Dari Anas, Nabi as bersabda, “Tidak beriman salah seorang kamu sebelum
ia mencintai saudaranya sebagaimana ia mencintai saudaranya sebagaimana ia
mencintai dirinya.” (HR. Al-Bukhari)
Dalam hadis ini, Rasulullah As menegaskan bahwa kesempumaan iman
seseorang belum diperoleh apabila ia tidak mencintai saudaranya. Itu berarti
bahwa beliau memberikan motivasi yang sangat besar kepada umatnya agar
memiliki rasa dan perilaku sosial yang baik. Motivasi seperti ini juga perlu
diberikan oleh orangtua dan guru pada saat ini.
1
Umar Bukhari, Hadist Tarbawi
1
Mencintai bisa jadi berkaitan dengan urusan diin (agama), bisa jadi
berkaitan dengan urusan dunia. Rinciannya sebagai berikut.
Sangat suka jika dirinya mendapatkan kenikmatan dalam hal agama, maka
wajib baginya mencintai saudaranya sebagaimana ia mencintai dirinya
mendapatkan hal itu. Jika kecintaan seperti itu tudak ada, maka imannya
berarti dinafikan sebagaimana disebutkan dalam hadist.
Sangat suka jika dirinya memperoleh dunia, maka ia suka saudaranya
mendapatkan hal itu pula. Namun untuk kecintaan kedua ini dihukumi
sunnah. Misalnya, suka jika saudaranya diberi keluasan rezeki
sebagaimana ia pun suka dirinya demikian, maka dihukumi sunnah. Begitu
juga suka saudaranya mendapatkan harta, kedudukan, dan kenikmatan
dunia lainnya, hal seperti ini dihukumi sunnah.2
2
untuk mencari ilmu, maka Allah akan memudahkan baginya jalan ke surga. Dan
tiada berkumpul satu kaum dalam sebuah rumah di antara rumah-rumah Allah
untuk membaca Al-Qur`an dan mengkajinya bersama-sama, melainkan
ketenangan akan turun kepada mereka, rahmat akan menyelimuti mereka, dan
malaikat akan mengerumuni mereka, serta oleh Allah mereka akan ditempatkan di
kalangan orang-orang yang berada di sisi-Nya. Sedang siapa yang memperlambat
pengamalan (ilmu) nya, maka dia tidak akan dipercepat oleh nasab keturunannya
(tidak lekas naik derajat).” (Hr. Bukhari dan Muslim)3
Manusia adalah makhluk sosial. Ia tidak mampu hidup sendiri. Dalam
berbagai hal, manusia membutuhkan bantuan orang lain. Oleh sebab itu, manusia
harus hidup secara sosial. Ia tidak boleh mementingkan diri sendiri. Untuk itu,
Rasulullah mendidik umatnya agar menjadi makhluk sosial dengan metode
ganjaran atau motivasi yang besar4
3
Ibid.
4
Ibid.
5
Abdul Muhsin Bin Hamd Al Abbad Al Badr , menyikapi Fenomena Tahdzir dan
Hajr,(Bandung: Titian Hidayah Ilahi,2004), hal 22.
3
c. Realisasi Iman dalam Menghadapi Tamu
Beriman Kepada Allah dan Rasul-Nya Tanpa Ragu-ragu, Allah dan Rasul-
Nya Lebih Dicintai Daripada Selain Keduanya, Mencintai Seseorang Karena
Allah, dan Benci Kembali Kepada Kekufuran
Allah Ta’ala berfirman;
س ْو ِل ِه ُث ُ َّم لَ ْم يَ ْرتَاب ُْوا َ ِإنَّ َما ْال ُمؤْ ِمنُ ْونَ ال ِذينَ آ َمنُ ْوا بِاِهلل.
ُ ور
َ َاس َم ْن َيت َّ ِخذ ُ ِم ْن د ُْو ِن هللاِ أ ْندَادًا ي ُِحب ُّْونَ ُه ْم َكحُبّ ِ هللاِ َوالذِينَ آ َمنُ ْوا أ
شدُّ ُحبَّا ِ َو ِمنَ الن
ِِل.ِ
“Ada tiga perkara, siapa saja yang memilikinya niscaya ia akan merasakan
manisnya iman: (1) Allah dan Rasul-Nya menjadi yang paling ia cintai daripada
6
ibid
4
selain keduanya. (2) Mencintai seseorang karena Allah semata. (3) Benci kembali
kepada kekufuran sebagaimana dia benci dilemparkan ke dalam api.” (HR.
Bukhari dan Muslim)
Mencintai Allah dan Rasul-Nya dengan cinta yang sangat, bahkan mencintai
Allah dan Rasul-Nya daripada selain keduanya maka ia akan merasakan manisnya
iman.
Seorang Muslim mencintai para Nabi, para wali, kaum shiddiq, para
syuhada, dan orang-orang shalih, karena mereka melakukan apa-apa yang dicintai
oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala. Dan ini merupakan kesempurnaan cinta kepada
Allah. Ia membenci orang-orang kafir, kaum munafiqin, dan pelaku maksiat,
karena mereka melakukan apa yang dibenci oleh Allah Ta’ala. Ia membenci
mereka karena Allah Tabaraka wa Ta’ala. Siapa saja yang melakukan itu, maka ia
telah mencintai karena Allah dan membenci karena Allah. Cukuplah Allah
sebagai pelindungnya dan Dia adalah sebaik-baik pelindung.[14]
Dari Abu Hamzah Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, beliau bersabda;
Pelajaran yang dapat dipetik bahwa iman itu bertingkat-tingkat, ada yang
sempurna ada yang kurang. Hadits ini menunjukkan anjuran untuk mencintai
kebaikan untuk kaum mukminin dan larangan menyukai untuk saudaranya apa
5
yang tidak disukai untuk dirinya sendiri. Dalam hal ini berarti umat Islam wajib
menjadi satu tubuh.7
Sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam:
َ شدُّ بَ ْع
ً ضهُ ِب ْع
ضا ِ َال ُمؤْ ِم ُن ِل ْل ُمؤْ ِم ِن َك ْالبُ ْني
ُ ان َي
7
Abu Hafizhah, Faidah dari Hadits Arba’in (Ponorogo: Pustaka Al-Bayyinah),
hal,38.
8
Rachmat Syafe’i, Al-Hadis (Aqidah, Akhlak, Sosial, dan Hukum) (Bandung:
Pustaka Setia), hal 37.
9
Ibrahim Jalhum, Ali Ahmad Syalabi, Muhammad Ammaroh, Pelita as-
Sunnah (Bandung: Pustaka Setia), hal 311.
10
Ibid, hal 311.
6
3. Berkata yang Baik serta Memuliakan Tetangga dan Tamunya
“Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan Hari Akhir, maka hendaklah
ia berkata yang baik atau diam, barangsiapa yang beriman kepada Allah dan Hari
Akhir, maka hendaklah ia memuliakan tetangganya dan barangsiapa yang beriman
kepada Allah dan Hari Akhir, maka hendaklah ia memuliakan tamunya.” (HR.
Bukhari Juz 5: 6110 dan Muslim Juz 1: 47).
Pelajaran dari hadits ini antara lain; berfikir sebelum berucap, wajib
memuliakan tetangga dengan cara tidak mengganggunya dan dengan berbuat baik
kepadanya, dan wajib memuliakan tamu.11
Memang sangat sulit untuk mengatur lidah agar selalu berkata baik atau
diam. Akan tetapi, kalau berusaha untuk membiasakannya, tidaklah sulit apalagi
kalau sekedar diam. Bagaimanapun juga, lebih baik diam daripada berbicara yang
tiada berguna dan tidak karuan. Orang yang tidak banyak berbicara, kecuali hal-
hal baik, lebih banyak terhindar dari dosa dan kejelekan, daripada orang yang
banyak berbicara tanpa membedakan hal yang pantas dibicarakan dan yang tidak
pantas dibicarakan.12 Berbicara yang baik yakni perkataan yang di dalamnya
terkandung pahala13
Tetangga adalah bagaikan saudara saja dibanding dengan saudara yang jauh
tempatnya. Ada kematian, kebakaran, sakit, dan bencana apa pun, tetanggalah
11
Abu Hafizhah, Faidah dari Hadits Arba’in, hal 43.
12
Rachmat Syafe’i, Al-Hadis (Aqidah, Akhlak, Sosial, dan Hukum), hal 50.
13
Ibrahim Jalhum, Ali Ahmad Syalabi, Muhammad Ammaroh, Pelita as-Sunnah,
hal 319.
7
yang terlebih dahulu mengetahui dan bisa menolong. Santuni mereka yang lemah
dan bergaullah dengan akrab kepada para tetangga.14 Juga, memberikan
pertolongan, memberikan pinjaman, menengoknya jika sakit, melayat jika ada
keluarganya yang meninggal, dan lain-lain.15
Memuliakan tamu tidak mesti harus dijamu makan minum yang lengkap,
tetapi dengan sikap ramah tamah dan lemah lembut serta manis muka, itu
merupakan kehormatan yang selalu terkenang.16
Di antara hal-hal yang harus diperhatikan dalam memuliakan tamu adalah
memberikan sambutan yang hangat. Hal ini akan lebih baik daripada disambut
hidangan yang mahal-mahal, tetapi dengan muka masam dan kecut. Namun,
dalam menjamu tamunya ini haruslah sesuai dengan kemampuan17
14
Imam Nawawi [Penjelasan: Umar Hasyim], Hadits Al-Arba’in An Nawawiyah
dengan Terjemah dan Penjelasannya dalam Bahasa Indonesia, hal 67.
15
Rachmat Syafe’i, Al-Hadis (Aqidah, Akhlak, Sosial, dan Hukum), hal 48
16
Ibid 69.
17
Ibid., 47.
8
DAFTAR PUSTAKA
Abdul Muhsin Bin Hamd Al Abbad Al Badr , menyikapi Fenomena Tahdzir dan
Hajr,(Bandung: Titian Hidayah Ilahi,2004).