Referat Sle Pada Kehamilan
Referat Sle Pada Kehamilan
PENDAHULUAN
PEMBAHASAN
A. Pengertian SLE
B. Epidemiologi
1. Autoimun
Pada sebagian besar pasien SLE, antinuklear antibodi (ANA) adalah antibodi
spesifik yang menyerang nukleus dan DNA sel yang sehat. Terdapat dua tipe ANA,
yaitu anti-doule stranded DNA (anti-ds DNA) yang memegang peranan penting
pada proses autoimun dan anti-Sm antibodies yang hanya spesifik untuk pasien SLE.
3
Dengan antigen yang spesifik, ANA membentuk kompleks imun yang beredar
dalam sirkulasi sehingga pengaturan sistem imun pada SLE terganggu yaitu berupa
gangguan klirens kompleks imun besar yang larut, gangguan pemrosesan kompleks
imun dalam hati, dan penurunan uptake kompleks imun oleh ginjal. Sehingga
2. Genetik
3. Faktor Lingkungan
Satu atau lebih faktor eksternal dapat memicu terjadinya respon autoimun
pada seseorang dengan kerentanan genetik. Pemicu SLE termasuk, flu, kelelahan,
stres, kontrasepsi oral, bahan kimia, sinar matahari dan beberapa obat-obatan. 3
Virus. Pemicu yang paling sering menyebabkan gangguan pada sel T adalah
virus. Beberapa penelitian menyebutkan adanya hubungan antara virus Epstein-Barr,
cytomegalovirus dan parvovirus-B19 dengan SLE. Penelitian lain menyebutkan
adanya perbedaan tipe khusus SLE bagian tiap-tiap virus, misalnya cytomegalovirus
yang mempengaruhi pembuluh darah dan menyebabkan fenomena Raynaud
(kelainan darah), tapi tidak banyak mempengaruhi ginjal. 3
Gejala klinis dan perjalanan penyakit SLE sangat bervariasi. Onset penyakit
dapat spontan atau didahului oleh faktor presipitasi.
1. Sistemik
Setiap serangan biasanya disertai dengan gejala umum yang jelas seperti
demam, malaise, kelemahan, nafsu makan berkurang, berat badan menurun, dan
iritabilitas. Yang paling menonjol adalah demam, kadang-kadang disertai menggigil.
2. Muskulosketal
Gejala yang paling sering berupa artritis atau atralgia dan biasanya
mengawali gejala yang lain. Selain kelemahan dan edema dapat pula terjadi efusi
yang bersamaan dengan poliartritis yang bersifat simetris, nonerosif, dan biasanya
tanpa deformitas4, bukan kontraktur atau ankilosis. Kaku pagi hari jarang ditemukan.
Adakalanya terdapat nodul reumatoid. Mungkin juga terdapat nyeri otot dan
1
miositis. Paling sering mengenai interfalangeal proksimal (PIP) dan
metakarpofalangeal, pergelangan tangan, siku dan lutut.
3. Hematologi
Anemia, hemolisis, leukopenia, trombositopenia, antikoasalan lupus.
4. Gejala mukokutan
Ruam kulit yang dianggap khas untuk SLE adalah ruam kulit berbentuk
kupu-kupu (butterfly rash) berupa eritema pada hidung dan kedua pipi. Pada bagian
tubuh yang terpapar matahari dapat timbul ruam kulit yang terjadi karena
hipersensitivitas.
Vaskulitis kulit dapat berupa memar yang dalam dan bisa menyebabkan
ulserasi serta perdarahan jika terjadi pada membran mukosa mulut, hidung, atau
vagina. Pada beberapa orang dapat terjadi livido retikularis, lesi ungu-kemerahan
pada jari-jari tangan dan kaki atau dekat kuku jari.3 Alopesia dapat pulih kembali
jika penyakit mengalami remisi. Kadang-kadang terdapat urtikaria yang tidak
dipengaruhi oleh kortikosteroid dan antihistamin. Biasanya hilang beberapa bulan
setelah penyakit tenang secara klinis dan serologis. 1
5. Sistem saraf
Disfungsi mental ringan merupakan gejala yang paling umum, namun dapat
pula mengenai setiap daerah otak, saraf spinal, atau sistem saraf. Beberapa gejala
yang mungkin tampak adalah seizure, psikosis, organic brain syndrome, dan sakit
kepala. Pencitraan otak menunjukkan adanya kerusakan serabut saraf dan mielin.
Gejala yang tampak berupa irritabilitas, kecemasan, depresi, serta gangguan ingatan
dan konsentrasi ringan.
6. Kardiopulminal
Kelainan jantung dapat berupa perikarditis ringan sampai berat (efusi
perikard), iskemia miokard dan endokarditis verukosa.3 Keadaan tersebut dapat
menimbulkan nyeri dan arithmia.
Efusi pleura , dan pleuritis dapat terjadi pada SLE. Diagnosis pneumonitis
lupus baru dapat ditegakkan jika faktor-faktor lain telah disingirkan seperti infeksi,
virus jamur, tuberkulosis.1 Gejalanya berupa takipnea, batuk, dan demam.
Hemoptisis menandakan terjadinya pulmonary hemorhage. Nyeri dada dan
pernapasan pendek sering tejadi bersama gangguan tersebut.
8. Saluran pencernaan
Sekitar 45% pasien SLE menderita masalah gastrointestinal, termasuk
nausea, kehilangan berat badan, nyeri abdomen ringan, dan diare.3 Radang traktus
intestinal jarang terjadi yaitu sekitar 5% pasien dan menyebabkan kram akut,
muntah, diare, dan walaupun jarang, perforasi usus. Retensi cairan dan
pembengkakan dapat menyebabkan terjadinya obstruksi intestinal. 3
9. Mata
Peradangan pembuluh darah pada mata dapat mengurangi suplai darah ke
retina, sehingga menyebabkan degenerasi sel saraf dan resiko terjadinya perdarahan
retina. Gejala yang paing umum adalah cotton-wool-like spots pada retina. Sekitar
5% pasien mengalami kebutaan sementara yang terjadi secara tiba-tiba.3 Kelainan
lain berupa konjungtivitis, edema periorbital, perdarahan subkonjungtival, uveitis
dan adanya badan sitoid di retina. 1
10. Kehamilan
E. Diagnosis
7. Gangguan renal a.. Proteinuria menetap >0.5 gram per hari atau >3+ bila tidak
dilakukan pemeriksaan kuantitatifatau
b. Silinder seluler : – dapat berupa silinder eritrosit,
hemoglobin, granular, tubular atau campuran.
8. Gangguan neurologi a. Kejang yang bukan disebabkan oleh obat-obatan atau
gangguan metabolik ( misalnya uremia, ketoasidosis, atau
ketidak-seimbangan elektrolit).atau
b. Psikosis yang bukan disebabkan oleh obat-obatan atau
gangguan metabolik (misalnya uremia, ketoasidosis, atau
ketidak-seimbangan elektrolit).
Kriteria Laboratorium
9. Kelainan hematologik a. Anemia hemolitik dengan retikulosisatau
b. Leukopenia <4.000/mm3 pada dua kali pemeriksaan atau
lebih atau
c. Limfopenia <1.500/mm3 pada dua kali pemeriksaan atau
lebih atau
10 | S L E P a d a K e h a m i l a n
palsu terhadap sifilis paling tidak selama 6 bulan dan
dikonfirmasi dengan test imobilisasi Treponema pallidum atau
tes fluoresensi absorpsi antibodi treponema.
11. Antibodi antinuklearpositif Titer abnormal dari antibodi anti-nuklear berdasarkan
(ANA) pemeriksaan imunofluoresensi atau pemeriksaan setingkat pada
setiap kurun waktu perjalan penyakit tanpa keterlibatan obat
yang diketahui berhubungan dengan sindroma lupus yang
diinduksi obat.
Bila dijumpai 4 atau lebih kriteria diatas, diagnosis SLE memiliki sensitifitas
85% dan spesifisitas 95%. Sedangkan bila hanya 3 kriteria dan salah satunya ANA
positif, maka sangat mungkin SLE dan diagnosis bergantung pada pengamatan
klinis. Bila hasil tes ANA negatif, maka kemungkinan bukan SLE. Apabila hanya
tes ANA positif dan manifestasi klinis lain tidak ada, maka belum tentu SLE, dan
observasi jangka panjang diperlukan. 6
Pemeriksaan Penunjang
a. Pemeriksaan Darah Rutin dan Pemeriksaan Urin.
Pemeriksaan penunjang yang dilakukan pada penyakit Lupus Eritematosus
Sistemik ( SLE ) adalah pemeriksaan darah rutin dan pemeriksaan urin. Hasil
pemeriksaan darah pada penderita SLE menunjukkan adanya anemia hemolitik,
trombositopenia, limfopenia, atau leukopenia; erytrocytesedimentation rate
(ESR) meningkat selama penyakit aktif, Coombs test mungkin positif, level IgG
mungkin tinggi, ratio albumin-globulin terbalik, dan serum globulin meningkat.
Selain itu, hasil pemeriksaan urin pada penderita SLE menunjukkan adanya
proteinuria, hematuria, peningkatan kreatinin, dan ditemukannya Cast, heme
granular atau sel darah merah pada urin. 7
b. Pemeriksaan Autoantibodi.
Proses patogenik setiap penyakit tidak terlepas kaitannya dengan berbagai
proses imunologik, baik yang non spesifik atau spesifik. Kaitan tersebut tentunya
terlihat lebih nyata pada penyakit-penyakit autoimun termasuk di dalamnya SLE,
11 | S L E P a d a K e h a m i l a n
Arthritis Reumatoid, sindroma Sjogren dan sebagainya. Adanya antibodi
termasuk autoantibodi sering dipakai dalam upaya membantu penegakkan
diagnosis maupun evaluasi perkembangan penyakit dan terapi yang diberikan.
Pembentukan autoantibodi cukup kompleks dan belum ada satu kajian yang
mampu menjelaskan secara utuh mekanisme patofisiologiknya. Demikian pula
halnya dengan masalah otoimunitas. Pada masalah yang terakhir, dikatakan
terdapat kekacauan dalam sistim toleransi imun dengan sentralnya pada T-helper
dan melahirkan banyak hipotesis, antara lain modifikasi autoantigen, kemiripan
atau mimikri molekuler antigenik terhadap epitop sel-T, cross reactive peptide
terhadap epitop sel-B, mekanisme bypass idiotipik, aktivasi poliklonal dan
sebaginya. Mekanisme lain juga dapat dilihat dari sudut adanya gangguan
mekanisme regulasi sel baik dari tingkat thymus sampai ke peripher. Kekacauan
ini semakin besar kesempatan terjadinya sejalan dengan semakin bertambahnya
usia seseorang.
Umumnya, autoantibodi itu sendiri tidak segera menyebabkan penyakit. Oleh
karenanya, lebih baik autoantibodi dipandang sebagai petanda (markers) proses
patologik daripada sebagai agen patologik. Kadarnya yang dapat naik atau turun
dapat berkaitan dengan aktivitas penyakit atau sebagai hasil intervensi terapi.
Kompleks autoantigen dan autoantibodilah yang akan memulai rangkaian
penyakit autotoimun. Hingga saat ini hipotesis yang dianut adalah autoantibodi
baru dikatakan memiliki peran dalam perkembangan suatu penyakit reumatik
autoimun apabila ia berperan dalam proses patologiknya.7
c. Antibodi Antinuklear.
Antinuklear antibodi (ANA) merupakan suatu kelompok autoantibodi yang
spesifik terhadap asam nukleat dan nukleoprotein, ditemukan pada connective
tissue disease seperti SLE, sklerosis sistemik, Mixed Connective Tissue Disease
(MCTD) dan sindrom sjogren’s primer. ANA pertama kali ditemukan oleh
Hargreaves pada tahun 1948 pada sumsum tulang penderita LES. Dengan
perkembangan pemeriksaan imunodifusi dapat ditemukan spesifisitas ANA yang
baru seperti Sm, nuclear ribocleoprotein (nRNP), Ro/SS-A dan La/SS-B.
ANA dapat diperiksa dengan menggunakan metode imunofluoresensi. ANA
digunakan sebagai pemeriksaan penyaring pada connective tissue disease.
12 | S L E P a d a K e h a m i l a n
Dengan pemeriksaan yang baik, 99% penderita LES menunjukkan pemeriksaan
yang positif, 68% pada penderita sindrom Sjogrens dan 40% pada penderita
skleroderma.ANA juga pada 10% populasi normal yang berusia > 70 tahun. 7
Karena infeksi sering terjadi pada penderita LES, penderita harus selalu
diingatkan bila mengalami demam yang tidak jelas penyebabnya, terutama pada
penderita yang memperoleh kortikosteroid dosis tinggi, obat-obat sitotoksik,
penderita dengan gagal ginjal, vegetasi katup jantung, ulkus di kulit dan mukosa.
Profilaksis antibiotika harus dipertimbangkan pada penderita LES yang akan
menjalani prosedur genitourinarius, cabut gigi dan prosedur invasif lainnya.
Pengaturan kehamilan sangat penting pada penderita LES, terutama penderita
dengan nefritis, atau penderita yang mendapat obat-obat yang merupakan
kontraindikasi untuk kehamilan, misalnya antimalaria atau siklofosfamid.
Kehamilan juga dapat mencetuskan eksaserbasi akut LES dan 23
13 | S L E P a d a K e h a m i l a n
memiliki risiko tersendiri terhadap fetus. Oleh sebab itu, pengawasan aktifitas
penyakit harus lebih ketat selama kehamilan. 1
14 | S L E P a d a K e h a m i l a n
2. Pengaruh LES terhadap Kehamilan
15 | S L E P a d a K e h a m i l a n
hamil. Untuk menegakkan diagnosa LEN, The Research Registry for
Neonatal Lupus memberikan dua kriteria sebagai berikut :
16 | S L E P a d a K e h a m i l a n
Penderita SLE yang telah mengalami remisi lebih dari 6 bulan
sebelumnya mempunyai resiko 25% terjadinya eksaserbasi pada saat hamil
dan 90% kehamilannnya baik. Tetapi bila masa remisi SLE sebelum hamil
kurang dari 6 bulan maka resiko eksaserbasi LES pada saat hamil menjadi
50 %. Akibatnya terjadi komplikasi selama kehamilan baik pada ibu maupun
janin dengan prognosis yang jelek. Dampak terhadap ibu yaitu meningkatnya
resiko preeklamsi dan eklamsi dengan prediktor diantaranya nefritis dan
tingginya skor Systemic Lupus Erythmatosus Disease Activity Index
(SLEDAI). Dampak buruk pada janin berakibat resiko kelahiran prematur,
kelainan pertumbuhan janin dan kematian janin dan syndrom neonatal lupus.
5. Prenatal care
6. Penatalaksanaan
Ada 2 hal yang perlu diperhatikan pada penatalaksanaan LES dengan
kehamilan yaitu :
a. Kehamilan dapat mempengaruhi perjalanan penyakit LES
17 | S L E P a d a K e h a m i l a n
b. Plasenta dan janin dapat menjadi target dari otoantibodib maternal
sehingga dapat berakhir dengan kegagalan kehamilan dan terjadinya
Lupus Eritematosus Neonatal.6
18 | S L E P a d a K e h a m i l a n
terhambat, ketuban pecah dini, diabetes gestasional, hipertensi, dan
osteoporosis. 6
Imunosupresan diberikan pada penderita yang tidak responsive
terhadap terapi glukokortikoid selama 4 minggu. Siklofostamid diberikan
bolus intravena 0,5 g/m2 body surface dalam 150 cc NaCl 0,9 selama 60
menit diikuti dengan pemberian cairan 2-3 liter/24 jam. Indikasi peberian
Siklofosfamid adalah sebagai berikut :
a. Penderita LES yang membutuhkan steroid dosis tinggi
b. Penderita LES yang dikontraindikasikan terhadap steroid dosis tinggi.
c. Penderita LES yang kambuh setelah terapi steroid jangka
panjang/berulang
d. Glomerulonefritis difus awal
e. LES dengan trombositopenia yang resisten terhadap steroid.
f. Penurunan laju fitrasi glomerulus atau peningkatan kreatinin tanpa
disertai denganfaktor ekstra renal lainnya.
g. LES dengan manifestasi susunan saraf pusat
19 | S L E P a d a K e h a m i l a n
salisilat juga dilaporkan telah menyebabkan oligohidramnion, penutupan
prematur dari duktus arteriosus dan hipertensi pulmonal pada neonatus.
Pemakaian NSAID atau aspirin dihindari beberapa minggu sebelum
persalinan. Hidroksiklorokuin juga sering dipakai dalam pengobatan LES dan
sampai saat ini pemakaian obat ini cukup aman untuk wanita hamil.6
8. Prognosis
Prognosa ibu hamil yang menderita SLE ditentukan pada saat
konsepsi, bila konsepsi terjadi pada masa remisi maka prognosanya akan
lebih baik. bila dalam waktu kurang dari 6 bulan sebelum konsepsi terdapat
riwayat nefritis dan penyakit SLE aktif dengan skor SLEDAI 4 atau lebih
akan beresiko berdampak buruk terhadap janin. Penderita SLE yang telah
mengalami masa remisi lebih dari 6 bulan sebelum hamil mempunyai resiko
25% eksaserbasi pada masa hamil dibandingkan dengan bila masa remisi
SLE sebelum hamil kurang dari 6 bulan maka resiko eksaserbasi SLE pada
saat hamil menjadi 50% dengan dampak kehamilan yang buruk.
Hal ini menunjukan bahwa kehamilan pada penderita SLE
sangat ditentukan dari aktifitas penyakitnya, konsepsi yang terjadi pada saat
20 | S L E P a d a K e h a m i l a n
remisi mempunyai dampak kehamilan yang baik dibandingkan dengan
sebelum mencapai remisi. Dengan penyakit yang stabil atau menderita flare
yang relatif jarang atau hanya sedikit dalam kehamilan akan melahirkan bayi
yang sehat.7
21 | S L E P a d a K e h a m i l a n
BAB III
PENUTUP
22 | S L E P a d a K e h a m i l a n
DAFTAR PUSTAKA
1. Albar Z. Lupus eritematosus sistemik. Dalam: Noer MS, editor kepala. Ilmu
penyakit dalam. Edisi 3. Jakarta: Balai Penerbit FKUI; 1996. h: 150-9.
2. Rubin E, editor. In: Essential pathology: Lupus eritematosus sistemik. 3th
edition. Philadelphia: Lippicott Williams & Wilkins; 2001. p: 86-8,468-
9,650.
3. Simon H, editor-in-chief. Sistemic Lupus Erythematosus. 2000 March.
Available from:http://wellness.ucdavis.edu/medical_conditions_az/sistemic
lupus63.html. Accessed: 2004 September 17.
4. Varghese stephy, Crocker Ian, Bruce N Ian & Tower Clare. 2011. Systemic
Lupus Erythematosus, Regulatory T Cells and Pregnancy. From
www.expert-reviews.com/toc/eci/7/5. Diunduh tanggal 10 Februari 2012.
5. Kusuma Jaya Ngurah Agung. 2007. Lupus Eritematosus Sistemik Pada
Kehamilan. dipublikasikan dalam Jurnal Penyakit Dalam 2011. Diunduh
tanggal 21 Maret 2012.
6. Dkdkd
7. Zvezdanovic L, Dordevic V, Cosic V, Cvetkovic T, Kundalic S, Stankovic
A. The significance of cytokines in diagnosis of autoimmune diseases.
Jugoslov Med Biohem 2006;25:363-372.
8. Branch WD, Porter TF, autoimune disease. In: DK james, PJ Steer, CP
Wefer, B Gonk, editor.High risk pregnancy, management options. Second
edition.London, W.b saunders.1999. p : 853-864.
23 | S L E P a d a K e h a m i l a n