Anda di halaman 1dari 21

UNIVERSITAS INDONESIA

Perempuan Samurai: Sejarah yang Terlupakan

MAKALAH NON-SEMINAR

PUSPITA CIRANA
1006715004

FAKULTAS ILMU PENGETAHUAN BUDAYA


PROGRAM STUDI JEPANG

DEPOK
JANUARI 2014

Perempuan samurai ..., Puspita Cirana S, FIB UI, 2014


2

Perempuan samurai ..., Puspita Cirana S, FIB UI, 2014


3

Perempuan samurai ..., Puspita Cirana S, FIB UI, 2014


Perempuan Samurai: Sejarah yang Terlupakan

Puspita Cirana dan Endah H. Wulandari

Program Studi Jepang, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Indonesia, Kampus UI, Depok, 16424, Indonesia

pita_puta@yahoo.com

Abstrak

Pemikiran bahwa perempuan merupakan bawahan dari laki-laki, merupakan sebuah faktor yang menghalangi
masyarakat Jepang untuk menghormati perempuan. Perempuan memiliki stereotip sebagai makhluk yang lemah,
berkepribadian buruk dan sebagainya. Stereotip inilah yang membuat perempuan Jepang mencoba untuk
mematahkan konstruksi masyarakatnya. Perempuan dalam masyarakat Jepang, seperti yang tercatat dalam sejarah
Jepang, hanya berada di dalam rumah atau di balik layar, peran mereka hanya sebagai ibu rumah tangga, janda,
pelacur, ibu dan sebagai anak. Dikatakan bahwa perempuan telah dipisahkan dari perang, pemerintahan dan
pendidikan. Di sisi lain, laki-laki selalu berada di barisan depan, memegang tanggung jawab yang besar dan
mengatur sebuah negara. Hasilnya, perempuan telah dijauhkan dari sejarah dan dianggap tidak penting. Meskipun
demikian, studi belakangan menunjukan bahwa ada peran perempuan sebagai samurai. Kisah mereka telah
disembunyikan dan telah lama terlupakan, tetapi eksploitasi dari beberapa samurai terkenal seperti Tomoe Gozen dan
Myorin-ni, membuka beberapa perempuan yang telah melindungi istana maupun melawan pasukan kekaisaran
menjadi samurai terkenal dalam sejarah Jepang, dan kecerdasan dan keberanian mereka dikenal di seluruh dunia.

Samurai Women: The Forgotten History

Abstract

The thought of Women were in all ways subordinate to men, is a factor which prevented Japanese society to respect
women. Women was being stereotype as weak, ill-nature and more. These kind of stereotype makes Japanese women
tried to break such construction. Women in Japanese Society as recorded in history of Japan, have been influential
both on the household and behind the scenes, their roles are only as a house wives, widows, prostitute, mother, and
daughter. It is said that women has been excluded from war, government, and education. On the other party, men has
been always on the first line, doing a great deals of responsibility and being in charge of managing a country. As a
result, women has been isolated from history and being considered as unimportant things. Even so studies reveals
there are female role in samurai warfare. Their story used to be hidden and long forgotten, but the exploits of famous
female warriors such as Tomoe Gozen and Myorin-ni, uncovering several womens who defended castles and
fighting the imperial forces became the most famous female samurai warriors in the whole of Japanese history and
widely known all over the world for their bravery and intelligence.

Keynotes: Japanese; Samurai; Society; Stereotype; Women

Perempuan samurai ..., Puspita Cirana S, FIB UI, 2014


Pendahuluan

“Negeri Sakura”, begitulah sebutan dari sebuah negara di benua Asia yang sangat maju, yaitu
Jepang. Keberhasilan Jepang dalam bidang teknologi, membuat produk dari negara ini dikenal
dan dipakai di seluruh dunia. Dewasa ini, bila kita menyebut Jepang, banyak hal yang terlintas di
pikiran kita, mulai dari bunga sakuranya yang terkenal dengan keindahannya; film animasi
Jepang yang menyebar di seluruh dunia; mobil dan motor produksi Jepang, seperti Toyota,
Honda, dan sebagainya.

Bila Amerika membuat sosok hero seperti Superman dan Batman , Jepang tetap
mempertahankan sosok hero tradisionalnya seperti Samurai dan Ninja. Sampai sekarang, banyak
film Jepang menggunakan sosok Samurai sebagai karakter utamanya, sebagai contoh film The
Last Samurai, Seven Samurai, Kagemusha, 13 Assassins, dan sebagainya. Tokoh pemegang
pedang tersebut menaikan popularitas film di Jepang, dan beberapa di antaranya telah berhasil
meraih penghargaan di luar negeri.

Bila dilihat dari sisi etimologinya, samurai berasal dari kata saburau yang berarti melayani. Kata
ini digunakan pada zaman dahulu untuk menyebut pelayan pribadi. Hal ini kemungkinan
dikaitkan dengan jiwa kesetiaan samurai kepada tuannya. Hubungan tuan besar dengan pengikut
ini sangat mirip dengan ikatan tuan dengan budak pada zaman feodal. (Varley, 1970: xiii). Kata
Samurai kemudian berkembang dan memiliki arti prajurit bersenjata yang mengabdi pada kaum
bangsawan. Sumber lain menyatakan bahwa, samurai disebut sebagai mono-no-fu atau bushi,
yang secara harfiah berarti lelaki yang berurusan dengan benda, benda yang dimaksud adalah
senjata. Kata ini muncul sejak zaman Heian. (Kure, 2002: 7).

Samurai menjalankan kehidupan sesuai dengan konsep bushido atau yang dikenal sebagai “jalan
samurai”. Ajaran tersebut merupakan kehormatan dan kebebasan dari ketakutan akan kematian.
Para samurai akan bertarung tanpa rasa takut dan rela mati demi mempertahankan
kehormatannya sebagai seorang Samurai. Mereka bahkan rela membunuh dirinya sendiri, karena
akan dianggap lebih terhormat dibandingkan harus menyerah kepada musuhnya. Salah satu cara
bunuh diri yang dilakukan samurai dikenal sebagai seppuku, yaitu dengan cara memotong dan
mengeluarkan isi perut, istilah lain dari seppuku dikenal sebagai hara-kiri. Awalnya hara-kiri
dilakukan untuk menghindari penangkapan oleh pihak musush dalam peperangan. Para samurai

Perempuan samurai ..., Puspita Cirana S, FIB UI, 2014


meyakini bahwa tertangkap dalam peperangan merupakan hal yang hina, sehingga mereka
melakukan ritual hara-kiri tersebut. Tetapi, dalam perkembangan lain, yaitu sejak abad ke-17,
hara-kiri menjadi salah satu vonis hukuman yang dijatuhkan kepada samurai yang kalah dari
musuhnya atau melanggar hukum (Varley, 1970: 35). Dengan demikian, istilah samurai identik
dengan laki-laki.

Namun, dalam penelitian yang belakangan, “muncul” bahwa samurai ternyata tidak identik
dengan kaum laki-laki semata, karena ternyata perempuan pun bisa menjadi samurai. Penulisan
Jurnal ini bermaksud untuk mengungkap eksistensi perempuan samurai dalam sejarah Jepang.

Metodologi Penelitian

Metodologi penelitian yang digunakan dalam penulisan Jurnal ini adalah dengan analisis data
sekunder, dengan mempelajari, menganalisa hasil penelitian yang sudah ada dan
menginterpretasikan kembali. Pengumpulan data dilakukan dengan studi kepustakaan. Sumber
bacaan yang digunakan yaitu buku, artikel, jurnal, dan sumber yang diunduh dari internet. Data
yang terkumpul akan dianalisa dengan memfokuskan pada teori gender struktural-fungsional,
yaitu teori yang berangkat dari asumsi bahwa suatu masyarakat terdiri atas beberapa bagian yang
saling memengaruhi. Teori ini mencari unsur mendasar yang berpengaruh di dalam suatu
masyarakat, mengidentifikasi fungsi setiap unsur, dan menerangkan bagaimana fungsi unsur-
unsur tersebut sesuai dengan posisi seseorang dalam sistem masyarakat. (Marzuki, 2007: 4).

Pengikut teori ini merujuk pada masyarakat pra industri yang terintegrasi di dalam suatu sistem
sosial. Laki-laki berperan sebagai pemburu dan lebih banyak berada di luar rumah serta
bertanggung jawab untuk membawa makanan kepada keluarga. Disisi lain, kaum perempuan
bertugas sebagai peramu yang terbatas di sekitar rumah saja, dan membesarkan anak. Pembagian
kerja seperti ini telah berfungsi dengan baik dan berhasil menciptakan kelangsungan masyarakat
yang stabil. Dalam masyarakat ini stratifikasi peran gender sangat ditentukan oleh jenis kelamin.
Berkaitan dengan pemikiran Joan Kelly, yang menyatakan bahwa, sepanjang sejarah, perempuan
selalu dipisahkan dari aktivitas perang, politik, kesejahteraan, dan pengetahuan, sebaliknya kaum
laki-laki difungsikan dalam aktivitas tersebut. (Kelly, 1996: 810).

Perempuan samurai ..., Puspita Cirana S, FIB UI, 2014


Muncul dan Berkembangnya Kelas Samurai: dari periode muromachi sampai periode Edo

Munculnya samurai dimulai dengan lahirnya kelas masyarakat Jepang yang memiliki keahlian
sebagai prajurit, yang dikembangkan setelah reformasi Taika1 di tahun 646. Dalam Reformasi
Taika di tahun 645, Kaisar Kotoku dibantu Fujiwara no Kamatari melakukan pembaharuan
dengan mengeluarkan peraturan yang berkiblat kepada kebudayaan Cina, antara lain menghapus
kepemilikan tanah pribadi, membagi wilayah menjadi bagian daerah dan pusat, mendata jumlah
penduduk dan membuat Koseki 2 , dan memperbarui sistem pajak. Peraturan baru ini membuat
banyak petani yang menjual tanahnya dan bekerja hanya sebagai petani penggarap tanah orang
lain (Sansom, 1963: 57).

Selanjutnya, sejak menyebarnya dengan cepat agama Budha yang dimulai dari Nara pada tahun
550, mengkhawatirkan Kaisar Kanmu. Dengan semakin menguatnya pengaruh agama Buddha di
Nara, dan untuk menghindari dominasi agama Budha tersebut, maka pada tahun 794, Ibu kota
Jepang dipindahkan dari Nara ke Kyoto (Henshall, 2004: 27). Pada saat itu terdapat empat
keluarga terkemuka yaitu Minamoto, Taira, Fujiwara dan Tachibana. Pada periode Heian 3
tersebut, keluarga Fujiwara memegang peranan besar dalam dinsati kekaisaran. Dalam periode
tersebut, dibawah rezim kekaisaran, kehidupaan kaum bangsawan di pusat kekuasaan, mengalami
kemakmuran, tetapi sebaliknya, pemerintah daerah yang dikirim dari pusat selalu menindas
masyarakat setempat. (Sansom, 1963: 99).

Mereka melakukan kebijakan yang antara lain menaikan pajak tanah telah membuat pemilik
tanah setempat merasa tertekan, pada akhirnya terjadi ketegangan antara kaum bangsawan istana
dengan tuan tanah setempat, dan memicu pemberontakan di berbagai daerah. Para pemilik tanah
kemudian mempersenjatai petani, pengrajin dan penduduk kota untuk melindungi tanah-tanah
mereka. Pembentukan pam swakarsa inilah awal lahirnya kelas prajurit yang nantinya dikenal
sebagai samurai.

1
Reformasi yang dilakukan pada tahun 645 untuk merubah Jepang agar berkiblat ke Cina, dan mencontoh sistem
masyarakat dan pemerintahan di Cina
2
Daftar keluarga / Kartu Keluarga
3
Periode Heian dimulai ketika pusat ibukota yang menjadi pusat pemerintahan dipindahkan dari Nara ke Kyoto,
dan pada saat itu Jepang mulai dikuasai oleh keluarga bangsawan (794-1185).

Perempuan samurai ..., Puspita Cirana S, FIB UI, 2014


Akibat pemberontakan ini, Kaisar secara perlahan mulai kehilangan pengaruhnya di berbagai
daerah. Kemudian, para samurai yang memiliki kekuatan pun mengisi kekosongan kekuasaan,
sampai akhirnya pada tahun 1156 samurai mulai menguasai politik dan militer di berbagai daerah
tersebut (Sansom, 1963: 150). Dalam waktu yang hampir bersamaan muncul dua klan samurai
besar yang saling bertikai dan memperebutkan kekuasaan, yaitu klan Minamoto4 dan klan Taira5
(Sansom, 1963: 234). Kompetisi ini akhirnya pecah menjadi perang hebat yang disebut perang
Gempei6.

Dalam perang Gempei Keluarga Taira yang dipimpin oleh Kiyomori, berhasil mengalahkan
keluarga Minamoto yang dipimpin oleh Yoshitomo. Selanjutnya, bahkan keluarga Taira
menyingkirkan keluarga Fujiwara dari lingkungan kekaisaran Jepang. Seluruh keluarga
Minamoto dibunuh, kecuali Yoritomo dan Yoshitsune, karena ibu Yoshitsune dijadikan selir oleh
Kiyomori. Namun secara diam-diam Yoritomo dan Yoshitsune membentuk pasukan untuk
membalas kekalahan dari keluarga Taira. Akhirnya keluarga Taira dapat dikalahkan oleh
Yoshitsune (Sansom, 1963: 289-305). Berikutnya, karena takut akan kehebatan saudaranya,
Yoritomo pun membunuh Yoshitsune dan Sembilan pengikutnya dengan 30.000 pasukan
miliknya (Varley, 1970: 85).

Setelah itu, Yoritomo menobatkan diri sebagai penguasa baru dan dimulailah masa keshogunan7
dalam sejarah Jepang. Pada masa ini, posisi shogun tepat dibawah Kaisar, dan bertindak sebagai
penguasa. Yoritomo menggunakan sistem pemerintahan militer atau Bakufu. Ia juga memberikan
tanah kepada kaum militer yang dijadikan pengikut. Sebagai shogun, Yoritomo menghapuskan
shoen 8 yang membuat para shugo 9 mulai menguasai daerah propinsi sebagai daimyo 10 . Para
daimyo ini kemudian membentuk prajurit bersenjata sendiri di daerah kekuasaan mereka, yang
membuat pemerintahan Bakufu atau pemerintahan feudal pertama dalam sejarah Jepang semakin
melemah.

4
Dikenal sebagai Klan Genji yang merupakan keluarga keturunan Kaisar Seiwa
5
Dikenal sebagai Klan Heike yang merupakan keluarga keturunan Kaisar Kanmu
6
Perang yang terjadi pada tahun 1180-1185, dikarenakan adanya perebutan kekuasaan antara klan Genji dengan
Klan Heike
7
Masa saat pemerintahan dikuasai oleh Shogun, yang posisinya berada tepat dibawah Kaisar dan memiliki kendali
atas Kaisar.
8
Tanah milik pribadi
9
Polisi daerah
10
Jabatan untuk seseorang yang memiliki kekuasaan di suatu wilayah dan juga sebagai pemilik tanah.

Perempuan samurai ..., Puspita Cirana S, FIB UI, 2014


Di saat pemerintahan bakufu melemah, kaisar Daigo mengangkat Ashikaga Takauji sebagai
shogun dan mendirikan bakufu kedua di Kamakura. Selanjutnya pada saat Ashikaga Yoshimitsu,
cucu dari Takauji, diangkat sebagai shogun, ia berhasil mendamaikan daerah utara dan selatan,
yang tadinya sempat berselisih. Tetapi, saat kematiannya, Jepang kembali berselisih. Berikutnya,
pada masa pemerintahan shogun Ashikaga Yoshimasa, konflik pemerintah pusat dengan para
daimyo semakin memuncak, dan akhirnya pecah perang yang disebut sebagai perang Onin.
Perang onin tersebut terjadi di perbatasan Kyoto, dan inilah awal dari zaman peperangan dalam
negeri atau disebut sengoku jidai11.

Pada tahun 1565 Oda Nobunaga, seorang daimyo terkuat saat itu mengambil kesempatan untuk
menjatuhkan keluarga Ashikaga dengan membunuh Shogun Ashikaga Yoshiteru. Selanjutnya
pada tahun 1573, Oda Nobunaga mengusir anak dari Yoshiteru, yaitu Ashikaga Yoshiaki keluar
dari Kyoto. Untuk selanjutnya kepemimpinan dipegang oleh Oda Nobunaga. Di masa
pemerintahannya, Nobunaga memerintahkan Toyotomi Hideyoshi untuk menundukan para
daimyo di bagian barat dan memerintahkan Tokugawa Ieyasu untuk mengurus bagian timur dan
utara. Namun pada tahun 1582, Nobunaga sendiri dibunuh oleh pengikutnya, yaitu Akechi
Mitsuhide. Nobunaga kemudian digantikan oleh Toyotomi Hideyoshi. Ketika Hideyoshi
meninggal di tahun 1598, ia meninggalkan anaknya yang baru berusia 5 tahun dan tentu saja
belum dapat memegang kekuasaan. Akibatnya, terjadi perebutan kekuasaan kembali, peristiwa
ini dikenal sebagai Sekigahara12. Perang ini dimenangkan oleh Tokugawa Ieyasu, yang kemudian
memindahkan ibu kota ke Edo, dan dimulai periode Edo Bakufu.

Di bawah keshogunan Tokugawa, dibuat aturan baru untuk mengontrol para daimyo yang disebut
sankin kotai 13 . Selanjutnya, dinasti Tokugawa juga melakukan politik sakoku 14 . Tahun 1646,
Jepang mengalami krisis ekonomi 15 dan menyebabkan para daimyo jatuh miskin. Mereka

11
Zaman terjadinya perang dalam negeri dengan munculnya perang Onin yang dimulai pada tahun 1467-1573.
12
Perang yang terjadi pada tahun 1600, dalam perebutan kekuasaan antara Tokugawa Ieyasu melawan Ishida
Mitsunari.
13
Peraturan yang mewajibkan para daimyo untuk mengunjungi Edo dan menetap beberapa waktu.
14
Penutupan Jepang sejak tahun 1639-1854 yang melarang masyarakat Jepang pergi ke luar Jepang, dan melarang
orang asing masuk ke Jepang, dengan tujuan mempertahankan kebudayaan dan nasionalisme negara Jepang..
15
Krisis yang terjadi saat Jepang di pimpin oleh Tokugawa Tsunayoshi yang memakai uang negara secara berlebihan
untuk hal yang tidak penting, seperi membangun kuil, membangun istana untuk istri-istrinya dan sebagainya,
sehingga Jepang mengalami krisis ekonomi.

Perempuan samurai ..., Puspita Cirana S, FIB UI, 2014


menyalahkan pemerintah atas kejadian ini. Disisi lain, berkembangnya kapitalisme Barat,
memaksa mereka untuk membuka isolasi Jepang.

Akhirnya tahun 1868 dimulailah serangkaian reformasi ekonomi, sosial dan budaya yang disebut
restorasi Meiji. Serangkaian kebijakan baru ini benyak memojokan kaum samurai, dan
menimbulkan keresahan di kalangan samurai, yang akhirnya mucul berbagai pemberontakan dari
kaum samurai. Pada tahun 1877 pecah pemberontakan samurai terbesar di Satsuma, yang
dipimpin oleh Saigo Takamori. Pemerintah “baru” kemudian berhasil memadamkan pasukan
pemberontakan tersebut, sehigga berakhirlah era samurai.

Setelah membaca sejarah singkat Jepang di atas, samurai selalu diidentikkan sebagai seorang
prajurit laki-laki yang gagah berani dalam menghadapi segala hal. Tetapi, apakah benar bahwa
samurai ini identik dengan laki-laki? Selama ini, penulisan sejarah dibangun dalam kacamata
laki-laki semata, perempuan dalam sejarah hanya ditampilkan sebagai pelengkap, yang perannya
hanya dalam ranah domestic. Joan Kelly mengatakan bahwa, “Throughout historical time,
women have been largely excluded from making war,…” (Kelly, 1996: 810), sepanjang periode
sejarah, perempuan telah dipisahkan dari kegiatan berperang. Hal ini lah yang membuat banyak
masyarakat mengira bahwa perempuan tidak pernah ikut serta dalam perang. Hampir seluruh
peristiwa yang tertulis dalam sejarah sangat didominasi oleh laki-laki sebagai pemeran utamanya.
Tetapi, sebenarnya ada bagian yang terlupakan dalam sejarah Jepang, yaitu peran perempuan
sebagai samurai. Mengapa hal ini terlewatkan? Faktor apa yang membuatnya demikian?

Kedudukan Perempuan di Jepang

Ellis Amdur menyatakan, bahwa peran perempuan dalam kisah-kisah Jepang hanyalah sekedar
peran-peran romantis; peran tragis saat perempuan melakukan bunuh diri atas kematian
suaminya; istri setia yang ditangkap sebagai tawanan; ibu yang membesarkan anak laki-lakinya
untuk membalas dendam bagi kematian ayahnya; perempuan penyayang yang “lemah” dan
“feminism”; dan ada juga perempuan penggoda prajurit yang sedang bertugas, sehingga prajurit
tersebut lalai dalam tugasnya. Selain itu, ada pula kisah mengenai kaum perempuan yang dibunuh
secara masal, atau ditangkap sebagai pampasan perang perang, bahkan dijadikan pemuas nafsu
dan akhirnya akan dibunuh (Amdur,Ellis.Journal of Asian Martial Arts, vol. 5, no. 2, 1996).

10

Perempuan samurai ..., Puspita Cirana S, FIB UI, 2014


Nasib perempuan Jepang pada saat itu, tidak semuanya seperti yang dinyatakan oleh Ellis Amdur
diatas. Ada banyak kisah perempuan yang melakukan tindakan kepahlawanan, hanya saja, kisah-
kisah mereka tampaknya tidak dipublikasikan, atau mungkin dirahasiakan. Jepang dikenal
dengan patrinialismenya, laki-laki yang mengendalikan segala urusan, dan perempuan hanya
melakukan pekerjaan rumah, suatu pekerjaan yang dianggap tidak penting yang tidak bernilai.
Sejak lama perempuan Jepang merupakan kaum tertindas yang dianggap tidak berguna. Hal ini
sesuai dengan pemikiran Joan Kelly yang menyatakan bahwa, sepanjang sejarah, perempuan
selalu dipisahkan dari perang, politik, kesejahteraan, dan pengetahuan, sebaliknya kaum laki-laki
difungsikan dalam aktivitas tersebut. Selain itu terdapat beberapa faktor yang membuat penulisan
sejarah perempuan terabaikan, diantaranya yaitu: paradigma yang keliru tentang sejarah
perempuan, yang menganggap masalah perempuan adalah persoalan domestic; metodologi
perspektif yang keliru tentang dunia perempuan, yaitu perempuan dianggap berurusan dengan
persoalan pribadi, sedangkan laki-laki berurusan dengan persoalan publik. (Fatimah, 2008: 385)

Di masa Meiji, seorang pemikir terkenal, yaitu Fukuzawa Yukichi dalam bukunya yang berjudul
Japanese Women, menyatakan “…Japanese women were not born useless; there is a cause which
makes them so,…”. Perempuan Jepang tidak lahir dalam keadaan tidak berguna, tetapi ada “hal”
yang membuat mereka seperti itu. (Yukichi, 1988: 38-39). Disadari oleh Fukuzawa bahwa para
perempuan yang hidup di Jepang terikat dalam suatu “hal” yang membuat mereka tidak memiliki
keistimewaan dalam masyarakat. Sejak dahulu, perempuan memiliki stereotipe sebagai makhluk
yang tidak memiliki kekuatan dan tidak memiliki kepintaran. Fukuzawa juga menyatakan bahwa,
kesetaraan perempuan dilakukan dengan cara menghormati perempuan, pendidikan bagi
perempuan, posisi perempuan (terutama dalam pekerjaan), dan mengubah pola pikir pria yang
merendahkan perempuan sehingga posisi perempuan dalam masyarakat Jepang naik. (Yukichi,
1988:xv). Hal seperti inilah yang harus dipertimbangkan masyarakat Jepang, terutama oleh para
laki-laki Jepang yang menganggap kaumnya lebih eksklusif.

Dari berbagai sumber, diketahui bahwa Jepang di masa kuno sangat menjunjung tinggi
perempuan. Perempuan dianggap sebagai cenayang yang memiliki hubungan dengan para dewa.
Tetapi, saat masuknya ajaran Konfusianisme 16 dan Budhisme 17 dari Cina, terjadi perubahan

16
Paham yang diajarkan oleh Konfusius mengenai akhlak, moral dan etika. Ajaran ini masuk ke Jepang pada abad
ke-6. Di saat para cendekiawan Jepang kembali dari Cina.
17
Ajaran mengenai cinta dan kasih sayang yang masuk ke Jepang pada abad ke-6, dan menyebar dengan cepat.

11

Perempuan samurai ..., Puspita Cirana S, FIB UI, 2014


pemikiran. Perempuan dianggap sebagai makhluk yang lebih rendah dibandingkan laki-laki.
Konfusianisme yang memberikan penghormatan tinggi terhadap laki-laki telah melahirkan
sanjukun atau tiga kepatuhan yang harus dilakukan oleh kaum perempuan, yaitu saat ia muda ia
diharuskan mematuhi ayahnya, setelah ia menikah ia juga harus mematuhi suaminya dan setelah
ia menjanda ia harus mematuhi anak laki-lakinya. (Okamura, 1983: 6).

Selanjutnya, ajaran Budhisme juga menyebutkan bahwa perempuan merupakan makhluk yang
kotor, berdosa dan pendusta. Meskipun demikian, salah satu sekte ajaran Budha yaitu amidisme18
mengajarkan bahwa kehidupan setelah mati nanti tidak akan ada perbedaan antara perempuan
dan laki-laki, kaya dan miskin, ataupun yang lemah dan yang kuat. Tetapi disisi lain, ternyata ada
juga sebuah aliran ajaran Budha, yang merendahkan derajat perempuan. Ajaran Budha dari sekte
Teratai 19 mengajarkan bahwa perempuan tidak akan menyentuh surga kecuali jiwa tersebut
terlahir kembali menjadi laki-laki, baru ia dapat menyentuh surga. (Kurihara: 97). Dengan
demikian, doktrin-doktrin agama telah memberikan legalitas yang merendahkan kedudukan
perempuan Jepang.

Hanya sebagian kecil kisah-kisah Jepang yang ada selama ini yang mengagungkan nama
perempuan, sisanya tertutup dan menghilang seiring berjalannya waktu. Kemudian dari kisah dan
sejarah Jepang yang tertulis, kita juga dapat melihat nasib perempuan Jepang pada zaman dahulu
terbagi menjadi dua tipe, yaitu perempuan kelas atas dan bawah. Perempuan yang berasal dari
keluarga kelas atas kurang memiliki kebebasan. Keluarganya yang akan memilih calon suaminya,
dan biasanya bertujuan untuk menyatukan dua klan agar menjamin kemakmuran kedua klan
tersebut. Setelah menikah, sang istri harus melahirkan anak laki-laki untuk meneruskan
keluarganya. Bila sang istri melahirkan anak perempuan, maka ia harus mengajari anak
perempuannya membaca, menulis, menjahit baju, dan cara bersikap yang baik.

Bahkan pada era Tokugawa, perempuan dilarang memiliki harta benda, dan terdapat kebebasan
membunuh istrinya apabila sang istri tidak menuruti kemauan suami atau bermalas-malasan.
Perempuan hanya diperbolehkan mempelajari tulisan hiragana, dan dilarang membaca tulisan
bisnis, politik dan karya besar, yang ditulis dengan menggunakan aksara kanji. Sebaliknya,
perempuan dari kelas rendah dianggap lebih memiliki kebebasan dibandingkan perempuan dari

18
Sekte Budha Mahayana, yang mengagungkan amida dan mempercayai tanah suci di barat.
19
Ajaran Nichiren, yang menganggap perempuan sebagi makhluk yang tidak suci dan dijauhkan dari tanah suci.

12

Perempuan samurai ..., Puspita Cirana S, FIB UI, 2014


kalangan atas. Hal ini tertulis dalam buku kurikulum Samurai Sisters: Early Feudal Japan -
Sample Activity. Perempuan dan laki-laki bekerja secara berdampingan di sawah dan memiliki
hak atas harta benda mereka. Kaum perempuan kelas bawah dapat menikah secara bebas dan
pernikahannya pun lebih harmonis, karena para lelaki membutuhkan tenaga perempuan untuk
membantunya bekerja di sawah.

Meskipun demikian, tidak semua perempuan kelas rendah memiliki kebebasan yang disebutkan
sebelumnya. Banyak pula kisah-kisah pilu di kalangan kaum perempuan dari keluarga bersahaja.
Misalnya, di saat pajak mulai tinggi, banyak keluarga miskin yang menjual anak perempuannya
ke okiya 20 dan menjadi geisha 21 . Pendapatan mereka sangat membantu keluarganya dalam
membayar hutang dan pajak yang sangat tinggi, serta mengurangi beban keluarga dalam
mengurus anak lainnya. Keluarga-keluarga ini percaya bahwa anak perempuan yang mereka jual
akan diurus dengan baik di rumah geisha. Meskipun konotasi nya “dijual”, tetapi fakta
mengejutkan lainnya adalah, para geisha mengakui bahwa mereka memiliki lebih banyak
kebebasan dibandingkan sebelumnya. Para geisha memiliki hak untuk tidak menikah dan hanya
menjadi selir. Dengan menjadi selir, mereka masih memiliki kebebasan, mendapat uang yang
cukup banyak, dan diperlakukan sama dengan istri-istri lainnya.

Konstruksi perempuuan dalam masyarakat Jepang, tergambar dalam aksara kanji. Aksara kanji
yang mengandung elemen “perempuan” (onna) [ 女 ] memiliki makna yang
merendahkan/peyoratif, di antaranya kanji (wazaogi) [妓] terdiri dari kanji (onna) [女] dengan
kanji (sasaeru) [ 支 ] yang berarti “mendukung”, seharusnya memiliki arti perempuan yang
mendukung, tetapi sebaliknya kanji ini memiliki arti perempuan penghibur yang memiliki
konotasi negatif dan sering dikaitkan dengan perempuan prostitusi yang banyak terjadi di zaman
dulu. Selanjutnya, kanji (samatageru) [妨] terdiri dari kanji (onna) [女] dan kanji (kata) [方]
yang berarti “seseorang”, memiliki arti pengganggu. Kanji ini jelas memiliki stereotip bahwa
perempuan adalah seseorang yang mengganggu. Kanji (mekake) [妾] terdiri dari kanji (tatsu) [立]
yang memiliki arti “berdiri” dan kanji (onna) [女], memiliki arti selir. Mungkinkah kanji ini
bermakna perempuan yang “diinjak”, yang mengacu pada selir-selir kaisar zaman dahulu? Bila
dibandingkan dengan kanji laki-laki (otoko) [男], kanji ini terdiri dari kanji ladang (ta) [田] dan
20
Rumah Geisha
21
Perempuan penghibur

13

Perempuan samurai ..., Puspita Cirana S, FIB UI, 2014


kanji kekuatan (chikara) [力], yang dikaitkan dengan laki-laki yang kuat untuk bekerja di ladang.
Selain itu, ada pula kanji keberanian (isamu) [勇], yang mengandung kanji (otoko) [男].

Setelah melihat beberapa kanji di atas, dan melakukan perbandingan, dapat disimpulkan bahwa
posisi perempuan di dalam masyarakat Jepang sangat rendah bila dibandingkan dengan laki-laki.
Faktor di atas inikah yang membuat perempuan menjadi terlupakan dalam sejarah Jepang?
Faktanya sejak dahulu kaum perempuan Jepang telah berani melakukan berbagai hal yang dapat
membantu keluarga dan bangsa mereka, tetapi konstruksi perempuan dalam masyarakat Jepang
yang sangat merendahkan perempuan, membuat mereka berjuang untuk mempertahankan
eksistensi mereka, sehingga muncul tokoh-tokoh perempuan yang mencoba keluar dari
konstruksi tradisional mereka. Di antaranya muncul perempuan samurai, yang dengan gagah
berani melindungi bangsanya.

Perempuan Samurai

Munculnya perempuan samurai diperkirakan bermula saat periode Sengoku seperti yang telah
dijelaskan di atas, saat kaum perempuan Jepang yang tinggal di rumah menunggu suaminya
pulang. Dengan kondisi zaman yang tidak aman, para perempuan ini selalu membawa pisau kecil
untuk melindungi diri mereka dari bahaya. Mengenai hal ini Inazo Nitobe menyatakan, bahwa
saat perempuan menginjak usia remaja, mereka akan dibekali pisau belati yang diselipkan di baju
bagian atas mereka, untuk melindungi diri dan keluarga mereka (Turnbull, 2010: 22).

Di zaman Sengoku, seluruh masyarakat dari seluruh kelas ikut serta dalam perang. Artinya
perempuan yang selama ini diketahui hanya melakukan tugas rumah tangga semata, ikut terlibat
dalam perang tersebut, mereka diikut-sertakan untuk melindungi kota dan istana kaisar sehingga
munculah perempuan samurai. Karena kebanyakan perempuan ini ditugaskan untuk melindungi
kota mereka, mereka dilatih untuk dapat menggunakan senjata yang dapat mengenai musuh
dalam jarak jauh. Para perempuan samurai ini dilatih dengan naginata22 karena senjata ini sangat
fleksibel untuk menghadapi segala musuh. Tetapi apakah perempuan samurai ini hanyalah
sekedar pengawal dan pelindung istana; atau juga diturut-sertakan dalam perang? Banyak bukti
arkeologi yang menemukan jasad perempuan dalam tanah bekas lokasi peperangan, salah satunya

22
Tombak panjang yang berujung mata pisau katana

14

Perempuan samurai ..., Puspita Cirana S, FIB UI, 2014


tempat terjadinya perang Senbon Matsubaru23 . Tes DNA membuktikan bahwa dari 105 jasad
yang ditemukan, 35 nya adalah jasad perempuan. Kesimpulannya, Perempuan samurai tidak
hanya ikut perang tetapi perang juga menghampiri mereka. Mereka bertarung dengan keahlian
dan gagah berani. (Turnbull, 2010: 6).

Meskipun berjuang layaknya samurai, penampilan dari perempuan samurai sangatlah khas. Tidak
seperti laki-laki samurai, perempuan samurai tidak menggunakan pelindung kepala. Mereka
menggunakan Hakama yaitu celana besar seperti rok yang terbelah dua, sehingga bentuk badan
perempuannya tidak terlihat. Bila samurai laki-laki dilengkapi dengan roku gusoku24, perempuan
samurai hanya menggunakan haidate25 di kedua pahanya, kote 26 di tangan kirinya, dan dou27 ,
sehingga senjata apapun tidak dapat menembus ke tubuhnya. Perempuan samurai yang berasal
dari keluarga kelas atas juga memakai jinbaori28 yang bermotifkan lambang keluarganya, dan
mon29 keluarganya. Senjata yang digunakan para perempuan samurai ini juga berbeda. Biasanya
samurai laki-laki membawa katana 30 , tetapi perempuan samurai membawa naginata, yang
bentuknya seperti tombak panjang, dengan pedang di ujungnya. Selain naginata, perempuan
samurai juga membawa tanto31 sebagai persenjataannya.

Berikut ini, beberapa kisah yang terungkap tentang perempuan samurai, mereka adalah tokoh
yang telah berjasa melindungi negaranya.

a. Tomoe Gozen

Tomoe Gozen merupakan keponakan dari Minamoto Yoritomo, tetapi ia pengikut dari Minamoto
Yoshinaka. Ia digambarkan memiliki keterampilan dalam mengayunkan pedang dan memanah,
sehingga ia dikatakan dapat menghadapi 1000 prajurit sekalipun. Banyak pertempuran yang ia
ikuti dan selalu dimenangkannya. Kisah keberaniannya dimulai dari pertempuran di Awazu 32

23
Perang yang terjadi antara Takeda Katsuyori dengan Hojo Ujinao pada tahun 1580.
24
Enam peralatan pelindung perang yang biasa dipakai oleh para Samurai.
25
Pelindung Paha.
26
Pelindung Tangan.
27
Pelindung Dada.
28
Rompi Perang.
29
Lambang/ Emblem Keluarga.
30
Pedang yang dipakai Samurai secara umum dengan panjang sekitar 70cm-80cm.
31
Pedang Kecil berukuran 25cm.
32
Pertempuran di tahun 1184 antara Minamoto no Yoshinaka melawan Minamoto no Yoritomo.

15

Perempuan samurai ..., Puspita Cirana S, FIB UI, 2014


pada tahun 1184 yang ditulis dalam Heike Monogatari33. Pada pertempuran di Awazu ini, banyak
yang mati terbunuh, tetapi Tomoe berada diantara 7 orang yang selamat. Aksi menakjubkan
lainnya yaitu, saat 7 orang yang selamat ini semakin berkurang menjadi hanya 5 orang, Tomoe
diperintahkan untuk melarikan diri oleh Yoshinaka. Yoshinaka juga berniat untuk melakukan
hara-kiri karena melihat keadaan yang semakin buruk. Meskipun demikian, Tomoe masih ingin
berjuang sedikit lagi.

Dengan gagah berani ia menunggang kudanya, dan pergi menuju musuhnya yang kuat dan berani,
Onda no Hachiro, beserta 30 pengikutnya. Tomoe mendekati dan melompat ke arah Onda,
kemudian memegangnya erat-erat, dan memenggal kepala Onda. Setelah melakukan hal itu,
Tomoe langsung melepaskan pakaian perangnya dan pergi ke provinsi bagian utara. Dalam
perjalanannya ia bertemu dengan Wada Yoshimori, yang merupakan pengikut dari Minamoto
Yoritomo, dan menjadikan Tomoe sebagai selirnya. Tomoe melahirkan anak laki-laki, tetapi
dibunuh pada tahun 1213 saat keluarga Hojo menghancurkan keluarga Wada. Setelah itu, Tomoe
menjadi bikuni dan meninggal di usia 91 tahun.

b. Ueno Tsuruhime

Di tahun 1577, Oda Nobunaga bersama dengan Toyotomi Hideyoshi melakukan operasi militer
dengan tujuan menundukan keluarga Mori yang memiliki kekuasaan besar di daerah Tsuneyama.
Keluarga Mimura adalah salah satu keluarga yang bergabung dengan Nobunaga dalam operasi
tersebut. Salah seorang perempuan dari keluarga Mimura bernama Tsuruhime, menikah dengan
Ueno Takanori. Suatu hari, kediaman Tsuruhime dan suaminya dikepung oleh samurai keluarga
Mori, dan suami Tsuruhime pun meninggal dalam serangan tersebut. Kemudian, para ibu dan
anak dari keluarga Mori dipaksa untuk melakukan bunuh diri. Tsuruhime memutuskan bahwa,
seandainya ia harus mati, kematiannya tidak dilakukan dengan tangannya sendiri. Ia pun
bergegas mengumpulkan perempuan lain untuk bertarung melawan keluarga Mori. Pada awalnya,
mereka sangat takut akan kepercayaan, bahwa perempuan yang bertempur akan dihukum di
kehidupan setelah mati nanti, tetapi Tsuruhime meyakinkan mereka bahwa hal itu tidak akan
terjadi, karena bila meninggal dalam peperangan, maka Amida Budha akan menuntun mereka ke
surga di barat.

33
Sebuah karya sastra Jepang yang menceritakan pertempuran Klan Heike dengan Klan Genji.

16

Perempuan samurai ..., Puspita Cirana S, FIB UI, 2014


Akhirnya Tsuruhime beserta 33 perempuan pengikutnya, berlari ke medan pertempuran dan
membuat samurai keluarga Mori terkejut melihatnya dan hampir tidak percaya. Tsuruhime
menuju ke salah satu jenderal perang dan menantangnya, tetapi ia diabaikan karena samurai tidak
dipersiapkan untuk membunuh perempuan. Tsuruhime yang merasa kecewa karena tidak bisa
mati dalam peperangan, mundur dari medan pertempuran. Ia dan pengikutnya melakukan bunuh
diri sambil mengucapkan nenbutsu34.

c. Myorin-ni

Di tahun 1586, Myorin-ni berkontribusi dalam perlindungan istana dari penyerangan yang
dilakukan oleh klan Shimazu dari Satsuma yang ingin menguasai Istana Funai, Tsurusaki, dan
Usuki. Saat tiga panglima perang Shimazu hendak menyerang istana Tsurusaki, mereka terkejut
melihat samurai yang muncul untuk melindungi istana tersebut adalah seorang perempuan.
Myorin-ni muncul dengan baju perang dan naginata, dan turun ke medan pertempuran.
Pertempuran ini ternyata seimbang, sehingga mereka melakukan negosiasi. Myorin-ni
ditawarkan emas dan perak apabila ia mau menyerahkan istananya. Meskipun demikian, Myorin-
ni menolak, ia akan tetap melindungi istananya sampai mati.

Myorin-ni juga dikenal dengan penyerangannya bersama dengan Toyotomi hideyoshi melawan
Shimazu. Mereka berpura-pura membantu Otomo dan menyiapkan strategi untuk penyerangan di
Kyushu. Myorin-ni berhasil membunuh 63 penyerang dari Satsuma dan hanya kehilangan satu
prajuritnya. Salah satu panglima perang dari Shimazu yang bernama Nomura, melihat Myorin-ni
dengan rasa hormat atas keberaniannya. Nomura pun membawa Myorin-ni yang saat itu terluka
parah ke istana Takashiro, dimana suaminya meninggal saat terjadinya perang di Mimigawa35.,
akhirnya Myorin-ni juga meninggal ditempat yang sama dengan suaminya. Ketangguhan
Myorin-ni membuat Hideyoshi terkagum, ia merasa bahwa Myorin-ni merupakan perencana
serangan Kyushu yang hebat dan menyebabkan kekalahan bagi klan Shimazu. Ini merupakan
salah satu penyerangan terhebat yang direncanakan oleh seorang perempuan.

d. Perempuan Hondo

34
Menyebut nama Amida Buddha
35
Perang yang dilakukan oleh Klan Shimazu untuk menaklukan Klan Otomo dan memperluas wilayahnya di daerah
ke Provinsi Higo dan Hizen

17

Perempuan samurai ..., Puspita Cirana S, FIB UI, 2014


Tahun 1589 Konishi Yukinaga dan Kato Kiyamasa melakukan ekspedisi melawan Istana Shiki
dan Istana Hondo. Saat mengetahui akan dilakukan penyerangan ke Istana Hondo, beberapa ratus
perempuan yang kebanyakan dari mereka telah kehilangan suaminya, menyiapkan diri untuk ikut
dalam peperangan demi melindungi kampung halamannya. Agar memudahkan mereka dalam
perang, para perempuan ini memotong rambut mereka, memakai pakaian perang, menyelipkan
banyak pisau dan pedang ke ikat pinggang, ada juga yang memegang tombak dan senjata lainnya.
muculnya beberapa ratus perempuan dari pintu istana, mengejutkan penyerang mereka. Para
perempuan ini sangat kuat dan tangguh, bahkan mereka banyak membunuh prajurit laki-laki yang
dipimpin oleh Toranosuke, bawahan dari Kiyamasa. Karena Toranosuke kesal akan kenyataan
bahwa prajuritnya telah dibunuh oleh perempuan dan anak-anak, akhirnya ia pun melakukan
serangan brutal. Serangan ini menyebabkan kekalahan pasukan perempuan Hondo dan hanya dua
yang selamat.

e. Perempuan Pelindung Istana Omori

Di saat Toyotomi Hideyoshi berkuasa, ia berusaha untuk mengambil alih beberapa daerah yang
dikuasai oleh keluarga pemilik tanah. Hideyoshi berhasil menguasai daerah Shimazu dan Kyushu,
bahkan menaklukan Istana Hojo yang kuat. Pada tahun 1598, ia berusaha untuk menaklukan
daerah Tohoku dan mengirim Otani Yoshitsugu untuk mengurus pengambilan tanah, tetapi
kedatangan Otani, tidak disukai oleh Keluarga Onodera. Tahun 1599, Onodera Yasumichi
akhirnya berhadapan dengan pasukan Otani di depan benteng Istana Omori.

Seluruh masyarakat lokal tentunya mendukung keluarga Onodera dan membantunya untuk
melawan Otani. Di saat itu, daerah Tohoku sedang musim dingin, meskipun demikian para
perempuan pun ikut turut serta dalam melindungi Istana Omori. Para perempuan pemberani ini
dengan mengenakan baju seadanya, ke luar dari pintu istana dengan melompati pagar runcing
untuk berhadapan langsung dengan pasukan Otani. Sebagian dari mereka melempari pasukan
Otani dengan batu-batu dari dalam istana. Tindakan ini ternyata memiliki pengaruh besar,
beberapa prajurit Otani meninggal dan terluka parah.

f. Samurai Perempuan dari Aizu

Restorasi Meiji di tahun 1868 masih menyelesaikan beberapa masalah dari periode Tokugawa
Bakufu yang masih tertinggal. Setelah menguasai beberapa daerah selatan di Jepang, pemerintah

18

Perempuan samurai ..., Puspita Cirana S, FIB UI, 2014


Meiji mengalami kesulitan dalam menaklukan daerah utara Jepang. Namun dengan pasukan
modern yang dimiliki, pemerintah berhasil menguasai daerah utara Jepang dan berencana untuk
menaklukan daerah Aizu.

Aizu dikenal dengan kaum perempuannya yang dilatih untuk memegang naginata dan pedang
sejak kecil, untuk melindungi daimyo dan keluarga mereka. Sekelompok samurai perempuan
yang disebut Joushitai yang dipimpin oleh Nakano Takeko, ikut serta dalam perang melawan
pemerintahan Meiji. Lawan mereka sudah menggunakan senjata modern, tetapi mereka tidak
takut. Dalam pertempurannya, Nakano berhasil melawan musuhnya dengan naginata miliknya,
sampai akhirnya sebuah peluru mengenai dirinya. Ia memohon pada saudaranya yang ikut perang,
Masako, untuk memenggal kepalanya. Ia tidak ingin ditangkap oleh pihak musuh, karena itu
adalah hal yang memalukan bagi samurai. Masako pun melakukannya, dan membawa kepala
Nakano ke kuil setempat.

Kesimpulan

Dalam sejarah Jepang, perempuan pada kenyataannya telah berupaya untuk memperjuangkan
posisinya dalam masyarakat yang ketika itu masih dikuasai oleh kaum samurai --laki-laki--.
Mereka mulai melatih diri mereka untuk mempelajari bela diri untuk perlindungan dan melawan
musuhnya. Ketangguhan mereka tidak kalah dari laki-laki, bahkan banyak dari mereka yang
berhasil mengalahkan musuh mereka yang kebanyakan laki-laki Samurai. Perempuan Samurai
mulai muncul sejak Perang Genpei. Meskipun demikian, kisah keberanian mereka dianggap
kurang penting dan dilupakan oleh masyarakat Jepang. Seharusnya kisah mengenai keberanian
perempuan ini diapresiasi oleh masyarakat Jepang. Terlebih lagi, tidak banyak kisah-kisah
perempuan berjasa yang diungkap dan dijadikan pahlawan negara.

Struktur masyarakat Jepang, mendekati teori struktural-fungsional, yaitu sistem masyarakat yang
membagi fungsi seseorang berdasarkan gender; laki-laki bekerja dan perempuan di rumah.
Perempuan dalam masyarakat Jepang, termasuk dalam kelas yang tertekan dan posisinya di
bawah kaum laki-laki. Hal ini mendukung pernyataan Fukuzawa Yukichi, yang mengatakan
bahwa ada “hal” yang membuat perempuan dianggap tidak berguna. Perempuan, berdasarkan
pernyataan Joan Kely, juga dijauhkan dari berbagai hal yang berkaitan dengan negara, seperti
politik, pengetahuan, dan perang. Paradigma yang keliru tentang sejarah perempuan, yang
menganggap masalah perempuan adalah persoalan domestic dan perempuan dianggap berurusan
19

Perempuan samurai ..., Puspita Cirana S, FIB UI, 2014


dengan persoalan pribadi, sedangkan laki-laki berurusan dengan persoalan publik, juga
merupakan penyebab hilangnya jejak kaum perempuan dalam dokumen dan catatan sejarah
Jepang. Sehingga kisah heroisme mereka pun menjadi sejarah yang terlupakan.

Daftar Referensi:

Books:

Henshall, Kenneth G.(2004).A History from Japan from Ston Age to Super Power (2nd Edition).
New York: Palgrave Macmilla

Kazuo, Kasahara.(1995).Nihon no Rekishi.Kodansha Tokyo

Kure, Mitsuo. (2002). Samurai: An Illustrated History. Boston:Tuttle Publishing

Okamura, Masu. (1983). Peranan Wanita Jepang. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press

Sansom, George. (1963). A History of Japan (3 Volumes). Singapore: Tuttle Publishing

Turnbull, Stephen. (2010). Samurai Women 1184-1877. Singapore:Osprey Publishing

Varley, Paul.(1970). Samurai. New York: Dell Publishing House

Journal Articles:

Fatimah, Siti. Perspektif Jender dalam Historiografis Indonesia: Pentingnya Penulisan Sejarah
Androginious. Titik Balik Historiografi di Indonesia (2008) Hal 383-392

Kelly, Joan. (1996). The Social Relation of Sexes: Methodological Implications of Women’s
History. Signs, Vol.1, No.4, pp 809-823

Kurihara, Toshie.A History of Women in Japanese Buddhism: Nichiren’s Perspectives on the


Enlightenment of Women. The Journal of Oriental Studies, vol. 13, pp 94-118

Marzuki. Kajian Awal Tentang Teori-Teori Gender. Jurnal Civics: Media Kajian
Kewarganegaraan Vol. 4 No. 2, Desember 2007

20

Perempuan samurai ..., Puspita Cirana S, FIB UI, 2014


Online document:

Friedman, Seth. (1992). Women in Japanese Society: Their Changing Roles. Accesed on
September 7, 2013 from http://www2.gol.com/users/friedman/writings/p1.html

Military History Magazine (2006). Accesed on August 24, 2013 from


http://www.historynet.com/satsuma-rebellion-satsuma-clan-samurai-against-the-imperial-
japanese-army.htm

Masayoshi, Shimazu. (2003). The Battle of Aizu. Accesed on November 17, 2013 from
http://www.bakumatsu.ru/lib/Shimazu_Masayoshi_The_Battle_of_Aizu.pdf

Samurai Sisters: Early Feudal Japan. Accesed on November 21, 2013 from
http://www.womeninworldhistory.com/sample-08.html

The Editors of Encyclopedia Britannica. Amidism. Accesed on September 21, 2013 from
http://global.britannica.com/EBchecked/topic/20586/Amidism

21

Perempuan samurai ..., Puspita Cirana S, FIB UI, 2014

Anda mungkin juga menyukai