Anda di halaman 1dari 45

BAB I

PENDAHULUAN

Trauma maksilofasial merupakan trauma fisik yang dapat mengenai


jaringan keras dan lunak wajah. Penyebab trauma maksilofasial bervariasi,
mencakup kecelakaan lalu lintas, kekerasan fisik, terjatuh, olah raga dan trauma
akibat senjata api. Trauma pada wajah sering mengakibatkan terjadinya gangguan
saluran pernafasan, perdarahan, luka jaringan lunak, hilangnya dukungan terhadap
fragmen tulang dan rasa sakit. Oleh karena itu, diperlukan perawatan
kegawatdaruratan yang tepat dan secepat mungkin.

Trauma maksilofasial merupakan trauma fisik yang dapat mengenai


jaringan keras dan jaringan lunak wajah. Penyebab trauma maksilofasial
bervariasi, mencakup kecelakaan lalu lintas, kekerasan fisik, terjatuh, olah raga
dan trauma akibat senjata api. Kecelakaan lalu lintas adalah penyebab dengan
persentase yang tinggi terjadinya kecacatan dan kematian pada orang dewasa
secara umum dibawah usia 50 tahun dan angka terbesar biasanya mengenai batas
usia 21-30 tahun. Berdasarkan studi yang dilakukan, 72% kematian oleh trauma
maksilofasial paling banyak disebabkan oleh kecelakaan lalu lintas. Pasien dengan
kecelakaan lalu lintas yang fatal harus menjalani rawat inap di rumah sakit dan
dapat mengalami cacat permanen. Oleh karena itu, diperlukan perawatan
kegawatdaruratan yang tepat dan secepat mungkin.
Kecelakaan lalu lintas adalah penyebab dengan persentase yang tinggi
terjadinya kecacatan dan kematian pada orang dewasa secara umum dibawah usia
50 tahun dan angka terbesar biasanya mengenai batas usia 21-30 tahun.
Berdasarkan studi yang dilakukan, 72% kematian oleh trauma maksilofasial
paling banyak disebabkan oleh kecelakaan lalu lintas. Pasien dengan kecelakaan
lalu lintas yang fatal harus menjalani rawat inap di rumah sakit dan dapat
mengalami cacat permanen.

Sebagian besar fraktur yang terjadi pada tulang rahang akibat trauma
maksilofasial dapat dilihat jelas dengan pemeriksaan dan perabaan serta
menggunakan penerangan yang baik. Trauma pada rahang mengakibatkan
Terjadinya gangguan saluran pernafasan, perdarahan, luka jaringan lunak,
hilangnya dukungan terhadap fragmen tulang dan rasa sakit. Namun, trauma pada
rahang jarang menimbulkan syok dan bila hal tersebut terjadi mungkin
disebabkan adanya komplikasi yang lebih parah, seperti pasien dengan batas
kesadaran yang menurun tidak mampu melindungi jalan pernafasan dari darah,
patahan gigi.

Kedaruratan trauma maksilofasial merupakan suatu penatalaksanaan


tindakan darurat pada orang yang baru saja mengalami trauma pada daerah
maksilofasial (wajah). Penatalaksanaan kegawatdaruratan pada trauma
maksilofasial oleh dokter umum hanya mencakup bantuan hidup dasar (basic life
support) yang berguna menurunkan tingkat kecacatan dan kematian pasien sampai
diperolehnya penanganan selanjutnya di rumah sakit. Oleh karena itu, para dokter
umum harus mengetahui prinsip dasar ATLS (Advance Trauma Life Support)
yang merupakan prosedur-prosedur penanganan pasien yang mengalami kegawat
daruratan.

2.1 Anatomi Maksilofasial


Pertumbuhan kranium terjadi sangat cepat pada tahun pertama dan
kedua setelah lahir dan lambat laun akan menurun kecepatannya. Pada
anak usia 4-5 tahun, besar kranium sudah mencapai 90% kranium
dewasa. Maksilofasial tergabung dalam tulang wajah yang tersusun secara
baik dalam membentuk wajah manusia.

Gambar 1. Anatomi Tulang Maksilofasial 4

Tulang pembentuk wajah pada manusia bentuknya lebih kecil dari


tengkorak otak. Didalam tulang wajah terdapat rongga-rongga yang
membentuk rongga mulut (cavum oris), dan rongga hidung (cavum nasi) dan
rongga mata (orbita). Tengkorak wajah dibagi atas dua bagian:
a. bagian hidung terdiri atas :
Os Lacrimal (tulang mata) letaknya disebelah kiri/kanan pangkal hidung di
sudut mata. Os Nasal (tulang hidung) yang membentuk batang hidung
sebelah atas. Dan Os Konka nasal (tulang karang hidung), letaknya di
dalam rongga hidung dan bentuknya berlipat-lipat. Septum nasi (sekat
rongga hidung) adalah sambungan dari tulang tapis yang tegak.
b. Bagian rahang terdiri atas tulang-tulang seperti :
Os Maksilaris (tulang rahang atas), Os Zigomaticum, tulang pipi yang
terdiri dari dua tulang kiri dan kanan. Os Palatum atau tulang langit-langit,
terdiri dari dua dua buah tulang kiri dan kanan. Os Mandibularis atau
tulang rahang bawah, terdiri dari dua bagian yaitu bagian kiri dan kanan
yang kemudian bersatu di pertengahan dagu. Dibagian depan dari
mandibula terdapat processus coracoid tempat melekatnya otot.

2.2 Definisi
Trauma maksilofasial injuri adalah suatu ruda paksa yang mengenai
wajah dan jaringan sekitarnya. Trauma pada jaringan maksilofasial dapat
mencakup jaringan lunak dan jaringan keras. Yang dimaksud dengan jaringan
lunak wajah adalah jaringan lunak yang menutupi jaringan keras wajah.
Sedangkan yang dimaksud dengan jaringan keras wajah adalah tulang kepala. :
 Trauma Jaringan lunak
1. Abrasi kulit, tusukan, laserasi, tato.
2. Cedera saraf, cabang saraf fasial.
3. Cedera kelenjar parotid atau duktus Stensen.
4. Cedera kelopak mata.
5. Cedera telinga.
6. Cedera hidung.
 Trauma Jaringan keras
1.Fraktura sepertiga atas muka.
2. Fraktura sepertiga tengah muka.
a. Fraktura hidung (os nasale).
b. Fraktura maksila(os maxilla).
c. Fraktur zigomatikum(os zygomaticum dan arcus zygomaticus).
d. Fraktur orbital (os orbita).
3. Fraktura sepertiga bawah muka.
a. Fraktura mandibula (os mandibula).
b. Gigi (dens).
c. Tulang alveolus (os alveolaris).

2.3 Epidemiologi
Dari data penelitian itu menunjukan bahwa kejadian trauma
maksilofasial sekitar 6% dari seluruh trauma yang ditangani oleh SMF Ilmu
Bedah RS Dr. Soetomo. Kejadian fraktur mandibula dan maksila terbanyak
diantara 2 tulang lainnya, yaitu masing-masing sebesar 29,85%, disusul
fraktur zigoma 27,64% dan fraktur nasal 12,66%.
Penderita fraktur maksilofacial ini terbanyak pada laki-laki usia
produktif, yaitu usia 21-30 tahun, sekitar 64,38% disertai cedera di tempat
lain, dan trauma penyerta terbanyak adalah cedera otak ringan sampai berat,
sekitar 56%. Penyebab terbanyak adalah kecelakaan lalu lintas dan sebagian
besar adalah pengendara sepeda motor.

2.4 Etiologi
Penyebab trauma maksilofasial bervariasi, mencakup kecelakaan
lalu lintas, kekerasan fisik, terjatuh, olah raga dan trauma akibat senjata api.
Kecelakaan lalu lintas adalah penyebab utama trauma maksilofasial yang
dapat membawa kematian dan kecacatan pada orang dewasa secara umum
dibawah usia 50 tahun dan angka terbesar biasanya terjadi pada pria dengan
batas usia 21-30 tahun.
Bagi pasien dengan kecelakaan lalu lintas yang fatal menjadi
masalah karena harus rawat inap di rumah sakit dengan cacat permanen yang
dapat mengenai ribuan orang per tahunnya. Berdasarkan studi yang dilakukan,
72% kematian oleh trauma maksilofasial paling banyak disebabkan oleh
kecelakaan lalu lintas (automobile).

2.5 Klasifikasi
Trauma maksilofasial dapat diklasifikasikan menjadi dua bagian,
yaitu trauma jaringan keras wajah dan trauma jaringan lunak wajah. Trauma
jaringan lunak biasanya disebabkan trauma benda tajam, akibat pecahan kaca
pada kecelakaan lalu lintas atau pisau dan golok pada perkelahian.
a. Trauma jaringan lunak wajah
Luka adalah kerusakan anatomi, diskontinuitas suatu jaringan oleh karena
trauma dari luar.Trauma pada jaringan lunak wajah dapat diklasifikasikan
berdasarkan :
1. Berdasarkan jenis luka dan penyebab
a. Ekskoriasi
b. Luka sayat (vulnus scissum), luka robek(vulnus laceratum) , luka
tusuk (vulnus punctum)
c. Luka bakar (combustio)
d. Luka tembak (Vulnus Sclopetorum)
2. Berdasarkan ada atau tidaknya kehilangan jaringan
a. Skin Avulsion & Skin Loss
3. Dikaitkan dengan unit estetik
Menguntungkan atau tidak menguntungkan, dikaitkan dengan garis
Langer.(Gambar 1)

Gambar 1. (A) Laserasi yang menyilang garis Langer tidak menguntungkan


mengakibatkan penyembuhan yang secara kosmetik jelek. B. Insisi fasial
ditempatkan sejajar dengan garis Langer (Pedersen GW. Buku ajar praktis bedah
mulut (Oral surgery). Alih bahasa Purwanto, Basoeseno. Jakarta:EGC, 1987:226)

4. Berdasarkan Derajat Kontaminasi


a. Luka Bersih.
 Luka Sayat Elektif.
 Steril Potensial Terinfeksi.
 Tidak ada kontak dengan orofaring, traktus respiratorius, traktur
elementarius, dan traktur genitourinarius.
b. Luka Bersih Tercemar.
 Luka sayat elektif.
 Potensial terinfeksi : Spillage minimal, Flora normal.
 Kontak dengan orofaring, traktus respiratorius, traktur
elementarius, dan traktur genitourinarius.
 Proses penyembuhan lebih lama.
c. Luka Tercemar.
 Potensi terinfeksi Spillage traktur elementarius, dan traktur
genitourinarius dan kandung empedu.
 Luka trauma baru : laserasi,fraktur terbuka dan luka penetrasi.
d. Luka Kotor.
 Akibat pembedahan yang sangat terkontaminasi.
 Perforasi viscera,abses dan trauma lama.
5. Klasifikasi Lain.
a. Luka dengan pergeseran flap pedicle (trapp door).
b. Luka Tusukan (puncture).
c. Luka pada kulit yang berhubungan dengan mukosa secara
langsung.
b. Trauma Jaringan Keras Wajah
Klasifikasi trauma pada jaringan keras wajah di lihat dari fraktur
tulang yang terjadi dan dalam hal ini tidak ada klasifikasi yg definitif.
Secara umum dilihat dari terminologinya Trauma pada jarinagan keras
wajah dapat diklasifikasikan berdasarkan :

1. Dibedakan berdasarkan lokasi anatomic dan estetik.


a. Berdiri Sendiri : Fraktur frontal, orbita, nasal, zigomatikum,
maxilla, mandibulla, gigi dan alveolus.
b. Bersifat Multiple : Fraktur kompleks zigoma, fronto nasal dan
fraktur kompleks mandibula.

Gambar 2. Fraktur pada daerah mandibula A. Dento-alveolar B. Kondilar C.


Koronoid D. Ramus E. Angulus F. Corpus G. Simfisis H. Parasimfisis (Banks P.
Fraktur mandibula (Killeys Fractures of the mandible). Alih bahasa, Lilian
Yuwono, Jakarta: Hipokrates, 1990:2).

Gambar 3. A. Fraktur kompleks zygomaticomaxillaris yang biasa kearah


inferomedial. B Stabilisasi fraktur pada sutura zygomaticofrontalis (Pedersen GW.
Buku ajar praktis bedah mulut (Oral surgery). Alih bahasa Purwanto, Basoeseno.
Jakarta:EGC, 1996:255)

2. Dibedakan berdasarkan kekhususan.


a. Fraktur blow-out (fraktur tulang dasar orbita).
b. Fraktur Le Fort I, Le Fort II, dan Le Fort III.
c. Fraktur segmental mandibula.

Gambar 4. (A). Le Fort I, Le Fort II, Le Fort III (pandangan anterior) (B). Le Fort
I, Le Fort II, Le Fort III (pandangan sagital) (London PS. The anatomy of injury
and its surgical implication, London: Butterworth-Heinemana Ltd. 1991:5)

3. Berdasarkan Tipe fraktur.


a. Fraktur simple.
 Merupakan fraktur sederhana, liniear yang tertutup misalnya
pada kondilus, koronoideus, korpus dan mandibula yang tidak
bergigi.
 Fraktur tidak mencapai bagian luar tulang atau rongga mulut.
Termasuk greenstik fraktur yaitu keadaan retak tulang,
terutama pada anak dan jarang terjadi.
b. Fraktur kompoun.
 Fraktur lebih luas dan terbuka atau berhubungan dengan
jaringan lunak.
 Biasanya pada fraktur korpus mandibula yang mendukung
gigi, dan hampir selalu tipe fraktur kompoun meluas dari
membran periodontal ke rongga mulut, bahkan beberapa luka
yang parah dapat meluas dengan sobekan pada kulit.
c. Fraktur komunisi.
 Benturan langsung terhadap mandibula dengan objek yang
tajam seperti peluru yang mengakibatkan tulang menjadi
bagian bagian yang kecil atau remuk.
 Bisa terbatas atau meluas, jadi sifatnya juga seperti fraktur
kompoun dengan kerusakan tulang dan jaringan lunak.
d. Fraktur patologis.
 Keadaan tulang yang lemah oleh karena adanya penyakit
penyakit tulang, seperti Osteomyelitis, tumor ganas, kista yang
besar dan penyakit tulang sistemis sehingga dapat
menyebabkan fraktur spontan.
4. Perluasan tulang yang terlibat.
a. Komplit, fraktur mencakup seluruh tulang.
b. Tidak komplit, seperti pada greenstik, hair line, dan kropresi
(lekuk ).
5. Konfigurasi ( garis fraktur ).
a. Tranversal, bisa horizontal atau vertikal.
b. Oblique ( miring ).
c. Spiral (berputar).
d. Comuniti (remuk).
6. Hubungan antar Fragmen.
 Displacement, disini fragmen fraktur terjadi perpindahan tempat.
 Undisplacement, bisa terjadi berupa :
o Angulasi / bersudut.
o Distraksi.
o Kontraksi.
o Rotasi / berputar.
o Impaksi / tertanam.

2.5.1 Facial danger zones (Zona bahaya wajah)


Secara anatomi, wajah memiliki beberapa serabut-serabut saraf
yang tersebar di beberapa lokasi di wajah, ada 7 lokasi-lokasi penting di
sekitar wajah yang apabila terjadi trauma atau kesalahan dalam
penanganan trauma maksilofasial akan berakibat fatal, lokasi-lokasi
tersebut disebut dengan facial danger zone.

Gambar 5. Facial danger zone

Berikut pengklasifikasian dari facial danger zone :

1. Facial danger zone 1 ( N. Auricularis ).

 N. Auricularis, terletak 6,5 cm dibawah meatus acusticus eksternus.

 Terletak di posterior SMAS ( Superficial musculoaponeurotic


system ).
Gambar 6. Facial danger zone 1

Gambar 7. Superficial Muscular Aponeurotic System (SMAS)

2. Facial danger zone 2 ( cabang dari n.VII ).

 Terletak 1,5 cm di sisi lateral dari alis mata.


Gambar 8. Facial danger zone 2

3. Facial danger zone 3 ( cabang marginal mandibular dari n.VII ).

 Terletak di regio mandibular.

Gambar 9. Facial danger zone 3

4. facial danger zone 4 (cabang buccal & zygomaticus dari n.VII)

 Terletak di daerah buccal & zygomaticus.


Gambar 10. Facial danger zone 4

5. facial danger zone 5 ( nn.Supraorbita & nn.Supratrochlearis ).

Gambar 11. Facial danger zone 5

6. Facial danger zone 6 ( n.infra orbita )

 Terletak tepat dibawah mata.


Gambar 12. Facial danger zone 6

7. Facial danger zone 7 (n. Mentalis).

 Terletak di mandibula, 1,5 cm dibawah bibir.

Gambar 13. Facial danger zone 7

2.6 Manifestasi Klinis

Gejala klinis gejala dan tanda trauma maksilofasial dapat berupa :

1. Dislokasi,berupa perubahan posisi yg menyebabkan mal oklusi terutama


pada fraktur mandibula.
2. Pergerakan yang abnormal pada sisi fraktur.
3. Rasa nyeri pada sisi fraktur.
4. Perdarahan pada daerah fraktur yang dapat menyumbat saluran napas.
5. Pembengkakan dan memar pada sisi fraktur sehingga dapat menentukan
lokasi daerah fraktur.
6. Krepitasi berupa suara pada saat pemeriksaan akibat pergeseran dari ujung
tulang yang fraktur.
7. Laserasi yg terjadi pada daerah gusi, mukosa mulut dan daerah sekitar
fraktur.
8. Diskolorisasi perubahan warna pada daerah fraktur akibat pembengkakan
9. Numbness, kelumpuhan dari bibir bawah, biasanya bila fraktur terjadi di
bawah nervus alveolaris.
10. Pada fraktur orbita dapat dijumpai penglihatan kabur atau ganda,
penurunan pergerakan bola mata dan penurunan visus.

2.6 Diagnosis
Dalam menegakkan sebuah kejadian yang dicurigai dengan fraktur
Maksilofasial, dapat dilakukan hal-hal sebagai berikut :
a. Anamnesa
Anamnesa dapat dilakukan langsung dengan pasien atau dengan orang lain
yang melihat langsung kejadian. Yang harus ditanyakan adalah :
 Penyebab pasien mengalami trauma :
 kecelakaan lalu lintas.
 Trauma tumpul.
 Trauma benda keras.
 Terjatuh.
 Kecelakaan olah raga.
 Berkelahi.
 Dimana kejadiannya.
 Sudah berapa lama sejak saat kejadian sampai tiba di rumah sakit.
 Apakah setelah kejadian pasien sadar atau tidak, jika tidak sadar, berapa
lama pasien tidak sadarkan diri.
b. Pemeriksaan fisik
 Inspeksi
Secara sistematis bergerak dari atas ke bawah :
a. Deformitas, memar, abrasi, laserasi, edema.
b. luka tembus.
c. Asimetris atau tidak.
d. Adanya Maloklusi / trismus, pertumbuhan gigi yang abnormal.
e. Otorrhea / Rhinorrhea
f. Telecanthus, Battle's sign, Raccoon's sign.
g. Cedera kelopak mata.
h. Ecchymosis, epistaksis
i. defisit pendengaran.
j. Perhatikan ekspresi wajah untuk rasa nyeri, serta rasa cemas.
 Palpasi

1. Periksa kepala dan wajah untuk melihat adanya lecet, bengkak,


ecchymosis, jaringan hilang, luka, dan perdarahan, Periksa luka
terbuka untuk memastikan adanya benda asing seperti pasir, batu
kerikil.
2. Periksa gigi untuk mobilitas, fraktur, atau maloklusi. Jika gigi avulsi,
mengesampingkan adanya aspirasi.
3. Palpasi untuk cedera tulang, Krepitasi, dan mati langkah, terutama di
daerah pinggiran supraorbital dan infraorbital, tulang frontal,
lengkungan zygomatic, dan pada artikulasi zygoma dengan tulang
frontal, temporal, dan rahang atas.
4. Periksa mata untuk memastikan adanya exophthalmos atau
enophthalmos, menonjol lemak dari kelopak mata, ketajaman visual,
kelainan gerakan okular, jarak interpupillary, dan ukuran pupil,
bentuk, dan reaksi terhadap cahaya, baik langsung dan konsensual.
5. Perhatikan sindrom fisura orbital superior, ophthalmoplegia, ptosis
dan proptosis.
6. Balikkan kelopak mata dan periksa benda asing atau adanya laserasi.
7. Memeriksa ruang anterior untuk mendeteksi adanya perdarahan,
seperti hyphema.
8. Palpasi daerah orbital medial. Kelembutan mungkin menandakan
kerusakan pada kompleks nasoethmoidal.
9. Lakukan tes palpasi bimanual hidung. bius dan tekan intranasal
terhadap lengkung orbital medial. Secara bersamaan tekan canthus
medial. Jika tulang bergerak, berarti adanya kompleks nasoethmoidal
yang retak.
10. Lakukan tes traksi, Pegang tepi kelopak mata bawah, dan tarik
terhadap bagian medialnya. Jika "tarikan" tendon terjadi, bisa
dicurigai gangguan dari canthus medial.
11. Periksa hidung untuk telecanthus (pelebaran sisi tengah hidung) atau
dislokasi. Palpasi untuk kelembutan dan Krepitasi.
12. Periksa septum hidung untuk hematoma, massa menonjol kebiruan,
laserasi pelebaran mukosa, fraktur, atau dislokasi, dan Rhinorrhea
cairan cerebrospinal.
13. Periksa untuk laserasi liang telinga, kebocoran cairan serebrospinal,
integritas membran timpani, hemotympanum, perforasi, atau
ecchymosis daerah mastoid (Battle sign).
14. Periksa lidah dan mencari luka intraoral, ecchymosis, atau bengkak.
Secara Bimanual meraba mandibula, dan memeriksa tanda-tanda
Krepitasi atau mobilitas.
15. Tempatkan satu tangan pada gigi anterior rahang atas dan yang
lainnya di sisi tengah hidung. Gerakan hanya gigi menunjukkan
fraktur le fort I. Gerakan di sisi hidung menunjukkan fraktur Le Fort
II atau III.
16. Memanipulasi setiap gigi individu untuk bergerak, rasa sakit, gingiva
dan pendarahan intraoral, air mata, atau adanya krepitasi.
17. Lakukan tes gigit pisau. Minta pasien untuk menggigit keras pada
pisau. Jika rahang retak, pasien tidak dapat melakukan ini dan akan
mengalami rasa sakit.
18. Meraba seluruh bahagian mandibula dan sendi temporomandibular
untuk memeriksa nyeri, kelainan bentuk, atau ecchymosis.
19. Palpasi kondilus mandibula dengan menempatkan satu jari di saluran
telinga eksternal, sementara pasien membuka dan menutup mulut. Rasa
sakit atau kurang gerak kondilus menunjukkan fraktur.
20. Periksa paresthesia atau anestesi saraf.

Secara umum yang dinilai adalah sebagai berikut :


a. Lokasi nyeri dan durasi nyerinya.
b. Adanya Krepitasi.
c. Fraktur.
d. Deformitas, kelainan bentuk.
e. Trismus (tonik kontraksi rahang)
f. Edema.
g. Ketidakstabilan, atau keabnormalan bentuk dan gerakan yang terbatas.

 Menilai dan mengevaluasi integritas saraf kranial II - VIII


1. N. Opticus (II), ketajaman Visual, bidang visual, refleks cahaya.
2. N. Occulomotorius (III), ukuran pupil, bentuk, keseimbangan, reflek
motorik tungkai, reflek cahaya langsung dan tak langsung, ptosis.
3. N. occulomotorius (III), N. Trochlear (IV), N. Abducens (VI),
diplopia.
4. N. Trigeminal (V)
1. tes sensorik, Sentuh di dahi, bibir atas, dan dagu di garis tengah,
Bandingkan satu sisi ke sisi lain untuk membuktikan adanya defisit
sensorik.
2. tes motorik, merapatkan gigi dan rahang lalu bergerak ke lateral.

5. N. Facial (VII)
1. area Temporal, menaikkan alis, dahi dikerutkan.
2. area Zygomatic, memejamkan mata sampai tertutup rapat.
3. area Buccal, mengerutkan hidung, "membusungkan" pipi.
4. area Marjinal mandibula, mengerutkan bibir.
5. area Cervical, menarik leher (saraf otot platysma, Namun, fungsi ini
tidak terlalu penting peranannya dalam kehidupan sehari-hari).
6. N. Vestibulocochlearis (VIII), pendengaran, keseimbangan, Gosok jari
atau berbisik di samping setiap telinga pasien. Jika terjadi gangguan
konduktif, akan terdengar lebih keras pada sisi yang terkena.
2.8 Penatalaksanaan
Penatalaksanaan awal pada pasien dengan kecurigaan trauma masilofasial
yaitu meliputi :
1. Periksa Kesadaran pasien.
2. Perhatikan secara cermat wajah pasien :
 Apakah asimetris atau tidak.
 Apakah hidung dan wajahnya menjadi lebih pipih.
3. Apakah ada Hematoma :
a. Fraktur Zygomatikus
 Terjadi hematoma yang mengelilingi orbita, berkembang secara cepat
sebagai permukaan yang bersambungan secara seragam.
 Periksa mulut bagian dalam dan periksa juga sulkus bukal atas apakah
ada hematoma, nyeri tekan dan krepitasi pada dinding zigomatikus.
b. Fraktur nasal
 Terdapat hematoma yang mengelilingi orbita, paling berat ke arah
medial.
c. Fraktur Orbita
 Apakah mata pasien cekung kedalam atau kebawah ?
 Apakah sejajar atau bergeser ?
 Apakah pasien bisa melihat ?
 Apakah dijumpai diplopia ?
Hal ini karena :
o Pergeseran orbita
o Pergeseran bola mata
o Paralisis saraf ke VI
o Edema
d. Fraktur pada wajah dan tulang kepala.
 Raba secara cermat seluruh bagian kepala dan wajah : nyeri tekan,
deformitas, iregularitas dan krepitasi.
 Raba tulang zigomatikus, tepi orbita, palatum dan tulang hidung,
pada fraktur Le Fort tipe II atau III banyak fragmen tulang kecil sub
cutis pada regio ethmoid. Pada pemeriksaan ini jika rahang tidak
menutup secara sempurna berarti pada rahang sudah terjadi fraktur.
e. Cedera saraf
 Uji anestesi pada wajah ( saraf infra orbita) dan geraham atas (saraf
gigi atas).

f. Cedera gigi
 Raba giginya dan usahakan menggoyangkan gigi bergerak abnormal
dan juga disekitarnya.
a. Keadaan Darurat Trauma Maksilofasial
Pada pasien dengan trauma hebat atau multiple trauma akan dievaluasi
dan ditangani secara sistematis, dititik beratkan pada penentuan prioritas
tindakan berdasarkan atas riwayat terjadinya kecelakaan dan derajat beratnya
trauma.
1. Apakah Pasien dapat bernapas ?
Jika sulit :
 Ada obstruksi.
 Palatum mole tertarik ke bawah lidah, curiga adanya fraktur Le Fort.
 Lidahnya jatuh kearah belakang atau tidak, curiga adanya Fraktur
Mandibula.

2. Palatum Mole tertarik ke arah lidah


 Kait dengan jari tangan anda mengelilingi bagian belakang palatum
durum, dan tarik tulang wajah bag tengah dengan lembut kearah atas dan
depan memperbaiki jalan napas dan sirkulasi mata. Reduksi ini
diperlukan pengetahuan dan ketrampilan yang baik juga gaya yang besar
jika fraktur terjepit dan jika reduksi tidak berhasil lakukan Tracheostomi.
 Untuk melepaskan himpitan tulang pegang alveolus maksilaris dengan
forcep khusus (Rowe’s) atau forcep bergerigi tajam yang kuat dan
goyangkan.
3. Jika lidah atau rahang bawah jatuh ke arah belakang
 Lakukan beberapa jahitan atau jepitkan handuk melaluinya, dan secara
lembut tarik kearah depan, lebih membantu jika posisi pasien berbaring,
saat evakuasi sebaiknya dibaringkan pada salah satu sisi.
Catatan : jika pernapasan membahayakan dan perlu dirujuk maka
sebaiknya dilakukan tracheostomi, tetapi jika perlu dilakukan
pembebasan airway segera dilakukan krikotirodotomi.
4. Jika cedera rahang yang berat dan kehilangan banyak jaringan
 Pada saat mengangkutnya, baringkan pasien dengan kepala pada salah
satu ujung sisi dan dahinya ditopang dengan pembalut diantara
pegangan.
5. Jika pasien merasakan lebih enak dengan posisi duduk
 Biarkan posisi demikian mungkin jalan napas akan membaik dengan
cepat ketika ia melakukannya.
 Hisap mulutnya dari sumbatan bekuan darah.
 Jalan napas buatan (OPA, ETT) mungkin tidak membantu.
6. Jika hidungnya cedera parah dan berdarah
 Hisap bersih (suction) dan pasang NPA atau pipa karet tebal yang sejenis
ke satu sisi.

 Indikasi dilakukan Tracheostomi Jika :


1. Tidak dapat melepaskan himpitan fraktur atau mereduksi fraktur
pada sepertiga wajah pasien.
2. Tidak dapat mengontrol perdarahan yang berat.
3. Edema glotis.
4. Cedera berat dengan kehilangan banyak jaringan.
 Jika terjadi Perdarahan :
 Ikat pembuluh darah yang besar atau jika terjadi perdarahan yang sulit
gunakan tampon yang direndam adrenalin yang dipakai untuk ngedep
perdarahan yang hebat. Tampon post nasal selalu dapat menghentikan
perdarahan, Jika perlu gunakan jahitan hemostasis sementara.
 Tujuan Perawatan pasien trauma maksilofasial :
1. Memperbaiki jalan napas.
2. Mengontrol perdarahan.
3. Dapat menggigit secara normal reduksi akan sempurna.
4. Cegah deformitas reduksi pada fraktur hidung dan zigoma.
7. Pemeriksaan Intra Oral.
Yang harus di perhatikan pada saat melakukan pemeriksaan intra oral
adalah adanya floating pada susunan tulang-tulang wajah, seperti :
 Mandibular floating.
 Maxillar floating.
 Zygomaticum floating.
Yang dimaksud dengan floating disini adalah keadaan dimana
salah satu dari struktur tulang diatas terasa seperti melayang saat dilakukan
palpasi, jika terbukti adanya floating, berarti ada kerusakan atau fraktur
pada tulang tersebut.
Pasien dengan trauma maksilofasial harus dikelola dengan segera,
dimana dituntut tindakan diagnostik yang cepat dan pada saat yang sama
juga diperlukan juga tindakan resusitasi yang cepat. Resusitasi
mengandung prosedur dan teknik terencana untuk mengembalikan
pulmonary alveolaris ventilasi, sirkulasi dan tekanan darah yang efektif
dan untuk memperbaiki efek yang merugikan lainya dari trauma
maksilofasial. Tindakan pertama yang dilakukan ialah tindakan Primary
Survey yang meliputi pemeriksaan vital sign secara cermat, efisien dan
cepat. Kegagalan dalam melakukan salah satu tindakan ini dengan baik
dapat berakibat fatal.22
Jadi secara umum dapat disimpulkan, penderita trauma
maksilofasial dapat dibagi dalam 2 kelompok :
 Kelompok perlukaan maksilofasial sekunder pada relative trauma kecil,
misalnya dipukul atau ditendang, dapat di terapi pada intermediate atau
area terapi biasa pada ruang gawat darurat.
 Kelompok perlukaan maksilofasial berat sekunder kedalam trauma
tumpul berat, misalnya penurunan kondisi secara cepat dari kecelakaan
lalulintas atau jatuh dari ketinggian, harus diterapi di tempat perawatan
kritis pada instalasi gawat darurat :
1. Trauma maksilofasial berat harus di rawat di ruang resusitasi atau
kritis area diikuti dengan teknik ATLS.
2. Yakinkan dan jaga potensi jalan napas dengan immobilisasi tulang
leher.
a. Setengah duduk jika tidak ada kecurigaan perlukaan spinal, atau
jika penderita perlu melakukannya.
b. Jaw trush dan chin lift.
c. Traksi lidah : Dengan jari,O-slik suture atau dengan handuk
3. Endotrakel intubasi : oral intubasi sadar atau RSI atau
krikotiroidotomi
4. Berikan oksigenasi yang adekuat .
5. Monitor tanda vital setiap 5 – 10 menit, EKG, cek pulse oximetry.
6. Pasang 1 atau 2 infus perifer dengan jarum besar untuk pengantian
cairan.
7. Laboratorium : Crossmatch golongan darah, darah lengkap, ureum /
elektrolit / kreatinin.
8. Fasilitas penghentian perdarahan yang berlangsung.
a. Penekanan langsung.
Jepitan hidung,Tampon hidung atau tenggorokan.
b. Bahan haemostatic asam tranexamid (cyclokapron).
Dosis : 25mg/kg BB IV bolus pelan selam 5 – 10 menit.
Beberapa pegangan pada bedah plastik dapat digunakan dalam menangani
trauma dan luka pada wajah :
 Asepsis.
 Debridement, bersihkan seluruh kotoran dan benda asing.
 Hemostasis, sedemikian rupa sehingga setetes darah pun tidak bersisa
sesudah dijahit.
 Hemat jaringan, hanya jaringan yang nekrosis saja yang boleh dieksisi dari
pinggir luka.
 Atraumatik, seluruh tindakan bedah dengan cara dan bahan atraumatik.
 Approksimasi, penjahitan kedua belah sisi pinggir luka secara tepat dan
teliti.
 Non tensi, tidak boleh ada tegangan dan tarikan pinggir luka sesudah
dijahit. Benang hanya berfungsi sebagai pemegang.
 Eksposur, luka sesudah dijahit sebaiknya dibiarkan terbuka karena
penyembuhan dan perawatan luka lebih baik, kecuali ditakutkan ada
perdarahan di bawah luka yang harus ditekan (pressure). 20

 Perawatan Cedera maksilofasial


a. Jika pasien sadar.
Dudukkan pasien menghadap ke depan sehingga lidahnya, saliva dan
darah mengalir keluar.
b. Jika pasien tidak sadar
Saat perawatan perlu ditidurkan pada posisi recovery, hati – hati bila
ada cedera lain yang membahayakan.
 Bila akan dilakukan operasi tetap siapkan sebagai operasi dengan
general anestesi.
 Kebersihan dan desinfeksi. Jika sadar suruh untuk kumur – kumur
dengan :
o Cairan kumur clorheksidin 0,5 %
o larutan garam 2 %
o jika tidak mungkin kumur dengan air bersih.
c. Obat-obatan
Tergantung dokter yang merawatnya,dengan pertimbangan kondisi dan
keparahan traumanya :
 Antibiotika, diberikan golongan penisillin selama seminggu, harus
diberikan segera.
 Jika terjadi kebocoran CSS diberikan sulfadimidin 1 gr setiap 6
jam s/d 48 jam. Kebocoran berhenti secara spontan. Kebocoran
tidak boleh di hentikan.
 Jika gelisah berikan diazepam.
 Berikan anti tetanus jika diperlukan.
2.9 Pencegahan
Kendati teknologi bedah memberi hasil yang baik, pencegahan
trauma merupakan langkah yang bijak. Pengendara motor yang berisiko tinggi
terjadi trauma hendaknya lebih memperhatikan keselamatan, terutama
dibagian kepala. Dari suatu penelitian, disimpulkan bahwa ternyata tidak ada
perbedaan berarti pada frekuensi kejadian trauma maksilofacial sebelum dan
sesudah era wajib helm. Hal ini kemungkinan disebabkan karena masih sangat
sedikit pengendara sepeda motor yang mengenakan helm dengan benar. Oleh
karena itu, peran serta pemerintah sangat diperlukan untuk memaksimalkan
upaya preventif, sedangkan kuratifnya kita serahkan pada ahli bedah.

2.10 Pemeriksaan Penunjang


 Wajah Bagian Atas :
 CT-scan 3D dan CBCT-scan 3D (Cone Beam CT-scan 3D).
 CT-scan aksial koronal.
 Imaging Alternatif diantaranya termasuk CT Scan kepala dan X-ray
kepala.
 Wajah Bagian Tengah :
 CT-scan 3D dan CBCT-scan 3D (Cone Beam CT-scan 3D).
 CT scan aksial koronal.
 Imaging Alternatif diantaranya termasuk radiografi posisi waters dan
posteroanterior (Caldwell’s), Submentovertek (Jughandle’s).

 Wajah Bagian Bawah :


 CT-scan 3D dan CBCT-scan 3D.
 Panoramic X-ray.
 Imaging Alternatif diagnostik mencakup posisi :
 Posteroanterior (Caldwell’s).
 posisi lateral (Schedell).
 posisi towne.8

 Gambaran CT-scan

Gambar 14. (A) Gambaran CT-scan koronal, (B) CT scan 3D, (C) CT scan aksial
 Gambaran CBCT-scan 3D.

Gambar 15. CBCT-scan 3D


Gambar 16. CBCT-scan 3D

 Gambaran Panoramic X-ray

Gambar 17. Panoramic X-ray

2.11 Komplikasi
Komplikasi yang paling sering timbul berupa: 8

a. Aspirasi.

b. Gangguan Airway.

c. Scars.
d. Deformitas wajah sekunder permanen akibat pengobatan yang tidak tepat.

e. Kerusakan saraf yang mengakibatkan hilangnya sensasi, gerakan wajah,

bau, rasa.

f. Kronis sinusitis.

g. Infeksi.

h. Gizi Buruk & Penurunan Berat badan.

i. Fraktur non union atau mal union.

j. Mal oklusi.

k. Perdarahan.

2. 12 Prognosis

Bila pengobatan diperoleh dengan tepat dan cepat setelah trauma


maksilofasial, prognosis bisa menjadi baik. Penyembuhan juga tergantung
pada trauma yang timbul. Kecelakaan mobil atau luka tembak, misalnya,
dapat menyebabkan trauma wajah berat yang mungkin memerlukan beberapa
prosedur pembedahan dan cukup banyak waktu untuk proses penyembuhan.
Trauma maksilofasial yang berat sering dikaitkan dengan trauma pada
angota tubuh lain yang mungkin mengancam nyawa. Trauma jaringan lunak
yang luas atau avulsi dan fraktur tulang wajah comuniti jauh lebih sulit untuk
diobati dan mungkin memiliki prognosa yang buruk. Perdarahan berat dari
trauma yang luas dari wajah dapat menyebabkan kematian. Obstruksi jalan
napas, jika tidak diobati atau dideteksi, dapat menyebabkan resiko kematian
yang tinggi.
1. Asuhan Keperawatan
A. Pengkajian
Data dasar pengkajian pasien tergantung tipe,lokasi dan keparahan cedera
dan mungkin di persulit oleh cedera tambahan pada organ vital
- Aktifitas dan istirahat
Gejala : merasa lemah,lelah,kaku hilang keseimbangan
Tanda : Perubahan kesadaran, letargi, hemiparese, ataksia cara
berjalan tidak tegap, masalah dlm keseimbangan, cedera/trauma
ortopedi, kehilangan tonus otot.
- Sirkulasi
Gejala : Perubahan tekanan darah atau normal, Perubahan
frekuensi jantung (bradikardia, takikardia yang diselingi bradikardia
disritmia)
- Integritas ego
Gejala : Perubahan tingkah laku atau kepribadian
Tanda :Cemas,mudah
tersinggung,delirium,agitasi,bingung,depresi
- Eliminasi
Gejala : Inkontensia kandung kemih/usus mengalami gangguan
fungsi
- Makanan/cairan
Gejala : mual,muntah dan mengalami perubahan selera
Tanda : muntah,gangguan menelan
- Neurosensori
Gejala :Kehilangan kesadaran sementara,amnesia seputar kejadian,
vertigo, sinkope,tinitus,kehilangan pendengaran, Perubahan dalam
penglihatan seperti ketajamannya, diplopia, kehilangan sebagain
lapang pandang, gangguan pengecapan dan penciuman
Tanda : Perubahan kesadran bisa sampai koma, perubahan status
mental, perubahan pupil, kehilangan penginderaan, wajah tdk
simetris, genggaman lemah tidak seimbang, kehilangan sensasi
sebagian tubuh

- Nyeri/kenyamanan
Gejala : Sakit kepala dengan intensitas dan lokasi yg berbeda
biasanya lama
Tanda : Wajah menyeringai, respon menarik pada rangsangan
nyeri, nyeri yang hebat,merintih
- Pernafasan
Tanda : Perubahan pola nafas, nafas berbunyi, stridor,
tersedak,ronkhi,mengi
- Keamanan
Gejala : Trauma baru/trauma karena kecelakaan
Tanda : Fraktur/dislokasi,gangguan penglihatan
- Kulit : laserasi,abrasi,perubahan warna,tanda batle disekitar
telinga,adanya aliran cairan dari telinga atau hidung
- Gangguan kognitif
- Gangguan rentang gerak
- Demam
B. Diagnosa Keperawatan
- Risiko tinggi peningkatan tekanan intracranial yang berhubungan
dengan desak ruang sekunder dari kompresi korteks serebri dari
adanya perdarahan baik bersifat intraserebral hematoma.
- Ketidakefektifan pola pernapasan yang berhubungan dengan depresi
pada pusat pernapasan di otak, kelemahan oto-otot pernapasan,
ekspansi paru yang tidak maksimal karena akumulasi udara/cairan.
- Tidak efektif kebersihan jalan napas yang berhubungan dengan
penumpukan sputum, peningkatan sekresi sekret, penurunan batuk
sekunder akibat nyeri dan keletihan, adanya jalan napas buatan pada
trakea, ketidakmampuan batuk/batuk efektif.
- Perubahan kenyamanan: nyeri akut yang berhubungan dengan trauma
jaringan dan refleks spasme otot sekunder.
- Perubahan perfusi serebral berhubungan dengan penghentian aliran
darah (nemongi, nemotuma), edema serebral ; penurunan TD sistemik
/ hipoksia.

C. Rencana Keperawatan

DX 1 : Resiko tinggi peningkatan TIK yang berhubungan dengan desak ruang


sekunder dari kompresi korteks serebri dari adanya perdarahan baik bersifat
intraserebral hematoma, subdural hematoma, dan epidural hematoma.
Tujuan : dalam waktu 2x24 jam tidak terjadi peningkatan TIK pada klien.
Kriteria hasil : klien tidak gelisah, klien tidak mengeluh nyeri kepala, mual-mual
dan muntah, GCS 4, 5, 6, tidak terdapat papiledema. TTV dalam batas normal.
Intervensi Rasionalisasi
Mandiri
Kaji faktor penyebab dari Deteksi dini untuk memprioritaskan
situasi/keadaan individu/penyebab intervensi, mengkaji status neurologis/
koma/penurunan perfusi jaringan dan tanda-tanda kegagalan untuk
kemungkinan penyebab peningkatan menentukan perawatan kegawatan atau
TIK. tindakan pembedahan.
Monitor tanda-tanda vital tiap 4 jam Suatu keadaan normal bila sirkulasi
serebral terpelihara dengan baik atau
fluktuasi ditandai dengan tekanan darah
sistemik, penurunan dari autoregulator
kebanyakan merupakan
tanda penurunan difusi local
vaskularisasi darah serebral. Dengan
peningkatan tekanan darah (diastolic)
maka dibarengi dengan peningkatan
tekanan darah intrakrinial. Adanya
peningkatan tekanan darah, bradikardi,
disritmia, dispnea merupakan tanda
terjadinya peningkatan TIK.

Evaluasi pupil, amati ukuran, Reaksi pupil dan pergerakan kembali


ketajaman, dan reaksi terhadap cahaya. dari bola mata merupakan tanda dari
gangguan nervus/saraf jika batang otak
terkoyak. Reaksi pupil diatur oleh saraf
III cranial (okulomotorik) yang
menunjukkan keseimbangan antara
parasimpatis dan simpatis. Respon
terhadap cahaya merupakan kombinasi
fungsi dari saraf cranial II dan III.
Monitor temperatur dan pengaturan Panas merupakan refleks dari
suhu lingkungan. hipotalamus.
Peningkatan kebutuhan metabolism dan
O2 akan menunjang peningkatan TIK/
ICP (Intracranial Pressure).
Pertahankan kepala/ leher pada posisi Perubahan kepala pada satu sisi dapat
yang netral, usahakan dengan sedikit menimbulkan penekanan pada vena
bantal. Hindari penggunaan bantal jugularis dan menghambat aliran darah
yang tinggi pada kepala. otak (menghambat drainase pada vena
serebral), untuk itu dapat meningkatkan
TIK
Berikan periode istirahat antara Tindakan yang terus-menerus dapat
tindakan perawatan dan batasi lamanya meningkatkan TIK oleh efek
prosedur. rangsangan kumulatif.
Kurangi rangsangan ekstra dan berikan Memberikan suasana yang tenang
rasa nyaman seperti masase punggung, (colming effect) dapat mengurangi
lingkungan yang tenang. Sentuhan respons psikologis dan memberikan
yang ramah, dan suasana / pembicaraan istirahat untuk mempertahankan TIK
yang tidak gaduh. yang rendah.
Cegah/hindarkan terjadinya valsava Mengurangi tekanan intratorakal dan
maneuver intraabdominal sehingga menghindari
peningkatan TIK.
Bantu klien jika batuk, muntah Aktivitas ini dapat meningkatkan
intrathorakal/tekanan dalam thoraks dan
tekanan dalam abdomen dimana
aktivitas ini dapat meningkatkan
tekanan TIK.
Kaji peningkatan istirahat dan tingkat Tingkah nonverbal ini dapat merupakan
laku. indikasi peningkatan TIK atau
memberikan refleks nyeri dimana klien
tidak mampu mengungkapkan keluhan
secara verbal, nyeri yang tidak menurun
dapat meningkatkan TIK.
Palpasi pada pembesaran/pelebaran Dapat meningkatkan repons otomatis
bladder, pertahankan drainase urine yang potensial menaikkan TIK.
secara paten jika di gunakan dan juga
monitor terdapatnya konstipasi.
Berikan penjelasan pada klien (jika Meningkatkan kerja sama dalam
sadar) dan keluarga tentang sebab- meningakatkan perawatan klien dan
sebab TIK meningkat. mengurangi kecemasan.
Observasi tingkat kesadaran dengan Perubahan kesadaran menunjukkan
GCS. peningkatan TIK dan berguna
menentukan lokasi dan perkembangan
penyakit.
Kolaborasi : Mengurangi hipoksemia, dimana dapat
Pemberian O2 sesuai indikasi. meningkatkan vasodilatasi serebral,
volume darah, dan menaikkan TIK.
Kolaborasi untuk tindakan operatif Tindakan pembedahan untuk evakuasi
evakuasi darah dari dalam intracranial. darah dilakukan bila kemungkinan
terdapat tanda-tanda deficit neurologis
yang menandakan peningkatan
ntrakranial.
Berikan cairan intravena sesuai Pemberian cairan mungkin di inginkan
indikasi. untuk mengurangi edema serebral,
peningkatan minimum pada pembuluh
darah, tekanan darah dan TIK.
Berikan obat osmosis diuretic Diuretic mungkin digunakan pada fase
contohnya : manitol, furoscide. akut untuk mengalirkan air dari sel otak
dan mengurangi edema serebral dan
TIK.
Berikan steroid contohnya : Untuk menurunkan inflamasi (radang)
dexamethason, methyl prenidsolon. dan mengurangi edema jaringan.
Berikan analgesic narkotik contoh : Mungkin di indikasikan untuk
kodein. mengurangi nyeri dan obat ini berefek
negatif pada TIK tetapi dapat digunakan
dengan tujuan untuk mencegah dan
menurunkan sensasi nyeri.
Berikan antipiretik contohnya : Mengurangi/mengontrol hari dan pada
asetaminofen. metabolisme serebral/oksigen yang
diinginkan.
Monitor hasil laboratorium sesuai Membantu memberikan informasi
dengan indikasi seperti prothrombin, tentang efektifitas pemberian obat.
LED.

DX 2 : Ketidakefektifnya pola pernapasan yang berhubungan dengan depresi


pusat pernapasan, kelemahan otot-otot pernapasan, ekspansi paru yang tidak
maksimal karena trauma.
Tujuan : Dalam waktu 3x24 jam setelah intervensi adanya peningkatan, pola
napas kembali efektif.
Kriteria hasil : Memperlihatkan frekuensi pernapasan yang efektif, mengalami
perbaikan pertukaran gas-gas pada paru, adaptif mengatasi faktor-faktor
penyebab.
Intervensi Rasional
Berikan posisi yang nyaman, biasanya Meningkatkan inspirasi maksimal,
dengan peninggian kepala tempat tidur. meningkatkan ekspansi paru dan
Balik kesisi yang sakit. Dorong klien ventilasi pada sisi yang tidak sakit.
untuk duduk sebanyak mungkin.
Observasi fungsi pernapasan, dispnea, Distress pernapasan dan perubahan pada
atau perubahan tanda-tanda vital. tanda vital dapat terjadi sebagai akibat
stress fisiologi dan nyeri atau dapat
menunujukkan terjadinya syok
sehubungan dengan hipoksia.
Jelaskan pada klien bahwa tindakan Pengetahuan apa yang diharapkan dapat
tersebut dilakukan untuk menjamin mengembangkan kepatuhan klien
keamanan. terhadap rencana terapeutik.
Jelaskan pada klien tentang Pengetahuan apa yang diharapkan dapat
etiologi/factor pencetus adanya sesak mengurangi ansietas dan
atau kolaps paru-paru. mengembangkan kepatuhan klien
terhadap rencana terapeutik.
Pertahankan perilaku tenang, bantu Membantu klien mengalami efek
klien untuk control diri dengan fisiologi hipoksia, yang dapat
menggunakan pernapasan lebih lambat dimanifestasikan sebagai
dan dalam. ketakutan/ansietas.
Periksalah alarm pada ventilator Ventilator yang memiliki alarm yang
sebelum difungsikan. Jangan bias dilihat dan didengar misalnya alarm
mematikan alarm. kadar oksigen, tinggi/rendahnya tekanan
oksigen.
Tarulah kantung resusitasi disamping Kantung resusitasi/manual ventilasi
tempat tidur dan manual ventilasi sangat berguna untuk mempertahankan
untuk sewaktu-waktu dapat digunakan. fungsi pernapasan jika terjadi gangguan
pada alat ventilator secara mendadak.
Bantulah klien untuk mengontrol Melatih klien untuk mengatur napas
pernapasan jika ventilator tiba-tiba seperti napas dalam, napas pelan, napas
berhenti. perut, pengaturan posisi, dan teknik
relaksasi dapat membantu
memaksimalkan fungsi dan system
pernapasan.
Perhatikan letak dan fungsi ventilator Memerhatikan letak dan fungsi
secara rutin. ventilator sebagai kesiapan perawat
Pengecekan konsentrasi oksigen, dalam memberikan tindakan pada
memeriksa tekanan oksigen dalam penyakit primer setelah menilai hasil
tabung, monitor manometer untuk diagnostik dan menyediakan sebagai
menganalisis batas/kadar oksigen. cadangan.
Mengkaji tidal volume (10-15 ml/kg).
periksa fungsi spirometer.
Kolaborasi dengan tim kesehatan lain : Kolaborasi dengan tim kesehatan lain
Dengan dokter, radiologi, dan untuk mengevaluasi perbaikan kondisi
fisioterapi. klien atas pengembangan parunya.
§ Pemberian antibiotik.
§ Pemberian analgesic.
§ Fisioterapi dada.
§ Konsul foto thoraks.

DX 3 : Tidak efektif bersihan jalan napas yang berhubungan dengan adanya jalan
napas buatan pada trakea, peningkatan sekresi sekret, dan ketidakmampuan
batuk/batuk efektif sekunder akibat nyeri dan keletihan.
Tujuan : Dalam waktu 3x24 jam terdapat perilaku peningkatan keefektifan jalan
napas.
Kriteria hasil : Bunyi napas terdengar bersih, ronkhi tidak terdengar, tracheal tube
bebas sumbatan, menunjukkan batuk yang efektif, tidak ada lagi penumpukan
sekret di saluran pernapasan.

Intervensi Rasional
Kaji keadaan jalan napas Obstruksi mungkin dapat disebabkan
oleh akumulasi sekret, sisa cairan
mucus, perdarahan, bronkhospasme,
dan/atau posisi dari
endotracheal/tracheostomy tube yang
berubah.
Evaluasi pergerakan dada dan Pergerakan dada yang simetris dengan
auskultasi suara napas pada kedua suara napas yang keluar dari paru-paru
paru (bilateral). menandakan jalan napas tidak
terganggu. Saluran napas bagian bawah
tersumbat dapat terjadi pada
pneumonia/atelektasis akan
menimbulkan perubahan suara napas
seperti ronkhi atau wheezing.
Monitor letak/posisi endotracheal tube. Endotracheal tube dapat saja masuk ke
Beri tanda batas bibir. dalam bronchus kanan, menyebabkan
Lekatkan tube secara hati-hati dengan obstruksi jalan napas ke paru-paru kanan
memakai perekat khusus. dan mengakibatkan klien mengalami
Mohon bantuan perawat lain ketika pneumothoraks.
memasang dan mengatur posisi tube.
Catat adanya batuk, bertambahnya Selama intubasiklien mengalami refleks
sesak napas, suara alarm dari batuk yang tidak efektif, atau klien akan
ventilator karena tekanan yang tinggi, mengalami kelemahan otot-otot
pengeluaran sekret melalui pernapasan
endotracheal/tracheostomy tube, (neuromuscular/neurosensorik),
bertambahnya bunyi ronkhi. keterlambatan untuk batuk. Semua klien
tergantung dari alternatif yang dilakukan
seperti mengisap lender dari jalan napas.

Lakukan penghisapan lender jika Pengisapan lendir tidak selamanya


diperlukan, batasi durasi pengisapan dilakukan terus-menerus, dan durasinya
dengan 15 detik atau lebih. Gunakan pun dapat dikurangi untuk mencegah
kateter pengisap yang sesuai, cairan bahaya hipoksia.
fisiologis steril. Diameter kateter pengisap tidak boleh
Berikan oksigen 100% sebelum lebih dari 50% diameter
dilakukan pengisapan dengan ambu endotracheal/tracheostomy tube untuk
bag (hiperventilasi). mencegah hipoksia.
Dengan membuat hiperventilasi melalui
pemberian oksigen 100% dapat
mencegah terjadinya atelektasis dan
mengurangi terjadinya hipoksia.
Anjurkan klien mengenai tekhik batuk Batuk yang efektif dapat mengeluarkan
selama pengisapan seperti waktu sekret dari saluran napas.
bernapas panjang, batuk kuat, bersin
jika ada indikasi.
Atur/ubah posisi klien secara teratur Mengatur pengeluaran sekret dan
(tiap 2jam). ventilasi segmen paru-paru, mengurangi
risiko atelektasis.
Berikan minum hangat jika keadaan Membantu pengenceran sekret,
memungkinkan. mempermudah pengeluaran sekret.
Jelaskan kepada klien tentang Pengetahuan yang diharapkan akan
kegunaan batuk efektif dan mengapa membantu mengembangkan kepatuhan
terdapat penumpukan sekret di saluran klien terhadap rencana terapeutik.
pernapasan.
Ajarkan klien tentang metode yang Batuk yang tidak terkontrol adalah
tepat untuk pengontrolan batuk. melelahkan dan tidak efektif, dapat
menyebabkan frustasi.
Napas dalam dan perlahan saat duduk Memungkinkan ekspansi paru lebih luas.
setegak mungkin.
Lakukan pernapasan diafragma. Pernapasan diafragma menurunkan
frekuensi napas dan meningkatkan
ventilasi alveolar.
Tahap napas selama 3-5 detik Meningkatkan volume udara dalam paru,
kemudian secara perlahan-lahan, mempermudah pengeluaran sekresi
dikeluarkan sebanyak mungkin sekret.
melalui mulut.
Lakukan napas kedua, tahan, dan Pengkajian ini membantu mengevaluasi
batukkan dari dada dengan melakukan keefektifan upaya batuk klien.
2 batuk pendek dan kuat.
Auskultasi paru sebelum dan sesudah Sekresi kental sulit untuk di encerkan
klien batuk. dan dapat menyebabkan sumbatan
mucus, yang mengarah pada atelektasis.
Ajarkan klien tindakan untuk Untuk menghindari pengentalan dari
menurunkan viskositas sekresi. : sekret atau mosa pada saluran napas
mempertahankan hidrasi yang pada bagian atas.
adekuat; meningkatkan masukan
cairan 1000-1500 cc/hari bila tidak ada
kontraindikasi.
Dorong atau berikan perawatan mulut Higine mulut yang baik meningkatkan
yang baik setelah batuk. rasa kesejahteraan dan mencegah bau
mulut.
Kolaborasi dengan dokter, radiologi, Ekspektoran untuk memudahkan
dan fisioterapi. mengeluarkan lendir dan mengevaluasi
§ Pemberian ekspektoran. perbaikan kondisi klien atas
§ Pemberian antibiotic. pengembangan parunya.
§ Fisioterapi dada.
§ Konsul foto thoraks
Lakukan fisioterapi dada sesuai Mengatur ventilasi segmen paru-paru
indikasi seperti postural drainage, dan pengeluaran sekret.
perkusi/penepukan.
Berikan obat-obat bronchodilator Mengatur ventilasi dan melepaskan
sesuai indikasi seperti aminophilin, sekret karena relaksasi
meta-proterenol sulfat (alupent), muscle/bronchospasme.
adoetharine hydrochloride
(bronkosol).

DX 4 : Nyeri akut yang berhubungan dengan trauma jaringan dan refleks spasme
otot sekunder.
Tujuan : Dalam waktu 3x24 jam nyeri berkurang/hilang.
Kriteria hasil : Secara subjektif melaporkan nyeri berkurang atau dapat diadaptasi,
dapat mengidentifikasi aktivitas yang meningkatkan atau menurunkan nyeri, klien
tidak gelisah.
Intervensi Rasional
Jelaskan dan bantu klien dengan Pendekatan dengan menggunakan
tindakan pereda nyeri nonfarmakologi relaksasi dan nonfarmakologi lainnya
dan non-invasif. telah menunujukkan keefektifan dalam
mengurangi nyeri.
Ajarkan relaksasi :
Teknik-teknik untuk menurunkan Akan melansarkan peredaran darah
ketegangan otot rangka, yang dapat sehingga kebutuhan O2 oleh jaringan
menurunkan intensitas nyeri dan juga akan terpenuhi dan akan mengurangi
tingkatkan relaksasi masase. nyerinya.
Ajarkan metode distraksi selama nyeri Mengalihkan perhatian nyerinya ke hal-
akut. hal yang menyenangkan.
Berikan kesempatan waktu istirahat Istirahat akan merelaksasikan semua
bala terasa nyeri dan berikan posisi jaringan sehingga akan meningkatkan
yang nyaman misalnya ketika tidur, kenyamanan.
belakangnya dipasang bantal kecil.
Tingkatkan pengetahuan tentang Pengkajian yang optimal akan
penyebab nyeri dan respons motorik memberikan perawat data yang objektif
klien, 30 menit setelah pemberian obat untuk mencegah kemungkinan
analgesic untuk mengkaji efektivitasnya komplikasi dan melakukan intervensi
serta setiap 1-2 jam setelah tindakan yang tepat.
perawatan selama 1-2 hari.
Kolaborasi dengan dokter, pemberian Analgetik memblok lintasan nyeri,
analgetik. sehingga nyeri akan berkurang.

DX 5 : Perubahan perfusi serebral berhubungan dengan penghentian aliran darah


(nemongi, nemotuma), edema serebral ; penurunan TD sistemik / hipoksia.
Tujuan : Dalam waktu 2x24 jam fungsi serebral membaik, penurunan fungsi
neurologis dapat d minimalkan /distabilkan.
Kriteria hasil : mempertahankan tingkat kesadaran biasanya/membaik, fungsi
kognitif dan motorik/sensorik, mendemonstrasikan vital sign yang stabil dan tidak
ada tanda-tanda peningktan TIK,
Intervensi Rasional
Kaji ulang tanda-tanda vital Mengkaji adanya kecenderungan pada
klien dan status relirologis klien tingkat kesadaran dan potensial
peningkatan TIK dan bermanfaat dalam
menentukan lokasi, perluasan dan
perkembangankerusakan ssp.
Monitor tekanan darah, catat adanya Peningkatan tekanan darah sistemik
hipertensi sistolik secara teratur dan yang diikuti penurunan tekanan darah
tekanan nadi yang makin berat, obs, distolik (nadi yang
ht, pada klien yang mengalami trauma membesar) merupakan tanda terjadinya

multiple. peningkatan TIK, juga diikuti ( yang


berhubungan
dengan trauma kesadaran.Hipovolumia/
Ht (yang berhubungan dengan trauma
multiples) dapat
mengakibatkan kerusakan / iskemik
serebral.
Monitor Heart Rate, catat adanya Perubahan pada ritme (paling sering
bradikardi, takikardi atau bentuk bradikardia) dan disritmia dapat timbul
disritmia lainya. yang encerminkan
adanya depresi / trauma pada batang
otak pada pasien yang tidak mempunyai
kelainan jantung sebelumnya.
Monitor pernafasan meliputi pola dan Nafas tidak teratur menunjukkan adanya
ritme, seperti periode apnea setelah gangguan
hiperventilasi serebral/ peningkatan TIK dan
(pernafasan cheyne – stokes). memerlukan intervensi lebih lanjut
termasuk kemungkinan
dukungan nafas buatan.
Kaji perubahan pada penglihatan ( Gangguan penglihatan dapat diakibatkan
penglihatan kabur, ganda, lap. oleh kerusakan mikroskopik pada otak,
Pandang menyempit merupakan konsekuensi terhadap
dan kedalaman persepsi. keamanan dan juga akan mempngaruhi
pilihan intervensi
Pertahankan kepala / leher pada posisi Kepala yang miring pada salah satu sisi
tengah/ pada posisi netral. Sokong menekan vena jugularis dan
dengan handuk kecil / menghambat aliran darah lain yang
bantal kecil. Hindari pemakaian bantal selanjutnya akan
besar pada kepala meningkat TIK.
Kolaborasi Tinggikan kepala pasien 15 Meningkatkan aliran balik vena dari
– kepala, sehingga mengurangi kongesti
45o sesuai indikasi / yang dapat dan edema
ditoleransi. / resiko terjadinya peningkatan TIK.
Kolaborasi pemberian O2 tambahan Menurunkan hipoksemia yang mana
sesuai dapat menaikkan vasodilatasi dan vol
indikasi darah serebral yang meningkatkan TIK.

Kolaborasi pemberian obat sesuai - Untuk menurunkan air dari sel otak,
indikasi : menurunkan edema otak TIK.
- Diuretik - Menurunkan inflasi, yang
- Steroid selanjutnya menurunkan edema
- Analgetik sedang jaringan.
- Sedatif - Menghilangkan nyeri dan dapat
berakibat Θ pada TIK tetapi harus
digunakan dengan hasil untuk
mencegah gangguan
pernafasan.
- Untuk mengendalikan kegelisahan
agitas

DAFTAR PUSTAKA

1. Fahrev. 2009, Penanganan Kegawat daruratan Pada Pasien Trauma


Maksilofasial. Skripsi. Departemen Bedah Mulut Dan Maksilofasial. Fakultas
Kedokteran Universitas Sumatra Utara. Medan. Di unduh dari
http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/16287/6/Abstract.pdf.
2. Kateren E A. 2000, Penangan Awal Dokter Gigi Pada Trauma Orofacial.
Medan: Dentika dental Journal.
3. Perhimpunan Dokter Spesialis Anastesiologi dan Reaminasi Indonesia. 2000,
Advance Life Support Course Sub – Committee of the Resuscitation Council
(UK). Jakarta: Departemen Kesehatan Republik Indonesia.
4. Syaiful Saanin. 2010, Cedera Kepala. Padang: Fakultas Kedokteran
Universitas Andalas Sumatra Barat. Diakses dari:
http://www.angelfire.com/nc/neurosurgery/Penyerta.html.
5. Mansjoer A Suprohaita.Wardhani WI,Setiowulan. 2000, Kapita Selekta
Kedokteran Jilid 2. Jakara: Media Aesculapius Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia.
6. Facial danger zone, 2010, Facial Anatomy. Diakses dari :
http://www.avshalom-shalom.com/interns/face%20lift/facial%20anatomy.pdf.
7. Annonimous. 2010, Maxillofacial Trauma. Diakses dari :
http://www.healthofchildren.com/M/Maxillofacial-Trauma.html.
8. Annonimous. 2010, Cidera Wajah dan Rahang Atas. Diakses dari: www.hsp-
prs.org.
9. Smeltzer, Suzanne C. Brenda G.Bare. 2002. Buku Ajar Keperawatan Medikal
Bedah Brunner dan Suddarth. Edisi 8. Jakarta:EGC
10. Muttaqin, Arif. 2008. Buku Ajar Asuhan Keperawatan Klien dengan
Gangguan Sistem Persarafan. Jakarta: Salemba Medika
11. M.Taylor, Cynthia., Ralph, Sheila. 2012. Diagnosis Keperawatan dengan
Rencana Asuhan. Jakarta:EGC

Anda mungkin juga menyukai