Anda di halaman 1dari 33

Sinopsis dan Ulasan #PutCast

MOJOKDOTCO
Yang perlu diperhatikan ketika menyimak
pembicaraan ini yaitu dengan isu yang sensitif,
diskusi ini bukan untuk mengajak kita percaya
mentah-mentah pada suatu hal/wacana/golongan.
Melainkan, hanya untuk membuka wawasan
lain/wacana lain mengenai sejarah hal tersebut
dari sudut pandang yang berbeda.
Disusun Oleh :
1. Erika Sri Utami K5419022 11. Hafi QuhjaK5419032
2. Evrina Rakhmanita K5419023 12. Hanan Sri W. K5419033
3. Fadhila Firda A. K5419024 13. Hanifah Dwi Utami K5419034
4. Fadhilah Soebroto K5419025 14. Hanifah Salsabilla K5419035
5. Febriana Zulfah K5419026 15. Hanna Lutfiah P.A. K5419036
6. Fidya Ika Pangesti K5419027 16. Hermawati Rosasefty K5419037
7. Fitri Tri Mahmudah K5419028 17. Ifada Auliana Riski K5419038
8. Fitria Hakiki K5419029 18. Ika Fitri Andini K5419039
9. Fitriyah K5419030 19. Ilham Cesar Gemilang K5419040
10. Fransiska Nurindah K. K5419031
Metode Pengerjaan
Dikumpulkan secara
kolektif hasil analisis
tiap individu, kemudian
dipadukan dalam satu
PowerPoint.
Irfan Afifi. Seorang budayawan,
pemerhati Jawa dan Islam, matang di
filsafat barat, dan menguasai filsafat timur.
Awal mula mempelajari tentang Jawa
karena sebelumnya dia begitu menguasai
filsafat barat, tetapi filsafat di
masyarakatnya sendiri kenapa tidak
dikuasai.
Intisari Topik #PutCast
Hubungan Antara Islam, Sejarah dan Modernitas
Jawa, dan Kolonialisme (Globalisasi dan Teknologi)

1 2 3 4

Mengulik Fenomena di
Pasca Perang Jawa
Film berjudul “Tilik”
Hubungan Antara Islam, Jawa, dan
Kolonialisme
: “Kita semua mengenal sejarah bangsa Indonesia kalau dari sisi religiusitas, itu kan fase buddha,
fase hindu, lalu fase islam, islam lama kemudian islam mataram, cerita/narasi yang kita dapatkan
pergantian itu semua melalui fase berdarah-darah/penuh pergolakan, kedatangan islam tidak lembut
sebagaimana yang didengung-dengungkan oleh Islam sendiri. Nah itu yang sering kita dapatkan di
dalam sejarah-sejarah formal kita. Kita menerima itu ya apa adanya. Kelak kemudian hari, ketika
Mas Irfan mulai banyak bicara tentang Jawa, saya mulai merasa ada hal yang dipikir ulang, karena
menurut Mas Irfan dan kawan-kawan, bahwa itu semua adalah satu sejarah yang disengaja
dibengkokkan oleh Kolonialisme. Sehingga membuat Islam itu seolah-olah pengganggu, asing bagi
masyarakat Jawa, mengganti agama lain dengan cara yang barbar, dan itu ada hubungannya dengan
Kolonialisme Belanda, berkaitan dengan pandangan agar Islam tidak diterima sebagai sesuatu yang
baik, karena di dalam Islam yang ada hubungannya dengan Kolonialisme, nanti ada hubungan
semacam pembangkangan/pemberontakan yang dilakukan pasca Perang Diponegoro. Gimana bisa
menemukan seperti itu/meyakini itu yang terjadi? Tidak sebagaimana narasi wajarnya sejarah kita.”
Pembahasan
Berangkat dari satu hal, orang Jawa yang kita kenal saat ini dengan nilai-nilainya, bahkan yang disebut
Jawa hari ini fundamentalnya kebudayaannya sudah berubah, yang kita kenal sebagai Jawa itu murni
muncul dari pandangan islam. Itu juga diungkapkan oleh banyak peneliti, salah satu Riklef itu bahwa
hingga perjanjian Giyanti, hingga terbelah kerajaan Jawa, Jawa itu identitasnya hanya satu yaitu Islam,
orang Jawa tidak punya bayangan dirinya di luar Islam, kiranya begitu. Begitu juga sebaliknya. Gagasan
ini membentuk struktur pandangan Jawa yang hari ini kita warisi di level mikro ataupun makro. Konstruksi
ini sudah lama terbentuk dan tetapi pada akhirnya di masa kolonialisme yang ingin mencaplok Jawa, ingin
menjajah, hingga sampai pada Perang Diponegoro, itu kan kemenangan titik balik kolonialisme terhadap
penjajahan di Jawa. Jadi, penjajahan kolonial itu dimulai setelah dia memenangkan di Perang Diponegoro.
Jadi sebelum itu, setara hubungannya, ketegangan hanya bergeser-geser saja.
Pembahasan
Setelah melihat pertarungan Diponegoro itu mereka seperti mengalami trauma besar bahwa ternyata atas
nama panji Islam, Diponegoro dan jaringan kyainya, pesantrennya itu hampir tidak ada perang yang
melibatkan elemen sosial di Jawa. Seluruh elemen itu bergabung atas nama panji Islam fisabilillah,
kemudian memberontak kolonial dan berusaha menjungkirbalikkan. Kemudian di peristiwa itu, kolonial
merasa ingat peristiwa-peristiwa sebelumnya bahwa Jawa adalah Islam, sehingga motifnya kekuasaan.
“Jika saya mau langgeng berkuasa di Jawa, saya tidak akan tenang jika Islam masih menjadi identitas di
Jawa.”, begitu ilustrasinya kiranya. Maka akan muncul satu dimana mereka mengamati potensi-potensi di
dalam diri masyarakat Jawa, kesalahan-kesalahannya. Kemudian setelah masuk ke dimensi batin orang
Jawa, mereka akan menemukan kesalahan-kesalahan berislamnya orang Jawa, dengan hal itu mereka bisa
membuat orang Jawa tidak yakin dengan kejawaaannya sendiri.
: “Bukan hanya saya merasa jadi korban, tetapi juga telah termanifestasi ke
perasaan saya sendiri, misal saya waktu awal-awal kuliah membaca kitab
Gatholoco, itu salah satu kitab yang bahkan saya pernah membahasa indonesiakan
saat tinggal di Bali, lalu ada teman dari Bali pengen baca itu, yang dari Bahasa
Jawa di indonesiakan. O ini memang keras agama Budha-Hindu dengan Islam.
Saya sebagai orang Islam lalu melakukan kritik internal “kok bisa ya agama saya
seperti ini.” Tapi itu satu hal, lalu ketika saya mengenal wacana lain, menurut Mas
Irfan dan kawan-kawan, kitab Gathuloco itu juga bikinan kolonial, kira-kira seperti
itu.”
Pembahasan
Kitab Gathuloco itu muncul, jadi prototype sejarah kudeta majapahit itu kan kalo
kita baca sederhana, jadi dulu yang mengkudeta Brawijaya itu bukan Islam, tetapi
keturunannya sendiri. Kemudian memindahkannya ke Kediri. Nah baru karena ada
kudeta dari pihak putra mahkota/lain yang kemudian memberontak, kemudian ada
semangat seperti dari Raden Fatah yang melawan Gindarjaya. Oleh karena itu,
narasi yang kejatuhan Majapahit yang dituliskan Gathuloco/Darmagandhul/Babad
Kediri itu yang sebenarnya awalnya dari Babad Kediri. Kemudian, muncul narasi
bahwa ada kontra antara kedatangan Islam itu tegak dengan cara merebut itu di
Kitab Gathuloco. Kemudian, jika kita meneliti di sejarah nanti ketemu yang
menggulingkan majapahit bukan Islam.
Sumber: google.com
Pasca Perang Jawa
Narasi bahwa Islam datang dengan cara merebut itu awalnya di Babad Kediri. Babad ini sebenarnya ditulis
oleh kolonial (pasca Perang Diponegoro, kisaran 1825-1830). Pasca perang mereka datang ke Adipati di
Kediri, dia ingin menulis tentang Kediri. Lalu, dipanggilah dalang wayang, karena dalangnya tidak terlalu
ingat, maka dia memanggil namanya Jin Buto Locoyo. Artinya metodologinya menggunakan mistik.
Kemudian jin itu meracau lalu dicatat dengan petinggi-petingginya. Itu narasi pertama dari tokoh yang
bernama Darmagandhul berupa Islam datang dengan cara merebut dan runtuhnya majaphit karena Islam.
Kemudian di Babad Kediri itu di replika lagi, itu didalami satu-satu, antara tokoh Darmagandhul dan
Gathuloco.

Yang menarik, ini dari penelitian asing bahwa seluruh naskah lahir di Kediri di bukit Gunung Kelud.
Bahwa Gunung Kelud itu pusat kristenisasi di Jawa. Mulai di Gathuloco menyebut agamanya Muhammad
itu yang buruk, nanti mereka menyarankan ke agamanya Nabi Isa.
Penyebar pertama seperti Paulus Tosari, Tunggul Wulung, yang ada di dekat Gunung Kelud itu awal-awal
pasca perang kisaran 1850-an. Ini baru awal dari identitas baru yang hadir.
Pasca Perang Jawa
Dulu identitas agama itu berkaitan dengan identitas bangsa karena dulu belum ada identitas
ideologis yang bisa menyatukan pandangan macam-macam idelogis seperti kolonialisme,
sosialism, dsb.
Ketika Islam sudah bisa masuk ke Jawa, setaat/tidaknya jika dia sudah berpandangan islamnya
maka dia sudah menjadi Islam. Makanya dulu orang Jawa itu orang selam, orang selam itu
orang yang sudah sunat. Orang yang sudah sunat itu istilahnya selam, selam itu islam tersebut.
Penanda keislamannya dengan cara sunat.
Pada Sunda Wiwitan juga sama, misal ada Selam Sunda Wiwitan agamanya, selam itu sunat
yang digunakan sebagai penandanya. Setelah pasca perang, paradigma seperti ini mulai pelan-
pelan bergeser.
Pasca Perang Jawa
Jadi, titik pentingnya pasca perang jawa. Setelah kejadian tersebut, kerajaan jawa tidak lagi berdaulat. Lalu
muncul politik tanam paksa, bagaimana hierarki sosial yang dulu (ada yang namanya bangsawan, petani,
pedagang) itu merupakan strata sosial yang alamiah sebenarnya. Ini menjadi berbeda, kemudian
mempunyai orientasi keagamaan yang berbeda dalam konteks relasinya dengan kekuasaan, karena saat ini
penguasanya sudah mulai Belanda dan ketika kebijakan tanam paksa, mereka punya kebijakan istilahnya
dominifikasi para priayi yang diputus pendidikannya yang dulu dari pesantren itu, mereka di isolasi dan
diberi fasilitas. Oleh karena itu, sebenarnya adanya tanam paksa itu menguntungkan para priayi tadi.
Tanam paksa itu idenya belanda, tapi operatornya para adipate-adipati di wilayah itu, jadi para petani
merasa tertindas. Ketika mata rantai dari santri-santri itu sudah terpisah, ada sebagian kelompok yang
membentuk jaringan internasional, mereka sudah banyak haji. Kisaran tahun 1869 mulai dibuka Terusan
Suez sehingga banyak mulai haji.
Sumber: http://syx-gf.blogspot.com/2019/11/terusan-suez-jalur-vital.html
Pasca Perang Jawa
Sedangkan di Arab sana, perubahan islamnya sudah berubah. Ada muncul neofisisme, wahabi, dsb.
Sehingga ketika mereka pulang dan menemui teman-teman Islam lainnya merasa kok ini cara berpraktik
Islamnya berbeda/salah. Akhirnya mereka konfrontasi. Saat priayi mulai jatuh ke anaknya, cucunya, itu
mulai di satu sisi kebudayaan jawanya itu sebenarnya manifestasi dari islam sufisme, tapi karena sistem
tradisi lama/sistem pesantrennya sudah hilang, akhirnya menganggap hanya Jawa saja dan mereka semakin
terbelandakan karena sering main, bergaul. Lalu berjalannya waktu, tokoh seperti Kartini mulai sadar, saya
ini kan muslim, kok bapak saya ngga pernah shalat, ngga pernah melihat al-Quran, ini mulai mencari
identitas. Apalagi ditambah dengan sistem politik etis. Seluruh modus pengetahuannya itu berubah. Ketika
para priayi punya previlige untuk sekolah, akhirnya berubah sistem pendidikan dengan menggunakan
sistem pendidikan modern/dunia baru/Eropa, tetapi di satu sisi masih ingin terikat dengan kebudayaan
jamannya. Pada titik ini benar-benar merubah konstelasi. Lalu spektrum inilah (pedagang, haji, priayi)
membentuk budaya sendiri di masing-masing kelompok ini, sedangkan Islam mulai membawa
pembaharuan dan mulai masuk hingga jadilah seperti Muhammadiyah, dll.
Pasca Perang Jawa
Jadi, dinamika Islam di luar negeri/Arab itu sebenarnya juga sangat mempengaruhi. Karena terjadi
pembaharuan yang luar biasa, karena saat itu muncul tokoh-tokoh pembaharu yang menginsipirasi gerakan
pembaharu, itu mereka saling terhubung, misal seperti saling berkirim serat/kitab. Sama-sama punya
semangat untuk menyambut peradaban baru.

Dalam aliran politik islam itu melarang melawan kolonial pemerintah. Jika kita melihat di Sarekat Islam
itu awalnya sebenarnya Islam itu hanya menunjuk hal sederhana, identitas pribumi itu muslim. Jadi ini
organisasi pribumi, bukan organisasi kolonial. Kemudian dilatih mengenai pendidikan islam seperti
mengaji agar islamnya makin bagus. Tapi awalnya ini hanya perkumpulan pribumi dan pribumi sudah pasti
muslim. Dari spektrum ini, seperti yang petani, pedagang, akhirnya punya orientasi politik yang berbeda.
Pasca Perang Jawa
Waktu itu muncul ideologi yang masuk ke Indonesia seperti maxisme, nasionalisme, dsb.
Yang kemudian membuat jadi 3 kelompok utama, nanti seperti yang petani sendiri, priayi
sendiri, dan kemudian itu disadari Soekarno bahwa bangsa kita sudah terpecah belah akibat
kolonialisme itu. Secara faktual kita sudah terpecah, yang awalnya itu identitas agama, itu
pertarungan preferensi beragama sebenarnya. Oleh karena itu, kita harus bersatu, itu ide dari
Soekarno yang kemudian dicetuskan adanya Pancasila tersebut.
Sejarah dan Modernitas
: ”Akhir-akhir ini para generasi millennial mulai tertarik kembali mempelajari
sejarah-sejarah seperti tentang jawa ataupun islam, aspirasi lokalitasnya juga luar
biasa. Nah itu kira-kira mengapa, Mas? Karena dari dinamika kebudayaan tidak
cocok. Semakin ke sini kan harusnya makin modernitas. Lebih liberal, mendunia,
karena slogan-slogan tentang dunia tanpa batas, apalagi dengan teknologi.”
“Dunia tanpa batas itu justru membuat
orang sadar akan batas.“

—Irfan Afifi
Pembahasan
Maksudnya begini, di satu sisi teknologi itu bisa membuka wawasan kita
terhadap dunia, tetapi pada saat bersamaan justru karena terlalu banyak
informasi/terlalu global itu akan membuat orang bingung. Oleh karena itu,
orang saat ini mulai menengok dirinya sendiri. Kita lahir dimana, dari bangsa
apa. Orang terlalu di bebaskan itu malah kadang malah membuat dirinya
bingung.
Termasuk waktu itu ada Sunda Empire, di satu sisi ada geliat untuk menengok
ke belakang, tetapi nanti sikapnya beda-beda, ada yang fundamentalis, ingin
“ngelap-lap” masa lalu, kemudian menghadirkan hari ini, jadinya seperti
fenomena Sunda Empire tersebut.
Sumber: https://www.alinea.id/nasional/mengapa-keraton-agung-sejagat-dan-sunda-empire-muncul-b1ZG89qUJ
Pembahasan
Kemungkinan terdapat glorifikasi yang berlebihan dan tidak mendinamiskan
warisan budaya yang ada. Jadi, ada upaya meredam masa lalu. Saat isu
pemindahan ibu kota, ada yang bilang ini bentuknya seperti semar wilayahnya.
Mengapa setiap isu selalu ditanggapi dengan hal-hal yang lokal. Dunia yang
makin global, makin tanpa batas ini membuat orang ingin berpegangan pada
sesuatu. Karena yang paling bisa dipegang adalah yang paling dekat dengan
dirinya. Semakin tidak ada aturan, dia semakin bingung, makanya seseorang
butuh suatu pegangan. Itu kembali pada satu titik di jaman reformasi dimana
semua diatur. Ketika kita di tahap demokrasi, orang menjadi bebas, apalagi
disambut dunia ilmu dan teknologi, sehingga orang butuh pegangan, walaupun
pegangannya tidak harus dari akarnya, misal dari Korea, bisa dari bermacam-
macam.
Mengulik Fenomena di Film
“Tilik”
: “Ada film Tilik ada yang memuji dan mengkritis. Ada salah satu kritik yang saya
kira orang yang mengkritik ini tidak tau mengenai keadaan sekarang. Orang di
desa berhijab, memang sekarang orang di desa berhijab. Tetapi jangan salah,
mereka itu juga menonton wayang, mereka juga menonton ketoprak, dan tanpa
ada satu hambatan psikologis, dan jangan salah juga, saya itu heran ya, ketika
menemukan fakta bahwa kesenian tradhisional itu mulai hidup lagi dan mulai
diapresiasi banyak orang. Faktanya, saya melakukan penelitian di Rembang, Pati
itu ada sekitar 50 kelompok kesenian ketoprak yang penikmatnya 80% mayoritas
perempuan dan mereka itu berhijab. Nah bagaimana melihat fenomena ini?”
Sumber: medcom.id

Sumber: youtube.com
Pembahasan
Ini berkaitan dengan Politik Etis tadi. Pendidikan modern kita ini sebenarnya
dari pendidikan politik etis kita. Kemudian terus diteruskan. Pendidikan etis ini
semakin hari dirasakan orang itu semakin mencabut akar dari kebudayaan kita.
Jadi, orang makin terdidik makin terasingkan dengan lingkungan tradisinya.
Bahwa ada yang mengkritik seperti itu, benar benar nyata bahwa akademisi
yang megkritik itu tidak kenal dengan masyarakat kita. Misalnya saja,
fenomena hijab di jawa menjadi normal kepantasan baru bagi orang yang sudah
nikah/punya anak. Jika belum nikah tidak masalah tidak pakai. Misal, jika
sudah ibu-ibu mau keluar rumah itu pakai hijab. Itu telah menjadi norma
kepantasan baru.
Pembahasan
Selain itu, teknologi informasi dan
komunikasi mendesentralisasi pusat-
pusat kebudayaan lama. Dulu
preferensi kesenian kita itu
ditentukan oleh pusat dan mereka
bertarung perebutan di sana, dan
ketika ada medsos, pusat itu tersebar.
Akhirnya, mereka membuat sendiri-
sendiri. Oleh karena itu, yang lokal
ini hadir, seperti muncul Deni
Caknan, Nella Kharisma, dan dipaksa
pusat TV itu tunduk pada aturan.
Dengan tidak ada pusat ini membuat
mereka dapat merayakan sendiri.
Sehingga, pusat/TV swasta yang
tunduk sama mereka, karena mereka
juga membawa ratting yang tinggi.

Sumber: oksezone.com
Pembahasan
Dari hal tersebut, muncul adanya istilah matinya kepakaran. Artinya, dengan
keriuhan itu terfasilitasi, hype itu dinilai dari jumlah like, komen, dibaca,
ditonton, tergantung mediumnya apa, mereka menggantikan pakar-pakar yang
dalam tanda kutip tersertifikasi atau punya legitimasi intelektual.
Melihat fenomena saat ini, bahwa kampus semakin ke sini makin banyak
administratif, semakin tambah birokratis, semakin seluruhnya terjaring seperti
perusahaan. Bayangkan setiap intelektual urusannya hanya scopus, scopus, dan
itu hanya adminsitratif segala, mereka harus fingerprint. Jadi, mereka jika ingin
membuat penelitian itu membuat laporan keuangannya lebih susah daripada
penelitiannya misalnya. Akhirnya, akademisi kita itu terserap di dunia
administrasi, birokrasi, dsb. Bahkan di level kepenulisan itu semakin
terstandarisasi dan terhubung secara internasional di jurnal-jurnal terindeks.
Pembahasan
Artinya mereka tidak tersambung dengan masyarakat, itu urusan karir mereka,
semakin ke sini dunia intelektual kita tidak terhubung dengan masyarakat dan
ketika zaman TIK saat ini, dan mereka tidak semakin tersambung dan disisi lain
disini sudah ada wahana baru yang orang-orang bisa mengekspresikan apapun,
dan akhirnya peran intelektual ditinggalkan, muncul peran-peran baru disana,
ada influencer, penulis, dan intelektual kampus-kampus itu semakin
ditinggalkan, dan terakhir, Seperti kata Max Weber itu bahwa birokrasi itu
seperti kerangka besi yang diciptakan sendiri, mereka yang menggodok-
nggodok sendiri dan akhirnya memenjarakan mereka sendiri.
Sumber: https://www.bbc.com/indonesia/indonesia-53846128
Kesimpulan dan Ulasan
Dari diskusi yang terjalin, terdapat kelebihan dan kekurangan yang ada menurut kelompok kami, terlepas
dari sudut pandang masing-masing orang berbeda-beda atau bersifat subjektif.
Sangat berani channel “mojokdotco” ini menghadirkan konten atau isu yang dibahas ke youtube,
mengingat isi konten seperti ini jarang sekali kita temui di youtube karena dirasa memang sensitif bagi
sebagian orang, dengan adanya ini tentu membuat orang punya pandangan lain dan berpikir lebih terbuka
terhadap sejarah jawa, islam, dan kolonialisme.

Sekaligus jika boleh saran, alangkah baiknya jika diskusi sejarah (jika memang tujuannya untuk membuka
pengetahuan banyak orang) melampirkan data-data naskah yang ada. Sehingga: pertama, orang lebih
mudah memahami pokok persoalan. Dan yang kedua, lebih menunjukkan bahwa ini diskusi akademik yang
sama-sama bisa dipertanggungjawabkan. Akademik berarti memang melihat data-data sejarah yang ada,
sehingga menghindari diskusi teologi.
Terimakasih, semoga
bermanfaat.

Anda mungkin juga menyukai