TINJAUAN PUSTAKA
9
Universitas Sumatera Utara
10
dilakukan oleh seorang pria berkebangsaan Jerman bernama Agust Bier (1861-
1949) pada tanggal 16 Agustus 1898, di Kiel, bersama asistennya Hildebrandt.
Obat anestesi yang digunakannya pada masa itu adalah 3 ml larutan kokain 0,5%
pada enam orang pasien, berusia 34 tahun. Setelah menggunakannya pada 6
pasien, ia dan asistennya masing-masing menyuntikkan kokain ke dalam tulang
belakang pasien yang lain. Karena kefektivitasan anestesi spinal maka mereka
merekomendasikan anestesi spinal untuk operasi kaki, tetapi mereka akhirnya
tidak menggunakan lagi anestesi spinal karena toksisitas kokain.Sampai saat ini
Agustus Bier dikenal sebagai Bapak Spinal Anestesi.12,54-56
Selanjutnya pada tahun 1900, Kreis, menggunakan teknik spinal ini untuk
menghilangkan nyeri persalinan sedangkan Tuffer mencoba pada 63 pasien
operasi dengan histerektomi dimana pasien tidak lagi merasa sakit dan dapat
dilakukan histerektomi.12
Anestesi spinal disebut juga spinal analgesia atau sub-arachnoid nerve
block oleh karena memasukkan obat anestesi lokal ke dalam ruangan
subarakhnoid untuk menghasilkan blok saraf yang akan menyebabkan hilangnya
aktivitas sensoris, motoris, dan otonom yang bersifat reversibel. Penyuntikan obat
anestesi lokal biasanya dilakukan di daerah lumbal pada tingkat di bawah medula
spinalis berakhir (L2), pada L3 – L4 atau L2 – L3, bisa dengan posisi duduk ataupun
miring.27,54,58,63,67
Ada beberapa keuntungan dari tindakan anestesi spinal sehingga menjadi
pilihan yaitu merupakan teknik yang sederhana, relatif mudah dikerjakan dengan
angka keberhasilan yang tinggi, mula kerja dan masa pulih anestesi yang cepat,
blok saraf sensorik dan motorik yang baik, risiko toksisitas anestesi lokal yang
rendah, tidak meningkatkan risiko pada janin yaitu bayi yang lahir tidak tersedasi
selama tidak menerima anestesi melalui sirkulasi uteroplasenta, dapat sebagai
manajemen nyeri pasca operasi serta memungkinkan ibu tetap sadar pada saat
kelahiran bayinya sehingga dapat menyusui bayinya sesegera mungkin. Selain itu
keuntungan anestesi spinal pada pasien yang menjalani bedah sesar adalah jalan
nafas tetap paten dan risiko aspirasi lambung yang menyebabkan pneumonitis
3,7-9,13,20,49
lebih kecil.
2.2. Nyeri
2.2.1 Fisiologi Nyeri
Definisi nyeri menurut International Association for the Study of Pain
(IASP 1979) adalah pengalaman sensori dan emosi yang tidak menyenangkan
sehubungan dengan kerusakan jaringan atau potensial terjadi kerusakan jaringan.
Nyeri tidaklah selalu berhubungan dengan derajat kerusakan jaringan yang
dijumpai. Namun nyeri bersifat individual yang dipengaruhi oleh genetik, latar
belakang kultural, umur dan jenis kelamin. Kegagalan dalam menilai faktor
kompleks nyeri, bergantung pada pemeriksaan fisik sepenuhnya dan tes
yang paling sering yang dihasilkan dari pasca trauma, pasca operasi, dan nyeri
obstetrik. Kebanyakan nyeri akut bersifat terbatas atau akan sembuh dalam
beberapa hari atau minggu. Apabila nyeri gagal untuk sembuh karena atau akibat
abnormal penyembuhannya atau karena pengobatan yang tidak adekuat, nyeri
menjadi kronis. Nyeri kronis adalah nyeri yang menetap dialami lebih dari 3
bulan atau 6 bulan dari sejak mulai merasakan nyeri. Dapat bersifat nosiseptif atau
71
neuropatik, ataupun gabungan keduanya. Definisi lain yang mengatakan nyeri
kronik adalah nyeri yang dialami selama waktu yang seharusnya perlukaan
mengalami penyembuhan. Yang termasuk nyeri kronik adalah nyeri persisten
yaitu nyeri yang menetap untuk waktu yang lama atau nyeri rekuren yaitu nyeri
yang kambuh dengan interval tertentu.71,74,75
Berdasarkan asalnya nyeri dapat dibagi menjadi dua, yaitu nyeri somatik
nyeri visceral, dan nyeri neuropatik. Nyeri somatik berasal dari kulit yang disebut
nyeri superfisial, sedangkan nyeri yang berasal dari otot rangka, tulang, sendi atau
jaringan ikat disebut nyeri dalam. Nyeri superfisial cirinya terasa tumpul, sulit
dilokasi, dan cenderung menyebar ke sekitarnya. Nyeri somatik dideskripsikan
sebagai sakit, menggerogoti, dan tajam dalam hal kualitas. Secara umum dapat
dilokalisasi dan diinisiasi oleh aktivitas nosiseptor di jaringan kulit dan jaringan
dalam. Contoh nyeri somatik termasuk nyeri akut pasca operasi dan patah tulang.
Nyeri viscera disebabkan oleh penarikan yang kuat dari organ-organ dalam
abdomen, demikian juga karena spasme atau kontraksi yang kuat dari organ
viscera yang menimbulkan nyeri terutama bila disertai dengan aliran darah yang
tidak adekuat. Nyeri viscera juga diasosiasikan dengan kerusakan jaringan,
khususnya infiltrasi, kompresi dan distensi dari organ dalam, biasanya
dideskripsikan sebagai nyeri tumpul dan sukar dialokasikan dan bisa menyebar ke
tempat lain, misalnya nyeri perut yang disebabkan oleh konstipasi. Sedangkan
nyeri neuropati dihasilkan dari kerusakan terhadap sistem saraf baik pusat maupun
perifer. Tertembak , sengatan listrik, ataupun luka bakar sering bersamaan dengan
latar belakang timbulnya sensasi nyeri dan terbakar. Contoh nyeri neuropati
adalah neuralgia post herpetic dan neuropati diabetik.74,75
normal sistem sensorik oleh stimulus noksius, sebuah proses yang melibatkan
transduksi, transmisi, modulasi, dan persepsi.75-77
Nyeri pembedahan akan mengalami dua perubahan, pertama adalah akibat
pembedahan itu sendiri yang menyebabkan rangsangan nosiseptif dan yang kedua
setelah proses pembedahan terjadi respon inflamasi pada daerah sekitar operasi,
terjadi pelepasan zat-zat kimia (prostaglandin, bradikinin, substansi P dan
lekotrien) oleh jaringan yang rusak dan sel-sel inflamasi. Zat-zat kimia yang
dilepaskan inilah yang berperan pada proses transduksi dari nyeri dan akan
ditransduksi oleh nosiseptor dan ditransmisikan oleh serabut saraf A delta dan C
ke neuroaksis. 74-77
Transmisi lebih lanjut ditentukan oleh modulasi kompleks yang
mempengaruhi di medula spinalis. Beberapa impuls diteruskan ke anterior dan
anterolateral dorsal horn untuk memulai respon refleks segmental. Impuls lain
ditransmisikan ke sentral yang lebih tinggi melalui tract spinotalamik dan
spinoretikular, dimana akan dihasilkan respon suprasegmental dan kortikal.
Respon refeks segmental diasosiasikan dengan operasi termasuk peningkatan
tonus otot lurik dan spasme yang diasosiasikan dengan peningkatan konsumsi
oksigen dan produksi asam laktat. Stimulasi dari saraf simpatis menyebabkan
takikardi, peningkatan curah jantung sekuncup, kerja jantung, dan konsumsi
oksigen miokard. Tonus otot menurun di saluran cerna dan kemih. 75,77
Respon refleks suprasegmental menghasilkan peningkatan tonus simpatis
dan stimulasi hipotalamus. Konsumsi dan metabolisme oksigen selanjutnya akan
meningkat.75
2.2.3.4 Nosiseptor
Nosiseptor adalah reseptor ujung saraf bebas yang ada di kulit, otot,
persendian, visceral dan vascular. Nosiseptor-nosiseptor ini bertanggung jawab
pada kehadiran stimulus noksious yang berasal dari kimia, suhu (panas, dingin),
atau perubahan mekanikal. Pada jaringan normal, nosiseptor tidakb aktif sampai
adanya stimulus yang memiliki energi yang cukup untuk melampaui ambang
batas stimulus (resting). Nosiseptor mencegah perambatan sinyal acak (skrining
fungsi) ke CNS untuk interpretasi nyeri. 75,77
Saraf nosiseptor bersinap di dorsal horn dari spinal cord dengan lokal
interneuron dan saraf projeksi yang membawa informasi nosiseptif ke pusat yang
lebih tinggi pada batang otak dan thalamus. Berbeda dengan reseptor sensorik
lainnya, reseptor nyeri tidak bisa beradaptasi. Kegagalan reseptor nyeri
beradaptasi adalah untuk proteksi karena hal tersebut bisa menyebabkan individu
untuk tetap awas pada kerusakan jaringan yang berkelanjutan. Setelah kerusakan
terjadi, nyeri biasanya menimal. Mula datang nyeri pada jaringan karena iskemi
akut berhubungan dengan kecepatan metabolisme. Sebagai contoh, nyeri terjadi
pada saat beraktifitas kerena iskemia otot skeletal pada 15 sampai 20 detik tapi
pada iskemi kulit 20 sampai 30 menit. 75,77
Tipe nosiseptor spesifik bereaksi pada tipe stimulus yang berbeda.
Nosiseptor C tertentu dan nosiseptor A-delta bereaksi hanya pada stimulus panas
atau dingin, dimana yang lainnya bereaksi pada stimulus yang banyak (kimia,
panas, dingin). Beberapa reseptor A-beta mempunyai aktivitas nociceptor-like.
Serat –serat sensorik mekanoreseptor bisa diikutkan untuk transmisi sinyal yang
akan menginterpretasi nyeri ketika daerah sekitar terjadi inflamasi dan produk-
produknya. Allodynia mekanikal (nyeri atau sensasi terbakar karena sentuhan
ringan) dihasilkan mekanoreseptor A-beta. Nosiseptor visceral, tidak seperti
nosiseptor kutaneus, tidak didisain hanya sebagai reseptor nyeri karena organ
internal jarang terpapar pada keadaan yang merusak. Banyak stimulus yang
merusak (memotong, membakar, kepitan) tidak menghasilkan nyeri bila dilakukan
pada struktur visceralis. Selain itu, inflamasi, iskemia, regangan mesenterik,
dilatasi, atau spasme visceralis bisa menyebabkan spasme berat. Stimulus ini
biasanya dihubungkan dengan proses patologis, dan nyeri yang dicetuskan untuk
mempertahankan fungsi.75,77
dianggap nyeri sedang menuju berat sehingga pasien merasa tidak nyaman
sehingga memerukan obat analgesik (rescue analgesic).
72,80,81
c. Wong Baker Faces Pain Scale
Skala dengan enam gambar wajah dengan ekspresi yang berbeda, dimulai
dari senyuman menangis karena kesakitan hingga wajah senyuman menandakan
tidak sakit. Skala ini berguna bagi pasien dengan gangguan komunikasi,kesulitan
dan keterbatasan verbal, seperti anak-anak, orang tua, pasien yang kebingungan
atau pasien yang tidak mengeri dengan bahasa lokal setempat. Dijelaskan kepada
pasien mengenai perubahan mimik wajah sesuai rasa nyeri dan pasien memilih
sesuai rasa nyeri yang dirasakannya.
angka 0 – 5 atau 0 – 10, dimana angka 0 menunjukkan tidak ada nyeri dan angka
5 atau 10 menunjukkan nyeri yang hebat. 72,82
Bila konsentrasi yang meningkat dari suatu anestesi lokal diterapkan pada
suatu serabut saraf, maka nilai ambang eksitasi akan meningkat, konduksi impuls
lambat, kecepatan peningkatan potensial aksi menurun, amplitudo potensial
berkurang, dan akhirnya kemampuan untuk membangkitkan potensial aksi akan
hilang. 17,55,83
Efek progresif ini diakibatkan oleh adanya ikatan antara anestesi lokal
dengan saluran ion natrium yang semangkin meningkat. Pada setiap saluran ion,
ikatan menghasilkan penghambatan arus ion Na +. Apabila arus ion Na+ dihambat
disepanjang serabut saraf maka impuls yang melewati daerah yang dihambat
tidak terjadi. Pada dosis minimum yang diperlukan untuk menghambat impuls,
17,55,83
potensial aksi tidak dipengaruhi secara berarti
Aktifitas obat anestesi lokal tidak terbatas hanya pada sodium channel.
Obat anestesi lokal juga bekerja menghambat potassium dan calcium channel,
reseptor transien yang potensial terhadap reseptor ligan gated lainnya. Selain itu
obat anestesi lokal dapat mengganggu ikatan antara protein G tertentu dengan
reseptor lainnya dan menghasilkan efek anti inflamasi yang poten terutama pada
reaksi awal neutrophil. Akibatnya terjadi penurunan pelepasan mediator-mediator
inflamasi dari neutrophil, mengurangi adhesi antara neutrophil dan endothelium,
menurunkan produksi oksigen radikal bebas dan mengurangi pembentukan edema
sehingga mencegah terjadinya sensitisasi dan hiperalgesia. 17,55,83
Dengan menghentikan transmisi stimuli nyeri dan menghilangkan tonus
otot skelet, blokade neuroaksial dapat memberikan kondisi pembedahan yang
baik. Blokade sensoris menghambat nyeri somatik dan visceral, sedangkan
blokade motoris menyebabkan relaksasi otot skelet. Efek obat anestesi lokal pada
serabut saraf bervariasi bergantung pada ukuran serabut saraf, bermielin,
konsentrasi obat anetesi lokal serta lamanya kontak. Akar serabut saraf spinalis
terdiri dari gabungan bermacam serabut saraf. Serabut yang lebih kecil dan
bermielin umumnya lebih mudah diblok daripada serabut saraf yang lebih besar
dan tidak bermielin. Pada kenyataannya bahwa konsentrasi obat anestesi lokal
akan menurun dengan semakin meningkatnya jarak dari level penyuntikan, hal ini
menerangkan fenomena perbedaan blokade. Perbedaan blokade berakibat blok
Toksisitas lokal pad saraf tergantung pada konsentrasi obat anestesi lokal.
Lignokain mempunyai potensial neurotoksik yang paling besar. Insiden
terjadinya Transient Radicular Iritation (TRI) pertama kali dilaporkan pada tahun
1993. TRI adalah gejala neurologis yang berlangsung singkat (cth. dysesthesia,
nyeri terbakar, nyeri yang terus menerus pada tungkai dan bokong) dan secara
spontan membaik dalam waktu 5 (lima) hari tanpa disertai gejala sisa yang
bersifat jangka panjang. 17,55,83
Dalam tindakan anestesi spinal penyebaran obat anestesi lokal ke dalam
cairan serebrospinalis dipengaruhi beberapa faktor (dapat dilihat pada tabel 3).
Faktor- faktor yang dapat mempengaruhi penyebaran obat anestesi lokal ke dalam
cairan serebrospinalis, antara lain: 2,17,27,44,55,62,83
Umur : Umur berpengaruh terhadap level analgesi spinal dan terjadi
penurunan yang progresif dari cairan serebrospinalis. Dengan semakin
bertambahnya umur maka ruang arahnoid dan epidural akan menjadi lebih
kecil sehingga menyebabkan penyebaran obat anestesi lokal menjadi lebih
luas/ besar, akibatnya penyebaran obat anestesi lokal ke arah sefalad akan
lebih banyak dan level analgesia yang dicapai lebih tinggi dengan dosis sama
dan tinggi badan yang sama. Oleh karena itu sebaiknya pada usia tua dosis
obat anestesi lokal dikurangi.
Tinggi Badan : Dengan semakin tingginya pasien, maka makin panjang
medula spinalisnya dan makin banyak volume cairan serebrospinal di bawah
L2, sehingga pasien yang tinggi memerlukan dosis yang lebih besar daripada
pasien yang lebih pendek.
Berat Badan : Pada pasien yang gemuk terjadi penurunan volume cairan
serebrospinal yang berhubungan dengan penumpukan lemak dalam rongga
epidural, sehingga mempengaruhi penyebaran obat anestesi lokal ke dalam
ruang subarakhnoid.
Jenis Kelamin : Jenis kelamin tidak berpengaruh langsung terhadap
penyebaran obat anestesi lokal dalam cairan serebrospinal. Hanya bila dalam
posisi miring lateral akan tampak kepala sedikit lebih rendah daripada pinggul
oleh karena lebar pinggang relatif lebih lebar dari bahu pada wanita dan
2.4 Bupivakain2,16,17,55,83
Obat anestesi lokal yang paling sering digunakan dalam teknik anestesi
spinal adalah Bupivakain. Lidokain 5% sudah lama ditinggalkan karena memiliki
efek neurotoksisitas, sehingga Bupivakain menjadi pilihan utama untk anestesi
dan tidak bermyelin atau lightly myelinated, oleh karena itu anestetika lokal dapat
berdifusi lebih cepat daripada serabut-serabut saraf yang lebih tebal atau
bermyelin. Secara klinis, secara berurutan hilangnya fungsi saraf yaitu nyeri,
suhu, sentuh, proprioseptif dan tonus otot. . 17,55,83
Seperti halnya obat anestesi lokal yang lain, Bupivakain dapat
menyebabkan terjadinya toksisitas sistemik, dalam hal ini yang berkaitan dengan
sistem saraf pusat dan sistem kardiovaskuler. Toksisitas tersebut biasanya
disebabkan oleh penyuntikan obat anestesia lokal ke dalam intravaskuler atau
intratekal dengan dosis yang berlebihan. Pada umumnya toksisitas sistem saraf
pusat lebih rentan terjadi dibandingkan sistem kardiovaskuler, sehingga dosis
yang diperlukan untuk timbulnya toksisitas sistem syaraf pusat lebih kecil
dibandingkan dengan toksisitas yang menyebabkan kolaps sirkulasi. . 17,55,83
2.4.1 Farmakologi2,16,17,55,83
Bupivakain memiliki mula kerja yang cepat dan lama kerja kerja yang
panjang. Mula kerja Bupivakain timbul dalam waktu 5 – 10 menit dan masa kerja
90 -120 menit. Dosis maksimal Bupivakain adalah 2,5 mg/kg berat badan.
Konsentrasi Bupivakain yang digunakan bekisar 0,125-0,75% dengan maupun
tanpa penambahan epinefrin 1:200000 atau 1:400000.
Laju absorbsi anstesi lokal bergantung pada dosis dan konsentrasi obat
yang diberikan, rute pemberian, vaskulariasi pada tempat penyuntikan dan
penambahan epinefrin. Penambahan epinefrin 1: 200000 atau 5 mcg/ml akan
menurunkan absorpsi dan kadar puncak dalam plasma sehingga dapat digunakan
dosis total yang lebih besar dan memperpanjang masa kerja obat, namun
penambahan epinefrin pada Bupivakain tidak memperpanjang masa kerja tetapi
mengurangi risiko toksisitas Bupivakain itu sendiri.
Obat anestesi lokal melewati plasenta dengan cara difusi pasif. Difusi
ditentukan oleh ikatan dengan protein plasma, daya ionisasi dan kelarutannya
dalam lemak. Obat anestesi lokal bebas yang tidak terikat dengan protein plasma
yang dapat melewati sawar plasenta. Bupivakain, 95% berikatan dengan protein
plasma dan memiliki rasio fetal/maternal yang rendah (0,2 – 0,4) sehingga
Bupivakain yang dapat melewati sawar plasenta adalah minimal. Daya larut dalam
lemak yang tinggi dan sifat non-ionisasi menyebabkan Bupivakain dapat masuk
ke dalam sirkulasi fetus.
Ginosar dkk, melakukan penelitian untuk mencari dosis efektif ED 50 dan
ED95 Bupivakain dan hasil yang didapatkan adalah 7,6 mg dan 11,2 mg. Dosis
ideal obat anestesi lokal untuk bedah sesar adalah untuk mencapai keseimbangan
antara kenyamanan pasien dan menghindari efek samping maternal, yaitu
hipotensi dan mual. Banyak peneliti yang mengatakan bahwa meningkatkan dosis
obat analgesi lokal akan meningkatkan hipotensi maternal dan mual dengan hasil
akhir penurunan kepuasan pasien.
Vercaunteren dkk mendemonstrasikan dalam penelitiannya dengan dosis
Bupivakain 6,6 mg hiperbarik menghasilkan anestesi yang superior dan sedikit
hipotensi yang terjadi dibandingkan dengan dosis yang sama pada Bupivakain
yang isobarik.
Untuk memperkuat pernyataan dari Vercauteren mengenai penggunaan
dosis rendah Bupivakain, maka Ben David dkk melakukan penelitian tentang 5mg
Bupivakain isobarik mengurangi insiden hipotensi, mual dan penggunaan
vasopresor.
Bupivakain memiliki kadar puncak dalam plasma yang tercapai setelah
30–45 menit turun dalam waktu 3–6 jam. Waktu paruh Bupivakain pada orang
dewasa adalah 2,7 jam sedangkan pada neonatus 8,1 jam.
spinal lebih kecil dibandingkan pemberian secara intravena dan apabila memakai
dosis besar maka efek sampingnya akan lebih banyak.
Manfaat efek analgesia opioid sudah lama diketahui. Namun, meskipun
opioid telah digunakan selama ratusan tahun tetapi reseptor opioid yang lebih
spesifik baru dikenal pada tahun 1971. Penelitianpun terus dikembangkan dan
ditemukan bahwa reseptor opioid terdapat di otak dan spinal cord. Tahun 1979
pertama sekali diumumkan adanya studi klinis pemakaian morfin intratekal. Wang
dkk, pada tahun 1976, pertama kali melaporkan efek analgesia sesudah pemakaian
morfin intratekal baik secara bolus maupun infuse kontinu. pada delapan pasien
dengan diagnosa kanker pada daerah genitor urinaria dan sejak itu intratekal
opioid dipergunakan untuk menghilangkan rasa nyeri.
Melza dan Wall (1986) mengemukakan teori bahwa saraf tulang belakang
adalah target potensial untuk sebagai modulasi rasa nyeri. Pert dan Synder (1973)
menemukan reseptor opioid dan dapat mengindentifikasi reseptor opioid pada
kornu dosalis pada tahun 1977.
Teknik dari intratekal sangat mudah, akan tetapi apabila menusuk dura
akan timbul sakit kepala yang tidak menyenangkan bagi pasien. Sakit kepala
pasien sukar dihilangkan dengan obat-obatan, maka pada waktu penusukan harus
berhati-hati dan jangan sampai menusuk duramater.
Opioid intratekal bekerja sebagai ligand pada reseptor opioid melalui tiga
cara yang berbeda untuk menghasilkan analgesia, yaitu :
1. Langsung ke kornu dorsalis medulla spinalis
2. Supraspinal melalui aliran cairan serebrospinal, terjadi modulasi
penghambatan nyeri secara desending.
3. Opioid dalam jumlah kecil berdifusi ke ruang epidural dan diabsorbsi
secara sistemik sehingga bekerja secara sentral (efek minor).
2.6 Fentanil21,22,30,33
Fentanil merupakan derivat fenilpiperidin sintetik yang bersifat poten
lipofilik. Nama kimianya adalah N (-phenethyl-4-peperidyl) propionanilide.
2.6.1 Farmakokinetik21,22
Fentanil merupakan agonis opioid sintetik yang sangat poten, dengan mula
kerja yang cepat (5 menit melalui spinal dan 10 menit melalui epidural) dan relatif
berlama kerja singkat. Sebagai suatu analgesik, Fentanil lebih kuat 75 sampai 125
kali dibandingkan morfin, hal ini dikarenakan kelarutan Fentanil yang tinggi.
Berat molekul Fentanil rendah dan sangat larut dalam lemak (lipofilik), sekitar
800 kali lebih larut lemak dibandingkan morfin, sehingga mula kerja lebih cepat
dan lama kerja singkatr. Karena solubilitasnya terhadap lemak yang tinggi, maka
Fentanil juga akan lebih cepat berikatan dengan reseptor opioid di kornu dorsalis.
“ Half life “ eliminasi terminalnya (190 menit) dan pemberian dosis tinggi yang
berulang bisa menyebabkan akumulasi. Fentanil tidak menghasilkan metabolit
aktif.
2.6.2 Farmakodinamik21,22
Metabolisme Fentanil seluruhnya terjadi di hati, hanya 6,5% diekskresikan
utuh melalui urin. Fentanil dimetabolisme oleh enzim N-metilase menjadi
norFentanil, hydroxyproprionyl-Fentanil dan hydroxyproprionyl–norFentanil.
NorFentanil secara struktural mirip dengan norMeperidin dan merupakan
metabolit utama Fentanil pada tubuh. NorFentanil diekskresi oleh ginjal dan
dapat dideteksi dalam urin 72 jam setelah dosis tunggal Fentanil intra vena (IV).
Sekitar 10% Fentanil yang tidak termetabolisme diekskresikan melalui urin.
Fentanil berikatan dengan enzim hati P-450 dan interaksi obat yang terjadi
berhubungan dengan aktivitas enzim ini.
Fentanil dikatakan aman karna lokalisasi segmental yang mengakibatkan
bioavaibilitas obat untuk bermigrasi ke rostral melalui cairan serebrospinal
sehingga mencapai pusat pernafasan medulla dengan cara berdifusi dan mengikuti
aliran.
Fentanil yang diberikan dosis tunggal intravena memiliki mula kerja yang
lebih cepat dan masa kerja obat yang lebih pendek dari pada morfin. Setelah
pemberian bolus iv, Fentanil tersebar terutama pada organ yang kaya vaskularisasi
seperti otak,paru-paru, dan jantung. Meskipun secara klinis Fentanil mempunyai
onset yang cepat, terdapat perbedaan waktu antara puncak konsentrasi Fentanil di
plasma dan puncak penurunan gelombang pada EEG. Efek Fentanil yang
diberikan via darah terhadap otak membutuhkan waktu sekitar 6,4 menit.
Potensi yang lebih besar dan mula kerja yang lebih cepat merupakan
wujud kelarutan lemak yang lebih besar dari Fentanil terhadap Morfin, dalam hal
fasilitasi hantaran obat melewati barier sawar darah otak. Demikian juga, lama
kerja obat yang singkat dari pemberian Fentanil dosis tunggal merefleksikan
redistribusi yang cepat pada jaringan tempat obat ini tidak aktif seperti pada
jaringan lemak dan otot-otot rangka. Hal ini berhubungan dengan penurunan
konsentrasi obat di plasma.
Pada paru juga merupakan tempat penyimpanan obat inaktif sekitar 75%
dari Fentanil yang diberikan, sebagai akibat ambilan first fast jaringan paru.
Ketika pemberian Fentanil intravena secara multipel atau saat pemberian
obat melalui infus kontinu dapat terjadi penurunan konsentrasi obat inaktif pada
jaringan paru. Singkatnya, konsentrasi Fentanil di plasma tidak akan menurun
dengan cepat dan kerjanya sebagai analgetik sama halnya dengan depresi dari
ventilasi yang dapat terjadi lebih lama. Tanggapan terhadap kardiovaskular diatur
oleh batang otak di daerah nucleus solitaries, nucleus dorsal vagal, nucleus
ambigus, dan nucleus parabrachial. Reseptor opioid banyak terdapat di daerah
nucleus solitaries dan parabrachial, terutama reseptor u, sehingga bila diberikan
agonis akan menyebabkan hipotensi dan bradikardi. Selain itu juga terdapat
mekanisme analgesia yang dimiliki oleh daerah ventrolateral periaqueductal
gray. Reseptor yang terdapat pada jalur hipotalamus-pituitary-adrenal- yang
dimodulasi oleh opioid juga berperan pada stress response.
2.7 Meperidin21,22,30,53
Meperidin adalah sintetik opioid yang pertama kali digunakan sebagai
analgesia pada manusia sejak pertama kali diperkenalkan pada tahun 1939 oleh
Eisleb dn Schaumann. Rumus kimia dari Meperidin adalah etil – 1- metal – 4 –
fenilpiperidin – karboksilat. Meperidin adalah agonis opioid sintetik, derivat dari
phenylpiperidin yang bersifat moderate lipofilik / intermediate lipofilik. Sesuai
rumus bangunnya Meperidin hampir sama dengan atropine, sehingga beberapa
efek atropin juga dimiliki oleh Meperidin seperti takikardi, midriasis dan
antispasmodik.
2.7.1 Farmakokinetik21,22
Jalur pemberian Meperidin sama seperti dengan morfin. Pada pemberian
secara intramuskuler, Meperidin diabsorbsi secara cepat dan komplit, dimana
kadar puncak dalam plasma dicapai dalam waktu 20- 60 menit. Bioavailabilitas
secara oral mencapai 45%-75%. Meperidin 64% terikat pada protein plasma,
dengan lama kerja 2-4 jam yang membuatnya menjadi agonis opioid dengan kerja
lebih singkat dibandingkan morfin. dan waktu paruh eliminasinya adalah 3-4 jam.
Waktu paruh penggunaan Meperidin intratekal pada manusia pendek; 6 jam
setelah penyuntikan Meperidin intratekal hanya 0,4% dari dosis awal yang
terdeteksi pada CSF di lumbal. Konsentrasi Meperidin pada C 7-T1 turun dengan
cepat, hal ini meminimalisir kemungkinan terjadinya delayed depresi respirasi.
Efek sistemik lama timbul pada pemberian Meperidin intratekal karena sifat
Meperidin yang lebih cepat larut dalam lemak yang menyebabkan cepatnya efluks
Meperidin ke dalam sistem vena dan limfatik.
Rata – rata metabolisme Meperidin adalah 17% per jam. Pada suatu
penelitian perbandingan, diporelah lama kerja analgesia Meperidin intratekal
adalah 4,93 ±2,03 jam dan lama kerja morfin intratekal adalah 23±7,19 jam.
2.7.2 Farmakodinamik21,22
Meperidin memiliki efek analgesia, sedasi, euphoria, dan depresi
pernafasan. Efek yang menonjol adalah analgesia. Pada pemberian secara
intramuskuler dengan dosis 50 – 75 mg, akan meningkatkan ambang nyeri sampai
50%. Analgesia timbul oleh karena terjadinya penghambatan pengeluaran
substansi P di jalur nyeri dan traktus gastrointestinal.
Meperidin 80% dimetabolisir di hati melalui proses hidrolisis dan
dimetilasi menjadi Normeperidin dan asam Meperidinat. Setelah mengalami
opioid yang sifat kelarutan lemaknya intermediat, yang juga dapat ditambahkan
pada obat anestesi lokal secara intratekal dan biasa digunakan selama bedah sesar
karena dapat sebagai analgesia segera pasca operasi.
Meperidin juga telah sering digunakan untuk terapi menggigil pasca
anestesi. Mekanisme Meperidin dalam mengatasi menggigil pasca anestesi
diduga disebabkan karena efek obat pada reseptor kappa (diperkirakan terjadi
pada sekitar 10% dari aktivitasnya) dan penurunan ambang batas aktivitas
menggigil yang diinduksi oleh obat ini (tidak terjadi pada alFentanil, klonidin,
propofol atau anestesi volatil). Penggunaan dosis kecil Meperidin (10-25 mg)
setiap 5-10 menit efektif untuk mengatasi menggigil pasca anestesi. Dosis
Meperidin yang digunakan sebesar 0,3 mg / kgBB dan 0,5 mg/kgBB ternyata
dapat efektif untuk mencegah menggigil pasca anestesi.
52
Universitas Sumatera Utara
53
Bupivakain 0,5%
7,5 mg hiperbarik
+ Fentanil 25 mcg
Bupivakain 0,5%
7,5 mg hiperbarik
+ Meperidin 25 mg
= VARIABEL BEBAS
= VARIABEL TERGANTUNG