Anda di halaman 1dari 23

BAB I

PENDAHULUAN

Lupus eritematosus sistemik (SLE) merupakan penyakit radang multisistem


yang sebabnya belum diketahui, dengan perjalanan penyakit yang mungkin akut dan
fulminan atau kronik remisi dan eksaserbasi1. SLE merupakan prototipe dari
penyakit autoimun sistemik dimana autoantibodi dibentuk melawan sel tubuhnya
sendiri.2 Karakteristik primer peyakit ini berupa kelemahan, nyeri sendi, dan traum
berulang pada pembuluh darah. SLE melibatkan hampir semua organ, namun paling
sering mengenai kulit, sendi, darah, membran serosa, jantung dan ginjal.2,3

Kehamilan pada ibu dengan penyakit Sistemik Lupus Erithematosus (SLE)


sangat berhubungan dengan tingkat kesakitan dan kematian ibu serta janin. Resiko
kematian ibu hamil yang menderita SLE memiliki dampak 20 kali lebih tinggi
karena komplikasi yang disebabkan oleh preeklamsi, trombosis, infeksi dan kelainan
darah.

1|SLE Pada Kehamilan


BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian SLE

Sistemik Lupus Erithematosus (SLE) merupakan salah satu penyakit reaksi


autoimun. Penyakit autoimun ini bersifat kronis dan multi sistem yang disebabkan
oleh pengendapan kompleks imun dengan manifestasi klinik yang beragam pada
beberapa organ tubuh. Antibodi yang seharusnya melindungi tubuh terhadap
berbagai antigen asing yang mengakibatkan gangguan pada tubuh malah merusak
organ tubuh itu sendiri. Beberapa organ tubuh yang terkena diantaranya kulit,
sistem syaraf, darah, muskuloskeletal, ginjal, jantung, paru dan bahkan bisa
menyebabkan terjadinya kelumpuhan.4

B. Epidemiologi

Diperkiranan penderita SLE mencapai 5 juta orang diseluruh dunia.


Prevalensi SLE di India sangat kecil ditemukan 3 kasus per 100.000 populasi yang
dilaporkan. Kejadian SLE di UK dilaporkan 49,6 kasus per 100.000 populasi.
Data tahun 2005 di Indonesia angka kejadian penderita SLE di RSU Dr. Soetomo
Surabaya selama tahun 2005 sebanyak 81 orang dan prevalensi penyakit ini
menempati urutan keempat setelah osteoartritis, reumatoid artritis, dan low back
pain. Penderita SLE di RSU Dr. Saiful Anwar Malang pada bulan Januari sampai
dengan Agustus 2006 ada 14 orang dan 1 orang meninggal dunia. Data penderita
SLE di Indonesia pada pertengahan tahun 2010 meningkat sebanyak 10.314 kasus
dan angka ini terus meningkat pesat. Sebanyak 8 dari 10 kasus baru yang muncul

2|SLE Pada Kehamilan


terjadi pada wanita usia 15-60 tahun). Tingginya kasus SLE ini merupakan salah
satu hal yang harus diwaspadai karena banyak faktor merugikan yang
mempengaruhi fungsi tubuh akibat gangguan sistem autoimun.
Penyakit SLE menyerang hampir pada 90% wanita yang terjadi pada rentang
usia reproduksi antara usia 15-40 tahun dengan rasio wanita dan laki-laki adalah 5 :
1.5

C. Eiologi dan Patofisiologi

Hingga kini penyebab SLE belum diketahui dengan jelas. Namun


diperkirakan berkaitan erat dengan beberapa faktor, antara lain autoimun, kelainan
genetik, faktor lingkungan, obat-obatan 3

1. Autoimun

Mekanisme primer SLE adalah autoimunitas, suatu proses kompleks dimana


sistem imun pasien menyerang selnya sendiri. Pada SLE, sel-T menganggap sel
tubuhnya sendiri sebagai antigen asing dan berusaha mengeluarkannya dari tubuh.
Diantara kejadian tersebut terjadi stimulasi limfosit sel B untuk menghasilkan
antibodi, suatu molekul yang dibentuk untuk menyerang antigen spesifik. Ketika
antibodi tersebut menyerang sel tubuhnya sendiri, maka disebut autoantibodi. Sel B
menghasilkan sitokin. Sitokin tertentu disebut interleukin, seperti IL 10 dan IL 6,
memegang peranan penting dalam SLE yaitu dengan mengatur sekresi autoantibodi
oleh sel B. 3

Pada sebagian besar pasien SLE, antinuklear antibodi (ANA) adalah antibodi
spesifik yang menyerang nukleus dan DNA sel yang sehat. Terdapat dua tipe ANA,
yaitu anti-doule stranded DNA (anti-ds DNA) yang memegang peranan penting
pada proses autoimun dan anti-Sm antibodies yang hanya spesifik untuk pasien SLE.
3
Dengan antigen yang spesifik, ANA membentuk kompleks imun yang beredar
dalam sirkulasi sehingga pengaturan sistem imun pada SLE terganggu yaitu berupa
gangguan klirens kompleks imun besar yang larut, gangguan pemrosesan kompleks
imun dalam hati, dan penurunan uptake kompleks imun oleh ginjal. Sehingga

3|SLE Pada Kehamilan


menyebabkan terbentuknya deposit kompleks imun di luar sistem fagosit
mononuklear. Kompleks ini akan mengendap pada berbagai macam organ dan
menyebabkan terjadinya fiksasi komplemen pada organ tersebut dan aktivasinya
menghasilkan substansi yang menyebabkan radang. Reaksi radang inilah yang
menyebabkan keluhan pada organ yang bersangkutan. 1

Sekitar setengah dari pasien SLE memiliki antibodi antifosfolipid. Antibodi


ini menyerang fosfolipid, suatu kumpulan lemak pada membran sel. Antifosfolipid
meningkatkan resiko menggumpalnya darah, dan mungkin berperan dalam
penyempitan pembuluh darah serta rendahnya jumlah hitung darah. 3

Antibodi tersebut termasuk lupus antikoagulan (LAC) dan antibodi


antikardiolipin (ACAs). Mungkin berupa golongan IgG, IgM, IgA yang berdiri
sendiri-sendiri ataupun kombinasi. Sekalipun dapat ditemukan pada orang normal,
namun mereka juga dihubungkan dengan sindrom antibodi antifosfolipid, dengan
gambaran berupa trombosis arteri dan/atau vena berulang, trombositopenia,
kehilangan janin-terutama kelahiran mati, pada pertengahan kedua kehamilan.
Sindrom ini dapat terjadi sendirian atau bersamaan dengan SLE atau gangguan
autoimun lainnya.

2. Genetik

Faktor genetik memegang peranan penting dalam kerentanan dan ekspresi


penyakit. Sekitar 10-20% pasien SLE memiliki kerabat dekat yang juga menderita
1
SLE. Saudara kembar identik sekitar 25-70% (setiap pasien memiliki manifestasi
4
klinik yang berbeda) sedangkan non-identik 2-9%.1 Jika seorang ibu menderita
SLE maka kemungkinan anak perempuannya untuk menderita penyakit yang sama
adalah 1:40 sedangkan anak laki-laki 1:25. Penelitian terakhir menunjukkan adanya
peran dari gen-gen yang mengkode unsur-unsur sistem imun. Kaitan dengan
haptolip MHC tertentu, terutama HLA-DR2 dan HLA-DR3 serta komplemen (C1q ,
C1r , C1s , C4 dan C2) telah terbukti. 1

Suatu penelitian menemukan adanya kelainan pada 4 gen yang mengatur


apoptosis, suatu proses alami pengrusakan sel. Penelitian lain menyebutkan bahwa

4|SLE Pada Kehamilan


terdapat beberapa kelainan gen pada pasien SLE yang mendorong dibentuknya
kompleks imun dan menyebabkan kerusakan ginjal. 3

3. Faktor Lingkungan

Satu atau lebih faktor eksternal dapat memicu terjadinya respon autoimun
pada seseorang dengan kerentanan genetik. Pemicu SLE termasuk, flu, kelelahan,
stres, kontrasepsi oral, bahan kimia, sinar matahari dan beberapa obat-obatan. 3

Virus. Pemicu yang paling sering menyebabkan gangguan pada sel T adalah
virus. Beberapa penelitian menyebutkan adanya hubungan antara virus Epstein-Barr,
cytomegalovirus dan parvovirus-B19 dengan SLE. Penelitian lain menyebutkan
adanya perbedaan tipe khusus SLE bagian tiap-tiap virus, misalnya cytomegalovirus
yang mempengaruhi pembuluh darah dan menyebabkan fenomena Raynaud
(kelainan darah), tapi tidak banyak mempengaruhi ginjal. 3

Sinar matahari. Sinar ultraviolet (UV) sangat penting sebagai pemicu


tejadinya SLE. Ketika mengenai kulit, UV dapat mengubah struktur DNA dari sel di
bawah kulit dan sistem imun menganggap perubahan tersebut sebagai antigen asing
dan memberikan respon autoimun. 3

Drug-Induced Lupus. Terjadi setelah pasien menggunakan obat-obatan


tertentu dan mempunyai gejala yang sama dengan SLE. Karakteristik sindrom ini
adalah radang pleuroperikardial, demam, ruam dan artritis. Jarang terjadi nefritis dan
gangguan SSP. Jika obat-obatan tersebut dihentikan, maka dapat terjadi perbaikan
manifestasi klinik dan dan hasil laoratoium.

Hormon. Secara umum estrogen meningkatkan produksi antibodi dan


menimbulkan flare sementara testosteron mengurangi produksi antibodi. Sitokin
berhubungan langsung dengan hormon sex. Wanita dengan SLE biasanya memiliki
hormon androgen yang rendah, dan beberapa pria yang menderita SLE memiliki
level androgen yang abnormal.3 Penelitian lain menyebutkan bahwa hormon
prolaktin dapat merangsang respon imun. 1

5|SLE Pada Kehamilan


D. Manifestasi Klinis

Gejala klinis dan perjalanan penyakit SLE sangat bervariasi. Onset penyakit
dapat spontan atau didahului oleh faktor presipitasi.

1. Sistemik

Setiap serangan biasanya disertai dengan gejala umum yang jelas seperti
demam, malaise, kelemahan, nafsu makan berkurang, berat badan menurun, dan
iritabilitas. Yang paling menonjol adalah demam, kadang-kadang disertai menggigil.

2. Muskulosketal
Gejala yang paling sering berupa artritis atau atralgia dan biasanya
mengawali gejala yang lain. Selain kelemahan dan edema dapat pula terjadi efusi
yang bersamaan dengan poliartritis yang bersifat simetris, nonerosif, dan biasanya
tanpa deformitas4, bukan kontraktur atau ankilosis. Kaku pagi hari jarang ditemukan.
Adakalanya terdapat nodul reumatoid. Mungkin juga terdapat nyeri otot dan
1
miositis. Paling sering mengenai interfalangeal proksimal (PIP) dan
metakarpofalangeal, pergelangan tangan, siku dan lutut.

3. Hematologi
Anemia, hemolisis, leukopenia, trombositopenia, antikoasalan lupus.

4. Gejala mukokutan
Ruam kulit yang dianggap khas untuk SLE adalah ruam kulit berbentuk
kupu-kupu (butterfly rash) berupa eritema pada hidung dan kedua pipi. Pada bagian
tubuh yang terpapar matahari dapat timbul ruam kulit yang terjadi karena
hipersensitivitas.

Lesi diskoid berkembang melalui 3 tahap yaitu eritema, hiperkeratosis dan


atrofi. Biasanya tampak sebagai bercak eritematosus yang meninggi, tertutup oleh

6|SLE Pada Kehamilan


sisik keratin disertai penyumbatan folikel, dan jika telah berlangsung lama akan
terbentuk sikatriks. 1

Vaskulitis kulit dapat berupa memar yang dalam dan bisa menyebabkan
ulserasi serta perdarahan jika terjadi pada membran mukosa mulut, hidung, atau
vagina. Pada beberapa orang dapat terjadi livido retikularis, lesi ungu-kemerahan
pada jari-jari tangan dan kaki atau dekat kuku jari.3 Alopesia dapat pulih kembali
jika penyakit mengalami remisi. Kadang-kadang terdapat urtikaria yang tidak
dipengaruhi oleh kortikosteroid dan antihistamin. Biasanya hilang beberapa bulan
setelah penyakit tenang secara klinis dan serologis. 1

5. Sistem saraf
Disfungsi mental ringan merupakan gejala yang paling umum, namun dapat
pula mengenai setiap daerah otak, saraf spinal, atau sistem saraf. Beberapa gejala
yang mungkin tampak adalah seizure, psikosis, organic brain syndrome, dan sakit
kepala. Pencitraan otak menunjukkan adanya kerusakan serabut saraf dan mielin.
Gejala yang tampak berupa irritabilitas, kecemasan, depresi, serta gangguan ingatan
dan konsentrasi ringan.

6. Kardiopulminal
Kelainan jantung dapat berupa perikarditis ringan sampai berat (efusi
perikard), iskemia miokard dan endokarditis verukosa.3 Keadaan tersebut dapat
menimbulkan nyeri dan arithmia.

Efusi pleura , dan pleuritis dapat terjadi pada SLE. Diagnosis pneumonitis
lupus baru dapat ditegakkan jika faktor-faktor lain telah disingirkan seperti infeksi,
virus jamur, tuberkulosis.1 Gejalanya berupa takipnea, batuk, dan demam.
Hemoptisis menandakan terjadinya pulmonary hemorhage. Nyeri dada dan
pernapasan pendek sering tejadi bersama gangguan tersebut.

7|SLE Pada Kehamilan


7. Ginjal
Sebanyak 70% pasien SLE akan mengalami kelainan ginjal. Pengendapan
komplek imun yang mungkin mengandung ds-DNA, bertanggung jawab atas
terjadinya kelainan ginjal. Bentuk in situ kompleks imun memungkinkan pengikatan
DNA ke membran basalis glomeruluis dan matriks ekstraseluler. Dengan mikroskop
elektron, kompleks imun akan tampak dalam pola kristalin di daerah mesangeal,
subendotelial atau subepitelial. IgG merupakan imunoglobulin yang paling sering
tampak diikuti oleh IgA dan IgM. Kadang-kadang tampak IgG, IgA, IgM, C3, C4
dan C1q pada glomerulus yang sama (pola “full house“).2

8. Saluran pencernaan
Sekitar 45% pasien SLE menderita masalah gastrointestinal, termasuk
nausea, kehilangan berat badan, nyeri abdomen ringan, dan diare.3 Radang traktus
intestinal jarang terjadi yaitu sekitar 5% pasien dan menyebabkan kram akut,
muntah, diare, dan walaupun jarang, perforasi usus. Retensi cairan dan
pembengkakan dapat menyebabkan terjadinya obstruksi intestinal. 3

9. Mata
Peradangan pembuluh darah pada mata dapat mengurangi suplai darah ke
retina, sehingga menyebabkan degenerasi sel saraf dan resiko terjadinya perdarahan
retina. Gejala yang paing umum adalah cotton-wool-like spots pada retina. Sekitar
5% pasien mengalami kebutaan sementara yang terjadi secara tiba-tiba.3 Kelainan
lain berupa konjungtivitis, edema periorbital, perdarahan subkonjungtival, uveitis
dan adanya badan sitoid di retina. 1

10. Kehamilan

Abortus berulang, preeklamsia dan kematian janin

8|SLE Pada Kehamilan


Tabel 1.1 Persentase spektrum klinis SLE6

Sistem Organ Manifestasi Klinik %


Sistemik Lemah, demam, anoreksia, penurunan berat badan 95
Muskuloskeletal Artralgia, mialgia, poliartritis, miopati 95
Hamatologi Anemia, hemolisis, leukopenia, trombositopenia, 85
antikoasalan lupus.
Kulit Ras kupu-kupu, ruam kulit, fotosensivitas, ulkus mulut, 80
hopesia, ras kulit
Neurologik Disfungsi kongenital, gangguan berpikir, sakit kepala, 60
kejang
Kardiopulmonal Pleuritis, perikarditis, miokarditis, endokarditis Libman- 60
Sacks
Ginjal Proteinuria, sindroma nefrotik, gagal ginjal 60
Gastrointestinal Anoreksia, mual, nyeri, diare 45
Mata Infeksi konjungtiva 15
Kehamilan Abortus berulang, preeklamsia, kematian janin 30

E. Diagnosis

Tabel 1.2 Kriteria Diagnosis SLE menurut American College of Rheumatology,


revisi tahun 1997.6

Kriteria untuk Kelainan Kulit


1. Ruam Malar (butterfly rash) Eritema yang menetap, rata atau menonjol, pada daerah malar
dan cenderung tidak melibatkan lipatNasolabial
2. Ruam/ lesi discoid Plak eritema menonjol dengan keratotik dan sumbatan
folikular. Pada SLE lanjut dapat ditemukanparut atrofik
3. Fotosensitifitas Ruam kulit yang diakibatkan reaksi abnormal terhadap sinar
matahari, baik dari anamnesis pasien atauyang dilihat oleh
dokter pemeriksa

9|SLE Pada Kehamilan


4. Ulkus mulut Ulkus mulut atau orofaring, umumnya tidak nyeri dan dilihat
oleh dokter pemeriksa
Kriteria Sistemik
5. Artritis Artritis non erosif yang melibatkan dua atau lebih sendi perifer,
ditandai oleh nyeri tekan, bengkak atau efusi
6. Serositis, yaitu Pleuritis Riwayat nyeri pleuritik atau pleuritic friction rub yang
Perikarditis didengar oleh dokter pemeriksa atau terdapat bukti efusi
pleura.Terbukti dengan rekaman EKG atau pericardial friction
rub atau terdapat bukti efusiperikardium.

7. Gangguan renal a.. Proteinuria menetap >0.5 gram per hari atau >3+ bila tidak
dilakukan pemeriksaan kuantitatifatau
b. Silinder seluler : – dapat berupa silinder eritrosit,
hemoglobin, granular, tubular atau campuran.
8. Gangguan neurologi a. Kejang yang bukan disebabkan oleh obat-obatan atau
gangguan metabolik ( misalnya uremia, ketoasidosis, atau
ketidak-seimbangan elektrolit).atau
b. Psikosis yang bukan disebabkan oleh obat-obatan atau
gangguan metabolik (misalnya uremia, ketoasidosis, atau
ketidak-seimbangan elektrolit).
Kriteria Laboratorium
9. Kelainan hematologik a. Anemia hemolitik dengan retikulosisatau
b. Leukopenia <4.000/mm3 pada dua kali pemeriksaan atau
lebih atau
c. Limfopenia <1.500/mm3 pada dua kali pemeriksaan atau
lebih atau

d. Trombositopenia <100.000/mm3 tanpa disebabkan oleh


obat-obatan
10. Kelainan imunologik a. Anti-DNA: antibodi terhadap native DNA dengan titer yang
abnormal atau
b. Anti-Sm: terdapatnya antibodi terhadap antigen nuklear Sm
atau
c. Temuan positif terhadap antibodi antifosfolipid yang
didasarkan atas: 1) kadar serum antibodi antikardiolipin
abnormal baik IgG atau IgM, 2) Tes lupus antikoagulan positif
menggunakan metoda standard, atau 3) hasil tes serologi positif

10 | S L E P a d a K e h a m i l a n
palsu terhadap sifilis paling tidak selama 6 bulan dan
dikonfirmasi dengan test imobilisasi Treponema pallidum atau
tes fluoresensi absorpsi antibodi treponema.
11. Antibodi antinuklearpositif Titer abnormal dari antibodi anti-nuklear berdasarkan
(ANA) pemeriksaan imunofluoresensi atau pemeriksaan setingkat pada
setiap kurun waktu perjalan penyakit tanpa keterlibatan obat
yang diketahui berhubungan dengan sindroma lupus yang
diinduksi obat.

Bila dijumpai 4 atau lebih kriteria diatas, diagnosis SLE memiliki sensitifitas
85% dan spesifisitas 95%. Sedangkan bila hanya 3 kriteria dan salah satunya ANA
positif, maka sangat mungkin SLE dan diagnosis bergantung pada pengamatan
klinis. Bila hasil tes ANA negatif, maka kemungkinan bukan SLE. Apabila hanya
tes ANA positif dan manifestasi klinis lain tidak ada, maka belum tentu SLE, dan
observasi jangka panjang diperlukan. 6

Pemeriksaan Penunjang
a. Pemeriksaan Darah Rutin dan Pemeriksaan Urin.
Pemeriksaan penunjang yang dilakukan pada penyakit Lupus Eritematosus
Sistemik ( SLE ) adalah pemeriksaan darah rutin dan pemeriksaan urin. Hasil
pemeriksaan darah pada penderita SLE menunjukkan adanya anemia hemolitik,
trombositopenia, limfopenia, atau leukopenia; erytrocytesedimentation rate
(ESR) meningkat selama penyakit aktif, Coombs test mungkin positif, level IgG
mungkin tinggi, ratio albumin-globulin terbalik, dan serum globulin meningkat.
Selain itu, hasil pemeriksaan urin pada penderita SLE menunjukkan adanya
proteinuria, hematuria, peningkatan kreatinin, dan ditemukannya Cast, heme
granular atau sel darah merah pada urin. 7

b. Pemeriksaan Autoantibodi.
Proses patogenik setiap penyakit tidak terlepas kaitannya dengan berbagai
proses imunologik, baik yang non spesifik atau spesifik. Kaitan tersebut tentunya
terlihat lebih nyata pada penyakit-penyakit autoimun termasuk di dalamnya SLE,

11 | S L E P a d a K e h a m i l a n
Arthritis Reumatoid, sindroma Sjogren dan sebagainya. Adanya antibodi
termasuk autoantibodi sering dipakai dalam upaya membantu penegakkan
diagnosis maupun evaluasi perkembangan penyakit dan terapi yang diberikan.
Pembentukan autoantibodi cukup kompleks dan belum ada satu kajian yang
mampu menjelaskan secara utuh mekanisme patofisiologiknya. Demikian pula
halnya dengan masalah otoimunitas. Pada masalah yang terakhir, dikatakan
terdapat kekacauan dalam sistim toleransi imun dengan sentralnya pada T-helper
dan melahirkan banyak hipotesis, antara lain modifikasi autoantigen, kemiripan
atau mimikri molekuler antigenik terhadap epitop sel-T, cross reactive peptide
terhadap epitop sel-B, mekanisme bypass idiotipik, aktivasi poliklonal dan
sebaginya. Mekanisme lain juga dapat dilihat dari sudut adanya gangguan
mekanisme regulasi sel baik dari tingkat thymus sampai ke peripher. Kekacauan
ini semakin besar kesempatan terjadinya sejalan dengan semakin bertambahnya
usia seseorang.
Umumnya, autoantibodi itu sendiri tidak segera menyebabkan penyakit. Oleh
karenanya, lebih baik autoantibodi dipandang sebagai petanda (markers) proses
patologik daripada sebagai agen patologik. Kadarnya yang dapat naik atau turun
dapat berkaitan dengan aktivitas penyakit atau sebagai hasil intervensi terapi.
Kompleks autoantigen dan autoantibodilah yang akan memulai rangkaian
penyakit autotoimun. Hingga saat ini hipotesis yang dianut adalah autoantibodi
baru dikatakan memiliki peran dalam perkembangan suatu penyakit reumatik
autoimun apabila ia berperan dalam proses patologiknya.7

c. Antibodi Antinuklear.
Antinuklear antibodi (ANA) merupakan suatu kelompok autoantibodi yang
spesifik terhadap asam nukleat dan nukleoprotein, ditemukan pada connective
tissue disease seperti SLE, sklerosis sistemik, Mixed Connective Tissue Disease
(MCTD) dan sindrom sjogren’s primer. ANA pertama kali ditemukan oleh
Hargreaves pada tahun 1948 pada sumsum tulang penderita LES. Dengan
perkembangan pemeriksaan imunodifusi dapat ditemukan spesifisitas ANA yang
baru seperti Sm, nuclear ribocleoprotein (nRNP), Ro/SS-A dan La/SS-B.
ANA dapat diperiksa dengan menggunakan metode imunofluoresensi. ANA
digunakan sebagai pemeriksaan penyaring pada connective tissue disease.

12 | S L E P a d a K e h a m i l a n
Dengan pemeriksaan yang baik, 99% penderita LES menunjukkan pemeriksaan
yang positif, 68% pada penderita sindrom Sjogrens dan 40% pada penderita
skleroderma.ANA juga pada 10% populasi normal yang berusia > 70 tahun. 7

F. Penatalaksanaan LES secara umum.

Penyuluhan dan intervensi psikososial sangat penting diperhatikan dalam


penatalaksanaan penderita LES, terutama pada penderita yang baru terdiagnosis. Hal
ini dapat dicapai dengan penyuluhan langsung kepada penderita atau dengan
membentuk kelompok penderita yang bertemu secara berkala untuk membicarakan
masalah penyakitnya. Pada umumnya, penderita LES mengalami fotosensitivitas
sehingga penderita harus selalu diingatkan untuk tidak terlalu banyak terpapar oleh
sinar matahari. Mereka dinasihatkan untuk selalu menggunakan krim pelindung
sinar matahari, baju lengan panjang, topi atau payung bila akan berjalan di siang
hari. Pekerja di kantor juga harus dilindungi terhadap sinar matahari dari jendela.
Selain itu, penderita LES juga harus menghindari rokok. 1

Karena infeksi sering terjadi pada penderita LES, penderita harus selalu
diingatkan bila mengalami demam yang tidak jelas penyebabnya, terutama pada
penderita yang memperoleh kortikosteroid dosis tinggi, obat-obat sitotoksik,
penderita dengan gagal ginjal, vegetasi katup jantung, ulkus di kulit dan mukosa.
Profilaksis antibiotika harus dipertimbangkan pada penderita LES yang akan
menjalani prosedur genitourinarius, cabut gigi dan prosedur invasif lainnya.
Pengaturan kehamilan sangat penting pada penderita LES, terutama penderita
dengan nefritis, atau penderita yang mendapat obat-obat yang merupakan
kontraindikasi untuk kehamilan, misalnya antimalaria atau siklofosfamid.
Kehamilan juga dapat mencetuskan eksaserbasi akut LES dan 23

13 | S L E P a d a K e h a m i l a n
memiliki risiko tersendiri terhadap fetus. Oleh sebab itu, pengawasan aktifitas
penyakit harus lebih ketat selama kehamilan. 1

Sebelum penderita LES diberi pengobatan, harus diputuskan dulu apakah


penderita tergolong yang memerlukan terapi konservatif, atau imunosupresif yang
agresif. Pada umumnya, penderita LES yang tidak mengancam nyawa dan tidak
berhubungan dengan kerusakan organ, dapat diterapi secara konservatif. Bila
penyakit ini mengancam nyawa dan mengenai organ-organ mayor, maka
dipertimbangkan pemberian terapi agresif yang meliputi kortikosteroid dosis tinggi
dan imunosupresan lainnya. 1

G. SLE Pada Kehamilan

1. Pengaruh Kehamilan terhadap SLE

Masih belum dapat dipastikan apakah kehamilan dapat mencetuskan SLE,


eksaserbasi SLE pada kehamilan tergantung dari lamanya masa remisi SLE
Keterlibatan organ organ vital seperti ginjal. Penderita LES yang telah
mengalami remisi lebih dari 6 bulan sebelum hamil mempunyai risiko 25%
eksaserbasi pada saat hamil dan 90% luaran kehamilannya baik. Tetapi
sebaliknya bila masa remisi SLE sebelum hamil kurang dari 6 bulan maka
risiko eksaserbasi SLE pada saat hamil menjadi 50% dengan luaran
kehamilan yang buruk. Apabila kehamilan terjadi pada saat SLE sedang aktif
maka risiko kematian janin 50-75% dengan angka kematian ibu menjadi
10%. Dengan meningkatnya umur kehamilan maka risiko eksaserbasi juga
meningkat, yaitu 13% pada trimeseter I, 14% pada trimester II, 53% pada
trimester III serta 23% pada masa nifas.6

14 | S L E P a d a K e h a m i l a n
2. Pengaruh LES terhadap Kehamilan

Nasib kehamilan penderita LES sangat ditentukan dari aktifitas penyakitnya,


konsepsi yang terjadi pada saat remisi mempunyai luaran kehamilan yang
baik. Beberapa komplikasi kehamilan yang biasa terjadi pada kehamilan
yaitu, kematian janin meningkat 2-3 kali dibandingkan wanita hamil normal,
bila didapatkan hipertensi dan kelainan ginjal maka mortalitas janin menjadi
50%. Kelahiran prematur juga bisa terjadi sekitar 30-50% kehamilan dengan
LES yang sebagian besar akibat preeklamsia atau gawat janin. Infark
plasenta yang terjadi pada penderita LES dapat menigkatkan risiko
terjadinya Pertumbuhan janin Terhambat sekitar 25% demikian juga risiko
terjkadinya preeklamsia . eklamsia meningkat sekitar 25-30% pada penderita
LES yang disertai lupus nepritis kejadian preeklamsia menjadi 2 kali lipat.
Membedakan preeklamsia dengan lupus nepritis sulit karena keduanya
mengalami hipertensi, protenuria, edema dan perburukan fungsi ginjal.
Kriteria dibawah ini dapat dipakai untuk membedakan kedua keadaan
diatas.6

Tabel 1.3. Perbedaan preeklamsia dengan eksaserbasi lupus renal. 6

Preeklamsia Gagal Gijall


Kadar C3/C4 Membaik Menurun

Kadar Anti-dsDNA Tidak ada perubahan Meningkat

Sedimen urin Ringan Aktif

Respon terhadap steroid Memburuk Membaik

3. Sindroma Lupus Eritematosus Neonatal (LEN)


LEN, merupakan komplikasi kehamilan dengan LES yang mengenai janin
dimana sindroma tersebut terdiri dari, blok jantung kongenital, lesi kutaneus
sesaat, sitopenia, kelainan hepar dan berbagai manifestasi sistemik lainnya
pada neonatus yang lahir dari seorang ibu yang menderita LES pada saat

15 | S L E P a d a K e h a m i l a n
hamil. Untuk menegakkan diagnosa LEN, The Research Registry for
Neonatal Lupus memberikan dua kriteria sebagai berikut :

a. Adanya antibodi 52 kD SSA/Ro, 60 kD SSA/Ro atau 48 kD SSB/La


pada serum ibu.
b. Adanya blok jantung atau ras pada kulit neonatus.11

Kelainan konduksi jantung/blok jantung congenital ditemukan 1 diantara 20


000 kelahiran hidup (0,005%), tergantung dari adanya anti SSA/Ro atau anti
SSB/La. Apabila antibodi tersebut ditemukan pada penderita LES maka
risiko bayi mengalami blok jantung kongenital berkisar antara 1,5% sampai
20% dibandingkan bila antibodi tersebut tidak ada yaitu sekitar 0,6% dengan
distribusi yang sama antara bayi laki dan wanita. Patogenesis blok jantung
congenital neonatus pada penderita LES dengan anti SSA/Ro dan Anti
SSB/La positip belum jelas diketahui. Mekanisme yang dipercaya saat ini
adalah adanya transfer antibody melalui plasenta yang terjadi pada trimester
ke dua yang menyebabkan trauma imunologik pada jantung dan sistem
konduksi jantung janin. Sekali terjadi transfer antibodi ini maka kelainan
yang terjadi bersifat menetap dan akan manifes pada saat bayi lahir. Usaha
untuk menghentikan transfer antibodi ini ke janin seperti pemberian
kortiokosteroid, gammaglobulin intravenous atau plasmaparesis telah gagal
mencegah kejadian blok jantung kongenital neonatal. Oleh karena itu
pemeriksaan antibodi ini sangat penting untuk seorang ibu yang menderita
LES dan ingin hamil. 6

4. Kapan Seorang SLE bisa hamil


Disarankan bagi wanita dengan penyakit SLE sebaiknya
merencanakan kehamilan bila kondisinya sudah stabil, dan sebaiknya
menunda kehamilan hingga penyakit SLE telah mencapai masa remisi
selama minimal 6 bulan sebelum konsepsi untuk mencegah resiko terjadinya
dampak yang buruk terhadap ibu dan janin.6

16 | S L E P a d a K e h a m i l a n
Penderita SLE yang telah mengalami remisi lebih dari 6 bulan
sebelumnya mempunyai resiko 25% terjadinya eksaserbasi pada saat hamil
dan 90% kehamilannnya baik. Tetapi bila masa remisi SLE sebelum hamil
kurang dari 6 bulan maka resiko eksaserbasi LES pada saat hamil menjadi
50 %. Akibatnya terjadi komplikasi selama kehamilan baik pada ibu maupun
janin dengan prognosis yang jelek. Dampak terhadap ibu yaitu meningkatnya
resiko preeklamsi dan eklamsi dengan prediktor diantaranya nefritis dan
tingginya skor Systemic Lupus Erythmatosus Disease Activity Index
(SLEDAI). Dampak buruk pada janin berakibat resiko kelahiran prematur,
kelainan pertumbuhan janin dan kematian janin dan syndrom neonatal lupus.

5. Prenatal care

Pada kunjungan pertama antenatal dilakukan pemeriksaan lengkap tanpa


memandang kondisi klinis pasien yang meliputi, pemeriksaan darah lengkap,
panel elktrolit, fungsi liver, fungsi ginjal, urinalisis, antibodi anti DNA, anti
bodi anti kardiolipin, antikoagulan Lupus, C3, C4 dan Anti SSA/R0 dan Anti
SSB/La. Pemeriksaan laboratorium tersebut diulang tiap trimester, apabila
antti SSA/Ro dan Anti SSB/La positif maka dilakukan pemeriksaan
ekokardiograpi janin pada usia kehamilan 24-26 minggu untuk mendeteksi
adanya blok janin kongenital. Apabila ditemukan adanya blok jantung janin
kongenital maka diberikan dexametason 4 mg per-oral/hari selama 6
minggu/sampai gejala menghilang kemudian dosis diturunkan sampai lahir. 8

6. Penatalaksanaan
Ada 2 hal yang perlu diperhatikan pada penatalaksanaan LES dengan
kehamilan yaitu :
a. Kehamilan dapat mempengaruhi perjalanan penyakit LES

17 | S L E P a d a K e h a m i l a n
b. Plasenta dan janin dapat menjadi target dari otoantibodib maternal
sehingga dapat berakhir dengan kegagalan kehamilan dan terjadinya
Lupus Eritematosus Neonatal.6

Pada umumnya penderita LES mengalami fotosensitifitas, sehingga


disarankan untuk tidak terlalu banyak terpapar sinar matahari. Mereka
disarankan untuk menggunakan krem pelindung sinar matahari, baju lengan
panjang, topi atau payung bila akan berjalan dibawah sinar matahari. Karena
infeksi mudah terjadi maka penderita juga dinasehatkan agar memeriksakan
diri bila mengalami demam. Pada penderita yang akan menjalani prosedur
infasif diberikan antibiotika profilaksis. Modalitas utama pengobatan LES
adalah pemberian kortikosteroid,antiinflamasi nonsteroid, aspirin,
antimalaria, dan Imunosupresan.6
Pemberian kortikosteroid memiliki peran yang sangat penting pada
kehamilan dengan LES karena tanpa kortikosteroid sebagian besar penderita
LES yang hamil akan mengalami eksaserbasi. Pemakaian kortikosteroid
jangka panjang seperti prednisone dan prednisolon, hidrokortison pada
kehamilan umunya aman, karena glukokortikoid itu segera akan mengalami
inaktivasi oleh enzim 11-beta-hidroksidehidrogenase menjadi metabolic 11-
keto yang inaktif, sehingga hanya 10% dari dosis yang dipakai dapat
memasuki janin. Pada manifestasi klinik LES yang ringan, umumnya diberi
prednisone oral dalam dosis rendah 0,5 mg/kgBB/hari, sedangkan pada
manifestasi klinis yang berat diberikan prednisolon dosis 1 mg – 1,5
mg/kgBB/hari. Pemberian bolus metilprednisolon intravena 1 gram atau15
mg/kgBB selama 3-5 hari dapat dipertimbangkan untuk mengganti
glukokortikoid oral dosis tinggi atau pada penderita yang tidak memberikan
respon pada terapi oral. Setelah pemberian glukokortikoid selama 6 minggu,
harus mulai dilakukan penurunan dosis obat secara bertahap, 5-10% setiap
minggu bila tidak timbul eksaserbasi akut. Bila timbul eksaserbasi dosis
dikembalikan seperti dosis sebelumnya.
Pemakaian glukokortikoid yang berkepanjangan pada waktu
hamil dalam dosis tinggi dapat menyebabkan pertumbuhan janin yang

18 | S L E P a d a K e h a m i l a n
terhambat, ketuban pecah dini, diabetes gestasional, hipertensi, dan
osteoporosis. 6
Imunosupresan diberikan pada penderita yang tidak responsive
terhadap terapi glukokortikoid selama 4 minggu. Siklofostamid diberikan
bolus intravena 0,5 g/m2 body surface dalam 150 cc NaCl 0,9 selama 60
menit diikuti dengan pemberian cairan 2-3 liter/24 jam. Indikasi peberian
Siklofosfamid adalah sebagai berikut :
a. Penderita LES yang membutuhkan steroid dosis tinggi
b. Penderita LES yang dikontraindikasikan terhadap steroid dosis tinggi.
c. Penderita LES yang kambuh setelah terapi steroid jangka
panjang/berulang
d. Glomerulonefritis difus awal
e. LES dengan trombositopenia yang resisten terhadap steroid.
f. Penurunan laju fitrasi glomerulus atau peningkatan kreatinin tanpa
disertai denganfaktor ekstra renal lainnya.
g. LES dengan manifestasi susunan saraf pusat

Pemberian siklofosfamid pada perempuan hamil tersebut tidak


dianjurkan secara rutin kecuali benar-benar atas indikasi yang kuat dan dalam
keadaan dimana keselamatan ibu merupakan hala yang utama. Dilaporkan
bahwa pemakaian siklofosfamid dalam waktu yang lama dapat menyebabkan
kegagalan ovarium premature dan kelainan bawaan pada janin.6
Obat imunosupresan lainnya yang cukup aman diberikan pada
perempuan hamil adalah azatioprin dan siklosporin.
Untuk mengantisispasi kemungkinan terjadinya eksaserbasi pada saat
persalinan atau pembedahan, sebaiknya penderita dipayungi dengan metal
prednisolon dosis tinggi sampai 48 jam pascapersalinan, setelah itu dosis obat
diturunkan.
Hampir semua obat untuk penderita LES diekskresikan bersama air
susu dalam jumlah yang bervariasi antara 0,1%-2% dosis obat, kecuali
Imunosupresan yang dikontraindikasikan untuk ibu menyusui. Pemberian
aspirin dalam dosis besar (>3 gr/hari) berhubungan dengan peningkatan
kejadian kehamilan posterm dan perdarahan selama persalinan. Dosis tinggi

19 | S L E P a d a K e h a m i l a n
salisilat juga dilaporkan telah menyebabkan oligohidramnion, penutupan
prematur dari duktus arteriosus dan hipertensi pulmonal pada neonatus.
Pemakaian NSAID atau aspirin dihindari beberapa minggu sebelum
persalinan. Hidroksiklorokuin juga sering dipakai dalam pengobatan LES dan
sampai saat ini pemakaian obat ini cukup aman untuk wanita hamil.6

7. Pemilihan kontarsepsi pasca persalinan


Pemilihan kontrasepsi yang efektif dan aman merupakan hal yang sangat
penting dalam penanganan penderita LES pasca persalinan. Kadar estrogen
dalam kontrasepsi oral yang melebihi 20-30 ugr/hari dapat mencetuskan
LES. Risiko tromboemboli pada penderita LES yang memakai kontrasepsi
oral juga meningkat terutama apabila aPLnya positif. Kontrasepsi oral yang
hanya mengandung progestogen dan depot progestogen merupakan alternatif
yang lebih aman untuk penderita LES pasca persalinan. Pemakaian alat
kontrasepsi dalam rahim (AKDR) kurang baik karena dapat meningkatkan
risko infeksi terutama pada penderita yang memakai imunosupresan yang
lama.6

8. Prognosis
Prognosa ibu hamil yang menderita SLE ditentukan pada saat
konsepsi, bila konsepsi terjadi pada masa remisi maka prognosanya akan
lebih baik. bila dalam waktu kurang dari 6 bulan sebelum konsepsi terdapat
riwayat nefritis dan penyakit SLE aktif dengan skor SLEDAI 4 atau lebih
akan beresiko berdampak buruk terhadap janin. Penderita SLE yang telah
mengalami masa remisi lebih dari 6 bulan sebelum hamil mempunyai resiko
25% eksaserbasi pada masa hamil dibandingkan dengan bila masa remisi
SLE sebelum hamil kurang dari 6 bulan maka resiko eksaserbasi SLE pada
saat hamil menjadi 50% dengan dampak kehamilan yang buruk.
Hal ini menunjukan bahwa kehamilan pada penderita SLE
sangat ditentukan dari aktifitas penyakitnya, konsepsi yang terjadi pada saat

20 | S L E P a d a K e h a m i l a n
remisi mempunyai dampak kehamilan yang baik dibandingkan dengan
sebelum mencapai remisi. Dengan penyakit yang stabil atau menderita flare
yang relatif jarang atau hanya sedikit dalam kehamilan akan melahirkan bayi
yang sehat.7

21 | S L E P a d a K e h a m i l a n
BAB III
PENUTUP

Kehamilan pada ibu dengan penyakit Sistemik Lupus Erithematosus (SLE)


sangat berhubungan dengan tingkat kesakitan dan kematian ibu serta janin. Resiko
kematian ibu hamil yang menderita SLE memiliki dampak 20 kali lebih tinggi
karena komplikasi yang disebabkan oleh preeklamsi, trombosis, infeksi dan kelainan
darah.

Disarankan bagi wanita dengan penyakit SLE sebaiknya merencanakan


kehamilan bila kondisinya sudah stabil, dan sebaiknya menunda kehamilan hingga
penyakit SLE telah mencapai masa remisi selama minimal 6 bulan sebelum konsepsi
untuk mencegah resiko terjadinya dampak yang buruk terhadap ibu dan janin. 7
Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut di Indonesia terkait dengan SLE
dalam kehamilan, sehingga hasil penelitian ini dapat menjadi bahan kajian dalam
memberikan penatalaksanaan yang tepat seperti deteksi dini kehamilan dengan
penyakit SLE, konseling sebelum kehamilan, perawatan antenatal, perawatan dan
pemantauan selama kehamilan dan masa post partum terkait dengan upaya
menurunkan kematian perinatal 7

22 | S L E P a d a K e h a m i l a n
DAFTAR PUSTAKA

1. Albar Z. Lupus eritematosus sistemik. Dalam: Noer MS, editor kepala. Ilmu
penyakit dalam. Edisi 3. Jakarta: Balai Penerbit FKUI; 1996. h: 150-9.
2. Rubin E, editor. In: Essential pathology: Lupus eritematosus sistemik. 3th
edition. Philadelphia: Lippicott Williams & Wilkins; 2001. p: 86-8,468-
9,650.
3. Simon H, editor-in-chief. Sistemic Lupus Erythematosus. 2000 March.
Available from:http://wellness.ucdavis.edu/medical_conditions_az/sistemic
lupus63.html. Accessed: 2004 September 17.
4. Varghese stephy, Crocker Ian, Bruce N Ian & Tower Clare. 2011. Systemic
Lupus Erythematosus, Regulatory T Cells and Pregnancy. From
www.expert-reviews.com/toc/eci/7/5. Diunduh tanggal 10 Februari 2012.
5. Kusuma Jaya Ngurah Agung. 2007. Lupus Eritematosus Sistemik Pada
Kehamilan. dipublikasikan dalam Jurnal Penyakit Dalam 2011. Diunduh
tanggal 21 Maret 2012.
6. Dkdkd
7. Zvezdanovic L, Dordevic V, Cosic V, Cvetkovic T, Kundalic S, Stankovic
A. The significance of cytokines in diagnosis of autoimmune diseases.
Jugoslov Med Biohem 2006;25:363-372.
8. Branch WD, Porter TF, autoimune disease. In: DK james, PJ Steer, CP
Wefer, B Gonk, editor.High risk pregnancy, management options. Second
edition.London, W.b saunders.1999. p : 853-864.

23 | S L E P a d a K e h a m i l a n

Anda mungkin juga menyukai