Aporan Kasus Neurologi Toxoplasmosis Enc
Aporan Kasus Neurologi Toxoplasmosis Enc
Nama : Tn. F
Usia : 35 tahun
Kewargenaraan : WNI
Agama : Kristen
ANAMNESIS
KELUHAN UTAMA
Pasien mengeluh cekukan terus menerus dan mengompol sejak 4 hari yang lalu.
Keluhan ini dirasakan secara tiba-tiba 2 hari sebelum masuk rumah sakit. Cekukan tidak
berhenti kecuali pasien tidur. Cekukan ini timbul sekitar 15 kali per menit. Selama 4 hari
yang lalu, cekukan tidak berkurang atau pun bertambah dalam frekuensi. Pasien tidak merasa
nyeri pada ulu hati, tidak ada batuk, nyeri pada saat menelan atau muntah. Pasien juga tidak
sedang mengalami stres.
Pasien tidak dapat menahan kencingnya sehingga selalu mengompol. Tidak ada nyeri
pada saat buang air kecil.
Pasien memiliki sedikit kelemahan pada anggota gerak kiri, khususnya pada tungkai.
Hipertensi dan Diabetes Melitus disangkal.
Saat pasien masuk rumah sakit, pasien mengalami demam tinggi sejak 1 hari sebelum
masuk rumah sakit. Demam ini turun sebentar saat diberi obat penurun panas namun akan
naik lagi. Selain itu, pasien mengeluh nyeri kepala dan keluarga pasien juga mengeluh bahwa
pasien cenderung tertidur dan sulit dibangunkan.
Pasien menderita Hepatitis C dan HIV-1 yang baru diketahui sejak masuk rumah
sakit.
Pasien tidak pernah mengalami keluhan seperti sekarang sebelumnya. Pasien tidak
mempunyai riwayat trauma pada kepala.
Tidak ditanyakan.
PEMERIKSAAN FISIK
STATUS GENERALIS
Nadi : 80 x / menit
Pernapasan : 18 x / menit
Suhu : 36,3 oC
Mata : Konjungtiva anemis -/-, sklera ikterik -/-. Pupil bulat isokor
2mm/2mm, refleks cahaya langsung +/+, refleks cahaya tidak
langsung +/+
Mulut : Tidak terdapat deviasi bibir. Mukosa rongga mulut merah tanpa
massa atau lesi lain. Tampak leukoplakia pada lidah. Hygiene baik.
Lidah tidak deviasi.
Ekstremitas Atas : Tidak ada nyeri atau perasaan baal/berat. Tidak ada deformitas, akral
hangat.
Ekstremitas Bawah : Tidak ada nyeri atau perasaan baal/berat. Tidak ada deformitas, akral
hangat. Tungkai kiri sedikit melemah
STATUS NEUROLOGIS
Saraf Kranial
HASIL PEMERIKSAAN
NI Tidak didapatkan gangguan pada fungsi menghidu, bilateral dan simetris
N II Visus: Tidak diperiksa
Lapang pandang: normal
Pemeriksaan buta warna: tidak dilakukan
Pupil bulat, isokor, ukuran 2 mm / 2 mm.
Refleks cahaya langsung +/+, refleks cahaya tidak langsung +/+
N III, IV, VI Gerakan bola mata baik ke segala arah
NV Sensorik : V1, V2, V3 sensasi raba wajah kanan dan kiri sama
Motorik : inspeksi: tidak terlihat hipotrofi, dapat membuka rahang
dengan baik.
palpasi: saat menggigit keras, kontraksi otot masseter kiri dan
kanan sama kuat.
N VII Inspeksi: Wajah pasien kanan dan kiri simetris.
Celah palpebra kanan dan kiri simetris.
Plika nasolabialis kanan dan kiri simetris.
Menaikkan alis dan menutup mata kuat simetris kanan dan kiri
Menggembungkan pipi dan menyeringai simetris
N VIII Tes pendengaran dengan gesekan jari : normal.
Tes Rinne, Weber, dan Schwabach tidak dilakukan.
Pemeriksaan keseimbangan: Baik
N IX & X Tidak ada disfoni dan disfagia.
Uvula terletak di tengah.
N XI Menoleh kanan-kiri dan menggerakkan bahu: baik, kiri dan kanan
N XII* Inspeksi: tidak terdapat deviasi ke satu sisi, fasikulasi dan atrofi.
Menjulurkan lidah tidak ada deviasi ke satu sisi
Sensorik
Eksteroseptif : Nyeri dan raba pada bagian kanan dan kiri lainnya simetris. Sensasi
suhu tidak dilakukan.
Proprioseptif : Baik.
Motorik
Inspeksi : Posisi lengan dan tungkai simetris kanan dan kiri. Tidak terdapat atrofi
ataupun fasikulasi.
Refleks Fisiologis
Refleks Patologis
Koordinasi
PEMERIKSAAN TAMBAHAN
T-helper CD4 : 3%
RESUME
Pasien, laki-laki, usia 35 tahun mengeluh cekukan terus menerus dan mengompol
sejak 4 hari yang lalu. Keluhan ini dirasakan secara tiba-tiba 2 hari sebelum masuk rumah
sakit. Cekukan tidak berhenti kecuali pasien tidur. Cekukan ini timbul sekitar 15 kali per
menit. Selama 4 hari yang lalu, cekukan tidak berkurang atau pun bertambah dalam
frekuensi. Pasien mengalami urinary incontinence. Tidak ada nyeri pada saat buang air kecil.
Saat pasien masuk rumah sakit, pasien mengalami demam tinggi sejak 1 hari sebelum masuk
rumah sakit. Demam ini turun sebentar saat diberi obat antipiretik namun akan naik lagi.
Selain itu, pasien mengeluh nyeri kepala dan keluarga pasien juga mengeluh bahwa pasien
cenderung tertidur dan sulit dibangunkan. Keluhan demam, nyeri kepala, dan penurunan
kesadaran sudah membaik. Pasien menderita Hepatitis C dan HIV-1 (CD4 count 75 /L).
Pada pemeriksaan fisik, terdapat refleks Babinski positif.
DIAGNOSIS
PEMERIKSAAN PENUNJANG
TATA LAKSANA
MEDIKAMENTOSA
Pyrimethamine
Sulfadiazine
PROGNOSIS
Ad fungsionam : dubia
CEGUKAN (HICCUPS)
Cegukan terlihat sepele, namun bila sudah berlangsung lama, menunjukkan ada
sesuatu yang tidak beres dalam tubuh. Karena tidak hanya menyangkut tenggorakan,
tapi juga organ-organ lain. Termasuk di dalamnya otot-otot diagfragma, katup di
tenggorokan, dan susunan saraf pusat (otak) serta saraf tepi.
Cegukan, dalam bahasa medisnya disebut Hiccup, disebabkan oleh kontraksi sekat
rongga tubuh, atau kerap disebut diagfragma, yang terjadi secara mendadak.
Kontraksi ini menimbulkan tarikan napas yang diakhiri secara refleks oleh
tertutupnya lubang di antara kedua pita suara. Tarikan napas akibat tertutupnya
lubang tersebut menimbulkan suara khas waktu cegukan. Kejadian ini dapat timbul
satu kali, dapat pula berupa rangkaian yang tak dapat dikendalikan.
Normalnya, saat kita menarik napas, otot-otot diafragma akan turun, dan saat itu
pula katup tenggorokan membuka, sehingga udara yang menekan ke atas tidak akan
berbunyi. Akan tetapi, pada cegukan, saat menarik napas, terjadi kontraksi atau
bahasa awamnya kram pada otot diafragma dan otot-otot antara tulang iga.
Akibatnya, keduanya akan naik. Pada saat bersamaan, epiglotis (katup/klep di
tenggorokan) pun tertutup, sehingga udara dari diagfragma yang naik ke atas akan
menekan klep ini. Akibatnya, terjadilah cegukan (Gambar 1).
Tertutupnya katup atau epiglotis ini terjadi karena adanya gangguan di lengkung
refleks, yaitu pada susunan saraf pusat dan saraf tepi. Kedua saraf ini mengatur
jalur pernafasan dalam tubuh manusia agar berjalan lancar. Tertutupnya klep ini
bukan merupakan kelainan susunan saraf pusat atau saraf tepi, namun merupakan
respon dari keduanya yang terganggu.
Oleh karena saraf tepi berukuran panjang dan berhubungan dengan organ-organ di
dalam tubuh, maka terkadang aktivitasnya terganggu oleh penyakit yang serius.
Sehingga, cegukan dapat pula menjadi gejala adaya radang di perut, penyakit di
ginjal, masalah hati atau tumbuhnya tumor di leher yang mengganggu saraf, yang
kemudian mengirim respon sehingga muncullah cegukan.
Pada dasarnya, cegukan itu ada 2 jenis. Jenis pertama disebut dengan cegukan
ringan dan hanya berlangsung 1-2 jam, kemudian hilang sendiri. Penyebabnya
paling sering karena adanya regangan di lambung; perubahan cuaca yang mendadak,
dari panas ke dingin atau sebaliknya; memakan makanan yang terlalu panas atau
dingin; minum alkohol, merokok atau mengalami stres.
Sedangkan jenis kedua, adalah cegukan permanen. Cegukan ini terjadi terus
menerus, tak hanya berhari-hari atau berbulan-bulan, tapi juga bertahun-tahun.
Cegukan jenis merupakan tanda atau gejala adanya gangguan di otak seperti gejala
tumor di batang otak; gejala stroke, pada penderita stroke sering timbul
cegukan; adanya infeksi di susunan saraf pusat; adanya herpes di dada sehingga
mengganggu saraf tepi.
Di samping itu, juga karena gangguan metabolik seperti pada penderita diabetes
dan hipertensi. Atau penderita kelainan ginjal, karena urenia. Juga karena
gangguan elektrolit (kurang kalium), termasuk pengaruh obat-obatan seperti
steroid atau obat tidur.
INKONTINENSIA URIN
Inkontinensia urine adalah ketidakmampuan menahan air kencing. Gangguan ini lebih
sering terjadi pada wanita yang pernah melahirkan daripada yang belum pernah melahirkan
(nulipara). Diduga disebabkan oleh perubahan otot dan fasia di dasar panggul. Kebanyakan
penderita inkontinensia telah menderita desensus dinding depan vagina disertai sisto-
uretrokel. Tetapi kadang-kadang dijumpai penderita dengan prolapsus total uterus dan vagina
dengan kontinensia urine yang baik.
D. Fistula urine
Inkontinensia Luapan Inkontinensia luapan yaitu keluarnya urine secara involunter ketika
tekanan intravesikal melebihi tekanan maksimal maksimal uretra akibat dari distensi kandung
kemih tanpa adanya aktifitas detrusor. Terjadi pada keadaan kandung kemih yang lumpuh
akut atau kronik yang terisi terlalu penuh, sehingga tekanan kandung kemih dapat naik tinggi
sekali tanpa disertai kontraksi sehingga akhirnya urine menetes lewat uretra secara
intermitten atau keluar tetes demi tetes.
Penyebab kelainan ini berasal dari penyakit neurogen, seperti akibat cedera vertebra,
sklerosis multipel, penyakit serebrovaskular, meningomyelokel, trauma kapitis, serta tumor
otak dan medula spinalis.
Corak atau sifat gangguan fungsi kandung kemih neurogen dapat berbeda, tergantung
pada tempat dan luasnya luka, koordinasi normal antara kandung kemih dan uretra
berdasarkan refleks miksi, yang berjalan melalui pusat miksi pada segmen sakral medula
spinalis. Baik otot kandung kemih maupun otot polos dan otot lurik pada uretra dihubungkan
dengan pusat miksi.
Otot lurik periuretral di dasar panggul yang menjadi bagian penting mekanisme
penutupan uretra juga dihubungkan dengan pusat miksi sakral. Dari pusat yang lebih atas di
dalam otak diberikan koordinasi ke pusat miksi sakral. Di dalam pusat yang lebih atas ini,
sekaligus masuk isyarat mengenai keadaan kandung kemih dan uretra, sehingga rasa ingin
miksi disadari.
Refleks miksi juga dipengaruhi melalui pleksus pelvikus oleh persarafan simpatis dari
ganglion yang termasuk L1, L2, L3. Pada lesi, dapat terjadi dua jenis gangguan pada fungsi
kandung kemih yaitu :
Fistula urine Fistula urine sebagian besar akibat persalinan, dapat terjadi langsung pada
waktu tindakan operatif seperti seksio sesar, perforasi dan kranioklasi, dekapitasi, atau
ekstraksi dengan cunam. Dapat juga timbul beberapa hari sesudah partus lama, yang
disebabkan karena tekanan kepala janin terlalu lama pada jaringan jalan lahir di tulang pubis
dan simfisis, sehingga menimbulkan iskemia dan kematian jaringan di jalan lahir.
Operasi ginekologis seperti histerektomi abdominal dan vaginal, operasi plastik pervaginam,
operasi radikal untuk karsinoma serviks uteri, semuanya dapat menimbulkan fistula
traumatik. Tes sederhana untuk membantu diagnosis ialah dengan memasukan metilen biru
30 ml kedalam rongga vesika. Akan tampak metilen biru keluar dari fistula ke dalam vagina.
TOXOPLASMOSIS ENSEFALITIS
ETIOLOGI dan PATOFISIOLOGI
Toxoplasma gondii hidup dalam 3 bentuk: thachyzoite, tissue cyst (yang mengandung
bradyzoites) dan oocyst (yang mengandung sporozoites). Bentuk akhir dari parasit diproduksi
selama siklus seksual pada usus halus dari kucing. Kucing merupakan pejamu definitif dari
T gondii. Siklus hidup aseksual terjadi pada pejamu perantara, (termasuk manusia ). Dimulai
dengan tertelannya tissue cyst atau oocyst diikuti oleh terinfeksinya sel epitel usus halus oleh
bradyzoites atau sporozoites secara berturut-turut. Setelah bertransformasi menjadi
tachyzoites, organisme ini menyebar ke seluruh tubuh lewat peredaran darah atau limfatik.
Parasit ini berubah bentuk menjadi tissue cysts begitu mencapai jaringan perifer. Bentuk ini
dapat bertahan sepanjang hidup pejamu, dan berpredileksi untuk menetap pada otak,
myocardium, paru, otot skeletal dan retina. Tissue cyst ada dalam daging, tapi dapat dirusak
dengan pemanasan sampai 67oC, didinginkan sampai –20oC atau oleh iradiasi gamma. Siklus
seksual entero-epithelial dengan bentuk oocyst hidup pada kucing yang akan menjadi
infeksius setelah tertelan daging yang mengandung tissue cyst. Ekskresi oocysts berakhir
selama 7-20 hari dan jarang berulang. Oocyst menjadi infeksius setelah diekskresikan dan
terjadi sporulasi. Lamanya proses ini tergantung dari kondisi lingkungan, tapi biasanya 2-3
hari setelah diekskresi. Oocysts menjadi infeksius di lingkungan selama lebih dari 1 tahun
(Gambar 3).
Transmisi pada manusia terutama terjadi bila makan daging babi atau domba yang
mentah yang mengandung oocyst. Bisa juga dari sayur yang terkontaminasi atau kontak
langsung dengan feces kucing. Selain itu dapat terjadi transmisi lewat transplasental, transfusi
darah, dan transplantasi organ. Infeksi akut pada individu yang imunokompeten biasanya
asimptomatik. Pada manusia dengan imunitas tubuh yang rendah dapat terjadi reaktivasi dari
infeksi laten. yang akan mengakibatkan timbulnya infeksi oportunistik dengan predileksi di
otak. Tissue cyst menjadi ruptur dan melepaskan invasive tropozoit (takizoit). Takisoit ini
akan menghancurkan sel dan menyebabkan focus nekrosis.
Gambar 3 Definitif host dari T. gondii ialah kucing. Unsporulated oocysts dikeluarkan di
kotoran kucing . Walaupun oocysts biasanya dikeluarkan hanya selama 1-2 minggu,
jumlah yang banyak dapat dikeluarkan. Oocysts memerlukan waktu 1-5 hari untuk sporulate
dalam lingkungan sebelum menjadi infektif. Host di lingkungan (termasuk burung dan tikus)
menjadi terinfeksi setelah menelan tanah, air atau tumbuh-tumbuhan yang terkontaminasi
oleh oocysts . Oocysts berubah menjadi tachyzoites setelah tertelan. Tachyzoites ini
melekat pada jaringan neural dan otot dan menjadi tissue cyst bradyzoites . Kucing
menjadi terinfeksi setelah menelan intermediate host yang membawa tissue cysts . Kucing
juga dapat terinfeksi secara langsung dengan menelan sporulated oocysts. Binatang yang
dipelihara untuk konsumsi manusia dan untuk permainan juga dapat terinfeksi oleh tissue
cysts setelah menelan sporulated oocysts dalam lingkungan . Manusia dapat terinfeksi oleh
berbagai cara:
Memakan daging binatang yang membawa tissue cysts dan dimasak kurang matang
.
Memakan makanan atau air yang terkontaminasi oleh kotoran kucing atau oleh
sample kontaminasi lingkungan (seperti tanah yang terkontaminasi kotoran atau
menukar kotak kotoran kucing peliharaan) .
Dalam host manusia, parasit dari tissue cysts, terutama dalam otot rangka, miocadium, otak,
dan mata; cysts ini menetap seumur hidup host tersebut. Diagnosis biasanya dapat ditegakkan
oleh serologi, walaupun tissue cysts dapat ditemukan dalam spesimen biopsi yang diwarnai
. Diagnosis dari infeksi kongenital dapat ditegakkan dengan deteksi DNA T. gondii dalam
air ketuban melalui cara PCR .
Pada pasien yang terinfeksi HIV, jumlah CD4 limfosit T dapat menjadi prediktor
untuk validasi kemungkinanan adanya infeksi oportunistik. Pada pasien dengan CD4 < 200
sel/mL kemungkinan untuk terjadi infeksi oportunistik sangat tinggi. Oportunistik infeksi
yang mungkin terjadi pada penderita dengan CD4 < 200 sel/mL adalah pneumocystis carinii,
CD4 <100 sel/mL adalah toxoplasma gondii, dan CD4 < 50 adalah M. avium Complex,
sehingga diindikasikan untuk pemberian profilaksis primer. M. tuberculosis dan candida
species dapat menyebabkan infeksi oportunistik pada CD4 > 200 sel/mL.
MANIFESTASI KLINIS
Manifestasi klinis toxoplasmosis pada penderita AIDS dapat berupa Toxoplasma
ensefalitis, Toxoplasma pneumonitis dan toxoplasma chorioretinitis. Dari ketiga manifestasi
ini, ensefalitis lebih sering terjadi pada penderita AIDS .
Imunitas seluler yang diperantarai oleh sel T, makrofag dan aktivitas dari sitokin tipe
1 (interleukin [IL]-12 dan interferon [IFN]-gamma) berperan penting dalam infeksi T gondii
kronis. Interleukin 12 diproduksi oleh antigen presenting cells seperti sel dendrit dan
makrofag. IL-12 akan menstimulasi produksi dari IFN-gamma, suatu mediator mayor untuk
proteksi pejamu melawan intraseluler patogen. IFN-gamma kemudian akan menstimulasi anti
aktivitas T-gondii, tidak hanya dari makrofag tapi juga dari sel nonfagositosis. Produksi dari
IL-12 dan IFN-gamma distimulasi oleh CD-154 (juga dikenal sebagai ligand CD40) pada
infeksi T.gondii pada manusia. CD 154 (primer diekspresi pada aktivasi CD4 T sel) bekerja
dengan diperantarai oleh sel dendrit dan makrofag untuk mengsekresi IL-12, yang akan
kembali meningkatkan produksi dari IFN-gamma oleh sel T. TNF-alfa adalah sitokin esensial
lain untuk mengendalikan infeksi kronis T gondii.
DIAGNOSIS
Diagnosis dapat ditegakkan dengan pemeriksaan serologi, biopsy jaringan, isolasi T
gondii dari cairan tubuh atau darah dan pemeriksaan DNA parasit.
Pada pemeriksaan serologi didapatkan seropositif dari anti-T gondii IgG dan IgM.
Pemeriksaan yang sudah menjadi standar emas untuk mendeteksi titer IgG dan IgM T gondii
yang biasa dilakukan adalah dengan Sabin-Feldman dye test, tapi pemeriksaan ini tidak
tersedia di Indonesia. Deteksi antibodi juga dapat dilakukan dengan indirect fluorescent
antibody (IFA), agglutinasi, atau enzyme linked immunosorbent assay (ELISA). Titer IgG
mencapai puncak dalam 1-2 bulan setelah infeksi kemudian bertahan seumur hidup. Anti bodi
IgM hilang dalam beberapa minggu setelah infeksi.
Pemeriksaan cairan serebrospinal pada penderita ensefalitis toxoplasma menunjukkan
adanya pleositosis ringan dari mononuclear predominan dan elevasi protein.
Pemeriksaan Polymerase chain reaction (PCR) untuk mendeteksi DNA T gondii
dapat berguna untuk diagnosis toxoplasmosis. Sensitifitas PCR pada cairan serebrospinal
bervariasi dari 12-70% (biasanya 50-60%) dan spesifisitasnya hampir 100%. PCR untuk T
gondii dapat juga positif pada cairan bronkoalveolar dan cairan vitreus atau aqueous humor
dari penderita toxopasmosis yang terinfeksi HIV. Adanya PCR yang positif pada jaringan
otak tidak berarti terdapat infeksi aktif karena tissue cyst dapt bertahan lama berada di otak
setelah infeksi akut. PCR pada darah mempunyai sensitifitas yang rendah untukdiagnosis
pada penderita AIDS.
Toxoplasmosis juga dapat didiagnosis dengan isolasi T gondii dari kultur cairan tubuh
atau spesimen biopsy jaringan. Tapi diperlukan waktu lebih dari 6 minggu untuk
mendapatkan hasil kultur. Diagnosis pasti dari ensefalitis toxoplasma adalah dengan biopsi
otak, tapi karena keterbatasan fasilitas, waktu dan dana sering biosi otak ini tidak dilakukan.
AAN Quality Standards subcommittee (1998) merekomendasikan penggunaan terapi
empirik pada pasien yang diduga ensefalitis toxoplasma selama 2 minggu, kemudian
dimonitor lagi setelah 2 minggu, bila ada perbaikan secara klinis maupun radiologi, diagnosis
adanya ensefalitis toxoplasma dapat ditegakkan dan terapi ini dapat di teruskan. Lebih dari
90% pasien menunjukkan perbaikan klinis dan radiologik setelah diberikan terapi inisial
selama 10-14 hari. Jika tidak ada perbaikan lesi setelah 2 minggu, diindikasikan untuk
dilakukan biopsi otak.
TERAPI
Terapi ensefalitis toxoplasma yang direkomendasikan adalah kombinasi pirimetamin
50-100 mg perhari yang dikombinasikan dengan sulfadiazin 1-2 g tiap 6 jam. Pada pasien
yang alergi terhadap sulfa dapat diberikan kombinasi pirimetamin 50-100 mg perhari dengan
clindamicin 450-600 mg tiap 6 jam. Disamping itu perlu pemberian asam folinic 5-10 mg
perhari untuk mencegah depresi sumsum tulang. Bila pasien alergi terhadap sulfa dan
clindamicin, dapat diganti dengan Azitromycin 1200 mg/hr, atau claritromicin 1 gram tiap 12
jam, atau atovaquone 750 mg tiap 6 jam. Terapi ini diberikan selama 4-6 minggu atau 3
minggu setelah perbaikan gejala klinis.
Pemeriksaan CT scan menunjukkan adanya lesi hipodens, multiple, bilateral dan
menyangat setelah pemberian kontras, seperti ringlike pattern pada 70-80% kasus. Lesi ini
berpredileksi di ganglia basalis dan hemispheric corticomedullary junction. Pemeriksaan
MRI lebih sensitif dibanding CT Scan. Ditemukannya lesi pada pemeriksaan CT Scan
ataupun MRI tidak patognomonik untuk ensefalitis toxoplasma. Lesi ini harus didiagnosis
banding dengan limfoma SSP dan criptococcus.
ANALISA KASUS
Pada pasien ini ditemukan adanya nyeri kepala, demam dan penurunan kesadaran
yang merupakan gejala kronik progresif dan menunjukkan adanya suatu lesi desak ruang
pada otak. Adanya demam menunjukkan adanya infeksi. Sehingga penurunan kesadaran pada
pasien ini diduga karena adanya lesi desak ruang intrakranial yang mungkin disebabkan oleh
infeksi.
Dengan ditemukan adanya riwayat penggunaan obat narkotika intravena yang
didukung dengan adanya needle track, dapat dipikirkan kemungkinan penderita ini terinfeksi
HIV, sehingga dilakukan pemeriksaan HIV dan pemeriksaan CT scan otak dengan kontras.
Hasil pemeriksaan HIV, ditemukan pasien HIV positif dengan jumlah CD 4 75 sel/ml.
Berdasarkan manifestasi klinis dan jumlah CD 4 yang < 100 sel/ml, maka presumptive
diagnosis ensefalitis toxoplasma dapat ditegakkan dan dapat diberikan terapi empirik
toxoplasmosis pada pasien ini.
Ditemukan juga adanya movement disorder berupa hemiparese sinistra ringan pada
pasien ini diduga berhubungan dengan letak lesi, yaitu pada ganglia basalis. Movement
disorder terjadi akibat disfungsi dari struktur ganglia basalis.
Terapi ensefalitis toxoplasma yang lazim diberikan adalah (Sulfadoxin 500 mg +
Pyrimethamin 25 mg) tiap 6 jam, Clindamicin 600 mg tiap 6 jam, dan asam folinic 10 mg
perhari.
Terapi empirik yang diberikan pada pasien ini adalah kombinasi pirimetamin 50 mg
tiap 6 jam dengan clindamisin 600 mg tiap 6 jam. Setelah pemberian selama 6 hari terdapat
perbaikan klinis. Dua minggu setelah pemberian terapi empirik dilakukan evaluasi ulang CT
Scan. Untuk menilai perbaikan secara radiologis, digunakan 2 parameter yaitu ukuran lesi
dan penyangatan lesi setelah pemberian kontras. Pada pasien ini, evaluasi CT scan terdapat
perbaikan, dimana ukuran lesi mengecil dan pada pemberian kontras tidak tampak adanya
penyangatan. Adanya perbaikan klinis dan radiologis pada penderita ini setelah terapi empirik
DAFTAR PUSTAKA