Anda di halaman 1dari 19

Uraian Ilmiah

Pendapat tentang Pendidikan Kedokteran Spesialis


Terintegrasi Saat Ini

Disusun untuk Tugas Mata Kuliah Filsafat Ilmu Pengetahuan dan Etika Profesi

Oleh Kelompok 10

Nama Program Studi NPM


Aliyya Rifki Radiologi 1806272456
Ankri Hakam Bedah Toraks Kardiovaskular 1806273055
Corry Rosiana Patologi Klinik 1806272600
Diah Pitaloka Dermatologi Venereologi 1806272166
Fieka Meitaqwatiningarum Akupunktur Medik 1806273351
Leonita Ariesti Putri Ilmu Kedokteran Jiwa 1806272014
Pebriansyah Ilmu Kesehatan Anak 1806271781
Putri Dini Azika Pulmonologi dan Kedokteran Respirasi 1806272411
Raga Manduaru Urologi 1806272752
Raymond Anestesiologi 1806271333
Reyhan F S Amandita Ilmu Penyakit Dalam 1806271636
Rezania Khairani Mochtar Bedah Plastik 1806272903

Program Magister Pendidikan Dokter Spesialis-1


Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia
Maret 2019
DAFTAR ISI

Pendidikan Kedokteran Terintegrasi 3


Manfaat, Batasan, dan Tantangan 4
Pendidikan Kedokteran Terintegrasi di Indonesia 5
Pendidikan Kedokteran Spesialis Terintegrasi 6
Beragam Sudut Pandang Peserta Didik PPDS di FKUI 6
Program Studi Patologi Klinik 6
Program Studi Anestesiologi 7
Program Studi Ilmu Penyakit Dalam 7
Program Studi Bedah Toraks Kardiovaskular 8
Program Studi Akupunktur Medik 8
Program Studi Radiologi 9
Program Studi Pulmonologi dan Kedokteran Respirasi 10
Program Studi Ilmu Kedokteran Jiwa 11
Program Studi Urologi 12
Program Studi Dermatologi Venereologi 13
Program Studi Ilmu Kesehatan Anak 13
Program Studi Bedah Plastik 14
Integrasi Pengobatan Tradisional dan Modern 15
Kenyataan dan Harapan 15
Status Quo 15
Harapan dan Usulan 16
Daftar Pustaka 18

2
Pemicu: Bagaimana menurut pendapat Saudara tentang pendidikan kedokteran
spesialis terintegrasi saat ini?

Pendidikan adalah proses untuk menfasilitasi sesorang dalam meningkatkan


pengetahuan dan keterampilannya. Pendidikan kedokteran merupakan pendidikan yang fokus
pada pengembangan ilmu kesehatan dengan tujuan membentuk pribadi setiap mahasiswa
kedokteran berkualitas baik sebagai dokter masa depan dan juga sebagai pelayan kesehatan.
Untuk mencapai dokter yang semakin berkualitas maka pendidikan kedokteran terus
berkembang. Pada buku Taxonomy of Educational Objective the Classification of Educatinal
Goals, Bloom (1956) menjelaskan bahwa belajar mempunyai tiga bagian yaitu kognitif,
psikomotor dan afektif, dimana pada dunia pendidikan kedokteran ketiga hal itu didefinisikan
sebagai pengetahuan, keterampilan dan perilaku. 1

Pendidikan Kedokteran Terintegrasi


Secara umum pendidikan terintegrasi mempunyai makna proses pendidikan yang
menyatukan beberapa disiplin ilmu untuk mencapai tujuan dan sasaran pendidikan.2
Kurikulum yang terintegrasi merupakan metode pembelajaran yang diatur sedemikian rupa
sehingga melintasi berbagai subjek ilmu, menyatukan berbagai aspek kurikulum sehingga
membentuk hubungan yang bermakna dan memperluas fokus area pendidikan.3 Integrasi ini
merupakan hal yang penting dalam dunia pendidikan kedokteran karena pengetahuan
mengenai berbagai subjek ilmu lebih berarti dan relevan untuk diimplikasikan dalam praktik
klinis seorang profesional sehari – hari.
Pendekatan integrasi memiliki sebelas tingkatan anak tangga berdasarkan besarnya
ikatan integrasi atau keterkaitan antar disiplin ilmu.4 Dari urutan terendah tingkatan tesebut
meliputi: 1) Isolation; 2) Awareness; 3) Harmonization; 4) Nesting; 5) Temporal co-
ordination; 6) Sharing; 7) Correlation; 8) Complementary; 9) Multi-disciplinary; 10) Inter-
disciplinary; dan 11) Trans-disciplinary. Semakin rendah tingkat integrasi menunjukkan
berkurangnya keterkaitan antar disiplin ilmu.
Pada pembelajaran terintegrasi terdapat dua bentuk pendekatan umum yaitu integrasi
horizontal dan integrasi vertikal.4,5 Integrasi horizontal terjadi antara beberapa disiplin ilmu
yang berkaitan dengan suatu konsep.5 Umumnya integrasi ini disajikan dengan pendekatan
sistem organ, misalnya kardiovaskular, respirasi, dan sebagainya. Integrasi vertikal terwujud
dengan cara membuat tema-tema atau domain.5 Domain ini dapat dikelompokkan menjadi
empat yaitu: 1) keterampilan klinis dan komunikasi; 2) ilmu dasar dan klinis; 3) kesehatan

3
sosial, komunitas, dan populasi; dan 4) pengembangan personal dan profesional. Integrasi
vertikal adalah integrasi yang bersifat “across time” dengan cara menghilangkan batas-batas
antara keilmuan dasar dan keilmuan klinik. Terdapat jenis integrase ketiga, yaitu integrasi
spiral. Integrasi spiral merupakan integrasi yang paling ideal, dimana menggambarkan
kombinasi horizontal dan vertikal, menggabungkan integrasi menurut waktu dan disiplin ilmu.
Integrasi spiral sudah diterapkan sejak lama di Inggris.1

Manfaat, Batasan, dan Tantangan


Pendidikan kedokteran yang terintegrasi adalah metode yang dijadikan standar
sehingga para peserta didik dapat mengetahui bahwa kajian kedokteran dilakukan bukan
berdasarkan satu disiplin ilmu tetapi kolaborasi dalam berbagai disiplin ilmu tersebut.
Tujuannya adalah agar pelayanan yang diberikan kepada pasien maksimal dan holistik.6 Akan
tetapi penerapan pelayanan holistik tersebut menuntut sumber daya manusia yang baik dan ikut
serta pemerintah dalam menjaga kualitas pelayanan kedokteran tersebut.7 Oleh karena itu,
komunikasi dan kerja sama antar disiplin ilmu perlu terintegrasi dan berjalan dengan baik.
Pendekatan terintegrasi dapat mengarahkan penyelesaian permasalahan kesehatan lebih
holistik.8 Setiap permasalahan dilihat dari berbagai disiplin ilmu karena pada kenyataannya
memang tidak ada satupun permasalahan kesehatan yang dapat diselesaikan hanya dengan satu
disiplin ilmu. Pendekatan ini mampu mengurangi fragmentasi pendidikan kedokteran.4
Manfaat utama dari pendekatan terintegrasi adalah kemampuan menunjukkan pentingnya
kesatuan dalam kedokteran dan hubungan antar disiplin ilmu dengan mengurangi fragmentasi
pengalaman belajar.
Meskipun pembelajaran terintegrasi memiliki banyak keuntungan, namun ada beberapa
keterbatasan yang mesti mendapat perhatian ketika menggunakan pendekatan ini. Beberapa
topik mungkin dapat terabaikan atau disampaikankan berlebihan.8 Umumnya departemen
memiliki keinginan untuk menunjukkan “eksistensinya” dalam proses pembelajaran.
Adanya sekat antar departemen juga sering menjadi hambatan.8 Hal ini, salah satunya
dapat berkaitan dengan mekanisme pembiayaan. Pendekatan terintegrasi sulit membagi
wilayah kerja departemen apa yang besar sehingga departemen tersebut mesti dibiayai lebih
besar. Untuk mengatasi hal ini diperlukan kerja sama dari pimpinan departemen dan pimpinan
rumah sakit agar tidak timbul kecemburuan antar departemen.9
Membuat sebuah kurikulum terintegrasi memang tidak mudah karena membutuhkan
waktu, komitmen, fleksibilitas, dan kemampuan berkompromi antar-spesialisasi. Dibutuhkan
dukungan dan komitmen penuh dari semua orang dalam institusi terkait untuk dapat

4
menjalankan kurikulum pendidikan spesialis terintegrasi. Namun, manfaat yang diharapkan
dari kurikulum terintegrasi sepadan dengan perbaikan pelayanan kesehatan yang didapatkan
pasien, peningkatan efektivitas pelayanan dan anggaran biaya kesehatan.6

Pendidikan Kedokteran Terintegrasi di Indonesia


Pendidikan kedokteran di Indonesia tampak masih berubah-ubah. Sebelum tahun 2015,
kurikulum pendidikan dokter dimulai dari materi-materi dasar biomedik seperti fisiologi,
biokimia, histologi, anatomi, farmakologi, dan biologi, kemudian berlanjut pada sistem organ,
serta pada tahap ko-asisten mulai mempelajari aplikasi klinik seperti anamnesis, diagnosis,
serta terapi. Namun setelah perubahan kurikulum pada tahun 2015, perlahan seluruh fakultas
kedokteran di Indonesia mengadopsi sistem Problem Based Learning (PBL) dimana
mahasiswa kedokteran dituntut belajar secara menyeluruh atau terintegrasi mulai dari
biomedik dasar maupun ilmu klinis sejak pertama kali masuk menjadi mahasiswa. Kedua
sistem tersebut ternyata berdampak besar bagi luaran pendidikan kedokteran di Indonesia. Pada
kurikulum lama tampak bahwa seorang dokter tampak lebih menguasai ilmu-ilmu dasar
biomedik lebih baik daripada kurikulum baru. Namun di sisi lain, kurikulum baru memiliki
ilmu klinis yang baik. Menurut hemat penulis, kurikulum pendidikan kedokteran di Indonesia
perlu ditata ulang agar menghasilkan luaran dokter-dokter yang memiliki keterampilan klinis
yang baik dan mempunyai dasar-dasar ilmu biomedik yang kuat sehingga dapat lebih
komprehensif dalam menangani pasien.
Di Indonesia, pendidikan kedokteran dan kedokteran spesialis sudah mulai bergeser
menjadi kurikulum problem-based learning. Munculnya ide ini dikarenakan adanya pendapat
bahwa mahasiswa kedokteran perlu belajar mengenai hubungan antar penyakit,
mengkolaborasikannya dan melihat sesuatu secara holistik. Hal ini lah yang kemudian
membuat kurikulum pendidikan kedokteran bergeser dari kurikulum konvensional menjadi
kurikulum problem-based learning (PBL).10
Pendidikan kedokteran umum telah menerapkan kurikulum terintegrasi melalui
kurikulum berbasis kompetensi. Di dalam kurikulum berbasis kompetensi, mahasiswa
memelajari ilmu biomedis di dalam konteks kedokteran klinis, komunitas, dan
humaniora/bioetika melalui metode problem-based learning (PBL). Dan setelah diteliti
ternyata mahasiswa kedokteran dengan kurikulum problem-based learning lebih akurat dalam
mendiagnosis penyakit dibandingkan dengan mahasiswa kedokteran dengan kurikulum
konvensional.11

5
Pendidikan Kedokteran Spesialis Terintegrasi
Sedangkan pendidikan spesialis di Indonesia saat ini tampaknya mulai terjadi perluasan
bidang-bidang spesialis baru seperti ilmu kedokteran olahraga, spesialis kedokteran emergensi,
dan spesialis dokter layanan primer. Dokter spesialis adalah dokter yang telah menyelesaikan
program pendidikan spesialis yang merupakan jenjang lanjut pendidikan dokter. Maksud dari
pembukaan cabang-cabang spesialis baru ini tentu untuk membuka lahan ahli-ahli baru di
bidangnya yang tentunya akan memperkaya rumpun ilmu kedokteran. Namun yang patut
diwaspadai justru dengan banyaknya cabang-cabang spesialis, dikhawatirkan terbentuk
pemikiran dokter yang terkotak-kotak dimana seorang dokter yang sudah spesialis cenderung
hanya menguasai bidangnya saja, sedangkan ilmu-ilmu dasar biomedik dan klinis yang umum
sering terlupakan. Pada dasarnya cabang utama ilmu kedokteran itu hanya ilmu medik dan
bedah, seiring dengan perkembangan ilmu, induk tadi memiliki banyak cabang spesialis yang
memungkinkan terjadinya saling overlapping pada kompetensinya sehingga menimbulkan
kecemburuan satu sama lain. Oleh karena itu, dengan kemajuan ilmu kedokteran yang begitu
pesat dan luas, diperlukan peran pemerintah untuk mengatur pendidikan spesialis ini agar lebih
terstruktur lebih baik.

Beragam Sudut Pandang Peserta Didik Program Pendidikan Dokter Spesialis-1 di


Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia

Program Studi Patologi Klinik


Pada program studi yang saya ambil yaitu Patologi Klinik tentu saja hal ini juga
berlaku. Seperti diketahui peran dokter spesialis Patologi Klinik adalah sebagai penghubung
antara pasien dengan dokter klinisi yang melakukan diagnosis. Oleh karena itu setiap hasil
laboratorium akan diinterpretasikan oleh dokter spesialis Patologi Klinik agar dapat membantu
menegakkan diagnosis, memantau terapi dan melihat prognosis pasien.
Perlu adanya kerjasama antara dokter spesialis Patologi Klinik dengan dokter spesialis
lain yang mengirimkan permintaan pemeriksaan laboratorium, hal ini diperlukan untuk
menghindari kesalahan diagnosis, kesalahan terapi, maupun menekan biaya pengobatan yang
tidak perlu. Sebagai contoh jika ada seorang dokter yang meminta pemeriksaan Tubex dan
Widal untuk pasien dengan demam 4 hari, atau dokter yang meminta pemeriksaan IgM dan
IgG dengue pada pasien demam hari kedua. Dengan berdiskusi dengan dokter yang meminta

6
permintaan laboratorium, kita bisa menyarankan bahwa pemeriksaan Tubex sudah cukup untuk
mendeteksi penyakit Typhus walaupun mungkin pada hari ke-4 bisa keluar hasil negative
palsu, atau kita bisa menyarankan untuk pemeriksaan NS1 pada penderita tersangka DHF
dibandingkan pemeriksaan IgG dan IgM dengue yang mungkin belum meningkat pada hari
kedua demam.
Oleh karena itu dalam upaya untuk meningkatkan pelayanan kesehatan masyarakat
baik secara umum, Patologi klinik harus berkerja sama dengan berbagai pihak baik dari dokter
spesialis, pasien maupun analis pengambil darah dan analis pemeriksa untuk menghasilkan
interpretasi yang komprehensif dan holistik, disertai pemahaman etiologi dan pathogenesis
terjadinya suatu penyakit. Semua hal itu membutuhkan kerja sama yang baik, komunikasi,
komisiten dan kepedulian dari semua pihak sehingga akan menghasilkan kualitas mutu
pelayanan kesehatan yang baik.

Program Studi Anestesiologi


Pada program studi yang saya ambil yaitu Anestesiologi, seperti diketahui dokter
anestesi sebagai dokter yang memfasilitasi tindakan pembedahan dan kegawatdaruratan serta
penganan pasien kritis. Perlu adanya hubungan kerja sama anatara dokter spesialis anestsi
dengan dokter operator seperti dokter bedah contohnya dimana tidak akan terselengara proses
pe,bedahan jika tidak ada kerjasa sinergis ntar kedua belah pihak dan juga di perlukan diskusi
antara dokter untuk mencari penangana yang efektif untuk pasien. Jadi dalam Pendidikan
dokter terintegerasi kita harus bekerja sebgai tim dengan bagian lain guna dapat memcahkan
masalah dan memberikan terapi yang tepat untuk pasien.

Program Studi Ilmu Penyakit Dalam


Sebagai salah satu cabang ilmu pendidikan spesialis tertua di Indonesia, Ilmu penyakit
dalam telah berkembang begitu pesat seiring dengan jumlah dokter penyakit dalam yang
melebihi 4000 orang. Kurikulum dalam pendidikan spesialis penyakit dalam pun saat ini sudah
tertata dengan sistematis dan terstandardisasi dengan baik sehingga menjamin kelulusan yang
unggul dari manapun asal almamaternya. Namun apabila dilihat lebih dalam, kebanyakan
kurikulum spesialis di Indonesia masih dominan tentang pendalaman tentang keilmuan bidang
tersebut, tidak terlalu terlihat kurikulum mengenai aspek-aspek selain ilmu klinis, seperti
bioetik, komunikasi, dan aspek bio-psiko-sosio-kultural. Aspek tersebut sangat penting saat ini
karena di negara-negara tetangga pun saat ini sudah menerapkan pendidikan dokter maupun
spesialis secara terintegrasi, sehingga tidak jarang pasien-pasien dalam negeri merasa lebih

7
nyaman berobat di negara tetangga meskipun secara keilmuan, dokter-dokter di Indonesia
mempunyai kompetensi yang sebanding dengan dokter di negara tetangga.

Program Studi Bedah Toraks Kardiovaskular


Pendidikan spesialis kedokteran terintegrasi dapat membantu menyelesaikan masalah
kesehatan dengan cara yang lebih holistik. Pada prodi BTKV, program pendidikan terintegrasi
yang berlaku saat ini yaitu peserta pendidikan harus melewati program sebanyak 10 semester
yang terdiri dari program magister, program bedah dasar, dan beberapa tingkatan program
bedah toraks kardiovaskular. Dalam proses pendidikan spesialis BTKV, sistem terintegrasi
tersebut dapat membantu peserta pendidikan menggapai sasaran dan tujuan pendidikan yang
lebih tinggi seperti aplikasi pengetahuan, keterampilan analisis, dan penyelesaian masalah.
Meskipun program pendidikan spesialis kedokteran terintegrasi memiliki banyak
keuntungan untuk prodi BTKV, namun ada beberapa keterbatasan yang harus mendapat
sorotan dalam proses pendidikan. Seringkali beberapa disiplin ilmu menjadi terabaikan atau
bahkan beberapa diajarkan berlebihan karena disiplin ilmu tersebut ingin dianggap sangat
penting. Standarisasi staf pengajar yang tidak sama dalam memandang proses pendidikan
terintegrasi pun menjadi salah satu masalah yang fatal. Subjektifitas staf pengajar dalam
memberi penilaian kepada peserta didik menjadi sorotan utama. Hal tersebut dapat
menghambat peserta pendidikan dalam menggapai sasaran dan tujuan pendidikan secara
maksimal. Tidak jarang pula hal tersebut dapat mematikan kesempatan peserta didik untuk
menyelesaikan pendidikan program spesialis.
Saya pribadi merasa Program Pendidikan Spesialis Kedokteran Terintegrasi di
Universitas Indonesia masih membutuhkan perbaikan. Bukan hanya di prodi BTKV tetapi juga
di prodi lain. Dengan adanya perbaikan dari masalah-masalah yang menjadi sorotan diharapkan
dapat menghasilkan profesional yang jauh lebih baik dan jauh lebih bermanfaat.

Program Studi Akupunktur Medik


Ilmu Akupunktur Medik di negara Barat disebut Western Medical
Acupuncture (WMA) yaitu adaptasi teknik Akupunktur ke dalam Ilmu Kedokteran
Konvensional. Akupunktur Medik merupakan modalitas terapi yang menggunakan cara
stimulasi titik akupunktur untuk tujuan promotif, preventif, kuratif dan rehabilitatif.
Akupunktur Medik berbasis ilmu biomedik, dengan paradigma Evidence Based Medicine
(EBM) yang mempersyaratkan bukti ilmiah terkini. Diagnosis dilakukan menurut International

8
Classification of Diseases (ICD). Tata laksana pasien dilakukan sesuai Panduan Praktek Klinik
(PPK), Pedoman Nasional Pelayanan Kedokteran (PNPK), Algoritma dan Clinical Pathway.12
Dalam perkembanganya, WHO telah mengintegrasikan ilmu akupunktur ke dalam
ilmu kedokteran konvensional dan mendukung untuk mengintegrasikannya dalam sistem
kesehatan nasional. Saat ini, ilmu akupunktur medik sudah banyak dipraktikkan oleh dokter di
berbagai negara selain negara bagian timur (Amerika, Inggris, Kanada, Jerman Kuba) bahkan
di Indonesia dan bukan sebagai “terapi alternatif”, melainkan terintegrasi di dalam praktik
kedokteran konvensional.8
Berdasakan uraian diatas, dan sesuai dengan UU RI No.20 tahun 2013 tentang
pendidikan kedokteran Pasal 3 dan 4, maka sudah seharusnya pendidikan kedokteran spesialis
di Indonesia harus terintegrasi dengan baik. Setiap dokter dari berbagai bidang spesialis
seharusnya bisa bekerja sama meningkatkan kualitas pendidikan kedokteran, yang salah
satunya dalam penanganan pasien secara holistik dan tidak berdasarkan kepentingan ataupun
keuntungan masing-masing bidang saja.
Sebagai contoh kerja sama yang terintegrasi antara spesialis akupunktur medik dengan
bidang spesialis lain dalam hal penanganan kasus pada satu pasien dengan karsinoma buli
dengan diabetes mellitus dan gejala depresi. Satu pasien dengan berbagai kasus tersebut bisa
melibatkan dokter dari spesialis bedah urologi, penyakit dalam, kedokteran jiwa, anastesiologi,
KFR, radiologi dan akupunktur medik itu sendiri. Dalam hal ini, tindakan akupunktur pada
titik tertentu telah terbukti secara EBM memiliki efektivitas yang sangat baik dalam
mengurangi rasa nyeri dan gejala mual muntah pasca kemoterapi, sehingga dapat menjadi salah
satu cara memberikan kenyamanan pada pasien untuk semangat melanjutkan pengobatannya.
Sayangnya kerjasama terintegrasi seperti ini seringkali menemui hambatan untuk
diterapkan di rumah sakit dan masyarakat Indonesia. Masalah keuangan seringkali menjadi
kendala dan masalah egoisme dokter dari masing-masing bidang yang merasa “superior” dan
paling menentukan kesembuhan pasien, sehingga pasien seringkali menjadi objek target
kesembuhan secara medik saja, tanpa melihat kenyamanan pasien secara holistik (dari sisi
psikis, sosial, spiritual dan budaya) dimana bisa jadi salah satu atau bahkan seluruh aspek
tersebut bisa mendukung pasien untuk segera sembuh. Hal ini menjadi tantangan untuk
pendidikan kedokteran spesialis di Indonesia.

Program Studi Radiologi


Dalam ilmu pendidikan spesialis radiologi di Indonesia, khususnya di Jakarta,
kurikulum yang terintegrasi ini juga sudah diterapkan. Pada Program Pendidikan Dokter

9
Spesialis (PPDS) Radiologi, para mahasiswa tidak hanya mempelajari ilmu radiologi saja,
namun juga bekerja sama dengan program studi lainnya, seperti: Anak, Radioterapi, Obstetri
dan Ginekologi, Pulmonologi, Ortopedi, dan Rehab Medik. Adanya integrasi dengan ilmu
pendidikan lain tersebut menjadikan para mahasiswa dapat mempelajari suatu keilmuan secara
menyeluruh, tidak hanya dari satu sudut pandang saja, namun juga dari aspek keilmuan lainnya.
Tujuan dari metode tersebut adalah agar kedepannya para mahasiswa yang telah lulus dapat
bekerja sama dengan dokter spesialis lainnya untuk memahami suatu penyakit dan mengobati
pasien secara menyeluruh.
Sayangnya, pendidikan kedokteran spesialis yang terintegrasi dapat memiliki beberapa
kekurangan apabila tidak disertai dengan kurikulum yang terencana dengan baik dan
bimbingan oleh tenaga pengajar yang ahli di bidangnya. Berdasarkan beberapa survei yang
dilakukan di luar negeri, beberapa residen radiologi merasa bahwa dengan adanya kurikulum
yang terintegrasi, mahasiswa kurang mendapat bimbingan dalam mempelajari ilmu yang harus
dipelajari dan kurang mendapat bimbingan dari tenaga pengajar di departemen.13 Dengan
adanya kurikulum yang terintegrasi, metode pembelajaran diharapkan lebih bersifat horizontal,
dengan masing – masing mahasiswa berusaha membentuk kelompok belajar dan berdiskusi
dengan satu sama lain baru kemudian mendiskusikan dengan tenaga pengajar mengenai
temuan tersebut. Metode tersebut menyebabkan bahan pelajaran yang harusnya dipelajari lebih
sedikit dibandingkan kurikulum tradisional dimana pengajar yang memberitahu ilmu - ilmu
yang harus dipelajari (teacher-based). Di Indonesia, khususnya di Jakarta, PPDS Radiologi
diberi kesempatan untuk belajar sendiri mengenai ilmu – ilmu radiologi berdasarkan kasus
yang mereka temui sehari – hari kemudian berdiskusi dengan tenaga pengajar mengenai ilmu
yang mereka dapatkan setiap harinya. Namun untuk menghindari terjadinya kesenjangan ilmu
atau kurangnya ilmu yang didapat oleh masing – masing mahasiswa, Departemen Radiologi
berusaha untuk melengkapi dan menstandarisasi keilmuan tersebut, dengan cara memberikan
kuliah mengenai keilmuan dasar untuk memastikan bahwa para mahasiswa benar – benar
memahami konsep dasar suatu keilmuan. Selain kuliah, Departemen Radiologi juga
mewajibkan para mahasiswa untuk presentasi mengenai Laporan Jaga, Photo Reading,
Laporan kasus, Referat, dan Journal Reading yang diadakan rutin setiap minggunya dan wajib
dihadiri oleh PPDS Radiologi dan PPDS lainnya yang sedang stase di Departemen Radiologi
untuk mendukung pendidikan dokter spesialis yang terintegrasi.

Program Studi Pulmonologi dan Kedokteran Respirasi

10
Kebijakan pemerintah di dokter spesialis merupakan salah satu faktor penting untuk
menyusun RUU pendidikan kedokteran. Permasalahan yang terjadi adalah jumlah lulusan
dokter spesialis setiap tahun sangat tidak signifikan jika dibandingkan dengan kebutuhannya,
dibutuhkan campur tangan pemerintah termasuk pendanaanya agar biaya yang ditanggung oleh
masyarakat dapat berkurang dan peserta pendidikan (residen) adalah bukan hanya peserta
didik, namun juga merupakan pemberi pelayanan di rumah sakit yang mempunyai hak dan
kewajiban, termasuk menerima pendapatan dari kegiatannya di rumah sakit.14
Masalah yang sering terjadi adalah tumpang tindih kompetensi. Untuk mencegah hal
tersebut, Kolegium Pulmonologi dan Kedokteran Respirasi bersama Kolegium Ilmu Penyakit
Dalam, Ilmu Penyakit Jantung dan Pembuluh Darah dalam Rapat Harmonisasi Standar
Pendidikan pada tanggal 9 Mei 2017, yang disaksikan oleh Konsil Kedokteran Indonesia dan
Majelis Kolegium Kedokteran Indonesia, ditandatangani nota kesepakatan yang isinya:
1. Disepakati untuk saling menghargai, mengakui dan tidak saling meniadakan, dengan
mengutamakan kepentingan dan keselamatan pasien.
2. Setiap kolegium mempunyai otoritas untuk mencapai kompetensi sesuai yang ditetapkan
oleh kolegium masing-masing.
3. Perlu dibentuk forum komunikasi bersama antar kolegium untuk membahas hal-hal yang
terkait dengan standar pendidikan dan pelayanan.15

Program Studi Ilmu Kedokteran Jiwa


Di dalam pendidikan spesialis kedokteran jiwa, keberadaan divisi consultation liaison
psychiatry merupakan ujung tombak departemen psikiatri dalam berkolaborasi dengan
departemen medik lainnya. Namun ada kemungkinan masih banyak pasien-pasien yang datang
dengan keluhan utama atipikal psikologis tidak mendapatkan penatalaksanaan psikologis yang
seharusnya mereka dapatkan, padahal gangguan medisnya mungkin berkaitan dengan kondisi
kejiwaannya. Hal ini saya sampaikan berdasarkan pengetahuan umum dokter mengenai
penyakit-penyakit medis yang juga memiliki kaitan dengan atau dampak terhadap kondisi
psikologis, namun seringkali dalam penanganannya hanya berfokus pada gangguan medis
tanpa mengelola faktor psikisnya. Kondisi ini memerlukan kolaborasi antar-departemen medik.
Misalnya, kolaborasi antara departemen medik kejiwaan dengan departemen ilmu kesehatan
anak (IKA) dibutuhkan dalam menangani kasus malnutrisi pada anak karena kondisi malnutrisi
juga memengaruhi kemampuan intelektual anak, kapasitas belajar dan berelasi dengan orang
lain. Departemen IKA dapat menangani gangguan-gangguan medis akibat malnutrisi, misal
hipoglikemia, gangguan keseimbangan elektrolit, dan lain-lain, sedangkan ilmu kedokteran

11
jiwa, terutama divisi kedokteran jiwa anak dan remaja, dapat memberikan intervensi psikologis
berupa terapi bermain yang dihipotesiskan dapat mengkatalis proses penambahan berat badan
melalui stimulasi emosi.16 Kolaborasi dengan departemen ilmu kedokteran kebidanan dan
kandungan (ObsGyn) dapat mempercepat bahkan mencegah kejadian gangguan psikologis
post-partum atau membantu proses penyembuhan/pemulihan pada wanita dengan kanker
serviks yang pada umumnya juga mengalami gejala depresi melalui intervensi psikoterapi
suportif.17 Kolaborasi dengan departemen ilmu kedokteran bedah dapat membantu mengurangi
angka rekurensi sumbatan benda asing pada saluran cerna akibat kondisi kejiwaan seperti
tricophagia.

Program Studi Urologi


Dalam praktiknya, disiplin ilmu urologi juga tidak dapat berdiri sendiri. Selain untuk
menegakkan diagnosis dan memutuskan tatalaksana yang akan dilakukan kepada pasien, juga
diperlukan keilmuan dari bagian lain. Sebagai contoh dalam kasus transpalantasi ginjal.
Berdasarkan komplikasi dari transplantasi ginjal itu sendiri dapat berhubungan dengan
permasalahan lain, seperti :
1. Thrombosis arteri renalis
Menjadi komplikasi yang paling sering terjadi pada periode rawat inap setelah
transplantasi (disebabkan aliran darah yang rendah akibat hipotensi atau kekusutan
pembuluh darah karena kesalahan prosedur pembedahan). Selain dari gejala klinis yang
timbul, biasanya didiagnosis dengan ultrasonografi Doppler aliran warna. Oleh karena
itu bagian urologi membutuhkan pemeriksaan dari bagian radiologi.
2. Infeksi
Menjadi penyebab kematian paling umum, paling sering terjadi di daerah mukokutan,
saluran kemih dan saluran pernapasan. Agen infeksi yang paling umum adalah bekteri,
virus, jamur, dan protozoa. Sitomegalovirus. Virus herpes simpleks dan varicella-zoster
adalah pathogen virus yang paling sering.18 Berdasarkan dari patofisiologinya
dibutuhkan juga pemeriksaan dan penatalaksanaan dari bagian ilmu penyakit dalam.
3. Keganasan
Penerima transplantasi memiliki risiko yang jauh lebih tinggi untuk penyakit kanker
dibandingkan orang-orang yang tidak melakukan transplantasi. Hal tersebut
diakibatkan oleh faktor-faktor berikut, seperti chronic immunosuppression, chronic
antigenic stimulation, meningkatkan kerentanan terhadap infeksi virus onkogenik,
tindakan neoplastik langsung dari imunosupresan.19,20 Dan juga untuk kasus-kasus

12
keganasan pada ginjal, pada pasien dengan post transplantasi dibutuhkan pemeriksaan
dari bagian radiologi dan patologi anatomi. Yang bertujuan untuk mengetahui apakah
sudah ada terjadinya metastasis ke organ tubuh yang lain.

Sebagai contoh dalam rangka meningkatkan hasil pengobatan semua kanker di bidang
urologi, National institute for Health and Clinical Excellence (NICE) di Inggris membentuk
tim multidisiplin yang terdiri dari dokter-dokter spesialis dari disiplin ilmu yang berbeda untuk
menangani setiap kasus. Tim ini terdiri dari dokter spesialis bedah, patologi, radiologi dan
onkologi.21 Demikian, mengapa diperlukan tatalaksana secara komprehensif dalam tindakan
preventif, kuratif dan rehabilitatif. Sehingga pada akhirnya, dapat dilakukan pelayanan
kesehatan yang sesuai dengan kebutuhan pasien tersebut dan untuk meningkatkan kualitas dari
pelayanan kesehatan itu sendiri.

Program Studi Dermatologi Venereologi


Dermatologi dan venereologi adalah, cabang ilmu kedokteran yang mempelajari
mengenai kulit dan jaringan penunjangnya serta kelamin. Kulit adalah organ tubuh yang paling
besar, sehingga memiliki dampak yang besar terhadap kualitas hidup jika terjadi kelainan.
Salah satu insiden yang kerap terjadi dan semakin meningkat adalah Infeksi Menular Seksual
(IMS). Penanganan kasus Infeksi menular seksual ini membutuhkan intervensi dari cabang
kedokteran dermatologi dan venereology, dan cabang kedokteran lainnya. Pada Kasus IMS
yang mengenai perempuan maka intervensi dari cabang ilmu obstetri dan ginekologi juga
diperlukan, hali ini tidak lain karena IMS akan mempengaruhi fungsi dari organ reproduksi
wanita. Seorang wanita yang pada kodratnya adalah untuk mengandung dan melahirkan,
dengan adanya gangguan fungsi organ reproduksinya tentu memerlukan saran pengobatan dari
spesialis Obstetri dan Ginekologi.
Penanganan IMS, tidak hanya berfokus untuk menjaga dan mengembalikan fungsi
organ reproduksi. Namun juga memperhatikan dampak psikologis, karena individu dengan
IMS memiliki stigmata yang buruk dalam masyarakat. Hal ini tentu saja juga dapat
mempengaruhi fungsi sosial individu tersebut dalam masyarakat, rasa malu dan cemas dapat
mengakibatkan depresi. Dalam hal ini, maka intervensi dari cabang Ilmu Kedokteran Psikiatri
sangat dibutuhkan.22
Intervensi berbagai cabang Ilmu Kedokteran merupakan salah satu bentuk penanganan
holistik. Integrasi tersebut harus dilaksanakan dengan komunikasi yang baik antar dokter
spesialis dengan individu pasien IMS.

13
Dengan adanya integrasi pendidikan kedokteran di bidang dermatologi dan venereologi
dan cabang ilmu kedokteran lain serta integrasi pengobatan tradisional dan barat diharapkan
dokter dapat memberikan pelayanan yang lebih baik,dan tetap menjaga kualitas hidup pasien.

Program Studi Ilmu Kesehatan Anak


Contoh penerapan pendidikan kedokteran spesialis dalam ruang lingkup Ilmu
Kesehatan Anak adalah adanya divisi pediatri sosial. Hal ini didasari oleh karena pendekatan
kesehatan anak tidak hanya bertumpu pada anak dalam keadaan sakit dan sehat saja melainkan
juga melihat anak dalam posisinya di masyarakat seperti lingkungan rumah, sekolah, dan
keluarga. Seorang dokter anak tidak cukup hanya memberikan pelayanan kesehatan yang
bersifat kuratif saja, melainkan juga upaya-upaya preventif, promotif dan rehabilitatif. Seorang
dokter anak juga tidak cukup mengobati penyakitnya saja, tetapi faktor yang menyebabkan
penyakit tersebut dikaji dan dilakukan tatalaksana yang sesuai, disinilah dikenal dengan istilah
pelayanan pediatri terpadu (pediatric integrated care). Upaya-upaya tersebut sangat erat
kaitannya dengan lingkungan di sekitar anak, sehingga kita perlu melihat seorang anak dalam
posisinya di komunitas. Disinilah bentuk integrasi secara nyata dimana pediatri sosial secara
komprehensif dan holistik mengkaji tentang kesehatan seorang anak dimana hal tersebut sangat
penting dalam tumbuh kembang seorang anak sehingga sebaiknya selalu dilakukan. Integrasi
tersebut tentunya memerlukan koordinasi yang baik antar departemen terkait, pemerintah baik
tingkat RT/RW maupun pemerintah pusat, orang tua, lembaga swadaya masyarakat dan lain
sebagainya.

Program Studi Bedah Plastik


Di bidang bedah plastik, pendidikan spesialis kedokteran ditempuh selama sepuluh
semester. Masa studi tersebut kemudian terbagi-bagi menjadi beberapa tahapan, yaitu (1)
pendidikan magister; (2) pendidikan bedah plastik dasar; (3) pendidikan bedah dasar; dan (4)
pendidikan bedah plastik lanjut. Mayoritas aktifitas dilakukan di RSUPN Cipto
Mangunkusumo, dan beberapa rumah sakit jejaring lain baik di sekitar Jakarta maupun di luar
Jakarta.
Peserta PPDS dituntut untuk memberikan pelayanan sebagai dokter umum yang
“terlatih” di bidang keilmuan bedah plastik. Sebagian besar pelayanan dikerjakan oleh peserta
PPDS. Sehingga, di rumah sakit pendidikan, tidak adanya peserta PPDS akan sangat
berpengaruh terhadap pelayanan rumah sakit.

14
Menurut pandangan saya, dalam segi ini, program studi bedah plastik (dan tentunya
program studi lain) sudah menerapkan pendidikan spesialis kedokteran yang terintegrasi.
Karena selain memberikan pelayanan kepada pasien, kami juga dituntut untuk bisa melakukan
proses coding guna meng-klaim kasus-kasus BPJS yang ditangani. Adanya kerjasama antara
pihak medis dengan non-medis menjadikan seorang PPDS harus membuka wawasan dan
mengetahui adanya fungsi khusus masing-masing bagian supporting dalam pelayanan pasien.
Selain itu, pendidikan spesialis kedokteran terintegrasi sudah mulai dijalankan secara
lintas keilmuan. Hal ini terbukti dengan adanya kesempatan kami untuk mempelajari ilmu
bedah lainnya, pada semester-semester awal. Pada pendidikan bedah plastik lanjut, PPDS juga
tetap terpapar dengan keilmuan lain karena banyaknya kasus joint op yang sering dilakukan.
Misalnya, rekonstruksi pasca ablasi tumor, dimana seorang pasien akan menjalani reseksi
tumor oleh bedah onkologi, yang kemudian dilanjutkan dengan proses rekonstruksi bedah
mikro yang dijalankan oleh bedah plastik.
Saya pribadi merasa integrasi yang terjadi sudah cukup untuk membuat para PPDS
sadar dan terpapar dengan lingkungan tempat kami bekerja. Tapi kembali lagi, harus disadari
bahwa bagaimanapun para PPDS memiliki tanggungjawab untuk memperdalam keilmuan
bedah plastik sesuai dengan tujuan awal. Sehingga, pembaharuan atau aplikasi pendidikan
terintegrasi boleh dilakukan, asal tidak mengesampingkan ilmu spesialistik yang harus dijalani.

Integrasi pengobatan tradisional dan modern


Kedokteran merupakan ilmu yang selalu berkembang sejalan dengan semakin
beragamnya penyakit yang muncul. Suatu penyakit yang baru akan mendorong tenaga
kesehatan untuk mencari pengobatan yang optimal. Sekarang ini fenomena pengobatan yang
terdapat dalam masyarakat adalah ketertarikan pada ilmu kedokteran tradisional sebagai
sebuah riset sistematis dan berbasis bukti dan integrasinya dengan Ilmu kedokteran Modern.
Modifikasi pengobatan tradisional dan modern bertujuan untuk mendapatkan alternatif
pengobatan yang optimal. Dalam hal ini kita harus mampu mengadopsi praktik yang
bermanfaat dan mengeliminasi praktik yang berbahaya atau tidak bermanfaat. Yang dkk.
mengutarakan hal dalam artikelnya yang meneliti terapi tradisional berbasis bukti untuk
urtikaria kronik.23 Penggunaan berbagai jenis terapi, seperti akupuntur dan herbal, dikaji dan
disimpulkan bahwa masih kurangnya bukti yang ada mengenai efikasi dan keamanan
penggunaan terapi-terapi ini. Dari fakta-fakta di atas kita dapat menyimpulkan bahwa, seiring
dengan berkembanganya ilmu kedokteran, pengobatan tradisional/ilmu kedokteran timur
memiliki potensi untuk dikembangkan dan diintegrasikan dengan ilmu kedokteran barat

15
sebagai usaha utuk memperoleh alternatif pengobatan untuk meningkatkan kualitas hidup
pasien.24 Namun dibutuhkan penelitian lebih lanjut untuk memilah bagian mana yang dapat
diambil dan bagian mana yang tidak diperlukan.

Kenyataan dan Harapan


Status Quo
Pada kenyataannya untuk pendidikan spesialis masih terasa arogansi dan superioritas
masing-masing program studi. Sistem pengelolaan masalah kesehatan di rumah sakit
pendidikan di Indonesia umumnya masih spesialistik, terfragmentasi, dan bekerja sendiri-
sendiri. Permasalahan pasien belum dilihat sebagai permasalahan yang holistik. Walaupun ada
sistem konsul, pasien tersebut masih tetap menjadi tanggung jawab departemen tertentu, bukan
menjadi tanggung jawab bersama. Pemahaman ini yang mesti diubah dan menjadi tanggung
jawab pihak-pihak terkait tersebut.9
Sayangnya metode PBL yang memfasilitasi fungsi integratif ini, berdasarkan
pengalaman pribadi, tidak dilakukan di masa pendidikan klinik (co-assistant) sebanyak di masa
pendidikan pre-klinik. Di satu sisi, hal ini menunjukkan disiplin ilmu kedokteran klinis
(spesialisasi) yang masih lebih banyak bergerak masing-masing. Dokter dalam hal ini spesialis,
cenderung berfikir hanya berdasarkan sudut pandang keilmuannya masing-masing. Sebagai
contoh, jika ditemukan pasien dengan permasalahan multidisiplin, para dokter cenderung
memandang pasien tersebut sebagai objek manusia yang mempunyai masalah kesehatan
tertentu sesuai bidangnya masing-masing. Para dokter cenderung mempertahankan pendapat
berdasarkan keilmuan yang mereka yakini dan memandang bahwa bidang lain adalah urusan
orang lain dan cenderung acuh. Padahal untuk mencapai pelayanan kesehatan yang optimal,
semua dokter harus duduk bersama membahas penyakit pasien antar lintas program studi,
dengan begitu pembahasan kasus pasien lebih holistik dan menyeluruh. Jika setiap program
studi merasa dialah yang paling penting diantara lainnya maka pasien tidak akan mendapatkan
kesembuhan yang optimal. Padahal, kedokteran secara umum mengakui bahwa manusia adalah
makhluk bio-psiko-sosial dan bahwa dalam menangani seorang pasien memerlukan
pendekatan komprehensif dan penanganan yang holistik dan eklektik meskipun pasien tersebut
datang berobat ke dokter subspesialis sekalipun.

Harapan dan Usulan


Seharusnya, dalam menangani pasien, kita harus berfikir secara menyeluruh, tidak
hanya dari bidang tertentu yang kita dalami. Kita juga harus menghargai dan menghormati

16
pendapat rekan sejawat dengan keilmuannya masing-masing. Untuk mencapai cita-cita ini
seorang dokter, baik dokter umum maupun dokter spesialis, perlu terbiasa melihat dan
mengelola kesehatan pasien secara komprehensif, holistik, dan eklektik. Kebiasaan ini
tentunya tidak terbentuk dalam sekejap, namun perlu melalui proses berlatih dan supervisi
selama masa pendidikan spesialis.
Sebagai contoh pada kasus geriatri dengan penyakit stroke hemoragik dengan
komplikasi penyakit Diabetes Mielitus dan HHD yang membutuhkan tindakan craniotomi,
tentu saja diperlukan kerjasama tim medis multidisiplin ilmu diantaranya spesialis bedah saraf,
spesialis ilmu penyakit dalam, dan spesialis anestesi. Semua spesialis harus duduk bersama
membahas kasus ini agar dapat menentukan tindakan dan terapi yang terbaik untuk pasien ini
dengan semua masalah yang ada. Tujuan yang diharapkan dari pendekatan seperti ini adalah
untuk meningkatkan pelayanan keshatan dan survival rate pada pasien. Dengan metode seperti
ini, para peserta didik akan memikirkan suatu kasus secara menyeluruh baik dari masalah
medis maupun masalah sosial yang terlibat di dalamnya.3
Untuk menerapkan prinsip integrasi tersebut, diperlukan komunikasi yang baik antar
sesama spesialis dan bidang ilmu. Komunikasi yang baik tentunya dapat dilakukan dengan
berbagai cara, seperti konferensi, diskusi, studi kasus antar departemen dan lain sebagainya.
Namun yang paling penting adalah untuk dapat menurunkan ego masing-masing spesialisasi
dan bidang ilmu serta merubah pola pikir untuk tidak mengkotak-kotakkan bidang ilmu.
Membuka pola pikir serta mau mendengarkan dan menerima pendapat orang lain juga tidak
kalah pentingnya.
Selain itu, kita juga perlu menghapus anggapan bahwa bidang ilmu kita lebih superior
dibandingkan yang lain. Sebagai contoh, Departemen Bedah, Ilmu Kesehtan Anak, Obstetri
dan Ginekologi serta Ilmu Penyakit Dalam sebagai departemen mayor agar tidak mengganggap
bahwa departemen lain adalah inferior dan tidak lebih penting dibandingkan yang lain. Jika
semua spesialis memahami hal tersebut tentunya pendidikan kedokteran spesialis terintegrasi
akan dengan mudah dilaksanakan dan pada akhirnya akan terciptanya hubungan yang baik
antar departemen dan bidang ilmu, sehingga kita dapat meningkatkan pelayanan kesehatan
secara holistik dan terintegrasi.

17
Daftar Pustaka

1. Brauer DG, Ferguson KJ. The integrated curriculum in medical education: AMEE
Guide No. 96. Med Teach. 2015;37(4):312–22.
2. Dent J, Harden RM, Hunt D. A practical guide for medical teachers: Elsevier health
sciences; 2017.
3. Quintero GA, Vergel J, Arredondo M, Ariza M, Gómez P, Pinzon-Barrios. A integrated
medical curriculum: Advantages and disadvantages. J Med Educ Curric Dev.
2016;3:133-37
4. Harden RM. The Integration Ladder: A Tool for Curriculum Planning and Evaluation .
Medical Education 2000;34:551-557 .
5. Prideaux D. Integrated Learning. In: Dent JA, Harden RM. (eds). A Practical Guide for
Medical Teachers. 3Rd Edition. Churchill Livingstone: 2009.
6. Atwa HS, Gouda EM. Curriculum integration in medical education: A theoretical
review. Intel Prop Rights. 2014;2:113-19.
7. Dowtton SB, Stokes M, Rawstron EJ, Pogson PR, Brown MA. Postgraduate medical
education: Rethinking and integrating a complex landscape. Med J Aust.
2005;182:177-80.
8. McKimm J. Curriculum Design and Development. [Online]. Available
from: http://www.faculty.londondeanery.ac.uk/e-learning/setting-learning-
objectives/Curriculum_design_and_development.pdf.
9. https://pendidikankedokteran.wordpress.com/2012/05/23/pembelajaran-terintegrasi-
pada-pendidikan-dokter/
10. Kokmen E. Toward An Integrated Medical Model. Health Aff. 2008;8(2):191–191.
11. Schmidt HG, Machiels-Bongaerts M, Hermans H, Cate TJ ten, Venekamp R,
Boshuizen HPA. The Development of Diagnostic Competence : Comparison of a
Problem-based, an Integrated, and a Conventional Medical Curriculum. Acad Med
[Internet]. 1996;71(6):658–64. Available from:
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/9125924

12. http://pdai.or.id/news/detail/2/akupunktur-medik-dan-akupunktur-tradisionaltcm
13. Van Deven T, Hibbert K, Faden L, Chhem RK. The hidden curriculum in radiology
residency programs: A path to isolation or integration? Eur J Radiol [Internet].
2013;82(5):883–7. Available from: http://dx.doi.org/10.1016/j.ejrad.2012.12.001

18
14. Trisnantoro L. Rancangan Undang-undang Pendidikan Kedokteran: Perlukah? J Manaj
Pelayanan Kesehat. 2011;14:2010–1.
15. Konsil Kedokteran Indonesia. Nota kesepakatan rapat harmonisasi standar pendidikan
[Internet]. Jakarta; 2017. Available from:
https://kolegiumpulmonologi.org/2017/06/12/nota-kesepakatan-perhimpunan-
penyakit-dalam/
16. Fonagy P, Conticini A, Beard ER, Palmer R. Emotional stimulation in the context of
emergency food intervention in the treatment of malnourished children: A randomized
control trial. 2009.
17. Purnamawati NWA. Intervensi psikoterapi suportif pada pasien kanker serviks yang
mengalami gejala depresi. Universitas Indonesia; 2018.
18. Smith SR, Butterfly DW, Alexander BD, Greenberg A. Viral infection after renal
transplantation. Am J Kidney Dis. 2001 Apr. 37(4):659-76.
19. Birkeland SA, Lokkegaard H, Storm HH. Cancer risk in patients on dialysis and after
renal transplantation. Lancet. 2000 May 27. 355(9218):1886-7.
20. Engels EA, Pfeiffer RM, Fraumeni JF Jr, et al. Spectrum of cancer risk among US solid
organ transplant recipients. JAMA. 2011 Nov 2. 306(17):1891-901.
21. Acher PL, Young AJ, Etherington-Foy R, McCahy PJ, Deane AM. Improving
outcomes in urological cancers: the impact of ‘multidisciplinary team meetings’ Int J
Surg. 2005;3:121–3.
22. Shah R, Bewley A. The importance of integrated psychological interventions and
dedicated psychologists in dermatology. Clin Exp Dermatol. 2014;39(3):428-30.
23. Yang S-H, Lin Y-H, Lin J-R, Chen H-Y, Hu S, Yang Y-H, Yang Y-H, Yang Y-S and
Fang Y-F. The Efficacy and Safety of a Fixed Combination of Chinese Herbal Medicine
in Chronic Urticaria: A Randomized, Double-Blind, Placebo-Controlled Pilot Study.
Front. Pharmacol. 2018;9:1474. doi: 10.3389/fphar.2018.01474
24. Bodeker G, Ryan TJ, Volk A, Harris J, Burford G. Integrative Skin Care: Dermatology
and Traditional and Complementary Medicine. J Altern Complement Med.
2017;23:479-86.

19

Anda mungkin juga menyukai