas, penilaian mengidentifikasi kompetensi atau hasil belajar yang telah dicapai dan
memuat pernyataan yang jelas tentang standar yang harus dan telah dicapai serta peta
kemajuan siswa dan pelaporan (Rahdiyanta, 2003). Hal ini menyiratkan bahwa KBK telah
memiliki standar tertentu yang harus dicapai siswa pembelajaran. Adanya standar
membuat KBK memiliki kecenderungan terhadap Penilaian Acuan Kriteria, namun belum
Nasional Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2007 tentang Standar Penilaian pendidikan
yang berkaitan dengan mekanisme, prosedur, dan instrumen penilaian hasil belajar
informasi untuk menentukan pencapaian hasil belajar peserta didik yang beracuan pada
Kriteria Ketuntasan Minimal yang telah ditentukan. Kriteria ketuntasan minimal (KKM)
adalah kriteria ketuntasan belajar (KKB) yang ditentukan oleh satuan pendidikan.
Diungkapkan pula bahwa prinsip penilaian beracuan kriteria, berarti penilaian didasarkan
kontroversi mengenai system penilaian yang ada. Mengacu pada Peraturan Menteri
Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2016 Tentang Standar
yaitu kriteria mengenai lingkup, tujuan, manfaat, prinsip, mekanisme, prosedur, dan
instrument penilaian hasil belajar peserta didik yang digunakan sebagai dasar dalam
penilaian hasil belajar peserta didik pada pendidikan dasar dan pendidikan menengah.
Dalam kurikulum ini, masih dipergunakan KKM yaitu kriteria ketuntasan belajar yang
ditentukan oleh satuan pendidikan yang mengacu pada standar kompetensi kelulusan,
menggunakan metode PAK atau Penilaian Acuan Kriteria, seperti yang terdapat pada
Tahun 2016 tentang Standar Penilaian Pendidikan disebutkan bahwa salah satu prinsip
penilaian hasil belajar adalah beracuan kriteria, berarti penilaian didasarkan pada ukuran
Indonesia telah mengacu pada adanya kriteria dalam penilaian. Walaupun pada
Penilaian Acuan Norma yang terlihat dari adanya ranking kelas pada pelaporan hasil
belajar siswa. Mulai diberlakukannya KTSP, kriteria penilaian semakin terlihat jelas dan
mulai diimplementasikan dengan jelas. Kriteria penilaian ini pada beberapa tahun terakhir
disebut KKM, yaitu Kriteria Ketuntasan Minimal. Adanya kriteria menunjukkan bahwa
Sementara itu, meskipun PAN tidak disinggung dalam pendidikan, namun penggunaan
PAN tetap berguna untuk beberapa situasi lain, contohnya dalam seleksi mahasiswa atau
seleksi masuk kerja. Dalam seleksi-seleksi seperti ini akan lebih tepat jika digunakan
PAN, karena jika digunakan PAK maka jumlah mahasiswa yang masuk mungkin melebihi
Telah dibahas sebelumnya mengenai teori Penilaian Acuan Norma dan Penilaian
Acuan Kriteria, terlihat jelas bahwa PAN dan PAK sama-sama digunakan sebagai
interpretasi penilaian hasil belajar. Penilaian Acuan Kriteria lebih banyak digunakan dalam
penilaian pendidikan. Pada data, hampir seluruh kurikulum yang pernah diterapkan di
Indonesia menggunakan Penilaian Acuan Kriteria ini. Hal ini karena Penilaian Acuan
Kriteria lebih adil dalam memberi penilaian kepada siswa. Seperti yang terdapat pada
membandingkan nilai siswa dengan nilai kelompok sehingga nilai yang diperoleh
merupakan nilai yang sebenarnya. Sebaliknya, Penilaian Acuan Norma dipakai dalam
seleksi masuk perguruan tinggi untuk memenuhi kuota dengan membandingkan hasil tes
3. KESIMPULAN
1. Penilaian Acuan Norma dilakukan jika seseorang ingin mengetahui posisi atau
simple rank, menentukan percentile rank, dan dengan batasan standar deviasi.
kemampuan siswa dengan kriteria yang sudah ditetapkan sebelumnya. PAK ini
tidak membandingkan dengan siswa lain, seperti pada PAN. Terdapat dua hal yang
harus dipenuhi dalam PAK yaitu penentuan wilayah kriteria kemampuan dan
peserta didik secara jelas. Standar penilaian pada tahun 1989 hingga 2003 tidak
kecenderungan terhadap penilaian Acuan Kriteria. KTSP dan Kurikulum 2013 telah
mencantumkan secara jelas bahwa interpretasi penilaian peserta didik
3. Pada tahun 1989 hingga 2006 pemerintah tidak memaparkan acuan penilaian
Penilaian Acuan Norma yang dapat dilihat dari adanya ranking kelas pada
pelaporan hasil belajar siswa. Dalam hal ini, peserta didik dibandingkan dengan
peserta didik yang lain. Pada KTSP dan kurikulum 2013, standar penilaian mulai
memberikan acuan terhadap interpretasi penilaian hasil belajar siswa. Hal tersebut
dapat dilihat dari adanya KKM yang menjadi kriteria ketuntasan belajar siswa.
Daftar Pustaka
Arikunto, Suharsimi. (2009). Dasar-Dasar Evaluasi Pendidikan. Jakarta: PT. Bumi Aksara.
Depdiknas (2002). Kurikulum Berbasis Kompetensi. Jakarta: Depdiknas.
Griffin, P., Nix, P. (1991). Educational Assesment and Reporting. NSW: Harcourt Brace
Jovanovich Group.
Gronlund, Norman F. (1982). Constructing Achievement Test. NY: Prentice Hall.
Kusaeri, Suprananto. (2012). Pengukuran dan Penilaian Pendidikan. Yogyakarta: Graha Ilmu.
Lindquist, E. F. (1955). Educational Measurement. NY: The Grand Foundation.
Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2016
Tentang Standar Penilaian Pendidikan
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional
Pendidikan
Rahdiyanta, D. (2003). Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK): Pengertian dan konsep KBK.
Seminar Nasional Implementasi KBK. Yogyakarta: UNY.
Reynolds, Cecil R., Livingston, Ronald B., Wilson, Victor (2009). Measurement and Assesment
in Education. New Jersey: Pearson.
Siswanto. (2017). Penilaian dan Pengukurn Sikap Hasil Belajar Peserta Didik. Klaten: Boss
Script.
Thorndike, Robert L., Hagen, Elizabeth (1967). Measurement and Evaluaion in Psycology and
Education Second Edition. NY: John Wiley & Sons.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional