Anda di halaman 1dari 45

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anestesi Spinal pada Bedah Sesar


Istilah seksio sesarea berasal dari bahasa latin “caedere” yang artinya
“memotong”. Pengertian ini dapat dijumpai dalam hukum roma yaitu lex regia
atau lex caesarea yang merupakan hukum yang menjelaskan bahwa prosedur
tersebut dilakukan di akhir kehamilan pada seorang wanita yang dalam keadaan
sekarat demi menyelamatkan calon bayinya. Secara definisi seksio sesarea adalah
suatu tindakan untuk melahirkan bayi melalui insisi abdominal (laparatomi) dan
dinding uterus (histereotomi). Definisi ini tidak mencakup pengeluaran janin pada
kasus ruptur uteri atau pada kasus kehamilan abdomen. 49 Berdasar kamus
kedoteran Dorland, 2002, bedah sesar merupakan suatu proses insisi dinding
abdomen dan uterus untuk mengeluarkan janin.
Pemilihan teknik anestesi pada ibu hamil yang akan menjalani bedah sesar
adalah anestesi yang aman dan nyaman bagi ibu tanpa menyebabkan menurunnya
kondisi janin dan bayi yang akan dilahirkan, oleh karena pemilihan teknik anestesi
memegang peranan sekitar 3-12% dari angka kematian ibu melahirkan.49,50 Pada
saat ini, teknik regional anestesi yang paling sering digunakan oleh ahli anestesi
selama bedah sesar adalah dengan menggunakan teknik anestesi regional
subarakhnoid (anestesi spinal). Hal ini dilatarbelakangi oleh karena tingginya
angka mortalitas ibu yang menjalani bedah sesar dengan anestesi umum, yaitu
hampir 17 kali lebih tinggi dibandingkan setelah penggunaan anestesi regional
dengan risiko komplikasi jalan napas pada anestesi umum, gagal intubasi, gagal
ventilasi-oksigenasi dan atau terjadinya aspirasi. 7,8,9
Menurut sejarah teknik spinal anestesi pertama kali dikemukakan oleh
J.Leonard Corning pada tahun 1885. Beliau adalah seorang ahli saraf di New
York yang melakukan eksperimen dengan menyuntikkan kokain ke dalam ruang
subarakhnoid pada saraf tulang belakang anjing. Kemudian perkembangan teknik
anestesi spinal yang digunakan untuk operasi pada manusia yang pertama kali

9
Universitas Sumatera Utara
10

dilakukan oleh seorang pria berkebangsaan Jerman bernama Agust Bier (1861-
1949) pada tanggal 16 Agustus 1898, di Kiel, bersama asistennya Hildebrandt.
Obat anestesi yang digunakannya pada masa itu adalah 3 ml larutan kokain 0,5%
pada enam orang pasien, berusia 34 tahun. Setelah menggunakannya pada 6
pasien, ia dan asistennya masing-masing menyuntikkan kokain ke dalam tulang
belakang pasien yang lain. Karena kefektivitasan anestesi spinal maka mereka
merekomendasikan anestesi spinal untuk operasi kaki, tetapi mereka akhirnya
tidak menggunakan lagi anestesi spinal karena toksisitas kokain.Sampai saat ini
Agustus Bier dikenal sebagai Bapak Spinal Anestesi.12,54-56
Selanjutnya pada tahun 1900, Kreis, menggunakan teknik spinal ini untuk
menghilangkan nyeri persalinan sedangkan Tuffer mencoba pada 63 pasien
operasi dengan histerektomi dimana pasien tidak lagi merasa sakit dan dapat
dilakukan histerektomi.12
Anestesi spinal disebut juga spinal analgesia atau sub-arachnoid nerve
block oleh karena memasukkan obat anestesi lokal ke dalam ruangan
subarakhnoid untuk menghasilkan blok saraf yang akan menyebabkan hilangnya
aktivitas sensoris, motoris, dan otonom yang bersifat reversibel. Penyuntikan obat
anestesi lokal biasanya dilakukan di daerah lumbal pada tingkat di bawah medula
spinalis berakhir (L2), pada L3 – L4 atau L2 – L3, bisa dengan posisi duduk ataupun
miring.27,54,58,63,67
Ada beberapa keuntungan dari tindakan anestesi spinal sehingga menjadi
pilihan yaitu merupakan teknik yang sederhana, relatif mudah dikerjakan dengan
angka keberhasilan yang tinggi, mula kerja dan masa pulih anestesi yang cepat,
blok saraf sensorik dan motorik yang baik, risiko toksisitas anestesi lokal yang
rendah, tidak meningkatkan risiko pada janin yaitu bayi yang lahir tidak tersedasi
selama tidak menerima anestesi melalui sirkulasi uteroplasenta, dapat sebagai
manajemen nyeri pasca operasi serta memungkinkan ibu tetap sadar pada saat
kelahiran bayinya sehingga dapat menyusui bayinya sesegera mungkin. Selain itu
keuntungan anestesi spinal pada pasien yang menjalani bedah sesar adalah jalan
nafas tetap paten dan risiko aspirasi lambung yang menyebabkan pneumonitis
3,7-9,13,20,49
lebih kecil.

Universitas Sumatera Utara


11

Namun, anestesi spinal juga memiliki kekurangan dalam hal kestabilan


hemodinamik, yaitu hipotensi yang tetap menjadi permasalahan tersendiri.
Kerugian lain adalah efek anestesia yang tidak dapat diperpanjang jika waktu
operasi memanjang, analgesia pasca operasi harus ditambahkan dengan obat
analgetika lain jika diberikan suntikan obat anestesi lokal secara tunggal. 8,18,19,44,55
Anestesi spinal pada ibu hamil yang menjalani bedah sesar memerlukan
dosis obat anestesi lokal yang lebih sedikit untuk mendapatkan ketinggian blok
yang cukup bila dibandingkan dengan pasien yang tidak hamil. Hal ini disebabkan
oleh adanya peningkatan sensitifitas sel saraf terhadap anestesi lokal, penurunan
jumlah cairan serebrospinal, dan efek dari uterus gravid terhadap penyebaran obat
213,27,49
intratekal ke arah sefalad.
Tindakan bedah sesar merupakan tindakan dengan lama kerja operasi
yang tidak lama. Dimitrov dkk, dalam penelitiannya menyatakan rerata total lama
kerja prosedur bedah sesar adalah 44,3 menit. Lama kerja operasi juga turut
berperan dalam menentukan pemilihan jenis dan jumlah obat. 61
Pada bedah sesar, ketinggian blokade analgesia untuk menghasilkan bebas
nyeri selama tindakan bedah sesar yang diperlukan adalah setinggi Th6 (batas
bawah sternum). Hal ini dapat dicapai dengan 2-2,5 ml (10-12,5 mg) larutan
Bupivakain 0,5% hiperbarik ataupun isobarik. 2,13,49,57,63

Tabel 1. Ketinggian Blok Yang Perlu Dicapai Dalam Prosedur Operasi. 57

Universitas Sumatera Utara


12

Sarvela menganjurkan dosis Bupivakain sebesar 9 mg untuk tindakan


bedah sesar, sedangkan Ginosar untuk mencapai ketinggian blok setinggi T6 pada
ibu hamil diperlukan dosis anestesi lokal Bupivakain sebesar 6,7 – 11 mg (dengan
penambahan Fentanil 10 mcg) dan di Indonesia, Bintartho telah meneliti
efektivitas Bupivakain 0,5% hiperbarik dengan dosis 7,5 mg pada ibu hamil yang
akan dilakuan tindakan bedah sesar.39,44,65

2.1.1 Anatomi Kolumna Vertebralis


Sebagai seorang ahli anestesi perlunya memahami pengetahuan yang baik
tentang anatomi kolumna vertebralis oleh karena merupakan salah satu faktor
keberhasilan tindakan anestesi spinal serta perlunya pengetahuan tentang
penyebaran analgesia lokal ke dalam cairan serebrospinal dan level analgesia yang
diperlukan untuk menjaga keamana tindakan anestesi spinal.
Area tulang belakang manusia atau yang disebut kolumna vertebralis
terdiri dari 33 korpus vertebralis yang dibagi menjadi 5 (lima) segmen yaitu 7
servikal, 12 torakal, 5 lumbal, 5 sakral dan 4 koksigeus, yang dihubungkan
dengan melekatnya kelompok-kelompok syaraf. Kolumna vertebralis memiliki
empat lengkungan yaitu daeah servikal dan lumbal melengkung ke depan, daerah
torakal dan sakral melengkung ke belakang sehingga pada waktu berbaring daerah
tertinggi adalah L3 sedangkan yang terendah L5.58,66,67
Panjang setiap segmen berbeda-beda, seperti segmen tengah daerah torakal
lebih kurang 2 kali panjang segmen servikal atau lumbal atas. Terdapat dua
pelebaran yang berhubungan dengan saraf servikal atas dan bawah Pelebaran
servikal berasal dari serabut-serabut syaraf dalam pleksus brakhialis. Pelebaran
lumbal sesuai dengan asal serabut syaraf dalam pleksus lumbosakralis. Adanya
hubungan antara segmen-segmen medula spinalis dengan korpus vertebralis serta
tulang belakang memiliki arti penting dalam klinik agar dapat menentukan tinggi
lesi pada medula spinalis dan juga untuk mencapainya pada pembedahan. .58,66,67

Universitas Sumatera Utara


13

Gambar 1. Penampang Kolumna Vertebralis Manusia

Ada beberapa lapisan yang harus ditembus sebelum mencapai ruang


subarakhnoid; lapisan tersebut dari luar yaitu : kulit, subkutis, ligamentum
supraspinosum, ligamentum flavum, dan duramater. Arakhnoid letaknya berada
diantara duramater dan piamater serta mengikuti otak hingga ke medula spinalis
dan melekat pada duramater. Antara arakhnoid dan piamater terdapat ruang yang
disebut ruang subarakhnoid. .58,66,67

Gambar 2. Anatomi Vertebra Lumbal58

Universitas Sumatera Utara


14

Duramater dan arakhnoid berakhir sebagai tabung pada vertebra sakral 2,


sehingga di bawah batas tersebut tidak terdapat cairan serebrospinalis. Ruang
subarakhnoid merupakan sebuah rongga yang terletak sepanjang tulang belakang
berisi cairan otak, jaringan lemak, pembuluh darah dan serabut saraf spinal yang
berasal dari medula spinalis. Pada orang dewasa medula spinalis berakhir pada
sisi bawah vertebra lumbal pada daerah L1-L2. Secara anatomi anestesi spinal
dilakukan pada L3-L4 atau L2-L3 oleh karena daerah lumbal adalah daerah yang
paling besar jarak ligamentum intraspinosumnya sehingga memungkinkan bagi
seorang dokter anestesi untuk melakukan tindakan anestesi spinal. .58,66,67

Gambar 3. Anatomi Anestesi Spinal dan Lapisan Tulang Vertebra


Saat Tindakan Anestesi Spinal58

2.2. Nyeri
2.2.1 Fisiologi Nyeri
Definisi nyeri menurut International Association for the Study of Pain
(IASP 1979) adalah pengalaman sensori dan emosi yang tidak menyenangkan
sehubungan dengan kerusakan jaringan atau potensial terjadi kerusakan jaringan.
Nyeri tidaklah selalu berhubungan dengan derajat kerusakan jaringan yang
dijumpai. Namun nyeri bersifat individual yang dipengaruhi oleh genetik, latar
belakang kultural, umur dan jenis kelamin. Kegagalan dalam menilai faktor
kompleks nyeri, bergantung pada pemeriksaan fisik sepenuhnya dan tes

Universitas Sumatera Utara


15

laboratorium mengarahkan kita pada kesalahpahaman dan terapi yang tidak


adekuat terhadap nyeri, terutama pada pasien-pasien dengan resiko tinggi seperti
orangtua, anak-anak dan pasien dengan gangguan komunikasi. Individualisme
rasa nyeri ini sulit diinterpertasikan secara obyektif, walaupun dokter telah
melakukan observasi atau menggunakan alat monitor. Baku emas untuk
mengetahui seseorang berada dalam kondisi nyeri ataupun tidak adalah dengan
menanyakannya langsung.68-71,75
Kata nosisepsi berasal dari kata “noci” dari bahasa Latin yang artinya
harm atau injury dalam bahasa Inggris atau luka atau trauma. Kata ini digunakan
untuk menggambarkan respon neural hanya pada traumatik atau stimulus noksius.
Banyak pasien merasakan nyeri meskipun tidak ada stimulus noksius. Nyeri
nosiseptif disebabkan oleh aktivasi ataupun sensitisasi dari nosiseptor perifer,
reseptor khusus yang mentransduksi stimulus noksius.71,74-75
Setiap pasien yang mengalami trauma berat (tekanan, suhu, kimia) atau
pasca pembedahan harus dilakukan penanganan nyeri yang sempurna, karena
dampak nyeri akan menimbulkan respon stress metabolik yang akan
mempengaruhi semua sistem tubuh dan memperberat kondisi pasien, sehingga
akan merugikan pasien akibat timbulnya perubahan fisiologi dan psikologi pasien
itu sendiri, seperti :71-73,75
 Perubahan kognitif (sentral) : kecemasan, ketakutan, gangguan tidur dan putus
asa.
 Perubahan neurohormonal : hiperalgesia perifer, peningkatan sensitifitas luka.
 Perubahan neuroendokrin : peningkatan kortisol, hiperglikemi, katabolisme.
 Peningkatan aktivitas simpatoadrenal : pelepasan renin, angiotensin,
hipertensi, takikardi.

2.2.2 Klasifikasi Nyeri


Berdasakan lamanya nyeri dapat dibedakan menjadi nyeri akut dan kronik.
Nyeri akut dapat didefinisikan sebagai nyeri karena stimulus noksius karena
adanya kerusakan jaringan, proses penyakit ataupun fungsi abnormal dari otot
atau organ dalam (viscera). Biasanya bersifat nosiseptif. Merupakan bentuk nyeri

Universitas Sumatera Utara


16

yang paling sering yang dihasilkan dari pasca trauma, pasca operasi, dan nyeri
obstetrik. Kebanyakan nyeri akut bersifat terbatas atau akan sembuh dalam
beberapa hari atau minggu. Apabila nyeri gagal untuk sembuh karena atau akibat
abnormal penyembuhannya atau karena pengobatan yang tidak adekuat, nyeri
menjadi kronis. Nyeri kronis adalah nyeri yang menetap dialami lebih dari 3
bulan atau 6 bulan dari sejak mulai merasakan nyeri. Dapat bersifat nosiseptif atau
71
neuropatik, ataupun gabungan keduanya. Definisi lain yang mengatakan nyeri
kronik adalah nyeri yang dialami selama waktu yang seharusnya perlukaan
mengalami penyembuhan. Yang termasuk nyeri kronik adalah nyeri persisten
yaitu nyeri yang menetap untuk waktu yang lama atau nyeri rekuren yaitu nyeri
yang kambuh dengan interval tertentu.71,74,75
Berdasarkan asalnya nyeri dapat dibagi menjadi dua, yaitu nyeri somatik
nyeri visceral, dan nyeri neuropatik. Nyeri somatik berasal dari kulit yang disebut
nyeri superfisial, sedangkan nyeri yang berasal dari otot rangka, tulang, sendi atau
jaringan ikat disebut nyeri dalam. Nyeri superfisial cirinya terasa tumpul, sulit
dilokasi, dan cenderung menyebar ke sekitarnya. Nyeri somatik dideskripsikan
sebagai sakit, menggerogoti, dan tajam dalam hal kualitas. Secara umum dapat
dilokalisasi dan diinisiasi oleh aktivitas nosiseptor di jaringan kulit dan jaringan
dalam. Contoh nyeri somatik termasuk nyeri akut pasca operasi dan patah tulang.
Nyeri viscera disebabkan oleh penarikan yang kuat dari organ-organ dalam
abdomen, demikian juga karena spasme atau kontraksi yang kuat dari organ
viscera yang menimbulkan nyeri terutama bila disertai dengan aliran darah yang
tidak adekuat. Nyeri viscera juga diasosiasikan dengan kerusakan jaringan,
khususnya infiltrasi, kompresi dan distensi dari organ dalam, biasanya
dideskripsikan sebagai nyeri tumpul dan sukar dialokasikan dan bisa menyebar ke
tempat lain, misalnya nyeri perut yang disebabkan oleh konstipasi. Sedangkan
nyeri neuropati dihasilkan dari kerusakan terhadap sistem saraf baik pusat maupun
perifer. Tertembak , sengatan listrik, ataupun luka bakar sering bersamaan dengan
latar belakang timbulnya sensasi nyeri dan terbakar. Contoh nyeri neuropati
adalah neuralgia post herpetic dan neuropati diabetik.74,75

Universitas Sumatera Utara


17

2.2.3 Mekanisme Nyeri


Nyeri merupakan suatu bentuk peringatan akan adanya bahaya kerusakan
jaringan. Nyeri pada umumnya dibagi menjadi dua bagian besar , yaitui adaptif
dan nyeri maladaptif. Nyeri adaptif berperan serta dalam proses bertahan hidup
dengan melindungi organisme dari cidera berkepanjangan dan membantu proses
pemulihan, sebaliknya nyeri maladaptif merupakan bentuk patologis dari sistem
saraf. 75-77
Pengalaman sensoris pada nyeri akut disebabkan oleh stimulus noksius
yang diperantarai oleh sistem sensorik nosiseptif. Sistem ini berjalan mulai dari
perifer melalui medula spinalis, batang otak, thalamus dan korteks serebri.
Apabila terjadi kerusakan jaringan, maka sistem nosiseptif akan bergeser
fungsinya dari fungsi protektif menjadi fungsi yang membantu perbaikan jaringan
yang rusak. 75-77Nyeri inflamasi merupakan salah satu bentuk untuk mempercepat
pebaikan kerusakan jaringan. Sensitivitas akan meningkat, sehingga stimulus non
noksius atau noksius ringan yang mengenai bagian yang meradang akan
menyebabkan nyeri. Nyeri inflamasi akan menurunkan derajat kerusakan dan
menghilangkan respon inflamasi. Nyeri inflamasi merupakan bentuk nyeri yang
adaptif namun demikian pada kasus-kasus cidera elektif (misalnya : pembedahan),
cidera karena trauma, dan perlunya penatalaksanaa aktif harus dilakukan. Tujuan
terapi adalah menormalkan sensitivitas nyeri.75,76
Nyeri maladaptif tidak berhubungan dengan adanya stimulus noksius atau
penyembuhan jaringan. Nyeri maladaptif dapat terjadi sebagai respon kerusakan
sistem saraf (nyeri neuropatik) atau sebagai akibat fungsi abnormal sistem saraf
(nyeri fungsional).75,77

2.2.3.1 Respon Terhadap Stimulus Nyeri Akut


Secara klinis nyeri dapat diberi label “ nosiseptif” jika melibatkan nyeri
yang berdasarkan aktivasi dari sistem nosiseptif karena kerusakan jaringan.
Meskipun perubahan neuroplastik (seperti hal-hal yang mempengaruhi sensitisasi
jaringan) dengan jelas terjadi, nyeri nosiseptif terjadi sebagai hasil dari aktivasi

Universitas Sumatera Utara


18

normal sistem sensorik oleh stimulus noksius, sebuah proses yang melibatkan
transduksi, transmisi, modulasi, dan persepsi.75-77
Nyeri pembedahan akan mengalami dua perubahan, pertama adalah akibat
pembedahan itu sendiri yang menyebabkan rangsangan nosiseptif dan yang kedua
setelah proses pembedahan terjadi respon inflamasi pada daerah sekitar operasi,
terjadi pelepasan zat-zat kimia (prostaglandin, bradikinin, substansi P dan
lekotrien) oleh jaringan yang rusak dan sel-sel inflamasi. Zat-zat kimia yang
dilepaskan inilah yang berperan pada proses transduksi dari nyeri dan akan
ditransduksi oleh nosiseptor dan ditransmisikan oleh serabut saraf A delta dan C
ke neuroaksis. 74-77
Transmisi lebih lanjut ditentukan oleh modulasi kompleks yang
mempengaruhi di medula spinalis. Beberapa impuls diteruskan ke anterior dan
anterolateral dorsal horn untuk memulai respon refleks segmental. Impuls lain
ditransmisikan ke sentral yang lebih tinggi melalui tract spinotalamik dan
spinoretikular, dimana akan dihasilkan respon suprasegmental dan kortikal.
Respon refeks segmental diasosiasikan dengan operasi termasuk peningkatan
tonus otot lurik dan spasme yang diasosiasikan dengan peningkatan konsumsi
oksigen dan produksi asam laktat. Stimulasi dari saraf simpatis menyebabkan
takikardi, peningkatan curah jantung sekuncup, kerja jantung, dan konsumsi
oksigen miokard. Tonus otot menurun di saluran cerna dan kemih. 75,77
Respon refleks suprasegmental menghasilkan peningkatan tonus simpatis
dan stimulasi hipotalamus. Konsumsi dan metabolisme oksigen selanjutnya akan
meningkat.75

Universitas Sumatera Utara


19

Gambar 4. Mekanisme Nyeri87

2.2.3.2 Sensitisasi Perifer


Sensitivitas daripada terminal nosiseptor perifer tidaklah tetap, dan
aktivasinya dapat dilakukan baik melalui stimulasi perifer berulang atau melalui
perubahan komposisi kimia dari terminal dapat mensensitisasi neuron sensor
primer. Fenomena ini dikatakan sebagai sensitisasi perifer. 71,72,74,75,77

2.2.3.3 Sensitisasi Sentral dan Modulasi


Sebagai akibat perubahan pada sensitivitas terminal nosiseptor perifer,
penambahan sinaps transmisi nosiseptif di dorsal horn dari medula spinalis terjadi.
Dan ini berkontribusi untuk meningkatkan sensitivitas terhadap nyeri, yang
dikenal sebagai sensitisasi sentral. Input yang intensif dari nosiseptor ke medula
spinalis memicu sensasi segera dari nyeri yang berakhir selama waktu stimulus
noksius dan merefleksikan aktivasi langsung dari hasil potensial aksi dari saraf
yang diproyeksikan. Beberapa input, bagaimanapun juga menginduksi aktivitas
yang bergantung kepada modulasi proses sensori di dorsal horn yang
menghasilkan hipersensitivitas terhadap nyeri.71,72,74,75,77

Universitas Sumatera Utara


20

2.2.3.4 Nosiseptor
Nosiseptor adalah reseptor ujung saraf bebas yang ada di kulit, otot,
persendian, visceral dan vascular. Nosiseptor-nosiseptor ini bertanggung jawab
pada kehadiran stimulus noksious yang berasal dari kimia, suhu (panas, dingin),
atau perubahan mekanikal. Pada jaringan normal, nosiseptor tidakb aktif sampai
adanya stimulus yang memiliki energi yang cukup untuk melampaui ambang
batas stimulus (resting). Nosiseptor mencegah perambatan sinyal acak (skrining
fungsi) ke CNS untuk interpretasi nyeri. 75,77
Saraf nosiseptor bersinap di dorsal horn dari spinal cord dengan lokal
interneuron dan saraf projeksi yang membawa informasi nosiseptif ke pusat yang
lebih tinggi pada batang otak dan thalamus. Berbeda dengan reseptor sensorik
lainnya, reseptor nyeri tidak bisa beradaptasi. Kegagalan reseptor nyeri
beradaptasi adalah untuk proteksi karena hal tersebut bisa menyebabkan individu
untuk tetap awas pada kerusakan jaringan yang berkelanjutan. Setelah kerusakan
terjadi, nyeri biasanya menimal. Mula datang nyeri pada jaringan karena iskemi
akut berhubungan dengan kecepatan metabolisme. Sebagai contoh, nyeri terjadi
pada saat beraktifitas kerena iskemia otot skeletal pada 15 sampai 20 detik tapi
pada iskemi kulit 20 sampai 30 menit. 75,77
Tipe nosiseptor spesifik bereaksi pada tipe stimulus yang berbeda.
Nosiseptor C tertentu dan nosiseptor A-delta bereaksi hanya pada stimulus panas
atau dingin, dimana yang lainnya bereaksi pada stimulus yang banyak (kimia,
panas, dingin). Beberapa reseptor A-beta mempunyai aktivitas nociceptor-like.
Serat –serat sensorik mekanoreseptor bisa diikutkan untuk transmisi sinyal yang
akan menginterpretasi nyeri ketika daerah sekitar terjadi inflamasi dan produk-
produknya. Allodynia mekanikal (nyeri atau sensasi terbakar karena sentuhan
ringan) dihasilkan mekanoreseptor A-beta. Nosiseptor visceral, tidak seperti
nosiseptor kutaneus, tidak didisain hanya sebagai reseptor nyeri karena organ
internal jarang terpapar pada keadaan yang merusak. Banyak stimulus yang
merusak (memotong, membakar, kepitan) tidak menghasilkan nyeri bila dilakukan
pada struktur visceralis. Selain itu, inflamasi, iskemia, regangan mesenterik,
dilatasi, atau spasme visceralis bisa menyebabkan spasme berat. Stimulus ini

Universitas Sumatera Utara


21

biasanya dihubungkan dengan proses patologis, dan nyeri yang dicetuskan untuk
mempertahankan fungsi.75,77

2.2.4 Perjalanan Nyeri75,77,79


Ada empat proses yang terjadi pada perjalanan nyeri yaitu transduksi,
transmisi, modulasi, dan persepsi.
1. Transduksi merupakan proses perubahan rangsang nyeri menjadi suatu
aktifitas listrik yang akan diterima ujung-ujung saraf. Rangsang ini dapat
berupa stimulasi fisik, kimia, ataupun panas. Dan dapat terjadi di seluruh
jalur nyeri.
2. Transmisi adalah proses penyaluran impuls listrik yang dihasilkan oleh
proses transduksi sepanjang jalur nyeri, dimana molekul molekul di celah
sinaptik mentransmisi informasi dari satu neuron ke neuron berikutnya
3. Modulasi adalah proses modifikasi terhadap rangsang. Modifikasi ini
dapat terjadi pada sepanjang titik dari sejak transmisi pertama sampai ke
korteks serebri. Modifikasi ini dapat berupa augmentasi (peningkatan)
ataupun inhibisi (penghambatan).
4. Persepsi adalah proses terakhir saat stimulasi tersebut sudah mencapai
korteks sehingga mencapai tingkat kesadaran, selanjutnya diterjemahkan
dan ditindaklanjuti berupa tanggapan terhadap nyeri tersebut.

Gambar 5. Perjalanan Nyeri86

Universitas Sumatera Utara


22

2.2.5 Penilaian Nyeri


Penilaian nyeri merupakan elemen yang penting untuk menentukan terapi
nyeri paska pembedahan yang efektif. Nyeri dinilai berdasarkan tingkah laku
manusia, yang secara kultur mempengaruhi ekspresi dan pemahaman terhadap
nyeri. Nyeri merupakan respon fisiologis terhadap kerusakan jaringan dan juga
mempengaruhi respon emosional dan tingkah laku berdasarkan pengalaman nyeri
seseorang di masa lalu dan persepsi terhadap nyeri. Persepsi dan interpretasi
terhadap input nosiseptif, respon emosional terhadap persepsi (missal,
depresi,takut, cemas), dan tingkah laku sebagai respon terhadap emosi dan
persepsi yang menuntun observer untuk yakin bahwa seseorang sedang merasakan
nyeri (misalnya mengeluhkan nyeri, meringis). Persepsi nyeri kelihatannya sama
pada berbagai suku akan tetapi batas ambang nyeri berbeda antara suku atau ras.
Skala penilaian nyeri dan keterangan pasien digunakan untuk menilai derajat
nyeri. Intensitas nyeri harus dinilai sedini mungkin selama pasien dapat
berkomunikasi dan menunjukkan ekspresi nyeri yang dirasakan. Penilaian skala
nyeri dapat dibagi atas pasien yang memiliki kemampuan verbal dan dapat
melaporkan sendiri rasa sakitnya (self reported) dan pasien dengan
ketidakmampuan verbal baik karena terganggu kognitifnya, dalam keadaan
tersedasi, ataupun berada dalam mesin ventilator. 69,71,75

2.2.5.1 Skala Nyeri Verbal (Self Reported)


Ada beberapa skala nyeri yang dapat digunakan. Pada umumnya skala ini
dibagi atas skala kategorik (tidak sakit,sakit ringan, sakit sedang, dan sakit berat).
Ataupun penggunaan skala yang digambarkan sebagai garis horizontal atau
vertical yang ujung-ujungnya diberi nilai “0” menandakan tidak ada nyeri dan
“10” menandakan nyeri yang hebat.
a. Verbal Rating Scale. 69,71,72,82
Verbal Rating Scale terdiri dari beberapa nomor yang menggambarkan
tingkat nyeri pada pasien. Pasien ditanya bagaimana sifat dari nyeri yang
dirasakannya. Peneliti memilih nomor dari skor tingkat nyeri tersebut dari apa
yang dirasakan pasien. Skor tersebut terdiri dari empat poin yaitu :

Universitas Sumatera Utara


23

• 0 = Tidak ada nyeri atau perasaan tidak enak ketika ditanya


• 1 = Nyeri yang ringan yang dilaporkan pasien ketika ditanya
• 2 = Nyeri sedang yang dilaporkan pasien ketika ditanya
• 3 = Nyeri dihubungkan dengan respon suara, tangan atau lengan tangan,
wajah merintih atau menangis
Keempat poin ini secara luas digunakan oleh klinisi untuk menentukan
tingkat kebenaran dan keandalan. Untuk pasien yang memiliki gangguan kognitif,
skala nyeri verbal ini sulit digunakan.

Gambar 6. Verbal Rating Scale

b. Visual Analogue Scale 72,80,81


Skala yang pertama kali ditemukan oleh Keele pada tahun 1948 yang
merupakan skala dengan suatu garis lurus yang panjangnya 10 cm (atau 100 mm),
di mana awal garis (0) penanda tidak ada nyeri dan akhir garis (10) menandakan
nyeri hebat, dengan penggambaran verbal pada masing-masing ujungnya. Nilai
VAS 0 - <4 = nyeri ringan, 4 - <7 = nyeri sedang dan 7-10 = nyeri berat.
Penggunaan skala VAS lebih gampang, efisien dan lebih mudah dipahami
oleh penderita dibandingkan dengan skala lainnya. Penggunaan VAS telah
direkomendasikan oleh Coll dkk karena selain telah digunakan secara luas, secara
metodologis kualitanya lebih baik, penggunaanya relatif mudah karena hanya
dengan menggunakan beberapa kata sehingga kosa kata tidak menjadi
permasalahan. Willianson dkk juga telah melakukan uji pustaka atas tiga skala
ukur nyeri dan menarik kesimpulan bahwa VAS secara statistik paling kuat
rasionya karena dapat menyajikan data dalam bentuk rasio. Nilai VAS > 4

Universitas Sumatera Utara


24

dianggap nyeri sedang menuju berat sehingga pasien merasa tidak nyaman
sehingga memerukan obat analgesik (rescue analgesic).

Gambar 7. Visual Analogue Scale

72,80,81
c. Wong Baker Faces Pain Scale
Skala dengan enam gambar wajah dengan ekspresi yang berbeda, dimulai
dari senyuman menangis karena kesakitan hingga wajah senyuman menandakan
tidak sakit. Skala ini berguna bagi pasien dengan gangguan komunikasi,kesulitan
dan keterbatasan verbal, seperti anak-anak, orang tua, pasien yang kebingungan
atau pasien yang tidak mengeri dengan bahasa lokal setempat. Dijelaskan kepada
pasien mengenai perubahan mimik wajah sesuai rasa nyeri dan pasien memilih
sesuai rasa nyeri yang dirasakannya.

Gambar 8. Wong Baker Faces Pain Rating Scale

d. Numerical Rating Scale (NRS)


Pertama sekali dikemukakan oleh Downie dkk pada tahun 1978, dimana
pasien ditanyakan tentang derajat nyeri yang dirasakan dengan menunjukkan

Universitas Sumatera Utara


25

angka 0 – 5 atau 0 – 10, dimana angka 0 menunjukkan tidak ada nyeri dan angka
5 atau 10 menunjukkan nyeri yang hebat. 72,82

Gambar 9. Numerical Rating Scale

2.2.6 Penanganan Nyeri71,73.75


Penanganan nyeri pasca pembedahan yang efektif haruslah mengetahui
patofisiologi dan pain pathway , sehingga penanganan nyeri dapat dilakukan
dengan cara farmakoterapi (multimodal analgesia), pembedahan, serta juga
diperlukan perawatan yang baik dan teknik non-farmakologi (fisioterapi dan
psikoterapi).
Modalitas analgetik pasca pembedahan termasuk di dalamnya analgesik
oral , parenteral, blok saraf perifer, blok neuroaksial dengan anestesi lokal dan
opioid intraspinal.71,75

2.3 Obat Anestesi Lokal


Obat anestesi lokal adalah obat yang bersifat basa lemah, biasa digunakan
pada saat anestesi spinal dan merupakan senyawa amino organik. Potensi suatu
obat anestesi lokal berhubungan dengan kelarutannya dalam lemak dan
kemampuan obat anestesi lokal untuk memasuki daerah yang hidrofobik.17,83
Secara garis besar obat anestesi lokal dibagi menjadi 2 golongan besar
yaitu golongan ester dan golongan amida. Ikatan ester memiliki sifat mudah
dihidrolisis dalam hepar dan oleh plasma esterase, mula kerja lambat, lama kerja
pendek dan hanya sedikit menembus jaringan. Sedangkan ikatan amida mudah
menjadi tidak aktif oleh hepatic amidase, mula kerja cepat, lama kerja lebih lama
dan lebih banyak menembus jaringan.17,55,83
Obat anestesi lokal yang termasuk ke dalam golongan amida antara lain :

Universitas Sumatera Utara


26

bupivacaine, lidocaine, mepivacaine, ropivacaine, dan etidocaine. Sedangkan


yang termasuk ke dalam golongan ester adalah : procaine, chlorprocaine dan
tetracaine, yang telah jarang digunakan lagi karena dapat menyebabkan reaksi
anafilaktik dapat menimbulkan Transien Neurologikal Simptom (TNS).15-17,55
Semua obat anestesi lokal bersifat stabilisasi membran yang menghambat
tansmisi nyeri. Mempunyai kemampuan yang reversibel untuk membuka dan
menutup volgated gated sodium channel dari dalam, dengan demikian mencegah
depolarisasi membran saraf dan perbedaan potensial aksi pada tempat suntikan
obat (pertama kali dilaporkan pada tahun 1950), sehingga membran akson tidak
akan dapat bereaksi dengan asetil kholin dan membran akan tetap dalam keadaan
semipermiabel dan tidak tejadi perubahan potensial. Keadaan ini menyebabkan
aliran implus yang melewati saraf tersebut terhenti, sehingga segala macam
rangsang ataupun sensasi tidak akan sampai ke susunan saraf pusat, keadaan ini
menyebabkan timbulnya parastesia sampai analgesia, paresis sampai paralisis dan
vasodilatasi pembuluh darah pada daerah yang terblok.17,55,83
Obat anestesi lokal memperlihatkan affinitasnya terhadap sodium channel
pada keadaan aktif dan tidak aktif, seperti yang diilustrasikan pada gambar
10.17,55,83

Gambar 10. Mekanisme Kerja Obat Anestesi Lokal17


Voltaged gated sodium channels yang berada dalam 3 (tiga)
kondisi : istirahat, aktif (terbuka) dan Inaktif. Obat anestesi
Lokal berikatan dengan voltaged gated sodium channel dari
dalam sel sehingga mengurangi masuknya sejumlah besar
sodium yang berhubungan dengan depolarisasi membran.

Universitas Sumatera Utara


27

Bila konsentrasi yang meningkat dari suatu anestesi lokal diterapkan pada
suatu serabut saraf, maka nilai ambang eksitasi akan meningkat, konduksi impuls
lambat, kecepatan peningkatan potensial aksi menurun, amplitudo potensial
berkurang, dan akhirnya kemampuan untuk membangkitkan potensial aksi akan
hilang. 17,55,83
Efek progresif ini diakibatkan oleh adanya ikatan antara anestesi lokal
dengan saluran ion natrium yang semangkin meningkat. Pada setiap saluran ion,
ikatan menghasilkan penghambatan arus ion Na +. Apabila arus ion Na+ dihambat
disepanjang serabut saraf maka impuls yang melewati daerah yang dihambat
tidak terjadi. Pada dosis minimum yang diperlukan untuk menghambat impuls,
17,55,83
potensial aksi tidak dipengaruhi secara berarti
Aktifitas obat anestesi lokal tidak terbatas hanya pada sodium channel.
Obat anestesi lokal juga bekerja menghambat potassium dan calcium channel,
reseptor transien yang potensial terhadap reseptor ligan gated lainnya. Selain itu
obat anestesi lokal dapat mengganggu ikatan antara protein G tertentu dengan
reseptor lainnya dan menghasilkan efek anti inflamasi yang poten terutama pada
reaksi awal neutrophil. Akibatnya terjadi penurunan pelepasan mediator-mediator
inflamasi dari neutrophil, mengurangi adhesi antara neutrophil dan endothelium,
menurunkan produksi oksigen radikal bebas dan mengurangi pembentukan edema
sehingga mencegah terjadinya sensitisasi dan hiperalgesia. 17,55,83
Dengan menghentikan transmisi stimuli nyeri dan menghilangkan tonus
otot skelet, blokade neuroaksial dapat memberikan kondisi pembedahan yang
baik. Blokade sensoris menghambat nyeri somatik dan visceral, sedangkan
blokade motoris menyebabkan relaksasi otot skelet. Efek obat anestesi lokal pada
serabut saraf bervariasi bergantung pada ukuran serabut saraf, bermielin,
konsentrasi obat anetesi lokal serta lamanya kontak. Akar serabut saraf spinalis
terdiri dari gabungan bermacam serabut saraf. Serabut yang lebih kecil dan
bermielin umumnya lebih mudah diblok daripada serabut saraf yang lebih besar
dan tidak bermielin. Pada kenyataannya bahwa konsentrasi obat anestesi lokal
akan menurun dengan semakin meningkatnya jarak dari level penyuntikan, hal ini
menerangkan fenomena perbedaan blokade. Perbedaan blokade berakibat blok

Universitas Sumatera Utara


28

simpatis (yang ditentukan oleh sensitivitas temperatur) menjadi 2 segmen lebih


tinggi daripada blok sensoris (nyeri, raba halus) yang 2 segmen lebih tinggi
daripada blok motoris. 17,55,83
Respon serabut saraf terhadap obat anestesi lokal berbeda-beda.
Sensitifitas bloknya tergantung pada besarnya diameter aksonal saraf, derajat
mielinisasi dan kecepatan konduksi saraf. Walaupun serabut saraf mempunyai
ukuran yang lebih kecil dan tidak bermielin tetapi kecepatan hantaran sarafnya
dapat meningkatkan affinitasnya terhadap obat anestesi lokal. Pada saraf spinal,
obat anestesi lokal menghambat fungsi otonomik > sensorik > motorik 17,55,83
Anestesi lokal khususnya memblokir serabut saraf kecil. Hal ini karena
jarak pasif propagasi impuls dalam saraf kecil yang lebih pendek. Secara umum,
saraf C yang tidak bermielin (sinyal rasa sakit) dan saraf Aδ mielin (nyeri dan
suhu) yang diblokir sebelum serabut saraf besar yang bermielin Aγ, Aβ dan Aα
(postural, sentuhan, tekanan dan sinyal motorik). 17,55,83
Tabel 2. Jenis Serabut Saraf Dan Sensitivitas Blokade17
Velositas
Tipe Serabut Diameter Sensitivitas
Fungsi Mistifikasi Konduksi
Saraf (mikron) Blok Saraf
(m/s)
Tipe A
Propriosepsi,
Alpha (α) 12-20 Berat 70-120 +
Motorik
Rabaan,
Beta (β) 5-12 Berat 30-70 ++
Tekanan
Gamma (γ) Serabut Otot 3-6 Berat 15-30 ++
Delta (δ) Nyeri,Suhu 2-5 Berat 12-30 +++
Autonomik
Tipe B <3 Ringan 3-15 ++++
Preganglionik
Tipe C
Akar Dorsal Nyeri 0,4-12 Tidak ada 0,5-2,3 ++++
Simpatetik Postganglionik 0,3-1,3 Tidak ada 0,7-2,3 ++++

Potensi obat anestesi lokal dipengaruhi oleh kelarutan dalam lemak,


semakin larut dalam lemak maka makin poten obat anestesi lokal tersebut. Ikatan
dengan protein (protein binding) akan mempengaruhi lama kerja dan konstanta

Universitas Sumatera Utara


29

disosiasi (pKa) menentukan mula kerja. 17,55,83


Konsentrasi minimal anestesi lokal dipengaruhi oleh :
1. pH (asidosis menghambat blokade saraf)
2. Ukuran, jenis dan mielinisasi saraf
3. Frekuensi stimulasi saraf
Mula kerja obat bergantung pada beberapa faktor antara lain 55,83 :
1. pKa mendekati pH fisiologis sehingga konsentrasi bagian yang tidak
terionisasi (bermuatan) meningkat dan dapat menembus membran sel saraf
sehingga menghasilkan mula kerja yang cepat.
2. Alkalinisasi anestesi lokal membuat mula kerja cepat
3. Konsentrasi obat anestesi lokal
Lama kerja obat dipengaruhi oleh :
1. Ikatan dengan protein plasma, karena reseptor anestesi lokal adalah protein
2. Dipengaruhi oleh kecepatan absorbsi
3. Dipengaruhi oleh ramainya pembuluh darah perifer di daerah pemberian
Obat anestesi lokal mempengaruhi volgated sodium channel di dalam
tubuh sehingga potensial untuk terjadi toksisitas sistemik. Awalnya toksisitas
mempengaruhi sistem saraf pusat kemudian diikuti dengan sistem kardiovaskuler.
Toksisitas berhubungan langsung dengan potensi obat anestesi lokal. Beberapa
obatyang lebih poten (cth. Bupivakain, LevoBupivakain, Ropivakain)
menyebabkan efek kardiotoksik pada konsentrasi dan dosis yang lebih kecil bila
dibandingkan obat yang kurang poten (contoh : Lignokain).17,55,83
Sistem saraf pusat (SSP) paling rentan mengalami toksisitas obat anestesi
lokal. Overdosis obat anestesi lokal jelas terlihat pada pasien yang sadar. Gejala
awal seperti bibir kebas, lidah terasa seperti logam, parastesia lidah, bingung serta
gangguan pada mulut dan penglihatan. Kejadian tersebut diikuti dengan tanda-
tanda eksitatori (cth. rasa lelah, agitasi, cemas, dan paranoid) yang dengan sangat
cepat menjadi depresi pada SSP (contoh: bicara pelo, tidak sadar, kejang, henti
nafas, kolap kardiovaskuler). Neurotoksisitas seperti sindroma cauda equina
pernah dilaporkan terjadi setelah penyuntikan lignokain 5% dan tetrakain 0,5%
intratekal yang berulang-ulang. 17,55,83

Universitas Sumatera Utara


30

Toksisitas lokal pad saraf tergantung pada konsentrasi obat anestesi lokal.
Lignokain mempunyai potensial neurotoksik yang paling besar. Insiden
terjadinya Transient Radicular Iritation (TRI) pertama kali dilaporkan pada tahun
1993. TRI adalah gejala neurologis yang berlangsung singkat (cth. dysesthesia,
nyeri terbakar, nyeri yang terus menerus pada tungkai dan bokong) dan secara
spontan membaik dalam waktu 5 (lima) hari tanpa disertai gejala sisa yang
bersifat jangka panjang. 17,55,83
Dalam tindakan anestesi spinal penyebaran obat anestesi lokal ke dalam
cairan serebrospinalis dipengaruhi beberapa faktor (dapat dilihat pada tabel 3).
Faktor- faktor yang dapat mempengaruhi penyebaran obat anestesi lokal ke dalam
cairan serebrospinalis, antara lain: 2,17,27,44,55,62,83
 Umur : Umur berpengaruh terhadap level analgesi spinal dan terjadi
penurunan yang progresif dari cairan serebrospinalis. Dengan semakin
bertambahnya umur maka ruang arahnoid dan epidural akan menjadi lebih
kecil sehingga menyebabkan penyebaran obat anestesi lokal menjadi lebih
luas/ besar, akibatnya penyebaran obat anestesi lokal ke arah sefalad akan
lebih banyak dan level analgesia yang dicapai lebih tinggi dengan dosis sama
dan tinggi badan yang sama. Oleh karena itu sebaiknya pada usia tua dosis
obat anestesi lokal dikurangi.
 Tinggi Badan : Dengan semakin tingginya pasien, maka makin panjang
medula spinalisnya dan makin banyak volume cairan serebrospinal di bawah
L2, sehingga pasien yang tinggi memerlukan dosis yang lebih besar daripada
pasien yang lebih pendek.
 Berat Badan : Pada pasien yang gemuk terjadi penurunan volume cairan
serebrospinal yang berhubungan dengan penumpukan lemak dalam rongga
epidural, sehingga mempengaruhi penyebaran obat anestesi lokal ke dalam
ruang subarakhnoid.
 Jenis Kelamin : Jenis kelamin tidak berpengaruh langsung terhadap
penyebaran obat anestesi lokal dalam cairan serebrospinal. Hanya bila dalam
posisi miring lateral akan tampak kepala sedikit lebih rendah daripada pinggul
oleh karena lebar pinggang relatif lebih lebar dari bahu pada wanita dan

Universitas Sumatera Utara


31

sebaliknya pada laki-laki.


 Tekanan Intra Abdominal : Peningkatan tekanan intra abdominal sering
dikaitkan dengan peningkatan penyebaran obat anestesi lokal ke dalam ruang
subarakhnoid.
 Anatomi Kolumna Vertebralis : Lekukan kolumna vertebralis
mempengaruhi penyebaran anestesi lokal ke dalam cairan serebrospinal.
 Tempat Penyuntikan : Penyuntikan obat pada L2-3 atau L3-4 memudahkan
penyebaran obat ke arah kranial, sedangkan penyuntikan pada L4-L5
memudahkan obat berkumpul di daerah sakral.
 Kecepatan Suntikan : Makin cepat penyuntikan obat makin tinggi tingkat
analgesi yang tercapai.
 Dosis : Makin besar dosis, makin besar intensitas blokade
 Berat Jenis : Penyebaran obat hiperbarik dan hipobarik dalam cairan
serebrospinal dipengaruhi oleh posisi pasien. Penyebaran obat isobarik selama
dan setelah penyuntikan tidak dipengaruhi oleh posisi pasien.
 Konsentrasi Larutan : Pada umumnya, tinggi analgesia meningkat dengan
bertambah pekatnya larutan anestesi lokal.
 Manuver valsava : Mengejan akan meningkatkan tekanan cairan
serebrospinalis, sehingga analgesia yang dicapai lebih tinggi, terutama bila
dilakukan oleh pasien segera setelah obat disuntikkan ke dalam ruang
subarakhnoid.
 Barbotage : teknik stirring up untuk meningkatkan turbulensi sehingga obat
anestesi lokal tercampur dan meningkatkan distribusinya ke dalam rongga
subarakhnoid.Atau bisa juga didefinisikan sebagai aspirasi volume CSF baik
sebelum atau sesudah injeksi lokal anestesi,diikuti dengan re injeksi CSF yang
kadang – kadang bisa dilakukan berulang. Biasanya volume CSF sama dengan
jumlah volume obat anestesi lokal. Pada obat anestesi lokal yang hiperbarik
metode ini bisa memperpendek waktu untuk mencapai analgesinya.
 Kehamilan : beberapa proses fisiologis kehamilan secara tidak langsung akan
meningkatkan dan mempengaruhi kerja obat anestesi lokal.penyebaran ke
sefalad dipercepat karena progesteron yang meningkatkan sensitivitas

Universitas Sumatera Utara


32

neuronal. Mekanisme dapat secara langsung pada eksitabilitas membran aksi


tidak langsung pada neurotransmitter, kemudian peningkatan permeabilitas
dari sarung neural, potensiasi dengan opioid endogen dan potensiasi GABA
yang meningkatkan konduksi klorida.
 Posisi pasca penyuntikan : segera setelah disuntikkan anestesi lokal
hiperbarik pada posisi lateral, pada daerah setinggi L 2-4 pasien segera
diposisikan telentang dengan left lateral tilt . Dengan demikian obat anestesi
akan terbagi menjadi 2 bagian yaitu mengarah ke sefalad dan berkumpul di
midthoracic lalu bagian lain akan berkumpul ke caudal. Keuntungan dari
distribusi ini adalah kita dapat menentukan sampai setinggi mana level
blokade yang kita kehendaki.

Tabel 3. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penyebaran Anestesi Lokal 17


Karakteristik anestesi lokal  Barisitas
 Volume/ dosis / konsentrasi
 Suhu anestesi lokal
 Viskositas
 Penambahan obat anestei lainnya
Teknik  Posisi pasien
 Level tempat penyuntikan
 Arah jarum
 Kateter intratekal
 Pemberian kontinyu
 Penyuntikan epidural
Karakteristik Pasien  Usia
 Berat badan
 Tinggi badan
 Jenis kelamin
 Tekanan intraabdomen
 Anatomi tulang belakang
 Volume cairan cerebrospinal lumbosakral
 Kehamilan

2.4 Bupivakain2,16,17,55,83
Obat anestesi lokal yang paling sering digunakan dalam teknik anestesi
spinal adalah Bupivakain. Lidokain 5% sudah lama ditinggalkan karena memiliki
efek neurotoksisitas, sehingga Bupivakain menjadi pilihan utama untk anestesi

Universitas Sumatera Utara


33

spinal saat ini.


Bupivakain merupakan obat lokal anestesi yang pertama dengan mula
kerja yang dapat diterima,lama kerja yang panjang dan ada tendensi untuk
terjadinya blok sensorik yang lebih besar dibanding dengan blok motoriknya.
Bupivakain adalah obat anestetik lokal golongan amida sintesis, yang
pertama kali dibuat oleh A.F. Ekenstam pada tahun 1957 dan dipergunakan secara
®
klinis pada tahun 1963 dengan nama Marcain . Secara struktur kimia,
Bupivakain mirip dengan Mepivakain. Penamaan Bupivakain menurut IUPAC
(International Union of Pure and Applied Chemistry) adalah 1-butyl-N- (2,6-
dimethylphenyi) piperidine-2-carboxamide yang rumus bangunnya dapat dilihat
pada gambar 11.

Gambar 11. Struktur Molekul Bupivakain83

Perbedaan Bupivakain dengan Mepivakain secara struktur molekul


kimiawi adalah adalah butyl group yang disubstitusikan dalam methyl grup pada
nitrogen piperidine. Bupivakain adalah formula yang homolog denga Mepivakain
dengan formula molekulernya C18. N2 O.H28 .HCl. 17,55,83
Bupivakain apabila dibandingkan dengan lidokain atau Mepivakain
potensinya 4x lebih besar dan bila dibandingkan dengan prokain potensinya 8x
lebih besar. Lama kerjanya 2 – 3x lebih panjang dibanding dengan Mepivakain
atau lidokain dan 20 sampai 25% lebih panjang dibanding tetrakain. . 17,55,83
Bupivakain berikatan dengan natrium intraselular dan menghambat influx
natrium ke dalam sel saraf sehingga mencegah timbulnya depolarisasi. Serabut-
serabut saraf yang dilalui oleh impuls nyeri merupakan serabut saraf yang tipis

Universitas Sumatera Utara


34

dan tidak bermyelin atau lightly myelinated, oleh karena itu anestetika lokal dapat
berdifusi lebih cepat daripada serabut-serabut saraf yang lebih tebal atau
bermyelin. Secara klinis, secara berurutan hilangnya fungsi saraf yaitu nyeri,
suhu, sentuh, proprioseptif dan tonus otot. . 17,55,83
Seperti halnya obat anestesi lokal yang lain, Bupivakain dapat
menyebabkan terjadinya toksisitas sistemik, dalam hal ini yang berkaitan dengan
sistem saraf pusat dan sistem kardiovaskuler. Toksisitas tersebut biasanya
disebabkan oleh penyuntikan obat anestesia lokal ke dalam intravaskuler atau
intratekal dengan dosis yang berlebihan. Pada umumnya toksisitas sistem saraf
pusat lebih rentan terjadi dibandingkan sistem kardiovaskuler, sehingga dosis
yang diperlukan untuk timbulnya toksisitas sistem syaraf pusat lebih kecil
dibandingkan dengan toksisitas yang menyebabkan kolaps sirkulasi. . 17,55,83

2.4.1 Farmakologi2,16,17,55,83
Bupivakain memiliki mula kerja yang cepat dan lama kerja kerja yang
panjang. Mula kerja Bupivakain timbul dalam waktu 5 – 10 menit dan masa kerja
90 -120 menit. Dosis maksimal Bupivakain adalah 2,5 mg/kg berat badan.
Konsentrasi Bupivakain yang digunakan bekisar 0,125-0,75% dengan maupun
tanpa penambahan epinefrin 1:200000 atau 1:400000.
Laju absorbsi anstesi lokal bergantung pada dosis dan konsentrasi obat
yang diberikan, rute pemberian, vaskulariasi pada tempat penyuntikan dan
penambahan epinefrin. Penambahan epinefrin 1: 200000 atau 5 mcg/ml akan
menurunkan absorpsi dan kadar puncak dalam plasma sehingga dapat digunakan
dosis total yang lebih besar dan memperpanjang masa kerja obat, namun
penambahan epinefrin pada Bupivakain tidak memperpanjang masa kerja tetapi
mengurangi risiko toksisitas Bupivakain itu sendiri.
Obat anestesi lokal melewati plasenta dengan cara difusi pasif. Difusi
ditentukan oleh ikatan dengan protein plasma, daya ionisasi dan kelarutannya
dalam lemak. Obat anestesi lokal bebas yang tidak terikat dengan protein plasma
yang dapat melewati sawar plasenta. Bupivakain, 95% berikatan dengan protein
plasma dan memiliki rasio fetal/maternal yang rendah (0,2 – 0,4) sehingga

Universitas Sumatera Utara


35

Bupivakain yang dapat melewati sawar plasenta adalah minimal. Daya larut dalam
lemak yang tinggi dan sifat non-ionisasi menyebabkan Bupivakain dapat masuk
ke dalam sirkulasi fetus.
Ginosar dkk, melakukan penelitian untuk mencari dosis efektif ED 50 dan
ED95 Bupivakain dan hasil yang didapatkan adalah 7,6 mg dan 11,2 mg. Dosis
ideal obat anestesi lokal untuk bedah sesar adalah untuk mencapai keseimbangan
antara kenyamanan pasien dan menghindari efek samping maternal, yaitu
hipotensi dan mual. Banyak peneliti yang mengatakan bahwa meningkatkan dosis
obat analgesi lokal akan meningkatkan hipotensi maternal dan mual dengan hasil
akhir penurunan kepuasan pasien.
Vercaunteren dkk mendemonstrasikan dalam penelitiannya dengan dosis
Bupivakain 6,6 mg hiperbarik menghasilkan anestesi yang superior dan sedikit
hipotensi yang terjadi dibandingkan dengan dosis yang sama pada Bupivakain
yang isobarik.
Untuk memperkuat pernyataan dari Vercauteren mengenai penggunaan
dosis rendah Bupivakain, maka Ben David dkk melakukan penelitian tentang 5mg
Bupivakain isobarik mengurangi insiden hipotensi, mual dan penggunaan
vasopresor.
Bupivakain memiliki kadar puncak dalam plasma yang tercapai setelah
30–45 menit turun dalam waktu 3–6 jam. Waktu paruh Bupivakain pada orang
dewasa adalah 2,7 jam sedangkan pada neonatus 8,1 jam.

2.5 Intratekal Opioid21,22,30,31,38,66


Intratekal opioid dapat juga disebut sebagai spinal opioid, yaitu
memasukkan obat opioid atau dikombinasikan dengan obat anaestesi lokal ke
dalam ruang spinal yang ditandai dengan keluarnya cairan spinal. Obat yang
dimasukkan ke dalam ruang spinal dapat obat lokal anestesi tunggal, atau
campuran obat anestesi lokal dengan opioid / narkotik atau opioid / narkotik saja.
Pemberian obat opioid / narkotik saja hanya menghasilkan analgesi, yaitu
mengurangi rasa sakit dan tidak ada efek anesthesia. Dosis opioid / narkotik pada

Universitas Sumatera Utara


36

spinal lebih kecil dibandingkan pemberian secara intravena dan apabila memakai
dosis besar maka efek sampingnya akan lebih banyak.
Manfaat efek analgesia opioid sudah lama diketahui. Namun, meskipun
opioid telah digunakan selama ratusan tahun tetapi reseptor opioid yang lebih
spesifik baru dikenal pada tahun 1971. Penelitianpun terus dikembangkan dan
ditemukan bahwa reseptor opioid terdapat di otak dan spinal cord. Tahun 1979
pertama sekali diumumkan adanya studi klinis pemakaian morfin intratekal. Wang
dkk, pada tahun 1976, pertama kali melaporkan efek analgesia sesudah pemakaian
morfin intratekal baik secara bolus maupun infuse kontinu. pada delapan pasien
dengan diagnosa kanker pada daerah genitor urinaria dan sejak itu intratekal
opioid dipergunakan untuk menghilangkan rasa nyeri.
Melza dan Wall (1986) mengemukakan teori bahwa saraf tulang belakang
adalah target potensial untuk sebagai modulasi rasa nyeri. Pert dan Synder (1973)
menemukan reseptor opioid dan dapat mengindentifikasi reseptor opioid pada
kornu dosalis pada tahun 1977.
Teknik dari intratekal sangat mudah, akan tetapi apabila menusuk dura
akan timbul sakit kepala yang tidak menyenangkan bagi pasien. Sakit kepala
pasien sukar dihilangkan dengan obat-obatan, maka pada waktu penusukan harus
berhati-hati dan jangan sampai menusuk duramater.

2.5.1 Mekanisme Kerja Opioid21,22,30,31,38


Analgesia yang berasal dari pemberian opioid neuroaksial terutama
diperantarai oleh ikatan presinaps dan postsinaps dari reseptor mu pada substansia
gelatinosa pada cornu dorsalis medulla spinalis. Aktivasi opioid dan reseptor akan
mengambat plepasan presinaptik dan respon post sinaptik terhadap
neurotransmitter eksitasi (asetilkolin) dari saraf nosiseptif. Aktivasi reseptor
presinaps pada neuron aferen membawa informasi nosiseptif menghasilkan
penurunan konduktan melalui saluran kalsium (Ca +) dan menghambat influx Ca+
yang akan menurunkan pelepasan neurotransmitter, terjadi penurunan sinyal
antara neuron aferen primer dan sekunder di kornu dorsalis. Ikatan reseptor opioid

Universitas Sumatera Utara


37

pada neuron aferen sekunder menyebabkan terjadinya hiperpolarisasi dan


penurunan aksi potensial (Gambar 13).

Gambar 12. Mekanisme Aksi Opioid Terhadap Reseptor Opioid21

Opioid intratekal bekerja sebagai ligand pada reseptor opioid melalui tiga
cara yang berbeda untuk menghasilkan analgesia, yaitu :
1. Langsung ke kornu dorsalis medulla spinalis
2. Supraspinal melalui aliran cairan serebrospinal, terjadi modulasi
penghambatan nyeri secara desending.
3. Opioid dalam jumlah kecil berdifusi ke ruang epidural dan diabsorbsi
secara sistemik sehingga bekerja secara sentral (efek minor).

2.5.2 Farmakodinamik & Farmakokinetik Opioid


Opioid kerja sebagai agonis pada reseptor opioid yang tersebar luas di
seluruh tubuh termasuk otak (korteks serebral, thalamus, hypothalamus, amigdala,
ganglia basalis, batang otak, sistem aktivasi retikular) medulla spinalis dan
jaringan non neural seperti traktus gastrointestinal.
Farmakokinetik masing-masing obat opioid (kecepatan onset, lama kerja
kerja, dan derajat penyebaran rostral) tergantung lokasi, reseptor, pengaruh obat di
setiap rute, seperti yang digambarkan pada tabel 3.

Universitas Sumatera Utara


38

Tabel 4. Karakteristik Farmakokinetik Opioid22


Parameter Morfin Meperidin Fentanil SuFentanil AlFentanil RemiFentanil
pKa 7,9 8,5 8,4 8,0 6,5 7,26
% tak
terionisasi (pH 23 7 8,5 20 89 58
7,4)
Ikatan protein
35 70 84 93 92 66-93
(%)
Clearance
1050 1020 1530 900 238 4000
(ml/mnt)
Vd (L) 224 305 335 123 27 30
Waktu paruh
1,7-3,3 3-5 3,1-6,6 2,2-4,6 1,4-1,5 0,17-0,33
eliminasi (jm)
λow
(koefisien
1,4 39 816 1757 128 17,9
partisi octanol-
air)

Farmakodinamik opioid tertentu bergantung pada reseptor yang berikatan,


afinitas ikatan dan apakah reseptor tersebut teraktivasi. Ada empat reseptor utama
opioid,yaitu mu, kappa, delta dan sigma. Setiap opioid memiliki afinitas yang
berbeda berdasarkan jenis reseptornya, (tabel 4) dan setiap kelas berhubungan
dengan terapi khusus dan efek sampingnya.
Tabel 5. Klasifikasi dari Reseptor Opioid22
Reseptor Pengaruh Klinis Agonis
Analgesia supra spinal (µ-1) Morfin
*
Depresi Pernafasan (µ-2) Met-enkephalin
Mu *
Physical dependence Beta-endorfin
Kekakuan Otot Fentanil
Morfin
Nalbuphin
Sedasi
Kappa Butorfanol
Analgesia Spinal *
Dinorfin
Oksikodon
Analgesia *
Leu-enkephalin
Delta Behavioral *
Beta endorphin
Epileptogenik
Disforia Pentazosin
Sigma Halusinasi Nalorfin
Stimulasi Pernafasan Ketamin
Catatan : Hubungan antara reseptor, pengaruh klinik dan agonis adalah jauh lebih kompleks daripada yang
ditunjukkan pad tabel. Sebagai contoh, pentazosin adalah antagonis dari reseptor mu, agonis,parsial pada
reseptor kappa dan suatu agonis pada reseptor sigma
*
Opioid endogen

Universitas Sumatera Utara


39

Opioid intratekal mengalami metabolisme bersama CSF, mula kerja, lama


kerja analgesi serta penyebaran ke sefalad tergantung dari kelarutannya dalam
lemak. Yang rmasuk opioid yang larut dalam lemak (lipofilik) antara lain adalah :
Fentanil, SubFentanil.
Opioid lipofilik dapat melewati spinal cord kemudian berikatan dengan
reseptor spesifik dan non spesifik dan menyebar ke dalam plasma. Opioid lipofilik
akan berdifusi ke medulla spinalis dan ikatan pada reseptornya di kornu dorsalis
akan semakin cepat. Hal ini menyebabkan mula kerja yang cepat, dengan
penyebaran ke cephalad lebih minimal sehingga resiko depresi nafas berkurang,
tetapi lama kerja analgesianya relatif singkat. Morfin bersifat kurang larut dalam
lemak (lipofilik) sehingga lebih lambat tetapi lama kerja analgesianya lebih
panjang, penyebaran ke cephalad lebih meningkat sehingga resiko depresi nafas
lebih besar. Efek analgesia yang dihasilkan dari reseptor opioid terhadap lokasi
anatomi terlihat pada tabel 5.
Tabel 6. Distribusi Reseptor Opioid22

2.5.3 Efek Samping Opioid21,22


2.5.3.1 Pruritus
Efek samping penggunaan opioid intratekal untuk meningkatkan densitas
blok spinal maupun penanganan nyeri pasca bedah salah satunya adalah pruritus.
Insiden pruritus bervariasi sesuai dosis dan jenis opioid. Insiden lebih banyak

Universitas Sumatera Utara


40

terjadi pada opioid golongan hidrofilik. Bintartho melaporkan bahwa insiden


pruritus pada penggunaan Fentanil intratekal 25 mcg sebesar 5,6%.
Pruritus yang timbul pada pemberian opioid intratekal disebabkan oleh
aktivasi reseptor mu yang lokasinya di supraspinal dan kornu dorsalis medulla
spinalis, namun terjadinya pruritus juga dikaitkan dengan pelepasan histamin.
Biasanya pasien tidak mengeluh secara langsung kecuali bila ditanya . Efek
samping pruritus ini lebih sering dijumpai pada pasien hamil bila dbandingkan
yang tidak hamil. Menurut kepustakaan bahwa penambahan Fentanil intratekal
akan meningkatkan insiden pruritus tetapi tidak terhadap insiden mual dan
muntah. Penanganan pruritus yaitu dengan pemberian antagonis opioid naloxone
5 mcg / kg BB / jam atau dengan nalbuphine 2,5 mg atau antihistamin.

2.5.3.2 Mual Dan Muntah


Mual dan muntah merupakan hal yang umum dijumpai akibat anestesi
spinal pada bedah sesar. Namun efek samping ini terkadang sulit dibedakan
karena tindakan operasi atau kehamilan itu sendiri. Mual dan muntah yang terjadi
saat operasi bedah sesar berkaitan dengan hipotensi, nyeri visceral, dan pemberian
obat-obatan seperti oksitosin. Hipotensi biasanya terjadi pada 20 menit pertama
sesudah induksi anestesi spinal. Nyeri visceral terjadi saat uterus mengalami
eksteriorisasi, tarikan peritoneum, maupun saat penjahitan fasia. Hal ini mungkin
berkaitan dengan nyeri visceral yang menstimulasi afren vagal.
Opioid intratekal kecuali Meperidin bermanfaat dalam menurunkan
penggunaan obat anti muntah intraoperatif. Penggunaan kombinasi anestesi lokal
dengan Fentanil terbukti akan menurunkan ketidaknyamanan intraoperatif saat
penarikan peritoneum dan eksteriorisasi uterus sehingga menurunkan insiden
mual dan muntah intraoperatif. Secara umum, pasien yang mendapat morfin dan
buprenorfin mengalami insiden mual dan muntah yang lebih besar bila
dibandingkan yang mendapatkan infus Fentanil. Insiden mual – muntah
dilaporkan antara 5-35%.
Mual mungkin terjadi karena penyebaran rostral opioid dalam cairan
serebrospinal ke batang otak atau ambilan vascular dan dihantarkan ke pusat

Universitas Sumatera Utara


41

muntah serta “chemoreceptor trigger zone” . Strategi untuk mencegah dan


mengobati mual dan muntah yaitu dengan pemberian obat antiserotonergik
(misalnya ondansentron atau granisetron) maupun antidopaminergik (misalnya
metoklopramid atau droperidol), obat golongan antihistamin dan deksametason
juga efektif sebaga anti- muntah. Selain profilaksis obat anti mual dan muntah
intraoperatif perlunya pencegahan maupun penanganan hipotensi. Pemberian
efedrin secepatnya pada keadaan hipotensi juga bermanfaat untuk menurunkan
kejadian mual dan muntah.

2.5.3.3 Depresi Pernafasan


Efek samping depresi pernafasan yang terjadi saat pemberian neuraksial
opioid telah diteliti lebih kecil bila dibandingkan dengan pemberian intravena.
Efek samping depresi pernafasan adalah masalah paling serius yang terjadi pada
penggunaan opioid epidural maupun intratekal sejak pertama kali digunakan, yang
timbul dalam beberapa menit atau beberapa jam setelah pemakaian opioid dan
dapat terjadi pada morfin ataupun opioid yang larut dalam lemak.
Depresi pernafasan dapat terjadi oleh karena ambilan opioid lipofilik oleh
pleksus vena subarakhnoid dan epidural serta transport yang cepat melalui
sirkulasi sistemik ke pusat pernafasan di batang otak. Depresi nafas umumnya
berhubungan dengan usia tua, adanya penyakit paru, penambahan narkotik
sistemik, pemberian epidural toraks, dosis besar atau pasien dengan toleransi
terhadapa opioid yang rendah.
Menurut survey di Eopa, sekitar 70% responden mengatakan bahwa
pemberian opioid secara neuraksial di bangsal rawat bedah adalah aman, selama
pasien digolongkan dengan PS ASA I-II. Tetapi 60% menyatakan harus dilakukan
pemantauan terhadap pasien-pasien seperti itu di bangsal. Tingkat keamanan pada
pasien akan meningkat jika dilakukan pemantauan oleh tenaga medis terlatih di
bangsal rawat, terdapat pedoman tertulis untuk keadaan gawat darurat, seleksi
pasien yang baik, dosis opioid yang rasional, dan pemantauan frekuensi nafas dan
tingkat sedasi setiap jamnya. Untuk opioid hidrofilik, khususnya, periode
observasi rutin dianjurkan sampai 12 jam setelah penyuntikan opioid sedangkan

Universitas Sumatera Utara


42

opioid lipofilik periode observasi diturunkan menjadi 4-6 jam setelah


penyuntikan. Pasien obstetrik sedikit yang mengalami depresi pernafasan,
mungkin disebabkan oleh meningkatnya stimulasi dari pernafasan oleh
progesteron.

Gambar 13. Efek Samping Penggunaan Opioid21

2.6 Fentanil21,22,30,33
Fentanil merupakan derivat fenilpiperidin sintetik yang bersifat poten
lipofilik. Nama kimianya adalah N (-phenethyl-4-peperidyl) propionanilide.

Gambar 14. Rumus Molekul Fentanil21

Universitas Sumatera Utara


43

2.6.1 Farmakokinetik21,22
Fentanil merupakan agonis opioid sintetik yang sangat poten, dengan mula
kerja yang cepat (5 menit melalui spinal dan 10 menit melalui epidural) dan relatif
berlama kerja singkat. Sebagai suatu analgesik, Fentanil lebih kuat 75 sampai 125
kali dibandingkan morfin, hal ini dikarenakan kelarutan Fentanil yang tinggi.
Berat molekul Fentanil rendah dan sangat larut dalam lemak (lipofilik), sekitar
800 kali lebih larut lemak dibandingkan morfin, sehingga mula kerja lebih cepat
dan lama kerja singkatr. Karena solubilitasnya terhadap lemak yang tinggi, maka
Fentanil juga akan lebih cepat berikatan dengan reseptor opioid di kornu dorsalis.
“ Half life “ eliminasi terminalnya (190 menit) dan pemberian dosis tinggi yang
berulang bisa menyebabkan akumulasi. Fentanil tidak menghasilkan metabolit
aktif.

2.6.2 Farmakodinamik21,22
Metabolisme Fentanil seluruhnya terjadi di hati, hanya 6,5% diekskresikan
utuh melalui urin. Fentanil dimetabolisme oleh enzim N-metilase menjadi
norFentanil, hydroxyproprionyl-Fentanil dan hydroxyproprionyl–norFentanil.
NorFentanil secara struktural mirip dengan norMeperidin dan merupakan
metabolit utama Fentanil pada tubuh. NorFentanil diekskresi oleh ginjal dan
dapat dideteksi dalam urin 72 jam setelah dosis tunggal Fentanil intra vena (IV).
Sekitar 10% Fentanil yang tidak termetabolisme diekskresikan melalui urin.
Fentanil berikatan dengan enzim hati P-450 dan interaksi obat yang terjadi
berhubungan dengan aktivitas enzim ini.
Fentanil dikatakan aman karna lokalisasi segmental yang mengakibatkan
bioavaibilitas obat untuk bermigrasi ke rostral melalui cairan serebrospinal
sehingga mencapai pusat pernafasan medulla dengan cara berdifusi dan mengikuti
aliran.
Fentanil yang diberikan dosis tunggal intravena memiliki mula kerja yang
lebih cepat dan masa kerja obat yang lebih pendek dari pada morfin. Setelah
pemberian bolus iv, Fentanil tersebar terutama pada organ yang kaya vaskularisasi
seperti otak,paru-paru, dan jantung. Meskipun secara klinis Fentanil mempunyai

Universitas Sumatera Utara


44

onset yang cepat, terdapat perbedaan waktu antara puncak konsentrasi Fentanil di
plasma dan puncak penurunan gelombang pada EEG. Efek Fentanil yang
diberikan via darah terhadap otak membutuhkan waktu sekitar 6,4 menit.
Potensi yang lebih besar dan mula kerja yang lebih cepat merupakan
wujud kelarutan lemak yang lebih besar dari Fentanil terhadap Morfin, dalam hal
fasilitasi hantaran obat melewati barier sawar darah otak. Demikian juga, lama
kerja obat yang singkat dari pemberian Fentanil dosis tunggal merefleksikan
redistribusi yang cepat pada jaringan tempat obat ini tidak aktif seperti pada
jaringan lemak dan otot-otot rangka. Hal ini berhubungan dengan penurunan
konsentrasi obat di plasma.
Pada paru juga merupakan tempat penyimpanan obat inaktif sekitar 75%
dari Fentanil yang diberikan, sebagai akibat ambilan first fast jaringan paru.
Ketika pemberian Fentanil intravena secara multipel atau saat pemberian
obat melalui infus kontinu dapat terjadi penurunan konsentrasi obat inaktif pada
jaringan paru. Singkatnya, konsentrasi Fentanil di plasma tidak akan menurun
dengan cepat dan kerjanya sebagai analgetik sama halnya dengan depresi dari
ventilasi yang dapat terjadi lebih lama. Tanggapan terhadap kardiovaskular diatur
oleh batang otak di daerah nucleus solitaries, nucleus dorsal vagal, nucleus
ambigus, dan nucleus parabrachial. Reseptor opioid banyak terdapat di daerah
nucleus solitaries dan parabrachial, terutama reseptor u, sehingga bila diberikan
agonis akan menyebabkan hipotensi dan bradikardi. Selain itu juga terdapat
mekanisme analgesia yang dimiliki oleh daerah ventrolateral periaqueductal
gray. Reseptor yang terdapat pada jalur hipotalamus-pituitary-adrenal- yang
dimodulasi oleh opioid juga berperan pada stress response.

2.6.3 Interaksi Obat 18,21,22,37,39-44,84,85


Beberapa penelitian menyatakan bahwa penambahan Fentanil ke dalam
obat anestesi lokal akan meningkatkan penyebaran analgesia spinal dan
meperpanjang regresi analgesia spinal. Mula kerja blok simpatis pada
penambahan Fentanil intratekal terjadi lebih cepat, ditandai dengan pembeian
efedrin lebih awal untuk mempertahankan normotensi. Penambahan 10-25 mcg

Universitas Sumatera Utara


45

Fentanil terhadap anestesi lokal akan mempercepat mula kerja anestesi,


mengurangi dosis analgesik intraoperatif dan menghasilkan efek analgesik pasca
operasi selama beberapa jam tanpa pemanjangan blok motorik dan penundaan
pemulangan pasien.
Menurut Wang dkk,dari penelitiannya pada anjing, Bupivakain intratekal
tidak memiliki selektivitas terhadap jaras aferen maupun eferen dan Fentanil
intratekal bekerja secara sinergis meningkatkan efek Bupivakain pada jaras aferen
tanpa adanya efek pada jaras simpatis.
Hunt dkk, dalam penelitiannya melaporkan bahwa pemberian
membuktikan bahwa penambahan dosis rendah Fentanil (6,25 mcg) dengan
Bupivakain dapat meningkatkan analgesia intraoperatif dan memperpanjang
waktu yang dibutuhkan untuk penambahan obat analgesia jika dibandingkan
dengan kontrol NaCl fisiologis. Sebagai kesimpulan dari epenlitian tersebut
bahwa kombinasi Fentanil intratekal dengan obat anestesi lokal Bupivakain
hiperbarik terbukti dapat meningkatkan analgesia intraoperatif dibandingkan
dengan peberian Bupivakain hiperbarik tunggal. Pada penelitian tersebut
dilakukan penambahan Fentanil intratekal dengan dosis yang berbeda mulai dari
dosis 0, 7,5, 10, 12,5, dan 15 mcg dikombinasi dengan Bupivakain. Fentanil 0
maupun 7,5 mcg tidak menghasilkan efek klinis. Anestesi intraoperatif meningkat
secara bermakna pada kelompok Fentanil 12,5 dan 15 mcg. Dosis 12,5 – 25 mcg
Fentanil intratekal akan menurunkan ketidaknyamanan yang ditimbulkan oleh
tarikan peritoneum dan manipulasi uterus.
Bupivakain berpotensi untuk menyebabkan efek samping berupa
hipotensi, kelemahan motorik, retensi urin dan hilangnya sensasi nyeri oleh
karena tekanan pada kulit. Penggunaan Bupivakain akan memperlambat
mobilisasi pasien. Kombinasi optimal yang memiliki efek sinergis opioid tanpa
penundaan mobilisasi belum dapat ditentukan.
Sarvela dkk, melaporkan bahwa penggunaan 9 mg Bupivakain isobarik
maupun hiperbarik dengan Fentanil intratekal menghasilkan kualitas anestesi yang
hampir sama dan hilang lebih cepat pada Bupivakain hiperbarik. Pada penelitian
ini masih didapatkan insiden hipotensi yang masih lebih tinggi sekitar 58%,

Universitas Sumatera Utara


46

meskipun dengan dosis Bupivakain lebih rendah, pemberian efedrin profilaksis,


preloading kristaloid dan peninggian meja operasi lateral kiri 20 0, hal ini
disebabkan mungkin karena dosis besar Fentanil ( 20mcg ) berpngaruh pada
insiden tinggi hipotensi pada penelitian sebelumnya.
Menurut Belzarena , bahwa penambahan dosis rendah Fentanil (0,25
mcg/kg) akan memberikan analgesia intraoperatif yang sangat baik dengan
analgesia pasca operasi yang singkat serta efek samping sangat minimal.
Sedangkan bila dosis Fentanil ditingkatkan menjadi 0,5 -0,75 mcg / kg analgesia
pasca operasi akan lebih lama tetapi perubahan respirasi yang terjadi dan insiden
efek sampingnya akan meningkat. Belzarena menyimpulkan bahwa penambahan
Fentanil ke dalam Bupivakain 0,5% hiperbarik akan meningkatkan kualitas
analgesia intraoperatif, memperpanjang blok saraf sensorik dan memperlambat
nyeri post operatif tanpa meningkatkan efek terhadap ibu dan janin.
Karakan dkk melaporkan bahwa penambahan Fentanil intratekal pada
Bupivakain menyebabkan regresi dua segmen jadi lebih memanjang dibandingkan
dengan Bupivakain saja.
Biswas dkk mengemukakan dalam penelitiannya bahwa penambahan
opioid Fentanil 12,5 mcg secara intratekal ke dalam 10 mg Bupivakain 0,5%
terbukti menghasilkan kualitas anestesi selama operasi yang lebih baik dan secara
bermakna mengurangi kebutuhan analgesia pada awal pasca operasi dengan
kepuasan bagi ibu dan janin.
Insiden hipotensi berat (tekanan darah sistolik < 90 mmHg) pada
pemakaian Fentanil intratekal dilaporkan oleh Siddik Sayid lebih jarang , yaitu
22%. Mekanisme Fentanil dapat menurunkan insiden hipotensi berat ini masih
belum jelas, mungkin akibat penurunan tingkat nyeri visceral atau kebutuhan
Fentanil intravena intraoperatif.
Bintartho, 2010, pada penelitiannya menggunakan Fentanil intratekan 25
mcg dikombinasi dengan Bupivakain 0,5% 7,5 mg mendapatkan blok motorik dan
sensorik yang sangat baik tanpa adanya depresi nafas dengan angka kejadian
hipotensi yang rendah (24,1%) jika dibandingkan dengan penggunaan Bupivakain
0,5% hiperbarik 12,5 mg dengan angka kejadian hipotensi sebesar 42,6%.

Universitas Sumatera Utara


47

2.7 Meperidin21,22,30,53
Meperidin adalah sintetik opioid yang pertama kali digunakan sebagai
analgesia pada manusia sejak pertama kali diperkenalkan pada tahun 1939 oleh
Eisleb dn Schaumann. Rumus kimia dari Meperidin adalah etil – 1- metal – 4 –
fenilpiperidin – karboksilat. Meperidin adalah agonis opioid sintetik, derivat dari
phenylpiperidin yang bersifat moderate lipofilik / intermediate lipofilik. Sesuai
rumus bangunnya Meperidin hampir sama dengan atropine, sehingga beberapa
efek atropin juga dimiliki oleh Meperidin seperti takikardi, midriasis dan
antispasmodik.

Gambar 15. Rumus Molekul Meperidin21

Meperidin secara intratekal yang diberikan sebagai agen tunggal


dilaporkan pertama kali pada literature oleh Mircea, tahun 1982, di Prancis yang
selanjutnya dilaporkan penelitian-penelitian Meperidin yang dikombinasikan
dengan obat anestesi lokal. Meperidin intratekal berikatan dengan reseptor mu
dan reseptor kappa, di mana reseptor-reseptor ini juga berperan dalam
menurunkan ambang rangsang menggigil. Meperidin juga akan menstimuli
reseptor – α2 dimana jika reseptor ini distimuli akan meningkatkan pelepasan
norepinefrin dan akan mengantagonis reseptor NMDA (N-methyl d aspartate),
sehigga Meperidin dapat menurunkan ambang rangsang menggigil dua kali
dibanding ambang vasokontriksi. Hal inilah yang mendasari Meperidin dapat
efektif sebagai terapi menggigil. Terdapat beberapa analog dari Meperidin antara
lain : Fentanil, SuFentanil, AlFentanil dan RemiFentanil.

Universitas Sumatera Utara


48

Prinsip penggunaan Meperidin adalah untuk analgesia selama persalinan


dan kelahiran serta setelah pembedahan. Kekuatan analgesia Meperidin adalah
sekitar sepersepuluh dari morfin, dengan 80 sampai 100 mg IM Meperidin sama
dengan sekitar 10 mg IM Morfin.

2.7.1 Farmakokinetik21,22
Jalur pemberian Meperidin sama seperti dengan morfin. Pada pemberian
secara intramuskuler, Meperidin diabsorbsi secara cepat dan komplit, dimana
kadar puncak dalam plasma dicapai dalam waktu 20- 60 menit. Bioavailabilitas
secara oral mencapai 45%-75%. Meperidin 64% terikat pada protein plasma,
dengan lama kerja 2-4 jam yang membuatnya menjadi agonis opioid dengan kerja
lebih singkat dibandingkan morfin. dan waktu paruh eliminasinya adalah 3-4 jam.
Waktu paruh penggunaan Meperidin intratekal pada manusia pendek; 6 jam
setelah penyuntikan Meperidin intratekal hanya 0,4% dari dosis awal yang
terdeteksi pada CSF di lumbal. Konsentrasi Meperidin pada C 7-T1 turun dengan
cepat, hal ini meminimalisir kemungkinan terjadinya delayed depresi respirasi.
Efek sistemik lama timbul pada pemberian Meperidin intratekal karena sifat
Meperidin yang lebih cepat larut dalam lemak yang menyebabkan cepatnya efluks
Meperidin ke dalam sistem vena dan limfatik.
Rata – rata metabolisme Meperidin adalah 17% per jam. Pada suatu
penelitian perbandingan, diporelah lama kerja analgesia Meperidin intratekal
adalah 4,93 ±2,03 jam dan lama kerja morfin intratekal adalah 23±7,19 jam.

2.7.2 Farmakodinamik21,22
Meperidin memiliki efek analgesia, sedasi, euphoria, dan depresi
pernafasan. Efek yang menonjol adalah analgesia. Pada pemberian secara
intramuskuler dengan dosis 50 – 75 mg, akan meningkatkan ambang nyeri sampai
50%. Analgesia timbul oleh karena terjadinya penghambatan pengeluaran
substansi P di jalur nyeri dan traktus gastrointestinal.
Meperidin 80% dimetabolisir di hati melalui proses hidrolisis dan
dimetilasi menjadi Normeperidin dan asam Meperidinat. Setelah mengalami

Universitas Sumatera Utara


49

konjugasi akan dikeluarkan melalui ginjal. Sebanyak 5% - 10% Meperidin


diekskresi melalui ginjal tanpa mengalami perubahan, sedangkan kurang dari 10%
diekskresi melalui sistem bilier. Menurunnya fungsi ginjal akan menyebabkan
terakumulasi bentuk norMeperidin. Normeperidin memiliki waktu paruh 15 jam
(<35 jam pada pasien dengan gagal ginjal) dan dapat dideteksi selama 3 hari
setelah pemberian. Normeperidin dapat menyebabkan stimulasi dari CNS.
Toksisitas dari Normeperidin dapat menyebabkan terjadinya mioklonus dan
kejang.
Pada sistem kardiovaskular Meperidin berpengaruh terhadap tekanan
darah yang akan mengalami sedikit penurunan pada pemberian Meperidin dosis
tinggi. Selain itu juga menyebabkan hipotensi orthostatik oleh karena hilangnya
refleks sistem saraf simpatis kompensatorik. Pada kenyataannya, hipotensi
setelah injeksi Meperidin lebih sering terjadi dan lebih berat daripada morfin
dengan dosis yang sebanding. Pada penggunaan dosis besar, kontraktilitas jantung
akan menurun, menurunkan volume sekuncup dan tekanan pengisian jantung akan
meningkat. Meperidin juga menyebabkan peningkatan laju jantung (struktur
kimia Meperidin mirip dengan atropin). Meperidin juga menyebabkan pelepasan
dari histamine pada beberapa individu dan dapat menyebabkan tahanan perifer
sistemik arterial blood prssure.
Pada sistem respirasi, frekuensi nafas kurang dipengaruhi. Depresi
pernafasan terjadi terutama karena penurunan volume tidal dan penurunan
kepekaan pusat nafas terhadap CO2. Selain itu juga pemakaian Meperidin akan
dapat mengurangi spasme bronkus.
Pada otak, penggunaan Meperidin (dan opioid pada umumnya) akan
mengurnagi konsumsi oksigen otak, aliran darah otak dan menurunkan tekanan
intrakranial.
Pada traktus gastrointestinal Meperidin diabsorpsi dengan baik,tidak
seperti morfin, meskipun demikian, Meperidin hanya sekitar satu setengah kali
efektivitasnya secara oral dibandingkan jika diberikan secara IM.
Meperidin termasuk obat yang unik karena dapat memberikan efek
analgesia opioid dan efek anestesi lokal secara bersamaan. Meperidin adalah

Universitas Sumatera Utara


50

opioid yang sifat kelarutan lemaknya intermediat, yang juga dapat ditambahkan
pada obat anestesi lokal secara intratekal dan biasa digunakan selama bedah sesar
karena dapat sebagai analgesia segera pasca operasi.
Meperidin juga telah sering digunakan untuk terapi menggigil pasca
anestesi. Mekanisme Meperidin dalam mengatasi menggigil pasca anestesi
diduga disebabkan karena efek obat pada reseptor kappa (diperkirakan terjadi
pada sekitar 10% dari aktivitasnya) dan penurunan ambang batas aktivitas
menggigil yang diinduksi oleh obat ini (tidak terjadi pada alFentanil, klonidin,
propofol atau anestesi volatil). Penggunaan dosis kecil Meperidin (10-25 mg)
setiap 5-10 menit efektif untuk mengatasi menggigil pasca anestesi. Dosis
Meperidin yang digunakan sebesar 0,3 mg / kgBB dan 0,5 mg/kgBB ternyata
dapat efektif untuk mencegah menggigil pasca anestesi.

2.7.3 Interaksi Obat21,22,44-48,53


Kombinasi Meperidin dengan obat-obat penghambat monoamin oksidase
(MAO inhibitors) dapat mengakibatkan henti nafas, hipotensi atau hipertensi,
koma dan hiperpireksia. Pemakaian secara bersama-sama dengan barbiturat,
benzodiazepin dan obat-obat depresan sistem saraf pusat akan mempunyai efek
yang sinergis terhadap sistem kardiovaskuler, respirasi dan efek sedasi.
Monoamin oksidase bertanggung jawab terhadap metabolisme
intraneuronal dari simpatomimetik amin. Penghambat MAO bekerja menghambat
deaminasi oksidatif dari pembentukan amin secara alamiah. Ada dua isoenzim
MAO yaitu tipe A dan B. MAO A selektif terhadap serotonin, dopamin dan
norepinephrin, sedangkan MAO B selektif untuk tiramin dan feniletilamin. Obat
penghambat MAO yang ada saat ini seperti fenelzin, isokarboksazid dan
transilpromin adalah penghambat MAO nonselektif, dimana obat ini akan
berpengaruh juga terhadap enzim selain monoamine oksidase.
Efek samping yang dapat terjadi adalah hipotensi ortostatik, agitasi,
tremor, kejang, kaku otot, retensi urin, parestesia dan jaundice. Penggunaan opioid
pada pasien dengan terapi penghambat MAO harus dengan perhatian khusus,
sejak reaksi yang serius akibat pemberian opioid pernah dilaporkan, meskipun

Universitas Sumatera Utara


51

jarang.Pemberian Meperidin dengan obat-obatan anti depresan dapat mencetuskan


sindroma serotonin yanitu ketidakstabilan sistem saraf otonom, yang ditandai
dengan takikardi, diaphoresis, perubahan perilaku, agitasi dan perasaan bingung.
Reaksi yang serius berhubungan dengan pemberian Meperidin khususnya yaitu
terjadinya hipertermia, hipertensi, kejang dan koma.
Meperidin adalah opioid yang menjadi salah satu pertimbangan untuk
menjadi opioid pilihan secara intratekal. Alasan utama mengapa Meperidin dipilih
sebagai salah satu agen opioid yang juga banyak digunakan pada anestesi spinal
adalah karena lama kerja kerjanya yang lama, memberikan efek analgesia segera
pasca operasi yang baik dan dengan biaya yang terjangkau cukup adekuat untuk
pembedahan jika diberikan secara intratekal. Beberapa penelitian tentang
penggunaan Meperidin secara intrtekal telah pernah dilakukan.Pada penelitian
Atalay dkk, 2010 terbukti bahwa penambahan Meperidin 25 mg dengan anestesi
lokal plain Bupivakain 5 mg hemodinamik cukup stabil, minimal efek samping
tanpa mengurangi kualitas anestesi dan pembedahan, serta ketidaknyamanan
pasien. Pada penelitian Yu,dkk membuktikan bahwa Meperidin 10 mg yang
ditambahkan pada Bupivakain 0,5% hiperbarik 10 mg secara intratekal terbukti
memperpanjang lama kerja analgesia pasca operasi.

Universitas Sumatera Utara


2.8 Kerangka Teori

52
Universitas Sumatera Utara
53

2.9 Kerangka Konsep

Bupivakain 0,5%
7,5 mg hiperbarik
+ Fentanil 25 mcg

MULA KERJA LAMA KERJA


ANALGESIA

Bupivakain 0,5%
7,5 mg hiperbarik
+ Meperidin 25 mg

= VARIABEL BEBAS

= VARIABEL TERGANTUNG

Universitas Sumatera Utara

Anda mungkin juga menyukai