Anda di halaman 1dari 18

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah


Kesenian merupakan salah satu universal dari kebudayaan yang
berkembang menurut proses kemajuan masyarakat pendukungnya. Dilihat
dari masa kelahirannya, kesenian dapat dibedakan menjadi kesenian
tradisional dan non tradisional. Kesenian non tradisional merupakan
kesenian yang lahir pada masa kini, didorong oleh adanya kebutuhan untuk
memuaskan diri akan rasa keindahan yang wujudnya disesuaikan dengan
kemajuan pendukungnya, atau bisa saja terjadi karena adanya perubahan
secara total dari salah satu bentuk kesenian tradisional yang tidak
berkembang, kemudian diberikan sentuhan-sentuhan dan kemasan baru
sebagai hasil kemajuan teknologi, sehingga identitas tradisionalnya tidak
tampat lagi.
Kesenian tradisional merupakan salah satu bentuk kesenian sebagai
peninggalan kebudayaan masa lampau, lahir dan berkembang ditengah-
tengah masyarakat pendukungnya, yang pada umumnya memiliki
keterkaitan sangat erat dengan kehidupan masyarakat dimana kesenian
tersebut berkembang. Akan tetapi pada era globalisasi saat ini, kesenian
tradisional khusunya tradisional Sunda nyaris punah akibat banyak
ditinggalkan masyarakatnya sendiri. Sebagai seni yang menjadi kekayaan
budaya lokal, kesenian tradisional terus kehilangan penerus akibat para
pelaku seni kurang mendapat tempat dan dihargai masyarakat sekitarnya,
serta terdesak seni pop modern yang dianggap lebih menarik.
Tanpa mempertahankan usaha pewarisan maka masyarakat akan
punah dan dilupakan. Usaha pewarisan dilakukan dengan sungguh-sungguh
dengan cara melibatkan berbagai institusi sosial yang ada, baik pada
lingkungan, keluarga dan masyarakat. Bentuk kesenian masyarakat
terdahulu masih banyak macam. Bentuk kesenian tersebut biasanya

1
merupakan ungkapan rasa syukur kepada yang memberikan kehidupan,
selain itu juga bertujuan adanya satu harapan tentang keamanan dan
kesuburan. Salah satu peninggalan kesenian masyarakat terdahulu yakni
kesenian Tarawangsa dari daerah Kecamatan Rancakalong, Kabupaten
Sumedang.

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah seperti yang sudah diuraikan
diatas, maka dapat diklasifikasikan beberapa masalah sebagai berikut :
1. Bagaimana sejarah kesenian Tarawangsa?
2. Apa yang dimaksud dengan Kesenian Tarawangsa?
3. Apa fungsi dari kesenian Tarawangsa?
4. Bagaimana pertunjukan kesenian Tarawangsa?

C. Tujuan dan Manfaat


1. Tujuan
a. Ingin mempertahankan seni tradisional yang dimiliki setiap daerah
agar tetap menjadi salah satu aset kebudayaan bangsa.
b. Ingin menambah wawasan tentang kesenian Tarawangsa.
c. Ingin mengetahui bagaimana pertunjukan dari kesenian
Tarawangsa.
d. Ingin mengetahui fungsi dari kesenian Tarawangsa.
e. Ingin memperkenalkan salah satu kesenian tradisional yang ada di
Jawa Barat tepatnya di Rancakalong.
2. Manfaat
a. Menambah wawasan unsur-unsur dari kesenian Tarawangsa supaya
lebih mencintai kesenian daerahnya sendiri.
b. Mengetahui fungsi kesenian Tarawangsa dalam masyrakat.
c. Mempublikasikan salah satu kesenian tradisional yaitu kesenian
Tarawangsa.

2
d. Mempelajari kesenian Tarawangsa baik teori maupun praktiknya.
e. Meningkatkan silaturahmi antar seniman dan mahasiswa.

D. Metode Penelitian
a. Teknik pengumpulan data
 Observasi
Observasi yaitu pengumpulan data yang dilakukan dengan
mengamati langsung subyek dalam kehidupan sehari-hari.
Dalam menggunakan metode observasi penulis langsung terjun
kelapangan untuk mengetahui bagaimana latar belakang, sejarah,
perkembangan dan respon dari masyarakat pendukungnya terhadap
kesenian Tarawangsa.

 Wawancara
Wawancara merupakan suatu percakapan yang dilakukan dengan
maksud tertentu, dan percakapan ini biasanya dilakukan oleh dua pihak
yaitu pewawancara (penulis) yang mengajukan pertanyaan dan
terwawancara (narasumber) yang memberikan jawaban atas pertanyaan
itu.
Dalam metode wawancara ini peneliti akan melakukan wawancara
kepada pihak-pihak yang langsung berkaitan dengan sejarah kesenian
Tarawangsa. Pihak tersebut yaitu para tokoh terahulu yang dianggap
sebagai tetua dari kesenian Tarawangsa.
 Studi Pustaka
Studi pustaka yaitu mempelajari buku-buku yang berhubungan
dengan penelitian juga sebagai sumber referensi untuk memperoleh
data secara teoritis sebagai penunjang penelitian. Adapun sumber-
sumber tersebut yaitu skripsi, buku, dan situs online.
b. Teknik Pengolahan Data
Data yang diperoleh dari lapangan hasil obervasi dan wawancara
dikumpulkan kemudian diklasifikasikan dalam bentuk makalah.

3
Selanjutnya data yang dianggap mendukung ditambahkan dalam
penulisan tersebut.
Dalam suatu penelitian, jenis penelitian dapat dilihat dari tujuan,
sifat, bentuk dan sudut penerapannya. Salah satu tujuan dari jenis
penelitian ini yaitu mempublikasikan kesenian Tarawangsa masyarakat
yang belum mengenal kesenian tersebut, penulis juga ingin mengetahui
perkembangan dan respon dari masyarakat.

4
BAB II
PEMBAHASAN

A. Sejarah Kesenian Tarawangsa


Asal mula kesenian Tarawangsa mulai hidup, hingga saat ini belum
diketahui dengan pasti. Ada beberapa versi yang mengungkapkan asal mula
kesenian Tarawangsa, yaitu:

1. Versi Pertama dikutip dari blog “Seni yang telah di latar belakangkan
Oleh Masyarakat Jawa Barat”
Asal mula kesenian Tarawangsa menurut cerita yang beredar di
masyarakat adalah, konon pada jaman dahulu di Tatar Sunda tidak ada bibit
padi. Sehingga, masyarakat Sunda pada waktu itu tidak mengkonsumsi
beras untuk makan sehari-hari. Untuk memenuhi kebutuhan hidupnya,
mereka mengganti beras dengan biji hanjeli.
Masyarakat Sunda pada masa itu sering mengamen ke daerah-daerah
lain. Mereka pergi mengamen sampai ke wilayah Mataram. Kemungkinan
besar Mataram pada waktu itu adalah daerah penghasil beras yang
terkemuka. Muncul keinginan pada si pengamen atau penabuh untuk
membawa bibit padi dari Mataram untuk dibawa ke daerahnya. Namun
usahanya tersebut beberapa kali mengalami kegagalan karena diketahui
penjaga gerbang Mataram. Untuk ketiga kalinya, penabuh mencoba
membawa bibit dan disembunyikan dalam alat musik yang dibawanya,
yaitu Tarawangsa. Kali ini usahanya berhasil dan dia dapat menanam padi
tersebut di tatar Sunda. Sejak saat itu , Tatar Sunda menjadi salah satu
penghasil beras yang utama. Untuk mengungkap rasa syukurnya,
masyarakat Sunda setiap selesai panen melakukan upacara ritual untuk
menghormati Dewi Sri. Pada masyarakat Rancakalong, upacara itu disebut
Tarawangsa.

5
2. Versi Kedua dikutip dari blog “ Seni Tarawangsa”
Seperti halnya asal mula seni Tarawangsa ternyata didapatkan
berdasarkan cerita-cerita yang secara turun-temurun diwariskan pada tiap
generasi masyarakat di Rancakalong. Informasi tentang asal mula kesenian
Tarawangsa didapatkan melalui pendekatan sejarah. Salah satu sumber
sejarah yang tergolong tua di Jawa Barat adalah naskah Sanghyang
Siksakandang Karesian dan naskah Swaka Darma. Cahya Hedy dalam
bukunya Tarawangsa dan Mitos Dewi Sri mengemukakan bahwa
keberadaan tarawangsa sudah dikenal sejak abad ke-15 dalam naskah
Swaka Darma (kropak 408) yang diteliti oleh Saleh Danasasmita dkk, yang
berbunyi :
Na(ng)gapan
Sada canang
Sada gangsa tempang kembar
Sada titila ri(ng) bumi
Sada tatabuh Jawa
Sada gabeng di reka cali(n)tuh di a(n)jing
Sada hanjaru kacapa la(ng)nga
Sada kerak e sagung
Artinya :
Suara canang
Suara gamelan tupang kembang
Suara kembang dan tarawangsa menyayat
Suara peninggalan bumi
Suara gamelan Jawa
Suara baling-baling ditingkahi calintah di dangau
Suara deru kacapi penuh khawatir
Suara sedih semua

6
Ada salah satu cerita mengenai asal mula kesenian Tarawangsa yang
di dapatkan dari salah satu senimar Tarawangsa di desa Rancakalong yang
bernama Bapak Dia adalah sebagai berikut:
“ Dahulu, Rancakalong termasuk dalam wilayah kekuasaan kerajaan
Mataram. Suatu ketika, kehidupan masyarakat Rancakalong tengah
mengalami bencana, yaitu bencana kelaparan. Hal tersebut dikarenakan
tanaman padi yang mereka tanam selalu gagal panen karena selalu di
serang oleh hama. Penduduk Rancakalong saat itu banyak yang meninggal
karena bencana kelaparan itu. Sehubungan dengan bencana itu, seorang
tokoh masyarakat dari Rancakalong berpendapat bahwa musibah tersebut
muncul karena masyarakat Rancakalong tidak mempunyai benih padi yang
tahan hama. Kemudian diutuslah tujuh orang penduduk Rancakalong untuk
pergi ke Keraton Kerajaan Mataram dengan maksud meminta benih padi
yang tahan hama, serta meminta petunjuk tentang bagaimana cara
menanam dan memeliharanya. Ketujuh orang utusan tersebut pergi dalam
waktu yang cukup lama. Setelah berhasil mendapatkan benih padi, utusan-
utusan pun kembali pulang ke Rancakalong dengan di damping oleh
seorang utusan dari kerajaan Mataram yang ahli dibidang pertanian yaitu
Eyang Wisanagara yang bertujuan untuk memberikan petunjuk kepada
masyarakat Rancakalong tentang bagaimana cara menanam dan
memelihara tanaman padi sehingga hasilnya menjadi lebih baik. Karena
perjalanan yang mereka tempuh sangatlah jauh dan memakan waktu yang
lama, serta melewati daerah yang mereka anggap kurang aman. Mereka
pun berinisiatif untuk membawa benih padi tersebut dengan cara
memasukkannya ke dalam alat musik yaitu Tarawangsa dan Kecapi.
Dalam perjalanannya pun mereka seolah-olah sedang mengamen. Dengan
cara tersebut, para utusan dapat berhasil membawa benih padi ke daerah
Rancakalong dengan selamat”.

7
3. Versi Ketiga dikutip dari “ Kesenian Jentreng Tarawangsa “
Pada abad ke-8 rakyat Rancakalong bermata pencaharian bercocok
tanam di lading (huma) mendapat musibah yaitu panen padinya tidak
berhasil, sehingga terjadilah malapetaka kelaparan. Untuk menanggulangi
musibah ini, maka tokoh masyarakat di Rancakalong yang bernama
Wisanagara bersama tokoh lainnya bermusyawarah untuk sepakat
mengganti tanaman padi menjadi hanaman hanjeli, namun sayang tanaman
inipun nampaknya kurang berhasil atau tidak menutupi kebutuhan. Konon
pada suatu hari ada seorang anak kecil yang merasa kelaparan memasuki
lubung hanjeli karena keingintahuannya persediaan hanjeli, namun sialnya
anak tersebut tertimpa seikat hanjeli sehingga meninggal dunia.
Dari saat itu, tokoh (sesepuh) masyarakat Rancakalong memutuskan
(ragrag ucap) untuk tidak lagi menanam hanjeli dan akan diganti kembali
dengan menanam padi. Tapi konon untuk menanam padipun bibitnya telah
habis. Untuk hal ini maka kembali para sesepuh masyarakat
bermusyawarah lagi untuk beruoaya mencari bibit padi tersebut dan atas
kesepakatan dari musyawarah dua orang seniman yang satu diantaranya
anak seorang tokoh yaitu Jatikusunah yang menurut rakyat Rancakalong
disebut Wiranaga bersama seorang temannya bernama Raguna diutus
untuk mencari padi ke negara Mataram yang tersohor kemakmurannya.
Dengan berbekal sebuah kecapi, maka dua sahabat tersebut pergi menuju
negara Mataram untuk melaksanakan tugasnya sambil mengamen seni
kecapi dan sampailah mereka ke tapal batas kerajaan Mataram yang
memang saat itu di kerajaan Mataram sedang ketat menjaga keamanan
karena masuknya Agama Islam. Tapi dengan kecerdikannya yang
beralatkan sebuah kecapi, dua sahabat tersebut dapat masuk ke wilayah
kerajaan Mataram. Namun, setelah masukpun mereka merasa kebingungan
untuk mencari bibit padi tersebut. Untunglah pada saat ini mereka bertemu
dengan seorang yang di masyarakatnya mempunyai pengaruh dan ia pun
mengerti kedatangan dua orang tersebut. Berhasillah bibit padi yang
mereka cari itu dan supaya tidak mengundang kecurigaan pemerintah

8
Mataram, bibit padi itu oleh mereka dimasukan ke dalam kecapi.
Diperjalanan, Wiranagara (Jatikusumah) membuat rebab yang disebut
Tarawangsa, yang mana tujuannya adalah:
1. Agar ringan membawa bibit padi karena bibit padi di bagi dua
membawanya, dimasukan ke rebab (Tarawangsa)
2. Untuk dipadukan suaranya dengan kecapi hingga enak di dengar
Sesampainya di Rancakalong, mereka disambut dengan penuh
kegembiraan karena berhasil membawa bibit padi. Untuk mewujudkan rasa
kegembiraan dan rasa syukur, maka rakyat Rancakalong menabuh Kecapi
dan Tarawangsa tersebut buatan Wiranaga (Jatikusumah) sebagai
penghormatannya. Maka dari saat itulah menjelmalah kesenian Jentreng
Tarawangsa.

B. Pengertian Kesenian Tarawangsa


Kesenian Tarawangsa merupakan salahsatu kesenian tradisiaonal
masyarakat Rancakalong, Sumedang. Yang sering digunakan untuk
upacara ritual ngalaksa. Kesenian ini juga terdapat di masyarakat Sunda
lainnya, seperti Ciwidey, Cianjur, Sukabumi, Garut, Banjaran, Ciamis,
Subang, Purwakarta, Karawang dan Banten. Rancakalong merupakan
bagian wilayah dari kabupaten Sumedang yang cukup terkenal dengan seni
budayanya. Masyarakat Rancakalong secara geografis termasuk masyarakat
pegunungan, yang melahirkan berbagai jenis kesenian yang bernilai tinggi.
Salah satunya jenis kesenian yang lahir dari Rancakalong adalah
Tarawangsa. Nama Tarawangsa diambil dari alat musik pendukungnya
yaitu sejenis alat gesek yang bentuknya menyerupai Rebab, tetapi ada
beberapa perbedaan dalam beberapa bentuk dan bahannya. Tarawangsa
memiliki dimensi ukuran antara lain: tinggi 100,9 cm dan lebar 18,6 cm,
memiliki bagian-bagian seperti resonator/lubang suara (bawah), batang
(tengah), tuner (pada bagian kepala atau atas), dengan jumlah dawai 2 yang
berposisi satu tepat ditengah batang dan yang kedua disisi sebelah luar
batang.

9
Sebagai alat musik gesek, Tarawangsa tentu saja dimainkan dengan
cara digesek. Akan tetapi yang digesek hanya satu dawai, yakni dawai kanan
yang bernada La (5), sementara dawai yang satunya dimainkan dengan cara
dipetik dengan jari telunjuk kiri yaitu bernada Da (1). Alat musik lainnya
yang dimainkan dalam mengiringi pertunjukan tarawangsa adalah kacapi
tarawangsa atau biasa disebut kacapi Jentreng yang bentuknya mirip dengan
kacapi Indung dalam Tembang Sunda Cianjuran. Kacapi Jentreng yaitu
sebuah alat petik tujuh dawai yang menyerupai kacapi Indung.
Tarawangsa merupakan kesenian yang identitas estetikanya terletak
pada unsur musik. Secara etimologi, Tarawangsa berasal dari gabungan 3
kata, yakni Ta-Ra-Wangsa. Ta merupakan akronim dari kata “Meta”
(sunda) yang berarti pergerakan, lalu “ra” berarti api yang agung, dan kata
“Wangsa” sinonim dari kata bangsa, yaitu makhluk yang menempati satu
wilayah atau alam dengan aturan yang mengikatnya. Jadi, Ta-Ra-Wangsa
dapat diartikan “kisah kehidupan bangsa matahari”. Dengan kalimat lain,
Tarawangsa merupakan kesenian penyambutan bagi hasil panen padi
tumbuhan yang sangat bergantung pada matahari sebagai simbol rasa
syukur terhadap Tuhan Yang Maha Esa (YME).
Di daerah Rancakalong Tarawangsa disebut Ngekngek. Istilah
tersebut diambil dari bunyi waditra alat gesek tersebut yang ketika digesek
menghasilkan bunyi ngekngek. Sedangkan Tarawangsa menurut kamus
umum basa Sunda : sarupaning tatabeuhan nu dikeset kawas rebab tapi
jangkung (alat musik yang digesek berbentuk seperti rebab yang ukurannya
agak panjang). Istilah lain yang senada terdapat dalam Ensiklopedia
Indonesia, bahwa seni Tarawangsa adalah sejenis orkes Sunda yang terdiri
dari Tarawangsa, kecapi, dan suling. Sementara yang dinamakan
Tarawangsa adalah sejenis instrumen gesek Sunda yang mempunyai ruang
resonansi dari kayu dan leher panjang.

10
C. Fungsi Kesenian Tarawangsa
Semakin berkembangnya zaman yang mempengaruhi pola pikir dan
pola kehidupan masyarakat, maka kesenian tersebut tidak lagi dipergelarkan
di saung, tetapi di rumah. Kesenian Tarawangsa di jaman dahulu hingga
sekarang mengalami sedikit perkembangan dari sisi fungsionalnya.
Jaman dahulu, kesenian Tarawangsa berfungsi sebagai :
1. Rasa syukur terhadap Tuhan YME atas semua limpahan hasil bumi
yang telah masyarakat dapatkan
2. Penghormatan serta rasa terima kasih terhadap dewi padi (Dewi Sri),
dan agar Dewi Sri betah untuk tetap tinggal di desa tersebut
3. Ungkapan terima kasih, serta penghormatan atas semua jasa-jasa para
leluhur yang telah berjasa membawa benih padi dari Mataram
4. Sebagai rasa suka cita atas hasil panen yang mereka dapatkan

Jaman sekarang, fungsi kesenian Tarawangsa bertambah sebagai:

1. Event kepariwisataan daerah Rancakalong


2. Penonjolan status sosial
3. Penyambutan tamu terhormat
4. Mata pencaharian
5. Hiburan dalam acara hajatan pernikahan atau khitanan.

Ritual keagamaan atau tradisi sejak zaman paling pra sejarah sekalipun
sudah mengenal musik. Musik sedari dahulu digunakan untuk tujuan dan
alat menuju hal-hal tertentu yang berkaitan dengan alam, roh-roh para
leluhur, dan Sang Pencipta dengan tujuan untuk meminta keselamatan,
meminta berkah, tolak bala, meminta turun hujan, dan hal-hal yang bersifat
mistis lainnya. Jika kita lihat ada beberapa peranan musik Tarawangsa,
yaitu:
a) Sarana upacara budaya (ritual)
Indonesia memiliki bermacam-macam budaya, dan memiliki tradisi
yang berbeda-beda pula. Pada saat mereka melakukan upacara budaya,

11
beberapa di antara mereka menggunakan musik sebagai pengiring jalannya
upacara tersebut. Seni Tarawangsa termasuk dalam sebuah sarana upacara
ritual yang erat hubungannya dengan mitos Dewi Sri dan bertujuan sebagai
rasa ungkapan terima kasih kepada Tuhan Yang Maha Esa atas panen yang
telah mereka dapatkan.
b) Sarana hiburan
Dalam hal ini, musik Tarawangsa juga merupakan salah satu cara
untuk menghilangkan kejenuhan akibat rutinitas harian, serta sebagai sarana
rekreasi dan ajang pertemuan dengan warga lainnya. Umumnya
masyarakat Indonesia sangat antusias dalam menonton pagelaran musik.
Jika ada pertunjukan musik di daerah mereka, mereka akan berbondong-
bondong mendatangi tempat pertunjukan untuk menonton bahkan ikut serta
dalam upacara tersebut. Dalam hubungannya dengan fungsi
seni Tarawangsa sebagai sarana hiburan dapat kita lihat pada penggunaan
seni Tarawangsa sebagai seni pertunjukan untuk penyambutan tamu
terhormat atau pada acara khitanan.
c) Sarana ekspresi diri
Bagi para seniman seni Tarawangsa (baik pencipta lagu maupun
pemain musik), musik adalah media untuk mengekspresikan diri mereka.
Melalui musik, mereka mengaktualisasikan potensi dirinya. Melalui musik
pula, mereka mengungkapkan perasaan, pikiran, gagasan, dan cita-cita
tentang diri, masyarakat, Tuhan, dan alam sekitar.
d) Sarana komunikasi
Di beberapa tempat di Indonesia, bunyi- bunyi tertentu yang memiliki
arti tertentu bagi anggota kelompok masyarakatnya. Umumnya, bunyi-
bunyian itu memiliki pola ritme tertentu, dan menjadi tanda bagi anggota
masyarakatnya atas suatu peristiwa atau kegiatan. Seni Tarawangsa dapat
dikatakan sebagai sarana komunikasi antara leluhur mereeka dengan
generasi penerusnya.

12
e) Pengiring tarian
Di berbagai daerah di Indonesia, bunyi- bunyian atau musik diciptakan
oleh masyarakat untuk mengiringi tarian-tarian daerah. Oleh sebab itu,
kebanyakan tarian daerah termasuk tarian Tarawangsa di Indonesia hanya
bisa diiringi oleh musik daerahnya sendiri. Selain musik daerah, musik-
musik pop dan dangdut juga dipakai untuk mengiringi tarian- tarian modern,
seperti dansa, poco- poco, dan sebagainya.
f) Sarana ekonomi
Bagi para musisi dan artis profesional, musik tidak hanya sekadar
berfungsi sebagai media ekspresi dan aktualisasi diri atau sebagai sarana
ritual saja. Musik juga merupakan sumber penghasilan. Mereka merekam
hasil karya mereka dalam bentuk pita kaset dan cakram padat (Compact
Disk/CD) serta menjualnya ke pasaran. Dari hasil penjualannya ini mereka
mendapatkan penghasilan untuk memenuhi kebutuhan hidup. Selain dalam
media kaset dan CD. Para musisi juga melakukan pertunjukan yang
dipungut biaya. Pertunjukan tidak hanya dilakukan di suatu tempat, tetapi
juga bisa dilakukan di daerah- daerah lain di Indonesia ataupun di
luar Indonesia.
Kesenian Tarawangsa sampai sekarang masih tetap hidup, meskipun
tidak berkembang luas seperti tari pergaulan lainnya. Masih terpeliharanya
kesenian ini, karena diwariskan secara turun temurun oleh saehu (pemimpin
kelompok) kepada keturunannya. Kesenian ini sulit berkembang karena
kesenian ini tidak dapat dipelajari seperti Jaipongan atau tari pergaulan
lainnya karena masih kuat unsur religiusnya.
Tujuan dari bentuk fungsi upacara Tarawangsa yaitu bertujuan untuk
mupusti padi. Tarawangsa merupakan wujud pengesahan akan adanya
kepercayaan pada Dewi Sri yang dianggap sebagai Dewi padi yang akan
selalu melindungi tanaman padi. Setiap penyelenggaraan Tarawangsa
sebagai sarana upacara merupakan cara untuk mupusti padi sebagai bahan
makanan pokok yang berakar dari kepercayaan dan keyakinan masyarakat

13
akan mitos Dewi Sri. Maksud dan tujuan upacara tersebut bersifat sosial,
religius, magis, sebagaimana tercermin dari makna simbolis upacara.
Bentuk-bentuk ritual sukur bumi tersirat secara khusus pada upacara
mipit padi, selanjutnya pada upacara bubur suro, ngalaksa, dan muludan.
Semua peristiwa ritual tersebut erat hubungannya dengan kehadiran padi,
sebagai tanaman sakral, yang selalu dihadirkan sebagai bagian penting dari
kelengkapan upacara. Seikat padi, mewujud menjadi boneka Dewi Sri atau
Dewi padi bersanding dengan Dewa Sedana. Kedua boneka ini menjadi ikon
penting dalam setiap upacara, hadir disajikan diantara sesaji. Terutama jika
peristiwa ritual menghadirkan Tarawangsa. Dalam peristiwa ritual inilah,
Tarawangsa menunjukan kekuatan transedennya ‘mengada’ pada waktu
sakral.

D. Pertunjukan Kesenian Tarawangsa


Dilihat dari konsepsi seni pertunjukan, apalagi di zaman sekarang ini
yaitu kesenian pula selalu dipandang sebagai media hiburan, Tarawangsa
mungkin dapat dikatakan tidak menarik untuk ditonton oleh khalayak.
Tetapi terlepas dari hal itu, Tarawangsa didaerahnya tetap bertahan hidup.
Efek dari fungsinya sebagai media upacara ritual, Tarawangsa pun dapat
merambah menjadi pertunjukan diluar kepentingannya sebagai media
upacara. Seperti yang terjadi di daerah Rancakalong, Kab Sumedang, selain
sebagai media upacara ngalaksa , Tarawangsa pun berfungsi sebagai media
hiburan dalam hajatan atau perayaan hari-hari besar. Sebagai kesenian yang
berkaitan dengan upacara, Tarawangsa sarat dengan simbol-simbol yang
dapat dimaknai berkaitan dengan kehidupan manusia. Simbol-simbol
tersebut selain terletak pada sarana upacara lainnya, terletak pula pada
konsepsi musikal yang disajikan dalam Tarawangsa tersebut.
Pertunjukan Tarawangsa dalam konteks upacara biasanya dirangkaikan
dengan pertunjukan Rengkong, yang tujuannya yaitu untuk mengarak padi
dari sawah menuju lumbung, yang mana tujuannya untuk penghormatan
terhadap Dewi Sri atau Dewi kesuburan. Tarawangsa sebagai media

14
upacara merupakan bagian integral dari proses budaya pertanian tradisional
di Rancakalong. Setiap penyelenggaraan Tarawangsa identik dengan akhir
masa tanam (sesudah panen) dan menyambut masa tanam selanjutnya.
Penyelenggaraan tersebut sebagai puncak dari seluruh perisitiwa ritual
merupakan bagian dari pola kehidupan masyarakat petani, yang tujuannya
untuk mupusti padi.
Pemain Tarawangsa hanya terdiri dari dua orang, yaitu satu orang
pemain Tarawangsa dan satu orang pemain Jentreng. Semua Pemain
Tarawangsa terdiri dari laki-laki, dengan usia rata-rata 50 – 60 tahunan.
Mereka semuanya adalah petani, dan biasanya disajikan berkaitan dengan
upacara padi, misalnya dalam ngalaksa, yang berfungsi sebagai ungkapan
rasa syukur kepada Tuhan atas hasil panen yang melimpah. Dalam
pertunjukannya ini biasanya melibatkan para penari yang terdiri dari laki-
laki dan perempuan. Mereka menari secara teratur. Mula-mula
Saehu/Saman (laki-laki), disusul para penari perempuan. Mereka bertugas
ngalungsurkeun (menurunkan) Dewi Sri dan para leluhur. Kemudian
hadirin yang ada di sekitar tempat pertunjukan juga ikut menari. Tarian
Tarawangsa tidak terikat oleh aturan-aturan pokok, kecuali gerakan-
gerakan khusus yang dilakukan Saehu dan penari perempuan yang
merupakan simbol penghormatan bagi dewi padi. Menari dalam kesenian
Tarawangsa bukan hanya merupakan gerak fisik semata-mata, melainkan
sangat berkaitan dengan hal-hal metafisik sesuai dengan kepercayaan si
penari. Oleh karena itu tidak heran apabila para penari sering mengalami
trance (tidak sadarkan diri).
Alat musik Tarawangsa dimainkan dalam laras pelog, sesuai dengan
jentrengnya yang distem ke dalam laras pelog. Demikian pula repertoarnya,
misalnya tarawangsa di Rancakalong terdiri dari dua kelompok lagu, yakni
lagu-lagu pokok dan lagu-lagu pilihan atau lagu-lagu tambahan, yang semua
berlaraskan pelog. Lagu pokok terdiri dari lagu Pangemat/pangambat,
Pangapungan, Pamapag, Panganginan, Panimang, Lalayaan dan
Bangbalikan. Ketujuh lagu tersebut dianggap sebagai lagu pokok, karena

15
merupakan kelompok lagu yang mula-mula diciptakan dan biasa digunakan
secara sakral untuk mengundang Dewi Sri. Sedangkan lagu-lagu pilihan
atau lagu-lagu yang tidak termasuk ke dalam lagu pokok terdiri dari
Saur,Mataraman,Iringiringan (Tonggeret), Jemplang, Limbangan, Bangu
n, Lalayaan, Karatonan, Degung, Sirnagalih, Buncis, Pangairan, Dengdo,
Angin-angin, Reundeu, Pagelaran, Ayun Ambing, Reundeuh
Reundang, Kembang Gadung, Onde, Legon (koromongan), dan Panglima.
Lagu-lagu Tarawangsa di Rancakalong jauh lebih banyak jumlahnya
daripada lagu-lagu Tarawangsa di Banjaran dan Cibalong. Lagu-lagu
Tarawangsa di Banjaran di antaranya terdiri
dari Pangrajah, Panimang, Bajing Luncat, Pangapungan, Bojong Kaso,
dan Cukleuk. Sementara lagu-lagu Tarawangsa di Cibalong di antaranya
terdiri dari Salancar, Ayun,Cipinangan, Mulang, Manuk Hejo, Kang
Kiai, Aleuy, dan Pangungsi.

BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Risalah tentang asal mula dari kesenian Tarawangsa yang menyebar di
masyarakat Kecamatan Rancakalong sebenarnya cukup banyak. Hal
tersebut dapat dilihat dari banyaknya tambahan dan variasi keterangan yang
diberikan oleh tokoh yang satu dengan tokoh lainnya yang sedikit berbeda
seperti pendapat diatas. Keterangan atau cerita tersebut telah mereka

16
dapatkan secara turun temurun dari generasi mereka sebelumnya. Walaupun
cerita asal mula kesenian Tarawangsa memiliki banyak versi, namun inti
cerita tersebut tetap mempunyai kesamaan yaitu asal mula Tarawangsa
sebagai media ritual atau rasa syukur kepada Tuhan dan rasa terima kasih
kepada Dewi Sri (Dewi Padi) atas hasil panen yang telah diperoleh.
Perkembangan kesenian Tarawangsa sedikitnya mengalami
perkembangan dari sisi fungsional. Kesenian Tarawangsa sampai sekarang
masih tetap hidup, meskipun tidak berkembang luas seperti kesenian
lainnya. Kesenian ini sulit berkembang karena kesenian ini tidak dapat
dipelajari seperti Jaipongan atau tari pergaulan lainnya karena masih kuat
unsur religiusnya.
Kesenian Tarawangsa juga memiliki sedikit keunggulan yaitu mampu
hidup dan bertahan di tengah-tengah jaman yang serba modern, dan mampu
mempertahankan adat istiadat yang bersifat religious. Kesenian ini juga
mengajarkan manusia dengan alam dan penghormatan kepada yang gaib
dimana keseimbangan diantaranya harus dijaga, serta mengajarkan agar
manusia tidak lupa untuk mengucap syukur kepada Sang Pencipta atas
segala apa yang telah dikaruniakan-Nya.

B. Saran
Berdasarkan uraian diatas, kami sebagai generasi muda yang peduli
terhadap kesenian tradisional sunda berupaya untuk melestarikan dan
mempertahankan eksistensi kesenian Tarawangsa khususnya daerah
Rancakalong, Kabupaten Sumedang sebagai salah satu kesenian tradisional
masyarakat kabupaten Sumedang, agar tetap menjadi salah satu aset
kebudayaan bangsa. Dengan demikian, kami berharap pemerintah atau
lembaga-lembaga kesenian dapat lebih mengintesifkan pembinaan kesenian
Tarawangsa baik para senimannya ( organisasi kesenian tarawangsa
maupun pembinaan materi seninya).
Selain itu, kami pun berharap pengelola kesenian Tarawangsa terus
membina dan mengadakan upaya regenerasi dan reorganisasi agar kesenian

17
tersebut dapat berkembang sejalan dengan perkembangan zaman, salah satu
upaya yang dapat dilakukannya yaitu dengan mendirikan sanggar-sanggar
di dalam masyarakat tersebut dengan tidak meninggalkan nilai dasar
kesenian Tarawangsa pada awalnya.

18

Anda mungkin juga menyukai