Anda di halaman 1dari 8

VIKY NUR VAMBUDI

G000190222
PAI D
ISLAM DI INDONESIA
RESUME BUKU

Judul Buku
Mengislamkan Jawa: Sejarah Islamisasi di Jawa dan Penentangnya dari 1930 sampai
sekarang

Penulis
M. C. Ricklefs

Penerjemah
FX Dono Sunardi & Satrio Wahono

Penerbit
PT Serambi Ilmu Semesta

Tahun Terbit
2013

Tebal Buku
889 halaman
Buku ini terjemahan dari volume terakhir seri yang membahas sejarah islamisasi
di kalangan masyarakat Jawa. Kepercayaan atau ketidakpercayaan pada yang adikodrati
adalah hal penting dalam masyarakat manapun, sehingga seri ini berupaya menjawab
berbagai pertanyaan yang tidak hanya terkait dengan masyarakat Jawa. Secara garis
besar buku ini berfokus pada hubungan antara apa yang dipercayai suatu masyarakat dan
bagaimana pola kehidupan mereka. Sebagian besar isu yang dibahas berkaitan dengan
agama dan politik, hubungan antara kedua bentuk otoritas, pengetahuan dan kekuasaan
tersebut, serta mereka yang memegangnya. Masyarakat Jawa telah mengembangkan
sebuah budaya literer dan religius yang canggih serta diperintah kaum elite yang
berpikiran cukup maju jauh sebelum Islam tercatat muncul untuk pertama kalinya dalam
masyarakat Jawa pada abad ke-14. Peradaban yang lebih tua ini diilhami gagasan-
gagasan Hindu serta Budha dan meninggalkan beragam warisan dalam rupa seni,
arsitektur, literatur dan pemikiran yang hingga kini masih membuat, baik masyarakat
Jawa sendiri maupun kalangan luar, terpesona.
Sangat dimungkinkan bahwa sebelum abad ke-14 kaum Muslim telah berkelana
sampai ke Jawa dan bisa jadi juga terdapat orang Jawa yang masuk Islam, tetapi yang
kita ketahui adalah bahwa bukti pertama dari kaum Muslim Jawa adalah penemuan
beberapa nisan yang mulai dari tahun 1368-1369. Nisan-nisan tersebut menjadi semacam
catatan kematian orang-orang Jawa yang berasal dari kalangan bangsawan (mungkin
juga merupakan anggota keluarga kerajaan) dekat istana raja Majapahit di Jawa Timur
yang diperintah kaum Hindu-Budha, pada masa jayanya, yang memeluk agama Islam. Di
kota-kota besar di Jawa, suatu masyarakat yang agak hibrid tumbuh, terdiri dari kaum
Jawa priayi, Eropa dan orang Cina yang kaya, yang kesemuanya bersemangat modern,
dengan bahasa Jawa (atau kadang-kadang bahasa Melayu, tetapi tidak pernah bahasa
Belanda) menjadi bahasa pergaulan mereka. Di antara kaum priayi ini, bahkan tumbuh
sentimen anti Islam bahwa peralihan keyakinan ke Islam adalah sebuah kesalahan
peradaban dan bahwa kunci kepada modernitas yang sesungguhnya terletak pada
penggabungan pengetahuan modern ala Eropa dengan retorasi kebudayaan Hindu-Jawa.
Islam dipandang sebagai penyebab mundurnya wujud paling agung dari kekayaan
tersebut.
Pada awal abad ke-20, gerakan reformasi Islam diperkuat oleh Modernisasi, yang
menambahkan lapisan lain pada komunitas kaum saleh yang telah terpolarisasi.
Modernisme menolak bahwa empat aliran hokum (mazhab) Sunni adalah pedoman
otoritatif untuk memahami Islam, menganggapnya lebih sebagai sumber obskurantisme
abad pertengahan, dan berupaya untuk kembali kepada Al Quran dan hadis guna
memahami wahyu Tuhan, sembari memobilasi nalar yang dimiliki manusia dalam tugas
ini. Pemilihan sebutan Islam dalam nama organisasi ini nyaris tak lebih dari sekadar
pemberitahuan bahwa para anggotanya adalah orang Indonesia (dan, dengan demikian,
Muslim) sementara otoritas kolonial tidak, tetapi, dalam perkembangannya, Sarekat
Islam semakin didominasi oleh kaum politikus Modernis. Para pengikutnya seringkali
dimotivasi oleh ketidaksukaan mereka terhadap kaum elit priayi dan keturunan Cina
melebihi isu-isu lain. Sebuah organisasi radikal yang mulanya dipimpin orang Eropa
berkembang menjadi organisasi komunis yang dipimpin orang Indonesia (yang sebagian
besarnya orang Jawa) pada 1920; pada 1924, organisasi ini mengadopsi nama Partai
Komunis Indonesia (PKI). Konstituensinya berasal dari kalangan abangan, baik dari
antara kaum proletariat yang jumlahnya terus berkembang di kota-kota di Jawa maupun
di antara para petani kecil. Kaum komunis mengaku tradisi-tradisi Jawa yang ingin
menyesuaikan diri dengannya. PKI merupakan sebuah organisasi yang kurang memiliki
koherensi dan disiplin internal sehingga menjadi subjek pengawasan serta penyusupan
agen pemerintah.
Menjelang kehancuran PKI, seorang pemimpin muda yang karismatis bernama
Soekarno yang pada waktu kemudian menjadi presiden pertama setelah Indonesia
memproklamasikan kemerdekaannya mendirikan sebuah partai nasionalis yang bernama
Partai Nasional Indonesia (PNI). Konstituensinya seperti PKI berasal dari kalangan
abangan. Tetapi, pemberontakan PKI yang gagal telah membunyikan alarm kaum Eropa.
Pemerintah kolonial membatasi kebebasan yang sebelumnya ditunjukkan semasa politik
etis. Organisasi politik diawasi secara ketat dan bisa dibubarkan secara sewenang-
wenang. Pada 1930, sebagian besar masyarakat Jawa merupakan penduduk pedesaan,
tetapi terdapat juga kaum ploretariat perkotaan yang terus bertambah dan segelintir kaum
elite terpelajar yang tinggal di wilayah perkotaan. Pertumbuhan penduduk sudah
memberikan tekanan yang besar terhadap sumber daya yang ada, yang kemudian
meningkat secara signifikan menjelang Depresi Besar pada 1930.
Kaum ploretariat perkotaan adalah yang paling terpukul oleh Depresi Besar.
Suatu proses islamisasi di antara masyarakat Jawa sudah dimulai semenjak abad ke-14,
namun di mata para pengusung reformasi Islam, jalan yang harus ditempuh masihlah
panjang. Malahan, proses Islamisasi telah terhenti dan dalam beberapa hal bahkan telah
berbalik arah karena perkembangan-perkembangan yang terjadi sejak pertengahan abad
ke-19. Kemudian muncullah di dalam masyarakat Jawa sebuah kelompok pada
kenyataannya mereka ini adalah mayoritas yang dikenal sebagai abangan, kaum muslim
nominal, yang berkebalikan dengan kaum santri yang saleh. Perbedaan-perbedaan sosial
ini telah dipolitisasi dan dengan demikian menjadi semakin tajam karena pertumbuhan
berbagai gerakan politik di awal abad ke-20 yang konstituensinya mengikuti garis sosial
yang ada ini. Namun demikian, pada 1930 proses politisasi ini berhenti dan mungkin
malah menyusut, sebab pemerintah kolonial Belanda menekan gerakan-gerakan politik
utama yang mendorong politisasi divisi sosial ini.
Demikianlah situasi masyarakat Jawa dan kepercayaan Islam mereka menjelang
perubahan besar yang berlangsung antara 1942 dan 1949. Miskin, buta huruf,
terpolarisasi secara sosial tetapi mengalami depolitisasi oleh kekuatan kolonial yang
represif, masyarakat Jawa akan mengalami repolitisasi karena pengalaman pendudukan
Jepang dan revolusi Indonesia yang membuat mereka hancur lebur, tetapi pada akhirnya
memerdekakan mereka. Masyarakat Jawa masih akan hidup dalam kemiskinan, keadaan
buta huruf dan polarisasi secara sosial, namun mereka juga mengalami repolitisasi dan
dibebaskan dari mata tajam pemerintahan kolonial yang telah mencegah konflik
domestik masyarakat Jawa pecah dalam bentuk kekerasan. Hasilnya adalah manisnya
nafas kemerdekaan, dengan Jawa sebagai pusat dari Republik Indonesia yang baru dan
tragisnya pertumpahan darah besar pertama antara kaum santri dan abangan Jawa.
Terjepit di antara dasawarsa 1930-an dan 1950-an adalah kekacauan yang dipicu
pendudukan Jepang dan revolusi Indonesia. Kurun waktu ini adalah masa yang penuh
pergolakan dan kesulitan, masa yang ditandai konflik politik dan sosial yang
pengaruhnya luar biasa besar bagi kehidupan sosial, budaya, politis dan keagamaan
masyarakat Jawa di masa yang akan datang. Penindasan, kekerasan, penderitaan, wabah
penyakit, malnutrisi, kelaparan dan kematian menjadi sesuatu yang biasa. Kurun waktu
ini adalah satu-satunya periode yang dibahas di buku ini ketika penduduk Jawa tidak
mengalami pertumbuhan dan mungkin bahkan berkurang jumlahnya.
Periode demokrasi liberal dan periode demokrasi terpimpin yang mengikutinya
dari akhir 1950-an hingga 1965 ditandai oleh apa yang dikenal sebagai politik aliran.
Istilah aliran dijumpai baik dalam bahasa Jawa maupun bahasa Indonesia serta memiliki
makna yang terkait erat. Dalam bahasa Jawa, aliran berarti saluran untuk mengarahkan
air, yang juga berfungsi menjadi semacam penanda batas di ladang padi, dalam bahasa
Indonesia, kata tersebut secara lebih umum berarti arus atau sungai. Aliran yang
dipolitisasi ini meradangkan relasi santri abangan dan membuat PKI dan PNI tumbuh
jadi lawan kuat proyek Islamisasi yang dijalankan pihak santri.
Rezim politik yang berkembang pada paruh kedua dasawarsa 1960-an dinamakan
Orde Baru oleh pemimpinnya, Jenderal Soeharto. Orde Baru mencita-citakan kendali
menyeluruh melalui penggabungan kekuatan antara militer yang dominan terutama
angkatan daratnya dan suatu birokrasi sipil yang kolaboratif, yang bersama-sama akan
mengontrol masyarakat hingga ke akar-akarnya. Dalam usaha mengontrol alih-alih
memobilisasi rakyat, Orde Baru meniru cara pemerintah kolonial, tetapi yang disebut
terakhir ini tidak pernah berusaha mengendalikan kehidupan sosial hingga kadar seperti
yang diupayakan oleh Soeharto dan koleganya. Melalui kontrol semacam itu, ancaman
Komunisme dapat dibasmi hingga ke akar-akarnya.
Rezim Orde Baru mengalami perubahan yang besar diantaranya: suatu rezim
yang mendambakan hegemoni ideologis; pendekatan antara NU dan rezim tersebut yang
mendukung kemajuan Dakwahisme; kemunculan kelompok-kelompok Revivalis dan
Islamis yang aspirasinya sejalan dengan beberapa unsur di dalam elit rezim;
konsekuensinya yang berupa Islamisasi yang lebih dalam yang kemudian lazim disebut
penghijauan atas rezim itu sendiri. Agama menjadi persoalan di sini, Soeharto menaruh
perhatian yang cukup besar terhadap umat Islam, tetapi tidak kemudian berarti dia
bersedia meninggalkan komitmennya pada apa yang Hefner sebut sebagai “ilmu mistik
yang berorientasi kekuasaan” dalam ragam Jawa yang lebih familiar baginya.
Kemungkinan bahwa Islam akan menjadi sesuatu yang sulit untuk diatur. Mungkin
persepsi rezim Orde Baru mengenai kedalaman Islamisasi yang tengah berlangsung dan
kekhawatirannya bahwa kekuatan-kekuatan Islam akan sulit diatur, ditambah dengan
sikap pemerintah yang konsisten anti komunisme.
Mulai bab ketujuh ini, penulis mengamati transformasi besar dalam dinamika
sosial, politik, keagamaan dan kultural Jawa, yang sekaligus berarti Indonesia. Seperti
sejarah pada umumnya, sejarah ini penuh dengan retakan, bukti bertentangan dan
berbagai percabangan peristiwa yang kerap membingungkan. Meski demikian, ada satu
tren dominan dari kisah yang meliputi perubahan penting, satu pergeseran dalam sumber
penggerak perubahan. Di bagian kedua buku ini menjelaskan mengani sifat rezim politik
penguasa yang berperan penting, baik ketika Jawa berada di bawah kekuasaan penjajah
atau pendudukan Jepang semasa perang, di tengah revolusi atau bereksperimen dengan
kebebasan politik dan demokrasi pada 1950-an. Rezim politik selalu mendorong
perkembangan-perkembangan tertentu di dalam ranah budaya dan agama seraya
menghambat perkembangan lainnya.
Hingga pertengahan 1960-an, pengkutuban keagamaan, soisal, budaya dan politik
sangat mengancam harmoni sosial. Ini berujung pada pembantaian mengerikan 1965-
1966 yang mengantarkan rezim Soeharto ke puncak kekuasaan. Dalam dua bab
sebelumnya penulis telah menjelaskan bagaimana Orde Baru Soeharto membawa
totalitarianisme ke Indonesia dan menyebabkan Islamisasi yang lebih dalam di kalangan
masyarakat Jawa, sebuah perubahan sosial besar dibandingkan Jawa di masa lalu.
Penulis juga menjelaskan tahun-tahun pasca Soeharto, kondisi yang terjadi bukanlah lagi
rezim politik sebagai penentu agenda agama. Melainkan sebaliknya: dinamika
keagamaanlah yang membentuk rezim politik.
Dalam bab terakhir di buku ini, penulis menjelaskan beberapa isu besar termasuk
pertanyaan apakah penyerahan inisiatif dari politisi ke kelompok keagamaan itu perlu
jika melihat realitas dari cara kerja kekuasaan politik. Meskipun partai politik yang tegas
berasaskan Islam tidak meraup suara tinggi di pemilu, Islamisasi masyarakat di akar
rumput hingga menjalar ke atas telah meyakinkan politisi bahwa mereka harus
berkompromi dengan keyakinan yang kian kuat ini, mungkin karena dalam banyak kasus
Islam kian menguat dalam kehidupan mereka sendiri. Keinginan Soeharto untuk
menjadikan smeua orang bertindak dan berkeyakinan sesuai standar Pancasila dan
mendefinisikan makna standar itu digantikan oleh keinginan para aktivis agama untuk
menjadikan semua Muslim bertindak dan berkeyakinan sesuai standar Islam. Inilah
keinginan yang dicita-citakan dan diterima, kadang didukung langsung oleh pemerintah.
Soeharto bisa memaksakan hak untuk mengatakan apa itu Pancasila, tapi tidak
ada suara tunggal yang berkuasa untuk menentukan apa itu Islam. Satu aspirasi
totalitarian disusul dengan aspirasi lainnya. Akan tetapi, versi agama dari aspirasi itu
penuh dengan sifat bertengkar antara otoritas keagamaan, satu sifat yang juga ada di
hampir semua keyakinan. Ketika masa kepresidenan Yudhoyono tiba, kebijakan otonomi
daerah mendukung Islamisasi dan agenda Islamis dalam konteks lokal, terlepas dari
kegagalan berulang kaum Islamis untuk berkuasa lewat pemilihan umum nasional atau
untuk mengamandemen konstitusi sesuai aspirasi mereka (sebagaimana kegagalan dalam
proses panjang mengamandemen konstitusi pada 2002).
Akan tetapi, otonomi daerah juga memunculkan komplikasi lain. Setiap daerah
berusaha mencari sesuatu untuk menunjukkan identitas khasnya, kerap dengan harapan
mereka bisa menarik perhatian dari turis (yang umumnya lokal). Ini mengarahkan
perhatian mereka ke bentuk-bentuk seni lokal, yang seringnya berasal dari masa pra
Islam. Jadi, aspirasi para reformis Islam yang ingin mendesakkan keseragaman kini
menghadapi tren lain yang berseberangan: agenda otonomi daerah yang kerap ingin
mendesakkan keberagaman.

Anda mungkin juga menyukai