Anda di halaman 1dari 22

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Sindroma Kolon Iritabel (SKI) atau Irritable Bowel Syndrom (IBS) adalah

salah satu penyakit gastrointestinal yang dikatakan paling sering ditemukan dalam

praktek klinik. Prevalensi rata-rata secara keseluruhan di negara maju sebesar 10%

atau berkisar antara 9-24%. Di Indonesia belum terdapat angka prevalensi SKI.

Walaupun penyakit ini bukan penyakit yang dapat mengancam jiwa, penyakit ini

dapat menimbulkan stres yang berat bagi pasien dan perasaan frustrasi bagi dokter

yang mengobatinya. (Rahza, 2007)

IBS dikhaskan oleh nyeri perut atau rasa tidak nyaman di abdomen dan

perubahan pola buang air besar seperti diare, konstipasi atau alternating (diare dan

konstipasi bergantian) serta rasa kembung. Gejala ini mengakibatkan penurunan

kualitas hidup dan menimbulkan beban ekonomi yang besar pada masyarakat

terutama melalui ketidakhadiran di tempat kerja. IBS didiagnosis atas dasar simtom-

simtom yang khas tanpa adanya simtom-simtom alarm seperti penurunan berat badan,

perdarahan per rektal, demam atau anemia. Pemeriksaan fisik dan tes diagnostik yang

sekarang tersedia tidak cukup spesifik untuk menegakkan diagnosis IBS, sehingga

diagnosis IBS ditegakkan atas dasar simtom-simtom yang khas tersebut. (Roger,

2001)

1
Penatalaksanaan pasien dengan IBS melipui modifikasi diet, intervensi

psikologis, dan farmakoterapi. Ketiga bentuk pengobatan ini harus berjalan

bersamaan. Dalam memberikan obat-obatan harus selalu diingat bahwa obat-obatan

mempunyai efek samping yang dapat memperburuk kondisi psikis pasien. (Sudoyo,

2006)

B. Tujuan Penulisan

Tujuan dari penulisan referat ini adalah untuk mengetahui definisi, etiologi,

patofisiologi, gejala klinis, diagnosis, terapi, dan prognosis dari Irritable Bowel

Syndrome (IBS).

BAB II
2
TINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi

Irritable Bowel Syndrome (IBS) adalah kelainan kompleks dari saluran

pencernaan bagian bawah, adanya nyeri perut, distensi dan gangguan pola defekasi

tanpa gangguan organik. IBS merupakan gangguan fungsional pada defekasi. IBS

utamanya dikarakteristikkan dengan gejala-gejala yang khas dan diperburuk dengan

stres emosional. Istilah bahasa Indonesia untuk penyakit ini memang belum ada yang

baku. (Sudoyo, dkk 2006)

Menurut Carmilleri (2001), IBS merupakan salah satu penyakit dari

kelompok Functional Gastrointestinal Disorders (Gangguan Fungsional Saluran

Pencernaan) atau Functional Motility Disorders (Gangguan Fungsional Pergerakan

Usus). Seringkali disebut sebagai gangguan, bukan penyakit, karena penyakit ini

merupakan sekumpulan gejala yang terjadi akibat gangguan fungsional saluran

pencernaan, dimana tidak terdapat kelainan organik dari saluran pencernaan itu

sendiri. Tiga kelompok gejala pokok yang timbul pada penyakit ini biasanya berupa:

1. Nyeri perut

2. Kembung dan

3. Gangguan buang air besar.

IBS merupakan salah satu penyakit yang tidak mudah didiagnosa,

dikarenakan tidak terdapat pemeriksaan fisik dan laboratorium yang spesifik pada

pasien IBS. Oleh karenanya, diagnosa penyakit ini seringkali didasarkan pada
3
kriteria eksklusi, yaitu diagnosa ditegakkan setelah menyingkirkan semua

kemungkinan adanya penyakit organik saluran pencernaan lain. (Carmilleri, 2001)

B. Epidemiologi

Sejak abad ke 19 IBS diakui sebagai salah satu penyakit yang paling sering

dijumpai namun data objektif mengenai prevalensi IBS belum ada, hal ini

kemungkinan disebabkan karena IBS bukan merupakan penyakit yang fatal.

(Kusmobroto, 2003)

Prevalensi rata-rata secara keseluruhan di negara maju sebesar 10% atau

berkisar antara 9-24%. Belum ada penelitian statistik jumlah penderita IBS di

Indonesia. Di seluruh bagian dunia, prevalensi penyakit ini diperkirakan sangat

bervariasi. Di Amerika Utara dan Eropa bagian barat, survei penduduk menunjukkan

bahwa penderita IBS sebesar 12-22% dari populasi umum atau satu dari lima orang

dewasa memiliki gejala IBS, sehingga menjadikan IBS sebagai salah satu gangguan

yang paling umum didiagnosa oleh dokter. Sementara prevalensinya di Asia

Tenggara lebih jarang yaitu sekitar kurang dari 5%. Perbedaan ini mungkin

disebabkan oleh perbedaan metode survey, kriteria yang digunakan ataupun jumlah

populasi yang diteliti. (Kusmobroto, 2003)

IBS lebih sering terjadi pada wanita dibandingkan pada pria (2:1), dan 50%

penderita IBS gejalanya dimulai pada usia kurang dari 35 tahun dan 40% dimulai

pada usia 35-50 tahun. Tipe konstipasi didapatkan lebih banyak pada wanita, sedang

tipe diare lebih banyak pada pria. Walaupun penyakit ini bukan penyakit yang dapat
4
mengancam jiwa, penyakit ini dapat menimbulkan stres yang berat bagi pasien dan

perasaan frustrasi bagi dokter yang mengobatinya. (Kusmobroto, 2003)

Gambar 1. Epidemiologi IBS di beberapa negara. (Kenneth W, 1999)

C. Etiologi

Menurut Kusmobroto (2003), IBS dapat disebabkan oleh berbagai macam

faktor. Sampai saat ini tidak ada teori yang menyebutkan bahwa IBS hanya

5
disebabkan oleh satu macam faktor. Penelitian-penelitian terakhir mengarah untuk

membuat suatu model terintegrasi sebagai penyebab dari IBS, antara lain:

 Gangguan motilitas

 Intoleransi makanan

 Abnormalitas sensorik (Abnormalitas sistem saraf otonom)

 Hipersensivitas visceral

 Pasca infeksi usus. Biasanya disebabkan oleh giardia atau amoeba (biasanya

gejala berupa perut kembung, nyeri abdomen, dan diare).

 Faktor psikologis : peranan stress kronik sukar digambarkan dan sudah

dibahas dengan luas oleh Trulove dan Reinell (1972). Stress akut dapat

menyebabkan diare dan hal ini diterima oleh semua ahli. Faktor emosional

(misal, stress, gelisah, depresi, dan takut) bisa memicu atau memperburuk

serangan pada IBS.

 Faktor makanan: peranan makanan belum jelas diketahui, namun terdapat

beberapa makanan yang dapat menyebabkan menyebabkan diare serta

kekurangan serat akan menyebabkan konstipasi. Untuk beberapa orang,

makanan tinggi kalori atau makanan tinggi lemak, gandum, produk susu, kopi,

teh, atau buah jeruk kemungkinan bisa memicu terjadinya IBS.

D. Patofisiologi

1. Gangguan fungsi motoris kolon

Pada penelitian diterangkan bahwa pemeriksaan manometri penderita IBS

pada saat tidak ada rangsangan hanya ada sedikit perbedaan dibandingkan orang
6
normal. Tetapi setelah ada rangsangan makan maka pemeriksaan manometri pada

IBS menunjukkan respon yang lebih besar. Dijelaskan juga adanya peningkatan

aktifitas gelombang pendek di kolon distal pada penderita IBS sedangkan pada orang

normal tidak terjadi peningkatan. Aktifitas tipe ini dikaitkan dengan kontraksi

segmental tanpa ada dorongan di kolon yang selanjutnya akan menimbulkan gejala-

gejala konstipasi. (Quigley, 2003)

Sebanyak 74% penderita IBS, rasa sakitnya dimulai pada kuadran kanan

bawah dan secara tidak langsung hal ini dapat mencerminkan adanya gangguan

fungsi kolon acsendens. Sulliven el al tahun 1978, melaporkan adanya perubahan

motilitas kolon terhadap rangsangan seperti makanan, marah, dan stress psikologis

pada penderita IBS. (Quigley, 2003)

2. Gangguan Fungsi Motoris pada Usus Halus

Sudah diketahui bahwa pada orang normal akan terjadi perubahan motilitas

usus halus pada saat puasa maupun setelah makan, hal ini akibat aktifitas kontraksi

yang khas berkaitan dengan migrating motor complek. Hasil rekaman pada penderita

IBS menunjukkan adanya kelainan migrating motor complek pada saat berpuasa,

disini yang menonjol adalah adanya peningkatan aktifitas kontraksi migrating motor

complek, dengan gambaran meningkatnya jumlah kontraksi pada duodenum dan

jejunum. Perasaan sakit perut berhubungan dengan aktifitas kontraksi yang tiba-tiba

di usus halus, sedangkan pada saat tidur aktifitas ini tidak tampak, sehingga bisa

diterangkan mengapa pada penderita IBS jarang mengeluh terbangun dari tidurnya

akibat perasaan sakit perut. (Roger, 2001)


7
3. Sensoris yang tidak normal

Pada saat ini perhatian patofisisologi IBS ditujukan pada perubahan sensasi

visceral, beberapa peneliti berpendapat bahwa IBS merupakan akibat dari hiperestesi

visceral. Persepsi visceral yang tidak normal karena adanya sensitifitas yang

berlebihan. Pada penderita IBS terdapat penurunan nilai ambang sensitifitas di ileum,

rektosigmoid, dan anorektal. Disinilah nilai ambang rasa sakit lebih randah

dibanding dengan orang normal, sehingga rasa sakit timbul akibat adanya respon

terhadap distensi usus maupun kontraksi usus. Peningkatan sensitifitas anorektal

disertai dengan peningkatan aktifitas motorik yang berlebihan pada rectum dapat

ditunjukkan dengan adanya gejala-gejala timbulnya rasa sakit sebelum adanya

gerakan usus halus yang berlebihan. (Camilleri, 2001)

4. Gangguan psikologis

Timbulnya gejala-gejala sakit perut serta perubahan pola defekasi sangat erat

berkaitan dengan emosi kejiwaan penderita seperti kecemasan, depresi, perasaan

marah. Jika dibandingkan dengan orang sehat maka pada penderita IBS lebih banyak

mempunyai gangguan psikologis seperti kecemasan dan obsesif. Gejala-gejala

psikologis pada penderita IBS lebih merupakan status psikologis penderita itu sendiri

daripada akibat pengaruh penyakitnya, sehingga tampak penyakitnya lebih berat dan

penderita lebih sering konsultasi ke dokter. Pada penderita IBS stress psikologis juga

dapat mengakibatkan perubahan yang tidak mormal pada pola migrating motor

complek dengan aktifitas kontraksi usus halus yang tidak beraturan. (Kenneth, 1999)

8
E. Manifestasi Klinis

Menurut Rahza (2007), dari sudut klinik penderita dapat dibagi menjadi 3 kelompok :

1. Kelompok dengan diare sebagai gejala utama. Disini, diare biasanya lama,

diperberat dengan stress, biasanya tidak membangunkan penderita pada

waktu malam, sering terjadi setelah sarapan, dan tidak disertai dengan darah.

Hal ini sering disebut sebagai diare neurvosa, sekalipun sebenarnya istilah

neurvosa tidak pada tempatnya.

2. Kelompok dengan konstipasi sebagai gejala utama. Tinja kecil dan keras.

3. Kelompok dengan nyeri abdominal sebagai gejala utama. Bila tidak disertai

diare atau kostipasi, sebab-sebab lain pada nyeri hendaklah disingkirkan.

Nyeri hilang berkurang dengan flatus. Jarang membangunkan penderita ketika

tidur dimalam hari.

Tiap penderita memiliki satu atau lebih gejala yang predominan. Tapi

biasanya beberapa gejala timbul bersamaan. Gambaran lain yang penting adalah

keadaan umum pasien yang selalu baik, dan penyakit berlangsung pelan. (Rahza,

2007)

Menurut Sudoyo (2006), beberapa ahli juga membagi berdasarkan gejalanya

dalam dua kelompok besar, yaitu :

1. Tipe kolon spastik

Biasanya dipicu oleh makanan, menyebabkan konstipasi berkala (konstipasi

periodik) atau diare disertai nyeri. Kadang konstipasi silih berganti dengan diare.

Sering tampak lendir pada tinjanya. Nyeri bisa berupa serangan nyeri tumpul atau
9
kram, biasanya di perut sebelah bawah. Perut terasa kembung, mual, sakit kepala,

lemas, depresi, kecemasan dan sulit untuk berkonsentrasi. Buang air besar sering

meringankan gejala-gejalanya.

2. Tipe yang kedua menyebabkan diare atau konstipasi yang relatif tanpa rasa

nyeri.

Diare mulai secara tiba-tiba dan tidak dapat ditahan. Gejala paling khas adalah

diare yang timbul segera setelah makan. Beberapa penderita mengalami perut

kembung dan konstipasi dengan disertai sedikit nyeri.

F. Penegakan Diagnosis

Menurut Sudoyo (2006), kriteria Roma II merupakan panduan kriteria

mutakhir yang banyak dipakai untuk mendiagnosa penyakit IBS, yaitu:

Sedikitnya 12 minggu atau lebih (tidak harus berurutan) selama 12 bulan terakhir

dengan rasa nyeri atau tidak nyaman di abdomen, disertai dengan adanya 2 dari 3 hal

berikut :

 Nyeri hilang dengan defekasi

 Awal kejadian dihubungkan dengan perubahan frekuensi defekasi

 Awal kejadian dihubungkan dengan adanya perubahan konsistensi feses

 Gejala lain yang menunjang diagnosa penyakit IBS:

a. Ketidaknormalan frekuensi defekasi

b. Kelainan bentuk feses

10
c. Ketidaknormalan proses defekasi (harus dengan mengejan,

inkontinensia defekasi, atau rasa defekasi tidak tuntas)

d. Adanya lendir

e. Kembung

Menurut Kusmobroto (2003), selain kriteria Roma II terdapat juga kriteria

Manning. Kriteria diagnosis IBS berdasarkan Kriteria Manning ialah:

Gejala yang sering didapat :

 Feces cair dan nyeri

 Frekuensi BAB bertambah pada saat nyeri

 Nyeri kurang setelah BAB

 Tampak abdomen distensi

Gejala tambahan yang sering muncul :

 Lendir saat BAB

 Perasaan tidak puas setelah BAB

Menurut Mansjoer (2002), berdasarkan perubahan pola buang air besar dan

bentuk tinja maka IBS dapat dikelompokkan menjadi 4 subtipe, yaitu:

1. IBS Diare

Pada IBS diare pola buang air besar menjadi lebih dari 3 kali sehari dengan

bentuk tinja lembek atau cair. Diare sering pada pagi hari dan sering dengan

urgensi. Biasanya disertai rasa sakit dan hilang setelah defekasi.

11
2. IBS Konstipasi

Pada IBS Konstipasi terjadi sembelit dengan pola buang air besar menjadi

kurang dari 3 kali seminggu dan bentuk tinja menjadi lebih keras. Terutama

pada wanita, defekasi tidak lampias, dan biasanya feces disertai lendir tanpa

darah.

3. IBS Alternating atau berganti-ganti

IBS alternating terjadi diare dan konstipasi secara bergantian dari waktu ke

waktu (pola defekasi yang berubah-ubah). Sering feces keras di pagi hari

diikuti dengan beberapa kali frekuensi defekasi dan feces menjadi cair pada

sore hari

4. IBS predominan nyeri perut :

 Nyeri di fosa iliaka, tidak dapat dengan tegas menunjukkan lokasi sakitnya

 Nyeri dirasakan lebih dari 6 bulan

 Nyeri hilang setelah defekasi

 Nyeri meningkat jika stress dan selama menstruasi

 Nyeri dirasakan persisten dan ketika kambuh terasa lebih sakit

Selain gejala-gejala diatas, terdapat juga gejala lain yang sering ditemui, diantaranya:

 Rasa penuh pada perut, kembung

 Distensi abdomen

 Mual dan muntah

 Nafsu makan berkurang

 Distress emosional, depresi


12
Tabel 1. Kriteria diagnosis Irritable bowel syndrome (IBS) (Kusmobroto, 2003)

G. Pemeriksaan Penunjang

Tidak terdapat pemeriksaan spesifik untuk menentukan diagnosis. Akan tetapi

untuk mencocokkan hasil anamnesis dan pemeriksaan fisik dengan diagnosis

diperlukan pemeriksaan laboratorium berupa darah perifer lengkap, biokimia darah,

dan pemeriksaan fungsi hati. Pemeriksaan endoskopi dan foto kontras dilakukan

13
untuk melihat apakah ada inflamasi pada kolon. Pasien di atas 50 tahun sebaiknya

dilakukan CT-Scan untuk mendeteksi adanya kanker kolon. Biasanya dilakukan

pemeriksaan darah, tinja dan sigmoidoskopi, untuk membedakannya dengan penyakit

peradangan pada usus dan berbagai kondisi yang menyebabkan nyeri perut dan

kebiasaan buang air besar. (Roger, 2001)

Hasil pemeriksaan feces biasanya normal, meskipun tinja lebih encer.

Sigmoidoskopi mungkin menyebabkan spasme otot dan nyeri, tetapi hasilnya

biasanya normal. Kadang digunakan pemeriksaan lain, seperti USG abdomen.

Diperlukan kewaspadaan klinis dan harus disingkirkan sindrom penyakit lain yang

punya gejala hampir sama. Pada semua kasus, sigmoidoskopi harus normal, begitu

juga enema barium, atau hanya menunjukkan spasme, selain itu riwayat pemakaian

obat yang dapat menyebabakan diare atau konstipasi juga perlu dicermati. Perlu

diperhatikan juga untuk melakukan pemeriksaan psikiatri, karena gangguan psikiatri

(psychosomatic) seringkali timbul pada pasien-pasien IBS. (Roger, 2001)

H. Penatalaksanaan

Pengobatan biasanya dilakukan dengan dua cara yaitu terapi non farmakologis

dan terapi farmakologis. Penting diperhatikan pada penderita IBS adalah menjaga

hubungan yang baik antara dokter dan pasien, diberi penjelasan tentang penyakitnya

yang jinak dan prognosisnya yang baik. Karena sifat penyakitnya kronis, diperlukan

hubungan baik jangka panjang. Dokter tidak secara langsung menyatakan bahwa

14
penyebab penyakitnya adalah psikis atau emosi. Jadi sebaiknya dijelaskan hubungan

antara stress psikologis yang dapat memperberat gejala. (Camilleri, 2001)

a) Terapi Non-farmakologis

Diet

Sampai saat ini belum begitu jelas apakah diet mempunyai banyak efek pada

gejala-gejala dari IBS. Meskipun demikian, pasien seringkali menghubungkan gejala-

gejala mereka dengan makanan-makanan tertentu (seperti salad, makanan berlemak,

dll). Meskipun makanan-makanan tertentu mungkin memperburuk IBS, namun jelas

bahwa makanan bukanlah penyebab dari IBS, melainkan hanya sebagai faktor

pencetus dari IBS. (Camilleri, 2001)

Pasien IBS tipe konstipasi disarankan modifikasi diet dengan meningkatkan

konsumsi serat, namun hal ini tidak mengurangi nyeri perut. Konsumsi air dan

aktifitas olahraga yang rutin juga disarankan pada pasien IBS tipe konstipasi. Disisi

lain pasien dengan IBS tipe diare disarankan mengurangi konsumsi serat. Beberapa

makanan atau minuman tertentu juga dapat mencetuskan terjadinya IBS, oleh karena

itu harus dihindari oleh pasien. Beberapa makanan atau minuman tersebut antara lain

gandum, susu, kafein, bawang, coklat, dan beberapa sayur-sayuran, serta makanan

yang mengandung lactose. (Kenneth, 1999)

Biasanya jika keluhan menghilang setelah menghindari makanan dan

minuman yang dicurigai sebagai pencetus dapat dicoba untuk dikonsumsi lagi setelah

3 bulan dengan jumlah makanan yang diberikan secara bertahap. (Kenneth, 1999)

Psikoterapi
15
Perawatan-perawatan psikologi termasuk cognitive-behavioral therapy (CBT),

hypnosis, psychodynamic atau interpersonal psychotherapy, dan manajemen relaksasi

atau stress disarankan diberikan pada pasien IBS. Penelitian menunjukan bahwa

perawatan psikologis dapat mengurangi kecemasan (anxietas) dan gejala-gejala IBS

lainnya, terutama nyeri dan diare. Penjelasan atas penyakit IBS dan meyakinkan

bahwa IBS adalah penyakit yang dapat diobati serta tidak membahayakan kehidupan

merupakan kunci utama keberhasilan pengobatan pasien. Pemeriksaan laboratorium

dan pemeriksaan penunjang yang telah dilakukan untuk menyingkirkan penyakit

organik harus disampaikan untuk menambah keyakinan pasien akan kesembuhan

penyakitnya. (Camilleri, 2001)

b) Terapi Farmakologis

Obat-obatan yang diberikan pada IBS terutama untuk menghilangkan gejala

yang timbul antara lain nyeri abdomen, konstipasi, diare, dan anxietas.

Konstipasi (sembelit)

Sembelit disebabkan oleh pengangkutan (transit) yang lambat dari isi-isi usus

yang melalui usus, terutama usus besar. Transit yang lambat ini mungkin disebabkan

oleh fungsi abnormal dari otot-otot seluruh usus besar, otot-otot dari dubur (anus)

atau rectum. (Guyton, 1997)

Tegaserod suatu 5-HT4 reseptor agonis, merupakan obat IBS tipe konstipasi

yang relatif baru dan sudah beredar di Indonesia. Mekanisme tegaserod mengurangi

sembelit adalah mengkontrol kontraksi dari otot-otot usus halus. Kontraksi usus halus

yang lebih banyak dapat mempercepat transit makanan di usus halus, kontraksi yang
16
lebih sedikit memperlambat transit makanan di usus halus. Pada pasien-pasien dengan

sembelit, kontraksi-kontraksi usus halus lebih sedikit. Pemberian tegaserod dapat

meningkatkan kontraksi usus halus, sehingga mempercepat waktu transit makanan di

usus halus dan waktu transit feces di kolon. (Camilleri, 2001)

Satu faktor penting dalam kontrol kontraksi usus adalah serotonin. Serotonin

adalah suatu bahan kimia yang dihasilkan oleh syaraf-syaraf didalam usus. Serotonin

merupakan suatu neurotransmitter yang dapat berikatan dengan reseptor-reseptor

saraf. Ketika serotonin mengikat pada reseptor syaraf yang mengontrol kontraksi-

kontraksi dari otot-otot usus, serotonin dapat meningkatkan atau mengurangi

kontraksi otot usus halus tergantung pada tipe dari reseptor yang diikat. Pengikatan

pada beberapa tipe reseptor menyebabkan kontraksi, dan pengikatan pada tipe-tipe

lain dari reseptor dapat mencegah kontraksi. (Guyton, 1997)

Reseptor 5-HT4 adalah suatu reseptor yang mencegah kontraksi usus halus

ketika serotonin berikatan pada reseptor tersebut. Tegaserod menghalangi reseptor 5-

HT4, mencegah serotonin mengikat padanya, sehingga meningkatkan kontraksi dari

otot-otot usus halus. Tegaserod juga mengurangi kepekaan dari syaraf nyeri di usus

halus, sehingga dapat mengurangi persepsi nyeri. Tegaserod diberikan dengan dosis

2x6 mg selama 10-12 minggu. (Camilleri, 2001)

Diare

Obat yang paling luas dipelajari untuk perawatan diare pada IBS adalah

loperamide. Loperamide bekerja dengan menghalangi (memperlambat) kontraksi-


17
kontraksi dari otot-otot usus kecil dan usus besar. Loperamide 30% lebih efektif

daripada suatu placebo dalam memperbaiki gejala pada pasien IBS tipe diare.

Pemberian loperamide harus tepat dosis karena pemberian yang berlebihan dapat

menyebabkan konstipasi (sembelit), sehingga dosis harus diberikan secara hati-hati.

Dosis loperamid adalah 2x 16 mg sehari. (Quigley, 2003)

Alosetron digunakan untuk merawat diare dan ketidaknyamanan perut yang

terjadi pada wanita-wanita dengan IBS parah yang tidak merespon pada perawatan-

perawatan sederhana lainnya. Alosetron, seperti tegaserod, mempengaruhi reseptor-

reseptor serotonin. Alosetron menghalangi reseptor 5-HT3, suatu reseptor yang

menyebabkan kontraksi usus ketika serotonin mengikat padanya, sehingga dapat

menurunkan kontraksi usus. Penggunaan dari alosetron hanya diizinkan pada wanita-

wanita dengan IBS parah dengan keutamaan diare yang telah gagal merespon dengan

perawatan konvensional untuk IBS. Efek samping yang paling umum dengan

alosetron adalah sembelit. (Quigley, 2003)

Nyeri Perut

Obat yang sering digunakan untuk menghilangkan nyeri perut pada pasien

IBS adalah suatu kelompok dari obat-obat yang disebut smooth-muscle relaxants.

Otot saluran pencernaan terdiri dari suatu tipe otot yang disebut smooth muscle.

Berlawanan dengannya, otot-otot kerangka, seperti biceps, terdiri dari suatu tipe otot

yang disebut striated muscle. Obat-obat smooth muscle relaxant mengurangi

kekuatan kontraksi dari smooth muscles namun tidak mempengaruhi kontraksi otot-

18
otot dari tipe lain. Smooth muscle relaxants 20% lebih efektif daripada suatu placebo

dalam mengurangi nyeri perut. (Camilleri, 2001)

Smooth muscle relaxants yang umum digunakan dan sudah beredar di

Indonesia antara lain, mebeverine 3 x 135 mg, hiosin N-butilbromida 3 x 10 mg,

alverine 3 x 30 mg, Chlordiazepoksid 5 mg/klidnium 2,5 mg 3 x1 tablet. (Sudoyo,

2006)

Obat-Obat Psikotropik

Pasien-pasien dengan IBS seringkali ditemukan menderita depresi, namun

tidak jelas apakah depresi adalah penyebab dari IBS, akibat dari IBS, atau tidak

berhubungan dengan IBS. Beberapa penelitian telah menunjukan bahwa anti

depressants cukup efektif pada IBS dalam menghilangkan nyeri perut. Obat-obat

psikotropik yang umum digunakan diantaranya tricyclic anti

depressants, amitriptyline, fluoxetine. (Quigley, 2003)

I. Komplikasi

Komplikasi-komplikasi dari penyakit-penyakit fungsional dari saluran

pencernaan secara relatif terbatas. Karena gejala-gejala paling sering diprovokasi oleh

makanan, pasien-pasien yang merubah diet-diet mereka dan mengurangi pemasukan

kalori-kalori mereka mungkin kehilangan berat badan. Selain itu, penyakit IBS sering

mengganggu kenyamanan pasien dan aktivitas-aktivitas harian mereka. Gangguan

pada aktivitas harian juga dapat menjurus pada persoalan hubungan antar pribadi,

terutama pada pasangan suami-istri.(Quigley, 2003)


19
J. Prognosis

Penyakit IBS tidak akan menigkatkan mortalitas, gejala-gejala pasien IBS

biasanya akan membaik dan hilang setelah 12 bulan pada 50% kasus, dan hanya

kurang dari 5% yang akan memburuk atau dengan gejala menetap. (Sudoyo, 2006)

BAB III

KESIMPULAN

Irritable Bowel Syndrome (IBS) adalah kelainan kompleks dari saluran

pencernaan bagian bawah, dengan tiga gejala pokok yaitu adanya nyeri perut,
20
distensi dan gangguan pola defekasi (diare, konstipasi atau campuran keduanya)

tanpa gangguan organik. IBS merupakan gangguan fungsional pada defekasi.

IBS merupakan salah satu penyakit yang tidak mudah didiagnosa,

dikarenakan tidak terdapat pemeriksaan fisik dan laboratorium yang spesifik pada

pasien IBS. Oleh karenanya, diagnosa penyakit ini seringkali didasarkan pada kriteria

eksklusi, yaitu diagnosa ditegakkan setelah menyingkirkan semua kemungkinan

adanya penyakit organik saluran pencernaan lain.

Pengobatan pada IBS biasanya dilakukan dengan dua cara yaitu terapi non-

farmakologis dan terapi farmakologis. Terapi non farmakologis diantaranya diet,

psikoterapi, sedangkan terapi farmakologis diantaranya obat-obatan anti diare, obat

analgesik, maupun obat-obat untuk mengurangi konstipasi. Penting diperhatikan pada

penderita IBS adalah menjaga hubungan yang baik antara dokter dan pasien, diberi

penjelasan tentang penyakitnya yang jinak dan prognosisnya yang baik.

DAFTAR PUSTAKA

Camilleri M. Management of The Irritable Bowel Syndrome. Gastroenterology 2001;

120: 652-68.

Guyton and Hall. 1997. Fisiologi Kedokteran. EGC. Jakarta

21
Kenneth W Heaton and W Grant Thompson. Fast Facts - Irritable Bowel Syndrome

Indispensable Guides to Clinical Practice. Health Press Ltd, Oxford, 1999.

Kusumobroto H. Evidence Based Approach to The Management of Irritable Bowel

Syndrome. Konas XI PGI-PEGI, PIN XII PPHI, Malang, Juli 2003.

Mansjoer, A., Suprohaita, Wardhani, W. I., Setiowulan, W. 2002. Kapita Selekta

Kedokteran Edisi Ketiga. Media Aesculapius Fakultas Kedokteran

Universitas Indonesia

Peter Hayes dkk, 2000 Segi Praktis Gastroenterologi dan Hepatologi.

Quigley EMM. Current Concepts of Irritable Bowel Sindrome. Review. Scan J

Gastroenterol 2003; Suppl 237: 1-8.

Rahza P. 2007. Irritable Bowel Syndrome. Diakses dari www.scribd.com , tanggal 25

Januari 2012.

Roger Jones. Irritable Bowel Syndrome. Martin Dunitz Ltd, 2001.

Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S. Buku Ajar Ilmu Penyakit

Dalam Edisi IV , 2006, Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam

Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta.

22

Anda mungkin juga menyukai