Anda di halaman 1dari 31

TUGAS UJIAN

LICHEN SIMPLEKS KRONIKUS


&
EFLORESENSI KULIT

Pembimbing:

dr. RETNO SAWITRI Sp.KK

dr.REGINA KARTIKA, Sp. KK

Penyusun:

SHERLY GUNAWAN

030.05.208

KEPANITERAAN KLINIK ILMU KULIT DAN KELAMIN

RUMAH SAKIT UMUM DAERAH BEKASI

PERIODE 23 MAY- 25 JUNI 2011

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS TRISAKTI


KATA PENGANTAR

Puji dan syukur saya panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa sebab hanya karena berkat dan
anugerahNya referat yang berjudul ‘HAEMANGIOMA’ ini dapat rampung tepat pada waktunya.

Adapun maksud dan tujuan pembuatan referat ini ialah dalam rangka memenuhi syarat
kepaniteraan klinik ILMU KESEHATAN KULIT DAN KELAMIN.

Dalam kesempatan ini pula, saya mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Dr.
RETNO SAWITRI Sp.KK selaku Pembimbing dalam pembuatan referat ini karena berkat
dukungan beliau, proses pembuatan dan penyusunan referat ini dapat diselesaikan dengan baik.

Sangat saya sadari bahwa dalam referat ini masih terdapat kekurangan-kekurangan baik dari segi
penulisan maupun keilmuan. Oleh karena ini, masukan dan kritik membangun akan sangat saya
harapkan.

Akhir kata, semoga referat ini dapat bermanfaat dan menambah khasanah ilmu pengetahuan.

JAKARTA, JUNE 2011

Penulis
BAB I
PENDAHULUAN

Penyakit Kusta atau Morbus Hansen adalah penyakit infeksi yang disebabkan oleh
infeksi Mycobacterium leprae yang secara primer menyerang syaraf tepi, selanjutnya
menyerang kulit, mukosa mulut, saluran nafas bagian atas, sistem retikoloendotel, mata,
otot, tulang dan testis. Kusta menyebar luas ke seluruh dunia, dengan sebagian besar kasus
terdapat di daerah tropis dan subtropis, tetapi dengan adanya perpindaham penduduk maka
penyakit ini bisa menyerang di mana saja. Pada umumnya penyakit kusta terdapat di negara
yang sedang berkembang, dan sebagian besar penderitanya adalah dari golongan ekonomi
lemah. Hal ini sebagai akibat keterbatasan kemampuan negara tersebut dalam memberikan
pelayanan yang memadai di bidang kesehatan, pendidikan, kesejahteraan sosial ekonomi
pada masyarakat. Hal ini menyebabkan penyakit kusta masih merupakan masalah
kesehatan masyarakat, disamping besarnya masalah di bidang medis juga masalah sosial
yang ditimbulkan oleh penyakit ini memerlukan perhatian yang serius.
BAB II

PEMBAHASAN

‘KUSTA’

I. SINONIM

Kusta dikenal dengan nama lepra, leprosy, Morbus Hansen’s, hanseniasis dan
elephantiasis grecorum.

II. DEFINISI

Istilah kusta berasal dari bahasa sansekerta, yakni kushtha berarti kumpulan gejala-gejala
kulit secara umum. Penyakit kusta disebut juga Morbus Hansen, sesuai dengan nama yang
menemukan kuman yaitu Dr. Gerhard Armauwer Hansen pada tahun 1874 sehingga penyakit ini
disebut Morbus Hansen.

Penyakit Hansen adalah sebuah penyakit infeksi kronis yang disebabkan oleh bakteri
Mycobacterium leprae. Penyakit ini adalah tipe penyakit granulomatosa pada saraf tepi dan
mukosa dari saluran pernapasan atas; dan lesi pada kulit adalah tanda yang bisa diamati dari luar.
Bila tidak ditangani, kusta dapat sangat progresif, menyebabkan kerusakan pada kulit, saraf-
saraf, anggota gerak, dan mata.

Kusta merupakan penyakit menahun yang menyerang syaraf tepi, kulit dan organ tubuh
manusia yang dalam jangka panjang mengakibatkan sebagian anggota tubuh penderita tidak
dapat berfungsi sebagaimana mestinya. Meskipun infeksius, tetapi derajat infektivitasnya rendah.
Waktu inkubasinya panjang, mungkin beberapa tahun, dan tampaknya kebanyakan pasien
mendapatkan infeksi sewaktu masa knak-kanak. Tanda-tanda seseorang menderita penyakit kusta
antara lain, kulit mengalami bercak putih, merah, ada bagian tubuh tidak berkeringat, rasa
kesemutan pada anggota badan atau bagian raut muka, dan mati rasa karena kerusakan syaraf
tepi.

II. ETIOLOGI

Mycobacterium leprae diklasifikasikan secara terpisah dari kuman mycobacterium yang


lain karena kegagalan untuk melakukan biakan pada media kultur artifisial. Bakteri ini
ditemukan oleh G.A Hansen1 pada tahun 1874 di Norwegia. Mycobacterium leprae berbentuk
basil dengan ukuran 3-8 um x 0,5 um, tahan asam dan alkohol, serta positif-gram. Pertumbuhan
yang terbatas pada biakan telapak kaki tikus dan pertumbuhan yang lebih tersebar pada tikus
yang imunosupresif dan sembilan jenis armadillo yang turut membantu dalam analisis biokimia
dan genetika bakteri yang adekuat serta percobaan produksi vaksin-vaksin. Mycobacterium
leprae hidup pada suhu 30-33 0C dan membelah setiap 12-13 hari. Mycobacterium leprae terdiri
dari 4 antigen sebanding dengan BCG, tetapi phenolic glycolipid yang terdapat di dalam kapsul
secara biologis bersifat unik dan menjadi antigen yang spesifik terhadap Mycobacterium leprae.
Penelitian tentang antibodi terhadap antigen ini dalam populasi memegang peranan terhadap
ilmu epidemiologi. Antigen tersebut mungkin mempunyai bagian yang bersifat immunosupresif,
dimana ini menjadi suatu hal yang penting terhadap patogenesis penyakit ini.

III. EPIDEMIOLOGI

Di seluruh dunia, dua hingga tiga juta orang diperkirakan menderita kusta. Distribusi
penyakit kusta dunia pada 2003 menunjukkan India sebagai negara dengan jumlah penderita
terbesar, diikuti oleh Brasil dan Myanmar. Pada 1999, insidensi penyakit kusta di dunia
diperkirakan 640.000, pada 2000, 738.284 kasus ditemukan. Pada 1999, 108 kasus terjadi di
Amerika Serikat. Pada 2000, WHO membuat daftar 91 negara yang endemik kusta. 70% kasus
dunia terdapat di India, Myanmar, dan Nepal. Pada 2002, 763.917 kasus ditemukan di seluruh

1
dunia, dan menurut WHO pada tahun itu, 90% kasus kusta dunia terdapat di Brasil, Madagaskar,
Mozambik, Tanzania dan Nepal.

Sebagaimana yang dlaporkan oleh WHO pada 115 negara dan teritori pada 2006 dan
diterbitkan di Weekly Epidemiological Record, prevalensi terdaftar kusta pada awal tahun 2006
adalah 219.826 kasus. Penemuan kasus baru pada tahun sebelumnya adalah 296.499 kasus.
Alasan jumlah penemuan tahunan lebih tinggi dari prevalensi akhir tahun dijelaskan dengan
adanya fakta bahwa proporsi kasus baru yang terapinya selesai pada tahun yang sama sehingga
tidak lagi dimasukkan ke prevalensi terdaftar. Penemuan secara global terhadap kasus baru
menunjukkan penurunan.

Epidemiologi Kusta di Indonesia

Penyakit ini diduga berasal dari Afrika atau Asia Tengah yang kemudian menyebar
keseluruh dunia lewat perpindahan penduduk ini disebabkan karena perang, penjajahan,
perdagangan antar benua dan pulau-pulau. Berdasarkan pemeriksaan kerangka-kerangka
manusia di Skandinavia diketahui bahwa penderita kusta ini dirawat di Leprosaria secara isolasi
ketat. Penyakit ini masuk ke Indonesia diperkirakan pada abad ke IV-V yang diduga dibawa oleh
orang-orang India yang datang ke Indonesia untuk menyebarkan agamanya dan berdagang.

Pada pertengahan tahun 2000 jumlah penderita kusta terdaftar di Indonesia sebanyak
20.742 orang. Jumlah penderita kusta terdaftar ini membuat Indonesia menjadi salah satu Negara
di dunia yang dapat mencapai eliminasi kusta sesuai target yang ditetapkan oleh WHO yaitu
tahun 2000.

IV. CARA PENULARAN

Meskipun cara penularannya yang pasti belum diketahui dengan jelas penularan di dalam
rumah tangga dan kontak/hubungan dekat dalam waktu yang lama tampaknya sangat berperan
dalam penularan. Berjuta-juta basil dikeluarkan melalui lendir hidung pada penderita kusta tipe
lepromatosa yang tidak diobati, dan basil terbukti dapat hidup selama 7 hari pada lendir hidung
yang kering. Ulkus kulit pada penderita kusta lepromatusa dapat menjadi sumber penyebar basil.
Organisme kemungkinann masuk melalui saluran pernafasan atas dan juga melalui kulit yang
terluka. Pada kasus anak-anak dibawah umur satu tahun, penularannya diduga melalui plasenta.
Masa tunas sangat bervariasi aara 40 hari hingga 40 tahun, umumnya antara 3-5 tahun.

Dua pintu keluar dari M. leprae dari tubuh manusia diperkirakan adalah kulit dan mukosa
hidung. Telah dibuktikan bahwa kasus lepromatosa menunjukkan adanya sejumlah organisme di
dermis kulit. Bagaimanapun masih belum dapat dibuktikan bahwa organisme tersebut dapat
berpindah ke permukaan kulit. Walaupun terdapat laporan bahwa ditemukanya bakteri tahan
asam di epitel deskuamosa di kulit, Weddel et al melaporkan bahwa mereka tidak menemukan
bakteri tahan asam di epidermis. Dalam penelitian terbaru, Job et al menemukan adanya
sejumlah M. leprae yang besar di lapisan keratin superfisial kulit di penderita kusta lepromatosa.
Hal ini membentuk sebuah pendugaan bahwa organisme tersebut dapat keluar melalui kelenjar
keringat. Pentingnya mukosa hidung telah dikemukakan oleh Schäffer pada 1898. Jumlah dari
bakteri dari lesi mukosa hidung di kusta lepromatosa, menurut Shepard, antara 10.000 hingga
10.000.000 bakteri. Pedley melaporkan bahwa sebagian besar pasien lepromatosa
memperlihatkan adanya bakteri di sekret hidung mereka. Davey dan Rees mengindikasi bahwa
sekret hidung dari pasien lepromatosa dapat memproduksi 10.000.000 organisme per hari.

Cara-cara penularan penyakit kusta sampai saat ini masih merupakan tanda tanya. Yang
diketahui hanya pintu keluar kuman kusta dari tubuh si penderita, yakni selaput lendir hidung.
Tetapi ada yang mengatakan bahwa penularan penyakit kusta adalah:

a. Melalui sekret hidung, basil yang berasal dari sekret hidung penderita yang sudah
mengering, diluar masih dapat hidup 2–7 x 24 jam.

b. Kontak kulit dengan kulit. Syarat-syaratnya adalah harus dibawah umur 15 tahun,
keduanya harus ada lesi baik mikoskopis maupun makroskopis, dan adanya kontak
yang lama dan berulang-ulang.

Penyakit kusta dapat ditularkan dari penderita kusta tipe multi basiler (MB) kepada orang
lain dengan cara penularan langsung. Penularan yang pasti belum diketahui, tapi sebagian besar
para ahli berpendapat bahwa penyakit kusta dapat ditularkan melalui saluran pernapasan dan
kulit. Timbulnya penyakit kusta bagi seseorang tidak mudah dan tidak perlu ditakuti tergantung
dari beberapa faktor antara lain :

a. Faktor sumber penularan

Adalah penderita kusta tipe MB. Penderita Multi Basiler ini pun tidak akan menularkan
kusta apabila berobat teratur.

b. Faktor kuman kusta

Kuman kusta dapat hidup di luar tubuh manusia antara 1-9 hari tergantung pada suhu dan
cuaca dan diketahui kuman kusta yang utuh yang dapat menimbulkan penularan.

c. Faktor daya tahan tubuh

Sebagian besar manusia kebal terhadap penyakit kusta. Dari hasil penelitian
menunjukkan gambar sebagai berikut dari 100 orang yang terpapar, 95 orang tidak menjadi sakit,
3 orang sembuh sendiri tanpa obat, 2 orang menjadi sakit, hal ini belum lagi memperhitungkan
pengaruh pengobatan. Tidak semua orang yang terinfeksi oleh kuman M. leprae menderita kusta,
dan diduga faktor genetika juga ikut berperan, setelah melalui penelitian dan pengamatan pada
kelompok penyakit kusta di keluarga tertentu. Belum diketahui pula mengapa dapat terjadi tipe
kusta yang berbeda pada setiap individu. Faktor ketidakcukupan gizi juga diduga merupakan
faktor penyebab.

V. PATOGENESIS

Meskipun cara masuk M.leprae ke dalam tubuh masih belum diketahui dengan pasti,
beberapa penelitian telah memperlihatkan bahwa tersering ialah melalui kulit yang lecet pada
bagian tubuh yang bersuhu dingin dan melalui mukosa nasal. Pengaruh M. leprae terhadap kulit
bergantung pada faktor imunitas seseorang, kemampuan hidup M.leprae pada suhu tubuh yang
rendah, waktu regenerasi yang lama, serta sifat kuman yang avirulen dan nontoksis.
M.leprae merupakan parasit obligat intraseluler yang terutama terdapat pada sel
makrofag di sekitar pembuluh darah superfisial pada dermis atau sel Schwan di jaringan saraf.
Bila kuman M.leprae masuk ke dalam tubuh, maka tubuh akan bereaksi mengeluarkan makrofag
(berasal dari sel monosit darah, sel mononuklear, histiosit) untuk memfagositnya.

Pada kusta tipe LL terjadi kelumpuhan sistem imunitas selular, dengan demikian
makrofag tidak mampu menghancurkan kuman sehingga kuman dapat bermultiplikasi dengan
bebas, yang kemudian dapat merusak jaringan.

Pada kusta tipe TT kemampuan fungsi sistem imunitas selular tinggi, sehingga makrofag
sanggup menghancurkan kuman. Sayangnya setelah semua kuman di fagositosis, makrofag akan
berubah menjadi sel epiteloid yang tidak bergerak aktif dan kadang-kadang bersatu membentuk
sel datia langhans. Bila infeksi ini tidak segera di atasi akan terjadi reaksi berlebihan dan masa
epiteloid akan menimbulkan kerusakan saraf dan jaringan disekitarnya.

Sel Schwan merupakan sel target untuk pertumbuhan M.lepare, disamping itu sel Schwan
berfungsi sebagai demielinisasi dan hanya sedikit fungsinya sebagai fagositosis. Jadi, bila terjadi
gangguan imunitas tubuh dalm sel Schwan, kuman dapat bermigrasi dan beraktivasi. Akibatnya
aktivitas regenerasi saraf berkurang dan terjadi kerusakan saraf yang progresif.

Kelangsungan dan tipe penyakit kusta sangat tergantung pada kemampuan tubuh untuk
membentuk “cell mediated“ kekebalan secara efektif. Tes lepromin adalah prosedur penyuntikan
M. Leprae yang telah mati kedalam kulit; ada tidaknya indurasi dalam 28 hari setelah
penyuntikan disebut dengan reaksi Mitsuda. Reaksi Mitsuda negatif pada kusta jenis lepromatosa
dan positif pada kusta tipe tuberkuloid, pada orang dewasa normal. Karena tes ini hanya
mempunyai nilai diagnosis yang terbatas dan sebagai pertanda adanya imunitas. Komite Ahli
Kusta di WHO menganjurkan agar penggunaan tes lepromin terbatas hanya untuk tujuan
penelitian. Angka hasil tes yang positif akan meningkat seiring dengan bertambahnya usia.
Sebagai tambahan tingginya prevalensi transformasi limfosit yang spesifik terhadap M. leprae
dan terbentuknya antibodi spesifik terhadap M. leprae diantara orang yang kontak dengan
penderita kusta menandakan bahwa penularan sudah sering terjadi walaupun hanya sebagian
kecil saja dari mereka yang menunjukan gejala klinis penyakit kusta. Pola klinis penyakit ini
ditentukan oleh respons imunitas yang diperantarai sel (cell-mediated imunity) host terhadap
organisme. Bila respons imunitasnya baik, maka timbul lepra tuberkuloid, dimana kulit dan
saraf-saraf perifer terkena. Lesi kulit berbentuk tunggal. Atau hanya beberapa, dan berbatas
tegas. Bentuknya berupa makula atau plak dengan hipopigmentasi pada kulit yang gelap.
Terdapat anestesi pada lesi, hilangnya keringat, dan berkurangnya jumlah rambut. Penebalan
cabang-cabang saraf kulit dapat diraba pada daerah lesi tersebut, dan saraf perifer yang besar
juga dapat diraba. Tes lepromin positif kuat. Gambaran histologis berupa granuloma tuberkoloid
yang jelas, dan tidak ditemukan adanya basil pada pewarnaan Ziehl-Nielsen yang dimodifikasi.
Bila respons imunitas selulernya rendah, maka multiplikasi kuman menjadi tak terkendali dan
timbul bentuk lepralepromatosa. Kuman menyebar tidak hanya pada kulit, tetapi juga mukosa
saluran respirasi, mata, testis, dan tulang. Lesi kulit berbentuk multipel dan nodular. Tes
lepromin negatif. Pada pemeriksaan histologi berupa granuloma yang difus pada dermis, dan
ditemukan basil dalam jumlah yang banyak.

VI. KLASIFIKASI DAN GEJALA KLINIS KUSTA

A. Klasifikasi Penyakit Kusta

1. Tujuan klasifikasi

Ø Untuk menentukan rejimen pengobatan, prognosus dan komplikasi

Ø Untuk perencanaan operasional, misalnya menemukan pasien-pasien yang


menular yang mempunyai nilai epidemiologis tinggi sebagai target utama
pengobatan.

Ø Untuk identifikasi pasien yang kemungkinan besar akan menderita cacat.

2. Jenis klasifikasi yang umum

A. Klasifikasi Internasional (1953)


Ø Indeterminate (I)

Ø Tuberkuloid (T)

Ø Borderline-Dimorphous (B)

Ø Lepromatosa (L)

B. Klasifikasi untuk kepentingan riset /klasfikasi Ridley-Jopling (1962)

Ø Tuberkoloid (TT)

Ø Boderline tubercoloid (BT)

Ø Mid-berderline (BB)

Ø Borderline lepromatous (BL)

Ø Lepromatosa (LL)

C. Klasifikasi untuk kepentingan program kusta /klasifikasi WHO (1981) dan


modifikasi WHO (1988)

Ø Pausibasilar (PB)

Hanya kusta tipe I, TT dan sebagian besar BT dengan BTA negatif menurut
kriteria Ridley dan Jopling atau tipe I dan T menurut klasifikasi Madrid.

Ø Multibasilar (MB)

Termasuk kusta tipe LL, BL, BB dan sebagian BT menurut kriteria Ridley
dan Jopling atau B dan L menurut Madrid dan semua tipe kusta dengan BTA
positif.

Tabel 1. perbedaan tipe PB dan MB menurut klasifikasi WHO


PB MB
1. Lesi kulit (makula yang Ø 1-5 lesi Ø > 5 lesi
datar, papul yang
meninggi,infiltrat, plak Ø Hipopigmentasi/eritema Ø Distribusi lebih simetris

eritem, nodus)
Ø Distribusi tidak simetris Ø Hilangnya sensasi kurang jelas

Ø Hilangnya sensasi yang jelas

Ø Hanya satu cabang saraf Ø Banyak cabang saraf

2. Kerusakan
saraf(menyebabkan
hilangnya
senasasi/kelemahan otot
yang dipersarafi oleh
saraf yang terkena)

** Semua pasien dengan BTA positif, apapun klasifikasi klinisnya diobati dengan MDT-MB

Kekebalan selular (cell mediated immunity = CMI)/ SIS (Sistem Imunitas Seluler)
seseorang yang akan menentukan, apakah ia akan menderita kusta bila ia mendapat infeksi
M.leprae dan tipe kusta yang akan dideritanya dalam spektrum penyakit kusta. Makin tinggi SIS
seseorang maka gambaran klinis akan ke arah tuberculoid, jika SIS rendah maka gambaran klinis
akan semakin lepromatosa.
Gambaran klinis penyakit kusta pada seorang pasien mencerminkan tingkat
kekebalan selular pasien tersebut. Adapun klasifikasi yang banyak dipakai dalam bidang
penelitian adalah klasifikasi menurut Ridley dan Jopling yang mengelompokkan penyakit
kusta menjadi 5 kelompok berdasarkan gambaran klinis, bakteriologis, histopatologis dan
imunologis. Sekarang klasifikasi ini juga secara luas dipakai di klinik dan untuk
pemberantasan.

1.Tipe tuberkoloid (TT)

Lesi ini mengenai baik kulit maupun saraf. Lesi kulit bisa satu atau beberapa,
dapat berupa makula atau plakat, batas jelas dan pada bagian tengah dapat ditemukan
lesi yang regresi atau cemntral healing. Permukaan lesi dapat bersisik dengan tepi yang
meninggi bahkan dapat menyerupai gambaran psoriasis atau tinea sirsnata. Dapat
disertai penebalan saraf perifer yang biasanya teraba, kelemahan otot, dan sedikit rasa
gatal. Adanya infiltrasi tuberkuloid dan tidak adanya kuman merupakan tanda
terdapatnya respons imun pejamu yang adekuat terhadap kuman kusta.

2.Tipe borderline tubercoloid (BT)

Lesi pada tipe ini menyerupai tipe TT, yakni berupa makula atau plak yang sering
disertai lesi satelit di tepinya. Jumlah lesi dapat satu atau beberapa, tetapi gambaran
hipopigmentasi, kekeringan kulit atau skuama tidak sejelas tipe tuberkuloid. Adanya
gangguan saraf tidak seberat tipe tuberkuloid, dan biasanya asimetris. Lesi satelit
biasanya ada dan terletak dekat saraf perifer yang menebal.

3.Tipe mid borderline (BB)

Merupakan tipe yang paling tidak stabil dari semua tipe dalam spektrum penyakit
kusta. Disebut juga sebagai bentuk dimorfik dan bentuk ini jarang dijumpai. Lesi dapat
berbentuk makula infiltratif. Permukaan lesi dapat berkilap, batas lesi kurang jelas
dengan jumlah lesi yang melebihi tipe BT dan cenderung simetris. Leso sangat
bervariasi, baik dalam ukuran, bentuk, ataupun distribusinya. Bisa didapatkan lesi
punched out yang merupakan ciri khas tipe ini.

4.Tipe borderline lepromatosa

Secara klasik lesi dimulai dengan makula. Awalnya hanya dalam jumlah sedikit
dan dengan cepat menyebar ke seluruh badan. Makula lebih jekas dan lebih bervariasi
bentuknya. Walaupun masih kecil, papul dan nodus lebih tegas dengan distribusi lesi
yang hampir simetris dan beberapa nodus tampaknya melekuk pada bagian tengah. Lesi
bagian tengah tampak normal dengan pinggir dalam infiltrat lebih jelas dibandingkan
dengan pinggir luarnya, dan beberapa plak tampak seperti punched-out. Tanda-tanda
kerusakan saraf berupa hilangnya sensasi, hipipigmentasi, berkurangnya keringat dan
hilangnya rambut lebih cepat muncul dibandingkan dengan tipe LL. Penebalan saraf
dapat teraba pada tempat predileksi.

5. Tipe lepromatosa (LL)


Jumlah lesi sangat banyak, simetris, permukaan halus, lebih eritematosa, berkilap,
berbatas tidak tegas dan pada stadium dini tidak ditemukan anestesi dan anhidrosis.
Distribusi lesi khas, yakni di wajah mengenai dahi, pelipis, dagu, cuping telinga.
Sedang dibadan mengenai bagian badan yang dingin, lengan, punggung tangan, dan
permukaan ekstensor tungkai bawah. Pada stadium lanjut tampak penebalan kulit yang
progresif, cuping telinga menebal, garis muka menjadi kasar dan cekung membentuk
fasies leonina yang dapat disertai madarosis, iritis dan keratis. Lebih lanjut lagi dapat
terjadi deformitas pada hidung. Dapat dijumpai pembesaran kelenjar limfe, orkitis yang
selanjutnya dapat menjadi atrofi testis. Kerusakan saraf yang luas menyebabkan gejala
stocking dan glove anaesthesia. Bila penyakit ini menjadi progresif, muncul makula dan
papul baru, sedangkan lesi lama menjadi plakat dan nodus. Pada stadium lanjut serabut-
serabut saraf perifer mengalami degenerasi hialin atau fibrosis yang menyebabkan
anestesi dan pengecilan otot tangan dan kaki.

Salah satu tipe penyakit kusta yang tidak termasuk dalam klasifikasi Ridley dan
jopling, tetapi diterima secara luas oleh para ahli kusta yaitu tipe indeterminate (I). lesi
biasanya berupa makula hipopigmentasi dengan sedikit sisik dan kulit di sekitarnya
normal. Lokasi biasanya di bagian ekstensor ekstremitas, bokong atau muka, kadang-
kadang dapat ditemukan makula hipestesi atau sedikit penebalan saraf. Diagnosis tipe
ini hanya dapat ditegakkan, bila dengan pemeriksaan histopatologik.

VII. PEMERIKSAAN FISIK DAN PENUNJANG KUSTA

Inspeksi pasien dapat dilakukan dengan penerangan yang baik, lesi dan kerusakan kulit
juga harus diperhatikan.Palpasi dan pemeriksaan dapat dilakukan dengan alat-alat sederhana
yaitu jarum untuk nyeri, kapas untuk rasa raba dan dapat menggunakan 2 buahtabung reaksi jika
masih belum jelas. Perlu juga dilakukan pemriksaan anhidrosi kulit dengan cara sederhana
seperti Tes Gunawan.
Pemeriksaan Saraf Tepi

UNtuk saraf perifer perlu diperhatikan pembersaran, konsistensi dan nyeri atau tidak. Hanya
beberapa saraf yang diperiksa yaitu N. Fasialis, N. Aurikularis magnus, N. Radialis, N. Ulnaris,
N. Medianus, N. Poplitea lateralis, N. Tibialis Posterior. Pada pemeriksaan, dibandingkan antara
kiri dan kanan. Pada tipe lepromatosus biasanya kelainan sarafnyabilateral dan menyeluruh
sedangkan tipe tuberkuloid terlokalisasi mengikuti tempat lesinya.

Cara pemeriksaan saraf tepi:

a. N. Auricularis magnus
Pasien menoleh ke samping semaksimal mungkin, maka saraf yang terlibat akan
terdorong oleh otot-oto di bawahnya sehingga sudah bisa terlihat pembesaran sarafnya.
Dua jari pemeriksaa diletakkan diatas persilangan jalannya saraf tersebut dengan arah
otot. Bila ada penebalan maka akan teraba jaringan seperti kabel atau kawat. Bandingkan
kiri dan kanan.
b. N. Ulnaris
Tangan yng diperiksa harus santai, sedikit fleksi dan sebaiknya diletakkan di atas satu
tangan pemeriksa. Tangan pemeriksa meraba sulcus nervi ulnaris dan merasakan adakah
penebalan. Bandingkan kanan dan kiri.
c. N. Peroneus lateralis
Pasien duduk dengan kedua kaki menggantung, diraba di sebelah lateral dari capitulum
fibulae.

Tes Fungsi Saraf

a. Tes Sensoris
Gunakan kapas, jarum serta tabung reaksi brisi air hangat dan dingin.
 Rasa Raba
Sepotong kapas yang dlancipkan ujungnya, disinggungkan ke kulit pasien. Kapas
disinggungkan kulit yang lesi dan yang sehat kemudian pasien disuruh menunjuk
kulit yang di singgung dengan mata terbuka. Jika hal ini telah dimengerti, tes
kembali dikukan tetapi dengan mata pasien tertutup.
 Rasa Tajam
Diperiksa dengan jarum yang disentuhkan ke kulit pasien. Setelah disentuhkan
bagian tajamnya lalu disentuhkan bagian tumpulnya kemudian pasien diminta
menentukan tajam atau tumpul. Tes ini dilakukan seperti pemeriksaan rasa raba.
 Rasa Suhu
Dilakuan dengan menggunakan dua buah tbung reaksi yangberisi air panas dan air
dingin. Lalu diminta pasien menetukan rasa dingin atau panas seperti cara
pemeriksaan sensasi lainnya.
b. Tes Otonom
Berdasarnkan adanya anguan berkeringat di makula anestesi pada penyakit kusta,
pemeriksaan lesi kulit dapat dilengkapi dengan tes anhidrosis yaitu:
1. Tes dengan tinta (Tes Gunawan)
2. Tes Pilokarpin
3. Tes Motoris (Voluntary Muscle Test) pada N. Ulnaris, N. Medianus, N. Radialis dan
N. Peroneus.

Pemeriksaan Bakteriologis

Pemeriksaan bakterioskopik dilakukan dengan menggunakan sediaan kerokan kulit atau


usapan mukosa hidung yang diwarnai secara ZIEHL NEELSON. Untuk riset dilakukan di 10
tempat dan untuk pemriksaan rutin dilakukan mengambilan dari 4-6 tempat/lesi yaitu kedua
cuping telinga bagibawah dan 2-4 lesi lain yang paling eritematos tau paling aktif. Cuping
telinga dipilah sebab didearah tersebut paling banyak terdapat M. Leprae.

Kepadatan BTA pada suatu sediaan dinyatakan dengan IB (indeks bakteri) dengan nilai 0
sampai 6+ menurut Ridley sebagai berikut:

0 jika tidak ditemukan BTA dalam 100 LP

1+ jika ditemukan 1-10 BTA dalam 100 LP

2+ jika ditemukan 1-10 BTA dalam 10 LP

3+ jika ditemukan 1-10 BTA rata-rata dalam 1 LP

4+ jika ditemukan 11-100 BTA rata-rata dalam 1 LP


5+ jika ditemukan 101-1000 BTA rata-rata dalam 1 LP

6+ jika ditemukan >1000 BTA rata-rata dalam 1 LP

Indeks morfologi adalah persentase bentuk solid dibandingkan dengan jumlah solid dan non
solid.

IM : Jumlah solid X 100%

Jumlah solid + Non Solid

Pemeriksaan Histopatologis

Pada tipe tuberkuloid didapatkan tubrkel dan kerusakan saraf yang lebih nyata tetapi
tidak ada basil atau basil non solid. Pada tipe lepromatosa terdapat kelim sunyi subepidermal
(subepidermal clear zone) yaitu suatu daerah langsung dibawah epidermis yang jaringannya
tidak patologik. Dapat dijumpai banyak sel Virchow.

Pemeriksaan Serologis

Kegagalan pembiakan dan isolasi kuman mengabatkan diagnosis serologi meru[akan


alternatif yang paling diharapkan. Pemeriksaan serologik yang dapat digunakan adalah MLPA
(M. Leparae Particle Aglutination), uji ELISA dan ML dipstick.

Pemeriksaan Lepromin

Tes lepromin adalah tes non spesifik ntuk klasifikasi dan prognosis lepra tetapi tidak
untuk diagnosis. Tes ini hanya untuk menunjukkan sistem imun penderita terhadap M. Leprae.
0,1 ml lepromin disuntikkan intradermal. Kemudian dibaca dalam 48 jam/2 hari (reaksi
Fernandez) atau 3-4 minggu (reaksi Mitsuda). Reaksi Fernandez positif bila terdapat indurasi dan
eritema yang menunjukkan kalau penderita bereaksi terhadap M. Leprae yaitu respon imun tipe
lambat.

Reaksi Mitsuda:

0 jika papul berdiameter 3 mm atau kurang

+1 jika papul berdiameter 4-6 mm

+2 jika papul berdiameter 7-10 mm

+3 jika berdiameter >10 mm atau papul dengan ulserasi.

VIII. DIAGNOSIS KUSTA

Penyakit kusta dapat menunjukkan gejala yang mirip dengan banyak penyakit lain.
Sebaliknya banyak penyakit lain dapat menunjukkan gejala yang mirip dengan penyakit kusta.
Oleh karena itu dibutuhkan kemampuan untuk mendiagnosis penyakit kusta secara tepat dan
membedakannya dengan berbagai penyakit yang lain agar tidak membuat kesalahan yang
merugikan pasien. Diagnosis penyakit kusta didasarkan pada penemuan tanda kardinal (tanda
utama), yaitu :

1.Bercak kulit yang mati rasa

Bercak hipopigmentasi atau eritematosa, mendatar (makula) atau meninggi (plak).


Mati rasa pada bercak bersifat total atau sebagian saja terhadap rasa raba, rasa suhu dan
rasa nyeri.

2. Penebalan saraf tepi


Dapat disertai rasa nyeri dan dapat juga disertai atau tanpa gangguan fungsi saraf yang
terkena, yaitu :

a. gangguan fungsi sensoris : mati rasa

b. gangguan fungsi motoris : paresis atau paralisis

c. gangguan fungsi otonom : kulit kering, retak, edema, pertumbuhan rambut yang
terganggu.

3. Ditemukannya kuman tahan asam

Bahan pemeriksaan adalah hapusan kulit cuping telinga dan lesi kulit pada bagian yang
aktif. Kadang-kadang bahan diperoleh dari biopsi kulit dan saraf.

Untuk menegakkan diagnosis penyakit kusta, paling sedikit harus ditemukan satu tanda
kardinal. Bila tidak atau belum dapat ditemukan, maka kita hanya dapat mengatakan tersangka
kusta dan pasien perlu diamati dan diperiksa ulang setelah 3-6 bulan sampai diagnosis kusta
dapat ditegakkan atau disingkirkan.

REAKSI KUSTA

Reaksi kusta adalah interupsi dengan episode akut pada perjalanan penyakit yang sebenarnya
sangat kronik. Terbagi atas dua tipe yaitu:

 Reaksi reversal atau reaksi upgrading (reaksi tipe 1)


Hipersensitivitas tipe lamba oleh karena peningkatan mendadak SIS yang faktor
pencetusnya belum diketahui.
 Eritema Nodosum Leprosum (ENL)
Karena pengobatan lama, banyakbasl yang mati dan hancur, berarti banyak
antigenyang dilepaskan dan bereaksi dengn antibodi serta mengaktifkan sistem
komplemen. Kompleks tersebut beredar dalam darah dan akhirnya melibatkan
banyak organ.
X. PENGOBATAN KUSTA

Tujuan utama program pemberantasan kusta adalah memutus rantai penularan untuk
menurunkan insiden penyakit, mengobati dan menyembuhkan penderita, dan mencegah
timbulnya cacat. Untuk mencapai tujuan itu sampai sekarang strategi pokok yang dilakukan
masih berdasarkan atas deteksi dini dan penobatan penderita, yang tampaknya masih merupakan
dua hal yang penting meskipun nantinya vaksin kusta yang efektif telah tersedia.
Pada tahun 1981 WHO merekomendasikan penggunaan Multi Drug Therapy (MDI),
yaitu pengobatan baku terhadap pasien dengan kusta multibasil dan pasien dengan kusta
paucibasil. Regimen ini diharapkan efektif, dapat digunakan secara luas dan diterima oleh semua
pasien; sampai saat ini telah diterima sebagai pengobatan standar untuk penyakit kusta.

Program MDT

Program MDT dimulai pada tahun 1981, yaitu ketika kelompok studi kemoterapi WHO
secara resmi mengeluarkan rekomendasi pengobatan kusta dengan rejimen kombinasi yang
selanjutnya dikenal sebagai rejimen MDT-WHO. Rejimen ini terdiri atas kombinasi obat-obat
dapson, rifampisin dan klofasimin. Selain untuk mengatasi resistensi dapson yang semakin
meningkat, penggunaan MDT dimaksudkan juga untuk mengurangi ketidaktaatan penderita dan
menurnkan angka putus-obat (drop out rate) yang cukup tinggi pada masa monoterapi dapson.
Disamping itu diharapkan juga MDT dapat mengeliminasi persistensi kuman kusta dalam
jaringan.

Obat dalam rejimen MDT-WHO

a. Dapson (DDS, 4,4 diamino-difenil-sulfon). Obat ini bersifat tidak seperti pada kuman
lain, dapson bekerja sebagai antimetabolit PABA. Resistensi terhadap

b. Rifampisin. Rifampisin merupakan obat yang paling ampuh saat ini untuk kusta, dan
bersifat bakterisidal kuat pada dosis lazim. Rifampisin bekerja menghambat enzim
polimerase RNA yang berikatan secara ireversibel.

c. Klofazimin. Obat ini merupakan turunan zat warna iminofenazin dan mempunyai
efek bakteriostatik setara dengan dapson. Bekerjanya diduga melalui gangguan
metabolisme radikal oksigen. Disamping itu obat ini juga mempunyai efek
antiinflamasi sehingga berguna untuk pengobatan reaksi kusta, kekurangan obat ini
adalah harganya mahal, serta menyebabkan pigmentasi kulit yang sering merupakan
masalah pada ketaatan berobat penderita.
d. Etinamid dan protionamid. Kedua obat ini merupakan obat tuberkulosis dan hanya
sedikit dipakai pada pengobatan kusta.

Selain penggunaan Dapson (DDS), pengobatan penderita kusta dapat menggunakan


Lamprine (B663), Rifanficin, Prednison, Sulfat Feros dan vitamin A (untuk menyehatkan kulit
yarlg bersisik).

Regimen Pengobatan Kusta (WHO/DEPKES RI), PBdean lesi tunggal diberikan ROM
(Rifampisin Ofloksasin Minosiklin). Pemberian obat sekali saja langsung RFT. Obat diminum di
depan petugas. Anak-anak dan ibu hamil tidak diberikan ROM. Bila obat belum tersedia di
Puskesmas, dapat diobati dengan pengobatan PB lesi (2-5). Regimen pengobatan PB lesi (2-5)
adalah

Rifampisin Ofloksasin Minosiklin


Dewasa (50-70kg) 600 mg 400 mg 100 mg
Anak (5-14 thn) 300 mg 200 mg 50 mg

Lesi PB 2-5, lama pengobatan adalah 6-9 bulan. Setelah minum 6 dosis maka dinyakatan Release
From Treatment (RFT).

Rifampisin Dapson
Dewasa 600 mg/bulan 100 mg/hari
Anak-anak (10-14 tahun) 300 mg/bulan 50 mg/hari

Untuk MB, pengobatan 12 dosis yang diselesaikan selama 12-18 bulan. Setelah minum
12 dosis obat ini, dinyatakan RFT. Pemantauan selama2 tahun untuk PB dan 5 tahun untuk MB.

XI. PENGOBATAN KUSTA DENGAN PENYULIT

Jika MDT-WHO tidak dapat dilakkan karena suatu alasan, WHO mempunyai regiment
untuk situasi khusus, yaitu:

a. Jika tidak dapt diobati dengan rifampisin

Lama Pengobatan Obat Dosis


6 bulan pertama Klofazimin 50 mg tiap hari
Ofloksasin 400 mg tiap hari
Minosiklin 100 mg tiap hari
8 bulan berikutnya Klofazimin 50 mg tiap hari
Ofloksasin 400 mg tiap hari
atau
Minosiklin 100 mg tiap hari

b. Jika pasien MB menolak klofazimin


Diberikan ofloksasin 400 mg/hari selama 12 bulan atau minosiklin 100 mg/hari slama 12
bulan. Alternatif lain adalah rifampisin 600 mg/bulan selama 24 bulan, ofloksasin 400
mg.bulan selama 24 bula dan minosiklin 10 mg/bulan selama 24 bulan.

c. Jika pasien tidak dapat diobat dengan DDS


Diberikan regimen pengganti selama 6 bulan:

Rifampisin Klofamizin
Dewasa 600 mg/bulan 50 mg/hari dan 300
mg/bulan
Anak-anak 450 mg/bulan 50 mg/hari dan 150
mg/bulan

Pengobatan ENL

ENL diobati dengan tablet kotikosteroid. Pilihn yang sering digunakan ialah prednison
dengan dosis 15-30 mg/hari lalu diturunkan bertahap.

Dapat juga menggunakan kofazimin 200-300 mg/hari naun khasiatnya lebih lambat dari
pada kortikosteroid.

Pengobatan Reversal
Hanya diobati jika menyebabkan neuritis akut. Obat yang digunakan biasanya
kortikosteroid dengan pilihan prednison dengan dosis 40-60 mg/hari lalu diturunkan bertahap.
Dapat di berikan analgesik dan sedatif.

XII. KOMPLIKASI

Lepra merupakan penyebab kecacatan tangan yang paling sering. Trauma dan infeksi
kronik sekunder dapat menyebabkan hilangnya jari ataupun ekstremitas bagian distal. Juga
sering terjadi kebutaan. Fenomena Lucio yang ditandai dengan artritis, terbatas pada pasien
lepromatosus difus, infiltratif dan non noduler. Kasus yang lainnya adalah vaskulitis nekrotikus
dan menyebabkan tingginya mortalitas.

XIII. REHABILITASI MEDIK

Diperlukan pencegahan cacat sejak dini dengan disertai pengelolaan yang baik dan benar.
Untuk itulah diperlukan pengetahuan rehabilitasi medik secara terpadu, mulai dari pengobatan,
psikoterapi, fisioterapi, perawatan luka, bedah rekonstruksi dan bedah septik, pemberian alas
kaki, protese atau alat bantu lainnya, serta terapi okupasi. Penting pula diperhatikan rehabilitasi
selanjutnya, yaitu rehabilitasi sosial (rehabilitasi nonmedis), agar mantan pasien kusta dapat siap
kembali ke masyarakat, kembali berkarya membangun negara, dan tidak menjadi beban
pemerintah. Kegiatan terpadu pengelolaan pasien kusta dilakukan sejak diagnosis ditegakkan.
Rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial merupakan satu kesatuan kegiatan yang dikenal sebagai
rehabilitasi paripurna.

Perawatan terhadap reaksi lepra mempunyai 4 tujuan, yaitu :

1. Mencegah kerusakan saraf, sehingga terhindar pula dari gangguan sensorik,


paralisis, dan kontraktur.

2. Hentikan kerusakan mata untuk mencegah kebutaan.


3. Kontrol nyeri.

4. Pengobatan untuk mematikan basil lepra dan mencegah perburukan keadaan


penyakit.

Bila kasus dini, upaya rehabilitasi medis lebih bersifat pencegahan


kecacatan. Bila kasus lanjut, upaya rehabilitasi difokuskan pada pencegahan
handicap dan mempertahankan kemampuan fungsi yang tersisa. Beberapa hal yang
harus dilakukan oleh pasien adalah :

a. Pemeliharaan kulit harian

1. cuci tangan dan kaki setiap malam sesudah bekerja dengan sedikit sabun
(jangan detergen)

2. Rendam kaki sekitar 20 menit dengan air dingin

3. kalau kulit sudah lembut. Gosok kaki dengan karet busa agar kulit kering
terlepas.

4. kulit digosok dengan minyak.

5. secara teratur kulit diperiksa (adakah kemerahan, hot spot, nyeri, luka dan
lain-lain)

b. Proteksi tangan dan kaki

1. Tangan :

- pakai sarung tangan waktu bekerja

- stop merokok

- jangan sentuh gelas/barang panas secara langsung

- lapisi gagang alat-alat rumah tangga dengan bahan lembut

2. Kaki

- selalu pakai alas kaki

- batasi jalan kaki, sedapatnya jarak dekat dan perlahan


- meninggikan kaki bila berbaring

c. Latihan fisioterapi

Tujuan latihan adalah :

Cegah kontraktur, Peninkatan fungsi gerak, Peningkatan kekuatan otot,


Peningkatan daya tahan (endurance)

1. latihan lingkup gerak sendi : secara pasif meluruskan jari-jari menggunakan


tangan yang sehat atau dengan bantuan orang lain. Pertahankan 10 detik,
lakukan 5 – 10 kali per hari untuk mencegah kekakuan. Frekuensi dapat
ditingkatkan untuk mencegah kontraktur. Latihan lingkup gerak sendi juga
dikerjakan pada jari-jari ke seluruh arah gerak.

2. Latihan aktif meluruskan jari-jari tangan dengan tenaga otot sendiri

3. Untuk tungkai lakukan peregangan otot-otot tungkai bagian belakang dengan


cara berdiri menghadap tembok, ayunkan tubuh mendekati tembok,
sementara kaki tetap berpijak.

4. Program latihan dapat ditingkatkan secara umum untuk mempertahankan


elastisitas otot, mobilitas, kekuatan otot, dan daya tahan.

BAB III

KESIMPULAN

Kusta merupakan penyakit menahun yang menyerang syaraf tepi, kulit dan organ tubuh
manusia yang dalam jangka panjang mengakibatkan sebagian anggota tubuh penderita tidak
dapat berfungsi sebagaimana mestinya. Penyebab kusta adalah kuman mycobacterium leprae.
Dimana microbacterium ini adalah kuman aerob, tidak membentuk spora, berbentuk batang,
dikelilingi oleh membran sel lilin yang merupakan ciri dari spesies Mycobacterium, berukuran
panjang 1 – 8 micro, lebar 0,2 – 0,5 micro biasanya berkelompok dan ada yang tersebar satu-
satu, hidup dalam sel dan bersifat tahan asam (BTA) atau gram positif,tidak mudah diwarnai
namun jika diwarnai akan tahan terhadap dekolorisasi oleh asam atau alkohol. Klasifikasi
bentuk-bentuk penyakit kusta yang banyak dipakai dalam bidang penelitian adalah klasifikasi
menurut Ridley dan Jopling yang mengelompokkan penyakit kusta menjadi 5 kelompok
berdasarkan gambaran klinis, bakteriologis, histopatologis dan imunologis. Sekarang klasifikasi
ini juga secara luas dipakai di klinik dan untuk pemberantasan yaitu tipe tuberkoloid (TT), tipe
borderline tubercoloid (BT), Tipe mid borderline (BB), Tipe borderline lepromatosa, tipe
lepromatosa (LL)

Diagnosis penyakit kusta didasarkan pada penemuan tanda kardinal (tanda utama), yaitu
bercak kulit yang mati rasa, penebalan saraf tepi, ditemukannya kuman tahan asam. Diagnosa
kusta dan klasifikasi harus dilihat secara menyeluruh dari segi :a. Klinis, b. Bakteriologis, c.
Immunologis, d. Hispatologis.

Program MDT dimulai pada tahun 1981, yaitu ketika kelompok studi kemoterapi WHO
secara resmi mengeluarkan rekomendasi pengobatan kusta dengan rejimen kombinasi yang
selanjutnya dikenal sebagai rejimen MDT-WHO. Rejimen ini terdiri atas kombinasi obat-obat
dapson, rifampisin dan klofasimin. Rehabilitasi medik berupa pemeliharaan kulit harian, proteksi
tangan dan kaki, latihan fisioterapi, bidai, dapat di buat sepatu khusus, sesuai dengan deformitas
yang terjadi, program terapi okupasi merupakan program yang sangat penting untuk
mempertahankan dan meningkatkan kemampuan menolong diri, dukungan psikososial dari
keluarga dan lingkungan merupakan hal yang harus dilaksanakan.

TINJAUAN PUSTAKA

1. Djuanda A, M hamzah, editor. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. Kusta, A Kosasih,
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, edisi ke 5, 2010; p73-88.
2. Siregar RS. Atlas Berwarna Saripati Penyakit Kulit. Edisi kedua, Jakarta; EGC, 2002;
p154-163.
3. Lewis, S, Leprosy. Update Feb 4, 2010. Available at:
http://emedicine.medscape.com/article/1104977-overview
4. Wikipedia. Leprosy. Update Feb 18, 2011. Avaiable at:
http://en.wikipedia.org/wiki/Leprosy.

Anda mungkin juga menyukai