Anda di halaman 1dari 17

DEGRADASI LINGKUNGAN SEBAGAI PEMICU BANJIR

BANDANG SENTANI

Harfianty, Hesti Septian Andriani, Hasrul Ahmad, Shera Nurfita, Westi Utami
Program Diploma IV Pertanahan, Sekolah Tinggi Pertanahan Nasional Yogyakarta

Abstrak: Bencana banjir bandang yang terjadi di Kabupaten Jayapura pada 16 Maret
2019 di Distrik Sentani, Distrik Waibu dan Distrik Sentani Barat meninggalkan
kerusakan, kerugian dan duka bagi masyarakat. Kajian ini dilakukan untuk mengetahui
penyebab utama terjadinya banjir bandang di Sentani. Metode kajian dilakukan melalui
analisis spasial berdasarkan analisis citra satelit untuk mengetahui perubahan penggunaan
lahan. Data citra satelit yang digunakan berupa citra satelit tahun 2018 dan citra satelit
tahun 2005. Hasil kajian menunjukkan bahwasanya penyebab terjadinya banjir bandang
Sentani di Kabupaten Jayapura dipengaruhi oleh faktor terbesar yakni adanya perubahan
penggunaan lahan pada hutan cyclops yang telah beralih fungsi dari penggunaan lahan
berupa vegetasi kerapatan tinggi untuk kawasan lindung berubah menjadi lahan terbuka
untuk dijadikan pemukiman dan pertanian kering. Selain itu curah hujan yang cukup
tinggi, serta morfologi Sistem Daerah Aliran Sungai yang cukup ekstrim menjadikan
banjir bandang menghantam pemukiman warga. Pengaturan tata ruang terhadap daerah
yang memiliki ancaman bencana banjir bandang ini hendaknya disusun dengan
memperhatikan aspek bencana, sehingga daerah yang memiliki tingkat kerawanan banjir
bandang tidak diarahkan untuk pemukiman, sementara terhadap kawasan yang memiliki
fungsi lindung hendaknya perlindungan dan penertiban penggunaan dan pemanfaatan
tanah dilakukan agar dalam satu sistem DAS tersebut memiliki keseimbangan dan
keberlanjutan lingkungan.
Kata Kunci : Banjir Bandang, alih fungsi lahan, tata ruang

A. PENDAHULUAN
Bencana banjir bandang yang terjadi di beberapa distrik di Sentani yaitu di
Distrik Sentani, Distrik Waibu dan Distrik Sentani Barat pada tanggal 16 Maret
2019 menyebabkan banyak kerugian dan korban jiwa, total kerugian berjumlah
454 miliar dan 113 korban meninggal dunia dan 94 orang dinyatakan hilang
(BNPB, 2019).
Banjir bandang adalah aliran massa sedimen (pasir, kerikil, batu dan air )
dalam satu unit dengan kecepatan tinggi. Terjadi karena keseimbangan statik
antara gaya geser yang ditimbulkan oleh aliran lebih besar dari gaya geser massa
sedimen yang menahan. Karena massa yang mengalir ini mempunyai percepatan
maka ketinggian dan kecepatannya akan selalu bertambah, dan pada tingkat batas
tertentu keadaan menjadi tidak stabil sehingga massa sedimen terangkat dengan
cepat yang menimbulkan banjir bandang. Maryono (2005) dalam Utama dan
Naumar (2015, 21)
Penyebab banjir bandang di Sentani ada 3 (tiga) faktor, yaitu Pertama karena
intensitas curah hujan yang sangat tinggi, Kedua yakni faktor topografi dari
lingkungan pegunungan cycloops disekitar Sentani berstatus cagar alam dengan
kemiringan 60-90 derajat, sampai kaki gunung itu, sekitar 30 derajat, Ketiga
berdasarkan informasi dari Bupati dan Walikota Jayapura, bencana banjir bandang
juga disebabkan karena sebagaian wilayah (pegunungan cycloops) itu telah dihuni
oleh masyarakat tanpa menyadari dampak pembukaan ladang dan kebun serta
menggunakan arel cagar alam sebagai tempat hunian itu berdampak negatif
terhadap lingkungan (BNPB 2019). Dampak ekonomi dari banjir bandang adalah
menimbulkan kerusakan dan kehilangan harta benda sangat tinggi secara masif
dan cepat, terutama terhadap bangunan rumah tinggal (hilang karena hanyut dan
rusak). Infrastruktur seperti jembatan dan jalan jalan yang memerlukan biaya yang
besar untuk rehabilitasinya. Selain itu kerusakan bangunan infrastruktur dapat
mengisolasi suatu kawasan permukiman, akibatya biaya untuk evakuasi dan
pengiriman bantuan menjadi sulit dan mahal. Kehilangan mata pencaharian dalam
jangka yang cukup lama menyebabkan kelumpuhan ekonomi masyarakat yang
terkena banjir bandang tersebut (Adi 2013, 43)
Kota Sentani sebagai ibukota Kabupaten Jayapura yang memiliki fungsi
pelayanan yaitu permukiman, transportasi, perdagangan dan jasa dengan skala
pelayanan yang melingkupi distrik di Kabupaten Jayapura memiliki aktifitas guna
lahan yang bervariasi sesuai dengan kontur kota Sentani, Ondikeleuw dan Ma'rif
(2015, 185) Perkembangan sektor ekonomi memicu pertumbuhan penduduk di
Sentani, sehingga kebutuhan akan tanah sebagai ruang gerak meningkat yang
menyebabkan penggunaan lahan tidak sesuai dengan RTRW. Seperti yang
dikemukan oleh (Saritimbul 2015, 209) bahwa kondisi pemanfaatan lahan yang
terjadi di DAS Sentani, maka terindikasi bahwa akibat penurunan luas hutan
sebesar 9, 5% dan peningkatan luas pemukiman 10,7 % terjadi peningkatan debit
banjir sehingga tingkat erosi lahan juga semakin meningkat. Indikasi tersebut
diperkuat dengan penurunan luas rawa atau genangan juga semakin menurun 36,7
%. Pada dasarnya hal tersebut tidak hanya dipengaruhi oleh sedimen yang
diakibatkan debit banjir yang terjadi saja, namun terdapat aktivitas warga mulai
me-reklamasi pesisir danau di Distrik Sentani dan Distrik Sentani Timur. Hal
serupa dikemukan (Fauzi 2012, 47) menyebutkan bahwa Tata guna lahan di DAS
Sentani mengalami perubahan yang cukup besar, hal ini dapat dilihat melalui peta
tata guna lahan pada tahun 2007, tahun 2010 dan tahun 2012. Luas hutan dan
rawa/genangan semakin menyusut sedangkan luasan bangunan, semak savana dan
lahan kosong meningkat.

Suku Sentani telah mengalami perubahan pola permukiman (Widyastomo,


2012:89) menyebutkan bahwa perubahan pola permukiman tradisional dari linear
menjadi pola menyebar dalam kesatuan kelompok cluster menjadi permukiman
berkelanjutan suku Sentani. Pertambahan penduduk oleh kelahiran yang lebih
banyak dibandingkan dengan kematian, suatu perkotaan yang memiliki daya tarik
yang tinggi menyebabkan pertambahan penduduk melalui arus migrasi dari desa
ke kota. Kondisi ini juga akan menyebabkan terjadinya perluasan lahan terbangun
sehingga terjadi urban sprawl (Cahyadi 2012, 1). Kondisi sama dikemukan oleh
Walukow (2012, 75), bahwa pertumbuhan penduduk menyebabkan peningkatan
luas lahan permukiman dan lahan pertanian. Akhirnya menyebabkan penurunan
luas hutan di DAS Sentani dan berdampak pada degradasi lingkungan. Laju
konversi lahan disebabkan oleh faktor aktivitas mata pencaharian, tekanan HPH,
sosial ekonomi, dan rendahnya tingkat pendidikan.

Ancaman serius ini tidak boleh dibiarkan, karena secara otomatis dengan
penurunan luas hutan akan berdampak negatif terhadap kehidupan masyarakat
misalnya akan terjadi kekeringan apabila musim kemarau dan akan terjadi banjir
apabila musim hujan tiba. Seperti yang terjadi bulan Maret 2019 lalu yaitu banjir
bandang yang terjadi di Sentani, Jayapura. Kejadian banjir bandang tersebut bukan
hanya disebabkan oleh faktor alam, melainkan ada campur tangan manusia melalui
alih fungsi lahan yang tidak sesuai dan pembalakan hutan yang menyebabkan tutupan
pohon di Cagar Alam Cycloop hilang (Dewi 2019, 3). Oleh karena itu, perlu
dianalisis mengenai perubahan penggunaan tanahnya untuk mengetahui penyebab
terjadinya banjir bandang agar tidak terulang kembali. Seperti dikemukan Smith
(2008) dalam Westi (2019, 113) yang menyebutkan bahwa hal ini sesuai dengan sifat
bencana yakni setiap bencana memiliki periode ulang tertentu.

Pada kondisi ini maka analisis perubahan penggunaan lahan melalui analisis
spasial menjadi fokus utama untuk mengetahui penyebab terjadinya banjir
bandang di Sentani. Analisis perubahan penggunaan lahan dengan memanfaatkan
data spasial yang bersifat temporal sangat bermanfaat, khususnya untuk
mengetahui lokasi-lokasi tempat dimana perubahan penggunaan lahan terjadi (As-
Syakur 2010) seperti dikutip dalam Nuraeni (2017, 79).
Kajian ini dilakukan untuk mengetahui penyebab utama terjadinya banjir
bandang di Sentani. Metode kajian dilakukan melalui analisis spasial berdasarkan
analisis citra satelit untuk mengetahui perubahan penggunaan lahan. Data citra
satelit yang digunakan berupa citra satelit tahun 2018 dan citra satelit tahun 2005.
Perubahan penggunaan lahan dianalisis dengan menggunakan bantuan aplikasi
ENVI. Penelitian mengenai analisis spasial dilakukan Prasetyo (2017, 22)
menyatakan bahwa analisis citra satelit dapat dilakukan dalam pengamatan hutan
adalah dengan memperhatikan tingkat kehijauan dari tanaman yang ada di hutan.
Gabungan beberapa kanal yang dimiliki citra satelit akan menghasilkan nilai
indeks vegetasi yang mencerminkan tingkat kehijauannya. Nilai indeks yang
dihasilkan antara -1 hingga +1 dimana semakin besar nilainya menggambarkan
semakin lebat atau hijau tanamannya. Hal lainnya dikemukakan oleh Purwadhi
(2013) dalam Murdaningsih (2013, 177). yang menyebutkan bahwa klasifikasi
kelas penggunaan lahan dilakukan berdasarkan hasil interpretasi citra secara
visual. Interpretasi secara visual dilakukan berdasarkan pendekatan unsur-unsur
interpretasi seperti rona/warna, tekstur, pola, ukuran, bentuk, bayangan dan situs
sebagai pedoman untuk deliniasi kelas penggunaan lahan. Sumber data yang
digunakan adalah Citra yang berasal dari Google Earth. Analisa dilakukan
dengan cara membandingkan 2 (dua) citra dan mengamati secara visual perubahan
penggunaan tanah di Sentani
B. Penyebab Banjir Bandang Sentani
Banjir bandang yang terjadi di Sentani sangat parah dan menyebabkan
banyak kerugian dan juga korban jiwa. Dilansir dari detik.com (Zakia Liland
Fajriani, 2019) kronologi kejadian banjir bandang di Sentani kawasan Sentani
telah diguyur hujan deras pada pukul 17.00 WIT. Ketika itu, curah hujan ekstrem
(235,1 milimeter per hari) memang turun sebelum banjir bandang. Hujan sempat
turun secara fluktuatif, sampai pada akhirnya antara pukul 22.00-00.00 hujan
deras yang terjadi di sekitar pehuluan di Pegunungan Cycloop menyebabkan
longsor menahan alur-alur sungai sehingga dampak banjir ini semakin parah, yang
menurut Sutopo Purwo Nugroho, Humas BNPB, ada gelondongan kayu dan
bebatuan sedimen yang dialurkan ke hilirnya (Ikhbal, Mohammad, 2019). Dan
memang, di daerah Jalan Doyo di Jayapura, banjir itu membawa sebuah
gelondongan kayu besar yang menghalangi jalan. Lebih dari itu, material banjir
berupa lumpur setinggi 40-50 meter dan sampah yang berhamburan dari bukit
Cycloop juga ikut turun. Banjir ini melanda utara dan selatan Jayapura, dan
Sentani dengan luas daerah tangkapan air banjir 15.199,83 hektar kelurahan di
Jayapura menjadi lokasi terdampak banjir. Daerah yang terdampak paling parah
ialah kawasan kelurahan Donbosolo, Doyobaru dan Hinekombe.

Gambar 1. Keadaan Lokasi Pasca Banjir Badang


Sumber : detik.com
Gambar 2. Keadaan Pasca Banjir Bandang Sentani
Sumber : Penelitian Badan Geologi

Secara garis besar dapat di tentukan penyebab banjir di Sentani Kabupaten


Jayapura adalah sebagai berikut :

1. Curah Hujan yang tinggi


2. Perubahan tata guna lahan yang saat ini banyak dilakukan baik didaerah Hilir
maupun di Hulu dimana daerah yang menjadi Kawasan hutan sebagai
penyangga beralih fungsi dan daerah aliran sungai yang di eksploitasi.
3. Terbentuknya bendungan alami
4. Pemerintah kurang tegas dalam pengaturan perubahan fungsi lahan.

C. Analisis Perubahan Tata Guna Lahan


Kawasan Resapan Air Kabupaten Jayapura meliputi wilayah-wilayah resapan
air, terutama yang terdapat di wilayah perbukitan sampai pegunungan yang
memiliki lereng >60%, struktur tanah yang mudah meresapkan air dan bentuk
geomorfologi yang mampu meresapkan air hujan secara besar-besaran. Kawasan
resapan air adalah areal lahan yang mempunyai kemampuan tinggi untuk
meresapkan air hujan dan sebagai pengontrol tata air permukaan.
Kawasan ini terletak di cagar alam Cyclops yang mana merupakan perbukitan
yang merupakan daerah resapan air dan juga sebagai daerah aliran sungai. Saat ini
sebagian kawasan cagar alam cyclops tersebut yang berupa perbukitan terjadi
pembukaan lahan untuk pertanian dan lading serta mengunaan areal cagar alam
cycloop sebagai pemukiman. Pemukinan ini berada di area daerah aliran sungai
sehingga ketika debit airnya tinggi dengan curah hujan tinggi, tidak bisa
terbendung, akibatnya perumahan - perumahan yang berada di dataran rendah, itu
semuanya habis kena terjangan air banjir bandang yang disertai lumpur cukup
tebal serta juga pasir.
Peningkatan Alih Fungsi Lahan dari kawasan kebun atau ladang, kawasan
cagar alam cyclops yang menjadi daerah peyangga Kabupaten Jayapura dan
Daerah Aliran Sungai bentuk menjadi jalan dan perumahan mengakibatkan
kerusakan Daerah Aliran Sungai. Hal-hal tersebut berdampak pada berkurangnya
kapasitas resapan air hujan kedalam tanah atau koefisien run off ( aliran
permukaan bertambah besar ). Dengan bertambahnya aliran permukaan pada saat
musim hujan, akan berdampak meningkatnya debit maksimum disungai.
Peralihan fungsi lahan cagar alam Cyclops tidak bisa di cegah dampaknya
pada saat hujan tidak mampun mampu lagi menampung debit air yang turun
sehingga dengan cepat mengalir ke kawasan yang ada di bawahnya. Sedangkan
dibawahnya yang seharusnya menjadi daerah aliran sungai namun telah
diekspolitasi menjadi pemukiman menyebabkan sungai – sungai yang ada tidak
mampu menampung debit air yang besar sehingga banjir bandang pun terjadi.
Pertumbuhan penduduk yang sangat pesat namun lahan untuk tempat tinggal
dan pertanian semakin menipis sehingga menjadi penyebab terjadi perubahan
fungsi lahan seperti yang terjadi di cagar alam cyclops yaitu perubahan fungsi
lahan hutan di cyclops menjadi permukiman dan lahan pertanian serta ladang.
Perubahan lahan dapat diliat pada gambar di bawah ini
Terjadi perubahan lahan dari tahun 2005 sampai 2019 dengan jelas yaitu yang
pada tahun 2005 merupakan hutan lindung telah beralih fungsi menjadi
pemukiman. Maka dari itu perubahan penggunaan lahan yang tidak sesuai dengan
peruntukannya dan tidak memperhatikan daerah rawan bencana maka dapat
merusak alam dan juga mengakibatkan bencana yang merugikan manusia.
Berikut ini perubahan penggunaan tanah dari lahan Kawasan hutan
cyclops menjadi pemukiman dari tahun 2005 ke tahun 2018:
Gambar 3. Penggunaan tanah pada tahun 2018
Gambar 4. Perubahan Penggunaan Tanah 2018

Dari gambar di atas terlihat dengan jelas perubahannya, pada tahun 2005
pada daerah pegunungan cyclops belum adanya pemukiman namun pada
tahun 2018 perubahan penggunaan tanah dari hutan menjadi pemukiman.
Penampakan tutupan lahan hutan pada peta pada tahun 2018 telah terjadi
perubahan penggunaan lahan sebesar 80%. Luas hutan yang mauk dalam
lahan kritis 83.000 Hektar.

D. Faktor – Faktor Lain Penyebab Banjir Bandang

Analisis Curah Hujan Ekstrim Penyebab Banjir Bandang


Kondisi klimatologi suatu daerah memiliki atribut-atribut salah satunya
adalah curah hujan. Curah hujan merupakan salah satu variabel yang mempunyai
pengaruh yang tinggi dalam terjadinya banjir bandang. Secara umum, banjir
bandang yang terjadi dipicu oleh curah hujan yang turun pada kawasan rawan
banjir bandang.

Sebelum terjadi banjir bandang di Sentani curah hujan yang turun sangat
tinggi yaitu 235,1 mm perhari. Sejak sore BMKG telah merilis peringatan dini
yang menginformasikan bahwa akan terjadi hujan dengan intensitas sedang –
lebat. Hingga pukul 20.36 WIT, peringatan cuaca semakin memburuk yang
menunjukkan terjadinya hujan sedang – lebat disertai badai guntur termasuk di
kawasan Sentani yang kemudian berujung pada peristiwa banjir bandang. Hujan
ekstrim ini terjadi karena adanya kumpulan awan yang terbawa angin pada
wilayah Papua bagian utara. Bak menyiram minyak dalam api, kondisi permukaan
air laut yang hangat berkisar antara 26-30 derajat celcius juga mengakibatkan
penguapan yang memicu pertumbuhan awan – awan hujan. Sehingga, benarlah
terjadi, pembentukan awan hujan (kiri bawah) yang kemudian terekspresikan
sebagai hujan ekstrim pada kawasan Jayapura.

Gambar 5. Curah Hujan dan temperatur muka air laut pemicu banjir bandang
Keterangan : kondisi temperatur muka air laut yang hangat pada kawasan
Papua bagian Utara (kiri atas), terdapat awan-awan hujan (berwarna biru
tua) di wilayah Jayapura bagian utara, Jayapura Selatan, Abepura, Heram,
Sentani dan sekitarnya (kiri bawah) yang menyebabkan hujan ekstrim pada
kawasan Jayapura (kanan), dan direkam pada tanggal 16 Maret 2019
(sumber : BMKG)

Analisis Tebentuknya Bendungan Alami Penyebab Banjir Bandang


Banjir bandang Wasior juga pernah terjadi pada tahun 2010 yang menelan
korban hingga 68 jiwa. Dua lokasi ini memiliki karakteristik daerah yang hampir
mirip, di mana Wasior berada di sisi barat tinggian Semenanjung Wandamen, dan
Sentani berlokasi di sisi selatan Pegunungan Cycloop. Pengaruh kondisi
morfologi menjadi penyebab utama terjadinya banjir bandang.

Gambar 6. Pembentukan Bendungan Alami


(Sumber : Geologi.co.id)

Bersumber pada geologi.co.id (Magfira,2019) Saat curah hujan tinggi, air yang
jatuh pada kawasan Pegunungan Cycloop akan mengalir melalui lembah – lembah
yang memanjang tegak lurus terhadap puncak pegunungan (aliran air ditandai
dengan garis berwarna biru). Jika alirannya tidak terhalang (lembah terbuka)
aliran akan perlahan menuruni lereng menuju ke dataran yang lebih rendah.
Namun, jika alirannya tertahan baik oleh longsoran atau material endapan tanah,
maka air akan terakumulasi (lembah tertutup / membentuk bendung alami). Proses
pembendungan alamiah ini dapat terjadi secara lebih cepat apabila disertai dengan
penumpukan batang-batang kayu yang terseret saat longsor terjadi karena semakin
memperkuat konstruksi bendungan. Gerusan air mengerosi dinding lembah sungai
tersebut bercampur dengan batuan berukuran boulder membentuk bendungan
alami disepanjang alur sungai berlembah sempit meningkatkan akumulasi tekanan
pada bendungan. Namun, semakin lama jika daya dorong air lebih besar
dibandingkan kekuatan bendung, maka banjir bandang akan terjadi.

Gambar 7. Ilustrasi terjadinya Bendungan Alami


(Sumber : Geologi.co.id)

Gambar 8. Bendungan Alami Utara Sentani


(Sumber : Geologi.co.id)
Pada salah satu lembah pada utara Sentani juga terbentuk bendung alami
yang disebabkan oleh longsoran yang sudah lama terjadi sebelumnya. Bendung
inilah yang kemudian mengakumulasi air hingga memiliki daya atau kekuatan
yang besar untuk menghasilkan banjir bandang yang menyapu kawasan Sentani
dan Doyo Baru.
Coba perhatikan muka air tanah (warna biru) yang terpotong oleh garis-
garis terputus. Disitu berarti air tanahnya terkuak dan air tanah itu keluar seperti
mata air yang akhirnya menjadi sumber air ketika longsoran itu berubah menjadi
banjir air lumpur pada akhirnya, yang semakin menambah densitas dan kekuatan
aliran.

Gambar 9. Morfologi DAS


(Sumber : nationalgeographic.grid.id)

Morfologi DAS sangat curam itu ditandai dengan garis kuning dalam
gambar adalah batas DAS. Kondisi ini menyebabkan air yang mengalir akan deras
jika terjadi hujan dan juga topografi di sekitar lokasi gerakan tanah dan banjir
bandang, berupa perubahan dari bagian hulu perbukitan dengan kemiringan lereng
curam dengan lembah sempit berbentuk V. Ketinggiannya, sebut Kasbani lebih
dari 300 meter d.p.a menjadi perbukitan dengan lereng sedang, lembah sungai
berbentuk lebih lebar (berbentuk U) dan ketinggian 100–300 mdpa dan menjadi
wilayah pedataran di bagian hilirnya yang bermuara di Danau Sentani. wilayah
landaan bencana yang berdampak korban jiwa terbesar di jalur Doyo dan Kali
Kemiri. Wilayah yang terdampak bencana tersebut, bertempat pada wilayah
landaan banjir bandang masa lalu yang tidak diketahui waktu kejadian. Wilayah
landaan bencananya merupakan wilayah pemukiman pada ketinggian 100–300
meter diatas permukaan laut.
Morfologi lembah sungai lebih landai sehingga material longsoran dengan
kecepatan tinggi, menghantam semua wilayah disepanjang alur sungai. Sepanjang
alur perjalanannya arus sungai dengan debit yang tinggi, sebagian berubah alur
mengikuti kemiringan - kemiringan perbukitan dan terjadi pembelokan dibeberapa
alur sungai.
Pada bagian hilir, gerusan arus banjir bandang mengakibatkan longsoran
sepanjang tebing sungai dan pendangkalan alur lembah sungai serta terjadi
pembelokan beberapa alur sungai. Adanya pembelokan alur sungai itu, terjadi
limpasan (overflow) debit air tinggi bercampur pasir dan lumpur, serta batang
pohon saat melewati alur sungai di jembatan banyaknya lahan permukiman yang
rusak di dekat limpasan banjir bandang.

Aturan Pemerintah Kurang Tegas Dalam Perubahan Fungsi Lahan


Faktor lain yang menyebabkan terjadinya banjir bandang yaitu pemerintah
tidak tegas dalam mengatur penggunaan lahan dan perubahan penggunaan lahan.
Cagar alam Cyclops seharusnya steril dari kegiatan manusia dan menjadi hutan
lindung yang merupakan derah peyangga air dan Daerah Aliran Sungai, namun
kenyataannya terjadi perubahan fungsi lahan cagar alam yaitu adanya pembukaan
lahan pertanian kering dan ladang serta adanya pemukiman. Hal tersebut
merupakan kelalaian dari pemerintah dengan membiarkan perubahan fungsi lahan
itu terjadi.
Pemerintah pun seakan menutup mata dengan kondisi penggunaan lahan
yang tidak sesuai dengan peruntukkannya contohnya perumahan (KPR) yang
terdapat di daerah Sentani yang terkena dampak bencana banjir merupakan daerah
cagar alam cyclops. Pemerintah seharusnya menolak saat izin lokasi untuk
perumahan tersebut diajukan, namun pada kenyataannya pemerintah memberikan
izin derah cagar alam cyclops digunakan untuk perumahan.
Akibat peraturan pemerintah yang tidak tegas tentang perubahan fungsi
lahan dan tidak menjaga kelestarian cagar alam cyclops maka terjadi perubahan
fungsi lahan yang merupakan cagar alam menjadi pemukiman dan pertanian
sehingga cyclops menjadi cagar alam yang seharusnya menjadi penyangga air saat
hujan tidak mampu menahanan debit air sehingga terjadi banjir bandang.

E. Kesimpulan
Penyebab terjadinya banjir bandang Sentani Di Kabupaten Jayapura akibat
adanya perubahan lahan Kawasan hutan di cagar alam Gunung Cyclops.
Perubahan penggunaan lahan cyclops yang awalnya hutan dengan pohon-pohon
besar yang menjadi penyangga dan penahan air hujan berubah menjadi
pemukiman dan pertanian lahan kering sehingga tidak ada lagi penahan air hujan.
Selain itu curah hujan yang cukup tinggi, serta morfologi Sistem Daerah Aliran
Sungai yang cukup ekstrim menjadikan banjir bandang menghantam pemukiman
warga. Pengaturan tata ruang terhadap daerah yang memiliki ancaman bencana
banjir bandang ini hendaknya disusun dengan memperhatikan aspek bencana,
sehingga daerah yang memiliki tingkat kerawanan banjir bandang tidak diarahkan
untuk pemukiman, sementara terhadap kawasan yang memiliki fungsi lindung
hendaknya perlindungan dan penertiban penggunaan dan pemanfaatan tanah
dilakukan agar dalam satu sistem DAS tersebut memiliki keseimbangan dan
keberlanjutan lingkungan. Tegasnya pemerintah dalam pengaturan peralihan
penggunaan tanah di daerah cyclops sangat diperlukan, apabila ada yang ingin
mengajukan perubahan penggunaan tanah pemerintah harus memperhatikan
rencana tata ruang wilayahnya dan kerawanan bencana. Pemerintah juga harus
mengembalikan fungsi cagar alam gunung cyclops yang telah rusak kemudian
mengawasi dan menjaga cagar alam ini

F. Daftar Pustaka
Undang-undang No. 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana

Aprizon, P, Triyanto, & Husrin 2013,’Analisis Bencana Banjir Di Kota Padang (Studi
Kasus Intensitas Curah Hujan Kota Padang 1980 –2009 dan Aspek
Geomorfologi)’, Seminar Sains Atmosfer 2013, hlm. 25, dilihat pada 03 Oktober
2019, http://repository.lapan.go.id/repository/Prosiding_SSA_.

Cahyadi, A A, Yananto, MS, Wijaya, & Nugraha, H 2012, ‘Analisis Pengaruh


Perubahan Penggunaan Lahan Terhadap Retensi Potensial Air Oleh Tanah Pada
Kejadian Hujan Sesasat (Studi Kasus Perubahan Penggunaan Lahan di DAS
Garang Jawa Tengah)’, .Seminar Nasional Informatika , hlm 1.

Dewi, NWACA 2019, ‘Perlindungan Hutan dan Penegakan Hukum Berdasarkan Asas
Keserasian dan Keseimbangan dalam Undang-Undang Nomor 32 tahun 2009
tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup’, Fakultas Hukum
Universitas Udayanana, vol. 3.

Fauzi, M., Rispiningtati, AP & Hendrawan 2014, ‘ Kajian Kemampuan Maksimum


Danau Sentani Dalam Mereduksi banji di DAS Sentani’, Jurnal Teknik
Pengairan, vol. 5, no. 1, hlm. 47.

Murdaningsih, Widiatmaka, K. Munibah, W, 210 ‘Ambarwulan. Analisis Spasial


Perubahan Penggunaan Lahan Pertanian Untuk Mendukung Kemandirian Pangan
di Kabupaten Indramayu’, Majalah Ilmiah Globe, vol 10, no. 2, hlm. 177.

Murdiyanto & Gutomo 2015, ’Bencana alam banjir dan tanah longsor dan upaya
masyarakat dalam penanggulangan’, Jurnal PKS, vol. 14, no 4 hlm. 438.

Nuraeni, R,. Sitorus, SRP & Panuju, DR 2017, ‘Analisis Perubahan Penggunaan Lahan
dan Arahan Penggunaan Lahan Wilayah di Kabupatem Bandung’, Bultein Tanah
dan Lahan. vol. 1, no. 1, hlm. 79.

Ondikeleuw, HM & Ma’rif, S 2015, ‘Peran Kelembagaan Adat dalam Pengadaan Lahan
Untuk Pembangunan Kota Sentani Kabupaten Jayapura Provinsi Papua’, Jurnal
Pembangunan Wilayah dan Kota, vol. 11, no. 2, hlm.185.

Prasetyo, NN, Sasmito, B & Prasetyo, Y 2017, ‘Analisis Perubahan Kerapatan Hutan
Menggunakan Metode NDVI dan EVI pada Citra Satelit Lansdat 8 Tahun 2013
dan 2016’, Jurnal Geodesi Undip, vol. 5, no. 3, hlm. 22.

Sartimbul, Mujiadi, A, Hartanto, SSP, Rahardjo & Suryono, A 2015, ‘Analisis Kapasitas
Tanpungan Danau Sentani Untuk Mengetahui Fungsi Detensi dan retensi
Tampungan’, LIMNOTEK vol. 22, no. 2, hlm. 209.

Utama, L & Naumar, A 2015. ‘Kajian Kerentanan Kawasan Berpotensi Banjir bandang
dan Mitigasi Bencana Pada daerah Aliran Sungai (DAS) Batang, Kuranji Kota
Padang’, Jurnal Rekayasa Sipil, vol. 9, no. 1, hlm. 21.

Utami, W, Wibowo, YA, & Afiq, M 2019, ‘Analisis Spasial Untuk Lokasi Relokasi
Masyarakat Terdampak Tsunami Selat Banten Tahun 2018’, Bhumi Jurnal
Agraria dan Pertanahan, vol. 5, no. 1, hlm. 113.

Walukow, AF 2012, ‘Analisis Kebijakan Penurunan Luas Hutan di Daerah Aliran


Sungai sentani Berwawasan Lingkungan’, Jurnal Manusia dan Lingkungan. vol.
19, no. 1, hlm. 75.

Widyastomo, D 2011,’ Perubahan Pola Permukiman Tradisional Suku Sentani di Pesisir


Danau Sentani’, Jurnal Permukima,. vol. 6, no. 22, hlm. 89.
BNPB 2019, ‘Daftar informasi bencana Indonesia’, dilihat 5 September 2019,
http://bnpb.cloud/dibi/xdibi_list.

BNPB 2019, ‘Ini Tiga Faktor Penyebab Banjir Sentani’, dilihat 5 September 2019,
https://www.bnpb.go.id/ini-tiga-faktor-penyebab-banjir-bandang-sentani.

Fajriani, & Liland, Z 2019, ‘Kronologi Banjir Bandang Terjang Sentani


Jayapura’, Detik.com, dilihat pada 02 Oktober 2019.

Magfira, 2019, ‘Bendung Alami, Penyebab utama banjir bandang Sentani’,


Geologi.co.id, dilihat pada 02 Oktober 2019.

Anda mungkin juga menyukai