Anda di halaman 1dari 26

Pertemuan ke-5

A. PENILAIAN ACUAN NORMA

1. Pengertian Penilaian Acuan Norma

Penililaian acuan norma merupakan penilaian yang bertujuan untuk untuk

mengukur kemampuan seorang siswa dibandingkan siswa lain dalam satu kelompok

atau kelas. Penilaian acuan norma dimanfaatkan guru kelas untuk membandingkan

posisi siswa diantara siswa yang lain di dalam satu kelas (Gronlund, 1982).

Penilaian acuan norma digunakan untuk membandingkan prestasi belajar seorang

siswa dengan siswa yang lain dalam kelompoknya. Seorang siswa bisa dikatakan pintar

di kelas A, namun belum tentu siswa tersebut dapat dikategorikan pintar di kelas lain.

Kualitas atau posisi prestasi siswa dipengaruhi oleh kualitas prestasi kelompoknya

(Suharsimi Arikunto, 2009).

Penilaian acuan norma merupakan penilaian yang dilakukan dengan mengacu pada

norma kelompok, nilai yang diperoleh siswa diperbandingkan dengan nilai-nilai siswa

yang lain yang termasuk dalam kelompok itu. PAN merupakan pendekatan klasik, sebab

pencapaian hasil belajar siswa siswa dengan siswa lain yang mengikuti pembelajaran

yang sama (Trisnamansyah, 2009).

Hasil tes yang diperoleh seorang siswa dibandingkan dengan kelompoknya agar

dapat diketahui posisi siswa tersebut di kelasnya. Penilaian acuan norma juga bisa

digunakan untuk tes seleksi, seperti seleksi pegawai dan seleksi masuk perguruan

tinggi, sebab dapat digunakan untuk membedakan kemampuan seseorang dalam

kelompok tertentu. Selain itu penilaian acuan norma juga digunakan untuk mengetahui

hasil belajar seseorang pada materi dengan cakupan yang luas (Suprananto, 2012).

Berdasarkan beberapa pengertian yang telah dipaparkan di atas, maka penilaian

acuan norma adalah pemberian nilai yang mengacu pada nilai kelompok yang diperoleh

oleh seorang siswa terhadap nilai yang diperoleh siswa-siswa dalam kelompoknya.
2. Karakteristik Penilaian Acuan Normatif

a. Penilaian acuan norma digunakan untuk menentukan status peserta didik

(siswa) terhadap kemampuan siswa lainnya. Maksud dari hal tersebut yaitu

penilaian acuan norma digunakan apabila ingin mengetahui kemampuan siswa

pada komunitasnya, seperti di kelas, sekolah, dan rayon.

b. Penilaian acuan norma bersifat relatif, artinya bahwa penilaian dapat berubah

disesuaikan dengan kondisi atau kebutuhan pada waktu tersebut.

c. Nilai dari penilaian acuan norma bukan merupakan ukuran kemampuan dan

penguasaan siswa tentang materi pelajaran yang diujikan, tetapi hanya

menunjukkan posisi atau peringkat siswa dalam kelompoknya.

d. Memiliki kecenderungan untuk menggunakan rentangan tingkat penguasaan

seseorang terhadap kelompoknya, mulai dari yang sangat istimewa hingga

yang mengalami kesulitan

(Trisnamansyah, 2009)

3. Prinsip Penilaian Acuan Norma

Prinsip penggunaan penilaian acuan norma adalah adanya asumsi bahwa di

setiap populasi terdapat nilai yang heterogen, sehingga terdapat kelompok baik,

kelompok sedang, dan kelompok kurang. Persebaran nilai siswa yang sifatnya

heterogen akan membentuk sebuah kurva normal. Normalnya kurva ini sebagai tanda

bahwa penilaian akan berpatokan dari nilai yang tersebar di dalam populasi itu sendiri

(Suharsimi Arikunto, 2009).

Nilai rerata (mean) dan standar deviasi (Sd) merupakan nilai yang digunakan untuk

membentuk kurva normal. Kurva normal akan membentuk seperti lonceng berdasarkan
penghitungan rerata dan standar deviasi. Distribusi skor dalam kurva normal cenderung

mendekati nilai rerata (Gronlund, 1982).

Gambar 1. Kurva normal

4. Interpretasi Penilaian Acuan Norma

Ada bebagai cara untuk menentukan peringkat atau posisi siswa di dalam

kelompok, namun dalam pembahasan ini hanya akan dibahas 4 cara, yaitu (Suharsimi

Arikunto, 2009):

a. Simple Rank

Rangking sederhana atau simple rank adalah cara untuk mengurutkan dan

menunjukkan letak/kedudukan seseorang terhadap kelompoknya. Secara teknis,

skor siswa akan diurutkan dari siswa yang memiliki nilai tertinggi hingga siswa

dengan skor terendah (Gronlund, 1982).

Contoh :

Tabel 1. Skor mentah (raw score) nilai Ujian Akhir


Semester Matematika dari 20 siswa

Nama Siswa Nilai


Ani 65
Budi 73
Cinta 59
Dedi 81
Edo 84
Fredy 87
Galih 92
Haryo 90
Indah 88
Junet 66
Kumala 83
Lintang 82
Mila 80
Nurman 79
Opik 81
Putra 88
Qori 75
Restu 75
Sinta 63
Tiya 70

Tabel 2. Rangking sederhana (simple rank) nilai Ujian Akhir


Semester Matematika dari 20 siswa

Nama Siswa Nilai Peringkat


Galih 92 1
Haryo 90 2
Indah 88 3
Putra 88 3
Fredy 87 5
Edo 84 6
Kumala 83 7
Lintang 82 8
Dedi 81 9
Opik 81 9
Mila 80 11
Nurman 79 12
Qori 75 13
Restu 75 13
Budi 73 15
Tiya 70 16
Junet 66 17
Ani 65 18
Sinta 63 19
Cinta 59 20

Keterangan:

Siswa yang memiliki skor sama maka mendapatkan rangking yang sama,

sehingga ada beberapa nomor peringkat yang tidak digunakan.

b. Percentile Rank

Percentile rank merupakan posisi seorang siswa di dalam kelompok yang

menunjukkan persentase skor yang ada di bawahnya. Melalui metode ini lebih dapat

diketahui mengenai gambaran kecakapan siswa sebab angka rangking menunjuk-

kan besarnya persentase siswa dalam kelompok yang berhasil dilampaui.

Cara untuk menentukan percentile rank adalah :

a. Menentukan lebih dulu simple rank-nya.

b. Menghitung jumlah siswa yang memiliki nilai/skor dibawah siswa yang akan

diukur.

c. Mengubah perhitungan ke dalam bentuk persentase, setelah dibagi dengan

kelompok.

𝑵−𝑺𝑹
Rumus menghitung percentile rank: PR = 𝑵
𝐱 𝟏𝟎𝟎

PR = percentile rank

N = jumlah siswa dalam kelompok

SR = simple rank (posisi siswa)


Contoh:

Dengan menggunakan data persebaran nilai siswa pada Tabel 1, kemudian

menentukan simple rank dari data nilai tersebut menjadi Tabel 2. Maka akan dicoba

untuk menghitung percentile rank dari siswa yang bernama Kumala yang menduduki

posisi 7, sehingga penghitungannya :

𝑁−𝑆𝑅
PR = 𝑁
x 100

20−7
PR = 20
x 100

13
PR = 20 x 100

PR = 65%

Berdasarkan hasil perhitungan, maka Kumala terletak dalam kelompok yang dapat

mengalahkan sebanyak 65% dari teman-temannya.

c. Standard Deviation Score

Yaitu menentukan posisi siswa dengan membentuk beberapa kelompok dalam satu

kelas yang dibatasi oleh nilai standar deviasi (Suharsimi Arikunto, 2009).

Langkah-langkah menentukan kedudukan kelompok menurut Suharsimi Arikunto

(2009), yaitu:

1) Menjumlahkan semua skor semua siswa

2) Mencari nilai rata-rata dan simpangan baku

Formula rata-rata:
𝜮𝑿
X= 𝑵

Formula standar deviasi:

𝜮𝒇𝑿𝟐 𝜮𝒇𝑿 𝟐
SD = √ 𝑵
− (𝑵
)

3) Menentukan batas-batas kelompok


a) Kelompok atas

Kelompok siswa yang memiliki skor sebanyak skor rata-rata ditambah

dengan satu standar deviasi ke atas.

b) Kelompok sedang

Kelompok siswa yang memiliki skor antara -1 standar deviasi dan +1 standar

deviasi.

c) Kelompok kurang

Kelompok yang memiliki skor -1 dan siswa yang kurang dari nilai tersebut.

Contoh :

Tabel 3. Distribusi skor siswa

Skor f fx Fx2

8 4 32 256

7 9 63 441

6 11 66 396

5 3 15 75

4 3 13 48

N = 30 Σfx = 188 (Σfx2) = 1,216

Dari tabel distribusi skor siswa tersebut maka dapat diperoleh:

Nilai rata-rata (Mean) :

𝛴𝑋
X= 𝑁

188
X=
30

X = 6.27
Nilai standar deviasi (SD) :

𝛴𝑓𝑋 2 𝛴𝑓𝑋 2
SD = √ − ( )
𝑁 𝑁

1216 188 2
SD = √ 30
− ( 30 )

SD = √40.53 − 39.18

SD = √1.35

SD = 1.16

Sehingga dapat diperoleh :

a. Batas kelompok bawah sedang

Mean – SD = 6.27 – 1.16 = 5.11

b. Batas kelompok sedang atas

Mean + SD = 6.27 – 1.16 = 7.43

Maka:

a. Kelompok atas

Semua siswa yang memiliki skor ≥ 7.43 , yaitu siswa yang memiliki nilai 8

sebanyak 4 orang.

b. Kelompok sedang

Semua siswa yang memiliki skor antara 5.11 dan 7.43 , yaitu siswa yang

memiliki nilai 6 dan nilai 7 sebanyak 20 orang.

c. Kelompok kurang

Semua siswa yang memiliki skor ≤ 5.11 , yaitu siswa yang memiliki nilai 5 dan

nilai 4 sebanyak 6 orang.


Dengan menggunakan penilaian acuan norma, skor tes perlu dikonversi atau diubah

menjadi bentuk yang baku. Standar deviasi merupakan rata-rata penyimpangan skor

terjauh dari rerata dalam kelompok (Torndike, 1967).

Secara lebih sederhana formula dalam menginterpretasikan nilai menggunakan

standar deviasi dengan menggunakan T-score (T):

𝑿𝟏 −𝑿
T = 𝑿𝒔𝒔 + 𝑺𝑫
𝑺𝑫

T = T-score

𝑋𝑠𝑠 = Rerata konstan ( rerata yang diinginkan dari skor standar)

𝑋1 = Skor siswa

𝑋 = Rerata skor di dalam kelompok

𝑆𝐷𝑠𝑠 = Standar deviasi

Contoh :

Seorang siswa memeperoleh skor 90, dengan nilai rerata di kelasnya 75 dan standar

deviasi nya adalah 10, maka berapa skor baku siswa tersebut?

Jawab :

𝑋1 −𝑋
T = 𝑋𝑠𝑠 + 𝑆𝐷 𝑆𝐷

90−75
T = 50 + 10 10

T = 50 + 10 . (1.5)

T = 50 + 15

T = 65
Sehingga, siswa yang memiliki skor mentah (raw score) sebesar 90, yang

kemudian diubah menjadi bentuk baku menjadi 65. Nilai rerata konstan sebesar 50

digunakan untuk menghndari terjadinya perhitungan negative (Torndike, 1967). Skor

hasil konversi bentuk baku tidak harus 100 sebab tergantung pada rerata dalam

kelompoknya. Seperti siswa yang mendapatkannilai A, tidak harus memiliki skor

pada rentang tertentu seperti nilai antara 85-100

B. PENILAIAN ACUAN KRITERIA (CRITERION REFERENCED ASSESMENT)

Jika suatu hasil tes ditafsirkan dengan membandingkan penampilan seseorang

dengan kriteria khusus yang telah ditetapkan sebelumnya, tanpa membandingkannya

dengan penampilan orang lain, maka penafsiran hasil tes semacam ini adalah penafsiran

menggunakan penilaian acuan kriteria (criterion referenced test).

Penilaian model ini diperkenalkan oleh Glaser pada tahun 1963. Glaser dan Nitko

(1971) mendefinisikan penilaian acuan kriteria sebagai penilaian yang dilakukan untuk

memperoleh informasi yang secara langsung dapat diinterpretasikan pada standar

penampilan khusus. Istilah ‘kriteria’ mengacu pada domain (area) yang didefinisikan

mengenai isi atau perilaku yang diacu oleh tes tersebut.

Interpretasi skor penilaian acuan kriteria bersifat absolut karena penilaian ini

merefleksikan tingkatan mana yang telah dikuasai oleh siswa.

Kompetensi yang diukur dengan tes yang berdasarkan acuan kriteria harus

terdefinisi dengan baik, dan kualitas interpretasi skor juga semakin baik jika definisi

kriterianya semakin jelas. Biasanya penilaian dengan acuan kriteria mencakup domain

fokus isi atau ketrampilan yang sempit. Dengan demikian kita data membuat pernyataan

definitif tentang suatu kemampuan atau ketrampilan spesifik yang dapat ditampilkan

seorang siswa. Contohnya, suatu tes matematika yang berfokus hanya pada penjumlahan
pecahan. Dengan demikian, penguji akan memperoleh informasi yang spesifik berkaitan

dengan kecakapan siswa dalam penjumlahan pecahan ini. Jika tes tersebut berisi

berbagai persoalan dalam matematika (seperti yang biasa terjadi pada penilaian acuan

norma), maka akan lebih sulit untuk mengamati pada bagian mana sesungguhnya

kecakapan seorang siswa.

Meskipun interpretasi acuan kriteria ini banyak diterapkan pada domain yang

sempit, namun seringkali pula diterapkan pada domain yang lebih luas. Misalnya pada

sebagian besar tes ijin praktek professional seperti pengacara, psikolog, penguji, dll.

Karakteristik penilaian acuan kriteria

Berikut ini adalah beberapa karakteristik penilaian beracuan kriteria, yang

membedakannya dari penilaian beracuan norma, yaitu:

 Membandingkan penampilan dengan tingkatan penampilan spesifik – interpretasi

absolut

 Agar interpretasi bermanfaat, perlu mendefinisikan domain pengetahuan atau

ketrampilan secara teliti

 Biasanya menilai domain pengetahuan atau ketrampilan yang cakupannya

terbatas/sempit

 Memiliki beberapa aitem untuk mengukur tiap-tiap tujuan atau ketrampilan yang diuji.

 Aitem dipilih yang baik, yang mencakup domain isi, kesulitan aitem sesuai dengan

kesulitan domain isi.

 Contoh: persentase jawaban benar – skor benar 80 mengindikasikan bahwa peserta

ujian tersebut berhasil menjawab 80% aitem tes.


Menyusun Penilaian Acuan Kriteria

Berikut ini beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam penyusunan penilaian

acuan kriteria menurut Gronlund (1985):

1. Tujuan penilaian diuraikan dengan sangat terperinci.

2. Biasanya cakupan yang diujikan terbatas naun dengan sejumlah besar butir tes

untuk setiap hasil belajar.

3. Butir tes jenis memilih tidak banyak digunakan.

4. Menekankan ada pertanyaan untuk menguraikan penampilan siswa dalam

melaksanakan suatu tugas spesifik.

5. Prosedur statistik tradisional tidak tepat untuk memperkirakan taraf kepercayaan

karena tidak terdapat keragaman tes.

6. Terutama dilakukan untuk tes kesiapan belajar, tes formatif, dan tes diagnostik.

Interpretasi Tes dengan Acuan Kriteria

Interpretasi tes beracuan kriteria menekankan pada apa yang diketahui atau dapat

dilakukan oleh peserta ujian, bukan membandingkannya dengan peserta ujian lain.

Contoh yang paling umum dari interpretasi penilaian beracuan kriteria ini adalah

persentase jawaban benar, misalnya jika seorang siswa menjawab benar 85% dari soal-

soal dalam tes.

Acuan kriteria mengandung asumsi bahwa hampir semua orang dapat belajar

apa saja, namun waktu yang diperlukan berbeda-beda. Konsekuensinya, ada program

remedial atau pengayaan, dan akselerasi/percepatan.

Tipe lain dari interpretasi tes beracuan kriteria ini adalah mastery testing. Mastery

testing ini mencakup apakah peserta ujian telah mencapai tingkat tertentu untuk
penguasaan pengetahuan atau ketrampilan dan biasanya dilaporkan dalam satu laporan

lulus atau tidak lulus, tuntas atau tidak tuntas. Lulus diartikan menguasai materi,

sedangkan tidak lulus berarti belu menguasai materi.

Contoh mastery testing ini adalah ujian SIM. Tes tertulis yang diperlukan untuk

memperoleh SIM didesain untuk menentukan apakah calon pengemudi memenuhi

persyaratan pengetahuan dasar yang diperlukan untuk menjalankan kendaraan bermotor

dengan baik dan aman. ‘Cut score’ telah dibuat sebelum ujian, dan skor yang sama atau

lebih tinggi dari ‘cut score’ tersebut artinya “lulus” dan sebaliknya, skor di bawah ‘cut

score’ artinya “tidak lulus”.

Contoh lain misalnya, penguji hendak menilai penguasaan siswa kelas satu SD

untuk materi mengeja suku kata. Penguji menentukan ‘cut score’ adalah 85%. Maka,

anak-anak yang memperoleh skor 85% atau lebih dinyatakan lulus, sedangkan yang

memperoleh skor di bawah 85% dinyatakan belum lulus. Tidak ada perbedaan bagi siswa

yang memperoleh skor 85% dan 100%. Mereka berdua dinyatakan sama-sama lulus.

Pendekatan interpretasi acuan kriteria yang umum dilakukan lainnya adalah

“interpretasi berdasarkan standar”. Pada mastery testing’, hasil hanya diukur pada satu

interpretasi, hasilnya lulus atau tidak lulus. Pada interpretasi berdasarkan standar,

biasanya ada tiga sampai lima kategori penampilan siswa. Misalnya, hasil pada suatu tes

prestasi dapat dinyatakan sebagai tidak cakap, cakap sebagian, cakap, atau cakap

melebihi kriteria. Misalnya: A untuk skor benar 90%-100%, B untuk skor benar 80-89%, C

untuk skor benar 70-78%, D untuk skor benar 60-69%, dan F untuk skor di bawah 60%.

Penilaian acuan kriteria ini mendeskripsikan kemampuan siswa tanpa

membandingkannya dengan siswa lain. ini berarti tidak ada batasan jumlah siswa yang

memperoleh nilai tertentu. Misalnya, suatu kelas yang siswanya menguasai penjumlahan
pecahan, dapat terjadi semuanya mendapat nilai A untuk materi penjumlahan pecahan ini.

Namun variabilitas level kesukaran soal terkadang menjadi permasalahan. Dapat terjadi

bahwa seorang penguji cenderung membuat soal yang terlalu mudah bagi siswa,

sehingga sebagian besar mendapat nilai A, namun ada penguji yang cenderung membuat

soal yang lebih sukar, sehingga kemungkinan tidak banyak yang mendapat nilai A. Hal ini

menjadi kesulitan dalam melakukan interpretasi atas arti suatu skor berdasarkan standar

absolut dengan cara yang konsisten.

Penggunaan penilaian acuan kriteria ini memerlukan adanya dua hal, yaitu uraian

tentang wilayah kriteria kemampuan dan standar batas (cut score). Wilayah kriteria

berkaitan dengan suatu kemampuan, diungkapkan dalam deskripsi wilayah kriteria, format

butir alat ukur, dan contoh bukti alat ukur. Dari wilayah kriteria ini kemudian disusun alat

ukur berupa perangkat populasi dan peragkat sampel alat ukur. Biasanya yang disusun

adalah perangkat sampel alat ukur. Sementara standar batas penguasaan kemampuan

adalah skor yang menjadi pemisah antara pemisah (batas) antara peserta ujian yang

menguasai wilayah kriteria dengan yang belum menguasai wilayah kriteria.

Metode Standar Batas (Cut Score) dalam Acuan Kriteria

Ada berbagai metode untuk menentukan standar batas kriteria, namun di sini akan

dibahas dua metode, yaitu metode Nedelsky dan metode Angoff.

Metode Nedelsky

Metode ini digunakan untuk menentukan batas minimum penguasaan wilayah kriteria

pada tes berbentuk pilihan ganda.

Langkah-langkah dalam melakukan metode Nedelsky ini yaitu:

1. Mengumpulkan beberapa ahli materi dan pengujian ke dalam suatu panel


2. Setiap ahli memeriksa pilihan pada butir ujian serta menghilangkan pilihan jawaban

yang menurut pikirannya dapat dijawab dengan betul oleh peserta ujian dengan batas

penguasaan minimum

3. Dari ahli tersebut diperoleh skor harapan, yaitu peluang menjawab benar pada butir

tes itu untuk peserta ujian dengan penguasaan minimum

4. Rata-rata skor harapan dari semua ahli dalam panel dijadikan standar batas minimum

penguasaan wilayah kriteria.

Contoh:

Suatu ujian terdiri atas 8 butir soal dengan 4 pilihan jawaban, di antaranya ada 1 jawaban

benar. Peserta tes yang kurang menguasai dapat menjawab benar melalui terkaan

(guessing), dengan peluang ¼. Maka skor yang mungkin diraihnya adalah 2.

Tabel 4. Peluang Butir Tes soal metode Nedelsky

Butir Pilihan jawaban Probabilitas/peluang

1 4 ¼
2 4 ¼
3 4 ¼
4 4 ¼
5 4 ¼
6 4 ¼
7 4 ¼
8 4 ¼
32 2

Selanjutnya, ahli X1 menghilangkan pilihan jawaban yang dirasa dapat dijawab dengan

benar oleh mereka yang memiliki penguasaan minimum. Maka probabilitas/peluangnya

menjadi:
Tabel 5. Peluang Butir Tes soal metode Nedelsky yang dikurangi
dengan kemungkinan pilihan jawaban benar
Butir Pilihan jawaban Probabilitas/peluang
1 3 1/3
2 3 1/3
3 2 ½
4 1 1
5 3 1/3
6 1 1
7 2 ½
8 1 1
16 5

Maka batas penguasaan minimum menurut ahli X1 adalah skor 5. Sementara ahli X2 dan

X3 juga melakukan hal yang sama dengan apa yang dilakukan oleh ahli X1

Tabel 6. Peluang Butir Tes soal metode Nedelsky oleh ahli 2 dan ahli 3
Butir Ahli X2 Ahli X3
Pilihan jawaban Probabilitas/peluang Pilihan jawaban Probabilitas/peluang
1 3 1/3 3 1/3
2 3 1/3 3 1/3
3 2 ½ 3 1/3
4 2 ½ 1 1
5 3 1/3 3 1/3
6 3 1/3 1 1
7 3 1/3 3 1/3
8 3 1/3 3 1/3
22 3 20 4
Jadi, standar batas minimum penguasaan adalah rata-rata penilaian ketiga ahli, yaitu

1/3(5+3+4)=4
Metode Angoff

Langkah-langkah untuk penentuan standar batas (cut score) pada metode Angoff yaitu:

1. Mengumpulkan beberapa ahli materi ke dalam suatu panel

2. Masing-masing ahli memeriksa setiap butir soal dan mengestimasi persentase

peserta tes yang penguasaannya minimum ke seluruh butir.

3. Menghitung rata-rata laporan dari semua ahli pada panel serta dari persentasi

peserta tes yang berpenguasaan minimum, ditetapan batas minimum wilayah kriteria.

Contoh:

Salah seorang ahli menilai butir tes dan menaksir persentase peserta dengan kemampuan

minimum penguasaannya.

Tabel 7. Estimasi butir tes metode Angoff ahli 1


Butir Estimasi
1 80%
2 40%
3 10%
4 60%
5 80%
6 100%
7 100%
8 50%
9 50%
10 70%
Rata-rata 64%
Menurut ahli ini, batas penguasaan adalah sebesar 64% dari 10 butir. Selanjutnya ahli lain

diminta melakukan hal yang sama dan hasilnya dirata-rata.


Tabel 8. Estimasi butir tes metode Angoff ahli 1-3
Butir Estimasi ahli 1 Estimasi ahli 2 Estimasi ahli 3
1 80% 70% 80%
2 40% 50% 40%
3 10% 10% 20%
4 60% 70% 70%
5 80% 70% 70%
6 100% 90% 90%
7 100% 100% 100%
8 50% 60% 60%
9 50% 40% 40%
10 70% 70% 80%
Rata-rata 64% 63% 65%

Jadi, standar batas minimum penguasaan adalah rata-rata penilaian ketiga ahli, yaitu

1/3(64%+63%+65%)=64%

C. Perbedaan PAN dan PAK

No PAN PAK

Terdiri dari soal-soal tes yang


Soal tes tidak hanya didasarkan
1. didasarkan pada tujuan khusus
pelajaran yang diterima siswa
pembelajaran

Tujuan belajar dinyatakan dalam istilah Tujuan belajar cenderung diuraikan


2.
yang umum atau khusus dengan amat terperinci

Biasanya meliputi lapangan yang


Biasanya meliputi tujuan yang
dites secara terbatas, tetapi dengan
3. rentangnya luas dengan sejumlah kecil
sejumlah besar butir tes untuk setiap
butir tes untuk setiap hasil belajar
hasil belajar
Lebih banyak menggunakan soal Tidak banyak menggunakan soal
4.
pilihan ganda pilihan ganda

Menekankan pada kemampuan


Menekankan pada adanya
pertanyaan untuk menguraikan
5. kemungkinan agar pertanyaan itu dapat
kemampuan siswa melaksanakan
membedakan kemampuan siswa
tugas pelajaran yang sifatnya khas

Prosedur statistik yang tradisional


Prosedur statistik tradisional tidak
digunakan untuk mendukung mutu
tepat untuk mengestimasi taraf
6. kebenaran hasil tes dapat
kepercayaan (karena tidak adanya
dipertanggungjawabkan (karena
variabilitas tes)
variabilitas skor banyak sekali)

Penilaian didasarkan pada apa adanya


Distribusi normal tidak menyerupai
7. prestasi siswa (menyesuaikan kurva
kurva normal
normal)

Perolehan nilai berdasarkan pada


8. Didasarkan pada batas kelulusan
kelompok/kelas

Dimaksudkan untuk
Untuk mengadakan seleksi pada
9. mengklasifikasikan seseorang,
individu atau membuat rangking
mendiagnosa belajar siswa
D. KELEBIHAN DAN KEKURANGAN

1) Kelebihan dan kekurangan Penilaian Acuan Normatif

No Kelebihan Kekurangan

1. Menyajikan informasi mengenai butir Kurang adil, karena peringkat siswa

tes tidak hanya tergantung pada tingkat

prestawsi tetapi juga atas prestasi

siswa lai

2. Analisis butir tes dapat membantu Kurang adil jika siswa berada di

siswa memperbaiki hasil belajarnya kelompok kecil

3. Data analisis butir menyajikan Kurang transparan, karena hasil

pandangan untuk mempersiapkan tes penilaian akhir tidak diketahui para

selanjutnya dengan lebih baik siswa

4. Bermanfaat untuk membandingkan

siswa sehingga ada ranking yang pasti

2) Kelebihan dan kekurangan Penilaian Acuan Kriteria

No Kelebihan Kekurangan

1. Penilaian transparan, karena Lebih menekankan hasil daripada

menggunakan rubric proses

2. Penilaian lebih dapat diandalkan Peringkat dinyatakan dengan tidak

karena ada kriteria minimal (KKM) sebenarnya

3. Nilai dan skor dapat Siswa dapat mempertanyakan nilai

dipertanggungjawabkan secara objektif mereka

4. Lebih adil, karena prestasi siswa Pendidik kadang kurang kompeten dan

diukur apa adanya, tidak dibandingkan kurang percaya diri untuk membuat

dengan siswa lainnya penilaian


5. Nilai dan peringkat dapat dirundingkan

6. Prestasi bergantung pada kinerja

siswa

1. FAKTA DAN DATA

Perkembangan pendidikan di Indonesia juga diikuti dengan perubahan kurikulum

pendidikan. Sejak sebelum kemerdekaan hingga masa orde baru, Indonesia memiliki

kurikulum yang mengacu pada tujuan yang lebih luas yaitu kemerdekaan Indonesia dan

belum memiliki penilaian yang jelas. Data yang kami temukan, menunjukkan bahwa tahun

1989, Presiden mengeluarkan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 1989

yang membahas mengenai Sistem Pendidikan Nasional. Pada BAB XII Pasal 43, tertulis

bahwa “terhadap kegiatan dan kemajuan belajar peserta didik dilakukan penilaian”

(Peraturan Presiden, 1989). Meskpun penilaian telah tercantum dalam undang-undang,

namun tidak disebutkan dengan jelas seperti apa standar penilaian yang diberlakukan.

Selanjutnya pada tahun 2003 pemerintah kembali mengeluarkan Undang-Undang

Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Undang-

Undang ini menetapkan Kurikulum Berbasis Kompetensi sebagai kurikulum yang

digunaan dalam pendidikan Indonesia. Di dalam Kurikulum Berbasis Kompetensi,

terdapat 4 komponen dasar yaitu Kurikulum dan Hasil Belajar, Penilaian Berbasis Kelas,

kegiatan Belajar Mengajar dan Pengelolaan Kurikulum Berbasis Sekolah

(Depdiknas,2002). Penilaian hasil belajar siswa dalam KBK ditemukan dalam Penilaian

Berbasis Kelas yang terpapar jelas pada Peraturan Pemerintah Republik Indonesia

Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan Bab X pasal 63 bahwa

penilaian hasil belajar dilakukan oleh pendidik secara berkesinambungan untuk

memantau proses, kemajuan dan perbaikan hasil dalam bentuk ulangan harian, ulangan

tengah semester, ulangan akhir semester dan ulangan kenaikan kelas. Penilaian berbasis
kelas, penilaian mengidentifikasi kompetensi atau hasil belajar yang telah dicapai dan

memuat pernyataan yang jelas tentang standar yang harus dan telah dicapai serta peta

kemajuan siswa dan pelaporan (Rahdiyanta, 2003). Hal ini menyiratkan bahwa KBK telah

memiliki standar tertentu yang harus dicapai siswa pembelajaran. Adanya standar

membuat KBK memiliki kecenderungan terhadap Penilaian Acuan Kriteria, namun belum

dipaparkan secara jelas.

KTSP diberlakukan di Indonesia sejak tahun 2006. Peraturan Menteri Pendidikan

Nasional Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2007 tentang Standar Penilaian pendidikan

mengungkapkan bahwa standar penilaian pendidikan adalah standar nasional pendidikan

yang berkaitan dengan mekanisme, prosedur, dan instrumen penilaian hasil belajar

peserta didik. Penilaian pendidikan adalah proses pengumpulan dan pengolahan

informasi untuk menentukan pencapaian hasil belajar peserta didik yang beracuan pada

Kriteria Ketuntasan Minimal yang telah ditentukan. Kriteria ketuntasan minimal (KKM)

adalah kriteria ketuntasan belajar (KKB) yang ditentukan oleh satuan pendidikan.

Diungkapkan pula bahwa prinsip penilaian beracuan kriteria, berarti penilaian didasarkan

pada ukuran pencapaian kompetensi yang ditetapkan.

Setelah adanya perubahan kurikulum menjadi Kurikulum 2013, banyak terjadi

kontroversi mengenai system penilaian yang ada. Mengacu pada Peraturan Menteri

Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2016 Tentang Standar

Penilaian Pendidikan, standar penilaian pendidikan berbeda dari kurikulum sebelumnya,

yaitu kriteria mengenai lingkup, tujuan, manfaat, prinsip, mekanisme, prosedur, dan

instrument penilaian hasil belajar peserta didik yang digunakan sebagai dasar dalam

penilaian hasil belajar peserta didik pada pendidikan dasar dan pendidikan menengah.

Dalam kurikulum ini, masih dipergunakan KKM yaitu kriteria ketuntasan belajar yang

ditentukan oleh satuan pendidikan yang mengacu pada standar kompetensi kelulusan,

dengan mempertimbangkan karakteristik peserta didik, karakteristik mata pelajaran, dan


kondisi satuan pendidikan. Dalam kurikulum ini terlihat jelas bahwa interpretasi penilaian

menggunakan metode PAK atau Penilaian Acuan Kriteria, seperti yang terdapat pada

pasal 5 Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia Nomor 23

Tahun 2016 tentang Standar Penilaian Pendidikan disebutkan bahwa salah satu prinsip

penilaian hasil belajar adalah beracuan kriteria, berarti penilaian didasarkan pada ukuran

pencapaian kompetensi yang ditetapkan.

Hal ini menunjukkan bahwa sejak dahulu, interpretasi penilaian pendidikan

Indonesia telah mengacu pada adanya kriteria dalam penilaian. Walaupun pada

implementasinya, pada tahun 1989 sampai dengan 2003 kecenderungan pelaporan

penilaian mengacu pada Penilaian Acuan Norma. Kecenderungan menggunakan

Penilaian Acuan Norma yang terlihat dari adanya ranking kelas pada pelaporan hasil

belajar siswa. Mulai diberlakukannya KTSP, kriteria penilaian semakin terlihat jelas dan

mulai diimplementasikan dengan jelas. Kriteria penilaian ini pada beberapa tahun terakhir

disebut KKM, yaitu Kriteria Ketuntasan Minimal. Adanya kriteria menunjukkan bahwa

interpretasi penilaian menggunakan metode PAK atau Penilaian Acuan Kriteria.

Sementara itu, meskipun PAN tidak disinggung dalam pendidikan, namun penggunaan

PAN tetap berguna untuk beberapa situasi lain, contohnya dalam seleksi mahasiswa atau

seleksi masuk kerja. Dalam seleksi-seleksi seperti ini akan lebih tepat jika digunakan

PAN, karena jika digunakan PAK maka jumlah mahasiswa yang masuk mungkin melebihi

kuota atau malah kurang dari kuota yang diinginkan.

2. KAJIAN TEORI DAN DATA

Telah dibahas sebelumnya mengenai teori Penilaian Acuan Norma dan Penilaian

Acuan Kriteria, terlihat jelas bahwa PAN dan PAK sama-sama digunakan sebagai

interpretasi penilaian hasil belajar. Penilaian Acuan Kriteria lebih banyak digunakan dalam

penilaian pendidikan. Pada data, hampir seluruh kurikulum yang pernah diterapkan di

Indonesia menggunakan Penilaian Acuan Kriteria ini. Hal ini karena Penilaian Acuan
Kriteria lebih adil dalam memberi penilaian kepada siswa. Seperti yang terdapat pada

tabel penjelasan kelebihan dan kekurangan, Penilaian Acuan Kriteria tidak

membandingkan nilai siswa dengan nilai kelompok sehingga nilai yang diperoleh

merupakan nilai yang sebenarnya. Sebaliknya, Penilaian Acuan Norma dipakai dalam

seleksi masuk perguruan tinggi untuk memenuhi kuota dengan membandingkan hasil tes

perseorangan dengan hasil kelompok.

3. KESIMPULAN

Melalui pembahasan di atas, dapat disimpulkan bahwa

1. Penilaian Acuan Norma dilakukan jika seseorang ingin mengetahui posisi atau

kedudukan siswa dibandingkan dengan komunitasnya atau kelompoknya. PAN

dapat diinterpretasi melalui berbagai cara, diantaranya dengan cara menyusun

simple rank, menentukan percentile rank, dan dengan batasan standar deviasi.

Penilaian Acuan Kriteria dilakukan jika seseorang ingin membandingkan

kemampuan siswa dengan kriteria yang sudah ditetapkan sebelumnya. PAK ini

tidak membandingkan dengan siswa lain, seperti pada PAN. Terdapat dua hal yang

harus dipenuhi dalam PAK yaitu penentuan wilayah kriteria kemampuan dan

penentuan standar batas (cut score).

2. Melalui pengamatan perkembangan kurikulum sejak tahun 1989 sampai dengan

tahun 2016, tidak semua kurikulum mencantumkan interpretasi hasil penilaian

peserta didik secara jelas. Standar penilaian pada tahun 1989 hingga 2003 tidak

mencantumkan acuan penilaian peserta didik pada peraturan pemerintah. Standar

penilaian Kurikulum Berbasis Kompetensi pada tahun 2003 belum mencantumkan

acuan penilaian, tetapi standar nasional pendidikan telah menunjukkan

kecenderungan terhadap penilaian Acuan Kriteria. KTSP dan Kurikulum 2013 telah
mencantumkan secara jelas bahwa interpretasi penilaian peserta didik

menggunakan Penilaian Acuan Kriteria dengan KKM sebagai kriteria utama.

3. Pada tahun 1989 hingga 2006 pemerintah tidak memaparkan acuan penilaian

peserta didik pada standar penilaian sehingga kecenderungan menggunakan

Penilaian Acuan Norma yang dapat dilihat dari adanya ranking kelas pada

pelaporan hasil belajar siswa. Dalam hal ini, peserta didik dibandingkan dengan

peserta didik yang lain. Pada KTSP dan kurikulum 2013, standar penilaian mulai

memberikan acuan terhadap interpretasi penilaian hasil belajar siswa. Hal tersebut

dapat dilihat dari adanya KKM yang menjadi kriteria ketuntasan belajar siswa.
Daftar Pustaka

Arikunto, Suharsimi. (2009). Dasar-Dasar Evaluasi Pendidikan. Jakarta: PT. Bumi Aksara.
Depdiknas (2002). Kurikulum Berbasis Kompetensi. Jakarta: Depdiknas.
Griffin, P., Nix, P. (1991). Educational Assesment and Reporting. NSW: Harcourt Brace
Jovanovich Group.
Gronlund, Norman F. (1982). Constructing Achievement Test. NY: Prentice Hall.
Kusaeri, Suprananto. (2012). Pengukuran dan Penilaian Pendidikan. Yogyakarta: Graha Ilmu.
Lindquist, E. F. (1955). Educational Measurement. NY: The Grand Foundation.
Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2016
Tentang Standar Penilaian Pendidikan
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional
Pendidikan
Rahdiyanta, D. (2003). Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK): Pengertian dan konsep KBK.
Seminar Nasional Implementasi KBK. Yogyakarta: UNY.
Reynolds, Cecil R., Livingston, Ronald B., Wilson, Victor (2009). Measurement and Assesment
in Education. New Jersey: Pearson.
Siswanto. (2017). Penilaian dan Pengukurn Sikap Hasil Belajar Peserta Didik. Klaten: Boss
Script.
Thorndike, Robert L., Hagen, Elizabeth (1967). Measurement and Evaluaion in Psycology and
Education Second Edition. NY: John Wiley & Sons.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional

Anda mungkin juga menyukai