Wacana tentang daya saing dan pemeringkatan universitas telah banyak dibahas
oleh lembaga-lembaga pendidikan tinggi di dunia, tidak terkecuali Universitas
Brawijaya (UB). Globalisasi dalam beberapa sendi kehidupan manusia seperti bidang;
ekonomi, politik, sosial, dan budaya tampaknya sangat berpengaruh. Adapun lembaga-
lembaga yang melansir data pemeringkatan kampus seperti; Webometrics, 4icu, THE
(Times Higher Education), QS (Quacquarelli Symonds), maupun SJTU (Shanghai Jiao
Tong University) membuat banyak kampus di negeri ini maupun di dunia berlomba-
lomba.
Sebelum membahas daya saing, agaknya kita dapat melihat suatu tren bahwa
pemeringkatan itu konon masih seputar gengsi masing-masing kampus di mata
masyarakat. Di UB sendiri, akibat dari adanya pemeringkatan oleh beberapa lembaga-
lembaga itu, imbasnya sangat terlihat. Penataan di banyak bidang diharapkan agar kita
dapat masuk dalam jajaran kampus-kampus terbaik Asia maupun dunia. Demi obsesi
tersebut, sebagaimana banyak kampus besar di dunia, hampir semua aktivitasnya
dilakukan untuk memenuhi prasyarat agar masuk dalam peringkat atas menurut
beberapa lembaga tersebut.
Orientasi tentang daya saing ini kemudian memengaruhi kinerja pada tiap-tiap
civitas akademik di mana tujuannya kurang lebih ialah seputar menjadi kampus yang
dapat bersaing dengan kampus-kampus bonafit di luar negeri, sekaligus dapat
menghasilkan lulusan yang juga dapat bersaing di dunia internasional sejajar dengan
lulusan dari negara-negara maju.
Terlepas dari ramainya lembaga-lembaga membicarakan pemeringkatan dan hal
normatif yang diamanahkan oleh pemerintah, secara bersamaan perlu dipahami dahulu:
Rakyat dan bangsa Indonesia secara umum mendapat keuntungan apa, kalau kampus-
kampus kita diakui kualitasnya oleh QS, THE, Webometric, SJTU dan lainnya itu?
Mungkin sebagian besar di antara kita akan bangga dengan posisi tersebut, karena
bangsa kita pada umumnya jadi lebih eksis di dunia internasional. Lantas bukankah
tolak ukur yang diperjuangkan hingga sebuah universitas layak masuk di jajaran
pemeringkatan belum begitu pasti? Mungkin sebab itulah Edi Subkhan pada tahun 2010
1|
memaparkan hal tersebut dalam makalahnya yang berjudul “Mempertanyakan
Orientasi World Class University”. Pada intinya, dalam banyak forum intelektual,
pemeringkatan itu belum memiliki definisi yang jelas.
Dalam pandangan saya yang notabene masih menjadi mahasiswa, saya sering
mempertanyakan tentang „kegaduhan‟ yang terjadi dari proses pemeringkatan tersebut.
Pada kenyataannya, di kampus yang gencar menggemborkan misi menuju world class
university, tapi di ranah fundamental sendiri belum terselesaikan betul. Contohnya
kondisi perkuliahan. Sebagian kuliah dari dosen adalah slide .ppt yang sama dari tahun
ke tahun, serta iklim akademik yang kadang lesu. Jika boleh agak skeptis, daya saing
seperti apa yang disiapkan melalui proses pendidikan semacam itu? Belum lagi jika
bicara atmosfer keilmuan kini di mana pemerintah memiliki wadah yang justru
membuat mahasiswa „ambigu‟. Misalnya beberapa program pemerintah yang
mengakomodasi karya mahasiswa dan memberikan dana, lalu mahasiswa terforsir ke
sana untuk mendapat dana itu. Jadi, dalam kaitannnya dengan wacana daya saing,
apakah yang jadi orientasi kita adalah kompetisi-kompetisi pragmatis? Barangkali saya
merupakan satu dari sekian banyak generasi yang mencari titik temu antara kelaparan
yang sangat pada pengetahuan dan idealisme dan secara bersamaan dihadapkan pada
keharusan kampus untuk secepat mungkin mengikuti standar globalisasi yang kita tidak
2|
bisa melawannya. Namun bukan berarti terseret arus itu. Untuk go international, kita
harus terlebih dahulu kuat di visi dan misi yang sejak awal dibangun, baru kemudian
memperkuat segala aspek terkait standar daya saing Asia bahkan dunia.
3|
perubahan sosial. Para pendidik tidak hanya eksklusif di kelas saja melainkan harus bisa
melangkah keluar dan terbuka pada masyarakat.
Konklusi
4|