Disusun untuk Tugas Mata Kuliah Filsafat Ilmu Pengetahuan dan Etika Profesi
Oleh Kelompok 10
2
Pemicu: Bagaimana menurut pendapat Saudara tentang pendidikan kedokteran
spesialis terintegrasi saat ini?
3
sosial, komunitas, dan populasi; dan 4) pengembangan personal dan profesional. Integrasi
vertikal adalah integrasi yang bersifat “across time” dengan cara menghilangkan batas-batas
antara keilmuan dasar dan keilmuan klinik. Terdapat jenis integrase ketiga, yaitu integrasi
spiral. Integrasi spiral merupakan integrasi yang paling ideal, dimana menggambarkan
kombinasi horizontal dan vertikal, menggabungkan integrasi menurut waktu dan disiplin ilmu.
Integrasi spiral sudah diterapkan sejak lama di Inggris.1
4
menjalankan kurikulum pendidikan spesialis terintegrasi. Namun, manfaat yang diharapkan
dari kurikulum terintegrasi sepadan dengan perbaikan pelayanan kesehatan yang didapatkan
pasien, peningkatan efektivitas pelayanan dan anggaran biaya kesehatan.6
5
Pendidikan Kedokteran Spesialis Terintegrasi
Sedangkan pendidikan spesialis di Indonesia saat ini tampaknya mulai terjadi perluasan
bidang-bidang spesialis baru seperti ilmu kedokteran olahraga, spesialis kedokteran emergensi,
dan spesialis dokter layanan primer. Dokter spesialis adalah dokter yang telah menyelesaikan
program pendidikan spesialis yang merupakan jenjang lanjut pendidikan dokter. Maksud dari
pembukaan cabang-cabang spesialis baru ini tentu untuk membuka lahan ahli-ahli baru di
bidangnya yang tentunya akan memperkaya rumpun ilmu kedokteran. Namun yang patut
diwaspadai justru dengan banyaknya cabang-cabang spesialis, dikhawatirkan terbentuk
pemikiran dokter yang terkotak-kotak dimana seorang dokter yang sudah spesialis cenderung
hanya menguasai bidangnya saja, sedangkan ilmu-ilmu dasar biomedik dan klinis yang umum
sering terlupakan. Pada dasarnya cabang utama ilmu kedokteran itu hanya ilmu medik dan
bedah, seiring dengan perkembangan ilmu, induk tadi memiliki banyak cabang spesialis yang
memungkinkan terjadinya saling overlapping pada kompetensinya sehingga menimbulkan
kecemburuan satu sama lain. Oleh karena itu, dengan kemajuan ilmu kedokteran yang begitu
pesat dan luas, diperlukan peran pemerintah untuk mengatur pendidikan spesialis ini agar lebih
terstruktur lebih baik.
6
permintaan laboratorium, kita bisa menyarankan bahwa pemeriksaan Tubex sudah cukup untuk
mendeteksi penyakit Typhus walaupun mungkin pada hari ke-4 bisa keluar hasil negative
palsu, atau kita bisa menyarankan untuk pemeriksaan NS1 pada penderita tersangka DHF
dibandingkan pemeriksaan IgG dan IgM dengue yang mungkin belum meningkat pada hari
kedua demam.
Oleh karena itu dalam upaya untuk meningkatkan pelayanan kesehatan masyarakat
baik secara umum, Patologi klinik harus berkerja sama dengan berbagai pihak baik dari dokter
spesialis, pasien maupun analis pengambil darah dan analis pemeriksa untuk menghasilkan
interpretasi yang komprehensif dan holistik, disertai pemahaman etiologi dan pathogenesis
terjadinya suatu penyakit. Semua hal itu membutuhkan kerja sama yang baik, komunikasi,
komisiten dan kepedulian dari semua pihak sehingga akan menghasilkan kualitas mutu
pelayanan kesehatan yang baik.
7
nyaman berobat di negara tetangga meskipun secara keilmuan, dokter-dokter di Indonesia
mempunyai kompetensi yang sebanding dengan dokter di negara tetangga.
8
Classification of Diseases (ICD). Tata laksana pasien dilakukan sesuai Panduan Praktek Klinik
(PPK), Pedoman Nasional Pelayanan Kedokteran (PNPK), Algoritma dan Clinical Pathway.12
Dalam perkembanganya, WHO telah mengintegrasikan ilmu akupunktur ke dalam
ilmu kedokteran konvensional dan mendukung untuk mengintegrasikannya dalam sistem
kesehatan nasional. Saat ini, ilmu akupunktur medik sudah banyak dipraktikkan oleh dokter di
berbagai negara selain negara bagian timur (Amerika, Inggris, Kanada, Jerman Kuba) bahkan
di Indonesia dan bukan sebagai “terapi alternatif”, melainkan terintegrasi di dalam praktik
kedokteran konvensional.8
Berdasakan uraian diatas, dan sesuai dengan UU RI No.20 tahun 2013 tentang
pendidikan kedokteran Pasal 3 dan 4, maka sudah seharusnya pendidikan kedokteran spesialis
di Indonesia harus terintegrasi dengan baik. Setiap dokter dari berbagai bidang spesialis
seharusnya bisa bekerja sama meningkatkan kualitas pendidikan kedokteran, yang salah
satunya dalam penanganan pasien secara holistik dan tidak berdasarkan kepentingan ataupun
keuntungan masing-masing bidang saja.
Sebagai contoh kerja sama yang terintegrasi antara spesialis akupunktur medik dengan
bidang spesialis lain dalam hal penanganan kasus pada satu pasien dengan karsinoma buli
dengan diabetes mellitus dan gejala depresi. Satu pasien dengan berbagai kasus tersebut bisa
melibatkan dokter dari spesialis bedah urologi, penyakit dalam, kedokteran jiwa, anastesiologi,
KFR, radiologi dan akupunktur medik itu sendiri. Dalam hal ini, tindakan akupunktur pada
titik tertentu telah terbukti secara EBM memiliki efektivitas yang sangat baik dalam
mengurangi rasa nyeri dan gejala mual muntah pasca kemoterapi, sehingga dapat menjadi salah
satu cara memberikan kenyamanan pada pasien untuk semangat melanjutkan pengobatannya.
Sayangnya kerjasama terintegrasi seperti ini seringkali menemui hambatan untuk
diterapkan di rumah sakit dan masyarakat Indonesia. Masalah keuangan seringkali menjadi
kendala dan masalah egoisme dokter dari masing-masing bidang yang merasa “superior” dan
paling menentukan kesembuhan pasien, sehingga pasien seringkali menjadi objek target
kesembuhan secara medik saja, tanpa melihat kenyamanan pasien secara holistik (dari sisi
psikis, sosial, spiritual dan budaya) dimana bisa jadi salah satu atau bahkan seluruh aspek
tersebut bisa mendukung pasien untuk segera sembuh. Hal ini menjadi tantangan untuk
pendidikan kedokteran spesialis di Indonesia.
9
Spesialis (PPDS) Radiologi, para mahasiswa tidak hanya mempelajari ilmu radiologi saja,
namun juga bekerja sama dengan program studi lainnya, seperti: Anak, Radioterapi, Obstetri
dan Ginekologi, Pulmonologi, Ortopedi, dan Rehab Medik. Adanya integrasi dengan ilmu
pendidikan lain tersebut menjadikan para mahasiswa dapat mempelajari suatu keilmuan secara
menyeluruh, tidak hanya dari satu sudut pandang saja, namun juga dari aspek keilmuan lainnya.
Tujuan dari metode tersebut adalah agar kedepannya para mahasiswa yang telah lulus dapat
bekerja sama dengan dokter spesialis lainnya untuk memahami suatu penyakit dan mengobati
pasien secara menyeluruh.
Sayangnya, pendidikan kedokteran spesialis yang terintegrasi dapat memiliki beberapa
kekurangan apabila tidak disertai dengan kurikulum yang terencana dengan baik dan
bimbingan oleh tenaga pengajar yang ahli di bidangnya. Berdasarkan beberapa survei yang
dilakukan di luar negeri, beberapa residen radiologi merasa bahwa dengan adanya kurikulum
yang terintegrasi, mahasiswa kurang mendapat bimbingan dalam mempelajari ilmu yang harus
dipelajari dan kurang mendapat bimbingan dari tenaga pengajar di departemen.13 Dengan
adanya kurikulum yang terintegrasi, metode pembelajaran diharapkan lebih bersifat horizontal,
dengan masing – masing mahasiswa berusaha membentuk kelompok belajar dan berdiskusi
dengan satu sama lain baru kemudian mendiskusikan dengan tenaga pengajar mengenai
temuan tersebut. Metode tersebut menyebabkan bahan pelajaran yang harusnya dipelajari lebih
sedikit dibandingkan kurikulum tradisional dimana pengajar yang memberitahu ilmu - ilmu
yang harus dipelajari (teacher-based). Di Indonesia, khususnya di Jakarta, PPDS Radiologi
diberi kesempatan untuk belajar sendiri mengenai ilmu – ilmu radiologi berdasarkan kasus
yang mereka temui sehari – hari kemudian berdiskusi dengan tenaga pengajar mengenai ilmu
yang mereka dapatkan setiap harinya. Namun untuk menghindari terjadinya kesenjangan ilmu
atau kurangnya ilmu yang didapat oleh masing – masing mahasiswa, Departemen Radiologi
berusaha untuk melengkapi dan menstandarisasi keilmuan tersebut, dengan cara memberikan
kuliah mengenai keilmuan dasar untuk memastikan bahwa para mahasiswa benar – benar
memahami konsep dasar suatu keilmuan. Selain kuliah, Departemen Radiologi juga
mewajibkan para mahasiswa untuk presentasi mengenai Laporan Jaga, Photo Reading,
Laporan kasus, Referat, dan Journal Reading yang diadakan rutin setiap minggunya dan wajib
dihadiri oleh PPDS Radiologi dan PPDS lainnya yang sedang stase di Departemen Radiologi
untuk mendukung pendidikan dokter spesialis yang terintegrasi.
10
Kebijakan pemerintah di dokter spesialis merupakan salah satu faktor penting untuk
menyusun RUU pendidikan kedokteran. Permasalahan yang terjadi adalah jumlah lulusan
dokter spesialis setiap tahun sangat tidak signifikan jika dibandingkan dengan kebutuhannya,
dibutuhkan campur tangan pemerintah termasuk pendanaanya agar biaya yang ditanggung oleh
masyarakat dapat berkurang dan peserta pendidikan (residen) adalah bukan hanya peserta
didik, namun juga merupakan pemberi pelayanan di rumah sakit yang mempunyai hak dan
kewajiban, termasuk menerima pendapatan dari kegiatannya di rumah sakit.14
Masalah yang sering terjadi adalah tumpang tindih kompetensi. Untuk mencegah hal
tersebut, Kolegium Pulmonologi dan Kedokteran Respirasi bersama Kolegium Ilmu Penyakit
Dalam, Ilmu Penyakit Jantung dan Pembuluh Darah dalam Rapat Harmonisasi Standar
Pendidikan pada tanggal 9 Mei 2017, yang disaksikan oleh Konsil Kedokteran Indonesia dan
Majelis Kolegium Kedokteran Indonesia, ditandatangani nota kesepakatan yang isinya:
1. Disepakati untuk saling menghargai, mengakui dan tidak saling meniadakan, dengan
mengutamakan kepentingan dan keselamatan pasien.
2. Setiap kolegium mempunyai otoritas untuk mencapai kompetensi sesuai yang ditetapkan
oleh kolegium masing-masing.
3. Perlu dibentuk forum komunikasi bersama antar kolegium untuk membahas hal-hal yang
terkait dengan standar pendidikan dan pelayanan.15
11
jiwa, terutama divisi kedokteran jiwa anak dan remaja, dapat memberikan intervensi psikologis
berupa terapi bermain yang dihipotesiskan dapat mengkatalis proses penambahan berat badan
melalui stimulasi emosi.16 Kolaborasi dengan departemen ilmu kedokteran kebidanan dan
kandungan (ObsGyn) dapat mempercepat bahkan mencegah kejadian gangguan psikologis
post-partum atau membantu proses penyembuhan/pemulihan pada wanita dengan kanker
serviks yang pada umumnya juga mengalami gejala depresi melalui intervensi psikoterapi
suportif.17 Kolaborasi dengan departemen ilmu kedokteran bedah dapat membantu mengurangi
angka rekurensi sumbatan benda asing pada saluran cerna akibat kondisi kejiwaan seperti
tricophagia.
12
keganasan pada ginjal, pada pasien dengan post transplantasi dibutuhkan pemeriksaan
dari bagian radiologi dan patologi anatomi. Yang bertujuan untuk mengetahui apakah
sudah ada terjadinya metastasis ke organ tubuh yang lain.
Sebagai contoh dalam rangka meningkatkan hasil pengobatan semua kanker di bidang
urologi, National institute for Health and Clinical Excellence (NICE) di Inggris membentuk
tim multidisiplin yang terdiri dari dokter-dokter spesialis dari disiplin ilmu yang berbeda untuk
menangani setiap kasus. Tim ini terdiri dari dokter spesialis bedah, patologi, radiologi dan
onkologi.21 Demikian, mengapa diperlukan tatalaksana secara komprehensif dalam tindakan
preventif, kuratif dan rehabilitatif. Sehingga pada akhirnya, dapat dilakukan pelayanan
kesehatan yang sesuai dengan kebutuhan pasien tersebut dan untuk meningkatkan kualitas dari
pelayanan kesehatan itu sendiri.
13
Dengan adanya integrasi pendidikan kedokteran di bidang dermatologi dan venereologi
dan cabang ilmu kedokteran lain serta integrasi pengobatan tradisional dan barat diharapkan
dokter dapat memberikan pelayanan yang lebih baik,dan tetap menjaga kualitas hidup pasien.
14
Menurut pandangan saya, dalam segi ini, program studi bedah plastik (dan tentunya
program studi lain) sudah menerapkan pendidikan spesialis kedokteran yang terintegrasi.
Karena selain memberikan pelayanan kepada pasien, kami juga dituntut untuk bisa melakukan
proses coding guna meng-klaim kasus-kasus BPJS yang ditangani. Adanya kerjasama antara
pihak medis dengan non-medis menjadikan seorang PPDS harus membuka wawasan dan
mengetahui adanya fungsi khusus masing-masing bagian supporting dalam pelayanan pasien.
Selain itu, pendidikan spesialis kedokteran terintegrasi sudah mulai dijalankan secara
lintas keilmuan. Hal ini terbukti dengan adanya kesempatan kami untuk mempelajari ilmu
bedah lainnya, pada semester-semester awal. Pada pendidikan bedah plastik lanjut, PPDS juga
tetap terpapar dengan keilmuan lain karena banyaknya kasus joint op yang sering dilakukan.
Misalnya, rekonstruksi pasca ablasi tumor, dimana seorang pasien akan menjalani reseksi
tumor oleh bedah onkologi, yang kemudian dilanjutkan dengan proses rekonstruksi bedah
mikro yang dijalankan oleh bedah plastik.
Saya pribadi merasa integrasi yang terjadi sudah cukup untuk membuat para PPDS
sadar dan terpapar dengan lingkungan tempat kami bekerja. Tapi kembali lagi, harus disadari
bahwa bagaimanapun para PPDS memiliki tanggungjawab untuk memperdalam keilmuan
bedah plastik sesuai dengan tujuan awal. Sehingga, pembaharuan atau aplikasi pendidikan
terintegrasi boleh dilakukan, asal tidak mengesampingkan ilmu spesialistik yang harus dijalani.
15
sebagai usaha utuk memperoleh alternatif pengobatan untuk meningkatkan kualitas hidup
pasien.24 Namun dibutuhkan penelitian lebih lanjut untuk memilah bagian mana yang dapat
diambil dan bagian mana yang tidak diperlukan.
16
pendapat rekan sejawat dengan keilmuannya masing-masing. Untuk mencapai cita-cita ini
seorang dokter, baik dokter umum maupun dokter spesialis, perlu terbiasa melihat dan
mengelola kesehatan pasien secara komprehensif, holistik, dan eklektik. Kebiasaan ini
tentunya tidak terbentuk dalam sekejap, namun perlu melalui proses berlatih dan supervisi
selama masa pendidikan spesialis.
Sebagai contoh pada kasus geriatri dengan penyakit stroke hemoragik dengan
komplikasi penyakit Diabetes Mielitus dan HHD yang membutuhkan tindakan craniotomi,
tentu saja diperlukan kerjasama tim medis multidisiplin ilmu diantaranya spesialis bedah saraf,
spesialis ilmu penyakit dalam, dan spesialis anestesi. Semua spesialis harus duduk bersama
membahas kasus ini agar dapat menentukan tindakan dan terapi yang terbaik untuk pasien ini
dengan semua masalah yang ada. Tujuan yang diharapkan dari pendekatan seperti ini adalah
untuk meningkatkan pelayanan keshatan dan survival rate pada pasien. Dengan metode seperti
ini, para peserta didik akan memikirkan suatu kasus secara menyeluruh baik dari masalah
medis maupun masalah sosial yang terlibat di dalamnya.3
Untuk menerapkan prinsip integrasi tersebut, diperlukan komunikasi yang baik antar
sesama spesialis dan bidang ilmu. Komunikasi yang baik tentunya dapat dilakukan dengan
berbagai cara, seperti konferensi, diskusi, studi kasus antar departemen dan lain sebagainya.
Namun yang paling penting adalah untuk dapat menurunkan ego masing-masing spesialisasi
dan bidang ilmu serta merubah pola pikir untuk tidak mengkotak-kotakkan bidang ilmu.
Membuka pola pikir serta mau mendengarkan dan menerima pendapat orang lain juga tidak
kalah pentingnya.
Selain itu, kita juga perlu menghapus anggapan bahwa bidang ilmu kita lebih superior
dibandingkan yang lain. Sebagai contoh, Departemen Bedah, Ilmu Kesehtan Anak, Obstetri
dan Ginekologi serta Ilmu Penyakit Dalam sebagai departemen mayor agar tidak mengganggap
bahwa departemen lain adalah inferior dan tidak lebih penting dibandingkan yang lain. Jika
semua spesialis memahami hal tersebut tentunya pendidikan kedokteran spesialis terintegrasi
akan dengan mudah dilaksanakan dan pada akhirnya akan terciptanya hubungan yang baik
antar departemen dan bidang ilmu, sehingga kita dapat meningkatkan pelayanan kesehatan
secara holistik dan terintegrasi.
17
Daftar Pustaka
1. Brauer DG, Ferguson KJ. The integrated curriculum in medical education: AMEE
Guide No. 96. Med Teach. 2015;37(4):312–22.
2. Dent J, Harden RM, Hunt D. A practical guide for medical teachers: Elsevier health
sciences; 2017.
3. Quintero GA, Vergel J, Arredondo M, Ariza M, Gómez P, Pinzon-Barrios. A integrated
medical curriculum: Advantages and disadvantages. J Med Educ Curric Dev.
2016;3:133-37
4. Harden RM. The Integration Ladder: A Tool for Curriculum Planning and Evaluation .
Medical Education 2000;34:551-557 .
5. Prideaux D. Integrated Learning. In: Dent JA, Harden RM. (eds). A Practical Guide for
Medical Teachers. 3Rd Edition. Churchill Livingstone: 2009.
6. Atwa HS, Gouda EM. Curriculum integration in medical education: A theoretical
review. Intel Prop Rights. 2014;2:113-19.
7. Dowtton SB, Stokes M, Rawstron EJ, Pogson PR, Brown MA. Postgraduate medical
education: Rethinking and integrating a complex landscape. Med J Aust.
2005;182:177-80.
8. McKimm J. Curriculum Design and Development. [Online]. Available
from: http://www.faculty.londondeanery.ac.uk/e-learning/setting-learning-
objectives/Curriculum_design_and_development.pdf.
9. https://pendidikankedokteran.wordpress.com/2012/05/23/pembelajaran-terintegrasi-
pada-pendidikan-dokter/
10. Kokmen E. Toward An Integrated Medical Model. Health Aff. 2008;8(2):191–191.
11. Schmidt HG, Machiels-Bongaerts M, Hermans H, Cate TJ ten, Venekamp R,
Boshuizen HPA. The Development of Diagnostic Competence : Comparison of a
Problem-based, an Integrated, and a Conventional Medical Curriculum. Acad Med
[Internet]. 1996;71(6):658–64. Available from:
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/9125924
12. http://pdai.or.id/news/detail/2/akupunktur-medik-dan-akupunktur-tradisionaltcm
13. Van Deven T, Hibbert K, Faden L, Chhem RK. The hidden curriculum in radiology
residency programs: A path to isolation or integration? Eur J Radiol [Internet].
2013;82(5):883–7. Available from: http://dx.doi.org/10.1016/j.ejrad.2012.12.001
18
14. Trisnantoro L. Rancangan Undang-undang Pendidikan Kedokteran: Perlukah? J Manaj
Pelayanan Kesehat. 2011;14:2010–1.
15. Konsil Kedokteran Indonesia. Nota kesepakatan rapat harmonisasi standar pendidikan
[Internet]. Jakarta; 2017. Available from:
https://kolegiumpulmonologi.org/2017/06/12/nota-kesepakatan-perhimpunan-
penyakit-dalam/
16. Fonagy P, Conticini A, Beard ER, Palmer R. Emotional stimulation in the context of
emergency food intervention in the treatment of malnourished children: A randomized
control trial. 2009.
17. Purnamawati NWA. Intervensi psikoterapi suportif pada pasien kanker serviks yang
mengalami gejala depresi. Universitas Indonesia; 2018.
18. Smith SR, Butterfly DW, Alexander BD, Greenberg A. Viral infection after renal
transplantation. Am J Kidney Dis. 2001 Apr. 37(4):659-76.
19. Birkeland SA, Lokkegaard H, Storm HH. Cancer risk in patients on dialysis and after
renal transplantation. Lancet. 2000 May 27. 355(9218):1886-7.
20. Engels EA, Pfeiffer RM, Fraumeni JF Jr, et al. Spectrum of cancer risk among US solid
organ transplant recipients. JAMA. 2011 Nov 2. 306(17):1891-901.
21. Acher PL, Young AJ, Etherington-Foy R, McCahy PJ, Deane AM. Improving
outcomes in urological cancers: the impact of ‘multidisciplinary team meetings’ Int J
Surg. 2005;3:121–3.
22. Shah R, Bewley A. The importance of integrated psychological interventions and
dedicated psychologists in dermatology. Clin Exp Dermatol. 2014;39(3):428-30.
23. Yang S-H, Lin Y-H, Lin J-R, Chen H-Y, Hu S, Yang Y-H, Yang Y-H, Yang Y-S and
Fang Y-F. The Efficacy and Safety of a Fixed Combination of Chinese Herbal Medicine
in Chronic Urticaria: A Randomized, Double-Blind, Placebo-Controlled Pilot Study.
Front. Pharmacol. 2018;9:1474. doi: 10.3389/fphar.2018.01474
24. Bodeker G, Ryan TJ, Volk A, Harris J, Burford G. Integrative Skin Care: Dermatology
and Traditional and Complementary Medicine. J Altern Complement Med.
2017;23:479-86.
19