Anda di halaman 1dari 132

Islamisasi di Tanah Jawa Melalui Penaklukan?

Izzuddin Abdul Hakim


29 Jan 2014 | 19:59
Membaca buku M.C Ricklefs, Sejarah Indonesia Modern 1200-2008 (2008) mungkin beberapa
diantara para pembaca terutama yang muslim akan sedikit mengernyitkan dahi. Dalam
menerangkan masuknya Islam ke Indonesia, Ricklefs di paragraf akhir bab pertama menulis;
..... pada umumnya Islamisasi dianggap sebagai sebagai suatu proses damai karena tidak ada
satu pun bukti mengenai ekspedisi-ekspedisi militer asing yang memaksakan agama ini melalui
penaklukan. Akan tetapi, segera setelah sebuah kerajaan Islam berdiri di Indonesia, agama
Islam kadang-kadang disebarkan dari sana ke kawasan-kawasan lain melalui peperangan
(Ricklefs, 2008:26).
Tentu kesimpulan ini bertabrakan dengan keyakinan masyarakat muslim Jawa kebanyakan
bahwa Islamisasi di tanah Jawa oleh para wali justru dilakukan dengan cara damai, melalui
akulturasi budaya lokal dengan budaya Islam sehingga dakwah menjadi mudah diterima. Metode
dakwah wali songo yang dikenal dengan dakwah kultural ini sampai menjadi metode dakwah
yang hingga kini dikembangkan oleh salah satu organisasi massa Islam terbesar di Indonesia,
Nahdlatul Ulama.
Dakwah kultural terkonfirmasi dari cerita-cerita Islamisasi di tanah Jawa yang berkembang luas
di masyarakat bahwa Sunan Bonang misalnya, menggunakan media kesenian musik, bonang,
dalam menyebarkan syiar Islam. Sunan Kalijaga juga memanfaatkan wayang kulit sebagai media
menyampaikan risalah Islam. Dan bukti dari metode dakwah kultural yang dilakukan oleh
para wali penyebar Islam di tanah Jawa ini adalah peninggalan berupa menara di komplek
Panembahan Sunan Kudus yang begitu dipengaruhi oleh arsitektur budaya lokal.
Lalu bagaimana dengan kesimpulan Ricklefs dalam penelitiannya ini yang tampak bertentangan,
riwayat yang mana yang dapat dibenarkan sebagai pegangan? Di sinilah domain penulis
menjelaskan itu.
Mendudukkan Pendudukan
Tak dapat disangkal menurut fakta sejarah memang kerajaan-kerajaan Islam turut melakukan
penaklukan terhadap kerajaan-kerajaan lain sebagaimana data yang dikemukakan oleh Ricklefs
(penjelasan lebih detail mendukung kesimpulannya ditulis di bab 4 dalam bukunya). Bahkan
penaklukan yang dalam Islam dikenal dengan terminologi futuhatmendapatkan legitimasi oleh
ajaran Islam. Namun tentu dengan motif, cara dan implikasi yang berbeda dengan fakta
penaklukan yang kita kenal saat ini. Bagaimana konsepfutuhat dalam Islam penting mendapat
porsi pembahasan di sini.
Semenjak awal kekuasaan Islam di Madinah hukum jihad tidak asing di kalangan umat Islam.
Dalam kitabal-Ummjuz IV halaman 161, Imam as-Syafi’i (salah satu imam madzhab yang
paling banyak diikuti di Indonesia) menulis dengan redaksi:
Ketika hijrah Rasulullah saw telah berlalu, Allah swt telah memberikan nikmat kepada
semuanya dengan mengikuti beliau sehingga—dengan pertolongan Allah—melalui hijrah
tersebut, mereka mempunyai kekuatan dengan jumlah yang belum pernah terjadi sebelumnya.
Maka, Allah mewajibkan jihad kepada mereka, setelah sebelumnya hukumnya mubah, bukan
wajib(Haekal, 2004: 113).
Dr Wahbah Zuhayli di dalam al-Alaqat ad-Duwaliyah fi al-Islam, mengemukakan beberapa
konteks terpenting disyariatkannya hukum jihad, antara lain: Pertama, membela kaum muslim,
negeri dan harta kekayaan mereka dari serangan (musuh). Kedua, menjaga kebebasan berakidah,
penyebaran dakwah dan mencegah terjadinya hasutan untuk meninggalkan agama (Islam).... jika
penyampaian dakwah tersebut dihalangi untuk sampai kepada sekumpulan manusia, maka
tuntutan tersebut wajib diwujudkan dengan kekuatan (militer), jika kekuatan (militer) Islam
memang siap (Haekal, 2004: 253).
Konsep yang demikian ini memang dikenal luas oleh ulama Islam, Abu al-A’la al-
Mawdudi merumuskan jihad dalam dua macam, jihad defensif dan jihad ofensif (Haekal, 2004:
257). Memulai jihad (ofensif) adalah fardhu kifayah. Jika musuh menyerang (defensif), maka
menjadi fardhu a’in bagi orang yang diserang dan fardhu kifayah bagi orang lain(Taqiyuddin,
2011: 252).
Makna memulai jihad (ofensif) bukan berarti bahwa kita harus memerangi musuh secara
langsung. Tetapi musuh harus diseru terlebih dahulu kepada Islam. Tidak halal bagi kaum
muslim untuk memerangi mereka yang dakwah belum sampai kepadanya. Tetapi orang-orang
kafir haruslah diseru kepada Islam. Jika mereka menolak, maka mereka diwajibkan
membayar jizyah. Dan jika mereka menolak, maka kita memerangi mereka (Taqiyuddin, 2011:
254). Yang menjadi lawan pun dalam Islam adalah para pasukan musuh yang melakukan
penyerangan terhadap pasukan Islam, bukan penduduk sipil, wanita, anak-anak, lansia atau siapa
pun yang tidak terlibat dalam perang. Jadi konflik terjadi antara pasukan dengan pasukan, bukan
pasukan dengan rakyat sipil. Jadi, berbeda antara futuhat dengan pembantaian.
Tentang memulai jihad (ofensif) perlu penjelasan lebih lanjut agar tidak disalah artikan dan
tergesa-gesa berkesimpulan sebagaimana barat sering menghakimi hukum jihad dengan
pandangan negatif dan tidak adil. Paus Benedict XVI pada 12 September 2006 memberikan
pernyataan yang profokatif;
“Show me just what Mohammed brought that was new and there you will find things only evil
and inhuman such as his command to spread by the sword the faith he preached.”
Penaklukan (futuhat) baru dilakukan jika seruan dakwah mendapat rintangan, dan rintangan
dalam dakwah itu tidak lain dilakukan oleh pihak penguasa. Jika seruan dakwah mendapat
rintangan oleh penguasa, maka selanjutnya dilakukan kesepakatan agar negeri tempat penguasa
itu bersedia membayar jizyah meskipun tidak harus menerapkan hukum-hukum Islam. Penduduk
negeri tersebut adalah dzimmi dan mendapatkan jaminan keamanan dari negeri Islam. Serangan
terhadap negeri yang telah membayar jizyahtersebut berarti serangan terhadap negeri Islam
sehingga konsekuensinya adalah jihad terhadap pihak penyerang.
Apabila dua poin di awal terpenuhi, dirintanginya dakwah dan tidak bersedia membayar jizyah,
maka barulah penaklukan dilakukan. Namun sekali lagi, realitas futuhat berbeda dalam motif,
cara atau metode dan implikasinya dengan model penaklukan saat ini yang lebih tepatnya
merupakan penjajahan.
Berdasarkan motifnya, futuhat dilakukan atas dasar dorongan akidah, motivasi untuk
menyebarkan rahmatan lil a’lamin. Futuhat bukan atas dasar dunia dan materi (jizyah) meskipun
dengan membayar jizyah oleh negeri yang ditaklukkan jihad harus dihentikan,
tetapi jizyah bukanlah sebab berjihad.
Dari Musa al-Asy’ariy, seseorang mendatangi Nabi saw. dan bertanya:
”Wahai Rasulullah siapakah yang berada di jalan Allah, orang yang berperang karena
ghanimah, orang yang berperang karena ingin disebut-sebut, dan orang yang berperang karena
ingin dihormati kedudukannya?” Rasulullah saw. menjawab: “Barangsiapa yang berperang
untuk meninggikan kalimat Allah maka ia berada di jalan Allah.” (HR.Muslim)
Lain halnya dengan motif penjajahan yang hanya mengenal keserakahan. Motif busuk
penjajahan tertuang jelas dalam filosofi para imprealis; Gold, Glory and Gospel.
Begitu juga dilihat dari cara yang ditempuh, futuhat sangat berbeda dengan penjajahan. Jihad
sebagai upaya futuhat memiliki hukum-hukum yang detail agar tidak melakukan serangan
“seenak jidatnya”.Dalam jihad tidak diperkenankan membunuh wanita, anak-anak dan lansia
yang tidak terlibat sebagai kombatan, tidak pula berlebihan terhadap musuh, misalnya sampai
mencincang atau memutilasi. Di samping itu, jihad merupakan opsiterakhir tatkala seruan kepada
orang-orang kafir untuk masuk Islam ataupermintaan kepada mereka untuk
membayar jizyah ditolak.
Sementara itu, penjajahan menghalalkan segala cara guna merebut negeri jajahan, mulai
ekspansi, dominasi militer, genosida, eksploitasi kekayaan alam, penindasan penduduk dan
perkara biadab lainnya.
Perbedaan dalam motif dan cara yang ditempuh, pastilah implikasi yang ditimbulkannya pun
berbeda. Penjajahan menjadikan negeri jajahan sebagai sapi perah, keserakahan dan kebuasan
sang imperialis. Kita bisa melihat bagaimana penderitaan penduduk pribumi di bawah para
penjajah, kemiskinan penduduk, tingkat pendidikan yang rendah, pembunuhan sistematis
akibat rodi dan romusha, eksploitasi SDA habis-habisan, mengacak-acak negeri orang tanpa
peduli nasib penduduknya.
Mark Curtis seorang wartawan Inggris melaporkan bahwa dari tahun 1945 saja Inggris
bertanggung jawab atas kematian lebih dari 10 juta orang baik di Nigeria, Indonesia, Arab,
Uganda, Chile, Vietnam dan sebagainya. Pada bulan Oktober 1952, Inggris telah memaksa
ratusan ribu rakyat Kenya tinggal di kamp-kamp konsentrasi ala Nazi. Akibat kebijakan tersebut
setidaknya 150.000 warga Kenya meninggal dunia.
Lockheed Martin, Boeing dan Northrop Grumman mengaku mendapatkan keuntungan yang
berlipat dari invasi-invasi yang dilakukan oleh AS. Perusahaan jasa keamanan saja memperoleh
keuntungan US$ 100 miliar setahun dari Irak dan Afganistan (www.khilafah.com).
Berbeda dengan implikasi dari futuhat sebagaimana dituturkan oleh sarjana barat sendiri, Maria
Rosa Menocal, spesialis sastra Iberia di Universitas Yale, dalam bukunya The Ornament of The
World (2003), ia menyatakan:
“Sebagai dzimmi, agama minoritas di Andalus masih lebih baik daripada di daerah eropa yang
dikuasau Kristen. Orang-orang Yahudi dan sekte-sekte Kristen dilarang datang dari seluruh
eropa ke Andalus untuk menikmati toleransi dalam pemerintahan Islam.”
Karen Armstrong, A History of Jerusalem; One City Three Faiths (1997):
“Saat kaum Kristen menyerah, tidak ada pembunuhan di sana, tidak ada penghancuran
properti, tidak ada pembakaran simbol-simbol agama lain, tidak ada pengusiran atau
pengambilalihan dan tidak ada usaha memaksa penduduk Jerusalem untuk memeluk Islam.”
Philip K Hitti, sejarawan dari Princetton University menulis dalam History of Arab terkait
penaklukan orang-orang Islam ke Spanyol.
“Masyarakat Kristen mendapatkan keleluasaan untuk menjalankan kepercayaannya dan
mengikuti hukum Kristiani yang tidak melibatkan umat Islam. Penaklukan tersebut juga
menghancurkan hegemoni kelas atas termasuk para bangsawan dan pendeta yang sebelumnya
memiliki hak-hak istimewa, memperbaiki kondisi kelas bawah dan mengembalikan hak properti
tuan tanah Kristen yang sebelumnya tidak diakui ketika bangsa Gotik Barat berkuasa.”
Singkat kata, futuhat dalam Islam tidak membedakan antara negeri penakluk dengan negeri yang
ditakluk, sedangkan dalam penjajahan justru ada jurang pemisah antara negeri penjajah dengan
negeri jajahan.
Mendudukkan Dakwah Kultural
Dalam konteks penaklukan, dakwah kultural yang dilakukan para wali dapat dipandang sebagai
upaya dakwah awal untuk mengajak para penduduk memeluk agama Islam. Karena tidak
mungkin penaklukan terjadi sebelum adanya dakwah. Dakwah yang dilakukan pun tidak lewat
paksaan, melainkan melalui pendekatan yang kreatif dan menyentuh masyarakat namun tetap
dalam koridor Islam, tidak singkretis. (lebih jauh tentang metode dakwah para wali akan
disusul dalam tulisan berikutnya).
Sayangnya Ricklefs tidak mengaitkan penaklukan dengan dakwah kultural dalam Islamisasi
tanah Jawa, apakah dakwah selalu mengawali proses penaklukan atau dakwah dilakukan pasca
penaklukan terhadap para penduduk suatu negeri yang ditaklukkan. Perlu penelitian lebih jauh
tentang ini.

Oleh Nara Wirabumi


Mahasiswa Pendidikan Sejarah FKIP Universitas Jember

BAB I
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Walisongo atau Walisanga dikenal sebagai penyebar agama Islam di tanah Jawa pada abad ke-17.
Mereka tinggal di tiga wilayah penting pantai utara Pulau Jawa, yaitu Surabaya-Gresik-Lamongan di
Jawa Timur, Demak-Kudus-Muria di Jawa Tengah, dan Cirebon di Jawa Barat.

Era Walisongo adalah era berakhirnya dominasi Hindu-Budha dalam budaya Nusantara untuk digantikan
dengan kebudayaan Islam.
pMereka adalah simbol penyebaran Islam di Indonesia, khususnya di Jawa. Tentu banyak tokoh lain
yang juga berperan. Namun peranan mereka yang sangat besar dalam mendirikan Kerajaan Islam di
Jawa, juga pengaruhnya terhadap kebudayaan masyarakat secara luas serta dakwah secara langsung,
membuat para Walisongo ini lebih banyak disebut dibanding yang lain. Dalam makalah ini akan
mencoba menjelaskan tentang proses Ismamisasi di pulau Jawa yang dalam hal ini tidak luput dari
peranan Walisongo.
1.1. Rumusan Masalah
1. Siapa Walisanga itu?
2. Apa Peran serta Walisanga dalam proses Islamisasi di Jawa?
3. Mengapa Islam bisa mudah masuk di Jawa?
4. Dimana saja Walisanga menyebarkan agama Islam di Jawa?

1.3 Tujuan

1.3.1 Tujuan
1. Mengetahui arti sebenarnya Walisanga
2. Mengetahui Peran serta Walisanga dalam proses Islamisasi di Jawa
3. Mengetahui Mudahnya Islam masuk di Jawa
4. Mengetahui tempat walisanga dalam menyebarkan/berdakwah Islam

BAB II

PEMBAHASAN
2.1 Arti Walisongo
Ada beberapa pendapat mengenai arti Walisongo. Pertama adalah wali yang sembilan, yang
menandakan jumlah wali yang ada sembilan, atau sanga dalam bahasa Jawa. Pendapat lain
menyebutkan bahwa kata songo/sanga berasal dari kata tsana yang dalam bahasa Arab berarti mulia.
Pendapat lainnya lagi menyebut kata sana berasal dari bahasa Jawa, yang berarti tempat.
Para Walisongo adalah intelektual yang menjadi pembaharu masyarakat pada masanya. Pengaruh
mereka terasakan dalam beragam bentuk manifestasi peradaban baru masyarakat Jawa, mulai dari
kesehatan, bercocok-tanam, perniagaan, kebudayaan, kesenian, kemasyarakatan, hingga ke
pemerintahan.
Era Walisongo adalah era berakhirnya dominasi Hindu-Budha dalam budaya Nusantara untuk digantikan
dengan kebudayaan Islam. Mereka adalah simbol penyebaran Islam di Indonesia, khususnya di Jawa.
Tentu banyak tokoh lain yang juga berperan. Namun peranan mereka yang sangat besar dalam
mendirikan Kerajaan Islam di Jawa, juga pengaruhnya terhadap kebudayaan masyarakat secara luas
serta dakwah secara langsung, membuat para Walisongo ini lebih banyak disebut dibanding yang lain.

2.2 Nama-nama Walisongo


Meskipun terdapat perbedaan pendapat mengenai siapa saja yang termasuk
sebagai Walisongo, pada umumnya terdapat sembilan nama yang dikenal sebagai
anggota Walisongo yang paling terkenal, yaitu:

Sunan Gresik atau Maulana Malik Ibrahim


Sunan Ampel atau Raden Rahmat
Sunan Bonang atau Raden Makhdum Ibrahim
Sunan Drajat atau Raden Qasim
Sunan Kudus atau Jaffar Shadiq
Sunan Giri atau Raden Paku atau Ainul Yaqin
Sunan Kalijaga atau Raden Said
Sunan Muria atau Raden Umar Said
Sunan Gunung Jati atau Syarif Hidayatullah

Para Walisongo tidak hidup pada saat yang persis bersamaan. Namun satu sama lain mempunyai
keterkaitan erat, bila tidak dalam ikatan darah juga karena pernikahan atau dalam hubungan guru-
murid.

2.2.1 Sunan Gresik / Maulana Malik Ibrahim


Maulana Malik Ibrahim juga disebut sebagai Sunan Gresik, atau terkadang Syekh Maghribi dan Makdum
Ibrahim As-Samarqandy. Maulana Malik Ibrahim diperkirakan lahir di Samarkand di Asia Tengah, pada
paruh awal abad ke-14. Babad Tanah Jawi versi Meinsma menyebutnya Asmarakandi, mengikuti
pengucapan lidah Jawa terhadap As-Samarqandy, berubah menjadi Asmarakandi. Sebagian cerita
rakyat, ada pula yang menyebutnya dengan panggilan Kakek Bantal.
Maulana Malik Ibrahim adalah wali pertama yang membawakan Islam di tanah Jawa. Maulana Malik
Ibrahim juga mengajarkan cara-cara baru bercocok tanam. Ia banyak merangkul rakyat kebanyakan,
yaitu golongan yang tersisihkan dalam masyarakat Jawa di akhir kekuasaan Majapahit. Misinya ialah
mencari tempat di hati masyarakat sekitar yang ketika itu tengah dilanda krisis ekonomi dan perang
saudara. Pada tahun 1419, setelah selesai membangun dan menata pondokan tempat belajar agama di
Leran, Maulana Malik Ibrahim wafat. Makamnya kini terdapat di desa Gapura Wetan, Gresik, Jawa
Timur.

2.2.2 Sunan Ampel


Sunan Ampel bernama asli Raden Rahmat adalah putra Maulana Malik Ibrahim, Muballigh yang bertugas
dakwah di Champa, dengan ibu putri Champa. Jadi, terdapat kemungkinan Sunan Ampel memiliki darah
Uzbekistan dari ayahnya dan Champa dari ibunya. Sunan Ampel adalah tokoh utama penyebaran Islam
di tanah Jawa, khususnya untuk Surabaya dan daerah-daerah sekitarnya.
Dia-lah yang mengenalkan istilah "Mo Limo" (moh main, moh ngombe, moh maling, moh madat, moh
madon). Yakni seruan untuk "tidak berjudi, tidak minum minuman keras, tidak mencuri, tidak
menggunakan narkotik, dan tidak berzina."
Sunan Ampel wafat pada tahun 1478 M, beliau dimakamkan di sebelah barat Masjid Ampel. Setiap hari
banyak orang yang berziarah ke makam beliau bahkan pada malam harinya juga.

2.2.3 Sunan Bonang


Dari berbagai sumber disebutkan bahwa Sunan Bonang itu nama aslinya adalah Syekh Maulana Makdum
Ibrahim. Putra Sunan Ampel dan Dewi Condrowati yang sering disebut Nyai Ageng Manila. Ada yang
mengatakan Dewi Condrowati itu adalah putri Prabu Kertabumi ada pula yang berkata bahwa Dewi
Condrowati adalah putri angkat Adipati Tuban yang sudah beragama Islam yaitu Ario Tejo. Sedang
Raden Makdum Ibrahim diperintahkan Sunan Ampel untuk berdakwah di Tuban. Dalam berdakwa Raden
Makdum Ibrahim ini sering mempergunakan kesenian rakyat untuk menarik simpati mereka, yaitu
berupa seperangkat gamelan yang disebut Bonang. Bonang adalah sejenis kuningan yang ditonjolkan di
bagian tengahnya. Bila benjolan itu dipukul dengan kayu lunak maka timbullah suaranya yang merdu
ditelinga penduduk setempat. Lebih-lebih bila Raden Makdum Ibrahim sendiri yang membunyikan alat
musik itu, beliau adalah seorang Wali yang mempunyai cita rasa seni yang tinggi, sehingga beliau
bunyikan pengaruhnya sangat hebat bagi para pendengarnya.
Sunan Bonang juga menggubah gamelan Jawa yang saat itu kental dengan estetika Hindu, dengan
memberi nuansa baru. Dialah yang menjadi kreator gamelan Jawa seperti sekarang, dengan
menambahkan instrumen bonang. Gubahannya ketika itu memiliki nuansa dzikir yang mendorong
kecintaan pada kehidupan transedental (alam malakut). Tembang "Tombo Ati" adalah salah satu karya
Sunan Bonang.
Selain itu Sunan Bonang juga menciptakan Suluk. Suluk berasal dari bahasa Arab “Salakattariiqa”
artinya menempuh jalan ( tasawwuf ) atau tarikat. Ilmunya sering disebut Ilmu Suluk. Ajaran yang biasa
disampaikan dengan sekar atau tembang disebut Suluk, sedangkan bila diungkapkan secara biasa dalam
bentuk prosa disebut Wirid. Salah satu Suluk karya Sunan Bonang yang disebut Suluk Wragul.

2.2.4 Sunan Drajat


Nama asli Sunan Drajad adalah Raden Qosim, beliau putra Sunan Ampel dengan Dewi Condrowati dan
merupakan adik dari Raden Makdum Ibrahim atau Sunan Bonang. Raden Qosim yang sudah mewarisi
ilmu dari ayahnya kemudian di perintah untuk berda’wah di sebelah barat Gresik yaitu daerah kosong
dari ulama besar antara Tuban dan Gresik.
Di bidang kesenian, disamping terkenal sebagai ahli ukir, beliau juga pertama kali yang menciptakan
Gending Pangkur. Hingga sekarang gending tersebut masih disukai rakyat Jawa. Sunan Drajad, demikian
gelar Raden Qosim, diberikan kepadanya karena beliau bertempat tinggal di sebuah bukit yang tinggi,
seakan melambangkan tingkat ilmunya yang tinggi, yaitu tingkat atau derajat para ulama’ muqarrobin.
Ulama yang dekat dengan Allah SWT.
Beliau wafat dan dimakamkan di desa Drajad, kecamatan Paciran Kabupaten Lamongan Jawa Timur.
Tak jauh dari makam beliau telah dibangun Museum yang menyimpan beberapa peninggalan di jaman
Wali Sanga. Khususnya peninggalan beliau di bidang kesenian.

2.2.5 Sunan Kudus


Menurut salah satu sumber, Sunan Kudus adalah Raden Usman haji yang bergelar Sunan Ngudung dari
Jipang Panolan. Ada yang mengatakan letak Jipang Panolan ini di sebelah utara kota Blora. Didalam
Babad Tanah Jawa, disebutkan bahwa Sunan Ngudung pernah memimpin pasukan Demak Bintoro yang
berperang melawan pasukan Majapahit. Sunan Ngudung selaku senopati Demak berhadapan dengan
Raden Timbal atau Adipati Terung dari Majapahit. Dalam pertempuran yang sengit dan saling
mengeluarkan aji kesaktian itu Sunan Ngudung gugur sebagai pahlawan sahid. Kedudukannya sebagai
senopati Demak kemudian digantikan oleh Sunan Kudus yaitu putranya sendiri bernama asli Ja’far
Sodiq.
Ja’far Sodiq adalah pengikut jejak Sunan Kalijaga, dalam berdakwah menggunakan cara halus atau
Tutwuri Handayani. Adat istiadat rakyat tidak ditentang secara frontal, melainkan diarahkan sedikit
demi sedikit menuju ajaran Islami. Cara-cara yang ditempuh untuk mengislamkan masyarakat cukup
banyak. Baik secara langsung melalui ceramah agama maupun adu kesaktian dan melalui kesenian,
beliau yang pertama kali menciptakan tembang Mijil dan Maskumambang. Di dalam tembang-tembang
tersebut beliau sisipkan ajaran-ajaran agama Islam.

2.2.6 Sunan Giri


Sunan Giri adalah putra Maulana Ishaq. Sunan Giri adalah murid dari Sunan Ampel dan saudara
seperguruan dari Sunan Bonang. Ia memiliki nama kecil Raden Paku, alias Muhammad Ainul Yakin.
Sunan Giri lahir di Blambangan (kini Banyuwangi) pada 1442 M. Ada juga yang menyebutnya Jaka
Samudra. Sebuah nama yang dikaitkan dengan masa kecilnya yang pernah dibuang oleh keluarga
ibunya--seorang putri raja Blambangan bernama Dewi Sekardadu ke laut. Raden Paku kemudian
dipungut anak oleh Nyai Semboja (Babad Tanah Jawi versi Meinsma).
Ayahnya adalah Maulana Ishak. saudara sekandung Maulana Malik Ibrahim. Maulana Ishak berhasil
meng-Islamkan isterinya, tapi gagal mengislamkan sang mertua. Oleh karena itulah ia meninggalkan
keluarga isterinya berkelana hingga ke Samudra Pasai. Sunan Giri kecil menuntut ilmu di pesantren
misannya, Sunan Ampel, tempat dimana Raden Patah juga belajar. Ia sempat berkelana ke Malaka dan
Pasai. Setelah merasa cukup ilmu, ia membuka pesantren di daerah perbukitan Desa Sidomukti, Selatan
Gresik. Dalam bahasa Jawa, bukit adalah "giri". Maka ia dijuluki Sunan Giri.
Ia dikenal karena pengetahuannya yang luas dalam ilmu fikih. Orang-orang pun menyebutnya sebagai
Sultan Abdul Fakih. Ia juga pecipta karya seni yang luar biasa. Permainan anak seperti Jelungan,
Jamuran, lir-ilir dan cublak suweng disebut sebagai kreasi Sunan Giri. Demikian pula Gending
Asmaradana dan Pucung tembang bernuansa Jawa namun syarat dengan ajaran Islam.

2.2.7 Sunan Kalijaga


Sunan Kalijaga adalah putra adipati Tuban yang bernama Tumenggung Wilatikta atau Raden Sahur.
Dalam satu riwayat, Sunan Kalijaga disebutkan menikah dengan Dewi Saroh binti Maulana Ishaq.
Kalijaga artinya orang yang menjaga sungai. Ada yang mengartikan Sunan Kalijaga adalah penjaga
aliran kepercayaan yang hidup pada masa itu. Dijaga maksudnya supaya tidak membahayakan ummat,
melainkan diarahkan kepada ajaran Islam yang benar. Ada juga yang mengartikan legenda pertemuan
Raden Said dengan Sunan Bonang hanya sekedar simbol saja. Kemanapun Sunan Bonang pergi selalu
membawa tongkat atau pegangan hidup, itu artinya Sunan Bonang selalu membawa agama, membawa
iman sebagai penunjuk jalan kehidupan. Raden Said kemudian disuruh menunggui tongkat atau agama
di tepi sungai. Itu artinya Raden Said diperintah untuk terjun ke dalam kancah masyarakat Jawa yang
banyak mempunyai aliran kepercayaan dan masih berpegang pada agama lama yaitu Hindu dan Budha.
Sunan Bonang mampu berjalan di atas air sungai tanpa ambles ke dalam sungai. Bahkan sedikitpun ia
tidak terkena percikan air sungai. Itu artinya Sunan Bonang dapat, bergaul dengan dengan masyarakat
yang berbeda agama tanpa kehilangan identitas agama yang dianut oleh Sunan Bonang sendiri yaitu
Islam.
Raden Said sewaktu bertapa ditepi tubuhnya tidak sampai hanyut ke aliran sungai, hanya daun, akar
dan rerumputan yang menutupi sebagian besar anggota tubuhnya. Itu artinya Raden Said bergaul
dengan masyarakat Jawa, adat istiadat masyarakat di pakai sebagai alat dakwah, dan diarahkan kepada
ajaran Islam yang bersih, namun usaha itu tampaknya sedikit mengotori tubuh Raden Said dan setelah
tiga tahun Sunan Bonang membersihkannya dengan ajaran-ajaran Islam tingkat tinggi sehingga Raden
Said masuk kegolongan para Wali. Dan pengetahuan agamanya benar-benar telah cukup untuk
dipergunakan menyebarkan agama Islam.

Sunan Kalijaga Sebagai Ahli Budaya


Gelar tersebut tidak berlebihan karena beliaulah yang pertama kali menciptakan seni pakaian, seni
suara, seni ukir, seni gamelan, wayang kulit, bedug di mesjid, Gerebeg Maulud, seni Tata Kota dan
lain-lain.
Sunan Kalijagalah yang pertama kali menciptakan tembang Dandang Gula dan Dandang Gula
Semarangan.
Baik di Jawa maupun Madura seni bangunan Tata Kota yang dimiliki biasanya selalu sama. Sebab Jawa
dan Madura mayoritas penduduknya adalah Islam. Para penguasanya kebanyakan meniru cara Sunan
Kalijaga dalam membangun Tata Kota. Teknik bangunan Kabupaten atau Kota Praja biasanya terdiri
dari :
1. Istana atau Kabupaten
2. Alun-alun
3. Satu atau dua pohon beringin

2.2.8 Sunan Muria


Beliau adalah putra Sunan Kalijaga dengan Dewi Saroh. Nama aslinya Raden Umar Said. Seperti
ayahnya, dalam berdakwah beliau menggunakan cara halus, ibarat mengambil ikan tidak sampai
mengeruhkan airnya. Itulah cara yang ditempuh untuk menyiarkan agama Islam di sekitar Gunung
Muria.
Tempat tinggal beliau di gunung Muria yang salah satu puncaknya bernama Colo. Letaknya di sebelah
utara kota Kudus. Menurut Solichim Salam, sasaran dakwah adalah para pedagang, nelayan, pelaut dan
rakyat jelata. Beliaulah satu-satunya wali yang tetap mempertahankan kesenian gamelan dan wayang
sebagai alat dakwah untuk menyampaikan Islam. Dan beliau pula yang menciptakan tembang Sinom dan
Kinanti.

2.2.9 Sunan Gunung Jati


Banyak kisah tak masuk akal yang dikaitkan dengan Sunan Gunung Jati. Diantaranya adalah bahwa ia
pernah mengalami perjalanan spiritual seperti Isra' Mi'raj, lalu bertemu Rasulullah SAW, bertemu Nabi
Khidir, dan menerima wasiat Nabi Sulaeman. (Babad Cirebon Naskah Klayan hal.xxii). Semua itu hanya
mengisyaratkan kekaguman masyarakat masa itu pada Sunan Gunung Jati. Sunan Gunung Jati atau
Syarif Hidayatullah diperkirakan lahir sekitar tahun 1448 M. Ibunya adalah Nyai Rara Santang, putri dari
raja Pajajaran Raden Manah Rarasa. Sedangkan ayahnya adalah Sultan Syarif Abdullah Maulana Huda,
pembesar Mesir keturunan Bani Hasyim dari Palestina. Syarif Hidayatullah mendalami ilmu agama sejak
berusia 14 tahun dari para ulama Mesir. Ia sempat berkelana ke berbagai negara. Menyusul berdirinya
Kesultanan Bintoro Demak, dan atas restu kalangan ulama lain, ia mendirikan Kasultanan Cirebon yang
juga dikenal sebagai Kasultanan Pakungwati. Dengan demikian, Sunan Gunung Jati adalah satu-satunya
"wali songo" yang memimpin pemerintahan.
Sunan Gunung Jati memanfaatkan pengaruhnya sebagai putra Raja Pajajaran untuk menyebarkan Islam
dari pesisir Cirebon ke pedalaman Pasundan atau Priangan. Dalam berdakwah, ia menganut
kecenderungan Timur Tengah yang lugas. Namun ia juga mendekati rakyat dengan membangun
infrastruktur berupa jalan-jalan yang menghubungkan antar wilayah. Bersama putranya, Maulana
Hasanuddin, Sunan Gunung Jati juga melakukan ekspedisi ke Banten. Penguasa setempat, Pucuk
Umum, menyerahkan sukarela penguasaan wilayah Banten tersebut yang kemudian menjadi cikal bakal
Kesultanan Banten. Pada usia 89 tahun, Sunan Gunung Jati mundur dari jabatannya untuk hanya
menekuni dakwah. Kekuasaan itu diserahkannya kepada Pangeran Pasarean. Pada tahun 1568 M, Sunan
Gunung Jati wafat dalam usia 120 tahun, di Cirebon (dulu Carbon). Ia dimakamkan di daerah Gunung
Sembung, Gunung Jati, sekitar 15 kilometer sebelum kota Cirebon dari arah barat.

BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan
"Walisongo" berarti sembilan orang wali. Mereka adalah Maulana Malik Ibrahim, Sunan Ampel, Sunan
Giri, Sunan Bonang, Sunan Dradjad, Sunan Kalijaga, Sunan Kudus, Sunan Muria, serta Sunan Gunung
Jati. Mereka tidak hidup pada saat yang persis bersamaan. Namun satu sama lain mempunyai
keterkaitan erat, bila tidak dalam ikatan darah juga dalam hubungan guru-murid.
Maulana Malik Ibrahim adalah yang tertua. Sunan Ampel adalah anak Maulana Malik Ibrahim. Sunan Giri
adalah keponakan Maulana Malik Ibrahim yang berarti juga sepupu Sunan Ampel. Sunan Bonang dan
Sunan Drajad adalah anak Sunan Ampel. Sunan Kalijaga merupakan sahabat sekaligus murid Sunan
Bonang. Sunan Muria anak Sunan Kalijaga. Sunan Kudus murid Sunan Kalijaga. Sunan Gunung Jati adalah
sahabat para Sunan lain, kecuali Maulana Malik Ibrahim yang lebih dahulu meninggal.
Mereka tinggal di pantai utara Jawa dari awal abad 15 hingga pertengahan abad 16, di tiga wilayah
penting. Yakni Surabaya-Gresik-Lamongan di Jawa Timur, Demak-Kudus Muria di Jawa Tengah, serta
Cirebon di Jawa Barat. Mereka adalah para intelektual yang menjadi pembaharu masyarakat pada
masanya. Mereka mengenalkan berbagai bentuk peradaban baru: mulai dari kesehatan, bercocok
tanam, niaga, kebudayaan dan kesenian, kemasyarakatan hingga pemerintahan.
Pesantren Ampel Denta dan Giri adalah dua institusi pendidikan paling penting di masa itu. Dari Giri,
peradaban Islam berkembang ke seluruh wilayah timur Nusantara. Sunan Giri dan Sunan Gunung Jati
bukan hanya ulama, namun juga pemimpin pemerintahan. Sunan Giri, Bonang, Kalijaga, dan Kudus
adalah kreator karya seni yang pengaruhnya masih terasa hingga sekarang. Sedangkan Sunan Muria
adalah pendamping sejati kaum jelata.
Era Walisongo adalah era berakhirnya dominasi Hindu-Budha dalam budaya Nusantara untuk digantikan
dengan kebudayaan Islam. Mereka adalah simbol penyebaran Islam di Indonesia. Khususnya di Jawa.
Tentu banyak tokoh lain yang juga berperan. Namun peranan mereka yang sangat besar dalam
mendirikan Kerajaan Islam di Jawa, juga pengaruhnya terhadap kebudayaan masyarakat secara luas
serta dakwah secara langsung, membuat "sembilan wali" ini lebih banyak disebut dibanding yang lain.
Masing-masing tokoh tersebut mempunyai peran yang unik dalam penyebaran Islam. Mulai dari Maulana
Malik Ibrahim yang menempatkan diri sebagai "tabib" bagi Kerajaan Hindu Majapahit; Sunan Giri yang
disebut para kolonialis sebagai "paus dari Timur" hingga Sunan Kalijaga yang mencipta karya kesenian
dengan menggunakan nuansa yang dapat dipahami masyarakat Jawa -yakni nuansa Hindu dan Budha.

3.2 Saran
Begitu besar sekali peran serta Walisanga dalam proses Islamisasi di Pulau Jawa, sudah selayaknyalah
kita setidaknya menghormati kegigihan beliau di masa itu untuk acuan pembelajaran yang nantinya
akan bermanfaat untuk kesuksesan kita seperti kesuksesan Walisanga dalam pengislamisasian di Jawa.
Jangan hanya kisah Walisanga hanya di buat seperti mitos ataupun legenda yang tak bermakna, namun
banyak ikhtibar atau pelajaran yang dapat kita ambil.

DAFTAR PUSTAKA

1. Rasyidi,.Lawrens H. “kisah dan ajaran Wali Sanga”. 2008: published by ronKramer

2. Abdullah, Farid, Drs; Ust.Labib,Mz. “Kisah Kehidupan Para SUFI Terkemuka”. 1998: Bintang Usaha
Jaya Surabaya

3. ……….. , “PENYEBARAN ISLAM DI TANAH JAWA”. 2007.

4. Kartodirdjo, Sartono. “Pengantar Sejarah Indonesia Baru:1500-1900”. 1999: Gramedia Pustaka

5. Soekmono, Dr. R. “Pengantar Sejarah Kebudayaan Indonesia 3”. 1983: Penerbit Kanisus

6. Dari Wikipedia Indonesia, ensiklopedia Walisongo. Tersedia di: www.wikipedia.com

7. ………… ,“Peran Serta Walisanga di Jawa”. Tersedia di: www.pesantren.net


Kirimkan Ini lewat EmailBlogThis!

slam Aceh dan Walisongo


Oleh: Nofal Liata

Dalam sejarah Islamisasi di tanah Jawa, terkenallah beberapa tokoh ulama besar yang
sangat melekat pada ingatan masyarakat Jawa, dan tokoh ulama-ulama tersebut sering
sekali mewarnai berbagai literatur pembahasan sejarah masuk dan berkembangnya
Islam di Jawa. sebuah wadah yang disebut “dewan dakwah”, dimana dalam wadah ini
adalah sembilan ulama besar dan merekalah yang bertanggungjawab atas Islamisasi di
tanah Jawa. Sembilan nama ulama besar ini terkenal kemudian dengan
sebutannya Wali Songo,(sembilan wali) yang beberapa di antara mereka adalah berasal
dari Pasai Aceh. Walisongo atau Walisanga dikenal sebagai penyebar agama Islam di
tanah Jawa di mulai dari abad ke 14. Mereka kemudian bertempat tinggal di tiga
wilayah penting yang berbeda di pantai utara pulau Jawa, yaitu meliputi: Jawa Timur di
daerah Surabaya, Gresik, Lamongan. Jawa Tengah di daerah Demak, Kudus, Muria.
Dan di Jawa Barat yaitu di Cirebon. Karena ulama-ulama ini dalam suatu dewan
dakwah, maka apabila salah satu anggota dewan ini meninggal, maka akan dicari
penggantinya. Sebenarnya, para ulama-ulama yang menyebarkan Islam di Jawa tidak
hanya terdiri dari sembilan wali saja, melainkan lebih bahkan mereka terdiri dari
beberapa periode, namun tokoh ulama yang sangat terkenal dan memiliki pengaruh
yang besar ialah: Maulana Malik Ibrahim, Sunan Ampel, Sunan Bonang, Sunan Giri,
Sunan Drajad, Sunan Muria, Sunan Kudus, Sunan Kalijaga, Sunan Gunung Jati.
Menurut KH. Mohammad Dahlan, Para Walisongo tidak hidup pada saat yang persis
bersamaan, namun hubungan antara mereka memiliki keterkaitan yang erat satu sama
lainnya, baik dalam ikatan darah (orang tua dengan anak) atau karena pernikahan,
maupun dalam hubungan sebagai guru dengan murid.
Ketika masa Walisongo melaksanakan tugasnya yaitu memperkenalkan agama Islam
pada masyarakat Jawa, pada saat itu adalah era (kekacauan) melemahnya dominasi
Hindu-Budha (Majapahit) dalam budaya Nusantara untuk kemudian digantikan dengan
kebudayaan Islam, dari awal abad 15 hingga pertengahan abad 16. Dan sebelumnya di
Aceh pada abad ke 9, telah berdiri sebuah kerajaan Kesultanan Islam Peureulak, yang
kemudian menjadi kerajaan Islam terbesar dan megah di Asia Tenggara pada masa
Sultan Malikussaleh di abad 13. Jadi dengan demikian terlihat jelas bahwa kerajaan
Samudera Pasai telah berkontribusi besar dalam meng-Islamkan masyarakat Jawa
dengan melihat pendekatan abad, dan saat itu pula para Mubaliqh dari Pasai di
tugaskan untuk berdakwah ke Jawa yaitu yang dipimpin oleh Maulana Malik Ibrahim,
yang kemudian dikenal Walisongo. Walisongo dalam pandangan masyarakat Jawa
adalah simbol penyebaran Islam di Indonesia, khususnya di Jawa. Tentu banyak tokoh
lain yang juga berperan memperkenalkan Islam. Namun peranan mereka (Walisongo)
yang sangat besar dalam mendirikan Kerajaan Islam di Jawa, juga pengaruhnya
terhadap kebudayaan masyarakat secara luas serta dakwah secara langsung, membuat
para Walisongo ini lebih banyak mendapat perhatian dibanding tokoh yang lain.
Kemudian dalam metode dakwah yang dilakukan oleh para Walisongo memiliki
keunikan masing-masing yang satu sama lain cenderung tidak sama dan melakukan
penyesuaiyan dengan masyarakat setempat, hal ini disebabkan karena para Walisongo
telah memahami konteks sosial-politik masyarakat Jawa yang telah lama di bawah
bimbingan Majapahit yang berpaham dinamisme dan animisme. Jadi singkretisme
dalam kepercayaan (Islam) di Jawa sampai saat ini merupankan warisan Majapahit.
Selain itu, Para Walisongo merupakan kumpulan orang-orang intelektual yang menjadi
pembaharu bagi masyarakat Jawa pada masanya. Pengaruh mereka terasa dalam
beragam bentuk manifestasi peradaban baru di Jawa, selain memiliki pengetahuan
agama yang tinggi, para Walisongo juga mengajarkan cara menjaga kesehatan, bercocok
tanam, Perniagaan, kebudayaan, kesenian, kemasyarakatan, hingga perihal
kepemerintahan.

Mengenai asal dari mana para Walisongo, banyak orang sedikit sekali menyadarinya
bahwa empat dari sembilan wali yang menyebarkan agama Islam di Jawa berasal adalah
dari Samudera Pasai.[1] Hal ini terjadi karena tidak ada perhatian serius (penelitian
secara mendalam) dari berbagai pihak baik di Aceh maupun ilmuan di Jawa. mereka
dalam mengkajinya cenderung tersamarkan referensi mengenai kejayaan kerajaan
Islam Aceh, tetapi memang demikianlah faktanya sekarang. Mungkin sebagian generasi
baru di Aceh dan para ilmuan di Jawa tidak memahami bahwa, Belanda punya
kecenderungan untuk tidak mengakui keagungan kerajaan Islam dan upaya kerajaan
Islam Pasai dalam islamisasi di Nusantara, (Belanda melakukan ini untuk kelancara
zendeling-misionaris di bumi Nusantara). Alhasil, kajian-kajian yang dilakukan oleh
ilmuan yang di Jawa menjadi kontradiktif dengan faktanya, dan ini berlangsung begitu
saja tampa ada kajian yang kritis kemudian. Selain itu, sejarah yang kontradiktif ini
menjadi mata pelajaran untuk generasi bangsa berikutnya semenjak negara Indonesia
lahir, ataupun memang ada unsur-unsur tidak ada tempat sejarah kerajaan Islam Pasai
dalam pengetahuan anak bangsa Indonesia, sehingga menjadikannya samar dan gelap.
Padahal kerajaan Islam Samudera Pasai telah banyak melakukan dakwah-dakwah ke
sebahagian wilayah-wilayah Asia Tenggara.
Telah berlangsung lama mengenai, dari manakah asal mula seorang wanita yaitu Puteri
Champa yang telah menjadi pendamping hidup (istri) dari Raden Prabu Barawijaya V.
Dan Raden Prabu Barawijaya sendiri adalah Raja terakhir dari Kerajaan Hindu
Majapahit di Jawa. kemudian, dari hasil perkawinan ini telah melahirkan seorang putra
yang kemudian di kenal yaitu Raden Fatah, Sultan pertama Kerajaan Islam Demak.
Kemunculan Kerajaan Islam Demak pertama ini adalah menandakan mengsaingi
Kerajaan Hindu Jawa yang terpaksa kalah dan berakhir kekuasaannya di Jawa. Untuk
mengkaji lebih mendalam lagi, maka akan di gunakan dua pendekatan teori dan akan
membahas dua teori tersebut secara lebih luas lagi. teori yang Pertama yang
dikemukakan oleh Christiaan Snouck Hurgroje[2] dan para peneliti Belanda lainnya,
menyatakan yaitu: bahwa daerah Champa beranggapan di sekitar wilayah Kambodia
(Vietnam sekarang). Dari asumsi ini, kemudian mereka menyatakan bahwa Wali Songo
dalam proses melakukan Islamisasi di Jawa menjadikan daerah Champa-Kambodia ini
sebagai tempat basis perjuangan. Kemudian mereka beranggapan lagi bahwa, di
Champa-Kambodia peradaban Islamnya lebih besar dan maju dari pada di Aceh.
Padahal, di Champa-Kambodia masa itu sedang di perintah oleh Che Bong Nga 1360-
1390 Masehi, dan tidak ada sumber yang jelas apakah Raja ini Muslim atau bukan.
Namun pada umumnya agama Buhda adalah mayoritas penduduk Kambodia sampai
sekarang, hal ini bisa di lihat dari banyaknya peninggalan kuil-kuil dan sulit
menemukan bagunan masjid di sana. Disisi lain, mengenai literatur hubungan
Penguasa Champa dengan Islam tidak banyak, ditambah lagi tidak ditemukannya bukti
kegemilangan (era-emas) Islam disana. Hal ini berbeda jika dibandingkan sebagaimana
yang ditinggalkan para pendakwah di Perlak, Pasai dan Malaka. Ketika itu, di Champa
Kambodia yang bersamaan masa Maulana Malik Ibrahim sedang terjadi pembantaian
terhadap kaum Muslim yang dilakukan oleh Dinasti Ho yang membalas dendam atas
kekalahannya pada pasukan Khulubay Khan, Raja Mongol yang Muslim. Jadi sangat
mustahil bagi Walisongo untuk menjadikan Champa Kambodia sebagai basis
perjuangan Islam di sana dengan kondisi seperti itu. Namun teori dari orientalis
Belanda ini banyak di jadikan rujukan oleh ilmuan-ilmuan yang berada di Indonesia
khususnya di Jawa.
Sedangkan teori yang kedua datang dari Raffles[3] yang ber-argumen bahwa: Champa
yang banyak di asumsi orang Indonesia bukan berada di Kambodia (Vietnam) sekarang,
sebagaimana dinyatakan oleh para peneliti Belanda. Akan tetapi, munurut Raffles,
Champa adalah sebuah nama daerah di sebuah wilayah tepatnya berada di Aceh, dan
masyarakat Aceh setempat menyebut daerahnya itu dengan nama ”Jeumpa”, sekarang
dikenal daerah ini dengan nama kabupaten Aceh Jeumpa kota Bireun. Kata Jeumpa
bagi dialek bahasa Jawa pada saat itu menjadi kata Champa, karena salah penyebutan
itu akhirnya bagi ahli sejarah berikutnya mengalamatkan (menghubungkan)
Walisongon dengan kerajaan Champa Kambodia dan Vietnam sekarang. Kata Jeumpa
di Aceh sendiri terurai indah dalam sebuah lagu clasik Aceh dengan potongan liriknya,
“bungong Jumpa bungong Jumpa meugah di Aceh” (bungan Jeumpa-bungan Jeumpa
megah di Aceh). Makna dari Bungan Jeumpa adalah, wanita[4] daerah Jeumpa Aceh
terkenal ke penjuru dunia baik karena kecantikannya, (seperti kisah:
Permaisuri[5] Maha Prabu Brawijaya V), keperkasaannya (seperti kisah Cut Nya Dien,
Malahayati), kepemimpinan (seperti kisah Ratu-ratunya Aceh) dan lain-lainnya. Dalam
Babad Tanah Jawi, di sebutkan bahwa ”Putri Champa” adalah istri Prabu Brawijaya V,
ia bernama Anarawati (Dwarawati) dan ia beragama Islam. Kemudian, masih dalam
kisah yang sama bahwa putri Champa-lah yang melahirkan Raden Fatah. Raden Fatah
sendiri oleh ibunya menyerahkan pendididikan putranya itu kepada keponakannya
yaitu pada Sunan Ampel (Raden Rahmat) yang berada di Ampeldenta Surabaya. Dalam
perjalanan yang panjang Raden Fatah kemudian menjadi Sultan pertama dari Kerajaan
Islam Demak, Kerajaan Islam pertama di tanah Jawa.
Sebuah keyataan yang harus di terima oleh Putri Champa, ia meninggalkan daerah
kelahirannya untuk pergi ke tanah Jawa, konon suaminya pada saat itu masih beragama
Hindu. Berhubung adanya sebuah misi besar yang akan di lakukan oleh Ulama Maulana
Malik Ibrahim, maka wanita inipun ikut melakukan perjuangan islamisasi di Jawa, dan
Maulana Malik Ibrahim sendiri adalah ketua dari rombongan dewan dakwah yang di
tugaskan oleh Sultan Muslim kerajaan Islam. (ketika itulah putri Champa menjadi
istrinya Prabu Brawijaya V). Sebuah sikap yang sangat berani di ambil oleh Putri
Champa, takalah pada saat itu ia rela meninggalkan kompleks lingkungan istana
Majapahit dengan tujuan agar anaknya mendapat pendidikan agama Islam yang baik
pada Raden Rahmat (Sunan Ampel). Dan Sunan Ampel juga di lahirkan di daerah yang
sama dengan Putri Champa di kerajaan Islam yang mega itu.

Syeh Maulana Malik Ibrahim adalah seorang tokoh ulama besar yang pertama-tama
yang memperkenalkan Islam (Islamisasi) di Jawa, Banyak Para ahli sejarah yang
memperkirakan Maulana Malik Ibrahim berada Champa selama 13 tahun lamanya,
antara tahun 1379 sampai dengan 1392. Untuk menghindari multi tafsir atas kata
Champa, asal dari mana Putri Champa, Maulana Malik Ibrahim, dan rombongannya itu,
maka di sini akan melakukan perbandingan mengenai Champa di Aceh dengan Champa
di Kambodia. Sultan Cam atau Sultan Champa adalah Wan Abdullah atau Sultan
Umdatuddin atau Wan Abu atau Wan Bo Teri atau Wan Bo, yang memerintah pada
tahun 1471 M – 1478 M. Dan Sultan Cham ini adalah anak saudara dari Maulana Malik
Ibrahim, yaitu anak dari adik beliau bernama Ali Nurul Alam, dari ibu keturunan
Patani-Senggora di Thailand sekarang.

Berdasarkan silsilah Kerajaan Kelantan Malaysia, adalah: Sultan Abu Abdullah (Wan
Bo) ibni Ali Alam (Ali Nurul Alam) ibni Jamaluddin Al-Husain (Sayyid Hussein Jamadil
Kubra) ibni Ahmad Syah Jalal ibni Abdullah ibni Abdul Malik ibni Alawi Amal Al-Faqih
ibni Muhammas Syahib Mirbath ibni ‘Ali Khali’ Qasam ibni Alawi ibni Muhammad ibni
Alawi ibni Al-Syeikh Ubaidillah ibni Ahmad Muhajirullah ibni ‘Isa Al-Rumi ibni
Muhammad Naqib ibni ‘Ali Al-Uraidhi ibni Jaafar As-Sadiq ibni Muhammad Al-Baqir
ibni ‘Ali Zainal Abidin ibni Al-Hussein ibni Sayyidatina Fatimah binti Rasulullah SAW.

Raja Champa yang merupakan mertua Maulana Malik Ibrahim, sekaligus ayah kandung
dari Puteri Champa ini menjadi kurang tepat jika di jadikan sebuah asumsi demikian.
Padahal jika dikaitkan dengan fakta di atas (sisila Kerajaan Kelantan Malaysia),
mustahil mertua Maulana Malik atau ayah ”Puteri Champa” itu adalah Wan Bo (Wan
Abdullah), karena menurut silsilah dan tahun kelahirannya, beliau Wan Bo (Wan
Abdullah) adalah anak saudara Maulana Malik yang keduanya terpaut usia 50 tahun
lebih. Raden Rahmat (Sunan Ampel) sendiri lahir pada tahun 1401. Dengan demikian
sangat berkemungkinan yang dimaksud dengan Kerajaan Champa tersebut bukan
Kerajaan Champa yang dikuasai Dinasti Ho Vietnam, tapi sebuah perkampungan kecil
yang berdekatan dengan Kelantan. Pendapat yang lain juga mengatakan Champa itu
berdekatan dengan daerah Fatani, Selatan Thailand berdekatan dengan Songkla, yang
merujuk daerah Senggora.

Jamaluddin pertamanya ia menjejakkan kakinya ke Kemboja dan


Aceh,[6] kemudian belayar ke Semarang dan menghabiskan waktu bertahun-
tahun di Jawa, hingga akhirnya melanjutkan pengembaraannya ke Pulau Bugis,
dan dia meninggal disana. (al-Haddad 1403 :8-11). Diriwayatkan pula beliau
menyebarkan Islam ke Nusantara bersama rombongan kaum kerabatnya.
Anaknya Saiyid Ibrahim, yaitu Maulana Malik Ibrahim ditinggalkan di Aceh
untuk mendidik masyarakat setempat dalam bidang ilmu keislaman. Kemudian,
Saiyid Jamaluddin ke Jawa, selanjutnya ke negeri Bugis pada tahun 1452 M, dan
meninggal dunia di Wajok (Sulawesi Selatan) pada tahun 1453 M. Dengan
demikian terlihat jelas bahwa, yang ke Kamboja itu adalah ayahnya Maulana
Malik Ibrahim, yaitu Saiyid Jamaluddin yang menikah di sana dan menurunkan .
Sedangkan mayoritas ahli sejarah menyatakan Maulana Malik Ibrahim lahir di
Samarkand atau Persia pada paruh awal abad ke-14[7]. sehingga ia di gelar Syekh
Maghribi. Dan Maulana Malik Ibrahim sendiri dibesarkan di Aceh, dan ia
menikah dengan puteri Aceh yang dikenal sebagai Puteri Raja Champa, yang
melahirkan Raden Rahmat (Sunan Ampel). Kawasan Jeumpa (Champa) pada
saat itu merupakan mitra Kerajaan Pasai yang menjadikan tempat jalur dan
tempat peristirahatan yang menuju ke Kota seperti seperti Barus, Fansur dan
Lamuri dari Pasai ataupun Perlak. Dan selain itu, Kerajaan Pasai merupakan
tempat pengembangan Islam, dan dakwah Islam yang memiliki banyak
ulama dari seluruh penjuru dunia. Sedangkan Sultan-Sultan Kerajaan Aceh
sangat gemar berbahas tentang masalah-masalah agama di istananya, dan
disitupun banyak berkumpul sejumlah ulama besar seperti dari Persia, India,
Arab dan dari lain-lainnya.
Menurut Ayzumardi Azra[8] dalam Jaringan Ulama Nusantara, ia menjelaskan bahwa
hubungan dakwah yang menggunakan jalur laut pada saat itu sudah terjalin sangat
bagus yang berhubungan lintas pulau dan benua, misalnya seperti Jawa-Pasai-Gujarat-
Persia-Muscat-Aden sampai Mesir. Sementara di wilayah Aceh yaitu di Jeumpa, lebih
mungkin berada sebagai pusat gerakan untuk para ulama-ulama, ketimbang di Champa
Kambodia sebagai jaringan ulama dan hal ini sulit karena Kambodia-Vietnam sendiri
mengalami iklim tidak kondusif dan tidak stabil yang menguntungkan Islam. Kerajaan
Pasai merupakan tempat pusat Islamisasi Nusantara, oleh dasar itu, maka kerajaan
Islam Pasai tentunya mempunyai kepentingan dalam rangka menumbangkan Kerajaan
Jawa Majanpahit yang beragama Hindu, karena Kerajaan Majanpahit adalah satu-
satunya penghalang utama untuk pengislaman tanah Jawa. Di Kerajaan Pasai
merupakan tempatnya berkumpul berbagai para Ulama dari berbagai latar belakang
dan para cerdik pandai Kerajaan Pasai, mereka inilah yang kemudian menyusun
strategi terus menerus dengan segala jaringannya untuk menaklukkan Kerajaan Jawa-
Hindu itu. Salah satu dari satrategi itu adalah, ditempuhlan jalan diplomasi dan dakwah
oleh para duta dari Kerajaan Pasai. Maulana Malik Ibrahim di percayai sebagai kepala
rombongan sekaligus ia utusan senior dari para pendakwah. Strategi yang lainya juga
yaitu yang dianggap bijak melalui jalur perkawinan, antara Puteri Jeumpa (Dwarawati)
dengan Prabu Brawijaya V. Dari hasil perkawinan ini sejarah mencatat bahwa lahirlah
Raden Fatah yang kemudian menjadi Sultan Kerajaan Islam Demak pertama, yang
kemudian menumbangkan Kerajaan Jawa Majapahit dan kerajaan-kerajaan Hindu
lainya.
Hubungan satu sama lain di antara para pendakwa Walisongo bisa dilihat sebagai
berikut, baik dalam ikatan darah (orang tua dengan anak), pernikahan, maupun dalam
hubungan sebagai guru dengan murid:

(1). Maulana Malik Ibrahim: Ia bersaudara


dengan Maulana Ishak, ulama terkenal di Samudra Pasai, dan Maulana Ishak sekaligus
ayah dari Sunan Giri (Raden Paku). Ibrahim dan Ishak adalah anak dari seorang ulama
Persia. Pasai merupakan tempat kediaman Maulana Malik Ibrahim, sang toko utama
dan pertama dari gerakan Wali Songo yang berperan dalam pengembangan Islam dan
melahirkan para Ulama di tanah Jawa. Mayoritas ahli sejarah menyatakan Maulana
Malik Ibrahim lahir di Samarkand atau Persia, sehingga di gelar Syekh Maghribi. Beliau
sendiri dibesarkan di Aceh dan menikah dengan puteri Aceh yang dikenal sebagai Puteri
Raja Champa, yang melahirkan Raden Rahmat (Sunan Ampel). Maulana Malik Ibrahim
meninggal di Gresik tahun 1419 M, dan Makamnya yang terletak dikampung Gapura di
Gresik.
(2). Sunan Ampel: atau Raden Rahmat yang
dikatakan lahir di Champa yang merupakan Jeumpa-Aceh, kemudian hijrah pada
tahun 1443 M ke Jawa dan mendirikan Pesantren di Ampeldenta Surabaya, ia adalah
seorang ulama besar, yang tentunya mendapatkan pendidikan yang memadai dalam
lingkungan Islami. Sunan Ampel adalah anak dari Maulana Malik Ibrahim dengan Putri
Raja Champa. Putri Raja Champa adalah wanita asal Jeumpa-Aceh. Sunan Ampel
kemudian kawin dengan putri Tuban bernama Nyai Ageng Manila, dari perkawinannya
ini beliau memperoleh 4 orang anak: Putri Nyai Ageng Maloka, Maulana Makdum
Ibrahim (Sunan Bonang), Syarifuddin (Sunan Drajat), Putri Istri Sunan Kalijaga.
kemudian Sunan Ampel wafat pada tahun 1425 M, serta dimakamkan di Tuban.

(3) Sunan Bonang: atau Raden Maulana Makdum


Ibrahim, kemudian masyarakat Jawa lebih mengenal dengan sebutan Sunan Bonang, ia
adalah seorang putera dari Sunan Ampel. Sunan Bonang mendapat pendidikan
agamanya pada ayahnya sendiri yaitu Sunan Ampel. Sunan Bonang daerah tugas
dakwah-Islamisasi semasa hidupnya adalah terutama di wilayah Tuban dan sekitarnya
(Jawa Timur), dan ia dikenal seorang ulama semasa hidupnya yang gigih dan giat sekali
menyebarkan agama Islam. Sunan Bonang juga mendirikan pondok pesantren di
daerah Tuban, di pasantren ini pula ia mendidik serta menggembleng kader-kader
muda Islam yang kemudian merekalah yang akan ikut juga menyiarkan agama Islam ke
seluruh tanah Jawa. konon beliaulah yang menciptakan gending Dharma serta berusaha
mengganti nama-nama hari nahas (hari sial) menurut kepercayaan Hindu, serta Sunan
Bonang mengantikan juga nama-nama dewa Hindu dengan nama-nama malaikat dan
nama nabi-nabi.
Di masa hidupnya, beliau juga termasuk orang yang membantu berdidinya kerajaan
Islam Demak. serta ia ikut pula membantu mendirikan Masjid Agung di kota Bintoro
Demak. Pada masa hidupnya Sunan Bonang pernah belajar ke Pasai. Pada saat itu di
Pasai terdapat perguruan tinggi Islam, dengan kata lain Sunan Bonang juga alumni
perguruan tinggi Islam yang sudah berkembang pesat di Aceh. Sekembalinya dari Pasai,
Sunan Bonang memasukkan pengaruh Islam ke dalam kalangan bangsawan dari
keraton Majapahit, serta mempergunakan Demak sebagai tempat berkumpul bagi para
murid-muridnya. Sunan Bonang juga adalah yang memberikan pendidikan Islam
kepada Raden Patah putera dari Brawijaya V, dari kerajaan Majapahit, dan
menyediakan Demak sebagai tempat untuk mendirikan negara Islam. hal ini terlihat
dari kepintaranya yang tampak berpolitis, dan Sunan Bonangpun rupanya tercapai cita-
citanya (impian) atas terbangunnya kerajaan Islam di Demak. Sunan Bonang
diperkirakan lahir pada tahun 1465 M, serta meninggal dunia pada tahun 1525 M.

(4). Sunan Giri: lahir di Blambangan (kini Banyuwangi) pada


1442 M. Maulana Malik Ibrahim memiliki seorang saudara yang terkenal sebagai ulama
besar di Pasai, bernama Maulana Saiyid Ishaq. Maulana Saiyid Ishaq inilah sekaligus
ayah dari Sunan Giri (Raden Paku). Maulana Saiyid Ishaq ayahnya (Sunan Giri) itu
awalnya tinggal di Jawa kemudian pergi ke Pasai-Aceh dan ia tidak kembali lagi ke
tanah Jawa, maka Raden Paku atau Sunan Giri kemudian diambil sebagai putera angkat
oleh seorang wanita kaya yang bernama Nyi Gede Maloka. Dalam Babad Tanah Jawa,
disebut bernama dengan Nyai Ageng Tandes atau Nyai Ageng. Sunan Giri mendapat
pendidikannya pada Raden Rahmat (Sunan Ampel). Dalam masa pendidikan itulah
Raden Paku bertemu dengan Maulana Makdum Ibrahim, putera-puteranya Sunan
Ampel yang bergelar Sunan Bonang. Suatu ketika, Sunan Ampel memerintahkan
kepada Maulana Makdum Ibrahim dan Raden Paku untuk pergi menunaikan ibadah
haji ke Tanah Suci. Dalam perjalanan menuju ke tanah Suci itu, mereka singgah
terlebih dahulu di Pasai-Aceh untuk menuntut ilmu pada para ulama di tempat
tersebut. Raden Paku yang kemudian bergelar Syekh Ainul Yaqin[9]mengadakan
tempat berkumpul di pondok pesantrennya di Giri, itu sebabnya ia dijuluki Sunan Giri.
Dimana murid-muridnya terdiri pada orang-orang kecil (rakyat jelata). Kontribusinya
dalam hal bidang lain misalnya, ia adalah ulama yang mengirim utusan (muridnya) ke
beberapa wilayah ke luar Jawa. murid-muridnya itu didelegasikan misalnya ke Bawean,
Kagean, Ternate, Haruku kepulauan Maluku, dan Madura. Amatlah besar kontribusinya
itu jika kita melihat dari kegiatan yang ia lakukan. Sunan Giri ketika meninggal dunia
dimakamkan di atas bukit Giri (Gresik). Dan kemudian pasca beliau (Setelah Sunan
Giri) meninggal dunia, berturut-turut digantikan oleh yang lain seperti Sunan Delem,
Sunan Sedam Margi, Sunan Prapen.

(5). Sunan Drajad: atau Syarifuddin lahir pada tahun 1470


M. adalah seorang putera dari Sunan Ampel, (Sunan Drajad adalah cucunya Maulana
Malik Ibrahim dari Pasai). Nama Sunan Drajad ketika kecil yaitu Raden Qosim, Sunan
Drajat juga adalah ikut pula mendirikan kerajaan Islam di Demak dan menjadi
penyokongnya yang setia, daerah dakwahnya di Jawa Timur dan ia terkenal seorang
waliullah yang berjiwa sosial. Dalam pengajaran tauhid dan akidah, Sunan Drajat
mengambil cara ayahnya: langsung dan tidak banyak mendekati budaya lokal.
Meskipun demikian, cara penyampaiannya mengadaptasi cara berkesenian yang
dilakukan Sunan Muria.

(6). Sunan Muria: Dilahirkan dengan nama Raden


Umar Said atau Raden Said. Menurut beberapa riwayat, dia adalah putra dari Sunan
Kalijaga yang menikah dengan Dewi Soejinah, putri Sunan Ngudung. Nama Sunan
Muria sendiri diperkirakan berasal dari nama gunung (Gunung Muria), yang terletak di
sebelah utara kota Kudus, Jawa Tengah. Sunan Muria seringkali menjadi penengah,
takala konflik internal di kerajaan Kesultanan Demak muncul (1518-1530), Ia dikenal
sebagai pribadi yang mampu memecahkan berbagai masalah. solusi yang di
tawarkanyapun selalu dapat diterima oleh semua pihak yang berseteru. Sunan Muria
berdakwah dari Jepara, Tayu, Juana hingga sekitar Kudus dan Pati. Gaya berdakwahnya
banyak mengambil cara ayahnya, Sunan Kalijaga. Namun berbeda dengan sang ayah,
Sunan Muria lebih suka tinggal di daerah sangat terpencil dan jauh dari pusat kota
untuk menyebarkan agama Islam.
(7). Sunan Kudus: adalah cucu dari Usman Haji yang berasal
dari Aceh. Ibu Sunan Kudus adalah adik kandung Sunan Bonang. Sunan Kudus
dilahirkan dengan nama Jaffar Shadiq dan Sunan Kudus diperkirakan wafat pada tahun
1550. Pada tahun 1530, Sunan Kudus mendirikan sebuah Mesjid di desa Kerjasan,
Kudus Kulon, yang kini terkenal dengan nama Masjid Agung Kudus. Sekarang Masjid
Agung Kudus berada di alun-alun kota Kudus, Jawa Tengah. Dalam upaya untuk
menghormati penganut agama Hindu, Sunan Kudus pernah meminta kepada
masyarakat pada masanya untuk tidak memotong hewan kurban sapi dalam perayaan
Idul Adha dan mengantikannya dengan kerbau, pesan untuk menggatikan sapi dengan
kurban kerbau ini masih banyak didapati berlangsung pada masyarakat Kudus hingga
saat ini. Sunan Kudus pernah menjabat sebagai panglima perang untuk Kesultanan
Demak, dan dalam masa pemerintahan Sunan Prawoto, dia menjadi penasihat bagi
Arya Penangsang. Selain sebagai panglima perang untuk Kesultanan Demak, Sunan
Kudus juga menjabat sebagai hakim pengadilan bagi Kesultanan Demak.

(8). Sunan Kalijaga: Lahir sekitar tahun 1450 M.


Ayahnya adalah Arya Wilatikta, Adipati Tuban keturunan dari tokoh pemberontak
Majapahit, Ronggolawe. Masa itu, Arya Wilatikta diperkirakan telah menganut
Islam Nama kecil Sunan Kalijaga adalah Raden Said. Ia juga memiliki sejumlah nama
panggilan seperti Lokajaya, Syekh Malaya, Pangeran Tuban atau Raden Abdurrahman.
Dalam dakwah, ia punya pola yang sama dengan sahabat dekatnya, Sunan Bonang.
Pemahaman cenderung “sufistik berbasis salaf” bukan sufi panteistik (pemujaan
semata). Ia juga memilih jiwa kesenian dan kebudayaan sebagai sarana untuk
berdakwah, ia sangat toleran pada budaya lokal. Maka ajaran Sunan Kalijaga terkesan
singkretis dalam mengenalkan Islam.

(9). Sunan Gunung Jati: Sunan Gunung Jati atau Syarif


Hidayatullah adalah putra Syarif Abdullah Umdatuddin putra Ali Nurul Alam putra
Syekh Husain Jamaluddin Akbar, dan Syekh Jamaluddin Akbar sendiri adalah yang
berasal dari Aceh. Dengan kata lain, Sunan Gunung Jati adalah cucunya dari Syekh
Jamaluddin Akbar. Sunan Gunung Jati atau Syarif Hidayatullah diperkirakan lahir
sekitar tahun 1448 M.
Sunan Gunung Jati atau Syarif Hidayatullah, nama ini lambatlaun berubah
pengucapannya menjadi Fattahi’lah.[10] Fatahillah dikenal juga sebagai ulama yang
pemberani dalam perperangan, ia mengusir Portugis dari pelabuhan perdagangan
Sunda Kelapa, dan kemudian memberi nama daerah tersebut dengan nama “Jayakarta”
yang berarti Kota Kemenangan. Kemudian berubah lagi namanya menjadi Jakarta yang
kita kenal salama ini. Fatahillah adalah anak dari salah seorang wazir (petinggi
kerajaan), dan ia sekaligus juga seorang ulama yang kemudian pergi meninggalkan
Pasai menuju Mekah, ketika daerah tersebut dikuasai oleh Portugis. Pada saat
Fatahillah kembali ke Pasai, ternyata Pasai masih dikuasai oleh Portugis sehingga ia
menuju ke Demak pada awal abad ke 15 M, Demak dimana pada masa itu pemerintahan
Raden Trenggono. Kemudian Fatahillah dinikahkan dengan salah seorang adik Sultan
Trenggono. Ada pendapat lain yang mengatakan bahwa, Fatahillah pergi ke
Mekkah selama tiga tahun untuk memperdalam ilmu agama. Kedatangan Fatahillah ke
Jawa pada saat itu disambut sangat baik oleh Sultan Demak (Pangeran Trenggono).
Kemudian Sultan Demak memberikan dukungan penuh kepada Fatahillah untuk
merebut Sunda Kelapa dan Banten dari kerajaan Pajajaran yang bersekongkol dengan
Portugis, dan Fatahillah mendapat kemenangan. Pada tahun 1527 M, dan atas prestasi
besar yang di perolehnya itu maka ia diangkat menjadi Bupati Sunda Kelapa oleh Sultan
Demak. Kemudian pada tanggal 22 Juni 1527 Fatahillah mengubah nama Bandar Sunda
Kelapa menjadi nama Jayakarta. Inilah cikal bakal awal berdirinya kota Jakarta sebagai
ibu kota Negara Republik Indonesia.
Bibliografi:
Anwar, Rosihan, Kerajaan Islam Samudra Pasai , Harian Kedaulatan Rakyat,
(Yogyakarta: 15 Maret 1988)
Arifin, Abdul Hadi, Malikussaleh Reinterpretasi Penyebaran Islam Nusantara,
(Lhokseumawe: Unimal Press, 2005)
Azra, Ayzumardi, Jaringan Ulama Timur Tengah Dan Kepulauwan Nusantara Abad
17 Dan Abad Ke 18, (Bandung: Mizan, 1994).
Jakup, Ismail, Sejarah Islam di Indonesia, (Jakarta: Widjaya)

[1] Lihat : “Kerajaan Islam Samudra Pasai ” H. Rosihan Anwar, Harian Kedaulatan
Rakyat, Yogyakarta, 15 Maret 1988
[2] Christiaan Snouck Hurgroje adalah Orientalis Belanda yang pernah mempelajari
Islam sampai pergi ke tanah Arab, dan ia tiba di Jeddah pada tanggal 28 Agustus 1884.
Dalam upayanya itu ia berpura-pura memeluk agama Islam (menggati namanya
menjadi Abdul Gaffar) untuk kelancaranya mengali informasi kelemahan umat Islam, di
Mekkah. Atas saranya itu pemerintah Hindia Belanda menerapkan divide et
impera (politik adu domba) di Nusantara khususnya di Aceh untuk memecah
perjuangan umat Islam.
[3] Sir TS. Raffles adalah Gubernur Jendral Hindia Belanda dari Kerajaan Inggris yang
juga seorang peneliti sosial, dalam bukunya The History of Java.
[4] Kata Jeumpa dengan Aceh di Nusantara, sering dikaitkan dengan puteri-puterinya
yang cerdas dan cantik jelita, di karenakan buah persilangan antara Arab, Parsi, India
dan Melayu, yang di Aceh. Kecantikan dan kecerdasan puteri-puteri Jeumpa (Aceh)
sudah menjadi wacana tersendiri bagi pembesar-pembesar istana Perlak, Pasai, Malaka,
bahkan sampai ke Jawa. Oleh karena itu seorang raja Jawa Maharaja Majapahit,
Barawijaya V sangat mendambakan seorang permaisuri dari Jeumpa. Bahkan dalam
Babat Tanah Jawi, disebutkan bagaimana sang Prabu mabok kepayangnya ketika
bertemu dengan Puteri Jeumpa yang datang bersama dengan rombongan Maulana
Malik Ibrahim.
[5] Permaisurinya Maha Prabu Brawijaya V adalah Puteri Jeumpa yang berasal dari
Aceh, dari pasangan ini kemudian melahirkan Raden Fatah, Sultan pertama Kerajaan
Islam Demak, kerajaan Islam pertama di tanah Jawa.
[6] lihat Martin Van Bruinessen yang telah memetik tulisan dari Saiyid ‘Al-wi Thahir al-
Haddad, dalam bukunya Kitab Kuning.
[7] Lihat versi Meinsma, dalam Babad Tanah Jawi. Ia menyebutkan Asmarakandi,
mengikuti pengucapan lidah orang Jawa terhadap As-Samarqandy.
[8] Lihat Ayzumardi Azra, Jaringan Ulama Timur Tengah Dan Kepulauwan
Nusantara Abad 17 Dan Abad Ke 18, (Bandung: Mizan, 1994).
[9] Nama Syekh Ainul Yaqin diperoleh ketika ia telah tamat menuntut ilmu di Pasai,
“Ainul Yaqin” yang di sandang itu adalah pemberian dari gurunya yang berada di Pasai.
Dan Raden Paku berhasil mendapat Ilmu Laduni.
[10] Ismail Jakup, Sejarah Islam di Indonesia, (Jakarta: Widjaya) hlm 31.

WALISONGO DAN ISLAMISASI JAWA

WALISONGO DAN ISLAMISASI JAWA


Oleh, Taufiq Harris
Buku Islam aktual menjelaskan, Proses masuknya ajaran Islam di Indonesia
khususnya Jawa telah melewati waktu yang cukup panjang. Unsur-unsur ajaran Islam
diintegrasikan pada budaya lokal dan sebaliknya. Islam kemudian menjadi bagian yang
tidak terasa asing. “Islam telah mempribumi” selanjutnya dalam buku Tasawuf Irfan dan
Kebatinan menerangkan bahwa sangat monumental sekali masuknya ajaran Islam dan
sufisme di Tanah Jawa, yang telah di pelopori oleh para tokoh sufi yang sekarang kita kenal
dengan walisongo atau sembilan wali, dan beberapa tokoh sufi yang lainnya yang tidak
termasuk dalam lingkaran tersebut. Catatan singkat ini tidak menjelaskan apa atau arti,
darimana sesungguhnya kata Walisongo dan juga tidak mengungkap asal usul para
pelopor dakwah ajaran Islam di Indonesia khususnya Tanah Jawa, karena sampai
sekarang masih banyak kontroversial dan juga banyaknya pendapat dari sejarahwan yang
berbeda.

Sebelum mengutip salah satu bagian perjuangan dari para walisongo dalam
transformasi dakwahnya, saya akan kembali pada istilah ”Islam telah mempribumi” karena
Islam telah di hadirkan oleh para Walisongo dengan sangat apresiatif terhadap budaya
lokal Jawa sehingga menghasilkan dakwah yang selaras dan mudah beradaptasi dengan
lingkungan setempat, walaupun ajaran Islam di terima oleh masyarakat secara bertahap
atau sedikit demi sedikit atau bersifat gradual, antara masyarakat desa atau para petani
yang masih tersentuh dengan Hinduisme dan masih melakukan tradisi tradisi dalam budaya
Jawa, para priyayi di kota yang masih melekat pada budaya Animisme dan Dinamisme dan
para santri yang berada di pesisir. Warna keagamaan ini kemudian menghasilkan
khazanah lokal yang bermetamorfosis menjadi eklektika antara kultur lokal dan semangat
keagamaan. Dalam hal ini melahirkan akulturasi (proses kebudayaan yang saling
mempengaruhi) dan sekaligus penyatuan ideologi-ideologi yang bertentangan kedalam
kesatuan pikiran atau kedalam satu hubungan sosial yang harmonis serta berjalan bersama
(sinkretisme). Maka para wali dalam menyebarkan ajaran Islam di Tanah Jawa, mampu
menembus lingkungan tradisi besar budaya Hindu-Kejawen melalui berkembangnya sastra
budaya agama atau jika kita perhatikan Islam yang telah merebak dengan cepat di
Indonesia khususnya Jawa semenjak abad 13 Masehi, ternyata tidak mengganggu budaya
asli Animisme, Dinamisme dan Paganisme di Jawa, karena walisongo sangat memahami
bahwa itu adalah bagian dari watak masyarakat yang kental sejak pra sejarah.

Sejarah transformasi dakwah walisongo merupakan potret proses dialektika dan


akulturasi tersebut, salah satu contoh ”Kanjeng Sunan Kalijaga” seorang yang penuh
dengan karomah berjubah putih mampu menembangkan kidung-kidung, pandai memainkan
alat musik Jawa (gamelan dan lain sebagainya) dan sekaligus menjadi dalang wayang kulit,
dalam bukunya Dr. Th. Pigeud ” De Javaanse Volksvertoningen” bahwa Kanjeng Sunan
Kalijaga menciptakan lakon-lakon wayang baru dan menyelenggarakan pagelaran-
pagelaran. Ini membuktikan bahwa tranformasi dakwah Sunan Kalijaga dengan
menciptakan karya seni dan menggunakan nuansa yang mudah difahami oleh masyarakat
Jawa yakni Hindu dan Budha.

Walisongo yang merupakan simbol penyebaran Islam di Indonesia, khususnya


Tanah Jawa. Dengan warna dakwahnya yang memperhatikan watak masyarakat yang telah
mengakar sejak pra sejarah dan mengakomodasi budaya lokal dan adat/tradisi lokal.
"Walisongo" ini sangat populer dibanding dengan para pendakwah ajaran Islam yang
lainnya. Mereka memiliki gaya dakwah yang unik dan berbeda.

Catatan singkat ini saya akan memberikan salah satu contoh tranformasi dakwah
walisongo yakni, Syeikh Maulana Malik Ibrahim (sesepuh Walisongo ) yang memiliki
strategi dalam kegiatan trasformasi dakwahnya melalui metode motode pendekatan yang
benar benar matang, dalam bahasa sekarang, Syeikh Maulana Malik Ibrahim menyusun
inventarisasi masalah masalah masyarakat yang dikembangkan dalam skala prioritas yang
dituangkan dalam project planning/schedule dakwah, jika kita ambil contoh kegiatan sub
projectnya adalah: berdagang atau membuka agen retail kebutuhan kebutuhan masyarakat
sehari hari, sarana melaksanakan metode ini untuk mengenal masyarakat, mulai nama
orang, keluarga, status sosial, sifat, karakter, bahkan hal hal pribadinya, cara ini
memudahkan berkomunikasi langsung untuk membantu seseorang, membina, memberikan
masukan untuk melakukan kebajikan dan melarang berbuat kemungkaran dan beberapa
sumber menjelaskan Syeikh Maulana Malik Ibrahim kadang juga berdebat, namun beliau
telah mengetahui sifat atau watak orang tersebut, sub project yang lainnya adalah beliau
menjadi Tabib, pandai mengobati berbagai macam penyakit, dalam catatan-Syeikh
Maulana Malik Ibrahim setiap mengobati pasien selalu mengawali dengan bacaan
basmallah yang diiringi dengan do’a-do’a, disamping juga beliau memiliki ilmu yang tinggi
dalam bidang ilmu sain, maka dalam referensi rasional beliau juga memberikan obat obatan
tradisionil (jamu/yang lainnya)-dengan cara pendekatan kepada setiap orang, beliau
memahami persoalan persoalan yang langsung dapat membatu
menyelesaikan/memecahkan masalah masalahnya, sehingga Syeikh Maulana Malik
Ibrahim berpartisipasi dalam lingkunganya sekaligus menyesuaikan diri dengan
lingkunganya dengan menggunakan lingkungannya untuk menjalankan tranformasi dakwah
Islam, berarti beliau melakukan penyesuaian secara autoplastis (mengubah diri sesuai
dengan keadaan lingkungan dan penyesuaian secara alloplastis/mengubah lingkungan
sesuai dengan keadaan keinginan dirinya), dalam uraian ini saya break dengan pendapat
William Stern, Intelijensi ialah kemampuan/kesanggupan untuk menyesuaikan diri kepada
kebutuhan baru, dengan menggunakan alat-alat berfikir yang sesuai dengan tujuannya,
maka Sang Wali adalah jenius yang dengan cepat merubah masyarakat yang memiliki
keyakinan dan falsafah serta pandangan hidup rakyat Budha, Hindu (aliran syiwa) dapat
memilih Agama Islam, sampai bahasan ini ketikan saya berhenti, karena terselip dalam
benak saya pada literatur dan dongeng atau cerita rakyat, lembaran lembaran kuno tentang
kehebatan karomahnya (bahasa jawa “sakti”) atau dalam tranformasi dakwahnya, Allah
SWT langsung membantu. Jika bahasa kawan saya do’a-do’a yang dibaca oleh Syeikh
Maulana Malik Ibrahim karena ketakwaan dan maqamnya yang tinggi langsung nyata
dikabulkan, selanjutnya diskusi tulisan ini dengan menampilkan data referensi rasional dan
satu hal lagi kritis saya, banyak pakar sejarah mengatakan dakwah Syeikh Maulana Malik
Ibrahim di untungkan dengan adanya kasta-kasta dalam ajaran Hindu sedangkan menurut
ajaran Islam tidak ada perbedaan kelas, orang yang paling mulia di sisi Allah adalah
mereka yang bertaqwa dan berbuat kebaikan, ungkapan itu adalah dakwah Syeikh
Maulana Malik Ibrahim kepada rakyat atau masyarakat miskin, terutama para petani dan
nelayan (pada kasta Waisya dan Sudra/kaum rendahan) sehingga mendengar ajaran Islam
yang di sampaikan oleh Syeikh Maulana Malik Ibrahim, tidak ada perbedaan di dalam
Agama Islam, kaya, miskin, bangsawan, pejabat, raja, semua sama sebagai manusia yang
harus di hargai hak-haknya, dengan demikian Islamlah yang mengangkat mereka seperti
manusia lainnya maka berbondong bondong masyarakat masuk Agama Islam, analisa saya
bukan diuntungkan oleh adanya kasta-kasta dalam agama Hindu, akan tetapi tranformasi
dakwah Sang Wali itu, dengan intelektualnya yang dapat merubah paradigma masyarakat
serta perjuangan yang tidak mengenal lelah dalam menyebarkan ajaran Allah SWT dan
profile dirinya yang mencontoh Rosulullah, namun boleh-boleh saja pendapat yang
menerangkan bahwa dakwahnya diuntungkan oleh kasta-kasta, karena saya sangat
menyadari bahwa ini adalah sejarah atau peristiwa yang telah berlalu. Begitu pula menurut
Babad, cerita rakyat dan lain-lain, bagaimana Sang Wali dalam menolong masyarakat dari
gangguan perampokan bukan hanya mengandalkan kesaktian saja akan tetapi profile
kerendahan hati dan akhlaqnya juga sebagai senjata ampuh, artinya bahwa beliau bukan
saja mengandalkan magic ulluhiyah semata. Dan diceritakannya pula bahwa Syeikh
Maulana Malik Ibrahim berhadapan dengan para tokoh agama/para pandita, yang setiap
musim kemarau panjang mengorbankan seorang gadis untuk persembahan dewa, agar
diturunkan hujan, beliau menentang persembahan itu dengan cara yang tidak membuka
front, atau bersikap kasar dengan ber-argumen lembut untuk memberikan petunjuk dan
dilakukan terus menerus untuk menghalangi perbuatan sesatnya, setelah melakukan trans
dakwahnya dengan subtansi logika tidak berhasil atau memang keinginan dari mereka yang
meminta untuk sesuatu yang dapat mengalahkan dewanya maka beliau melakukan dengan
memohon/do’a kepada Allah/ menjalankan ibadah dalam syariat Islam dalam alkisah
tersebut Syeikh Maulana Malik Ibrahim dengan para santrinya melakukan sholat minta
hujan/ Istiqo’, langsung hujan, kenapa langsung hujan karena Syeikh Maulana Malik
Ibrahim, hamba yang sudah menyandang predikat “Karomah”, kalau saya dan kawan-
kawan, mungkin harus berulang-ulang memakan waktu bulanan untuk turun hujan, mungkin
sampai musim penghujan, baru turun hujan, bedanya ketakwaan dan maqamnya, kedua
saya dan kawan-kawan belum pernah mempengaruhi satu orangpun untuk masuk Islam.

Dari beberapa contoh sub project kegiatan tranformasi dakwah Syeikh Maulana
Malik Ibrahim tersebut diatas dan para pengikut Islam semakin banyak, maka Syeikh
Maulana Malik Ibrahim kearah tujuan dan cita-cita dengan menimbulkan kekuatan kekuatan
kompleks, dorongan-dorongan, kebutuhan-kebutuhan, atau mekanisme yang di mulai
dengan menjaga kegiatan kegiatan guna mencapai hasil atau tujuan Islam dengan
mendirikan masjid dan pesantren sesuai dengan schedule transformasi dakwahnya.
Pengadaan sarana prasarana ini sebagai (whole Methode) dalam kegiatan proses
pembelajaran mengenal ajaran Islam dan juga merupakan wadah pembentukan kader-
kader Islam (Mubaligh). Dalam hal ini Syeikh Maulana Malik Ibrahim melakukan kegiatan
proses pembelajaran Quantum Learning adalah proses pembelajaran secara cepat, yang
mencakup unsur-unsur pembelajaran efektif sehingga kegiatan ini menjadi induk yang
menelorkan para santri bagi masyarakat Gresik dan Agama Islam, dapat kita bayangkan
Syeikh Maulana Malik Ibrahim “Sang Wali” memiliki konsep pendidikan “Islamic Quantum
Learning Method”, pasti beliau menyiapkan metodologi pengajaran, tersedianya fasilitas
belajar (Masjid dan Pesantren), tenaga pengajar yang handal dan manajemen pesantren
yang sangat baik, dengan esensi materi pengajaran, tehnik pengajaran dan memprediksi
target perjuangan dakwah yang dicapai, maka untuk memperjelas pemahaman tentang
kurikulum Islam dalam tranformasi dakwah Syeikh Maulana Malik Ibrahim sebagaimana
dapat diperkirakan dari berbagai pendapat, artefak keislaman dalam kehidupan masyarakat
Majapahit, kubur-kubur kuno berikut prasastinya serta masjid- masjid kuno sebagai living
monument kemudian mayoritas pengikut madzhab di Indonesia adalah Madzhab Syafi’i
maka dapat diperkirakan terdiri dari :
1. Usul al-Fiqih adalah yang merupakan empat (4) sumber akar fiqih a. Al-Qur’an adalah kitab
suci bagi umat Islam b.Sunnah Nabi adalah ucapan dan perbuatan Nabi serta taqrir/
persetujuan Nabi dengan cara membiarkan suatu perbuatan c.Ijma’ kesepakatan diantara
alim ulama islam yang hidup pada masa tertentu tentang suatu masalah yang didapatkan
ketentuannya dalam Al-Qur’an dan Sunnah. d.Qiyas, analogi hukum/ketentuan yang tidak
ada dalam Al-Qur’an dan hadist dengan hukum yang terdapat di dalamnya, karena
persamaan sebab.

2. Usul ad-Din atau ‘Ilm al-Qalam atau ‘Ilm al-Tauhid ialah ilmu yang membicarakan ke maha
tunggalan Allah/keesaan Tuhan, dasar kepercayaan ini tertuang dalam rumusan kalimat“
Asyhadu Allah ilaha illallah wa asyhadu anna Muhammadar Rasulullah, dan didasari oleh
zat dan sifat Allah, Malaikat-malaikat-Nya, Kitab-kitab-Nya, Rosul-rosul-Nya, hari kiamat
dan Takdir, enam ini merupakan pokok kepercayaan Umat Islam (rukun Iman).

3. Tasawwuf, berasal dari kata “ Suf ” yang berarti kain wol kasar. Kain tersebut dipakai oleh
orang orang muslim yang meninggalkan keduniawian, mencari ketenangan untuk bertemu
dengan Allah di dorong oleh cinta kepada-Nya, orang-orang ini di sebut Sufi, dan ilmu/aliran
tersebut dinamai Tasawwuf. Seorang sufi disebut faqir atau darwisy (bahasa Persia) orang
yang melarat karena berhasrat. Pelajaran mencari Tuhan ditempuh melalui empat
tingkatan,yaitu: Syari’at, Tariqat, Ma’rifat, Haqiqat, di dalam tasawwuf ada beberapa
golongan, antara lain: Qodariyah, Syatiriyah, Naqsyabandiyah, dan lain-lain yang banyak
kita kenali di negeri ini.

Maka keberhasilan perubahan dan perkembangan Agama Islam sangat cepat sekali
sehingga sampai sekarang Gresik menjadi kota Santri yang banyak menghasilkan Ulama-
ulama berstandart nasional dan bahkan Internasional . Dalam transformasi dakwahnya,
beliau juga terlibat membantu masyarakat dalam sektor pertanian terutama dalam hal
menunjang fasilitas-fasilitas pengairan atau irigasi, pembuatan waduk-waduk, dan yang
lainnya, tujuan dari upaya-upaya tersebut untuk kepentingan masyarakat tani, kebutuhan
akan air bersih pada masyarakat serta menanggulangi banjir. Jelas gambaran keterlibatan
beliau, dapat di ketahui dalam sumber data di Desa Pesucinan, tempat air yang berada
pada masjid kuno yang diperkirakan dibuat pada tahun 1311 Saka atau tahun 1389 Masehi.
Konon, daerah Leran dan sekitarnya banyak di kunjungi masyarakat, karena terkenal
sebagai pusat dakwah Islam dengan Ulamanya yang dicintai rakyat yakni Syeikh Maulana
Malik Ibrahim. Sunan Giri dalam sumber resmi belanda sebagai ”den heyligen Javaensen
priester” yaitu (Ulama Jawa yang keramat), sebagai wali yang terkemuka sepanjang masa,
jasa jasa beliau dalam penyebaran ajaran Islam yang terkenal keteguhannya dalam
menyiarkan agama Islam tanpa mau dicampuri kepercayaan dan adat istiadat akan tetapi di
bidang kesenian beliau juga berjasa besar dalam menciptakan tembang tembang yang
bernafas Islam, kemudian Sunan Ampel yang menjadi Mufti atau pimpinan agama Islam se-
Tanah Jawa, yang memiliki falsafah Mo Limo dan memiliki pesantren untuk mendidik para
bangsawan dan para pangeran serta siapapun yang datang untuk berguru kepada beliau,
selanjutnya Sunan Bonang yang telah menciptakan karya sastra yang terkenal ” Suluk ”
karya yang sangat hebat, penuh keindahan dan bermakna kehidupan beragama. Karya
Suluk tersebut sampai sekarang disimpan rapi di perpustakaan Universitas Leiden Belanda,
dan Sunan Kudus yang tersohor memiliki strategi dakwah dengan melakukan pendekatan
kepada rakyat dengan merangkul segala masyarakat, kemudian Sunan Drajat dari
beberapa sumber sejarah beliau adalah sunan yang paling bersahaja dan terkenal sebagai
ahli ukir dan juga Sunan yang pertama kali menciptakan Gending Pangkur sampai kini
gending tersebut masih di sukai rakyat, Sunan Muria adalah wali yang memiliki fisik yang
kuat dan sakti mandraguna tranformasi dakwahnya kepada para nelayan, pelaut,
pedagang, kemudian Sunan Gunung Jati. Semua para wali ini dalam Islamisasi Jawa, trans
dakwahnya dengan budi luhur, halus lemah lembut dan pecinta masyarakat/ umat dengan
memasuki pintu budaya.

Catatan singkat yang terbatas ini, mengharap anda sudah harus puas dan kita tetap harus
belajar dengan menelusuri nilai-nilai ajaran Islam dari walisongo, salam atas mereka
semua.

KISAH DAN SEJARAH WALISONGO LENGKAP


• Pengertian/Arti Walisongo

• Sejarah Walisongo

• Tokoh Pendahulu Walisongo

• Teori Keturunan Hadramaut

• Teori Keturunan Cina

• Sumber Tertulis

• Refferensi

ARTI / PENGERTIAN WALISONGO

Ada beberapa pendapat mengenai arti Walisongo. Pertama adalah wali yang sembilan, yang menandakan jumlah

wali yang ada sembilan, atau sanga dalam bahasa Jawa. Pendapat lain menyebutkan bahwa kata songo/sanga

berasal dari kata tsana yang dalam bahasa Arab berarti mulia. Pendapat lainnya lagi menyebut kata sana berasal

dari bahasa Jawa, yang berarti tempat.

Pendapat lain yang mengatakan bahwa Walisongo adalah sebuah majelis dakwah yang pertama kali didirikan oleh

Sunan Gresik (Maulana Malik Ibrahim) pada tahun 1404 Masehi (808 Hijriah). Saat itu, majelis dakwah Walisongo

beranggotakan Maulana Malik Ibrahim sendiri, Maulana Ishaq (Sunan Wali Lanang), Maulana Ahmad Jumadil Kubro

(Sunan Kubrawi); Maulana Muhammad Al-Maghrabi (Sunan Maghribi); Maulana Malik Isra’il (dari Champa), Maulana
Muhammad Ali Akbar, Maulana Hasanuddin, Maulana ‘Aliyuddin, dan Syekh Subakir.
Dari nama para Walisongo tersebut, pada umumnya terdapat sembilan nama yang dikenal sebagai anggota

Walisongo yang paling terkenal, yaitu:

1. Sunan Gresik atau Maulana Malik Ibrahim

2. Sunan Ampel atau Raden Rahmat

3. Sunan Drajat atau Raden Qasim

4. Sunan Bonang atau Raden Makhdum Ibrahim

5. Sunan Kudus atau Ja’far Shadiq

6. Sunan Giri atau Raden Paku atau Ainul Yaqin

7. Sunan Muria atau Raden Umar Said

8. Sunan Gunung Jati atau Syarif Hidayatullah

9. Sunan Kalijaga atau Raden Said

Para Walisongo adalah intelektual yang menjadi pembaharu masyarakat pada masanya. Pengaruh mereka

terasakan dalam beragam bentuk manifestasi peradaban baru masyarakat Jawa, mulai dari kesehatan, bercocok-

tanam, perniagaan, kebudayaan, kesenian, kemasyarakatan, hingga ke pemerintahan.

SEJARAH WALISONGO / WALISANGA MENURUT PERIODE WAKTU

Menurut buku Haul Sunan Ampel Ke-555 yang ditulis oleh KH. Mohammad Dahlan,[1] majelis dakwah yang secara

umum dinamakan Walisongo, sebenarnya terdiri dari beberapa angkatan. Para Walisongo tidak hidup pada saat

yang persis bersamaan, namun satu sama lain mempunyai keterkaitan erat, baik dalam ikatan darah atau karena

pernikahan, maupun dalam hubungan guru-murid. Bila ada seorang anggota majelis yang wafat, maka posisinya

digantikan oleh tokoh lainnya:

• Angkatan ke-1 (1404 – 1435 M), terdiri dari Maulana Malik Ibrahim (wafat 1419), Maulana Ishaq, Maulana Ahmad

Jumadil Kubro, Maulana Muhammad Al-Maghrabi, Maulana Malik Isra’il (wafat 1435), Maulana Muhammad Ali Akbar

(wafat 1435), Maulana Hasanuddin, Maulana ‘Aliyuddin, dan Syekh Subakir atau juga disebut Syaikh Muhammad Al-

Baqir.

• Angkatan ke-2 (1435 – 1463 M), terdiri dari Sunan Ampel yang tahun 1419 menggantikan Maulana Malik Ibrahim,

Maulana Ishaq (wafat 1463), Maulana Ahmad Jumadil Kubro, Maulana Muhammad Al-Maghrabi, Sunan Kudus yang

tahun 1435 menggantikan Maulana Malik Isra’il, Sunan Gunung Jati yang tahun 1435 menggantikan Maulana

Muhammad Ali Akbar, Maulana Hasanuddin (wafat 1462), Maulana ‘Aliyuddin (wafat 1462), dan Syekh Subakir

(wafat 1463).

• Angkatan ke-3 (1463 – 1466 M), terdiri dari Sunan Ampel, Sunan Giri yang tahun 1463 menggantikan Maulana

Ishaq,

Maulana Ahmad Jumadil Kubro (wafat 1465), Maulana Muhammad Al-Maghrabi (wafat 1465), Sunan Kudus, Sunan

Gunung Jati, Sunan Bonang yang tahun 1462 menggantikan Maulana Hasanuddin, Sunan Derajat yang tahun 1462
menggantikan Maulana ‘Aliyyuddin, dan Sunan Kalijaga yang tahun 1463 menggantikan Syaikh Subakir.
• Angkatan ke-4 (1466 – 1513 M, terdiri dari Sunan Ampel (wafat 1481), Sunan Giri (wafat 1505), Raden Fattah

yang

pada tahun 1465 mengganti Maulana Ahmad Jumadil Kubra, Fathullah Khan (Falatehan) yang pada tahun 1465

mengganti Maulana Muhammad Al-Maghrabi, Sunan Kudus, Sunan Gunung Jati, Sunan Bonang, Sunan Derajat,

dan Sunan Kalijaga (wafat 1513).

• Angkatan ke-5 (1513 – 1533 M), terdiri dari Syekh Siti Jenar yang tahun 1481 menggantikan Sunan Ampel (wafat

1517), Raden Faqih Sunan Ampel II yang ahun 1505 menggantikan kakak iparnya Sunan Giri, Raden Fattah (wafat

1518), Fathullah Khan (Falatehan), Sunan Kudus (wafat 1550), Sunan Gunung Jati, Sunan Bonang (wafat 1525),

Sunan Derajat (wafat 1533), dan Sunan Muria yang tahun 1513 menggantikan ayahnya Sunan Kalijaga.

• Angkatan ke-6 (1533 – 1546 M), terdiri dari Syekh Abdul Qahhar (Sunan Sedayu) yang ahun 1517 menggantikan

ayahnya Syekh Siti Jenar, Raden Zainal Abidin Sunan Demak yang tahun 1540 menggantikan kakaknya Raden

Faqih Sunan Ampel II, Sultan Trenggana yang tahun 1518 menggantikan ayahnya yaitu Raden Fattah, Fathullah

Khan (wafat 1573), Sayyid Amir Hasan yang tahun 1550 menggantikan ayahnya Sunan Kudus, Sunan Gunung Jati

(wafat 1569), Raden Husamuddin Sunan Lamongan yang tahun 1525 menggantikan kakaknya Sunan Bonang,

Sunan Pakuan yang tahun 1533 menggantikan ayahnya Sunan Derajat, dan Sunan Muria (wafat 1551).

• Angkatan ke-7 (1546- 1591 M), terdiri dari Syaikh Abdul Qahhar (wafat 1599), Sunan Prapen yang tahun 1570

menggantikan Raden Zainal Abidin Sunan Demak, Sunan Prawoto yang tahun 1546 menggantikan ayahnya Sultan

Trenggana, Maulana Yusuf cucu Sunan Gunung Jati yang pada tahun 1573 menggantikan pamannya Fathullah

Khan, Sayyid Amir Hasan, Maulana Hasanuddin yang pada tahun 1569 menggantikan ayahnya Sunan Gunung Jati,

Sunan Mojoagung yang tahun 1570 menggantikan Sunan Lamongan, Sunan Cendana yang tahun 1570

menggantikan kakeknya Sunan Pakuan, dan Sayyid Shaleh (Panembahan Pekaos) anak Sayyid Amir Hasan yang

tahun 1551 menggantikan kakek dari pihak ibunya yaitu Sunan Muria.

• Angkatan ke-8 (1592- 1650 M), terdiri dari Syaikh Abdul Qadir (Sunan Magelang) yang menggantikan Sunan

Sedayu

(wafat 1599), Baba Daud Ar-Rumi Al-Jawi yang tahun 1650 menggantikan gurunya Sunan Prapen, Sultan Hadiwijaya

(Joko Tingkir) yang tahun 1549 menggantikan Sultan Prawoto, Maulana Yusuf, Sayyid Amir Hasan, Maulana

Hasanuddin, Syekh Syamsuddin Abdullah Al-Sumatrani yang tahun 1650 menggantikan Sunan Mojoagung, Syekh

Abdul Ghafur bin Abbas Al-Manduri yang tahun 1650 menggantikan Sunan Cendana, dan Sayyid Shaleh

(Panembahan Pekaos).

SYEKH JUMADIL QUBRO (TOKOH PENDAHULU WALISONGO)

Syekh Jumadil Qubro adalah Maulana Ahmad Jumadil Kubra bin Husain Jamaluddin bin Ahmad Jalaluddin bin

Abdillah bin Abdul Malik Azmatkhan bin Alwi Ammil Faqih bin Muhammad Shahib Mirbath bin Ali Khali’ Qasam bin

Alwi bin Muhammad bin Alwi bin Ubaidillah bin Ahmad Al-Muhajir bin Isa bin Muhammad bin Ali Al-Uraidhi bin Ja’far
Shadiq bin Muhammad Al-Baqir bin Ali Zainal Abidin bin Al-Husain bin Sayyidah Fathimah Az-Zahra binti Nabi
Muhammad Rasulullah Syekh Jumadil Qubro adalah putra Husain Jamaluddin dari isterinya yang bernama Puteri

Selindung Bulan (Putri Saadong II/ Putri Kelantan Tua). Tokoh ini sering disebutkan dalam berbagai babad dan cerita

rakyat sebagai salah seorang pelopor penyebaran Islam di tanah Jawa.

Makamnya terdapat di beberapa tempat yaitu di Semarang, Trowulan, atau di desa Turgo (dekat Pelawangan),

Yogyakarta. Belum diketahui yang mana yang betul-betul merupakan kuburnya.

TEORI KETURUNAN HADRAMAUT

Walaupun masih ada pendapat yang menyebut Walisongo adalah keturunan Samarkand (Asia Tengah), Champa

atau tempat lainnya, namun tampaknya tempat-tampat tersebut lebih merupakan jalur penyebaran para mubaligh

daripada merupakan asal-muasal mereka yang sebagian besar adalah kaum Sayyid atau Syarif. Beberapa

argumentasi yang diberikan oleh Muhammad Al Baqir, dalam bukunya Thariqah Menuju Kebahagiaan, mendukung

bahwa Walisongo adalah keturunan Hadramaut (Yaman):

# L.W.C van den Berg, Islamolog dan ahli hukum Belanda yang mengadakan riset pada 1884-1886, dalam bukunya

Le Hadhramout et les colonies arabes dans l’archipel Indien (1886)[5] mengatakan:

”Adapun hasil nyata dalam penyiaran agama Islam (ke Indonesia) adalah dari orang-orang Sayyid Syarif. Dengan

perantaraan mereka agama Islam tersiar di antara raja-raja Hindu di Jawa dan lainnya. Selain dari mereka ini,

walaupun ada juga suku-suku lain Hadramaut (yang bukan golongan Sayyid Syarif), tetapi mereka ini tidak

meninggalkan pengaruh sebesar itu. Hal ini disebabkan mereka (kaum Sayyid Syarif) adalah keturunan dari tokoh

pembawa Islam (Nabi Muhammad SAW).”

# Van Den Berg juga menulis dalam buku yang sama (hal 192-204):

”Pada abad ke-15, di Jawa sudah terdapat penduduk bangsa Arab atau keturunannya, yaitu sesudah masa kerajaan

Majapahit yang kuat itu. Orang-orang Arab bercampul-gaul dengan penduduk, dan sebagian mereka mempuyai

jabatan-jabatan tinggi. Mereka terikat dengan pergaulan dan kekeluargaan tingkat atasan. Rupanya pembesar-

pembesar Hindu di kepulauan Hindia telah terpengaruh oleh sifat-sifat keahlian Arab, oleh karena sebagian besar

mereka berketurunan pendiri Islam (Nabi Muhammad SAW). Orang-orang Arab Hadramawt (Hadramaut) membawa

kepada orang-orang Hindu pikiran baru yang diteruskan oleh peranakan-peranakan Arab, mengikuti jejak nenek

moyangnya.”

Pernyataan van den Berg spesifik menyebut abad ke-15, yang merupakan abad spesifik kedatangan atau kelahiran

sebagian besar Walisongo di pulau Jawa. Abad ke-15 ini jauh lebih awal dari abad ke-18 yang merupakan saat

kedatangan gelombang berikutnya, yaitu kaum Hadramaut yang bermarga Assegaf, Al Habsyi, Al Hadad, Alaydrus,

Alatas, Al Jufri, Syihab, Syahab dan banyak marga Hadramaut lainnya.

# Hingga saat ini umat Islam di Hadramaut sebagian besar bermadzhab Syafi’i, sama seperti mayoritas di Srilangka,

pesisir India Barat (Gujarat dan Malabar), Malaysia dan Indonesia. Bandingkan dengan umat Islam di Uzbekistan dan
seluruh Asia Tengah, Pakistan dan India pedalaman (non-pesisir) yang sebagian besar bermadzhab Hanafi.

# Kesamaan dalam pengamalan madzhab Syafi’i bercorak tasawuf dan mengutamakan Ahlul Bait; seperti
mengadakan Maulid, membaca Diba & Barzanji, beragam Shalawat Nabi, doa Nur Nubuwwah dan banyak amalan

lainnya hanya terdapat di Hadramaut, Mesir, Gujarat, Malabar, Srilangka, Sulu & Mindanao, Malaysia dan Indonesia.

Kitab fiqh Syafi’i Fathul Muin yang populer di Indonesia dikarang oleh Zainuddin Al Malabary dari Malabar, isinya

memasukkan pendapat-pendapat baik kaum Fuqaha maupun kaum Sufi. Hal tersebut mengindikasikan kesamaan

sumber yaitu Hadramaut, karena Hadramaut adalah sumber pertama dalam sejarah Islam yang menggabungkan fiqh

Syafi’i dengan pengamalan tasawuf dan pengutamaan Ahlul Bait.

# Di abad ke-15, raja-raja Jawa yang berkerabat dengan Walisongo seperti Raden Patah dan Pati Unus sama-sama

menggunakan gelar Alam Akbar. Gelar tersebut juga merupakan gelar yang sering dikenakan oleh keluarga besar

Jamaluddin Akbar di Gujarat pada abad ke-14, yaitu cucu keluarga besar Azhamat Khan (atau Abdullah Khan) bin

Abdul Malik bin Alwi, seorang anak dari Muhammad Shahib Mirbath ulama besar Hadramaut abad ke-13. Keluarga

besar ini terkenal sebagai mubaligh musafir yang berdakwah jauh hingga pelosok Asia Tenggara, dan mempunyai

putra-putra dan cucu-cucu yang banyak menggunakan nama Akbar, seperti Zainal Akbar, Ibrahim Akbar, Ali Akbar,

Nuralam Akbar dan banyak lainnya.

TEORI KETURUNAN CINA

Sejarawan Slamet Muljana mengundang kontroversi dalam buku Runtuhnya Kerajaan Hindu Jawa (1968), dengan

menyatakan bahwa Walisongo adalah keturunan Tionghoa Indonesia. Pendapat tersebut mengundang reaksi keras

masyarakat yang berpendapat bahwa Walisongo adalah keturunan Arab-Indonesia. Pemerintah Orde Baru sempat

melarang terbitnya buku tersebut.

Referensi-referensi yang menyatakan dugaan bahwa Walisongo berasal dari atau keturunan Tionghoa sampai saat

ini masih merupakan hal yang kontroversial. Referensi yang dimaksud hanya dapat diuji melalui sumber akademik

yang berasal dari Slamet Muljana, yang merujuk kepada tulisan Mangaraja Onggang Parlindungan, yang kemudian

merujuk kepada seseorang yang bernama Resident Poortman. Namun, Resident Poortman hingga sekarang belum

bisa diketahui identitasnya serta kredibilitasnya sebagai sejarawan, misalnya bila dibandingkan dengan Snouck

Hurgronje dan L.W.C. van den Berg. Sejarawan Belanda masa kini yang banyak mengkaji sejarah Islam di Indonesia

yaitu Martin van Bruinessen, bahkan tak pernah sekalipun menyebut nama Poortman dalam buku-bukunya yang

diakui sangat detail dan banyak dijadikan referensi.

Salah satu ulasan atas tulisan H.J. de Graaf, Th.G.Th. Pigeaud, M.C. Ricklefs berjudul Chinese Muslims in Java in

the 15th and 16th Centuries adalah yang ditulis oleh Russell Jones. Di sana, ia meragukan pula tentang keberadaan

seorang Poortman. Bila orang itu ada dan bukan bernama lain, seharusnya dapat dengan mudah dibuktikan

mengingat ceritanya yang cukup lengkap dalam tulisan Parlindungan.

SUMBER TERTULIS TENTANG WALISONGO

1. Terdapat beberapa sumber tertulis masyarakat Jawa tentang Walisongo, antara lain Serat Walisanga karya

Ranggawarsita pada abad ke-19, Kitab Walisongo karya Sunan Dalem (Sunan Giri II) yang merupakan anak dari
Sunan Giri, dan juga diceritakan cukup banyak dalam Babad Tanah Jawi.

2. Mantan Mufti Johor Sayyid `Alwî b. Tâhir b. `Abdallâh al-Haddâd (meninggal tahun 1962) juga meninggalkan

tulisan yang berjudul Sejarah perkembangan Islam di Timur Jauh (Jakarta: Al-Maktab ad-Daimi, 1957). Ia menukil

keterangan diantaranya dari Haji `Ali bin Khairuddin, dalam karyanya Ketrangan kedatangan bungsu (sic!) Arab ke

tanah Jawi sangking Hadramaut.

3. Dalam penulisan sejarah para keturunan Bani Alawi seperti al-Jawahir al-Saniyyah oleh Sayyid Ali bin Abu Bakar

Sakran, ‘Umdat al-Talib oleh al-Dawudi, dan Syams al-Zahirah oleh Sayyid Abdul Rahman Al-Masyhur; juga terdapat

pembahasan mengenai leluhur Sunan Gunung Jati, Sunan Ampel, Sunan Giri, Sunan Kudus, Sunan Bonang dan

Sunan Gresik.

Sunan Gresik (Maulana Malik Ibrahim)

Maulana Malik Ibrahim adalah keturunan ke-22 dari Nabi Muhammad. Ia disebut juga Sunan Gresik, atau Sunan

Tandhes, atau Mursyid Akbar Thariqat Wali Songo . Nasab As-Sayyid Maulana Malik Ibrahim Nasab Maulana Malik

Ibrahim menurut catatan Dari As-Sayyid Bahruddin Ba’alawi Al-Husaini yang kumpulan catatannya kemudian

dibukukan dalam Ensiklopedi Nasab Ahlul Bait yang terdiri dari beberapa volume (jilid). Dalam Catatan itu tertulis:

As-Sayyid Maulana Malik Ibrahim bin As-Sayyid Barakat Zainal Alam bin As-Sayyid Husain Jamaluddin bin As-

Sayyid Ahmad Jalaluddin bin As-Sayyid Abdullah bin As-Sayyid Abdul Malik Azmatkhan bin As-Sayyid Alwi Ammil

Faqih bin As-Sayyid Muhammad Shahib Mirbath bin As-Sayyid Ali Khali’ Qasam bin As-Sayyid Alwi bin As-Sayyid

Muhammad bin As-Sayyid Alwi bin As-Sayyid Ubaidillah bin Al-Imam Ahmad Al-Muhajir bin Al-Imam Isa bin Al-Imam

Muhammad bin Al-Imam Ali Al-Uraidhi bin Al-Imam Ja’far Shadiq bin Al-Imam Muhammad Al-Baqir bin Al-Imam Ali

Zainal Abidin bin Al-Imam Al-Husain bin Sayyidah Fathimah Az-Zahra/Ali bin Abi Thalib, binti Nabi Muhammad

Rasulullah

Ia diperkirakan lahir di Samarkand di Asia Tengah, pada paruh awal abad ke-14. Babad Tanah Jawi versi Meinsma

menyebutnya Asmarakandi, mengikuti pengucapan lidah orang Jawa terhadap As-Samarqandy.[2] Dalam cerita

rakyat, ada yang memanggilnya Kakek Bantal.

Isteri Maulana Malik Ibrahim

Maulana Malik Ibrahim memiliki, 3 isteri bernama: 1. Siti Fathimah binti Ali Nurul Alam Maulana Israil (Raja Champa

Dinasti Azmatkhan 1), memiliki 2 anak, bernama: Maulana Moqfaroh dan Syarifah Sarah 2. Siti Maryam binti Syaikh

Subakir, memiliki 4 anak, yaitu: Abdullah, Ibrahim, Abdul Ghafur, dan Ahmad 3. Wan Jamilah binti Ibrahim Zainuddin

Al-Akbar Asmaraqandi, memiliki 2 anak yaitu: Abbas dan Yusuf. Selanjutnya Sharifah Sarah binti Maulana Malik

Ibrahim dinikahkan dengan Sayyid Fadhal Ali Murtadha [Sunan Santri/ Raden Santri] dan melahirkan dua putera

yaitu Haji Utsman (Sunan Manyuran) dan Utsman Haji (Sunan Ngudung). Selanjutnya Sayyid Utsman Haji (Sunan

Ngudung) berputera Sayyid Ja’far Shadiq [Sunan Kudus].

Maulana Malik Ibrahim umumnya dianggap sebagai wali pertama yang mendakwahkan Islam di Jawa. Ia
mengajarkan cara-cara baru bercocok tanam dan banyak merangkul rakyat kebanyakan, yaitu golongan masyarakat

Jawa yang tersisihkan akhir kekuasaan Majapahit. Malik Ibrahim berusaha menarik hati masyarakat, yang tengah
dilanda krisis ekonomi dan perang saudara. Ia membangun pondokan tempat belajar agama di Leran, Gresik. Pada

tahun 1419, Malik Ibrahim wafat. Makamnya terdapat di desa Gapura Wetan, Gresik, Jawa Timur.

Sunan Ampel (Raden Rahmat)

Sunan Ampel bernama asli Raden Rahmat, keturunan ke-22 dari Nabi Muhammad, menurut riwayat ia adalah putra

Ibrahim Zainuddin Al-Akbar dan seorang putri Champa yang bernama Dewi Condro Wulan binti Raja Champa

Terakhir Dari Dinasti Ming. Nasab lengkapnya sebagai berikut: Sunan Ampel bin Sayyid Ibrahim Zainuddin Al-Akbar

bin Sayyid Jamaluddin Al-Husain bin Sayyid Ahmad Jalaluddin bin Sayyid Abdullah bin Sayyid Abdul Malik

Azmatkhan bin Sayyid Alwi Ammil Faqih bin Sayyid Muhammad Shahib Mirbath bin Sayyid Ali Khali’ Qasam bin

Sayyid Alwi bin Sayyid Muhammad bin Sayyid Alwi bin Sayyid Ubaidillah bin Sayyid Ahmad Al-Muhajir bin Sayyid Isa

bin Sayyid Muhammad bin Sayyid Ali Al-Uraidhi bin Imam Ja’far Shadiq bin Imam Muhammad Al-Baqir bin Imam Ali

Zainal Abidin bin Imam Al-Husain bin Sayyidah Fathimah Az-Zahra binti Nabi Muhammad Rasulullah. Sunan Ampel

umumnya dianggap sebagai sesepuh oleh para wali lainnya. Pesantrennya bertempat di Ampel Denta, Surabaya,

dan merupakan salah satu pusat penyebaran agama Islam tertua di Jawa. Ia menikah dengan Dewi Condrowati yang

bergelar Nyai Ageng Manila, putri adipati Tuban bernama Arya Teja dan menikah juga dengan Dewi Karimah binti Ki

Kembang Kuning. Pernikahan Sunan Ampel dengan Dewi Condrowati alias Nyai Ageng Manila binti Aryo Tejo,

berputera: Sunan Bonang,Siti Syari’ah,Sunan Derajat,Sunan Sedayu,Siti Muthmainnah dan Siti Hafsah. Pernikahan

Sunan Ampel dengan Dewi Karimah binti Ki Kembang Kuning, berputera: Dewi Murtasiyah,Asyiqah,Raden

Husamuddin (Sunan Lamongan,Raden Zainal Abidin (Sunan Demak),Pangeran Tumapel dan Raden Faqih (Sunan

Ampel 2. Makam Sunan Ampel teletak di dekat Masjid Ampel, Surabaya.

Sunan Bonang (Makhdum Ibrahim)

Bonang, sederetan gong kecil diletakkan horisontal.

Sunan Bonang adalah putra Sunan Ampel, dan merupakan keturunan ke-23 dari Nabi Muhammad. Ia adalah putra

Sunan Ampel dengan Nyai Ageng Manila, putri adipati Tuban bernama Arya Teja. Sunan Bonang banyak berdakwah

melalui kesenian untuk menarik penduduk Jawa agar memeluk agama Islam. Ia dikatakan sebagai penggubah suluk

Wijil dan tembang Tombo Ati, yang masih sering dinyanyikan orang. Pembaharuannya pada gamelan Jawa ialah

dengan memasukkan rebab danbonang, yang sering dihubungkan dengan namanya. Universitas Leiden menyimpan

sebuah karya sastra bahasa Jawa bernama Het Boek van Bonang atau Buku Bonang. Menurut G.W.J. Drewes, itu

bukan karya Sunan Bonang namun mungkin saja mengandung ajarannya. Sunan Bonang diperkirakan wafat pada

tahun 1525.

Sunan Drajat

Sunan Drajat adalah putra Sunan Ampel, dan merupakan keturunan ke-23 dari Nabi Muhammad. Ia adalah putra

Sunan Ampel dengan Nyai Ageng Manila, putri adipati Tuban bernama Arya Teja. Sunan Drajat banyak berdakwah
kepada masyarakat kebanyakan. Ia menekankan kedermawanan, kerja keras, dan peningkatan kemakmuran

masyarakat, sebagai pengamalan dari agama Islam. Pesantren Sunan Drajat dijalankan secara mandiri sebagai
wilayah perdikan, bertempat di Desa Drajat, Kecamatan Paciran, Lamongan. Tembang macapat Pangkurdisebutkan

sebagai ciptaannya. Gamelan Singomengkok peninggalannya terdapat di Musium Daerah Sunan Drajat, Lamongan.

Sunan Drajat diperkirakan wafat wafat pada 1522.

Sunan Kudus

Sunan Kudus adalah putra Sunan Ngudung atau Raden Usman Haji, dengan Syarifah Ruhil atau Dewi Ruhil yang

bergelar Nyai Anom Manyuran binti Nyai Ageng Melaka binti Sunan Ampel. Sunan Kudus adalah keturunan ke-24

dari Nabi Muhammad. Sunan Kudus bin Sunan Ngudung bin Fadhal Ali Murtadha bin Ibrahim Zainuddin Al-Akbar bin

Jamaluddin Al-Husain bin Ahmad Jalaluddin bin Abdillah bin Abdul Malik Azmatkhan bin Alwi Ammil Faqih bin

Muhammad Shahib Mirbath bin Ali Khali’ Qasam bin Alwi bin Muhammad bin Alwi bin Ubaidillah bin Ahmad Al-

Muhajir bin Isa bin Muhammad bin Ali Al-Uraidhi bin Ja’far Shadiq bin Muhammad Al-Baqir bin Ali Zainal Abidin bin

Al-Husain bin Sayyidah Fathimah Az-Zahra binti Nabi Muhammad Rasulullah. Sebagai seorang wali, Sunan Kudus

memiliki peran yang besar dalam pemerintahan Kesultanan Demak, yaitu sebagai panglima perang, penasehat

Sultan Demak, Mursyid Thariqah dan hakim peradilan negara. Ia banyak berdakwah di kalangan kaum penguasa

dan priyayi Jawa. Di antara yang pernah menjadi muridnya, ialah Sunan Prawoto penguasa Demak, dan Arya

Penangsang adipati Jipang Panolan. Salah satu peninggalannya yang terkenal ialah Mesjid Menara Kudus, yang

arsitekturnya bergaya campuran Hindu dan Islam. Sunan Kudus diperkirakan wafat pada tahun 1550.

Sunan Giri

Sunan Giri adalah putra Maulana Ishaq. Sunan Giri adalah keturunan ke-23 dari Nabi Muhammad, merupakan murid

dari Sunan Ampel dan saudara seperguruan dari Sunan Bonang. Ia mendirikan pemerintahan mandiri di Giri

Kedaton, Gresik; yang selanjutnya berperan sebagai pusat dakwah Islam di wilayah Jawa dan Indonesia timur,

bahkan sampai ke kepulauan Maluku. Salah satu keturunannya yang terkenal ialah Sunan Giri Prapen, yang

menyebarkan agama Islam ke wilayah Lombok dan Bima.

Sunan Kalijaga

Sunan Kalijaga adalah putra adipati Tuban yang bernama Tumenggung Wilatikta atau Raden Sahur atau Sayyid

Ahmad bin Mansur (Syekh Subakir). Ia adalah murid Sunan Bonang. Sunan Kalijaga menggunakan kesenian dan

kebudayaan sebagai sarana untuk berdakwah, antara lain kesenian wayang kulit dan tembang suluk. Tembang suluk

Ilir-Ilir dan Gundul-Gundul Pacul umumnya dianggap sebagai hasil karyanya. Dalam satu riwayat, Sunan Kalijaga

disebutkan menikah dengan Dewi Saroh binti Maulana Ishaq, menikahi juga Syarifah Zainab binti Syekh Siti Jenar

dan Ratu Kano Kediri binti Raja Kediri.

Sunan Muria (Raden Umar Said)

Sunan Muria atau Raden Umar Said adalah putra Sunan Kalijaga. Ia adalah putra dari Sunan Kalijaga dari isterinya
yang bernama Dewi Sarah binti Maulana Ishaq. Sunan Muria menikah dengan Dewi Sujinah, putri Sunan Ngudung.

Jadi Sunan Muria adalah adik ipar dari Sunan Kudus.


Sunan Gunung Jati (Syarif Hidayatullah)

Gapura Makam Sunan Gunung Jati diCirebon, Jawa Barat

Sunan Gunung Jati atau Syarif Hidayatullah adalah putra Syarif Abdullah Umdatuddin putra Ali Nurul Alam putra

Syekh Husain Jamaluddin Akbar. Dari pihak ibu, ia masih keturunan keraton Pajajaran melalui Nyai Rara Santang,

yaitu anak dari Sri Baduga Maharaja. Sunan Gunung Jati mengembangkan Cirebon sebagai pusat dakwah dan

pemerintahannya, yang sesudahnya kemudian menjadi Kesultanan Cirebon. Anaknya yang bernama Maulana

Hasanuddin, juga berhasil mengembangkan kekuasaan dan menyebarkan agama Islam di Banten, sehingga

kemudian menjadi cikal-bakal berdirinya Kesultanan Banten.

Sejarah Sembilan Wali / Walisongo Lengkap Dengan


Gambar Foto Close Up
Mereka adalah Maulana Malik Ibrahim, Sunan Ampel, Sunan Giri, Sunan Bonang, Sunan Dradjad,
Sunan Kalijaga, Sunan Kudus, Sunan Muria, serta Sunan Gunung Jati. Mereka tidak hidup pada
saat yang persis bersamaan. Namun satu sama lain mempunyai keterkaitan erat, bila tidak dalam
ikatan darah juga dalam hubungan guru-murid.

Maulana Malik Ibrahim yang tertua. Sunan Ampel anak Maulana Malik Ibrahim. Sunan Giri adalah
keponakan Maulana Malik Ibrahim yang berarti juga sepupu Sunan Ampel. Sunan Bonang dan
Sunan Drajad adalah anak Sunan Ampel. Sunan Kalijaga merupakan sahabat sekaligus murid
Sunan Bonang. Sunan Muria anak Sunan Kalijaga. Sunan Kudus murid Sunan Kalijaga. Sunan
Gunung Jati adalah sahabat para Sunan lain, kecuali Maulana Malik Ibrahim yang lebih dahulu
meninggal.

Mereka tinggal di pantai utara Jawa dari awal abad 15 hingga pertengahan abad 16, di tiga wilayah
penting. Yakni Surabaya-Gresik-Lamongan di Jawa Timur, Demak-Kudus-Muria di Jawa Tengah,
serta Cirebon di Jawa Barat. Mereka adalah para intelektual yang menjadi pembaharu masyarakat
pada masanya. Mereka mengenalkan berbagai bentuk peradaban baru: mulai dari kesehatan,
bercocok tanam, niaga, kebudayaan dan kesenian, kemasyarakatan hingga pemerintahan.

Pesantren Ampel Denta dan Giri adalah dua institusi pendidikan paling penting di masa itu. Dari Giri,
peradaban Islam berkembang ke seluruh wilayah timur Nusantara. Sunan Giri dan Sunan Gunung
Jati bukan hanya ulama, namun juga pemimpin pemerintahan. Sunan Giri, Bonang, Kalijaga, dan
Kudus adalah kreator karya seni yang pengaruhnya masih terasa hingga sekarang. Sedangkan
Sunan Muria adalah pendamping sejati kaum jelata.

Era Walisongo adalah era berakhirnya dominasi Hindu-Budha dalam budaya Nusantara untuk
digantikan dengan kebudayaan Islam. Mereka adalah simbol penyebaran Islam di Indonesia.
Khususnya di Jawa. Tentu banyak tokoh lain yang juga berperan. Namun peranan mereka yang
sangat besar dalam mendirikan Kerajaan Islam di Jawa, juga pengaruhnya terhadap kebudayaan
masyarakat secara luas serta dakwah secara langsung, membuat “sembilan wali” ini lebih banyak
disebut dibanding yang lain. Masing-masing tokoh tersebut mempunyai peran yang unik dalam
penyebaran Islam. Mulai dari Maulana Malik Ibrahim yang menempatkan diri sebagai “tabib” bagi
Kerajaan Hindu Majapahit; Sunan Giri yang disebut para kolonialis sebagai “paus dari Timur” hingga
Sunan Kalijaga yang mencipta karya kesenian dengan menggunakan nuansa yang dapat dipahami
masyarakat Jawa -yakni nuansa Hindu dan Budha.

Maulana Malik Ibrahim (1)

Maulana Malik Ibrahim, atau Makdum Ibrahim As-Samarkandy


diperkirakan lahir di Samarkand, Asia Tengah, pada paruh awal abad 14. Babad Tanah Jawi versi
Meinsma menyebutnya Asmarakandi, mengikuti pengucapan lidah Jawa terhadap As-Samarkandy,
berubah menjadi Asmarakandi Maulana Malik Ibrahim kadang juga disebut sebagai Syekh Magribi.
Sebagian rakyat malah menyebutnya Kakek Bantal. Ia bersaudara dengan Maulana Ishak, ulama
terkenal di Samudra Pasai, sekaligus ayah dari Sunan Giri (Raden Paku). Ibrahim dan Ishak adalah
anak dari seorang ulama Persia, bernama Maulana Jumadil Kubro, yang menetap di Samarkand.
Maulana Jumadil Kubro diyakini sebagai keturunan ke-10 dari Syayidina Husein, cucu Nabi
Muhammad saw. Maulana Malik Ibrahim pernah bermukim di Campa, sekarang Kamboja, selama
tiga belas tahun sejak tahun 1379. Ia malah menikahi putri raja, yang memberinya dua putra.
Mereka adalah Raden Rahmat (dikenal dengan Sunan Ampel) dan Sayid Ali Murtadha alias Raden
Santri. Merasa cukup menjalankan misi dakwah di negeri itu, tahun 1392 M Maulana Malik Ibrahim
hijrah ke Pulau Jawa meninggalkan keluarganya. Beberapa versi menyatakan bahwa
kedatangannya disertai beberapa orang. Daerah yang ditujunya pertama kali yakni desa Sembalo,
daerah yang masih berada dalam wilayah kekuasaan Majapahit. Desa Sembalo sekarang, adalah
daerah Leran kecamatan Manyar, 9 kilometer utara kota Gresik. Aktivitas pertama yang
dilakukannya ketika itu adalah berdagang dengan cara membuka warung. Warung itu menyediakan
kebutuhan pokok dengan harga murah. Selain itu secara khusus Malik Ibrahim juga menyediakan
diri untuk mengobati masyarakat secara gratis. Sebagai tabib, kabarnya, ia pernah diundang untuk
mengobati istri raja yang berasal dari Campa. Besar kemungkinan permaisuri tersebut masih
kerabat istrinya. Kakek Bantal juga mengajarkan cara-cara baru bercocok tanam. Ia merangkul
masyarakat bawah -kasta yang disisihkan dalam Hindu. Maka sempurnalah misi pertamanya, yaitu
mencari tempat di hati masyarakat sekitar yang ketika itu tengah dilanda krisis ekonomi dan perang
saudara. Selesai membangun dan menata pondokan tempat belajar agama di Leran, tahun 1419 M
Maulana Malik Ibrahim wafat. Makamnya kini terdapat di kampung Gapura, Gresik, Jawa Timur.

Sunan Ampel (2)

Ia putera tertua Maulana Malik Ibrahim. Menurut Babad Tanah Jawi dan
Silsilah Sunan Kudus, di masa kecilnya ia dikenal dengan nama Raden Rahmat. Ia lahir di Campa
pada 1401 Masehi. Nama Ampel sendiri, diidentikkan dengan nama tempat dimana ia lama
bermukim. Di daerah Ampel atau Ampel Denta, wilayah yang kini menjadi bagian dari Surabaya
(kota Wonokromo sekarang) Beberapa versi menyatakan bahwa Sunan Ampel masuk ke pulau
Jawa pada tahun 1443 M bersama Sayid Ali Murtadho, sang adik. Tahun 1440, sebelum ke Jawa,
mereka singgah dulu di Palembang. Setelah tiga tahun di Palembang, kemudian ia melabuh ke
daerah Gresik. Dilanjutkan pergi ke Majapahit menemui bibinya, seorang putri dari Campa, bernama
Dwarawati, yang dipersunting salah seorang raja Majapahit beragama Hindu bergelar Prabu Sri
Kertawijaya. Sunan Ampel menikah dengan putri seorang adipati di Tuban. Dari perkawinannya itu
ia dikaruniai beberapa putera dan puteri. Diantaranya yang menjadi penerusnya adalah Sunan
Bonang dan Sunan Drajat. Ketika Kesultanan Demak (25 kilometer arah selatan kota Kudus)
hendak didirikan, Sunan Ampel turut membidani lahirnya kerajaan Islam pertama di Jawa itu. Ia pula
yang menunjuk muridnya Raden Patah, putra dari Prabu Brawijaya V raja Majapahit, untuk menjadi
Sultan Demak tahun 1475 M. Di Ampel Denta yang berawa-rawa, daerah yang dihadiahkan Raja
Majapahit, ia membangun mengembangkan pondok pesantren. Mula-mula ia merangkul masyarakat
sekitarnya. Pada pertengahan Abad 15, pesantren tersebut menjadi sentra pendidikan yang sangat
berpengaruh di wilayah Nusantara bahkan mancanegara. Di antara para santrinya adalah Sunan
Giri dan Raden Patah. Para santri tersebut kemudian disebarnya untuk berdakwah ke berbagai
pelosok Jawa dan Madura. Sunan Ampel menganut fikih mahzab Hanafi. Namun, pada para
santrinya, ia hanya memberikan pengajaran sederhana yang menekankan pada penanaman akidah
dan ibadah. Dia-lah yang mengenalkan istilah “Mo Limo” (moh main, moh ngombe, moh maling,
moh madat, moh madon). Yakni seruan untuk “tidak berjudi, tidak minum minuman keras, tidak
mencuri, tidak menggunakan narkotik, dan tidak berzina.” Sunan Ampel diperkirakan wafat pada
tahun 1481 M di Demak dan dimakamkan di sebelah barat Masjid Ampel, Surabaya.

Sunan Giri (3)


Ia memiliki nama kecil Raden Paku, alias Muhammad Ainul Yakin. Sunan
Giri lahir di Blambangan (kini Banyuwangi) pada 1442 M. Ada juga yang menyebutnya Jaka
Samudra. Sebuah nama yang dikaitkan dengan masa kecilnya yang pernah dibuang oleh keluarga
ibunya–seorang putri raja Blambangan bernama Dewi Sekardadu ke laut. Raden Paku kemudian
dipungut anak oleh Nyai Semboja (Babad Tanah Jawi versi Meinsma). Ayahnya adalah Maulana
Ishak. saudara sekandung Maulana Malik Ibrahim. Maulana Ishak berhasil meng-Islamkan isterinya,
tapi gagal mengislamkan sang mertua. Oleh karena itulah ia meninggalkan keluarga isterinya
berkelana hingga ke Samudra Pasai. Sunan Giri kecil menuntut ilmu di pesantren misannya, Sunan
Ampel, tempat dimana Raden Patah juga belajar. Ia sempat berkelana ke Malaka dan Pasai.
Setelah merasa cukup ilmu, ia membuka pesantren di daerah perbukitan Desa Sidomukti, Selatan G

]\awa, bukit adalah “giri”. Maka ia dijuluki Sunan Giri. Pesantrennya tak hanya dipergunakan sebagai
tempat pendidikan dalam arti sempit, namun juga sebagai pusat pengembangan masyarakat. Raja
Majapahit -konon karena khawatir Sunan Giri mencetuskan pemberontakan- memberi keleluasaan
padanya untuk mengatur pemerintahan. Maka pesantren itupun berkembang menjadi salah satu
pusat kekuasaan yang disebut Giri Kedaton. Sebagai pemimpin pemerintahan, Sunan Giri juga
disebut sebagai Prabu Satmata. Giri Kedaton tumbuh menjadi pusat politik yang penting di Jawa,
waktu itu. Ketika Raden Patah melepaskan diri dari Majapahit, Sunan Giri malah bertindak sebagai
penasihat dan panglima militer Kesultanan Demak. Hal tersebut tercatat dalam Babad Demak.
Selanjutnya, Demak tak lepas dari pengaruh Sunan Giri. Ia diakui juga sebagai mufti, pemimpin
tertinggi keagamaan, se-Tanah Jawa. Giri Kedaton bertahan hingga 200 tahun. Salah seorang
penerusnya, Pangeran Singosari, dikenal sebagai tokoh paling gigih menentang kolusi VOC dan
Amangkurat II pada Abad 18. Para santri pesantren Giri juga dikenal sebagai penyebar Islam yang
gigih ke berbagai pulau, seperti Bawean, Kangean, Madura, Haruku, Ternate, hingga Nusa
Tenggara. Penyebar Islam ke Sulawesi Selatan, Datuk Ribandang dan dua sahabatnya, adalah
murid Sunan Giri yang berasal dari Minangkabau. Dalam keagamaan, ia dikenal karena
pengetahuannya yang luas dalam ilmu fikih. Orang-orang pun menyebutnya sebagai Sultan Abdul
Fakih. Ia juga pecipta karya seni yang luar biasa. Permainan anak seperti Jelungan, Jamuran, lir-ilir
dan cublak suweng disebut sebagai kreasi Sunan Giri. Demikian pula Gending Asmaradana dan
Pucung -lagi bernuansa Jawa namun syarat dengan ajaran Islam.

Sunan Bonang (4)


Ia anak Sunan Ampel, yang berarti juga cucu Maulana Malik Ibrahim.
Nama kecilnya adalah Raden Makdum Ibrahim. Lahir diperkirakan 1465 M dari seorang perempuan
bernama Nyi Ageng Manila, puteri seorang adipati di Tuban Sunan Kudus banyak berguru pada
Sunan Kalijaga. Kemudian ia berkelana ke berbagai daerah tandus di Jawa Tengah seperti Sragen,
Simo hingga Gunung Kidul. Cara berdakwahnya pun meniru pendekatan Sunan Kalijaga: sangat
toleran pada budaya setempat. Cara penyampaiannya bahkan lebih halus. Itu sebabnya para wali –
yang kesulitan mencari pendakwah ke Kudus yang mayoritas masyarakatnya pemeluk teguh-
menunjuknya. Cara Sunan Kudus mendekati masyarakat Kudus adalah dengan memanfaatkan
simbol-simbol Hindu dan Budha. Hal itu terlihat dari arsitektur masjid Kudus. Bentuk menara,
gerbang dan pancuran/padasan wudhu yang melambangkan delapan jalan Budha. Sebuah wujud
kompromi yang dilakukan Sunan Kudus. Suatu waktu, ia memancing masyarakat untuk pergi ke
masjid mendengarkan tabligh-nya. Untuk itu, ia sengaja menambatkan sapinya yang diberi nama
Kebo Gumarang di halaman masjid. Orang-orang Hindu yang mengagungkan sapi, menjadi simpati.
Apalagi setelah mereka mendengar penjelasan Sunan Kudus tentang surat Al Baqarah yang berarti
“sapi betina”. Sampai sekarang, sebagian masyarakat tradisional Kudus, masih menolak untuk
menyembelih sapi. Sunan Kudus juga menggubah cerita-cerita ketauhidan. Kisah tersebut
disusunnya secara berseri, sehingga masyarakat tertarik untuk mengikuti kelanjutannya. Sebuah
pendekatan yang tampaknya mengadopsi cerita 1001 malam dari masa kekhalifahan Abbasiyah.
Dengan begitulah Sunan Kudus mengikat masyarakatnya. Bukan hanya berdakwah seperti itu yang
dilakukan Sunan Kudus. Sebagaimana ayahnya, ia juga pernah menjadi Panglima Perang
Kesultanan Demak. Ia ikut bertempur saat Demak, di bawah kepemimpinan Sultan Prawata,
bertempur melawan Adipati Jipang, Arya Penangsang.

Sunan Kalijaga (5)


Dialah “wali” yang namanya paling banyak disebut masyarakat Jawa. Ia
lahir sekitar tahun 1450 Masehi. Ayahnya adalah Arya Wilatikta, Adipati Tuban -keturunan dari tokoh
pemberontak Majapahit, Ronggolawe. Masa itu, Arya Wilatikta diperkirakan telah menganut Islam
Nama kecil Sunan Kalijaga adalah Raden Said. Ia juga memiliki sejumlah nama panggilan seperti
Lokajaya, Syekh Malaya, Pangeran Tuban atau Raden Abdurrahman.Terdapat beragam versi
menyangkut asal-usul nama Kalijaga yang disandangnya. Masyarakat Cirebon berpendapat bahwa
nama itu berasal dari dusun Kalijaga di Cirebon. Sunan Kalijaga memang pernah tinggal di Cirebon
dan bersahabat erat dengan Sunan Gunung Jati. Kalangan Jawa mengaitkannya dengan kesukaan
wali ini untuk berendam (‘kungkum’) di sungai (kali) atau “jaga kali”. Namun ada yang menyebut
istilah itu berasal dari bahasa Arab “qadli dzaqa” yang menunjuk statusnya sebagai “penghulu suci”
kesultanan. Masa hidup Sunan Kalijaga diperkirakan mencapai lebih dari 100 tahun. Dengan
demikian ia mengalami masa akhir kekuasaan Majapahit (berakhir 1478), Kesultanan Demak,
Kesultanan Cirebon dan Banten, bahkan juga Kerajaan Pajang yang lahir pada 1546 serta awal
kehadiran Kerajaan Mataram dibawah pimpinan Panembahan Senopati. Ia ikut pula merancang
pembangunan Masjid Agung Cirebon dan Masjid Agung Demak. Tiang “tatal” (pecahan kayu) yang
merupakan salah satu dari tiang utama masjid adalah kreasi Sunan Kalijaga. Dalam dakwah, ia
punya pola yang sama dengan mentor sekaligus sahabat dekatnya, Sunan Bonang. Paham
keagamaannya cenderung “sufistik berbasis salaf” -bukan sufi panteistik (pemujaan semata). Ia juga
memilih kesenian dan kebudayaan sebagai sarana untuk berdakwah. Ia sangat toleran pada budaya
lokal. Ia berpendapat bahwa masyarakat akan menjauh jika diserang pendiriannya. Maka mereka
harus didekati secara bertahap: mengikuti sambil mempengaruhi. Sunan Kalijaga berkeyakinan jika
Islam sudah dipahami, dengan sendirinya kebiasaan lama hilang. Maka ajaran Sunan Kalijaga
terkesan sinkretis dalam mengenalkan Islam. Ia menggunakan seni ukir, wayang, gamelan, serta
seni suara suluk sebagai sarana dakwah. Dialah pencipta Baju takwa, perayaan sekatenan, grebeg
maulud, Layang Kalimasada, lakon wayang Petruk Jadi Raja. Lanskap pusat kota berupa Kraton,
alun-alun dengan dua beringin serta masjid diyakini sebagai karya Sunan Kalijaga. Metode dakwah
tersebut sangat efektif. Sebagian besar adipati di Jawa memeluk Islam melalui Sunan Kalijaga. Di
antaranya adalah Adipati Padanaran, Kartasura, Kebumen, Banyumas, serta Pajang (sekarang
Kotagede – Yogya). Sunan Kalijaga dimakamkan di Kadilangu -selatan Demak.

Sunan Gunung Jati (6)


Banyak kisah tak masuk akal yang dikaitkan dengan Sunan Gunung Jati.
Diantaranya adalah bahwa ia pernah mengalami perjalanan spiritual seperti Isra’ Mi’raj, lalu bertemu
Rasulullah SAW, bertemu Nabi Khidir, dan menerima wasiat Nabi Sulaeman. (Babad Cirebon
Naskah Klayan hal.xxii). Semua itu hanya mengisyaratkan kekaguman masyarakat masa itu pada
Sunan Gunung Jati. Sunan Gunung Jati atau Syarif Hidayatullah diperkirakan lahir sekitar tahun
1448 M. Ibunya adalah Nyai Rara Santang, putri dari raja Pajajaran Raden Manah Rarasa.
Sedangkan ayahnya adalah Sultan Syarif Abdullah Maulana Huda, pembesar Mesir keturunan Bani
Hasyim dari Palestina. Syarif Hidayatullah mendalami ilmu agama sejak berusia 14 tahun dari para
ulama Mesir. Ia sempat berkelana ke berbagai negara. Menyusul berdirinya Kesultanan Bintoro
Demak, dan atas restu kalangan ulama lain, ia mendirikan Kasultanan Cirebon yang juga dikenal
sebagai Kasultanan Pakungwati. Dengan demikian, Sunan Gunung Jati adalah satu-satunya “wali
songo” yang memimpin pemerintahan. Sunan Gunung Jati memanfaatkan pengaruhnya sebagai
putra Raja Pajajaran untuk menyebarkan Islam dari pesisir Cirebon ke pedalaman Pasundan atau
Priangan. Dalam berdakwah, ia menganut kecenderungan Timur Tengah yang lugas. Namun ia juga
mendekati rakyat dengan membangun infrastruktur berupa jalan-jalan yang menghubungkan antar
wilayah. Bersama putranya, Maulana Hasanuddin, Sunan Gunung Jati juga melakukan ekspedisi ke
Banten. Penguasa setempat, Pucuk Umum, menyerahkan sukarela penguasaan wilayah Banten
tersebut yang kemudian menjadi cikal bakal Kesultanan Banten. Pada usia 89 tahun, Sunan
Gunung Jati mundur dari jabatannya untuk hanya menekuni dakwah. Kekuasaan itu diserahkannya
kepada Pangeran Pasarean. Pada tahun 1568 M, Sunan Gunung Jati wafat dalam usia 120 tahun,
di Cirebon (dulu Carbon). Ia dimakamkan di daerah Gunung Sembung, Gunung Jati, sekitar 15
kilometer sebelum kota Cirebon dari arah barat.

Sunan Drajat (7)


Nama kecilnya Raden Qosim. Ia anak Sunan Ampel. Dengan demikian ia
bersaudara dengan Sunan Bonang. Diperkirakan Sunan Drajat yang bergelar Raden Syaifuddin ini
lahir pada tahun 1470 M Sunan Drajat mendapat tugas pertama kali dari ayahnya untuk berdakwah
ke pesisir Gresik, melalui laut. Ia kemudian terdampar di Dusun Jelog –pesisir Banjarwati atau
Lamongan sekarang. Tapi setahun berikutnya Sunan Drajat berpindah 1 kilometer ke selatan dan
mendirikan padepokan santri Dalem Duwur, yang kini bernama Desa Drajat, Paciran-Lamongan.
Dalam pengajaran tauhid dan akidah, Sunan Drajat mengambil cara ayahnya: langsung dan tidak
banyak mendekati budaya lokal. Meskipun demikian, cara penyampaiannya mengadaptasi cara
berkesenian yang dilakukan Sunan Muria. Terutama seni suluk. Maka ia menggubah sejumlah
suluk, di antaranya adalah suluk petuah “berilah tongkat pada si buta/beri makan pada yang
lapar/beri pakaian pada yang telanjang’. Sunan Drajat juga dikenal sebagai seorang bersahaja yang
suka menolong. Di pondok pesantrennya, ia banyak memelihara anak-anak yatim-piatu dan fakir
miskin.

Sunan Kudus (8)

Nama kecilnya Jaffar Shadiq. Ia putra pasangan Sunan Ngudung dan


Syarifah (adik Sunan Bonang), anak Nyi Ageng Maloka. Disebutkan bahwa Sunan Ngudung adalah
salah seorang putra Sultan di Mesir yang berkelana hingga di Jawa. Di Kesultanan Demak, ia pun
diangkat menjadi Panglima Perang Sunan Kudus banyak berguru pada Sunan Kalijaga. Kemudian
ia berkelana ke berbagai daerah tandus di Jawa Tengah seperti Sragen, Simo hingga Gunung Kidul.
Cara berdakwahnya pun meniru pendekatan Sunan Kalijaga: sangat toleran pada budaya setempat.
Cara penyampaiannya bahkan lebih halus. Itu sebabnya para wali –yang kesulitan mencari
pendakwah ke Kudus yang mayoritas masyarakatnya pemeluk teguh-menunjuknya. Cara Sunan
Kudus mendekati masyarakat Kudus adalah dengan memanfaatkan simbol-simbol Hindu dan
Budha. Hal itu terlihat dari arsitektur masjid Kudus. Bentuk menara, gerbang dan pancuran/padasan
wudhu yang melambangkan delapan jalan Budha. Sebuah wujud kompromi yang dilakukan Sunan
Kudus. Suatu waktu, ia memancing masyarakat untuk pergi ke masjid mendengarkan tabligh-nya.
Untuk itu, ia sengaja menambatkan sapinya yang diberi nama Kebo Gumarang di halaman masjid.
Orang-orang Hindu yang mengagungkan sapi, menjadi simpati. Apalagi setelah mereka mendengar
penjelasan Sunan Kudus tentang surat Al Baqarah yang berarti “sapi betina”. Sampai sekarang,
sebagian masyarakat tradisional Kudus, masih menolak untuk menyembelih sapi. Sunan Kudus juga
menggubah cerita-cerita ketauhidan. Kisah tersebut disusunnya secara berseri, sehingga
masyarakat tertarik untuk mengikuti kelanjutannya. Sebuah pendekatan yang tampaknya
mengadopsi cerita 1001 malam dari masa kekhalifahan Abbasiyah. Dengan begitulah Sunan Kudus
mengikat masyarakatnya. Bukan hanya berdakwah seperti itu yang dilakukan Sunan Kudus.
Sebagaimana ayahnya, ia juga pernah menjadi Panglima Perang Kesultanan Demak. Ia ikut
bertempur saat Demak, di bawah kepemimpinan Sultan Prawata, bertempur melawan Adipati
Jipang, Arya Penangsang.

Sunan Muria (9)

Ia putra Dewi Saroh –adik kandung Sunan Giri sekaligus anak Syekh
Maulana Ishak, dengan Sunan Kalijaga. Nama kecilnya adalah Raden Prawoto. Nama Muria diambil
dari tempat tinggal terakhirnya di lereng Gunung Muria, 18 kilometer ke utara kota Kudus Gaya
berdakwahnya banyak mengambil cara ayahnya, Sunan Kalijaga. Namun berbeda dengan sang
ayah, Sunan Muria lebih suka tinggal di daerah sangat terpencil dan jauh dari pusat kota untuk
menyebarkan agama Islam. Bergaul dengan rakyat jelata, sambil mengajarkan keterampilan-
keterampilan bercocok tanam, berdagang dan melaut adalah kesukaannya. Sunan Muria seringkali
dijadikan pula sebagai penengah dalam konflik internal di Kesultanan Demak (1518-1530), Ia
dikenal sebagai pribadi yang mampu memecahkan berbagai masalah betapapun rumitnya masalah
itu. Solusi pemecahannya pun selalu dapat diterima oleh semua pihak yang berseteru. Sunan Muria
berdakwah dari Jepara, Tayu, Juana hingga sekitar Kudus dan Pati. Salah satu hasil dakwahnya
lewat seni adalah lagu Sinom dan Kinanti.

Kisah-kisah Wali Songo


MASALAH SYEKH SITI JENAR

Kisah – kisah Wali Songo

MASALAH SYEKH SITI JENAR

Intisari Ajaran Syekh Siti Jenar

“Ingsun menyaksikan pada zat-ingsun sendiri, dengan pernyataan, tak ada Tuhan melainkan Ingsun,
dan menyaksikan pula bahwa Ingsun mempunyai utusan bernama Muhammad.

Ingsun adalah sebenar-benarnya bernama Allah; Allah adalah badan Ingsun. Rasul itu rahasia Ingsun;
Muhammad itu cahaya Ingsun, ya Ingsun yang hidup tak kena maut; Ya Ingsun yang selalu ingat tanpa
mengenal lupa; ya Ingsun yang abadi; ya Ingsunlah yang terang penglihatannya, bahwa Ingsun
mengetahui segala gerak-gerik dan tingkah laku makhluknya dimana dan saat kapanpun. Ingsun tak
kenal khilaf, Ingsun yang maha menjadikan dan mengakhiri. Yang berkuasa secara bijaksana dan
terbuka dengan tiba-tiba sempurna dan terang tetapi tak nampak sedikitpun gambaran yang serupa,
melainkah Ingsun saja yang meliputi semesta hanya dengan kodrat Ingsun.”(sumber menurut : M. Hari
Soewarno)

Perhatikan kata Ingsun yang sebenarnya tak boleh diucapkan untuk pribadinya, tetapi oleh Syekh Siti
Jenar diucapkan seolah-olah dia sudah benar-benar sama dengan Tuhan. Sehingga Ingsun ditulis dengan
Huruf Besar. Penyataan ini diucapkan atau dilahirkanoleh sang Guru itulah yang sebenarnya
dilarang oleh para wali.

MENYADAP ILMU SEJATI DI GIRI KEDATON

Dalam sumber lain disebutkan bahwa Syekh Lemah Abang pernah berguru kepadaSunan Giri di Giri
Kedaton atau Giri Gajah. Tetapi karena kelakukannya yang tidak senonoh yaitu suka mempelajari ilmu
karang atau ilmu sihir maka ia tidak termasuk murid-murid terpilih. Sebab ilmu sihir yang mengandalkan
bantuan jin dan setan itu dilarang oleh agama Islam.

Murid-murid yang terpilih artinya murid yang diperkenankan ikut mempelajari Ilmu Sepuh atau Ilmu
Tua, yakni Ilmu Hak Sejati.

Tapi Syekh Lemah Abang tidak kekurangan akal. Ia tetap ingin mengikuti pelajaran tingkat tinggi itu
secara sembunyi-sembunyi. Yaitu dengan jalan mengerahkan ilmu sihir sehingga tubuhnya nejadi seekor
cacing.
Ia mengikuti wejangan Sunan Giri, tapi karena dasar batinnya tidak jernih maka apa yang diserapnya
jauh dari apa yang dimaksudkan oleh Sunan Giri.

Selanjutnya ia membuka perguruan, banyak murid-muridnya yang berdatangan untuk berguru


kepadanya. Diantaranya adalah Ki Ageng Pengging. Lontang Asmara, Pangeran Panggung, dll.

Namun karena pada mulanya ia menyadap ilmu dengan cara tidak benar maka ajaran yang disampaikan
pun ajaran yang tidak benar.

Inti ajaran ini adalah Pantheisme atau manunggaling Kawula Gusti. Jadi dia sendiri telah mengaku
bersatu dengan Tuhan.

MENGAKU DIRI SEBAGAI TUHAN

Syekh Siti Jenar sudah tidak mau lagi datang ke mesjid Demak. Kemudian dilanjutkan dengan tidak mau
Sholat Jum’at. Bahkan tidak mau mengerjakan Sholat Lima Waktu. Murid-muridnya tentu saja turut
kelakuan gurunya.

Tentu saja ajaran ini ditentang oleh para wali. Syekh Siti Jenar diberi peringatan namun tetap
menyebarkan ajaran yang sesat itu. Padahal para wali sedang gencar-gencarnya menyiarkan agama
Islam sesuai dengan Mazhhab Imam Syafii. Sholat adalah tiang agama, jika sholat sudah ditinggalkan
pemeluk agama Islam berarti telah merobohkan agama Islam itu sendiri.

Syekh Siti Jenar dipanggil oleh Sunan Giri untuk diajak musyawarah.

Utusan Sunan Giri bernama Santri Kodrat dan Malang Sumirang datang menyampaikan panggilan.

Tuan Siti Jenar diharap datang ke Giri Kedaton kata sang utusan.

Siti Jenar tidak ada, yang ada hanyalah Tuhan yang Maha Esa, jawab Syekh Siti Jenar dari dalam rumah.
Utusan yang sudah dibekali ilmu mantiq itu berkata dengan cerdiknya. Kalau begitu Tuhan yang
dipanggil ke Giri Kedaton.

Syekh Siti Jenah berulah, Sekarang Tuhan tidak ada. Yang ada Siti Jenar.

Utusan cepat berkata, ya, Siti Jenar yang ada dipanggil ke Giri Kedaton.

Syekh Siti Jenar menjawab lagi Tuhan tidak memperkenankan Siti Jenar……

Utusan pun tidak mau kalah, cepat dia berkata: kalau begitu Tuhan dan Siti Jenar diminta datang ke Giri
Kedaton.

Di dalam sidang ternyata Syekh Siti Jenar tidak mau merubah pendapatnya bahwa dia mendakwakan
dirinya Tuhan. Tak perlu mengerjakan Sholat lagi dan tidak ada gunanya syariat. Itu hanya basa basi yang
ada hanya hakekat demikian kata Syekh Siti Jenar.

Sunan Kalijaga menyahut, karena itukah tuan Siti Jenar tidak mau mengerjakan sholat?

Apa gunanya sholat? Tukas Siti Jenar. Allah dan Siti Jenar sudah bersatu. Kalau Siti Jenar menyembah
Allah, itu berarti Allah menyembah Allah.

Itu ajaran sesat. Jangan hanya mementingkan hakekat. Harus penuhi syariat supaya mesjid tidak kosong
dari para jama’ah, kata Sunan Giri.

Siti jenar tetap ngotot dengan pendiriannya. Itu namanya hanya berbuat kesia-siaan. Kalu umur ini
hanya dipergunakan untuk sholat berarti waktu hanya habis untuk bersopan santun. Itu ilmunya orang
bodoh dan kafir. Kalau orang itu betul-betul pasrah pada hakekatnya adalah persatuan Kawula Gusti.

Sunan Kalijaga cepat menanggapi perkataan Siti Jenar, itu ajaran sesat. Persis ajaran AL-Halaj di bagdad
yang berpaham wihdatul Wujud, mengaku dirinya Tuhan Allah. Bila ajaran ini dibiarkan berlarut-larut
maka akan membahayakan umat Islam di tanah jawa. Padahal iman mereka baru saja kita bina. Jika
ajaran ini menyebar luas, umat Islam pasti akan terpecah belah.
Nabi Muhammad adalah Rasul terpilih, terjaga kesuciannya, namun beliau masih tetap melakukan
syariat. Tekun mendirikan sholat. Ini Syekh Siti Jenar yang tidak diketahui asal-usulnya dengan jelas
berani mengaku dirinya Tuhan dan tidak mau sholat. Jelas dia bermaksud merusak agama Islam yang
kita syiarkan.

Akhirnya sidang para wali yang diketuai oleh Sunan Giri selaku Mufti tanah jawa memutuskan hukuman
mati bagi Siti Jenar. Tetapi para wali cukup bijak. Siti Jenar diberi waktu setahun untuk merenung dan
bertobat. Siapa tahu dalam waktu 1 tahun itu dia akan menyadari kesalahannya.

Selama 1 tahun sunan Kalijaga mendapat tugas mengawasi gerak gerik Siti Jenar. Ternyata Siti Jenar
tidak berubah. Dia tetap berfaham Wihdatul Wujud atau manunggaling Kawula Gusti. Persatuan hamba
dengan Tuhannya. Maka setelah lewat 1 tahun hukuman mati itupun dilaksanakan. Bertindak sebagai
pelaksana adalah Sunan Kudus selaku Senopati Waliullah.

Walaupun Siti Jenar telah mati, tapi murid-murid nya masih banyak. Diantaranya adalah Kebo Kenanga
atau Ki Ageng Pengging, Ki Ageng Tingkir, Lontang Asmara, dll.

Mengapa di babad tanah jawa dilukiskan Sunan Kudus seolah-olah membela Arya Penangsang? Karena
Sunan Kudus tahu bahwa jalur pewaris ketiga tahta Demak yang sah adalaha ayahanda Arya Penangsang
yang bernama Pangeran Seda Lepen. Tetapi ayah Arya Penangsang ini dibunuh oleh anaknya Sultan
Trenggana. Kemudian Sultan Trenggana mengambil Jaka Tingkir Putera Ki Ageng Pengging sebagai
menantunya. Padahal Ki Ageng Pengging adalah murid syekh Siti Jenar. Jaka Tingkirpun dengan setia
menganut paham Manunggaling Kawula Gusti.

Maka dalam sengketa Jipang-Panjang atau Jaka Tingkir dan Arya Penangsang. Sunan Kudus yang pernah
menghukum mati Siti Jenar itu berpihak kepada Arya Penangsang. Karena Arya Penangsang adalah
muridnya yang setia menganut faham ahlussunnah.

Ajaran-ajaran Siti Jenar yang dimasa Raden Patah dilarang keras, pada jaman Sultan Hadiwijaya (gelar
Jaka Tingkir setelah jadi Raja Pajang) dijadikan ajaran resmi kerajaan. Ajaran ini terus berkembang
hingga awal kebangkitan Mataram dibawah Panembahan Senopati hingga puncak kejayaan Mataram
dibawah Sultan Agung.

Pengganti Sultan Agung adalah susuhunan Amangkurat 1. Dia tidak mau kalah dengan gelar para wali
yang disebut Sunan, dia menambahkan kata Su lagi dari kata Sunan sehingga menjadi Susuhunan yang
artinya harus dijunjung tinggi. Amangkurat artinya yang memangku dunia. Dia menanamkan ajaran
kepada rakyat bahwa kepada raja harus takut seperti takutnya pada Tuhan.

Seperti tersebut dalam sejarah, kehidupan Amangkurat 1 ini penuh dengan huru-hara. Demi kenikmatan
dunia ia rela menjual negaranya kepada kompeni Belanda. Padahal Sultan Agung sangat anti kepada
Belanda.

Amangkurat menganggap dirinya Tuhan sehingga boleh berbuat apa saja seenaknya. Baru satu tahun ia
berkuasa sudah banyak menimbulkan korban. Pangeran Alit dan Cakraningrat 1 dari Madura dibunuh
tanpa suatu alasan yang jelas.

Ketika seorang selirnya yang cantik meninggal dunia ia langsung membunuh 43 selirnya yang lain,
dengan alasan 43 selirnya itu sengaja meracuni Ratu Malang selirnya yang paling cantik itu.

Saudaranya yang lain yaitu Pangeran Pekik dibunuh beserta seluruh keluarganya secara kejam. Pendek
kata kekejamannya hampir sama dengan Raja Firaun. Tentu saja ini menimbulkan reaksi keras
dikalangan rakyat.

Timbullah suara-suara sumbang tentang dirinya.

Dalam suasana yang keruh ini ada pihak-pihak yang sengaja memanfaatkannya. Mereka adalah para kaki
tangan Raja yang sangat benci pada Dinasti Demak dan Giri Kedaton. Sebagaimana diketahui Demak dan
Giri Kedaton adalah kekuatan utama yang menyangga kelangsungan aliran ahlussunnah. Sementara raja
Amangkurat pendukung utam aliran syi’ah yang telah bercampur dengan faham kejawen.

Orang-orang syiah kejawen itu menghasut raja bahwa yang menimbulkan isu tidak puas dikalangan
masyarakat adalah para ulama dari Giri Kedaton. Semua orang mau menghormat kepada Raja dengan
cara membungkuk dan menyembah kakinya. Hanya para ulama Giri Kedaton yang tidak mau melakukan
penghormatan seperti itu. Maka Sunan Amangkurat memerintahkan kaki tangannya untuk
mengumpulkan para ulama Giri Kedaton dan yang erat kaitannya dengan Giri Kedaton.

Sebanyak 6000 Ulama Ahlussunnah dikumpulkan di alun-alun, dibantai secara keji dihadapan Sunan
Amangkurat 1. Inilah bukti sejarah hitam dari penganut faham syiah kejawen warisan Siti Jenar yang
mengajarkan persatuan hamba dengan Tuhan.
Kenapa merasa dirinya itu Tuhan, maka Sunan Amangkurat tega berbuat apa saja termasuk membantai
6000 Ulama Ahlussunnah.

SUNAN GUNUNG JATI

Kisah-kisah Wali Songo

SUNAN GUNUNG JATI

1. Asal Usul Sunan Gunung Jati

Dalam usia yang begitu muda Syarif Hidayatullah ditinggal mati oleh ayahnya. Ia ditunjuk untuk
menggantikan kedudukannya sebagai Raja Mesir tapi anak yang masih berusia dua puluh tahun itu tidak
mau. Dia dan ibunya bermaksud pulang ke tanah jawa berdakwah di Jawa Barat. Kedudukan ayahnya itu
kemudian diberikan kepada adiknya yaitu Syarif Nurullah.

Sewaktu berada di negeri Mesir Syarif Hidayatullah berguru kepada beberapa ulam besar didaratan
timur tengah. Dalam usia muda itu ilmunya sudah sangat banyak, maka ketika pulang ke tanah
leluhurnya yaitu Jawa ia tidak merasa kesulitan melakukan dakwah.

2. Perjuangan Sunan Gunung Jati

Sering kali terjadi kerancuan antara nama Fatahillah dengan Syarif Hidayatullah yang bergelar Sunan
Gunung Jati. Orang menganggap Fatahillah dan Syarif Hidayatullah adalah satu, tetapi yang benar adalah
dua orang. Syarif Hidayatullah cucu Raja Pajajaran adalah seorang penyebar Islam di Jawa Barat yang
kemudian disebut Sunan Gunung Jati. Sedangkan Fatahillah adalah seorang pemuda Pasai yang dikirim
Sultan Trenggana membantu Sunan Gunung Jati berperang melawan Portugis. Bukti bahwa Fatahillah
bukan Sunan Gunung Jati adalah makam dekat Sunan Gunung Jati yang ada tulisan Tubagus Pasai adalah
Fathullah atau Fatahillah atau Faletehan menurut Lidah Orang Portugis......

Syarif Hidayatullah dan ibunya Syarifah Muda’im datang ke negeri Caruban Larang Jawa Barat pada
tahun 1475 sesudah mampir dahulu di Gujarat dan Pasai untuk menambah pengalaman. Kedua orang
itu disambut gembira oleh Pangeran Cakrabuana dan keluarganya. Syekh Datuk Kahfi sudah wafat, guru
Pangeran Cakrabuana dan Syarifah Muda’im itu dimakamkan di Pasambangan. Dengan alasan agar
selalu dekat dengan makam gurunya. Syarifah Muda’im minta diizinkan tinggal di Pasambangan atau
Gunung Jati.

Syarifah Muda’im dan puteranya Syarif Hidayatullah meneruskan usaha Syekh Datuk Lahfi. Sehingga
kemudian hari Syarif Hidayatullah terkenal sebagai Sunan Gunung Jati. Tibalah saat yang ditentukan,
pangeran Cakrabuana menikahkan anaknya yaitu Nyi Pakungwati dengan Syarif Hidayatullah.
Selanjutnya yaitu pada tahun 1479 karena usia lanjut pangeran Cakrabuana menyerahkan kekuasaan
negeri Caruban kepada Syarif Hidayatullah dengan gelar Susuhan yaitu orang yang dijunjung tinggi.

Disebutkan, pada tahun pertama pemerintahannya Syarif Hidayatullah berkunjung ke Pajajaran untuk
mengunjungi kakeknya yaitu Prabu Siliwangi. Sang Prabu diajak masuk Islam kembali tetapi tidak mau.
Meski Prabu Siliwangi tidak mau masuk Islam, dia tidak menghalangi cucunya menyiarkan agama Islam
di wilayah Pajajaran.

Syarif Hidayatullah kemudian melanjutkan perjalanannya ke Serang. Penduduk Serang sudah ada yang
masuk Islam dikarenakan banyaknya saudagar dari Arab dan Gujarat yang sering singgah ke tempat itu.
Kedatangan Syarif Hidayatullah disambut baik oleh Adipati Banten. Bahkan Syarif Hidayatullah
dijodohkan dengan puteri Adipati Banten yang bernama Nyi Kawungten. Dari perkawinannya inilah
kemudian Syarif Hidayatullah dikaruniai dua orang putera yaitu Nyi Ratu Winaon dan Pangeran
Sebakingking. Dalam menyebarkan agama Islam di tanah jawa, Syarif Hidayatullah atau Sunan Gunung
Jati tidak bekerja sendirian, beliau sering bermusyawarah dengan anggota para wali lainnya di mesjid
Demak. Bahkan disebutkan beliau juga membantu berdirinya mesjid Demak.

Dari pergaulannya dengan Sultan Demak dan para wali lainnya ini akhirnya Syarif Hidayatullah
mendirikan Kesultanan Pakungwati dan ia memploklamirkan diri sebagai raja yang pertama dengan
gelar Sultan. Dengan berdirinya Kesultanan tersebut Cirebon tidak lagi mengirim upeti kepada Pajajaran
yang biasanya disalurkan lewat Kadipaten Galuh.

Dengan bergabungnya prajurit dan perwira pilihan ke Cirebon maka makin bertambah besarlah
pengaruh Kesultanan Pakungwati. Daerah-daerah lain seperti: Surakanta, Japura, Wanagiri, Telaga dan
lain-lain menyatakan diri menjadi wilayah Keslutanan Cirebon. Lebih-lebih dengan diperluasnya
Pelabuhan Muara Jati, makin bertambah besarlah Kasultanan Cirebon. Banyak pedagang besar dari
negeri asing datang menjalin persahabatan. Diantaranya dari negeri Tiongkok. Salah seorang keluarga
istana Cirebon kawin dengan pembesar dari negeri Cina yang berkunjung ke Cirebon yaitu Ma Huan.
Maka jalinan antara Cirebon dan negeri Cina makin erat.

Bahkan Sunan Gunung Jati pernah diundang ke negeri Cina dan kawin dengan puteri Kaisar Cina
bernama puteri Ong Tien. Kaisar Cina pada saat itu dari dinasti Ming juga beragama Islam. Dengan
perkawinan itu sang Kaisar ingin menjalin erat hubungan baik antara Cirebon dan negeri Cina, hal ini
ternyata menguntungkan bangsa Cina untuk dimanfaatkan dalam dunia perdagangan.

Sesudah kawin dengan Sunan Gunung Jati, puteri Ong Tien diganti namanya menjadi Nyi Ratu Rara
Semanding. Kaisar ayah puteri Ong Tien ini membekali puterinya dengan harta benda yang tidak sedikit.
Sebagian besar barang-barang peninggalan puteri Ong Tien yang dibawa dari negeri Cina itu sampai
sekarang masih ada dan tersimpan di tempat yang aman. Istana dan Mesjid Cirebon kemudian dihiasi
lagi dengan motif-motif hiasan dinding dari negeri Cina.

Mesjid Agung Sang Ciptarasa dibangun pada tahun 1980 atas prakarsa Nyi Ratu Pakungwati atau isteri
Sunan Gunung Jati. Dari pembangunan mesjid itu melibatkan banyak pihak, diantaranya Wali Songo dan
sejumlah tenaga ahli yang dikirim oleh Raden Patah. Dalam pembangunan itu Sunan Kalijaga mendapat
penghormatan untuk mendirikan Soko Tatal sebagai lambang persatuan umat. Selesai membangun
mesjid, diteruskan dengan membangun jalan raya yang menhubungkan Cirebon dengan daerah-daerah
Kadipaten lainnya untuk memperluas pengembangan Islam diseluruh tanah pasundan. Prabu Siliwangi
hanya bisa menahan diri atas perkembangan wilayah Cirebon yang semakin luas itu. Bahkan wilayah
Pajajaran sendiri sudah semakin terhimpit.

Pathak Warak menyumpah-nyumpah, hatinya marah sekali diperlakukan seperti itu. Apalagi dilihatnya
para tamu undangan menertawakan kekonyolan itu, diapun semakin malu. Hampir saja Roroyono
ditamparnya kalau tidak ingat bahwa gadis itu adalah puteri gurunya.

Pada tahun 1511 Malaka diduduki oleh bangsa Portugis. Selanjutnya mereka ingin memperluas
kekuasaannya ke pulau jawa. Pelabuhan sunda kelapa yang jadi incaran mereka untuk menancapkan
kuku penjajahan. Demak Bintoro tahu bahaya besar yang mengancam kepulauan nusantara. Oleh
karena itu Raden Patah mengirim adipati Unus atau Pangeran Sabrang Lor untuk menyerang Portugis di
Malaka. Ada salah seorang pejuang Malaka yang ikut ke tanah jawa yaitu Fatahillah. Ia bermaksud
meneruskan perjuangannya di tanah jawa. Dan dimasa Sultan Trenggana ia diangkat menjadi panglima
perang.

Pengalaman adalah guru yang terbaik, dari pengalamannya bertempur di Malaka tahulah Fatahillah titik-
titik lemah tentara dan siasat Portugis. Itu sebabnya dia dapat memberi komando dengan tepat dan
setiap serangan Demak-Cirebon selalu membawa hasil gemilang. Akhirnya Portugis dan Pajajaran kalah,
Portugis kembali ke Malaka, sedang tentara Pajajaran cerai berai tak menentuk arahnya.

Selanjutnya Fatahillah ditugaskan mengamankan Banten dari gangguan para pemberontak yaitu sisa-sisa
pasukan Pajajaran. Usaha ini tidak menemui kesulitan karena Fatahillah dibantu putera Sunan Gunung
Jati yang bernama Pangeran Sebakingking. Dikemudian hari Pangeran Sebakingking ini menjadi
penguasa Banten dengan gelar Pangeran Hasanuddin.

Kurang lebih sekitar tahun 1479, Sunan Gunung Jati pergi ke daratan Cina dan tinggal didaerah Nan King.
Di sana ia digelari dengan sebutan Maulana Insanul Kamil.

Daratan Cina sejak lama dikenal sebagai gudangnya ilmu pengobatan, maka disanalah Sunan Gunung
Jati juga berdakwah dengan jalan memanfaatkan ilmu pengobatan. Beliau menguasai ilmu pengobatan
tradisional. Disamping itu , pada setiap gerakan fisik dari ibadah Sholat sebenarnya merupakan gerakan
ringan dari terapi pijat atau akupuntur, terutama bila seseorang mau mendirikan Sholat dengan baik,
benar lengkap dengan amalan sunah dan tuma’ninahnya. Dengan mengajak masyarakat Cina agar tidak
makan daging babi yang mengandung cacing pita, dan giat mendirikan sholat lima waktu, maka orang
yang berobat kepada Sunan Gunung Jati banyak yang sembuh sehingga nama Gunung Jati menjadi
terkenal di seluruh daratan Cina.

Di negeri naga itu Sunan Gunung Jati berkenalan dengan Jenderal Ceng Ho dan sekretaris kerajaan
bernama Ma Huan, serta Feis Hsin, ketiga orang ini sudah masuk Islam. Pada suatu ketika Sunan Gunung
Jati berkunjung ke hadapan kaisar Hong Gie, pengganti kaisar Yung Lo dengan puteri kaisar yang
bernama Ong Tien. Menurut versi lain yang mirip sebuah legenda, sebenarnya kedatangan Sunan
Gunung Jati di negeri Cina adalah karena tidak sengaja. Pada suatu malam, beliau hendak melaksanakan
sholat tahajjud. Beliau hendak sholat di rumah tetapi tidak khusu’ lalu beliau sholat di mesjid, di mesjid
juga belum khusu’. Beliau heran padahal bagi para wali, sholat tahajjud itu adalah kewajiban yang harus
dilaksanakan dengan sebaik-baiknya. Kemudian Sunan Gunung Jati sholat diatas perahu dengan khusu’.
Bahkan dapat tidur dengan nyenyak setelah sholat dan berdo’a.

Ketika beliau terbangun beliau merasa kaget. Daratan pulau jawa tidak nampak lagi. Tanpa
sepengetahuannya beliau telah dihanyutkan ombak hingga sampai ke negeri Cina. Di negeri Cina beliau
membuka praktek pengobatan. Pendudu Cina yang berobat disuruhnya melaksanakan sholat. Setelah
mengerjakan sholat mereka sembuh. Makin hari namanya makin terkenal, beliau dianggap sebagai
sinshe yang berkepandaian tinggi terdengar oleh kaisar. Sunan Gunung Jati dipanggil keistana, kaisar
hendak menguji kepandaian Sunan Gunung Jati sebagai tabib dia pasti dapat mengetahui mana seorang
yang hamil muda atau belum hamil.
Dua orang puteri kaisar disuruh maju. Seorang diantara mereka sudah bersuami dan sedang hamil muda
atau baru dua bulan. Sedang yang seorang lagi masih perawan namun perutnya diganjal dengan bantal
sehingga nampak seperti orang hamil. Sementara yang benar-benar hamil perutnya masih kelihatan
kecil sehingga nampak seperti orang yang belum hamil. Hai tabib asing, mana diantara puteriku yang
hamil? Tanya kaisar.

Sunan Gunung Jati diam sejenak. Ia berdoa kepada Tuhan.

Hai orang asing mengapa kau diam? Cepat kau jawab! Teriak kaisar Cina.

Dia! Jawab Sunan Gunung Jati sembari menunjuk puteri Ong Tien yang masih Perawan. Kaisar tertawa
terbahak-bahak mendengar jawaban itu. Demikiann pula seluruh balairung istana kaisar.

Namun kemudian tawa mereka terhenti, karena puteri Ong Tien menjerit keras sembari memegangi
perutya.

Ayah! Saya benar-benar hamil.

Maka gemparlah seisi istana. Ternyata bantal diperut Ong Tien telah lenyap entah kemana. Sementara
perut puteri cantik itu benar-benar membesar seperti orang hamil.

Kaisar menjadi murka. Sunan Gunung Jati diusir dari daratan Cina. Sunan Gunung Jati menurut, hari itu
juga ia pamit pulau ke pulau jawa. Namun puteri Ong Tien ternyata terlanjur jatuh cinta kepada Sunan
Gunung Jati maka dia minta kepada ayahnya agar diperbolehkan menyusul Sunan Gunung Jati ke pulau
Jawa.

Kaisar Hong Gie akhirnya mengijinkan puterinya menyusul Sunan Gunung Jati ke pulau Jawa. Puteri Ong
Tien dibekali harta benda dan barang-barang berharga lainnya seperti bokor, guci emas dan permata.
Puteri cantik itu dikawal oleh tiga orang pembesar kerajaan yaitu Pai Li bang seorang menteri negara. Lie
Guan Chang dan Lie Guan Hien. Pai Li Bang adalah salah seorang murid Sunan Gunung Jati tatkala beliau
berdakwah di Cina.

Dalam pelayarannya ke pulau jawa, mereka singgah di kadipaten Sriwijaya. Begitu mereka datang para
penduduk menyambutnya dengan meriah sekali. Mereka merasa heran.
Ada apa ini? Pai Li Bang bertanya kepada tetua masyarakat Sriwijaya.

Tetua masyarakat balik bertanya. Siapa yang bernama Pai Li Bang?

Saya sendiri, jawab Pai Li Bang.

Kontan Pai Li Bang digotong penduduk diatas tandu. Dielu-elukan sebagai pemimpin besar. Dia dibawa
ke istana Kadipaten Sriwijaya.

Setelah duduk dikursi Adipati, Pai Li Bang bertanya, sebenarnya apa yang terjadi?

Tetua masyarakat itu menerangkan. Bahwa adipati Ario Damar selaku pemegang kekuasaan Sriwijaya
telah meninggal dunia. Penduduk merasa bingung mencari penggantinya, karena putera Ario Damar
sudah menetap di Pulau Jawa. Yaitu Raden Fatah dan Raden Hasan.

Dalam kebingungan itulah muncul Sunan Gunung Jati, beliau berpesan bahwa sebentar lagi akan datang
rombongan muridnya dari negeri Cina, namanya Pai Li Bang. Muridnya itulah yang pantas menjadi
pengganti Ario Damar. Sebab muridnya itu adalah seorang menteri negara di negeri Cina.

Setelah berpesan begitu Sunan Gunung Jati meneruskan pelayarannya ke pulau jawa. Pai Li Bang
memang muridnya. Dia semakin kagum dengan gurunya yang ternyata mengetahui sebelum kejadian,
tahu kalau dia bakal menyusul ke pulau jawa. Pai Li Bang tidak menolak keinginan gurunya, dia bersedia
menjadi adipati Sriwijaya. Dalam pemerintahannya Sriwijaya maju pesat sebagai kadipaten yang paling
makmur dan aman. Setelah Pai Li Bang meninggal dunia maka nama kadipaten Sriwijaya diganti menjadi
nama kadipaten Pai Li Bang, dalam perkembangannya karena proses pengucapan lidah orang Sriwijaya
maka lama kelamaan kadipaten itu lebih dikenal dengan sebutan Palembang hingga sekarang.

Sementara itu puteri Ong Tien meneruskan pelayarannya hingga ke pulau jawa. Sampai di Cirebon dia
mencari Sunan Gunung Jati, tapi Sunan Gunung Jati sedang berada di Luragung. Puteri itupun
menyusulnya. Pernikahan antara puteri Ong Tien denga Sunan Gunung Jati terjadi pada tahun 1481, tapi
sayang pada tahun 1485 puteri Ong Tien meninggal dunia. Maka jika anda berkunjung ke makam Sunan
Gunung Jati di Cirebon jangan lah merasa heran disana banyak ornamen cina dan nuansa cina lainnya.
Memang ornamen dan barang-barang antik itu berasal dari cina.
Wali songo selalu bermusyawarah apabila menghadapi suatu masalah pelik yang berkembang di
masyarakat. Termasuk kebijakan dakwah yang mereka lakukan kepada masyarakat jawa.

Mula-mula sunan Ampel tidak setuju atas cara dakwah yang dilakukan Sunan Kalijagadan Sunan Bonang.
Namun Sunan Kudus mengajukan pedapatnya. Saya setuju dengan pendapat Sunan Kalijaga, bahwa adat
istiadat lama yang masih bisa diarahkan kepada agama tauhid maka kita akan memberikannya warna
Islami. Sedang adat dan kepercayaan lama yang jelas-jelas menjurus ke arah kemusyrikan kita tinggal
sama sekali. Sebagai misal, gamelan dan wayang kulit, kita bisa memberinya warna Islam sesuai dengan
selera masyarakat. Adapun tentang kekuatiran kanjeng Sunan Ampel, saya mempunyai keyakinan
bahwa dibelakang hari akan ada orang yang menyempurnakannya.

Adanya dua pendapat yang seakan bertentangan tersbut sebanarnya mengandung hikmah. Pendapat
Sunan Kalijaga dan Sunan Kudus ada benarnya yaitu agar Islam cepat diterima oleh orang jawa, dan ini
terbukti, dikarenakan dua wali tersebut pandai mengawinkan adat istiadat lama yang dapat ditolerir
Islam maka penduduk jawa banyak yang berbondong-bondong masuk agama Islam. Pada prinsipnya
mereka mau menerima Islam dengan lebih dahulu dan sedikit demi sedikit kemudian mereka akan
diberi pengertian akan kebersihan tauhid dalam iman mereka.

Sebaliknya, adanya pendapat Sunan Ampel yang menginginkan Islam harus disiarkan dengan murni dan
konsekuen juga mengandung hikmah kebenaran yang hakiki, sehingga membuat umat semakin berhati-
hari menjalankan syariat agama secara benar dan bersih dari segala macam bid’ah. Inilah jasa Sunan
Ampel yang sangat besar, dengan peringatan inilah beliau telah menyelamatkan aqidah umat agar tidak
tergelincitr ke lembah musyrik.

SUNAN KUDUS

Kisah-kisah Wali Songo

SUNAN KUDUS

1. Asal Usul

Menurut salah satu sumber, Sunan Kudus adalah putera Raden Usman haji yang bergelar Sunan
Ngudung dari Jipang Panolan. Ada yang mengatakan letak Jipang Panolan ini disebelah utara kota Blora.
Di dalam babad tanah jawa, disebutkan bahwa Sunan Ngudung pernah memimpin pasukan Majapahit.
Sunan ngudung selaku senopati Demak berhadapan dengan Raden Husain atau Adipati Terung dari
Majapahit. Dalam pertempuran yang sengit dan saling mengeluarkan aji kesaktian itu Sunan Ngudung
gugur sebagai pahlawan sahid. Kedudukannya sebagai senopati Demak kemudian digantikan
oleh sunan Kudus yang puteranya sendiri yang bernama asli Ja’far Sodiq.
Pasukan Demak hampir saja menderita kekalahan, namun berkat siasat Sunan Kalijaga, dan bantuan
pusaka Raden Patah yang dibawa dari Palembang kedudukan Demak dan Majapahit akhinya berimbang.

Selanjutnya melalui jalan diplomasi yang dilakukan Patih Wanasalam dan Sunan Kalijaga, peperangan itu
dapat dihentikan. Adipati Terung yang memimpin laskar Majapahit diajak damai dan bergabung dengan
Raden Patah yang ternyata adalah kakaknya sendiri. Kini keadaan berbalik. Adipati Terung dan
pengikutnya bergabung dengan tentara Demak dan menggempur tentara Majapahit hingga ke belahan
timur. Pada akhirnya perang itu dimenangkan oleh pasukan Demak.

2. Guru-gurunya

Disamping belajar agama kepada ayahnya sendiri, Ja’far Sodiq juga belajar kepada beberapa ulama
terkenal. Diantaranya kepada Kiai Telingsing, Ki Ageng Ngerang dan Sunan Ampel.

Nama asil Kiai Telingsing ini adalah Ling Sing, beliau adalah seorang ulama dari negeri cina yang datang
ke pulau jawa bersama laksamana jenderal Cheng Hoo. Sebagaimana disebutkan dalam sejarah, jenderal
Cheng Hoo yang beragama Islam itu datang ke pulau jawa untuk mengadakan tali persahabatan dan
menyebarkan agama Islam melalui perdagangan.

Di jawa, the Ling Sing cukup dipanggil dengan sebutan Telingsing, beliau tinggal di sebuah daerah subur
yang terletak diantara sungai Tanggulangin dan sungai Juwana sebelah Timur. Disana beliau bukan
hanya mengajarkan Islam, melainkan juga mengajarkan kepada penduduk seni ukir yang indah.

Banyak yang datang berguru seni kepada Kiai Telingsing, termasuk Ja’far Sodiq itu sendiri. Dengan
belajar kepada ulama yang berasal dari cina itu, Raden Ja’far Sodiq mewarisi bagian dari sifat positif
masyarakat cina yaitu ketekunan dan kedisiplinan dalam mengejar atau mencapai cita-cita. Hal ini
berpengaruh besar bagi kehidupan dakwah Ja’far Sodiq dimasa akan datang yaitu tatkala menghadapi
masyarakat yang kebanyakan masih beragama Hindu dan Budha.

Selanjutnya, Raden Ja’far Sodiq juga berguru kepada Sunan Ampel di Surabaya selama beberapa tahun.

3. Cara Berdakwah yang Luwes

A. Strategi Pendekatan kepada Massa

Sunan Kudus termasuk pendukung gagasan, Sunan Kalijaga dan Sunan Bonang yang menerapkan
strategi dakwah kepada masyarakat sebagai berikut :

1. Membiarkan dulu adat istiadat dan kepercayaan lama yang sukar dirubah. Mereka sepakat untuk tidak
mempergunakan jalan kekerasan atau radikal menghadapi masyarakat yang demikian.

2. Bagian adat yang tidak sesuai dengan ajaran Islam tetapi mudah dirubah maka segera dihilangkan.

3. Tut Wuri Handayani, artinya mengikuti dari belakang terhadap kelakuan dan adat rakyat tetapi
diusahakan untuk dapat mempengaruhi sedikit demi sedikit dan menerapkan prinsip Tut Wuri
Hangiseni, artinya mengikuti dari belakang sambil mengisi ajaran agama Islam.

4. Menghindarkan konfrontasi secara langsung atau secara keras didalam cara menyiarkan agama Islam.
Dengan prinsip mengambil ikan tetapi tidak mengeruhkan airnya.

5. Pada akhirnya boleh saja merubah adat dan kepercayaan masyarakat yang tidak sesuai dengan ajaran
Islam tetapi dengan prinsip tidak menghalau masyarakat dari umat Islam. Kalangan umat Islam yang
sudah tebal imannya harus berusaha menarik simpati masyarakat non muslim agar mau mendekat dan
tertarik dengan ajaran Islam. Hal itu tak bisa mereka lakukan kecuali dengan konsekuen. Sebab dengan
melaksanakan ajaran Islam secara lengkap otomatis tingkah laku dan gerak-gerik mereka sudah
merupakan dakwah nyata yang dapat memikat masyarakat non-muslim.

Strategi dakwah ini diterapkan oleh Sunan Kalijaga, Sunan Bonang, Sunan Muria, Sunan Kudus dan
Sunan Gunung Jati. Karena siasat mereka dalam berdakwah tak sama dengan garis yang ditetapkan oleh
Sunan Ampel maka mereka disebut kaum Abangan atau Aliran Tuban. Sedang pendapat Sunan Ampel
yang didukung Sunan Giri dan Sunan Drajad disebut Kaum Putihan atau Aliran Giri.
Namun atas inisiatif Sunan Kalijaga, kedua pendapat yang berbeda itu pada akhinya dapat
dikompromikan.

B. Merangkul Masyarakat Hindu

Di Kudus pada waktu itu penduduknya masih banyak yang beragama Hindu dan Budha. Untuk mengajak
mereka masuk Islam tentu bukannya pekerjaan mudah. Terlebih mereka yang masih memeluk
kepercayaan lama dan memegang teguh adat-istiadat lama, jumlahnya tidak sedikit. Di dalam
masyarakat seperti itulah Ja’far Sodiq harus berjuang menegakkan agama.

Pada suatu hari Sunan Kudus atau Ja’far Sodiq membeli seekor sapi (dalam riwayat lain disebut Kebo
Gumarang). Sapi tersebut berasal dari Hindia, dibawa para pedagang asing dari kapal besar.

Sapi itu ditambatkan dihalaman rumah Sunan Kudus.

Rakyat Kudus yang kebanyakan beragama Hindu itu tergerak hatinya, ingin tahu apa yang akan
dilakukan Sunan Kudus terhadap sapi itu. Sapi dalam pandangan Hindu adalah hewan suci yang menjadi
kendaraan para dewa. Menyembelih sapi adalah perbuatan dosa yang dikutuk para dewa. Lalu apa yang
dilakukan Sunan Kudus?

Apakah Sunan Kudus hendak menyembelih sapi dihadapan rakyat yang kebanyakan justru memujanya
dan menganggap binatang keramat. Itu berarti Sunan Kudus melukai hati rakyatnya sendiri.

Dalam tempo singkat halaman rumah Sunan Kudus dibanjiri rakyat, baik yang beragama Islam maupun
Budha. Setelah jumlah penduduk yang datang bertambah banyak, Sunan Kudus keluar dari dalam
rumahnya.

Sedulur-sedulur yang saya hormati, segenap sanak kadang yang saya cintai, Sunan Kudus membuka
suara. Saya melarang saudara-saudara menyakiti apalagi menyembelih sapi. Sebab diwaktu saya masih
kecil, saya pernah mengalami saat yang berbahaya, hampir mati kehausan lalu seekor sapi datang
menyusui saya.

Mendengar cerita tersebut para pemeluk agama Hindu terkagum-kagum. Mereka menyangka Ja’far
Sodiq itu adalah titisan dewa Wisnu, maka mereka bersedia mendengarkan ceramahnya. Demi rasa
hormat saya kepada jenis hewn yang pernah menolong saya, maka dengan ini saya melarang penduduk
Kudus menyakiti atau menyembelih sapi.

Kontan para penduduk terpesona atas kisah itu.

Sunan kudus melanjutkan, salah satu diantara surat-surat Al-Qur’an yaitu surat yang kedua dinamakan
Surat Sapi atau dalam bahasa Arabnya Al-Baqarah, kata Sunan Kudus.

Masyarakat semakin tertarik. Kok ada sapi di dalam Al-Qur’an mereka menjadi ingin tahu lebih banyak
dan untuk itulah mereka harus sering-sering datang mendengarkan keterangan Sunan Kudus.

Demikianlah, sesudah simpati itu berhasil diraih akan lapanglah jalan untuk mengajak
masyarakat berduyun-duyun masuk agama Islam.

Bentuk mesjid yang dibuat Sunan Kudus pun tak jauh bedanya dengan candi-candi milik orang Hindu.
Lihatlah menara Kudus yang antik itu, yang hingga sekarang dikagumi orang di seluruh dunia karena
keanehannya. Dengan bentuknya yang mirip candi itu orang-orang Hindu merasa akrab dan tidak takut
atau segan masuk ke dalam mesjid guna mendengarkan ceramah Sunan Kudus.

C. Merangkul Masyarakat Budha

Sesudah berhasil menarik umat Hindu kedalam agama Islam hanya karena sikap toleransi yang tinggi,
yaitu menghormati sapi yang dikeramatkan umat Hindu dan membangun menara mesjid mirip dengan
candi Hindu. Kini Sunan Kudus bermaksud menjaring umat Budha. Caranya? Memang tidak mudah,
harus kreatif dan tidak bersifat memaksa.

Sesudah mesjid berdiri, Sunan Kudus membuat padasan atau tempat wudhu dengan pancuran yang
berjumlah delapan. Masing-masing pancuran diberi arca kepala kebo gumarang diatasnya. Hal ini
disesuaikan dengan ajaran Budha, “Jalan berlipat delapan” atau Sanghika Marga” yaitu :

1. Harus memiliki pengetahuan yang benar

2. Mengambil keputusan yang benar

3. Berkata yang benar


4. Hidup dengan cara yang benar

5. Bekerja dengan benar

6. Beribadah dengan benar

7. Dan menghayati agama dengan benar.

Usahanya pun membuahkan hasil, banyak umat Budha yang penasaran, untuk itu Sunan Kudus
memasang lambang wasiat Budha itu di padasan atau tempat berwudhu, sehingga mereka berdatangan
ke mesjid untuk mendengarkan keterangan Sunan Kudus.

D. Selamatan Mitoni

Didalam cerita tutur disebutkan bahwa Sunan Kudus itu pada suatu ketika gagal mengumpulkan rakyat
yang masih berpegang teguh pada adat istiadat lama.

Seperti diketahui, rakyat jawa banyak melakukan adat istiadat yang aneh, yang kadang kala
bertentangan dengan ajaran Islam, misalnnya berkirim sesaji dikuburan untuk menunjukkan bela
sungkawa atau berduka cita atas meninggalnya salah seorang anggota keluarga, selamatan neloni.
Mitoni dan lain-lain. Sunan Kudus sangat memperhatikan upacara-upacara ritual tersebut dan berusaha
sebaik-baiknya untuk merubah atau mengarahkannya dalam bentuk Islami. Hal ini dilakukan juga oleh
Sunan Kalijaga dan Sunan Muria.

Contohnya, bila seorang isteri orang jawa hamil tiga bulan maka akan dilakukan acara selamatan yang
disebut mitoni sembari minta kepada dewa bahwa bilaanaknya lahir supaya tampan seperti Arjuna, jika
anaknya perempuan supaya cantik seperti Dewi Ratih.

Adat tersebut tidak ditentang secara keras oleh Sunan Kudus. Melainkan diarahkan dalam bentuk
Islami. Acara selataman boleh terus dilakukan tapi niatnya bukan sekedar kirim sesaji kepada para dewa,
melainkan bersedekah kepada penduduk setempat dan sesaji yang dihidangkan boleh dibawa pulang.
Sedangkan permintaannya langsung kepada Allah dengan harapan anaknya lahir laki-laki akan berwajah
seperti nabi Yusuf, dan bila perempuan seperti Siti Maryam ibunda Nabi Isa. Untuk itu sang ayah dan ibu
harus sering membaca surat Yusuf dan surat Maryam dalam Al-Qur’an.

Sebelum acara selamatan dilaksanakan diadakanlah pembacaan Layang Ambiya atau sejarah para Nabi.
Biasanya yang dibaca adalah bab Nabi Yusuf. Hingga sekarang acara pembacaan Layang Ambiya yang
berbentuk tembang Asmarandana, Pucung dll itu masih hidup di kalangan masyarakat pedesaan.
Berbeda dengan cara lama, pihak tuan rumah membuat sesaji dari berbagai jenis makanan, kemudian
diikrarkan (hajatkan dihajatan) oleh sang dukun atau tetua masyarakat setelah upacara sakral itu
dilakukan sesajinya tidak boleh dimakan melainkan diletakkan di candi, di kuburan atau tempat-tempat
sunyi dilingkungan tuan rumah.

Ketika pertama kali melaksanakan gagasannya, Sunan Kudus pernah gagal, yaitu beliau mengundang
seluruh masyarakat. Baik yang Islam maupun yang Hindu dan Budha ke dalam mesjid. Dalam undangan
disebutkan hajat Sunan Kudus yang hendak Mitoni dan bersedekah atas hamilnya sang isteri yang telah
tiga bulan.

Sebelum masuk mesjid, rakyat harus membasuh kaki dan tangannya dikolam yang sudah disediakan.
Dikarenakan harus membasuh tangan dan kaki inilah banyak rakyat yang tidak mau, terutama
dikalangan Hindu dan Budha. Inilah kesalahan Sunan Kudus. Beliau terlalu mementingkan pengenalan
syariat berwudhu kepada masyarakat, tapi akibatnya masyarakat malah menjauh. Apa sebabnya?
Karena iman mereka atau tauhid mereka belum terbina.

Maka pada kesempatan lain, Sunan Kudus mengundang masyarakat lagi. Kali ini tidak usah membasuh
tangan dan kakinya waktu masuk mesjid, hasilnya sungguh luar biasa. Masyarakat berbondong-bondong
memenuhi undangannya, disaat inilah Sunan Kudus menyisipkan bab keimanan dalam agama Islam
secara halus dan menyenangkan rakyat. Caranya menyampaikan materi cukup cerdik, ketika rakyat
tengah memusatkan perhatiannya pada keterangan sunan Kudus tetapi karena waktu sudah terlalu
lama, dan dikuatirkan mereka jenuh Sunan Kudus mengakhiri ceramahnya.

Cara tersebut kadang mengecewakan, tapi disitulah letak segi positipnya, rakyat ingin tahu kelanjutan
ceramahnya. Dan pada kesempatan lain mereka datang lagi ke mesjid, baik dengan undangan maupun
tidak, karena ingin tahu itu demikian besar mereka tak peduli lagi pada syarat yang diajukan Sunan
Kudus yaitu membasuh kaki dan tangannya lebih dahulu, yang lama-lama menjadi kebiasaan untuk
berwudhu.

Dengan demikian Sunan Kudus berhasil menebus kesalahannya dimasa lalu. Rakyat menaruh
simpati dan menghormatinya. Cara-cara yang ditempuh untuk mengislamkan masyarakat cukup
banyak. Baik secara langsung melalui ceramah agama maupun adau kesaktian dan melalui kesenian,
beliaulah yang pertama kali menciptakan tembang Mijil dan Maskumambang. Didalam tembang-
tembang tersebut beliau sisipkan ajaran-ajaran agama Islam.

Sunan Kudus di Negeri Mekkah


Didalam legenda dikisahkan bahwa Raden Ja’far Sodiq itu suka mengembara, baik ke tanah Hindustan
maupun ke tanah Suci Mekkah.

Sewaktu berada di Mekkah beliau menunaikan ibadah haji. Dan kebetulan disana ada wabah penyakit
yang sukar diatasi. Penguasa negeri arab mengadakan sayembara, siapa yang berhasil melenyapkan
wabah penyakit itu akan diberi hadiah harta benda yang cukup besar jumlahnya.

Sudah banyak orang mencoba tapi tidak pernah berhasil. Pada suatu hari Sunan Kudus atau Ja’far Sodiq
menghadap penguasa negeri itu tapi kedatangannya disambutnya dengan sinis.

Dengan apa tuan akan melenyapkan wabah penyakit itu? Tanya sang Amir.

Dengan doa jawab Ja’far Sodiq singkat.

Kalau hanya doa kami sudah puluhan kali melakukannya, di tanah arab ini banyak ulama dan syekh-
syekh ternama. Tapi mereka tak pernah berhasil mengusir wabah penyakit ini.

Saya mengerti memang tanah arab ini gudangnya para ulama. Tapi jangan lupa ada saja kekurangannya
sehingga doa mereka tidak terkabulkan, kata Ja’far Sodiq.

Hem, sungguh bernai tuan mengatakan demikian, kata amir itu dengan nada berang. Apa kekurangan
mereka?

Anda sendiri yang menyebabkannya, kata Ja’far Sodiq dengan tenangnya. Anda telah menjanjikan
hadiah yang menggelapkan mata hati mereka sehingga doa mereka tidak ikhlas. Mereka berdoa hanya
karena mengharapkan hadiah.

Sang Amir pun terbungkam seribu bahasa atas jawaban itu.

Ja’far Sodiq lalu dipersilahkan melaksanakan niatnya. Kesempatan itu tak disia-siakan. Secara khusus
Ja’far Sodiq berdoa dan membaca beberapa amalan. Dalam tempo singkat wabah penyakit mengganas
dinegeri arab telah menyingkir. Bahkan beberapa orang yang menderita sakit keras secara mendadak
langsung sembuh.

Bukan main senangnya hati sang Amir. Rasa kagum mulai menjalari hatinya. Hadiah yang dijanjikannya
bermaksud diberikan kepada Ja’far Sodiq.

Tapi Ja’far Sodiq menolaknya, dia hanya ingin minta sebuah batu yang berasal dari Baitul Maqdis. Sang
Amir mengijinkannya. Batu itu pun dibawa ke tanah jawa, dipasang di pengimaman mesjid Kudus yang
didirikannya sekembali dari tanah suci.

Rakyat kota Kudus pada waktu itu masih banyak yang beragama Hindu dan Budha. Para wali
mengadakan sidang untuk menentukan siapakah yang pantas berdakwah di kota itu. Pada akhirnya
Ja’far Sodiq yang bertugas didaerah itu. Karena mesjid yang dibangunnya dinamakan Kudus maka Raden
Ja’far Sodiq pada akhirnya disebut Sunan Kudus.

SYEKH MAULANA MALIK IBRAHIM


1. Asal usul SYEKH MAULANA MALIK IBRAHIM

Jauh sebelum Maulana Malik Ibrahim datang ke Pulau Jawa. Sebenarnya sudah ada masyarakat Islam di
daerah-daerah pantai utara. Termasuk di desa Leran. Hal itu bisa dibuktikan dengan adanya makam
seorang wanita bernama Fatimah Binti Maimun yang meninggal pada tahun 475 Hijriyah atau pada
tahun 1082 M.

Jadi sebelum jaman Wali Songo, Islam sudah ada di pulau Jawa, yaitu daerah Jepara dan Leren. Tetapi
Islam pada masa itu masih belum berkembang secara besar-besaran.

Maulana Malik Ibrahim yang lebih dikenal penduduk setempat sebagai Kakek
Bantal itu diperkirakan datang ke Gresik pada tahun 1404 M. Beliau berdakwah di Gresik hingga akhir
wafatnya yaitu pada tahun 1419 M.
Pada masa itu kerajaan yang berkuasa di Jawa Timur adalah Majapahit. Raja dan rakyatnya kebanyakan
masih beragama Hindu atau Budha. Sebagian rakyat Gresik sudah ada yang beragam Islam, tetapi masih
banyak yang beragama Hindu atau bahkan tidak beragama sama sekali.

Dalam Dakwah kakek bantal menggunakan cara yang bijaksana dan strategi yang tepat berdasarkan
ajaran Al-Qur’an yaitu :

“Hendaklah engkau ajak kejalan TuhanMu dengan hikmah (kebijaksanaan) dan dengan petunjuk-
petunjuk yang baik serta ajaklah mereka berdialog (bertukar pikiran) dengan cara yang sebaik-baiknya
(QS. An Nahl ; 125)”

Ada yang menyebutkan bahwa beliau berasal dari Turki dan pernah mengembara di Gujarat sehingga
beliau cukup berpengalaman menghadapi orang-orang Hindu di pulau Jawa. Gujarat adalah wilayah
negara Hindia yang kebanyakan penduduknya beragama Hindu.

Di Jawa, kakek bantal bukan hanya berhadapan dengan masyarakat Hindu melainkan juga harus
bersabar terhadap mereka yang tak beragama maupun mereka yang terlanjur mengikuti aliran sesat,
juga meluruskan iman dari orang-orang Islam yang bercampur dengan kegiatan Musyrik. Caranya ,
beliau tidak langsung menentang kepercayaan mereka yang salah itu melainkan mendekati mereka
dengan penuh hikmah, beliau tunjukkan keindahan dan ketinggian akhlak Islami sebagaimana ajaran
Nabi Muhammad SAW.

Dari huruf-huruf arab yang terdapat pada batu nisannya dapat diketahui bahwa Syekh Maulana Malik
Ibrahim adalah si Kakek Bantal, penolong fakir miskin, yang dihormati para pangeran dan para sultan
ahli tata negara yang ulung, hal itu menunjukkan betapa hebat perjuangan beliau terhadap masyarakat,
bukan hanya pada kalangan atas melainkan juga pada golongan rakyat bawah yaitu kaum fakir miskin.

Keterangan yang tertulis dimakamnya ialah sbb : “inilah makam Almarhum Almaghfur, yang berharap
rahmat Tuhan, kebanggaan para pangeran, para Sultan dan para Menteri, penolong para Fakir dan
Miskin, yang berbahagia lagi syahid, cemerlangnya simbol negara dan agama, Malik Ibrahim yang
terkenal dengan Kakek Bantal. Allah meliputinya dengan RahmatNya dan KeridhaanNya, dan
dimasukkan ke dalam Surga. Telah Wafat pada hari Senin 12 Rabiul Awal tahun 822 H.”

Menurut literatur yang ada, beliau juga ahli pertanian dan ahli pengobatan. Sejak beliau berada di Gresik
hasil pertanian rakyat Gresik meningkat tajam. Dan orang-orang sakit banyak yang disembuhkannya
dengan daun-daunan tertentu.
Sifatnya lemah lembut, welas asih dan ramah tamah kepada semua orang, baik sesama muslim atau
dengan non muslim membuatnya terkenal sebagai tokoh masyarakat yang disegani dan dihormati.
Kepribadiannya yang baik itulah yang menarik hati penduduk setempat sehingga mereka berbondong-
bondong masuk agama Islam dengan suka rela dan menjadi pengikut beliau yang setia.

Sebagai misal beliau menghadapi rakyat jelata yang pengetahuannya masih awam sekali, beliau tidak
menjelaskan Islam secara njelimet. Kaum bawah tersebut dibimbing untuk bisa mengolah tanah agar
sawah dan ladang mereka dapat dipanen lebih banyak lagi. Sesudah itu mereka dianjurkan bersyukur
kepada yang memberikan Rezeki yaitu Allah SWT.

Dikalangan rakyat jelata Syekh Maulana Malik Ibrahim sangat terkenal, terutama dari kalangan kasta
rendah. Sebagaimana diketahui agama Hindu membagi masyarakat menjadi 4 kasta yaitu ; kasta
brahmana, kstaria, waisya dan sudra. Dari ke empat kasta tersebut kasta sudra adalah yang paling
rendah dan sering di tindas oleh kasta-kasta yang lebih tinggi. Maka ketika Syekh Maulana Malik Ibrahim
menerangkan kedudukan seseorang didalam Islam, orang-orang kasta sudra dan waisya banyak yang
tertarik, Syekh Maulana Malik Ibrahim menjelaskan bahwa dalam agama Islam semua manusia sama
sederajat. Orang sudra boleh saja bergaul dengan kalangan yang lebih atas, tidak dibeda-bedakan.
Dihadapan Allah semua manusia adalah sama, yang paling mulia diantara mereka hanyalah yang paling
taqwa disisi Allah SWT.

Taqwa itu letaknya dihati, hati yang mengendalikan segala gerak kehidupan manusia untuk berusaha
sekuat-kuatnya mengerjakan segala perintah Allah dan menjauhi segala laranganNya.

Dengan taqwa itulah manusia akan hidup bahagia di dunia dan di akherat kelak, orang yang bertaqwa
sekalipun dia dari kasta sudra bisa jadi lebih mulia daripada mereka yang berkasta ksatria dan
brahmana.

Mendengar keterangan ini, mereka yang berasal dari kasta sudra dan waisya merasa lega, mereka
merasa dibela dan dikembalikan haknya sebagai manusia yang utuh sehingga wajarlah bila mereka
berbondong-bondong masuk agama Islam dengan suka cita.

Setelah pengikutnya semakin banyak, beliau kemudian mendirikan mesjid untuk beribadah bersama-
sama dan mengaji. Dalam membangun mesjid ini beliau mendapat bantuan yang tidak sedikit dari Raja
Carmain.

Dan untuk mempersiapkan kader umat yang nantinya dapat meneruskan perjuangan menyebarkan
agama Islam ke seluruh tanah Jawa dan seluruh Nusantara maka beliau kemudian mendirikan pesantren
yang merupakan perguruan Islam, tempat mendidik dan menggembleng para santri sebagai calon
mubaligh.

Pendirian pesantren yang pertama kali di Nusantara itu di ilhami oleh kebiasaan masyarakat Hindu yaitu
para Biksu dan Pendeta Brahmana yang mendidik cantrik dan calon pemimpin agama di mandala-
mandala mereka.

Inilah salah satu strategi para wali yang cukup jitu, orang Budha dan Hindu yang mendirikan mandala-
mandala untuk mendidik kader tidak dimusuhi secara frontal, melainkan beliau-beliau itu mendirikan
pesantren yang mirip dengan mandala-mandala miliki kelompok Hindu dan Budha tersebut untuk
menjaring umat. Dan ternyata hasilnya sungguh memuaskan, dari pesantren Gresik kemudian muncul
para mubaligh yang menyebar ke seluruh Nusantara.

Tradisi pesantren tersebut berlangsung hingga dijaman sekarang. Dimana para ulama menggodok calon
mubaligh dipesantren yang diasuhnya.

Bila orang bertanya suatu masalah agama kepada beliau maka beliau tidak menjawab dengan berbelit-
belit melainkan dijawabnya dengan mudah dan gamblang sesuai dengan pesan Nabi yang menganjurkan
agama disiarkan dengan mudah, tidak dipersulit, umat harus dibuat gembira, tidak ditakut-takuti.

Pada suatu hari Syekh Maulana Malik Ibrahim ditanya tentang : Apakah yang dinamakan Allah itu ?

Beliau tidak menjawab bahwa Allah itu adalah Tuhan yang memberi pahala surga kepada hambaNya
yang berbakti dan menyiksa sepedih-pedihnya bagi hamba yang membangkang kepadaNya.

Jawabannya cukup singkat dan jelas yaitu, “Allah adalah Zat yang diperlukan adaNya.”

Dua tahun sudah Syekh Maulana Malik Ibrahim berdakwah di Gresik, beliau tidak hanya membimbing
umat untuk mengenal dan mendalami agama Islam, melainkan juga memberi pengarahan agar tingkat
kehidupan rakyat Gresik menjadi lebih baik. Beliau pula yang mempunyai gagasan mengalirkan air dari
gunung untuk mengairi lahan pertanian penduduk. Dengan adanya sistem pengairan yang baik ini lahan
pertanian menjadi subur dan hasil panen bertambah banyak, para petani menjadi makmur dan mereka
dapat mengerjakan ibadah dengan tenang.
Andaikata Syekh Maulana Malik Ibrahim tidak ikut membenahi dan meningkatkan taraf hidup rakyat
Gresik tentulah mereka sukar diajak beribadah dengan baik dan tenang. Sebagaimana sabda Nabi bahwa
kefakiran menjurus pada kekafiran. Bagaimana mungkin bisa beribadah dengan tenang jika sehari-hari
disibukkan dengan urusan sesuap nasi. Inilah resep yang harus ditiru.

2. Tamu dari Negeri Carmain

Ada ganjalan di hari Syekh Maulana Malik Ibrahim, dia telah berhasil mengIslamkan sebagian besar
rakyat Gresik. Yang mana saat itu Gresik merupakan bagian dari wilayah Majapahit. Kalau seluruh rakyat
sudah memeluk Islam sementara Raja Brawijaya penguasa Majapahir masih beragama Hindu, apakah
dibelakang hari tidak timbul ketegangan antara rakyat dengan rajanya.

Untuk menghindari hal itu maka Syekh Maulana Malik Ibrahim mempunyai rencana mengajak Raja
Brawijaya untuk masuk agama Islam.

Hal itu diutarakan kepada sahabatnya yaitu Raja Carmain. Ternyata Raja Carmain juga mempunyai
maksud serupa. Sudah lama Raja Carmain ingin mengajak Prabu Brawijaya masuk agama Islam. Pada
tahun 1321 M. Raja Carmain datang ke Gresik disertai putrinya yang cantik rupawan. Putri Raja Carmain
itu bernama Dewi Sari, tujuannya dalam misi tersebut adalah untuk memberikan bimbingan kepada
para putri istana Majapahit mengenal agama Islam.

Bersama Syekh Maulana Malik Ibrahim rombongan dari negeri Carmain itu menghadap Prabu Brawijaya.
Usaha mereka ternyata gagal. Prabu Brawijaya bersikeras mempertahankan agama lama dengan ucapan
diplomatis. Bahwa dia bersedia masuk Islalm bila Dewi Sari bersedia dipersuntingnya sebagai isteri. Dewi
Sari menolak, tidak ada gunanya masuk Islam bila ditunggangi dengan kepentingan duniawi.
Beragama seperti itu hanya akan merusak keagungan agama Islam.

Rombongan dari negeri Carmain lalu kembali ke Gresik. Mereka beristiharat di Leran sembari menunggu
selesainya perbaikan kapal untuk berlayar pulang

Sungguh sayang sekali, selama peristirahatan di Leran banyak anggota dari negeri Carmain yang diserang
wabah penyakit. Banyak diantara mereka yang tewas, termasuk Dewi Sari.

Kabar kematian Dewi Sari terdengar ke telinga Prabu Brawijaya, Raja yang memang tertarik dan merasa
jatuh cinta kepada Dewi Sari itu kemudian menyempatkan diri beserta para punggawanya berkunjung ke
Leran. Raja Brawijaya memerintahkan kepada para punggawanya untuk menggali kubur dan
memakamkan Dewi Sari dengan upacara kebesaran.

Setelah rombongan dari negeri Carmain itu meninggalkan pantai Leran Prabu Brawijaya menyerahkan
seluruh daerah Gresik kepada Syekh Maulana Malik Ibrahim untuk diperintah sendiri dibawah
kedaulatan Majapahit.

Penyerahan wilayah itu adalah siasat dari sang Raja agar rakyat Gresik yang beragama Islam itu tidak
memberontak kepada Rajanya yang masih beragama Hindu.

Amanat Raja Majapahit itu diterima oleh Syekh Maulana Malik Ibrahim dengan sukarela. Sesuai
dengan ajaran Islam yang menganjurkan perdamaian walaupun dengan kafir zimmi yaitu orang-orang
bukan muslim yang mau hidup berdampingan denSUNAN AMPEL

Kisah-kisah Wali Songo

SUNAN AMPEL

1. Asal usul SUNAN AMPEL

Tahukah anda dengan daerah Bukhara? Bukhara terletak di Samarqand. Sejak dahulu daerah Samarqand
dikenal sebagai daerah Islam yang melahirkan ulama-ulama besar seperti Imam Bukhari yang mashur
sebagai pewaris hadist shahih.

Disamarqand ini ada seorang ulama besar bernama Syekh Jamalluddin Jumadil Kubra, seorang
Ahlussunnah bermazhab syafi’I, beliau mempunyai seorang putera bernama Ibrahim, dan karena berasal
dari samarqand maka Ibrahim kemudian mendapatkan tambahan nama Samarqandi. Orang jawa sukar
menyebutkan Samarqandi maka mereka hanya menyebutnya sebagai Syekh Ibrahim Asmarakandi.
Syekh Ibrahim Asmarakandi ini diperintah oleh ayahnya yaitu Syekh Jamalluddin Jumadil Kubra untuk
berdakwah ke negara-negara Asia. Perintah inilah yang dilaksanakan dan kemudian beliau diambil
menantu oleh Raja Cempa, dijodohkan dengan puteri Raja Cempa yang bernama Dewi Candrawulan.

Negeri Cempa ini menurut sebagian ahli sejarah terletak di Muangthai. Dari perkawinan dengan Dewi
Candrawulan maka Syekh Ibrahim Asmarakandi mendapat dua orang putera yaitu Sayyid Ali
Rahmatullah dan Sayyid Ali Murtadho. Sedangkan adik Dewi Candrawulan yang bernama Dewi
Dwarawati diperisteri oleh Prabu Brawijaya Majapahit. Dengan demikian keduanya adalah keponakan
Ratu Majapahit dan tergolong putera bangsawan atau pangeran kerajaan. Para pangeran atau
bangsawan kerajaan pada waktu itu mendapat gelar Rahadian yang artinya Tuanku, dalam proses
selanjutnya sebutan ini cukup dipersingkat dengan Raden.

Raja Majapahit sangat senang mendapat isteri dari negeri Cempa yang wajahnya dan kepribadiannya
sangat memikat hati. Sehingga isteri-osteri yang lainnya diceraikan, banyak yang diberikan kepada para
adipatinya yang tersebar di seluruh Nusantara. Salah satu contoh adalah isteri yang bernama Dewi Kian,
seorang puteri Cina yang diberikan kepada Adipati Ario Damar di Palembang.

Ketika Dewi Kian diceraikan dan diberikan kepada Ario Damar saat itu sedang hamil tiga bulan. Ario
Damar menggauli puteri Cina itu sampai si jabang bayi terlahir kedunia. Bayi yang lahir dari Dewi Kian
itulah yang nantunya bernama Raden Hasan atau lebih dikenal dengan nama “ Raden Patah “, salah
satu seorang daru murid Sunan Ampel yang menjadi Raja di Demak Bintoro.

Kerajaan Majapahit sesudah ditinggal Mahapatih Gajah Mada dan Prabu Hayam Wuruk mengalami
kemunduran Drastis. Kerajaan terpecah belah karena terjadinya perang saudara. Dan para adipati
banyak yang tidak loyal dengan keturunan Prabu Hayam Wuruk yaitu Prabu Brawijaya Kertabumi.

Pajak dan upeti kerajaan tidak ada yang sampai ke istana Majapahit. Lebih sering dinikmati oleh para
adipati itu sendiri. Hal ini membuat sang Prabu bersedih hati. Lebih-lebih lagi dengan adanya kebiasaan
buruk kaum bangsawan dan para pangeran yang suka berpesta pra dan main judi serta mabuk-
mabukan. Prabu Brawijaya sadar betul bila kebiasaan semacam ini diteruskan negara/kerjaan akan
menjadi lemah dan jika kerajaan sudah kehilangan kekuasaan betapa mudahnya bagi musuh untuk
menghancurkan Majapahit Raya.

Ratu Dwarawati, yaitu isteri Prabu Brawijaya mengetahui kerisauan hati suaminya. Dengan
memberanikan diri dia mengajukan pendapat kepada suaminya. Saya mempunyai seorang keponakan
yang ahli mendidik dalam hal mengatasi kemerosotan budi pekerti, kata Ratu Dwarawati.
Betulkah? Tanya sang Prabu . Ya, namanya Sayyid Ali Rahmatullah, putera dari kanda Dewi Candrawulan
di negeri Cempa. Bila kanda berkenan saya akan meminta Ramanda Prabu di Cempa untuk
mendatangkan Ali Rahmatullah ke Majapahit ini.

Tentu saja aku merasa senang bila Rama Prabu di Cempa Berkenan mengirimkan Sayyid Ali Rahmatullah
ini kata Prabu Brawijaya.

2. Ketanah Jawa

Maka pada suatu ketika diberangkatkanlah utusan dari Majapahit ke negeri Cempa untuk meminta
Sayyid Ali Rahmatullah datang ke Majapahit. Kedatangan utusan tersebut disambut gembira oleh Raja
Cempa, dan Raja Cempa bersedia mengirim cucunya ke Majapahit untuk meluaskan pengalaman.

Keberangkatan Sayyid Ali Rahmatullah ke tanah Jawa tidak sendirian. Ia ditemani oleh ayah dan
kakaknya. Sebagaimana disebutkan diatas, ayah Sayyid Ali Rahmatullah adalah Syekh Maulana Ibrahim
Asmarakandi dan kakaknya bernama Sayyid Ali Murtadho. Diduga tidak langsung ke Majapahit,
melainkan terlebih dahulu ke Tuban. Di Tuban tepatnya di desa Gesikharjo, Syekh Maulana Ibrahim
Asmarakandi jatuh sakit dan meninggak dunia, beliau dimakamkan di desa tersebut yang masih
termasuk kecamatan Palang Kabupaten Tuban.

Sayyid Murtadho kemudian meneruskan perjalanan, beliau berdakwah keliling daerah Nusa Tenggara,
Madura dan sampai ke Bima. Disana beliau mendapat sebutan raja Pandita Bima, dan akhirnya
berdakwah di Gresik mendapat sebutan Raden Santri, beliau wafat dan dimakamkan di Gresik, Sayyid Ali
Rahmatullah meneruskan perjalanan ke Majapahit menghadap Prabu Brawijaya sesuai permintaan Ratu
Dwarawati.

Kapal layar yang ditumpanginya mendarat dipelabuhan Canggu. Kedatangannya disambut dengan suka
cita oleh Prabu Brawijaya. Ratu Dwarawati bibinya sendiri memeluknya erat-erat seolah-olah sedang
memeluk kakak perempuannya yang di negeri Cempa. Karena wajah Sayyid Ali Rahmatullah memang
sangat mirip dengan kakak perempuannya.

Nanda Rahmatullah, bersediakah engkau memberikan pelajaran atau mendidik kaum bangsawan dan
rakyat Majapahit agar mempunyai budi pekerti mulia!! Tanya sang Prabu kepada Sayyid Ali Rahmatullah
setelah beristirahat melepas lelah. Dengan sikapnya yang sopan santun tutur kata yang halus Sayyid Ali
Rahmatullah menjawab. Dengan senang hati Gusti Prabu, saya akan berusaha sekuat-kuatnya untuk
mencurahkan kemampuan saya mendidik mereka.
Bagus! Sahut sang Prabu. “Bila demikian kau akan kuberi hadiah sebidang tanah berikut bangunannya di
Surabaya. Disanalah kau akan mendidik para bangsawan dan pangeran Majapahit agar berbudi pekerti
mulia.”

“Terima kasih saya haturkan Gusti Prabu”, Jawab Sayyid Ali Rahmatullah. Disebutkan dalam literatur
bahwa selanjutnya Sayyid Ali Rahmatullah menetap beberapa hari di istana Majapahit dan dijodohkan
dengan salah satu puteri Majapahit yang bernama Dewi Candrowati atau Nyai Ageng Manila. Dengan
demikian Sayyid Ali Rahmtullah adalah salah seorang Pangeran Majapahit, karena dia adalah menantu
Raja Majapahit.

Semenjak Sayyid Ali Rahmatullah diambil menantu Raja Brawijaya maka beliau adalah anggota keluarga
kerajaan Majapahit atau salah seorang pangeran, para pangeran pada jaman dahulu ditandai dengan
nama depan Rahadian atau Raden yang berati Tuanku. Selanjutnya beliau lebih dikenal dengan sebutan
Raden Rahmat.

3. Ampeldenta

Selanjutnya, pada hari yang telah ditentukan berangkatlah rombongan Raden Rahmat ke sebuah daerah
di Surabaya yang kemudian disebut dengan Ampeldenta.

Rombongan itu melalui desa Krian, Wonokromo terus memasuki Kembangkuning. Selama dalam
perjalanan beliau juga berdakwah kepada penduduk setempat yang dilaluinya. Dakwah yang pertama
kali dilakukannya cukup unik. Beliau membuat kerajinan berbentuk kipas yang terbuat dari akar
tumbuh-tumbuhan tertentu dan anyaman rotan. Kipas-kipas ini dibagikan kepada penduduk setempat
secara gratis. Para penduduk hanya cukup menukarkannya dengan kalimah syahadat.

Penduduk yang menerima kipas itu merasa sangat senang. Terlebih setelah mereka mengetahui kipas
itu bukan sembarang kipas, akar yang dianyam bersama rotan itu ternyata berdaya penyembuh bagi
mereka yang terkena penyakit batuk dan demam. Dengan cara itu semakin banyak orang yang
berdatangan kepada Raden Rahmat. Pada saat demikianlah ia memperkenalkan keindahan agama Islam
sesuai tingkat pemahaman mereka.

Cara itu terus dilakukan sehingga rombongan memasuki desa kembang kuning. Pada saat itu kawasan
desa kembang kuning belum seluas sekarang ini. Disana sini masih banyak hutan dan digenangi air atau
rawa-rawa. Dengan karomahnya Raden Rahmat bersama rombongan membuka hutan dan mendirikan
tempat sembahyang sederhana atau langgar. Tempat sembahyang itu sekarang dirubah menjadi mesjid
yang cukup besar dan bagus dinamakan sesuai dengan nama Raden Rahmat yaitu Mesjid Rahmat
Kembang Kuning.

Ditempat itu pula Raden Rahmat bertemu dan berkenalan dengan dua tokoh masyarakat yaitu Ki Wiryo
Sarojo dan Ki Bang Kuning. Kedua tokoh masyarakat itu bersama keluarganya masuk Islam dan menjadi
pengikut Raden Rahmat.

Dengan adanya kedua tokoh masyarakat itu maka semakin mudah bagi Raden Rahmat untuk
mengadakan pendekatan kepada masyarakat sekitarnya. Terutama kepada masyarakat yang masih
memegang teguh adat kepercayaan lama. Beliau tidak langsung melarang mereka, melainkan
memberikan pengertian sedikit demi sedikit tentang pentingnya ajaran ketauhidan. Jika mereka sudah
mengenal tauhid atau keimanan kepada Tuhan Pencipta Alam, maka secara otomatis mereka akan
meninggalkan sendiri kepecayaan lama yang bertentangan dengan ajaran Islam.

Setelah sampai ditempat tujuan, pertama kali yang dilakukannya adalah membangun mesjid sebagai
pusat kegiatan ibadah. Ini meneladani apa yang dilakukan Nabi Muhammad SAW saat pertama kali
sampai di Madinah.

Dan karena menetap di desa Ampeldenta, menjadi penguasa daerah tersebut maka kemudian beliau
dikenal sebagai Sunan Ampel. Sunan berasal dari kata Susuhunan yang artinya yang dijunjung tinggi atau
panutan masyarakat setempat. Ada juga yang mengatakan Sunan berasal dari kata Suhu Nan artinya
Guru Besar atau orang yang berilmu tinggi.

Selanjutnya beliau mendirikan pesantren tempat mendidik putra bangsawan dan pangeran Majapahit
serta siapa saja yang mau datang berguru kepada beliau.

4. Ajarannya yang terkenal

Hasil didikan mereka yang terkenal adalah falsafah Moh Limo atau tidak mau melakukan lima hal tercela
yaitu :

1. Moh Main atau tidak mau berjudi

2. Moh Ngombe atau tidak mau minum arak atau bermabuk-mabukan

3. Moh Maling atau tidak mau mencuri

4. Moh Madat atau tidak mau mengisap candu, ganja dan lain-lain.
5. Moh Madon atau tidak mau berzinah/main perempuan yang bukan isterinya.

Prabu Brawijaya sangat senang atas hasil didikan Raden Rahmat. Raja menganggap agama Islam itu
adalah ajaran budi pekerti yang mulia, maka ketika Raden Rahmat kemudian mengumumkan ajarannya
adalah agama Islam maka Prabu Brawijaya tidak marah, hanya saja ketika dia diajak untuk memeluk
agama Islam ia tidak mau. Ia ingin menjadi raja Budha yang terakhir di Majapahit.

Raden Rahmat diperbolehkan menyiarkan agama Islam di wilayah Surabaya bahkan diseluruh wilayah
Majapahit, dengan catatan bahwa rakyat tidak boleh dipaksa, Raden Rahmat pun memberi penjelasan
bahwa tidak ada paksaan dalam beragama.

5. Sesepuh Wali Songo

Setelah Syekh Maulana Malik Ibrahim wafat, maka Sunan Ampel diangkat sebagai sesepuh Wali Songo,
sebagai Mufti atau pemimpin agama Islam se-Tanah Jawa. Beberapa murid dan putera Sunan Ampel
sendiri menjadi anggota Wali Songo, mereka adalah Sunan Giri, Sunan Bonang, Sunan Drajad, Sunan
Kalijaga, Sunan Muria, Sunan Kota atau Raden Patah, Sunan Kudus dan Sunan Gunung Jati.

Raden Patah atau Sunan Kota memang pernah menjadi anggota Wali Songo menggantikan kedudukan
salah seorang wali yang meninggal dunia. Dengan diangkatnya Sunan Ampel sebagai sesepuh maka para
wali lain tunduk patuh kepada kata-katanya. Termasuk fatwa beliau dalam memutuskan peperangan
dengan pihak Majapahit.

Para wali yang lebih muda menginginkan agar tahta Majapahit direbut dalam tempo secepat-cepatnya.
Tetapi Sunan Ampel berpendapat bahwa masalah tahta Majapahit tidak perlu diserang secara langsung,
karena kerajaan besar itu sesungguhnya sudah keropos dari dalam, tak usah diserang oleh Demak
Bintoro sebenarnya Majapahit akan segera runtuh. Para wali yang lebih muda menganggap Sunan
Ampel terlalu lamban dalam memberikan nasehat kepada Raden Patah.

“Mengapa Ramanda berpendapat demikian?” tanya Raden Patah yang juga adalah menantunya sendiri.
“Krena aku tidak ingin di kemudian hari ada orang menuduh Raja Demak Bintoro yang masih putera Raja
Majapahit Prabu Kertabumi telah berlaku durhaka, yaitu berani menyerang ayahandanya sendiri”.
Jawab Sunan Ampel dengan tenang.

“Lalu apa yang harus saya lakukan?”


“Kau harus sabar menunggu sembari menyusun kekuatan”, ujar Sunan Ampel. “Tak lama lagi Majapahit
akan runtuh dari dalam, diserang Adipati lain. Pada saat itulah kau berhak merebut hak warismu selaku
putera Prabu Kertabumi”.

“Majapahit diserang adipati lain? Apakah saya tidak berkwajiban membelanya?”

“Inilah ketentuan Tuhan”,sahut Sunan Ampel. Waktu kejadiannya masih dirahasiakan. Aku sendiri tidak
tahu persis kapankah persitiwa itu akan berlangsung. Yang jelas bukan kau adipati yang menyerang
Majapahit itu. Sunan Ampel adalah penasehat Politik Demak Bintoro sekaligus merangkap Pemimpin
Wali Songo atau Mufti Agama se-Tanah Jawa. Maka fatwa nya dipatuhi semua orang.

Kekhawatiran Sunan Ampel pun terbukti. Dikemudian hari ternyata orang-orang pembenci Islam
memutar balikkan fakta sejarah, mereka menuliskan bahwa Majapahit jatuh diserang oleh kerajaan
Demak Bintoro yang rajanya adalah putera raja Majaphit sendiri. Dengan demikian Raden Patah
dianggap sebagai anak durhaka. Ini dapat anda lihat didalam serat darmo gandul maupun sejarah yang
ditulis sarjana kristen pembenci Islam.

Raden Patah dan para wali lainnya akhirnya tunduk patuh pada fatwa Sunan Ampel. Tibalah saatnya
Sunan Ampel Wafat pada tahun 1478 M. Sunan Kalijaga diangkat sebagai penasehat bagian politik
Demak, Sunan Giri diangkat sebagai pengganti Sunan Ampel sebagai Mufti, pemimpin para wali dan
pemimpn agama se-Tanah Jawa.setelah Sunan Giri diangkat sebagai Mufti sikapnya terhadap Majapahit
sekarang berubah. Ia mneyetujui aliran tuban untuk memberi fatwa kepada Raden Patah agar
menyerang Majapahit.

Mengapa Sunan Giri bersikap demikian?

Karena pada tahun 1478 kerjaan Majapahit diserang oleh Prabu Rana Wijaya atau Girindrawardhana
dari kadipaten kediri atau keling. Dengan demikian sudah tepatlah jika Sunan Giri meneyetujui
penyerangan Demak atas Majapahit. Sebab pewaris sah tahta kerajaan Majapahit adalah Raden Patah
selaku putera Raja Majapahit yang terakhir.

Demak kemudian bersiap-siap menyusun kekuatan. Namun belum lagi serangan dilancarkan. Prabu
Wijaya keburu tewas diserang oleh Prabu Udara pada tahun 1498.
Pada tahun 1512, Prabu Udara selaku Raja Majapahit merasa terancam kedudukannya karena melihat
kedudukan Demak yang didukung Giri Kedaton semakin kuat dan mapan. Prabu udara kuatir jika terjadi
peperangan akan menderita kekalahan, maka dia minta bekerjasama dan minta bantuan Portugis di
Malaka. Padahal putera mahkota Demak yaitu Pati Unus pada tahun1511 telah menyerang Protugis.

Sejarah telah mencatat bahwa Prabu Udara telah mengirim utusan ke Malaka untu menemui Alfinso
d’Albuquerque untuk menyerahkan hadiah berupa 20 genta (ggamelan), sepotong kain panjang
bernama “Beirami” tenunan kambayat, 13 batang lembing yang ujungnya berbesi dan sebagainya. Maka
tidak salah jika pada tahun 1517 Demak menyerang Prabu Udara yang merampas tahta majapahit secara
sah. Dengan demikian jatuhlah Majapahit ke tangan Demak. Seandainya Demak tidak segera menyerang
Majapahit tentunya bangsa Portugis akan menjajah Tanah Jawa jauh lebih cepat daripada Bangsa
Belanda. Setelah Majapahit jatuh pusaka kerajaan diboyong ke Demak Bintoro. Termasuk mahkota
rajanya. Raden Patah diangkat sebagai raja Demak yang pertama.

Sunan Ampel juga turut membantu mendirikan Mesjid Agung Demak yang didirikan pada tahun 1477 M.
Salah satu diantara empat tiang utama mesjid Demak hingga sekarang masih diberi nama sesuai dengan
yang membuatnya yaitu Sunan Ampel.

Beliau pula yang pertama kali menciptakan huruf pegon atau tulisan arab berbunyi bahasa Jawa. Dengan
huruf pegin ini beliau dapat menyampaikan ajaran-ajaran Islam kepada para muridnya. Hingga sekarang
huruf pegon tetap diapaki sebagai bahan pelajaran agama Islam dikalangan pesantren.

6. Penyelamat Aqidah

Sikap Sunan Ampel terhadap adat istiadat lama sangat hati-hati, hal ini didukung pleh Sunan Giri dan
Sunan Drajad. Seperti yang pernah tersebut dalam permusyawaratan para wali di mesjid Agung Demak.
Pada waktu itu Sunan Kalijaga Mengusulkan agar adat istiadat Jawa seperti selamatan, bersaji, kesenian
wayang dan gamelan dimasuki rasa keislaman. Mendengar pendapat Sunan Kalijaga tersebut
bertanyalah Sunan Ampel. “Apakah tidak mengkhawatirkan dikemudian hari bahwa adat istiadat dan
upacara lama itu nanti dianggap sebagai ajaran yang berasal dari agama Islam, jika hal ini dibiarkan
nantinya akan menjadi bid’ah?”

Dalam musyawarah itu Sunan Kudus menjawab pertanyaan Sunan Ampel, “Saya setuju dengan
pendapat Sunan Kalijaga, bahwa adat istiadat lama yang masih bisa diarahkan kepada ajaran Tauhid kita
akan memberinya warna Islami. Sedang adat dan kepercayaan lama yang jelas-jelas menjurus kearah
kemusyrikan kita tinggal sama sekali. Sebagai misal, gamelan dan wayang kulit kita bisa memberinya
warna Islam sesuai dengan selera masyarakat. Adapun tentang kekhawatiran kanjeng Sunan Ampel,
saya mempunyai keyakinan bahwa dibelakang hari akan ada orang yang menyempurnakannya.
Adanya dua pendapat yang seakan bertentangan tersebut sebenarnya mengandung hikmah. Pendapat
Sunan Kalijaga dan Sunan Kudus ada benarnya yaitu agar agama Islam cepat diterima oleh orang jawa,
dan hal ini terbukti, dikarekan dua wali tersebut pandai mengawinkan adat istiadat lama yang dapat
ditolerir Islam maka penduduk jawa banyak yang berbondong-bondong masuk agama Islam.

Sebaliknya, adanya pendapat Sunan Ampel yang menginginkan Islam harus disiarkan dengan murni dan
konsekuen juga mengandung hikmah kebenaran yang hakiki, sehingga membuat umat semakin berhati-
hati menjalankan syariat agama secara benar dan bersih dari segala macam bid’ah. Inilah jasa Sunan
Ampel yang sangat besar, dengan peringatan inilah beliau telah menyelamatkan aqidah umat agar tidak
tergelincir kelembah kemusyrikan.

Sunan Ampel wafat pada tahun 1478 M, beliau dimakamkan di sebelah Barat Mesjid Ampel.

7. Murid-murid Sunan Ampel

Sebagaimana disebutkan dimuka murid-murid Sunan Ampel itu banyak sekali, baik dari kalangan
bangsawan dan para pangeran Majapahit maupun dari kalangan rakyat jelata. Bahkan beberapa anggota
Wali Songo adalah murid-murid beliau sendiri.

Kali ini kita tampilkan kisah dua orang murid Sunan Ampel yang makamnya tak jauh dari lokasi Sunan
Ampel dimakamkan yaitu :

Kisah Mbah Soleh

Mbah Soleh adalah salah satu dari sekian banyak murid Sunan Ampel yang mempunyai karomah atau
keistimewaan luar biasa.

Adalah sebuah keajaiban yang tak ada duanya, ada seorang manusia dikubur hingga sembilan kali. Ini
bukan cerita buatan melainkan ada buktinya. Disebelah timur mesjid Agung Sunan Ampel ada sembilan
kuburan. Itu bukan kuburan sembilan orang tapi hanya kuburan satu orang yaitu murid Sunan Ampel
yang bernama Mbah Soleh.
Kisahnya demikian, Mbah Soleh adalah seorang tukang sapu mesjid Ampel dimasa hidupnya Sunan
Ampel. Apabila menyapu lantai sangatlah bersih sekali sehingga orang yang sujud di mesjid tanpa
sajadah tidak merasa ada debunya.

Ketika Mbah Soleh wafat beliau dikubur didepan mesjid. Ternyata tidak ada santri yang sanggup
mengerjakan pekerjaan Mbah Soleh yaitu menyapu lantai mesjid dengan bersih sekali. Maka sejak
ditinggal Mbah Soleh mesjid itu lantainya menjadi kotor. Kemudian terucaplah kata-kata Sunan Ampel,
bila Mbah Soleh masih hidup tentulah mesjid ini menjadi bersih.

Mendadak Mbah Soleh ada dipengimaman mesjid sedang menyapu lantai. Seluruh lantaipun sekarang
menjadi bersih lagi. Orang-orang pada terheran melihat Mbah Soleh hidup lagi.

Beberapa bulan kemudian Mbah Soleh wafat lagi dan dikubur disamping kuburannya yang dulu. Mesjid
menjadi kotor lagi, lalu terucaplah kata-kata Sunan Ampel seperti dulu. Mbah Soleh pun hidup lagi. Hal
ini berlangsung beberapa kali sehingga kuburannya ada delapan. Pada saat kuburan Mbah Soleh ada
delapan Sunan Ampel meninggalkan dunia. Beberapa bulan kemudian Mbah Soleh meninggal dunia
sehingga kuburan Mbah Soleh ada sembilan. Kuburan yang terakhir berada di ujung sebelah timur.

Kisah Mbah Sonhaji

Mbah Sonhaji sering disebut Mbah Bolong. Apa pasalnya? Ini bukan gelar kosong atau sekedar olok-
olokan. Beliau adalah salah seorang murid Sunan Ampel yang mempunyai karomah luar biasa.

Kisahnya demikian, pada waktu pembangunan mesjid Agung Ampel Mbah Sonhaji lah yang ditugasi
mengatur tata letak pengimamannya. Mbah Sonhaji bekerja dengan tekun dan penuh perhitungan,
jangan sampai letak pengimaman mesjid tidak menghadap arah kiblat. Tapi setelah pembangunan
pengimaman itu jadi banyak orang yang meragukan keakuratannya.

Apa betul letak pengimaman mesjid ini sudah menghadap ke kiblat? Demikian tanya orang meragukan
pekerjaan Mbah Sonhaji.

Mbah Sonhaji tidak menjawab, melainkan melubangi dinding pengimaman sebelah barat lalu berkata,
lihatlah kedalam lubang ini, kalian akan tahu apakah pengimaman ini sudah menghadap kiblat atau
belum?.
Orang-orang itu segera melihat kedalam lubang yang dibuat oleh Mbah Sonhaji. Ternyata didalam
lubang itu mereka dapat melihat Ka’bah yang berada di Mekah. Orang-orang ada melongo, terkejut,
kagum dan akhirnya tak berani meremehkan Mbah Sonhaji lagi. Dan sejak itu mereka bersikap hormat
kepada Mbah Sonhaji dan mereka memberinya julukan Mbah Bolong.
Blog Kisah-kisah Wali Songo

gan aman dalam suatu negara.

Demikianlah sekilas tentang Syekh Maulana Malik Ibrahim, seorang waliyullah yang dianggap sebagai
ayah dari Wali Songo. Beliau wafat di Gresik pada tahun 882 H atau 1419 M.

Blog Kisah-kisah Wali Songo

SUNAN GIRI

Kisah-kisah Wali Songo

SUNAN GIRI

1. SYEKH MAULANA ISHAK

Di awal abad 14 M, kerajaan Blambangan diperintah oleh Prabu Mena Sembuyu, salah seorang
keturunan Prabu Hayam Wuruk dari kerajaan Majapahit. Raja dan rakyatnya memeluk agam Hindu dan
sebagian ada yang memeluk agama Budha.
Pada suatu hari Parbu Menak Sembuyu gelisah, demikian pula permaisurinya pasalnya puteri mereka
satu-satunya jatuh selama beberapa bulan. Sudah diusahakan mendatangkan tabib dan dukun untuk
mengobati tapi sang puteri belum sembuh juga.

Memang pada waktu itu kerajaan Blambangan sedang dilanda wabah penyakit. Banyak sudah korban
berjatuhan. Menurut gambaran babad tanah jawa esok sakit sorenya mati. Seluruh penduduk sangat
prihatin, berduka dan hampir semua kegiatan sehari-hari menjadi macet total.

Atas saran permaisuri Prabu Menak Sembuyu mengadakan sayembara, siapa yang dapat
menyembuhkan puterinya akan diambil menantu dan siapa yang dapat mengusir wabah penyakit di
Blambangan akan diangkat sebagai Bupati atau Raja Muda. Sayembara disebar hampir keseluruh
pelosok negeri. Tapi sudah berbulan-bulan tidak juga ada yang dapat memenangkan sayembara
tersebut.

Permaisuri makin sedih hatinya, prabu Menak Sembuyu berusaha menghibur isterinya dengan
menugaskan Patih Baju Sengara untuk mencari pertapa sakti guna mengobati penyakit puterinya.

Diiringi beberapa prajurit pilihan, Patih Baju Sengara berangkat melaksanakan tugasnya. Para pertapa
biasanya tinggal dipuncak lereng-lereng gunung, maka kesanalah tujuan Patih Bajul Sengara.

Patih Bajul Sengara akhirnya bertemu dengan Resi Kandabaya yang mengetahui adanya tokoh sakti dari
negeri seberang. Orang yang dimaksud adalah Syekh Maulana Ishak yang sedang berdakwah secara
sembunyi-sembunyi dinegeri Blambangan.

Patih Bajul Sengara bertemu dengan Syekh Maulana Ishak yang sedang bertafakkur disebuah goa. Syekh
Maulana Ishak mau mengobati puteri Prabu Menak Sembuyu dengan syarat Prabu mau masuk atau
memeluk agama Islam. Syekh Maulana Ishak memang piawai dibidang ilmu kedokteran, puteri Dewi
Sekar Dadu sembuh sekali diobati. Wabah penyakit juga lenyap dari wilayah Blambangan. Sesuai janji
Raja maka Syekh Maulana Ishak dikawinkan dengan Dewi Sekardadu. Kemudian diberi kedudukan
sebagai Adipati untuk menguasai sebagian wilayah Blambangan.

2. Hasutan Sang Patih

Tujuh bulan sudah Syekh Maulana Ishak menjadi adipati baru di Blambangan, makin hari semakin
bertambah banyak penduduk Blambangan yang memeluk agama Islam. Sementara Patih Bajul Sengara
tak henti-hentinya mempengaruhi sang prabu dengan hasutan-hasutan jahatnya. Hati Prabu Menak
Sembuyu jadi panas mengetahui hal ini.
Patih Bajul Sengara sendiri sepengetahuan sang Prabu sudah mengadakan teroe pada pengikut Syekh
Maulana Ishak. Tidak sedikit penduduk Kadipaten yang dipimpin Syekh Maulana Ishak diculik, disiksa
dan dipaksa kembali pada agama lama.

Pada saat itu Dewi Sekardadu sedang hamil tujuh bulan, Syekh Maulana Ishak sadar bila diteruskan akan
terjadi pertumpahan darah yang seharusnya tidak perlu. Kasihan rakyat jelata yang harus menanggung
akibatnya. Maka dia segera pamit kepada isterinya untuk meninggalkan Blambangan.

Akhirnya, pada tengah malam dengan hati yang berat karena harus meninggalkan isteri tercinta yang
hamil tujuh bulan, Syekh Maulana Ishak berangkat meninggalkan Blambangan seorang diri. Esok harinya
sepasukan besar prajurit Blambangan yang dipimpin Patih Bajul Sengara menerobos masuk wilayah
Kadipaten yang sudah ditinggalkan Syekh Maulana Ishak.

Dua bulan kemudian dari rahim Sekardadu lahir bayi laki-laki yang elok rupanya. Sesungguhnya Prabu
Menak Sembuyu dan permaisurinya merasa senagn dan bahagia melihat kehadiran cucunya yang
montok dan rupawan itu. Bayi itu lain daripada yag lain, wajahnya mengeluarkan cahaya terang.

Lain halnya dengan Patih Bajul Sengara, dibiarkannya bayi itu mendapat limpahan kasih sayang
keluarganya selama empat puluh hari. Sesudah itu dia menghasut Prabu Menak Sembuyu. Kebetulan
pada saat itu wabah penyakit berjangkit kembali di Blambangan, maka Patih baju Sengara berulah lagi..

Bayi itu! Benar Gusti Prabu! Cepat atau lambat bayi itu akan menjadi bencan dikemudian hari. Wabah
penyakit inipun menurut dukun-dukun terkenal diBlambangan ini disebabkan adanya hawa panas yang
memancar dari jiwa bayi itu! Kilah patih Bajul Sengara dengan alasan yang dibuat-buat.

Sang Prabu tidak cepat mengambil keputusan, dikarenakan dalam hatinya dia terlanjur menyukai
kehadiran cucunya itu. Namun sang Patih tiada bosan-bosannya menteror dengan hasutan dan tuduhan
keji yang akhirnya sang Prabu terpengaruh juga.

Walau demikian tiada tega juga dia memerintahkan pembunuhan atas cucunya itu secara langsung. Bayi
yang masih berusia empat puluh hari dimasukkan kedalam peti dan diperintahkan untuk dibuang ke
samudera.

3. Joko Samudra
Pada suatu malam ada sebuah perahu dagang dari Gresik melintasi selat Bali. Ketika perahu itu berada
ditengah-tengah selat Bali tiba-tiba terjadi keanehan, perahu itu tidak dapat bergerak, maju tak bisa
mundurpun tak bisa.

Nahkota memerintahkan awak kapal untuk memeriksa sebab-sebab kemacetan ini, meungkinkah
perahunya membentur karang. Setelah diperiksa ternyata perahu itu hanya menabrak sebuah peti
berukir indah, seperti peti milik kaum bangsawan yang digunakan menyimpan barang berharga.
Nahkoda memerintahkan mengambil peti itu. Semua orang terkejut karena didalamnya terdapat
seorang bayi mungil yang bertubuh montok dan rupawan. Nahkoda merasa gembira menyelamatkan
jiwa si bayi mungil itu, tapi juga mengutuk orang yang tidak berprikemanusiaan.

Nahkoda kemudian memerintahkan awak kapal untuk melanjutkan pelayaran ke pulau Bali. Tapi perahu
tidak dapat bergerak maju. Ketika perahu diputar dan digerakkan kearah Gresik ternyata perahu itu
melaju dengan cepatnya.

Dihadapan Nyai Ageng Pinatih janda kaya raya pemilik Kapal Nahkoda berkata sambil membuka peti itu.
Peti inilah yang menyebabkan kami kembali ke Gresik dalam waktu secepat ini. Kami tak dapat
meneruskan pelayaran ke Pulau Bali, kata sang nahkoda.

Bayi…? Bayi siapa ini ? gumam Nyai Ageng Pinatih sembari mengangkat bayi itu dari dalam peti.

Kami menemukannya di tengah samudera selat Bali, jawab nahkoda kapal.

Bayi ini kemudian mereka serahkan kepada Nyai Ageng Pinatih untuk diambil sebagai anak angkat.
Memang sudah lama dia menginginkan seorang anak. Karena bayi ini ditemukan di tengah
smudera maka Nyai Ageng Pinatih kemudian memberinya nama Joko Samudra.

Ketika berumur 11 tahun, Nyai Ageng Pinatih mengantarkan Joko Samudra untuk berguru kepada Raden
Rahmat atau Sunan Ampel di Surabaya. Menurut beberapa sumber mula pertama Joko Samudra setiap
hari pergi ke Surabaya dan sorenya kembali ke Gresik. Sunan Ampel kemudian menyarankan agar anak
itu mondok saja dipesantren Ampeldenta supaya lebih konsentrasi dalam mempelajari agama Islam.
Pada suatu malam, seperti biasanya Raden Rahmat hendak mengambil air wudhu guna melaksanakan
sholat Tahajjud, mendoakan muridnya dan mendoakan umat agar selamat di dunia dan di akhirat.
Sebelum berwudhu Raden Rahmat menyempatkan diri melihat-lihat para santri yang tidur di asrama.

Tiba-tiba Raden Rahmat terkejut. Ada sinar terang memancar dari salah seorang santrinya. Selama
beberpa saat beliau tertegun, sinar terang itu menyilaukan mata. Untuk mengetahui siapakah murid
yang wajahnya bersinar itu maka Sunan ampel memberi ikatan pada sarung murid itu.

Esok harinya, sesudah sholat subuh Sunan Ampel memanggil murid-muridnya itu.

Siapakah diantara kalian yang waktu bangun tidur kain sarungnya ada ikatan? Tanya Sunan Ampel.

Saya Kanjeng Sunan…..ujar Joko Samudra.

Melihat yang mengacungkan tangan adalah Joko Samudra, Sunan Ampel makin yakin bahwa anak itu
pastilah bukan anak sembarangan. Kebetulan pada saat itu Nyai Ageng Pinatih datang untuk menengok
Joko Samudra, kesempatan itu digunakan Sunan Ampel untuk bertanya lebih jauh tentang asal-usul Joko
Samudra.

Nyai Ageng Pinatih menjawab sejujur-jujurnya. Bahwa Joko Samudra ditemukan ditengah selat Bali
ketika masih bayi. Peti yang digunakan untuk membuang bayi itu hingga sekarang masih tersimpan rapi
dirumah Nyai Ageng Pinatih.

Teringat pada pesan Syekh Maulana Ishak sebelum berangkat ke negeri Pasai maka Sunan Ampel
kemudian mengusulkan Nyai Ageng Pinatih agar nama anak itu diganti menjadi Raden Paku. Nyai Ageng
Pinatih menurut saja apa kata Sunan Ampel, dia percaya penuh kepada wali besar yang dihormati
masyarakat bahkan juga masih terhitung seorang Pangeran Majapahit itu.

4. Raden Paku

Sewaktu mondok dipesantren Ampeldenta, Raden Paku sangat akrab bersahabat dengan putera Raden
Rahmat yang bernama Raden Makdum Ibrahim. Keduanya bagai saudara kandung saja, saling
menyayangi dan saling mengingatkan.
Setelah berusia 16 tahu, kedua pemuda itu dianjurkan untuk menimba ilmu pengetahuan yang lebih
tinggi di negeri seberang sambil meluaskan pengetahuan.

Di negeri Pasai banyak orang pandai dari berbagai negeri. Disana juga ada ulama besar yang bergelar
Syekh Awwallul Islam. Dialah ayah kandung yang nama aslinya adalah Syekh Maulana Ishak. Pergilah
kesana tuntutlah ilmunya yang tinggi dan teladanilah kesabarannya dalam mengasuh para santri dan
berjuang menyebarkan agama Islam. Hal itu akan berguna kelak bagi kehidupanmu di masa yang akan
datang.

Pesan itu dilaksanakan oleh Raden Paku dan Raden Makdum Ibrahim. Dan begitu sampai di negeri Pasai
keduanya disambut gembira, penuh rasa haru dan bahagia oleh Syekh Maulana Ishak ayah kandung
Raden Paku yang tak pernah melihat anaknya sejak bayi.

Raden Paku menceritakan riwayat hidupnya sejak masih kecil ditemukan ditengah samudera dan
kemudian diambil anak angkat oleh Nyai Ageng Pinatih dan berguru pada Sunan Ampel di Surabaya.

Sebaliknya Syekh Maulana Ishak kemudian menceritakan pengalamannya di saat berdakwah di


Blambangan sehingga dipaksa harus meninggalkan isteri yang sangat dicintainya.

Raden Paku menangis sesegukan mendengar kisah itu. Bukan menangis kemalangan dirinya yang disia-
siakan kakeknya yaitu Prabu Menak Sembuyu tetapi memikirkan nasib ibunya yang tak diketahui lagi
tempatnya berada. Apakah ibunya masih hidup atau sudah meninggal dunia.

Di negeri Pasai banyak ulama besar dari negeri asing yang menetap dan membuka pelajaran agama
Islam kepada penduduk setempat, hal ini tidak disia-siakan oleh Raden Paku dan Maulana Makdum
Ibrahim. Kedua pemuda itu belajar agama dengan tekun, baik kepada Syekh Maulana Ishak sendiri
maupun kepada guru-guru agama lainnya.

Ada yang beranggapan bahwa Raden Paku dikaruniai Ilmu Laduni yaitu ilmu yang langsung berasal dari
Tuhan, sehingga kecerdasan otaknya seolah tiada bandingnya. Disamping belajar ilmu Tauhid mereka
juga mempelajari ilmu Tasawuf dari ulama Iran, Bagdad dan Gujarat yang banyak menetap di negeri
Pasai.

Ilmu yang dipelajari itu berpengaruh dan menjiwai kehidupan Raden Paku dalam perilakunya sehari-hari
sehingga kentara benar bila ia mempunyai ilmu tingkat tinggi, ilmu yang sebenarnya hanya dimiliki
ulama yang berusia lanjut dan berpengalaman. Gurunya kemudian memberinya gelar Syekh Maulana
Ainul Yaqin.

Setelah tiga tahun berada di pusat Pasai. Dan masa belajarnya itu sudah dianggap cukup oleh Syekh
Maulana Ishak, kedua pemuda itu diperintahkan kembali ke tanah jawa. Oleh ayahnya, Raden Paku
diberi sebuah bungkusan kain putih berisi tanah.

Kelak, bila tiba masanya dirikanlah pesantren di Gresik, carilah tanah yang sama betul dengan tanah
dalam bungkusan ini disitulah kau membangun pesantren, demikianlah pesan anahnya.

Kedua pemuda itu kemudian kembali ke Surabaya. Melaporkan segala pengalamannya kepada Sunan
Ampel. Sunan Ampel memerintahkan Makdum Ibrahim berdakwah di Tuban, sedangkan Raden Paku
diperintah pulang ke Gresik kembali ke ibu angkatnya yaitu Nyai Ageng Pinatih.

5. Membersihkan Diri

Pada usia 23 tahun, Raden Paku diperintah oleh ibunya untuk mengawal barang dagangan ke pulau
Banjar atau Kalimantan. Tugas ini diterimanya dengan senang hati. Nahkoda kapal diserahkan kepada
pelaut kawakan yaitu Abu Hurairah. Walau pucuk pimpinan berada di tangan Abu Hurairah tapi Nyai
Ageng Pinatih memberi kuasa pula kepada Raden Paku untuk ikut memasarkan dagangan di Pulau
Banjar.

Tiga buah kapal berangkat meninggalkan pelabuhan Gresik dengan penuh muatan. Biasanya, sesudah
dagangan itu habis terjual di Pulau Banjar maka Abu Hurairah diperintah membawa barang dagangan
dari pulau Banjar yang sekiranya laku di pulau Jawa, seperti rotan, damar, emas dan lain-lain. Dengan
demikian keuntungan yang diperoleh menjadi berlipat ganda, tapi kali tidak, sesudah kapal merapat
dipelabuhan Banjar, Raden paku membagi-bagikan barang dagangannya dari Gresik itu secara gratis
kepada penduduk setempat.

Tentu saja hal ini membuat Abu Hurairah menjadi cemas. Dia segera memprotes tindakan Raden Paku,
Raden….kita pasti akan mendapat murka Nyai Ageng Pinatih. Mengapa barang dagangan kita diberikan
secara cuma-cuma?

Jangan kuatir paman, kada Raden Paku. Tindakan saya ini sudah tepat. Penduduk Banjar saat ini sedang
dilanda musibah. Mereka dilanda kekeringan dan kurang pangan. Sedangkan ibu sudah terlalu banyak
mengambil keuntungan dari mereka, sudahkah ibu memberikan hartanya dengan membayar zakat
kepada mereka? Saya kira belum, nah sekaranglah saatnya ibu mengeluarkan zakat untuk
membersihkan diri.

Itu diluar wewenang saya Raden, kata Abu Hurairah. Jika kita tidak memperoleh uang lalu dengan apa
kita mengisi perahu supaya tidak oleng dihantam gelombang dan badai?

Raden Paku terdiam beberapa saat. Dia sudah maklum bila dagangan habis biasanya Abu Hurairah akan
mengisi kapal atau perahu dengan barang dagangan dari Kalimantan. Tapi sekarang tak ada uang
dengan apa dagangan pulau Banjar akan dibeli.

Paman tak usah risau, kata Raden Paku dengan tenangnya. Supaya kapal tidak oleng isilah karung-
karung kita dengan batu dan pasir.

Memang benar, mereka dapat berlayar hingga dipantai Gresik dalam keadaan selamat. Tapi hati Abu
Hurairah menjadi kebat-kebit sewaktu berjalan meninggalkan kapal untuk bertemu dengan Nyai Ageng
Pinatih.

Dugaan Abu Hurairah benar. Nyai Ageng Pinatih terbakar amarahnya demi mendengar perbuatan Raden
Paku yang dianggap tidak normal.

Sebaiknya ibu lihat dulu pinta Raden Paku.

Sudah, jangan banyak bicara. Buang saja pasir dan batu itu. Hanya mengotori karung-karung kita saja
hardik Nyai Ageng Pinatih.

Tapi ketika awak kapal membuka karung-karung itu mereka terkejut. Karung-karung itu isinya menjadi
barang-barang dagangan yang biasa mereka bawa dari banjar, seperti rotan, damar , kain dan emas
serta intan. Bila ditaksir harganya jauh lebih besar ketimbang dagangan yang disedekahkan kepada
penduduk Banjar.

6. Perkawinan Raden Paku


Al-kisah ada seorang bangsawan Majapahit bernama Ki Ageng Supa Bungkul ia mempunyai sebuah
pohon delima yang aneh didepan rumahnya. Setiap kali ada orang yang hendak mengambil buah delima
yang berbuah satu itu pasti mengalami nasib celaka, kalau tidak ditimpa penyakit berat tentulah orang
tersebut meninggal dunia. Suatu ketika Raden Paku tanpa sengaja lewat didepan pekarangan Ki Ageng
Supa Bungkul. Begitu ia berjalan dibawah pohon delima tiba-tiba pohon itu jatuh mengenai kepala
Raden Paku.

Ki Ageng Bungkul pun tiba-tiba muncul dan mencegat Raden Paku dan ia berkata, kau harus kawin
dengan puteriku Dewi Wardah.

Memang, Ki Ageng Bungkul telah mengadakan sayembara, siapa saja yang dapat memetik buah delima
itu dengan selamat maka ia akan dijodohkan dengan puterinya yang bernama Dewi Wardah. Raden Paku
bingung menghadapi hal itu. Maka peristiwa itu disampaikan kepada Sunan Ampel.

Tak usah bingung, Ki Ageng Bungku adalah serang muslim yang baik. Aku yakin Dewi Wardah juga
seorang muslimah yang baik. Karena hal itu menjadi niat Ki Ageng Bungkul kuharap kau tidak
mengecewakan niat baiknya itu. Demikian kata Sunan Ampel.

Tapi…….bukankah saya hendak menikah dengan puteri Kanjeng Sunan Yaitu dengan Dewi Murtasiah ujar
Raden Paku.

Tidak mengapa? Kata Sunan Ampel. Sesudah melangsungkan akad nikah dengan Dewi Murtasiha
selanjutnya kau akan melangsungkan perkawinan dengan Dewi Wardah.

Itulah liku-liku perjalan hidup Raden Paku. Dalam sehari ia menikah dua kali. Menjadi menantu Sunan
Ampel, kemudian menjadi menantu Ki Ageng Bungkuk seorang bangsawan Majapahit yang hingga
sekarang makamnya terawat baik di Surabaya.

Sesudah berumah tangga, Raden Paku makin giat berdagang dan berlayar antar pulau. Sambil
berlayar itu beliau menyiarkan agama Islam pada penduduk setempat sehingga namanya cukup
terkenal di kepulauan nusantara.

Lama-lama kegiatan dagang tersebut tidak memuaskan hatinya, ia ingin berkonsentrasi menyiarkan
agama Islam dengan mendirikan pondok pesantren. Ia pun minta izin kepada ibunya untuk
meninggalkan dunia perdagangan.
Nyai Ageng Pinatih yang kaya raya itu tidak keberatan, andaikata hartanya yang banyak itu dimakan
setiap hari dengan anak dan menantunya rasanya tiada akan habis, terlebih juragan Abu Hurairah orang
kepercayaan Nyai Ageng Pinatih menyatakan kesanggupannya untuk mengurus seluruh kegiatan
perdagangan miliknya, maka wanita itu ikhlas melepaskan Raden Paku yang hendak mendirikan
pesantren.

Mulailah Raden Paku bertafakkur digoa yang sunyi, 40 hari 40 malam beliau tidak keluar goa. Hanya
bermunajat kepada Allah. Tempat Raden Paku bertafakkur itu hingga sekarang masih ada yaitu desa
Kembangan dan Kebomas.

Usai bertafakkur teringatlah Raden Paku pada pesan ayahnya sewaktu belajar di negeri Pasai. Dia pun
berjalan berkeliling daerah yang tanahnya mirip dengan tanah yang dibawa dari negeri Pasai.

Melalui desa Margonoto, sampailah Raden Paku didaerah perbukitan yang hawanya sejuk, hatinya
terasa damai, ia pun mencocokkan tanah yang dibawanya dengan tanah ditempat itu. Ternyata cocok
sekali. Maka di desa Sidomukti itulah ia kemudian mendirikan pesantren. Karena tempat itu adalah
dataran tinggi atau gunung maka dinamakanlah Pesantren Giri. Giri dalam bahasa sansekerta artinya
gunung.

Atas dukkungan isteri-isteri dan ibunya juga dukungan spiritual dari Sunan ampel, tidak begitu lama
hanya dalam waktu tiga tahun pesantren Giri sudah terkenal ke seluruh nusantara.

Menurut Dr.H.J. De Graaf, sesudah pulang dari pengembaraannya atau berguru ke negeri Pasai, ia
memperkenalkan diri kepada dunia, kemudian berkedudukan diatas bukit di Gresik dan ia menjadi orang
pertama yang paling terkenal dari Sunan-sunan Giri yang ada. Diatas gunung tersebut seharusnya ada
istana karena dikalangan rakyat dibicarakan adanya Giri Kedatin (Kerajaan Giri). Murid-murid Sunan Giri
berdatangan dari segala penjuru, seperti Maluku, Madura, Lomnok, Makasar, Hitu dan Ternate.
Demikian menurut De Graaf.

Menurut babad tanah jawa murid-murid Sunan Giri itu justru bertebaran hampir diseluruh penjuru
benua besar, seperti Eropa (Rum), Arab, Mesir, Cina dan lain-lain. Semua itu adalah penggambaran
nama Sunan Giri sebagai ulama besar yang sangat dihormati orang pada jamannya. Disamping
pesantrennya yang besar ia juga membangun mesjid sebagai pusat ibadah dan pembentukan iman
umatnya. Untuk para santri yang datang dari jauh beliau juga membangun asrama yang luas.
Disekitar bukti tersebut sebenarnya dahulu jarang dihuni oleh penduduk dikarenakan sulitnya
mendapatkan air. Tetapi dengan adanya Sunan Giri masalah air itu dapat diatasi. Cara Sunan Giri
membuat sumur atau sumber air itu sangat aneh dan gaib hanya beliau seorang yang mampu
melakukannya.

7. Peresmian Mesjid Demak

Dalam peresmian mesjid Demak Sunan Kalijaga mengusulkan agar dibuka dengan pertunjukkan wayang
kulit yang pada waktu itu bentuknya masih wayang beber yaitu gambar manusia yang dibeber pada
sebuah kulit binatang.

Usul Sunan Kalijaga ditolak oleh Sunan Giri, karena wayang yang bergambar manusia haram hukumnya
dalam ajaran Islam, demikian menurut Sunan Giri.

Jika sunan Kalijaga mengusulkan peresmian mesjid Demak dengan membuka pagelaran wayang kulit,
kemudian diadakan dakwah dan rakyat berkumpul boleh masuk setelah mengucapkan syahadat, maka
Sunan Giri mengusulkan agar mesjid Demak diresmikan pada saat hari Jum’at sembari melaksanakan
Sholat jamaah Jum’at.

Sunan Kalijaga berjiwa besar kemudian mengadakan kompromi dengan Sunan Giri. Sebelum Sunan
Kalijaga telah merubah bentuk wayang kulit sehingga gambarannya tidak bisa disebut sebagai gambar
manusia lagi, lebih mirip karikatur seperti bentuk wayang yang ada sekarang ini.

Sunan Kalijaga membawa wayang kreasinya itu dihadapan Sidang para wali. Keran tidak bisa disebut
gambar manusia maka akhirnya Sunan Giri menyetujui wayang kulit itu digunakan sebagai media
dakwah.

Perubahan bentuk wayang kulit itu adalah dikarenakan sanggahan Sunan Giri. Karena itu Sunan Kalijaga
memberi tanda khusus pada momentum penting itu. Pemimpin para dewa dalam pewayangan oleh
Sunan Kalijaga dinamakan Sang Hyang Girinata yang arti sebenarnya adalah sunan Giri yang menata.

Maka perdebatan tentang peresmian mesjid Demak bisa diatasi. Peresmian itu akan diawali
dengan sholat jum’at kemudian diteruskan dengan pertunjukkan wayang kulit yang dimainkan oleh ki
dalang Sunan Kalijaga.
8. Jasa-jasa Sunan Giri

Jasa yang terbesar tentu saja perjuangannya dalam menyebarkan agama Islam di tanah jaw bahkan ke
nusantara.

Beliau pernah menjadi hakim dalam perkara pengadilan Syekh Siti Jenar, seorang wali yang dianggap
murtad karena menyebarkan faham Pantheisme dan meremehkan syariat Islam yang disebarkan para
wali lainnya. Dengan demikian sunan Giri ikut menghambat tersebarnya aliran yang bertentangan
dengan faham Ahlussunnah wal jama’ah.

Keteguhannya dalam menyiarkan agama Islam secara murni dan konsekuen membawa dampak positif
bagi generasi Islam berikutnya. Islam yang disiarkannya adalah Islam sesuai ajaran Nabi tanpa dicampuri
dengan adat istiadat lama.

Di dalam kesenian beliau juga berjasa besar, karena beliaulah yang pertama kali menciptakan
Asmaradana dan Pucung, beliau pula yang menciptakan tembang dan tembang dolanan anak-anak yang
bernafas Islam antara lain: jamuran, Cublak-ublak Suweng, Jithungan dan Delikan.

Sembari melakukan permainan yang disebut jelungan itu biasanya anak-anak akan menyanyikan lagu
Padhang Bulan :

“Padhang-padhang bulan, ayo gage dha dolanan,

Dolanane na ing latar,

Ngalap padhang gilar-gilar,

Nundhung begog hangetikar.”

(malam terang bulan, marilah lekas bermain, bermain dihalaman, mengambil dihalaman, mengambil
manfaat benderangnya rembulan, mengusir gelap yang lari terbirit-birit)

Maksud dari lagu dolanan padhang bulan ;

Agama Islam telah datang, maka marilah kita segera menuntut penghidupan, dimuka bumi ini, untuk
mengambil manfaat dari agama Islam, agar hilang lenyaplah kebodohan dan kesesatan.
9. Para Pengganti Sunan Giri

Sunan Giri atau Raden Paku lahir pada tahun 1412 M, memerintah kerajaan Giri kurang lebih 20 tahun.
Sewaktu memerintah Giri Kedaton beliau bergelar Prabu Satmata.

Pengaruh Sunan giri sangatlah besar terhadap kerajaan Islam di jawa maupun di luar jawa. Sebagi
buktinya adalah adanya kebiasaan bahwa apabila seorang hendak dinobatkan menjadi raja haruslah
mendapat pengesahan dari Sunan Giri.

Giri Kedaton atau Kerajaan Giri berlangsung selama 200 tahun. Sesudah Sunan Giri meninggal dunia
beliau digantikan anak keturunannya yaitu:

1. Sunan Dalem

2. Sunan Sedomargi

3. Sunan Giri Prapen

4. Sunan Kawis Guwa

5. Panembahan Ageng Giri

6. Panembahan Mas Witana Sideng Rana

7. Pangeran Singonegoro (bukan keturunan Sunan Giri

8. Pengeran Singosari

Pangeran Singosari ini berjuang gigih mempertahankan diri dari serbuan Sunan Amangkurat II yang
dibantu oleh VOC dan Kapten Jonker.

Sesudah pangeran Singosari wafat pada tahun 1679, habislah kekuasaan Giri Kedaton. Meski demikian
kharisma Sunan Giri sebagai ulama besar wali terkemuka tetap abadi sepanjang masa.

SUNAN BONANG
Kisah-kisah Wali Songo

SUNAN BONANG

1. Asal usul Sunan Bonang

Dari berbagai sumber disebutkan bahwa Sunan Bonang itu nama aslinya adalah Syekh Maulana Makdum
Ibrahim. Putera Sunan Ampel dan Dewi Condrowati yang sering disebut Nyai Ageng Manila.

Ada yang mengatakan Dewi Condrowati itu adalah puteri Prabu Kertabumi. Dengan demikian Raden
Makdum adalah seorang Pangeran Majapahit karena ibunya adalah puteri Raja Majapahit dan ayahnya
menantu Raja Majapahit.

Sebagai seorang wali yang disegani dan dianggap Mufti atau pemimpin agama se tanah jawa, tentu saja
Sunan Ampel mempunyai ilmu yang sangat tinggi. Sejak kecil Raden Makdum Ibrahim sudah diberi
pelajaran agama Islam secara tekun dan disiplin.

Sudah bukan rahasia bahwa latihan atau riadha para wali itu lebih berat daripada orang awam. Raden
Makdum Ibrahim adalah calon wali yang besar, maka Sunan Ampel sejak dini juga mempersiapkan
sebaik mungkin.

Disebutkan dari berbagai literatur bahwa Raden Makdum Ibrahim dan Raden Paku sewaktu masih
remaja meneruskan pelajaran agama Islam ke tanah seberang yaitu negeri Pasai. Keduanya menambah
pengetahuan kepada Syekh Awwalul Islam atau ayah kandung dari Sunan Giri, juga belajar kepada para
ulama besar yang banyak menetap di Negeri Pasai. Seperti ulama tasawuf yang berasal dari bagdad,
Mesin, Arab dan Parsi atau Iran.
Sesudah belajar di negeri Pasai Raden Makdum Ibrahim dan Raden Paku pulang ke jawa. Raden paku
kembali ke Gresik, mendirikan pesantren di Giri sehingga terkenal sebagai Sunan Giri.

Raden Makdum Ibrahim diperintahkan Sunan Ampel untuk berdakwah di daerah Lasem, Rembang,
Tuban dan daerah Sempadan Surabaya.

2. Bijak dalam Berdakwah

Dalam berdakwah Raden Makdum Ibrahim ini sering mempergunakan kesenian rakyat untuk menarik
simpati mereka, yaitu berupa seperangkat gamelan yang disebut Bonang. Bonang adalah sejenis
kuningan yang ditonjolkan dibagian tengahnya. Bila benjolan itu dipukul dengan kayu lunak timbulah
suara yang merdu di telinga penduduk setempat.

Lebih-lebih bila Raden Makdum Ibrahim sendiri yang membunyikan alat musik itu, beliau adalah seorang
wali yang mempunyai cita rasa seni yang tinggi, sehingga apabila beliau bunyikan pengaruhnya sangat
hebat bagi pendengarnya.

Setiap Raden Makdum Ibrahim membunyikan Bonang pasti banyak penduduk yang datang ingin
mendengarnya. Dan tidak sedikit dari mereka yang ingin belajar membunyikan Bonang sekaligus
melagukan tembang-tembang ciptaan Raden Makdum Ibrahim. Begitulah siasat Raden Makdum Ibrahim
yang dijalankan penuh kesabaran. Setelah rakyat berhasil direbut simpatinya tinggal mengisikan saja
ajaran agama Islam kepada mereka.

Tembang-tembang yang diajarkan Raden Makdum Ibrahim adalah tembang yang berisikan ajaran
agama Islam. Sehingga tanpa terasa penduduk sudah mempelajari agama Islam dengan senang hati,
bukan dengan paksaan.

Murid-murid Raden Makdum Ibrahim ini sangat banyak, baik yang berada di Tuban, Pulau Bawean,
Jepara, Surabaya maupun Madura. Karena beliau sering mempergunakan Bonang dalam berdakwah
maka masyarakat memberinya gelar Sunan Bonang.

3. Karya Satra
Beliau juga menciptakan karya sastra yang disebut Suluk. Hingga sekarang karya sastra Sunan Bonang itu
dianggap sebagai karya sastra yang sangat hebat, penuh keindahan dan makna kehidupan beragama.
Suluk Sunan Bonang disimpan rapi di perpustakaan Universitas Leiden, Belanda.

Suluk berasal dari bahasa Arab “Salakattariiqa” artinya menempuh jalan (tasawuf) atau tarikat. Ilmunya
sering disebut Ilmu Suluk. Ajaran yang biasanya disampaikan dengan sekar atau tembang disebut Suluk,
sedangkan bila diungkapkan secara biasa dalam bentuk prosa disebut wirid.

4. Kuburnya ada dua

Sunan Bonang sering berdakwah keliling hingga usia lanjut. Beliau meninggal dunia pada saat
berdakwah di Pulau Bawean.

Berita segera disebarkan ke seluruh tanah jawa. Para murid berdatangan dari segala penjuru untuk
berduka cita dan memberikan penghormatan yang terakhir.

Murid-murid yang berada di Pulau Bawean hendak memakamkan beliau di Pulau Bawean. Tetapi murid
yang berasal dari Madura dan Surabaya menginginkan jenasah beliau dimakamkan di dekat ayahnya
yaitu Sunan Ampel di Surabaya. Dalam hal memberikan kain kafan pembungkus jenasah mereka pun tak
mau kalah. Jenasah yang sudah dibungkus dengan kain kafan milik orang bawean masih ditambah lagi
dengan kain kafan dari Surabaya.

Pada malam harinya, orang-orang Madura dan Surabaya menggunakan ilmu sirep untuk membikin
ngantuk orang-orang Bawean dan Tuban. Lalu mengangkut jenasah Sunan Bonang kedalam kapal dan
hendak dibawa ke Surabaya. Karena tindakannya tergesa-gesa kain kafan jenasah tertinggal satu.

Kapal layar segera bergerak ke arah Surabaya, tetapi ketika berada diperairan Tuban tiba-tiba kapal yang
dipergunakan tidak bisa bergerak akhirnya jenasah Sunan Bonang dimakamkan di Tuban yaitu sebelah
barat Mesjid Jami’ Tuban.

Sementara kain kafannya yang ditinggal di Bawean ternyata juga ada jenasahnya. Orang-orang Bawean
pun menguburkannya dengan penuh khidmat.
Dengan demikian ada dua jenasah Sunan Bonang, inilah karomah atau kelebihan yang diberikan Allah
kepada beliau. Dengan demikian tak ada permusuhan diantara murid-muridnya.

Sunan Bonang wafat pada tahun 1525 M. Makam yang dianggap asli adalah yang berada dikota Tuban
sehingga sampai sekarang makam itu banyak yang diziarahi orang darisegala penjuru tanah air.

SUNAN BONANG

Kisah-kisah Wali Songo

SUNAN BONANG

1. Asal usul Sunan Bonang

Dari berbagai sumber disebutkan bahwa Sunan Bonang itu nama aslinya adalah Syekh Maulana Makdum
Ibrahim. Putera Sunan Ampel dan Dewi Condrowati yang sering disebut Nyai Ageng Manila.

Ada yang mengatakan Dewi Condrowati itu adalah puteri Prabu Kertabumi. Dengan demikian Raden
Makdum adalah seorang Pangeran Majapahit karena ibunya adalah puteri Raja Majapahit dan ayahnya
menantu Raja Majapahit.
Sebagai seorang wali yang disegani dan dianggap Mufti atau pemimpin agama se tanah jawa, tentu saja
Sunan Ampel mempunyai ilmu yang sangat tinggi. Sejak kecil Raden Makdum Ibrahim sudah diberi
pelajaran agama Islam secara tekun dan disiplin.

Sudah bukan rahasia bahwa latihan atau riadha para wali itu lebih berat daripada orang awam. Raden
Makdum Ibrahim adalah calon wali yang besar, maka Sunan Ampel sejak dini juga mempersiapkan
sebaik mungkin.

Disebutkan dari berbagai literatur bahwa Raden Makdum Ibrahim dan Raden Paku sewaktu masih
remaja meneruskan pelajaran agama Islam ke tanah seberang yaitu negeri Pasai. Keduanya menambah
pengetahuan kepada Syekh Awwalul Islam atau ayah kandung dari Sunan Giri, juga belajar kepada para
ulama besar yang banyak menetap di Negeri Pasai. Seperti ulama tasawuf yang berasal dari bagdad,
Mesin, Arab dan Parsi atau Iran.

Sesudah belajar di negeri Pasai Raden Makdum Ibrahim dan Raden Paku pulang ke jawa. Raden paku
kembali ke Gresik, mendirikan pesantren di Giri sehingga terkenal sebagai Sunan Giri.

Raden Makdum Ibrahim diperintahkan Sunan Ampel untuk berdakwah di daerah Lasem, Rembang,
Tuban dan daerah Sempadan Surabaya.

2. Bijak dalam Berdakwah

Dalam berdakwah Raden Makdum Ibrahim ini sering mempergunakan kesenian rakyat untuk menarik
simpati mereka, yaitu berupa seperangkat gamelan yang disebut Bonang. Bonang adalah sejenis
kuningan yang ditonjolkan dibagian tengahnya. Bila benjolan itu dipukul dengan kayu lunak timbulah
suara yang merdu di telinga penduduk setempat.

Lebih-lebih bila Raden Makdum Ibrahim sendiri yang membunyikan alat musik itu, beliau adalah seorang
wali yang mempunyai cita rasa seni yang tinggi, sehingga apabila beliau bunyikan pengaruhnya sangat
hebat bagi pendengarnya.

Setiap Raden Makdum Ibrahim membunyikan Bonang pasti banyak penduduk yang datang ingin
mendengarnya. Dan tidak sedikit dari mereka yang ingin belajar membunyikan Bonang sekaligus
melagukan tembang-tembang ciptaan Raden Makdum Ibrahim. Begitulah siasat Raden Makdum Ibrahim
yang dijalankan penuh kesabaran. Setelah rakyat berhasil direbut simpatinya tinggal mengisikan saja
ajaran agama Islam kepada mereka.
Tembang-tembang yang diajarkan Raden Makdum Ibrahim adalah tembang yang berisikan ajaran
agama Islam. Sehingga tanpa terasa penduduk sudah mempelajari agama Islam dengan senang hati,
bukan dengan paksaan.

Murid-murid Raden Makdum Ibrahim ini sangat banyak, baik yang berada di Tuban, Pulau Bawean,
Jepara, Surabaya maupun Madura. Karena beliau sering mempergunakan Bonang dalam berdakwah
maka masyarakat memberinya gelar Sunan Bonang.

3. Karya Satra

Beliau juga menciptakan karya sastra yang disebut Suluk. Hingga sekarang karya sastra Sunan Bonang itu
dianggap sebagai karya sastra yang sangat hebat, penuh keindahan dan makna kehidupan beragama.
Suluk Sunan Bonang disimpan rapi di perpustakaan Universitas Leiden, Belanda.

Suluk berasal dari bahasa Arab “Salakattariiqa” artinya menempuh jalan (tasawuf) atau tarikat. Ilmunya
sering disebut Ilmu Suluk. Ajaran yang biasanya disampaikan dengan sekar atau tembang disebut Suluk,
sedangkan bila diungkapkan secara biasa dalam bentuk prosa disebut wirid.

4. Kuburnya ada dua

Sunan Bonang sering berdakwah keliling hingga usia lanjut. Beliau meninggal dunia pada saat
berdakwah di Pulau Bawean.

Berita segera disebarkan ke seluruh tanah jawa. Para murid berdatangan dari segala penjuru untuk
berduka cita dan memberikan penghormatan yang terakhir.

Murid-murid yang berada di Pulau Bawean hendak memakamkan beliau di Pulau Bawean. Tetapi murid
yang berasal dari Madura dan Surabaya menginginkan jenasah beliau dimakamkan di dekat ayahnya
yaitu Sunan Ampel di Surabaya. Dalam hal memberikan kain kafan pembungkus jenasah mereka pun tak
mau kalah. Jenasah yang sudah dibungkus dengan kain kafan milik orang bawean masih ditambah lagi
dengan kain kafan dari Surabaya.
Pada malam harinya, orang-orang Madura dan Surabaya menggunakan ilmu sirep untuk membikin
ngantuk orang-orang Bawean dan Tuban. Lalu mengangkut jenasah Sunan Bonang kedalam kapal dan
hendak dibawa ke Surabaya. Karena tindakannya tergesa-gesa kain kafan jenasah tertinggal satu.

Kapal layar segera bergerak ke arah Surabaya, tetapi ketika berada diperairan Tuban tiba-tiba kapal yang
dipergunakan tidak bisa bergerak akhirnya jenasah Sunan Bonang dimakamkan di Tuban yaitu sebelah
barat Mesjid Jami’ Tuban.

Sementara kain kafannya yang ditinggal di Bawean ternyata juga ada jenasahnya. Orang-orang Bawean
pun menguburkannya dengan penuh khidmat.

Dengan demikian ada dua jenasah Sunan Bonang, inilah karomah atau kelebihan yang diberikan Allah
kepada beliau. Dengan demikian tak ada permusuhan diantara murid-muridnya.

Sunan Bonang wafat pada tahun 1525 M. Makam yang dianggap asli adalah yang berada dikota Tuban
sehingga sampai sekarang makam itu banyak yang diziarahi orang darisegala penjuru tanah air.

SUNAN KUDUS

Kisah-kisah Wali Songo

SUNAN KUDUS

1. Asal Usul

Menurut salah satu sumber, Sunan Kudus adalah putera Raden Usman haji yang bergelar Sunan
Ngudung dari Jipang Panolan. Ada yang mengatakan letak Jipang Panolan ini disebelah utara kota Blora.
Di dalam babad tanah jawa, disebutkan bahwa Sunan Ngudung pernah memimpin pasukan Majapahit.
Sunan ngudung selaku senopati Demak berhadapan dengan Raden Husain atau Adipati Terung dari
Majapahit. Dalam pertempuran yang sengit dan saling mengeluarkan aji kesaktian itu Sunan Ngudung
gugur sebagai pahlawan sahid. Kedudukannya sebagai senopati Demak kemudian digantikan
oleh sunan Kudus yang puteranya sendiri yang bernama asli Ja’far Sodiq.
Pasukan Demak hampir saja menderita kekalahan, namun berkat siasat Sunan Kalijaga, dan bantuan
pusaka Raden Patah yang dibawa dari Palembang kedudukan Demak dan Majapahit akhinya berimbang.

Selanjutnya melalui jalan diplomasi yang dilakukan Patih Wanasalam dan Sunan Kalijaga, peperangan itu
dapat dihentikan. Adipati Terung yang memimpin laskar Majapahit diajak damai dan bergabung dengan
Raden Patah yang ternyata adalah kakaknya sendiri. Kini keadaan berbalik. Adipati Terung dan
pengikutnya bergabung dengan tentara Demak dan menggempur tentara Majapahit hingga ke belahan
timur. Pada akhirnya perang itu dimenangkan oleh pasukan Demak.

2. Guru-gurunya

Disamping belajar agama kepada ayahnya sendiri, Ja’far Sodiq juga belajar kepada beberapa ulama
terkenal. Diantaranya kepada Kiai Telingsing, Ki Ageng Ngerang dan Sunan Ampel.

Nama asil Kiai Telingsing ini adalah Ling Sing, beliau adalah seorang ulama dari negeri cina yang datang
ke pulau jawa bersama laksamana jenderal Cheng Hoo. Sebagaimana disebutkan dalam sejarah, jenderal
Cheng Hoo yang beragama Islam itu datang ke pulau jawa untuk mengadakan tali persahabatan dan
menyebarkan agama Islam melalui perdagangan.

Di jawa, the Ling Sing cukup dipanggil dengan sebutan Telingsing, beliau tinggal di sebuah daerah subur
yang terletak diantara sungai Tanggulangin dan sungai Juwana sebelah Timur. Disana beliau bukan
hanya mengajarkan Islam, melainkan juga mengajarkan kepada penduduk seni ukir yang indah.

Banyak yang datang berguru seni kepada Kiai Telingsing, termasuk Ja’far Sodiq itu sendiri. Dengan
belajar kepada ulama yang berasal dari cina itu, Raden Ja’far Sodiq mewarisi bagian dari sifat positif
masyarakat cina yaitu ketekunan dan kedisiplinan dalam mengejar atau mencapai cita-cita. Hal ini
berpengaruh besar bagi kehidupan dakwah Ja’far Sodiq dimasa akan datang yaitu tatkala menghadapi
masyarakat yang kebanyakan masih beragama Hindu dan Budha.

Selanjutnya, Raden Ja’far Sodiq juga berguru kepada Sunan Ampel di Surabaya selama beberapa tahun.

3. Cara Berdakwah yang Luwes

A. Strategi Pendekatan kepada Massa

Sunan Kudus termasuk pendukung gagasan, Sunan Kalijaga dan Sunan Bonang yang menerapkan
strategi dakwah kepada masyarakat sebagai berikut :

1. Membiarkan dulu adat istiadat dan kepercayaan lama yang sukar dirubah. Mereka sepakat untuk tidak
mempergunakan jalan kekerasan atau radikal menghadapi masyarakat yang demikian.

2. Bagian adat yang tidak sesuai dengan ajaran Islam tetapi mudah dirubah maka segera dihilangkan.

3. Tut Wuri Handayani, artinya mengikuti dari belakang terhadap kelakuan dan adat rakyat tetapi
diusahakan untuk dapat mempengaruhi sedikit demi sedikit dan menerapkan prinsip Tut Wuri
Hangiseni, artinya mengikuti dari belakang sambil mengisi ajaran agama Islam.

4. Menghindarkan konfrontasi secara langsung atau secara keras didalam cara menyiarkan agama Islam.
Dengan prinsip mengambil ikan tetapi tidak mengeruhkan airnya.

5. Pada akhirnya boleh saja merubah adat dan kepercayaan masyarakat yang tidak sesuai dengan ajaran
Islam tetapi dengan prinsip tidak menghalau masyarakat dari umat Islam. Kalangan umat Islam yang
sudah tebal imannya harus berusaha menarik simpati masyarakat non muslim agar mau mendekat dan
tertarik dengan ajaran Islam. Hal itu tak bisa mereka lakukan kecuali dengan konsekuen. Sebab dengan
melaksanakan ajaran Islam secara lengkap otomatis tingkah laku dan gerak-gerik mereka sudah
merupakan dakwah nyata yang dapat memikat masyarakat non-muslim.

Strategi dakwah ini diterapkan oleh Sunan Kalijaga, Sunan Bonang, Sunan Muria, Sunan Kudus dan
Sunan Gunung Jati. Karena siasat mereka dalam berdakwah tak sama dengan garis yang ditetapkan oleh
Sunan Ampel maka mereka disebut kaum Abangan atau Aliran Tuban. Sedang pendapat Sunan Ampel
yang didukung Sunan Giri dan Sunan Drajad disebut Kaum Putihan atau Aliran Giri.

Namun atas inisiatif Sunan Kalijaga, kedua pendapat yang berbeda itu pada akhinya dapat
dikompromikan.
B. Merangkul Masyarakat Hindu

Di Kudus pada waktu itu penduduknya masih banyak yang beragama Hindu dan Budha. Untuk mengajak
mereka masuk Islam tentu bukannya pekerjaan mudah. Terlebih mereka yang masih memeluk
kepercayaan lama dan memegang teguh adat-istiadat lama, jumlahnya tidak sedikit. Di dalam
masyarakat seperti itulah Ja’far Sodiq harus berjuang menegakkan agama.

Pada suatu hari Sunan Kudus atau Ja’far Sodiq membeli seekor sapi (dalam riwayat lain disebut Kebo
Gumarang). Sapi tersebut berasal dari Hindia, dibawa para pedagang asing dari kapal besar.

Sapi itu ditambatkan dihalaman rumah Sunan Kudus.

Rakyat Kudus yang kebanyakan beragama Hindu itu tergerak hatinya, ingin tahu apa yang akan
dilakukan Sunan Kudus terhadap sapi itu. Sapi dalam pandangan Hindu adalah hewan suci yang menjadi
kendaraan para dewa. Menyembelih sapi adalah perbuatan dosa yang dikutuk para dewa. Lalu apa yang
dilakukan Sunan Kudus?

Apakah Sunan Kudus hendak menyembelih sapi dihadapan rakyat yang kebanyakan justru memujanya
dan menganggap binatang keramat. Itu berarti Sunan Kudus melukai hati rakyatnya sendiri.

Dalam tempo singkat halaman rumah Sunan Kudus dibanjiri rakyat, baik yang beragama Islam maupun
Budha. Setelah jumlah penduduk yang datang bertambah banyak, Sunan Kudus keluar dari dalam
rumahnya.

Sedulur-sedulur yang saya hormati, segenap sanak kadang yang saya cintai, Sunan Kudus membuka
suara. Saya melarang saudara-saudara menyakiti apalagi menyembelih sapi. Sebab diwaktu saya masih
kecil, saya pernah mengalami saat yang berbahaya, hampir mati kehausan lalu seekor sapi datang
menyusui saya.

Mendengar cerita tersebut para pemeluk agama Hindu terkagum-kagum. Mereka menyangka Ja’far
Sodiq itu adalah titisan dewa Wisnu, maka mereka bersedia mendengarkan ceramahnya. Demi rasa
hormat saya kepada jenis hewn yang pernah menolong saya, maka dengan ini saya melarang penduduk
Kudus menyakiti atau menyembelih sapi.
Kontan para penduduk terpesona atas kisah itu.

Sunan kudus melanjutkan, salah satu diantara surat-surat Al-Qur’an yaitu surat yang kedua dinamakan
Surat Sapi atau dalam bahasa Arabnya Al-Baqarah, kata Sunan Kudus.

Masyarakat semakin tertarik. Kok ada sapi di dalam Al-Qur’an mereka menjadi ingin tahu lebih banyak
dan untuk itulah mereka harus sering-sering datang mendengarkan keterangan Sunan Kudus.

Demikianlah, sesudah simpati itu berhasil diraih akan lapanglah jalan untuk mengajak
masyarakat berduyun-duyun masuk agama Islam.

Bentuk mesjid yang dibuat Sunan Kudus pun tak jauh bedanya dengan candi-candi milik orang Hindu.
Lihatlah menara Kudus yang antik itu, yang hingga sekarang dikagumi orang di seluruh dunia karena
keanehannya. Dengan bentuknya yang mirip candi itu orang-orang Hindu merasa akrab dan tidak takut
atau segan masuk ke dalam mesjid guna mendengarkan ceramah Sunan Kudus.

C. Merangkul Masyarakat Budha

Sesudah berhasil menarik umat Hindu kedalam agama Islam hanya karena sikap toleransi yang tinggi,
yaitu menghormati sapi yang dikeramatkan umat Hindu dan membangun menara mesjid mirip dengan
candi Hindu. Kini Sunan Kudus bermaksud menjaring umat Budha. Caranya? Memang tidak mudah,
harus kreatif dan tidak bersifat memaksa.

Sesudah mesjid berdiri, Sunan Kudus membuat padasan atau tempat wudhu dengan pancuran yang
berjumlah delapan. Masing-masing pancuran diberi arca kepala kebo gumarang diatasnya. Hal ini
disesuaikan dengan ajaran Budha, “Jalan berlipat delapan” atau Sanghika Marga” yaitu :

1. Harus memiliki pengetahuan yang benar

2. Mengambil keputusan yang benar

3. Berkata yang benar

4. Hidup dengan cara yang benar


5. Bekerja dengan benar

6. Beribadah dengan benar

7. Dan menghayati agama dengan benar.

Usahanya pun membuahkan hasil, banyak umat Budha yang penasaran, untuk itu Sunan Kudus
memasang lambang wasiat Budha itu di padasan atau tempat berwudhu, sehingga mereka berdatangan
ke mesjid untuk mendengarkan keterangan Sunan Kudus.

D. Selamatan Mitoni

Didalam cerita tutur disebutkan bahwa Sunan Kudus itu pada suatu ketika gagal mengumpulkan rakyat
yang masih berpegang teguh pada adat istiadat lama.

Seperti diketahui, rakyat jawa banyak melakukan adat istiadat yang aneh, yang kadang kala
bertentangan dengan ajaran Islam, misalnnya berkirim sesaji dikuburan untuk menunjukkan bela
sungkawa atau berduka cita atas meninggalnya salah seorang anggota keluarga, selamatan neloni.
Mitoni dan lain-lain. Sunan Kudus sangat memperhatikan upacara-upacara ritual tersebut dan berusaha
sebaik-baiknya untuk merubah atau mengarahkannya dalam bentuk Islami. Hal ini dilakukan juga oleh
Sunan Kalijaga dan Sunan Muria.

Contohnya, bila seorang isteri orang jawa hamil tiga bulan maka akan dilakukan acara selamatan yang
disebut mitoni sembari minta kepada dewa bahwa bilaanaknya lahir supaya tampan seperti Arjuna, jika
anaknya perempuan supaya cantik seperti Dewi Ratih.

Adat tersebut tidak ditentang secara keras oleh Sunan Kudus. Melainkan diarahkan dalam bentuk
Islami. Acara selataman boleh terus dilakukan tapi niatnya bukan sekedar kirim sesaji kepada para dewa,
melainkan bersedekah kepada penduduk setempat dan sesaji yang dihidangkan boleh dibawa pulang.
Sedangkan permintaannya langsung kepada Allah dengan harapan anaknya lahir laki-laki akan berwajah
seperti nabi Yusuf, dan bila perempuan seperti Siti Maryam ibunda Nabi Isa. Untuk itu sang ayah dan ibu
harus sering membaca surat Yusuf dan surat Maryam dalam Al-Qur’an.

Sebelum acara selamatan dilaksanakan diadakanlah pembacaan Layang Ambiya atau sejarah para Nabi.
Biasanya yang dibaca adalah bab Nabi Yusuf. Hingga sekarang acara pembacaan Layang Ambiya yang
berbentuk tembang Asmarandana, Pucung dll itu masih hidup di kalangan masyarakat pedesaan.
Berbeda dengan cara lama, pihak tuan rumah membuat sesaji dari berbagai jenis makanan, kemudian
diikrarkan (hajatkan dihajatan) oleh sang dukun atau tetua masyarakat setelah upacara sakral itu
dilakukan sesajinya tidak boleh dimakan melainkan diletakkan di candi, di kuburan atau tempat-tempat
sunyi dilingkungan tuan rumah.

Ketika pertama kali melaksanakan gagasannya, Sunan Kudus pernah gagal, yaitu beliau mengundang
seluruh masyarakat. Baik yang Islam maupun yang Hindu dan Budha ke dalam mesjid. Dalam undangan
disebutkan hajat Sunan Kudus yang hendak Mitoni dan bersedekah atas hamilnya sang isteri yang telah
tiga bulan.

Sebelum masuk mesjid, rakyat harus membasuh kaki dan tangannya dikolam yang sudah disediakan.
Dikarenakan harus membasuh tangan dan kaki inilah banyak rakyat yang tidak mau, terutama
dikalangan Hindu dan Budha. Inilah kesalahan Sunan Kudus. Beliau terlalu mementingkan pengenalan
syariat berwudhu kepada masyarakat, tapi akibatnya masyarakat malah menjauh. Apa sebabnya?
Karena iman mereka atau tauhid mereka belum terbina.

Maka pada kesempatan lain, Sunan Kudus mengundang masyarakat lagi. Kali ini tidak usah membasuh
tangan dan kakinya waktu masuk mesjid, hasilnya sungguh luar biasa. Masyarakat berbondong-bondong
memenuhi undangannya, disaat inilah Sunan Kudus menyisipkan bab keimanan dalam agama Islam
secara halus dan menyenangkan rakyat. Caranya menyampaikan materi cukup cerdik, ketika rakyat
tengah memusatkan perhatiannya pada keterangan sunan Kudus tetapi karena waktu sudah terlalu
lama, dan dikuatirkan mereka jenuh Sunan Kudus mengakhiri ceramahnya.

Cara tersebut kadang mengecewakan, tapi disitulah letak segi positipnya, rakyat ingin tahu kelanjutan
ceramahnya. Dan pada kesempatan lain mereka datang lagi ke mesjid, baik dengan undangan maupun
tidak, karena ingin tahu itu demikian besar mereka tak peduli lagi pada syarat yang diajukan Sunan
Kudus yaitu membasuh kaki dan tangannya lebih dahulu, yang lama-lama menjadi kebiasaan untuk
berwudhu.

Dengan demikian Sunan Kudus berhasil menebus kesalahannya dimasa lalu. Rakyat menaruh
simpati dan menghormatinya. Cara-cara yang ditempuh untuk mengislamkan masyarakat cukup
banyak. Baik secara langsung melalui ceramah agama maupun adau kesaktian dan melalui kesenian,
beliaulah yang pertama kali menciptakan tembang Mijil dan Maskumambang. Didalam tembang-
tembang tersebut beliau sisipkan ajaran-ajaran agama Islam.

Sunan Kudus di Negeri Mekkah


Didalam legenda dikisahkan bahwa Raden Ja’far Sodiq itu suka mengembara, baik ke tanah Hindustan
maupun ke tanah Suci Mekkah.

Sewaktu berada di Mekkah beliau menunaikan ibadah haji. Dan kebetulan disana ada wabah penyakit
yang sukar diatasi. Penguasa negeri arab mengadakan sayembara, siapa yang berhasil melenyapkan
wabah penyakit itu akan diberi hadiah harta benda yang cukup besar jumlahnya.

Sudah banyak orang mencoba tapi tidak pernah berhasil. Pada suatu hari Sunan Kudus atau Ja’far Sodiq
menghadap penguasa negeri itu tapi kedatangannya disambutnya dengan sinis.

Dengan apa tuan akan melenyapkan wabah penyakit itu? Tanya sang Amir.

Dengan doa jawab Ja’far Sodiq singkat.

Kalau hanya doa kami sudah puluhan kali melakukannya, di tanah arab ini banyak ulama dan syekh-
syekh ternama. Tapi mereka tak pernah berhasil mengusir wabah penyakit ini.

Saya mengerti memang tanah arab ini gudangnya para ulama. Tapi jangan lupa ada saja kekurangannya
sehingga doa mereka tidak terkabulkan, kata Ja’far Sodiq.

Hem, sungguh bernai tuan mengatakan demikian, kata amir itu dengan nada berang. Apa kekurangan
mereka?

Anda sendiri yang menyebabkannya, kata Ja’far Sodiq dengan tenangnya. Anda telah menjanjikan
hadiah yang menggelapkan mata hati mereka sehingga doa mereka tidak ikhlas. Mereka berdoa hanya
karena mengharapkan hadiah.

Sang Amir pun terbungkam seribu bahasa atas jawaban itu.

Ja’far Sodiq lalu dipersilahkan melaksanakan niatnya. Kesempatan itu tak disia-siakan. Secara khusus
Ja’far Sodiq berdoa dan membaca beberapa amalan. Dalam tempo singkat wabah penyakit mengganas
dinegeri arab telah menyingkir. Bahkan beberapa orang yang menderita sakit keras secara mendadak
langsung sembuh.
Bukan main senangnya hati sang Amir. Rasa kagum mulai menjalari hatinya. Hadiah yang dijanjikannya
bermaksud diberikan kepada Ja’far Sodiq.

Tapi Ja’far Sodiq menolaknya, dia hanya ingin minta sebuah batu yang berasal dari Baitul Maqdis. Sang
Amir mengijinkannya. Batu itu pun dibawa ke tanah jawa, dipasang di pengimaman mesjid Kudus yang
didirikannya sekembali dari tanah suci.

Rakyat kota Kudus pada waktu itu masih banyak yang beragama Hindu dan Budha. Para wali
mengadakan sidang untuk menentukan siapakah yang pantas berdakwah di kota itu. Pada akhirnya
Ja’far Sodiq yang bertugas didaerah itu. Karena mesjid yang dibangunnya dinamakan Kudus maka Raden
Ja’far Sodiq pada akhirnya disebut Sunan Kudus.

UNAN DRAJAD

Kisah-kisah Wali Songo

SUNAN DRAJAD

1. Asal Usul

Nama asli Sunan Drajad adalah Raden Qosim, beliau putera Sunan Ampel dengan Dewi Condrowati dan
merupakan adik dari Raden Makdum Ibrahim atau Sunan Bonang.

Raden Qosim yang sudah mewarisi ilmu dari ayahnya kemudian diperintah untuk berdakwah di sebelah
barat Gresik yaitu daerah kosong dari ulama besar antara Tuban dan Gresik.

Raden Qosim memulai perjalanannya dengan naik perahu dari Gresik sesudah singgah ditempat Sunan
Giri. Dalam perjalanan ke arah Barat itu perahu beliau tiba-tiba dihantam oleh ombak yang besar
sehingga menabrak karang dan hancur. Hampir saja Raden Qosim kehilangan jiwanya. Tapi bila Tuhan
belum menentukan ajal seseorang biar bagaimanapun hebatnya kecelakaan pasti dia akan selamat,
demikian pula halnya dengan Raden Qosim. Secara kebetulan seekor ikan besar yaitu ikan talang datang
kepada Raden Qosim dan beliau pun menaiki punggung ikan tersebut hingga selamat ke tepi pantai. .....
silahkan dilanjutkan bacanya

Raden Qosim sangat bersyukur dapat lolos dari musibah itu. Beliau juga berterima kasih kepada ikan
talang yang telah menolongnya sampai ke tepi pantai. Untuk itu beliau berpesan kepada anak keturunan
beliau untuk tidak memakan daging ikan talang. Bila pesan ini dilanggar akan mengakibatkan bencana,
yaitu ditimpa penyakit yang tiada obatnya lagi.

Ikan talang tersebut membawa Raden Qosim hingga ke tepi pantai yang termasuk wilayah desa Jelag
(sekarang termasuk desa Banjarwati), kecamatan Paciran. Di tempat itu Raden Qosim disambut
masyarakat dengan antusias, lebih-lebih setelah mereka tahu bahwa Raden Qosim adalah putera Sunan
Ampel seorang wali besar dan masih terhitung kerabat kerajaan Majapahit.

Di desa Jelag itu Raden Qosim mendirikan pesantren, karena caranya menyiarkan agama Islam yang unik
maka banyaklah orang yang datang berguru kepadanya. Setelah menetap satu tahun di desa Jelag,
Raden Qosim mendapat ilham supaya menuju ke arah selatan, kira-kira berjarak 1 km disana beliau
mendirikan langgar atau surau untuk berdakwah.

Tiga tahun kemudian secara mantap beliau mendapat petunjuk agar membangun tempat berdakwah
yang strategis yaitu ditempat ketinggian yang disebut Dalem Duwur. Di bukit yang disebut Dalem Duwur
itulah yang sekarang dibangun Museum Sunan Drajad, adapun makam Sunan Drajad terletak di sebelah
barat Museum tersebut.

Raden Qosim adalah pendukung aliran putih yang dipimpin oleh Sunan Giri. Artinya dalam berdakwah
menyebarkan agama Islam beliau menganut jalan lurus, jalan yang tidak berliku-liku. Agama harus
diamalkan dengan lurus dan benar sesuai ajaran Nabi. Tidak boleh dicampur dengan adat dan
kepercayaan lama.

Meski demikian beliau juga mempergunakan kesenian rakyat sebagai alat dakwah, didalam museum
yang terletak disebelah timur makamnya terdapat seperangkat bekas gamelan Jawa, hal itu
menunjukkan betapa tinggi penghargaan Sunan Drajad kepada kesenian Jawa.

Dalam catatan sejarah wali songo, Raden Qosim disebut sebagai seorang wali yang hidupnya paling
bersahaja, walau dalam urusan dunia beliau juga rajin mencari rezeki. Hal itu disebabkan sikap beliau
yang dermawan. Dikalangan rakyat jelata beliau bersifat lemah lembut dan sering menolong mereka
yang menderita.
2. Ajaran Sunan Drajad yang Terkenal

Ajaran Sunan Drajad bersumber dari :

1. Al-Quran

2. Sunnah

3. Ijma

4. Qiyas

5. Ajaran guru dan pendidik seperti Sunan Ampel

6. Ajaran dan pemikiran atau paham yang telah tersebar luas di masyarakat

7. Tradisi di masyarakat setempat yang telah ada yang sesuai dengan ajaran Islam, dan

8. Fatwa Sunan Drajad sendiri.

Diantara ajaran beliau yang terkenal adalah sebagai berikut:

Menehono teken marang wong wuto

Menehono mangan marang wong kan luwe

Menehono busono marang wong kang mudo

Menehono ngiyup marang wong kang kudanan

Artinya kurang lebih demikian :

Berilah tongkat kepada orang buta

Berilah makan kepada orang yang kelaparan

Berilah pakaian kepada orang yang telanjang

Berilah tempat berteduh kepada orang yang kehujanan


Adapun maksudnya adalah sebagai berikut: Berilah petunjuk kepada orang bodoh (buta) Sejahterkanlah
kehidupan rakyat yang miskin (kurang makan) Ajarkanlah budi pekerti (etika) kepada yang tidak tahu
malu atau belum punya adab tinggi. Berilah perlindungan kepada orang-orang yang menderita atau
ditimpa bencana. Ajaran ini sangat supel, siapapun dapat mengamalkannya sesuai dengan tingkat dan
kemampuan masing-masing. Bahkan pemeluk agama lainpun tidak berkeberatan untuk
mengamalkannya.

Tentang puncak ma’rifat Sunan Drajad menuliskan perumpaannya sebagai berikut :

“Ilang, jenenge kawula,

Sirna datang ana keri,

Pan ilangwujudira,

Tegese wujude widi,

Ilang wujude iki,

Aneggih perlambangira,

Lir lintang karahinan,

Keserodotan sang hyang rawi,

Artinya:

Hilang jati diri makhluk,

Lenyap tiada tersisa,

Karena hilang wujud keberadaannya

Itulah juga wujud Tuhan,

Itulah yang ada ini,

Adapun persamaannya,

Seperti bintang diwaktu siang

Yang tersinari matahari.


Disamping terkenal sebagai seorang wali yang berjiwa dermawan dan sosial, beliau jua dikenal sebagai
anggota wali songo yang turut serta mendukung dinasti Demak dan ikut pula mendirikan mesjid Demak.
Simbol kebesaran umat Islam pada waktu itu.

Dibidang kesenian, disamping terkenal sebagai ahli ukir beliau juga pertama kali yang menciptakan
Gending Pangkur, hingga sekarang gending tersebut masih disukai rakyat jawa. Sunan Drajad demikian
gelar Raden Qosim, diberikan kepada beliau karena beliau bertempat tinggal di sebuah bukit yang tinggi,
seakan melambangkan tingkat ilmunya yang tinggi, yaitu tingkat atau dejat para ulama muqarrobin.
Ulama yang dekat dengan Allah SWT.

SUNAN MURIA

Kisah-kisah Wali Songo

SUNAN MURIA

1. Asal Usul Sunan Muria

Beliau adalah putera Sunan Kalijaga dengan Dewi Saroh. Nama aslinya Raden
Umar Said. Seperti ayahnya, dalam berdakwah beliau menggunakan cara halus, ibarat mengambil ikan
tidak sampai mengeruhkan airnya. Itulah cara yang ditempuh untuk menyiarkan agama Islam di sekitar
Gunung Muria.

Tempat tinggal beliau di gunung Muria yang salah satu puncaknya bernama Colo. Letaknya disebelah
utara kota Kudus. Sasaran dakwah beliau adalah para pedagang, nelayan, pelaut dan rakyat jelata.
Beliau lah satu-satu wali yang tetap mempertahankan kesenian gamelan dan wayang sebagai alat
dakwah untuk menyampaikan Islam. Dan beliau pula yang menciptakan tembang Sinom dan Kinanti.

2. Sakti Mandraguna
Bahwa Sunan Muria itu adalah wali yang sakti, kuat fisiknya dapat dibuktikan dengan letak
padepokannya yang terletak di atas gunung. Menuju ke makam Sunan Muria pun perlu tenaga ekstra
karena berada diatas bukit yang tinggi.

Bayangkanlah, jika sunan Muria dan isterinya atau dengan muridnya setiap hari harus naik turun guna
menyebarkan agama Islam kepada penduduk setempat, atau berdakwah kepada para nelayan dan
pelaut serta para pedagang. Hal itu tidak dapat dilakukannya tanpa adanya fisik yang kuat. Soalnya
menunggang kuda tidak mungkin dapat dilakukan untuk mencapai tempat tinggal Sunan Muria. Harus
dengan jalan kaki. Itu berarti Sunan Muria memiliki kesaktian yang tinggi, demikian pula dengan murid-
muridnya.

Bukti bahwa Sunan Muria adalah guru yang sakti mandraguna dapat ditemukan dalam kisah
perkawinan dengan Dewi Roroyono. Dewi Roroyono adalah puteri Sunan Ngerang, yaitu seorang ulama
yang disegani masyarakat karena ketinggian ilmunya, tempat tinggalnya di Juana.

Demikian saktinya Sunan Ngerang ini sehingga Sunan Muria dan Sunan Kudus sampai-sampai berguru
kepada beliau.

Pada suatu hari Sunan Ngerang mengadakan syukuran atas usia Dewi Roroyono yang genap 20 tahun.
Murid-muridnya diundang semua. Seperti : Sunan Muria, Sunan Kudus, Adipati Pathak Warak, Kapa dan
Adiknya Gentiri. Tetangga dekat jua diundang, demikian pula snak kadang yang dari jauh.

Setelah tamu berkumpul Dewi Roroyono dan adiknya Dewi Roro Pujiwati keluar menghidangkan
makanan dan minuman. Keduanya adalah dara-dara yang cantik jelita. Terutama Dewi Roroyono yang
telah berusia 20 tahun, bagaikan bunga yang sedang mekar-mekarnya.

Bagi Sunan Kudus dan Sunan Muria yang sudah berbekal ilmu agama dapat menahan pandangan
matanya sehingga tidak terseret oleh godaan setan. Tapi seorang murid Sunan Ngerang yang lain yaitu
Adipati Pathak Warak memandang Dewi Roroyono dengan mata tidak berkedip melihat kecantikan gadis
itu.

Sewaktu menjadi cantrik atau murid Sunan Ngerang, yaitu ketika Pthak Warak belum menjadi seorang
Adipati, Roroyono masih kecil, belum nampak benar kecantikannya yang mempesona, sekarang gadis itu
benar-benar membuat Adipati Pathak Warak tergila-gila. Sepasang matanya hampir melotot
memandangi gadis itu terus menerus.
Karena dibakar api asmara yang menggelora, Pathak Warak tidak tahan lagi. Dia menggoda Roroyono
dengan ucapan-ucapan yang tidak pantas. Lebih-lebih setelah lelaki itu bertindak kurang ajar.

Tentu saja Roroyono merasa malu sekali, lebih-lebih ketiak lelaki itu berlaku kurang ajar dengan
memegangi bagian-bagian tubuhnya yang tak pantas disentuh. Si gadis naik pitam, nampan berisi
minuman yang dibawanya sengaja ditumpahkan ke pakaian sang adipati.

Pathak Warak menyumpah-nyumpah, hatinya marah sekali diperlakukan seperti itu. Apalagi dilihatnya
para tamu undangan menertawakan kekonyolan itu, diapun semakin malu. Hampir saja Roroyono
ditamparnya kalau tidak ingat bahwa gadis itu adalah puteri gurunya.

Roroyono masuk kedalam kamarnya, gadis itu menangis sejadi-jadinya karena dipermalukan oleh Pathak
Warak.

Malam hari tamu-tamu dari dekat sudah pulang ketempatnya masing-masing. Tamu dari jauh terpaksa
menginap di rumah Sunan Ngerang, termasuk Pathak Warak dan Sunan Muria. Namun hingga lewat
tengah malam Pathak Warak belum dapat memejamkan matanya.

Pathak Warak kemudian bangkit dari tidurnya. Mengendap-ngendap ke kamar Roroyono. Gadis itu
diserepnya sehingga tidak sadarkan diri, kemudian melalui genteng Pathak Warak masuk dan membawa
lari gadis itu melalui jendela. Dewi Roroyono dibaw alari ke Mandalika, wilayah Keling atau Kediri.

Setelah Sunan Ngerang mengetahui bahwa puterinya diculik oleh Pathak Warak, maka beliau berikrar
siapa saja yang berhasil membawa puterinya kembali ke ngerang akan dijodohkan dengan puterinya itu
dan bila perempuan akan dijadikan saudara Dewi Roroyono. Tak ada yang menyatakan kesanggupannya.
Karena semua orang telah maklum akan kehebatan dan kekejaman Pathak Warak. Hanya Sunan Muria
yang bersedia memnuhi harapan Sunan Ngerang.

Saya akan berusaha mengambil Diajeng Dewi Roroyono dari tangan Pathak Warak, kata Sunan Muria.

Tetapi ditengah perjalan Sunan Muria bertemu dengan Kapa dan Gentiri, adik seperguruan yang lebih
dulu pulang sebelum acara syukuran berakhir. Kedua orang itu merasa heran melihat Sunan Muria
berlari cepat menuju arah daerah Keling.
Mengapa kakang tampak tergesa-gesa? Tanya Kapa. Sunan Muria lalu menceritakan penculikan Dewi
Roroyono yang dilakukan oleh Pathak Warak.

Kapa dan Gentiri sangat menghormati Sunan Muria sebagai saudara seperguruan yang lebih tua.
Keduanya lantas menyatakan diri untuk membantu Sunan Muria merebut kembali Dewi Roroyono.

Kakang sebaiknya pulang ke Padepokan Gunung Muria. Murid-murid kakang sangat membutuhkan
bimbingan. Biarlah kami berusaha merebut diajeng Dewi Roroyono kembali. Kalau berhasil kakang tetap
berhak mengawininya, kami hanya sekedar membantu, kata kapa.

Aku masih sanggup untuk merebutnya sendiri, ujar Sunan Muria.

Itu benar, tapi membimbing orang memperdalam agama Islam lebih penting, percayalah pada kami.
Kami pasti sanggup merebutnya kembali, kata kapa ngotot.

Sunan Muria akhirnya meluluskan permintaan adik seperguruannya itu. Rasanya tidak enak menolak
seseorang yang hendak berbuat baik. Lagi pula ia harus menengok para santrinya di padepokan Gunung
Muria.

Untuk merebut Dewi Roroyono dari tangan Pathak Warak, Kapa dan Gentiri ternyata minta bantuan
seorang Wiku Lodhang Datuk di pulau Sprapat yang dikenal sebagai tokoh sakti yang jarang
tandingannya. Usaha itu berhasil. Dewi Roroyono dikembalikan ke Ngerang.

Hari berikutnya Sunan Muria hendak ke Ngerang. Ingin mengetahui perkembangan usaha Kapa dan
Gentiri. Ditengah jalan beliau bertemu dengan Adipati Pathak Warak.

Hai Pathak Warak berhenti kau, bentak Sunan Muria.

Pathak Warak yang sedang naik kuda terpaksa berhenti karena Sunan Muria menghadang didepannya.

Minggir!! Jangan menghalangi Jalanku, hardik Pathak Warak.


Boleh, asal kau kembalikan Dewi Roroyono !

Goblok!! Dewi Roroyono sudah dibawa Kapa dan Gentiri!! Kini aku hendak mengejar mereka!! Umpat
Pathak Warak.

Untuk apa kau mengejar mereka?

Merebutnya kembali! Jawab Pathak Warak dengan sengit.

Kalau begitu langkahi dulu mayatku, Dewi Roroyono telah dijodohkan denganku, ujar Sunan Muria
sambil pasang kuda-kuda.

Tanpa basa basi Pathak Warak melompat dari punggung kuda. Dia merangkak ke arah Sunan Muria
dengan jurus-jurus cakar harimau. Tapi dia bukan tandingan putera Sunan Kalijaga yang memiliki
segudang kesaktian.

Hanya dalam beberapa kali gebrakan, Pathak Warak telah jatuh atau roboh di tanah dalam keadaan
fatal. Seluruh kesaktiannya lenyap dan ia menjadi lumpuh, tak mampu untuk bangkit berdiri apalagi
berjalan.

Sunan Muria kemudian meneruskan perjalanan ke Juana. Kedatangannya disambut gembira oleh Sunan
Ngerang. Karena Kapa dan entiri telah bercerita jujur bahwa mereka sendirilah yang memaksa
mengambil alih tugas Sunan Muria mencari Dewi Roroyono, maka Sunan Ngerang pada akhirnya
menjodohkan Dewi Roroyono dengan Sunan Muria. Upacara pernikahan pun segera dilaksanakan.

Kapa dan Gentiri yang berjasa besar itu diberi hadiah tanah di desa Buntar. Dengan hadiah itu keduanya
sudah menjadi orang kaya yang hidupnya serba berkecukupan.

Sedang Sunan Muria memboyong isterinya ke Padepokan Gunung Muria. Mereka hidup Bahagia, karena
merupakan pasangan yang ideal.
Tidak demikian halnya dengan Kapa dan Gentiri. Sewaktu membawa Dewi Roroyono dari keling ke
Ngerang agaknya mereka terlanjur terpesona oleh kecantikan wanita jelita itu. Siang malam mereka
tidak bisa tidur. Wajah wanita itu senantiasa terbayang. Namun karena wanita itu sudah diperisteri
kakak seperguruannya mereka tak dapat berbuat apa-apa lagi. Hanya penyesalan yang menghujam
didada. Mengapa mereka dulu terburu-buru menawarkan jasa baiknya. Betapa enaknya Sunan Muria,
tanpa bersusah payah sekarang menikmati kebahagiaan bersama gadis yang mereka dambakan. Inilah
hikmah ajaran agama agar lelaki diharuskan menahan pandangan matanya dan menjaga kehotmatan
(kemaluan) mereka.

Andaikata Kapa dan Gentiri tidak memandang terus menerus kearah wajah dan tubuh Dewi Roroyono
yang indah itu pasti mereka tidak akan terpesona dan tidak terjerat oleh iblis yang memasang perangkap
pada pandangan mereka.

Kini Kapa dan Gentiri benar-benar telah dirasuki iblis. Mereka bertekad hendak merebut Dewi Roroyono
dari tangan Sunan Muria. Mereka telah sepakat untuk menjadikan wanita itu sebagai isteri bersama
secara bergiliran. Sungguh keji rencana mereka.

Gentiri berangkat lebih dahulu ke Gunung Muria. Namun ketika ia hendak melaksanakan niatnya
dipergoki oleh murid Sunan Muria, terjadilah pertempuran dahsyat. Apalagi ketika Sunan Muria keluar
menghadapi Gentiri, suasana menjadi semakin panas. Akhirnya gentiri tewas menemui ajalnya di puncak
Gunung Muria.

Kematian Gentiri cepat tersebar ke berbagai daerah. Tapi tidak membuat surut niat Kapa. Kapa cukup
cerdik. Dia datang ke gunung Muria secara diam-diam dimalam hari. Tak seorangpun yang
mengetahuinya.

Kebetulan pada saat itu Sunan Muria dan beberapa murid pilihannya sedang bepergian ke Demak
Bintoro. Kapa menyerep murid-murid Sunan Muria yang berilmu rendah, yang ditugaskan menjaga Dewi
Roroyono. Kemudian yang dengan mudahnya Kapa menculik dan membawa wanita impiannya itu ke
pulau sprapat.

Pada saat yang sama, sepulangnya dari Demak Bintoro. Sunan Muria bermaksud mengadakan kunjungan
kepada Wiku Lodhang Datuk di pulau Sprapat. Ini biasanya dilakukannya bersahabat dengan pemeluk
agama lain bukanlah suatu dosa. Terlebih sang Wiku itu pernah meneolongnya merebut Dewi Roroyono
dari Pathak Warak.

Seperti ajaran Sunan Kalijaga yang mampu hidup berdampingan dengan pemeluk agama lain dalam
suatu negeri. Lalu ditunjukkan akhlak Islam yang mulia dan agung. Bukannya berdebat tentang
perbedaan agama itu sendiri. Dengan menerapkan ajaran-ajaran akhlak yang mulia itu nyatanya banyak
pemeluk agama lain yang pada akhirnya tertarik dan masuk Islam secara sukarela.

Ternyata, kedatangan Kapa ke pulau Sparapat itu tidak disambut baik oleh Wiku Lodhang Datuk.

Memalukan! Benar-benar nista perbuatanmu itu! Cepat kembalikan isteri kakang seperguruanmu
sendiri itu! Hardik Wiku Lodhang Datuk dengan marah.

Bapa Guru ini bagaiman, bukakah aku ini muridmu? Mengapa tidak kau bela? Protes Kapa.

Sampai matipun aku takkan sudi membela kebejatan budi pekerti walau pelakunya itu muridku sendiri !

Perdebatan antara guru dengan murid itu berlangsung lama. Tanpa mereka sadari Sunan Muria sudah
sampai ditempat itu. Betapa terkejutnya Sunan Muria melihat isterinya sedang tergolek ditanah dalam
keadaan terikat kaki dan tangannya. Sementara Kapa dilihatnya sedang adu mulut dengan gurunya yaitu
Wiku Lodhang Datuk.

Begitu mengetahui kedatangan Sunan Muria, Kapa Langsung melancarkan serangan dengan jurus-jurus
maut. Wiku Lodhang Datuk menjauh, melangkah menuju Dewi Roroyono untuk membebaskan belenggu
yang dilakukan Kapa.

Bersamaan dengan selesainya sang Wiku membuka tali yang mengikat tubuh Dewi Roroyono. Tiba-tiba
terdengar jeritan keras dari mulut Kapa.

Ternyata serangan dengan pengerahan aji kesaktian yang dilakukan Kapa berbalik menghantam dirinya
sendiri. Itulah ilmu yang dimiliki Sunan Muria. Mampu membalikkan serangan lawan.

Karena Kapa menggunakan aji pamungkas yaitu puncak kesaktian yang dimilikinya maka ilmu itu
akhirnya merenggut nyawanya sendiri.

Maafkan saya tuan Wiku….,ujar Sunan Muria agak menyesal. Tidak mengapa. Menyesal aku turut
memberikan ilmu kepadanya. Ternyata ilmu itu digunakan untuk jalan kejahatan, gumam Sang Wiku.
Bagaimanapun Kapa adalah muridnya, pantaslah kalau dia menguburkannya secara layak.

Pada akhirnya Dewi Roroyono dan Sunan Muria kembali ke Padepokan dan hidup bahagia.

SUNAN DRAJAD

Kisah-kisah Wali Songo

SUNAN DRAJAD

1. Asal Usul

Nama asli Sunan Drajad adalah Raden Qosim, beliau putera Sunan Ampel dengan Dewi Condrowati dan
merupakan adik dari Raden Makdum Ibrahim atau Sunan Bonang.

Raden Qosim yang sudah mewarisi ilmu dari ayahnya kemudian diperintah untuk berdakwah di sebelah
barat Gresik yaitu daerah kosong dari ulama besar antara Tuban dan Gresik.

Raden Qosim memulai perjalanannya dengan naik perahu dari Gresik sesudah singgah ditempat Sunan
Giri. Dalam perjalanan ke arah Barat itu perahu beliau tiba-tiba dihantam oleh ombak yang besar
sehingga menabrak karang dan hancur. Hampir saja Raden Qosim kehilangan jiwanya. Tapi bila Tuhan
belum menentukan ajal seseorang biar bagaimanapun hebatnya kecelakaan pasti dia akan selamat,
demikian pula halnya dengan Raden Qosim. Secara kebetulan seekor ikan besar yaitu ikan talang datang
kepada Raden Qosim dan beliau pun menaiki punggung ikan tersebut hingga selamat ke tepi pantai. .....
silahkan dilanjutkan bacanya

Raden Qosim sangat bersyukur dapat lolos dari musibah itu. Beliau juga berterima kasih kepada ikan
talang yang telah menolongnya sampai ke tepi pantai. Untuk itu beliau berpesan kepada anak keturunan
beliau untuk tidak memakan daging ikan talang. Bila pesan ini dilanggar akan mengakibatkan bencana,
yaitu ditimpa penyakit yang tiada obatnya lagi.

Ikan talang tersebut membawa Raden Qosim hingga ke tepi pantai yang termasuk wilayah desa Jelag
(sekarang termasuk desa Banjarwati), kecamatan Paciran. Di tempat itu Raden Qosim disambut
masyarakat dengan antusias, lebih-lebih setelah mereka tahu bahwa Raden Qosim adalah putera Sunan
Ampel seorang wali besar dan masih terhitung kerabat kerajaan Majapahit.

Di desa Jelag itu Raden Qosim mendirikan pesantren, karena caranya menyiarkan agama Islam yang unik
maka banyaklah orang yang datang berguru kepadanya. Setelah menetap satu tahun di desa Jelag,
Raden Qosim mendapat ilham supaya menuju ke arah selatan, kira-kira berjarak 1 km disana beliau
mendirikan langgar atau surau untuk berdakwah.

Tiga tahun kemudian secara mantap beliau mendapat petunjuk agar membangun tempat berdakwah
yang strategis yaitu ditempat ketinggian yang disebut Dalem Duwur. Di bukit yang disebut Dalem Duwur
itulah yang sekarang dibangun Museum Sunan Drajad, adapun makam Sunan Drajad terletak di sebelah
barat Museum tersebut.

Raden Qosim adalah pendukung aliran putih yang dipimpin oleh Sunan Giri. Artinya dalam berdakwah
menyebarkan agama Islam beliau menganut jalan lurus, jalan yang tidak berliku-liku. Agama harus
diamalkan dengan lurus dan benar sesuai ajaran Nabi. Tidak boleh dicampur dengan adat dan
kepercayaan lama.

Meski demikian beliau juga mempergunakan kesenian rakyat sebagai alat dakwah, didalam museum
yang terletak disebelah timur makamnya terdapat seperangkat bekas gamelan Jawa, hal itu
menunjukkan betapa tinggi penghargaan Sunan Drajad kepada kesenian Jawa.

Dalam catatan sejarah wali songo, Raden Qosim disebut sebagai seorang wali yang hidupnya paling
bersahaja, walau dalam urusan dunia beliau juga rajin mencari rezeki. Hal itu disebabkan sikap beliau
yang dermawan. Dikalangan rakyat jelata beliau bersifat lemah lembut dan sering menolong mereka
yang menderita.

2. Ajaran Sunan Drajad yang Terkenal

Ajaran Sunan Drajad bersumber dari :


1. Al-Quran

2. Sunnah

3. Ijma

4. Qiyas

5. Ajaran guru dan pendidik seperti Sunan Ampel

6. Ajaran dan pemikiran atau paham yang telah tersebar luas di masyarakat

7. Tradisi di masyarakat setempat yang telah ada yang sesuai dengan ajaran Islam, dan

8. Fatwa Sunan Drajad sendiri.

Diantara ajaran beliau yang terkenal adalah sebagai berikut:

Menehono teken marang wong wuto

Menehono mangan marang wong kan luwe

Menehono busono marang wong kang mudo

Menehono ngiyup marang wong kang kudanan

Artinya kurang lebih demikian :

Berilah tongkat kepada orang buta

Berilah makan kepada orang yang kelaparan

Berilah pakaian kepada orang yang telanjang

Berilah tempat berteduh kepada orang yang kehujanan

Adapun maksudnya adalah sebagai berikut: Berilah petunjuk kepada orang bodoh (buta) Sejahterkanlah
kehidupan rakyat yang miskin (kurang makan) Ajarkanlah budi pekerti (etika) kepada yang tidak tahu
malu atau belum punya adab tinggi. Berilah perlindungan kepada orang-orang yang menderita atau
ditimpa bencana. Ajaran ini sangat supel, siapapun dapat mengamalkannya sesuai dengan tingkat dan
kemampuan masing-masing. Bahkan pemeluk agama lainpun tidak berkeberatan untuk
mengamalkannya.
Tentang puncak ma’rifat Sunan Drajad menuliskan perumpaannya sebagai berikut :

“Ilang, jenenge kawula,

Sirna datang ana keri,

Pan ilangwujudira,

Tegese wujude widi,

Ilang wujude iki,

Aneggih perlambangira,

Lir lintang karahinan,

Keserodotan sang hyang rawi,

Artinya:

Hilang jati diri makhluk,

Lenyap tiada tersisa,

Karena hilang wujud keberadaannya

Itulah juga wujud Tuhan,

Itulah yang ada ini,

Adapun persamaannya,

Seperti bintang diwaktu siang

Yang tersinari matahari.

Disamping terkenal sebagai seorang wali yang berjiwa dermawan dan sosial, beliau jua dikenal sebagai
anggota wali songo yang turut serta mendukung dinasti Demak dan ikut pula mendirikan mesjid Demak.
Simbol kebesaran umat Islam pada waktu itu.

Dibidang kesenian, disamping terkenal sebagai ahli ukir beliau juga pertama kali yang menciptakan
Gending Pangkur, hingga sekarang gending tersebut masih disukai rakyat jawa. Sunan Drajad demikian
gelar Raden Qosim, diberikan kepada beliau karena beliau bertempat tinggal di sebuah bukit yang tinggi,
seakan melambangkan tingkat ilmunya yang tinggi, yaitu tingkat atau dejat para ulama muqarrobin.
Ulama yang dekat dengan Allah SWT.

Walisongo
Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas

Walisongo atau Walisanga dikenal sebagai penyebar agama Islam di tanah Jawa pada abad ke
14. Mereka tinggal di tiga wilayah penting pantai utara Pulau Jawa, yaitu Surabaya-Gresik-
Lamongan-Tuban di Jawa Timur, Demak-Kudus-Muria di Jawa Tengah, dan Cirebon di Jawa Barat.
Era Walisongo adalah era berakhirnya dominasi Hindu-Budha dalam budaya Nusantara untuk
digantikan dengan kebudayaan Islam. Mereka adalah simbol penyebaran Islam di Indonesia,
khususnya di Jawa. Tentu banyak tokoh lain yang juga berperan. Namun peranan mereka yang
sangat besar dalam mendirikan Kerajaan Islam di Jawa, juga pengaruhnya terhadap kebudayaan
masyarakat secara luas serta dakwah secara langsung, membuat para Walisongo ini lebih banyak
disebut dibanding yang lain.

Daftar isi
[sembunyikan]

 1 Arti Walisongo
 2 Nama para Walisongo
o 2.1 Sunan Gresik (Maulana Malik Ibrahim)
o 2.2 Sunan Ampel (Raden Rahmat)
o 2.3 Sunan Bonang (Makhdum Ibrahim)
o 2.4 Sunan Drajat
o 2.5 Sunan Kudus
o 2.6 Sunan Giri
o 2.7 Sunan Kalijaga
o 2.8 Sunan Muria (Raden Umar Said)
o 2.9 Sunan Gunung Jati (Syarif Hidayatullah)
 3 Tokoh pendahulu Walisongo
o 3.1 Syekh Jumadil Qubro
 4 Asal usul Walisongo
o 4.1 Teori keturunan Hadramaut
o 4.2 Teori keturunan Cina (Hui)
 5 Sumber tertulis tentang Walisongo
 6 Lihat pula
 7 Pranala luar
 8 Referensi

Arti Walisongo[sunting | sunting sumber]

Masjid Agung Demak, diyakini sebagai salah satu tempat berkumpulnya para wali yang paling awal.

Ada beberapa pendapat mengenai arti Walisongo. Pertama adalah wali yang sembilan, yang
menandakan jumlah wali yang ada sembilan, atau sanga dalam bahasa Jawa. Pendapat lain
menyebutkan bahwa kata songo/sanga berasal dari kata tsana yang dalam bahasa Arab berarti
mulia. Pendapat lainnya lagi menyebut kata sana berasal dari bahasa Jawa, yang berarti tempat.
Pendapat lain yang mengatakan bahwa Walisongo adalah sebuah majelis dakwah yang pertama
kali didirikan oleh Sunan Gresik (Maulana Malik Ibrahim) pada tahun 1404 Masehi (808
Hijriah).[1] Para Walisongo adalah pembaharu masyarakat pada masanya. Pengaruh mereka
terasakan dalam beragam bentuk manifestasi peradaban baru masyarakat Jawa, mulai
dari kesehatan, bercocok-tanam, perniagaan, kebudayaan, kesenian, kemasyarakatan, hingga
ke pemerintahan.

Nama para Walisongo[sunting | sunting sumber]


Dari nama para Walisongo tersebut, pada umumnya terdapat sembilan nama yang dikenal sebagai
anggota Walisongo yang paling terkenal, yaitu:

 Sunan Gresik atau Maulana  Sunan Drajat atau Raden Qasim  Sunan Kalijaga atau Raden Said
Malik Ibrahim  Sunan Kudus atau Ja'far Shadiq  Sunan Muria atau Raden Umar
 Sunan Ampel atau Raden  Sunan Giri atau Raden Paku Said
Rahmat atau Ainul Yaqin  Sunan Gunung Jati atau Syarif
 Sunan Bonang atau Raden Hidayatullah
Makhdum Ibrahim
Sunan Gresik (Maulana Malik Ibrahim)[sunting | sunting sumber]
Artikel utama untuk bagian ini adalah: Sunan Gresik
Makam Maulana Malik Ibrahim, desa Gapura, Gresik, Jawa Timur

Maulana Malik Ibrahim adalah keturunan ke-22 dari Nabi Muhammad. Ia disebut juga Sunan Gresik,
atau Sunan Tandhes, atau Mursyid Akbar Thariqat Wali Songo . Nasab As-Sayyid Maulana Malik
Ibrahim Nasab Maulana Malik Ibrahim menurut catatan Dari As-Sayyid Bahruddin Ba'alawi Al-
Husaini yang kumpulan catatannya kemudian dibukukan dalam Ensiklopedi Nasab Ahlul Bait yang
terdiri dari beberapa volume (jilid). Dalam Catatan itu tertulis: As-Sayyid Maulana Malik Ibrahim bin
As-Sayyid Barakat Zainal Alam bin As-Sayyid Husain Jamaluddin bin As-Sayyid Ahmad Jalaluddin
bin As-Sayyid Abdullah bin As-Sayyid Abdul Malik Azmatkhan bin As-Sayyid Alwi Ammil Faqih bin
As-Sayyid Muhammad Shahib Mirbath bin As-Sayyid Ali Khali’ Qasam bin As-Sayyid Alwi bin As-
Sayyid Muhammad bin As-Sayyid Alwi bin As-Sayyid Ubaidillah bin Al-Imam Ahmad Al-Muhajir bin
Al-Imam Isa bin Al-Imam Muhammad bin Al-Imam Ali Al-Uraidhi bin Al-Imam Ja’far Shadiq bin Al-
Imam Muhammad Al-Baqir bin Al-Imam Ali Zainal Abidin bin Al-Imam Al-Husain bin Sayyidah
Fathimah Az-Zahra/Ali bin Abi Thalib, binti Nabi Muhammad Rasulullah
Ia diperkirakan lahir di Samarkand di Asia Tengah, pada paruh awal abad ke-14. Babad Tanah
Jawi versi Meinsma menyebutnya Asmarakandi, mengikuti pengucapan lidah orang Jawa terhadap
As-Samarqandy.[2] Dalam cerita rakyat, ada yang memanggilnya Kakek Bantal.
Isteri Maulana Malik Ibrahim
Maulana Malik Ibrahim memiliki, 3 isteri bernama:
1. Siti Fathimah binti Ali Nurul Alam Maulana Israil (Raja Champa Dinasti Azmatkhan 1), memiliki 2
anak, bernama: Maulana Moqfaroh dan Syarifah Sarah
2. Siti Maryam binti Syaikh Subakir, memiliki 4 anak, yaitu: Abdullah, Ibrahim, Abdul Ghafur, dan
Ahmad
3. Wan Jamilah binti Ibrahim Zainuddin Al-Akbar Asmaraqandi, memiliki 2 anak yaitu: Abbas dan
Yusuf.
Selanjutnya Sharifah Sarah + Sayyid Fadhal Ali Murtadha [Sunan Santri/ Raden Santri] = dua putera
yaitu Haji Utsman (Sunan Manyuran) dan Utsman Haji (Sunan Ngudung).
Sayyid Utsman Haji (Sunan Ngudung) berputera Sayyid Ja’far Shadiq [Sunan Kudus].
Maulana Malik Ibrahim umumnya dianggap sebagai wali pertama yang mendakwahkan Islam di
Jawa. Ia mengajarkan cara-cara baru bercocok tanam dan banyak merangkul rakyat kebanyakan,
yaitu golongan masyarakat Jawa yang tersisihkan akhir kekuasaan Majapahit. Malik Ibrahim
berusaha menarik hati masyarakat, yang tengah dilanda krisis ekonomi dan perang saudara. Ia
membangun pondokan tempat belajar agama di Leran, Gresik. Pada tahun 1419, Malik Ibrahim
wafat. Makamnya terdapat di desa Gapura Wetan, Gresik, Jawa Timur.
Sunan Ampel (Raden Rahmat)[sunting | sunting sumber]
Artikel utama untuk bagian ini adalah: Sunan Ampel

Sunan Ampel bernama asli Raden Rahmat, keturunan ke-22 dari Nabi Muhammad, menurut riwayat
ia adalah putra Ibrahim Zainuddin Al-Akbar dan seorang putri Champa yang bernama Dewi Condro
Wulan binti Raja Champa Terakhir Dari Dinasti Ming. Nasab lengkapnya sebagai berikut: Sunan
Ampel bin Sayyid Ibrahim Zainuddin Al-Akbar bin Sayyid Jamaluddin Al-Husain bin Sayyid Ahmad
Jalaluddin bin Sayyid Abdullah bin Sayyid Abdul Malik Azmatkhan bin Sayyid Alwi Ammil Faqih bin
Sayyid Muhammad Shahib Mirbath bin Sayyid Ali Khali’ Qasam bin Sayyid Alwi bin Sayyid
Muhammad bin Sayyid Alwi bin Sayyid Ubaidillah bin Sayyid Ahmad Al-Muhajir bin Sayyid Isa bin
Sayyid Muhammad bin Sayyid Ali Al-Uraidhi bin Imam Ja’far Shadiq bin Imam Muhammad Al-Baqir
bin Imam Ali Zainal Abidin bin Imam Al-Husain bin Sayyidah Fathimah Az-Zahra binti Nabi
Muhammad Rasulullah. Sunan Ampel umumnya dianggap sebagai sesepuh oleh para wali lainnya.
Pesantrennya bertempat di Ampel Denta, Surabaya, dan merupakan salah satu pusat penyebaran
agama Islam tertua di Jawa. Ia menikah dengan Dewi Condrowati yang bergelar Nyai Ageng Manila,
putri adipati Tuban bernama Arya Teja dan menikah juga dengan Dewi Karimah binti Ki Kembang
Kuning. Pernikahan Sunan Ampel dengan Dewi Condrowati alias Nyai Ageng Manila binti Aryo Tejo,
berputera: Sunan Bonang,Siti Syari’ah,Sunan Derajat,Sunan Sedayu,Siti Muthmainnah dan Siti
Hafsah. Pernikahan Sunan Ampel dengan Dewi Karimah binti Ki Kembang Kuning, berputera: Dewi
Murtasiyah,Asyiqah,Raden Husamuddin (Sunan Lamongan,Raden Zainal Abidin (Sunan
Demak),Pangeran Tumapel dan Raden Faqih (Sunan Ampel 2. Makam Sunan Ampel teletak di
dekat Masjid Ampel, Surabaya.
Sunan Bonang (Makhdum Ibrahim)[sunting | sunting sumber]
Artikel utama untuk bagian ini adalah: Sunan Bonang

Sunan Bonang adalah putra Sunan Ampel, dan merupakan keturunan ke-23 dari Nabi Muhammad.
Ia adalah putra Sunan Ampel dengan Nyai Ageng Manila, putri adipati Tuban bernama Arya Teja.
Sunan Bonang banyak berdakwah melalui kesenian untuk menarik penduduk Jawa agar memeluk
agama Islam. Ia dikatakan sebagai penggubah suluk Wijildan tembang Tombo Ati, yang masih
sering dinyanyikan orang. Pembaharuannya pada gamelan Jawa ialah dengan
memasukkan rebab dan bonang, yang sering dihubungkan dengan namanya. Universitas
Leiden menyimpan sebuah karya sastra bahasa Jawa bernama Het Boek van Bonang atau Buku
Bonang. Menurut G.W.J. Drewes, itu bukan karya Sunan Bonang namun mungkin saja mengandung
ajarannya. Sunan Bonang diperkirakan wafat pada tahun 1525. Ia dimakamkan di daerah Tuban,
Jawa Timur.
Sunan Drajat[sunting | sunting sumber]
Artikel utama untuk bagian ini adalah: Sunan Drajat

Sunan Drajat adalah putra Sunan Ampel, dan merupakan keturunan ke-23 dari Nabi Muhammad.
Nama asli dari sunan derajat adalah masih munat. masih munat nantinya terkenal dengan nama
sunan derajat.sunan derajat terkenal juga dengan kegiatan sosialnya. Dialah wali yang memelopori
penyatuan anak-anak yatim dan orang sakit. Ia adalah putra Sunan Ampel dengan Nyai Ageng
Manila, putri adipati Tuban bernama Arya Teja. Sunan Drajat banyak berdakwah kepada
masyarakat kebanyakan. Ia menekankan kedermawanan, kerja keras, dan peningkatan
kemakmuran masyarakat, sebagai pengamalan dari agama Islam. Pesantren Sunan Drajat
dijalankan secara mandiri sebagai wilayah perdikan, bertempat di Desa Drajat, Kecamatan
Paciran, Lamongan. Tembang macapat Pangkur disebutkan sebagai ciptaannya. Gamelan
Singomengkok peninggalannya terdapat di Musium Daerah Sunan Drajat, Lamongan. Sunan Drajat
diperkirakan wafat pada 1522.
Sunan Kudus[sunting | sunting sumber]
Artikel utama untuk bagian ini adalah: Sunan Kudus

Sunan Kudus adalah putra Sunan Ngudung atau Raden Usman Haji, dengan Syarifah Ruhil atau
Dewi Ruhil yang bergelar Nyai Anom Manyuran binti Nyai Ageng Melaka binti Sunan Ampel. Sunan
Kudus adalah keturunan ke-24 dari Nabi Muhammad. Sunan Kudus bin Sunan Ngudung bin Fadhal
Ali Murtadha bin Ibrahim Zainuddin Al-Akbar bin Jamaluddin Al-Husain bin Ahmad Jalaluddin bin
Abdillah bin Abdul Malik Azmatkhan bin Alwi Ammil Faqih bin Muhammad Shahib Mirbath bin Ali
Khali’ Qasam bin Alwi bin Muhammad bin Alwi bin Ubaidillah bin Ahmad Al-Muhajir bin Isa bin
Muhammad bin Ali Al-Uraidhi bin Ja’far Shadiq bin Muhammad Al-Baqir bin Ali Zainal Abidin bin Al-
Husain bin Sayyidah Fathimah Az-Zahra binti Nabi Muhammad Rasulullah. Sebagai seorang wali,
Sunan Kudus memiliki peran yang besar dalam pemerintahan Kesultanan Demak, yaitu sebagai
panglima perang, penasehat Sultan Demak, Mursyid Thariqah dan hakim peradilan negara. Ia
banyak berdakwah di kalangan kaum penguasa dan priyayi Jawa. Di antara yang pernah menjadi
muridnya, ialah Sunan Prawoto penguasa Demak, dan Arya Penangsang adipati Jipang Panolan.
Salah satu peninggalannya yang terkenal ialah Mesjid Menara Kudus, yang arsitekturnya bergaya
campuran Hindu dan Islam. Sunan Kudus diperkirakan wafat pada tahun 1550.
Sunan Giri[sunting | sunting sumber]
Artikel utama untuk bagian ini adalah: Sunan Giri

Sunan Giri adalah putra Maulana Ishaq. Sunan Giri adalah keturunan ke-23 dari Nabi Muhammad,
merupakan murid dari Sunan Ampel dan saudara seperguruan dari Sunan Bonang. Ia mendirikan
pemerintahan mandiri di Giri Kedaton, Gresik; yang selanjutnya berperan sebagai pusat dakwah
Islam di wilayah Jawa dan Indonesia timur, bahkan sampai ke kepulauan Maluku. Salah satu
keturunannya yang terkenal ialah Sunan Giri Prapen, yang menyebarkan agama Islam ke wilayah
Lombok dan Bima.
Sunan Kalijaga[sunting | sunting sumber]
Artikel utama untuk bagian ini adalah: Sunan Kalijaga

Lukisan Sunan Kalijaga


Sunan Kalijaga adalah putra adipati Tuban yang bernama Tumenggung Wilatikta atau Raden Sahur
atau Sayyid Ahmad bin Mansur (Syekh Subakir). Ia adalah murid Sunan Bonang. Sunan Kalijaga
menggunakan kesenian dan kebudayaan sebagai sarana untuk berdakwah, antara lain
kesenian wayang kulit dan tembang suluk. Tembang suluk lir-Ilir dan Gundul-Gundul
Pacul umumnya dianggap sebagai hasil karyanya. Dalam satu riwayat, Sunan Kalijaga disebutkan
menikah dengan Dewi Saroh binti Maulana Ishaq, menikahi juga Syarifah Zainab binti Syekh Siti
Jenar dan Ratu Kano Kediri binti Raja Kediri.
Sunan Muria (Raden Umar Said)[sunting | sunting sumber]
Artikel utama untuk bagian ini adalah: Sunan Muria

Sunan Muria atau Raden Umar Said adalah putra Sunan Kalijaga. Ia adalah putra dari Sunan
Kalijaga dari isterinya yang bernama Dewi Sarah binti Maulana Ishaq. Sunan Muria menikah dengan
Dewi Sujinah, putri Sunan Ngudung. Jadi Sunan Muria adalah adik ipar dari Sunan Kudus.
Sunan Gunung Jati (Syarif Hidayatullah)[sunting | sunting sumber]
Artikel utama untuk bagian ini adalah: Sunan Gunung Jati

Lukisan Sunan Gunung Jati

Gapura Makam Sunan Gunung Jati di Cirebon, Jawa Barat

Sunan Gunung Jati atau Syarif Hidayatullah adalah putra Syarif Abdullah Umdatuddin putra Ali Nurul
Alam putra Syekh Husain Jamaluddin Akbar. Dari pihak ibu, ia masih keturunan
keraton Pajajaran melalui Nyai Rara Santang, yaitu anak dariSri Baduga Maharaja. Sunan Gunung
Jati mengembangkan Cirebon sebagai pusat dakwah dan pemerintahannya, yang sesudahnya
kemudian menjadi Kesultanan Cirebon. Anaknya yang bernama Maulana Hasanuddin, juga berhasil
mengembangkan kekuasaan dan menyebarkan agama Islam di Banten, sehingga kemudian
menjadi cikal-bakal berdirinyaKesultanan Banten.
Tokoh pendahulu Walisongo[sunting | sunting sumber]
Syekh Jumadil Qubro[sunting | sunting sumber]
Artikel utama untuk bagian ini adalah: Syekh Jumadil Qubro

Syekh Jumadil Qubro adalah Maulana Ahmad Jumadil Kubra / Husain Jamaluddin al akbar bin
Ahmad Jalaluddin bin Abdillah bin Abdul Malik Azmatkhan bin Alwi Ammil Faqih bin Muhammad
Shahib Mirbath bin Ali Khali’ Qasam bin Alwi bin Muhammad bin Alwi bin Ubaidillah bin Ahmad Al-
Muhajir bin Isa bin Muhammad bin Ali Al-Uraidhi bin Ja’far Shadiq bin Muhammad Al-Baqir bin Ali
Zainal Abidin bin Al-Husain bin Sayyidah Fathimah Az-Zahra binti Nabi Muhammad
Rasulullah Syekh Jumadil Qubro adalah putra Husain Jamaluddin dari isterinya yang bernama
Puteri Selindung Bulan (Putri Saadong II/ Putri Kelantan Tua). Tokoh ini sering disebutkan dalam
berbagai babad dan cerita rakyat sebagai salah seorang pelopor penyebaran Islam di tanah Jawa.
Makamnya terdapat di beberapa tempat yaitu di Semarang, Trowulan, atau di desa Turgo (dekat
Pelawangan), Yogyakarta. Belum diketahui yang mana yang betul-betul merupakan kuburnya.[3] [4]

Asal usul Walisongo[sunting | sunting sumber]


Teori keturunan Hadramaut[sunting | sunting sumber]
Walaupun masih ada pendapat yang menyebut Walisongo adalah keturunan Samarkand (Asia
Tengah), Champa atau tempat lainnya, namun tampaknya tempat-tampat tersebut lebih merupakan
jalur penyebaran para mubaligh daripada merupakan asal-muasal mereka yang sebagian besar
adalah kaum Sayyid atau Syarif. Beberapa argumentasi yang diberikan oleh Muhammad Al Baqir,
dalam bukunya Thariqah Menuju Kebahagiaan, mendukung bahwa Walisongo adalah keturunan
Hadramaut (Yaman):

 L.W.C van den Berg, Islamolog dan ahli hukum Belanda yang mengadakan riset pada 1884-
1886, dalam bukunya Le Hadhramout et les colonies arabes dans l'archipel Indien
(1886)[5] mengatakan:
”Adapun hasil nyata dalam penyiaran agama Islam (ke Indonesia) adalah dari orang-
orang Sayyid Syarif. Dengan perantaraan mereka agama Islam tersiar di antara raja-raja
Hindu di Jawa dan lainnya. Selain dari mereka ini, walaupun ada juga suku-suku lain
Hadramaut (yang bukan golongan Sayyid Syarif), tetapi mereka ini tidak meninggalkan
pengaruh sebesar itu. Hal ini disebabkan mereka (kaum Sayyid Syarif) adalah keturunan
dari tokoh pembawa Islam (Nabi Muhammad SAW).”

 van den Berg juga menulis dalam buku yang sama (hal 192-204):
”Pada abad ke-15, di Jawa sudah terdapat penduduk bangsa Arab atau keturunannya, yaitu
sesudah masa kerajaan Majapahit yang kuat itu. Orang-orang Arab bercampul-gaul dengan
penduduk, dan sebagian mereka mempuyai jabatan-jabatan tinggi. Mereka terikat dengan
pergaulan dan kekeluargaan tingkat atasan. Rupanya pembesar-pembesar Hindu di
kepulauan Hindia telah terpengaruh oleh sifat-sifat keahlian Arab, oleh karena sebagian
besar mereka berketurunan pendiri Islam (Nabi Muhammad SAW). Orang-orang
Arab Hadramawt (Hadramaut) membawa kepada orang-orang Hindu pikiran baru yang
diteruskan oleh peranakan-peranakan Arab, mengikuti jejak nenek moyangnya."
Pernyataan van den Berg spesifik menyebut abad ke-15, yang merupakan abad spesifik
kedatangan atau kelahiran sebagian besar Walisongo di pulau Jawa. Abad ke-15 ini jauh
lebih awal dari abad ke-18 yang merupakan saat kedatangan gelombang berikutnya,
yaitu kaum Hadramaut yang bermarga Assegaf, Al Habsyi, Al Hadad, Alaydrus, Alatas, Al
Jufri, Syihab, Syahab dan banyak marga Hadramaut lainnya.

 Hingga saat ini umat Islam di Hadramaut sebagian besar bermadzhab Syafi’i, sama
seperti mayoritas di Srilangka, pesisir India Barat (Gujarat dan Malabar), Malaysia
dan Indonesia. Bandingkan dengan umat Islam di Uzbekistan dan seluruh Asia
Tengah, Pakistan dan India pedalaman (non-pesisir) yang sebagian
besar bermadzhab Hanafi.
 Kesamaan dalam pengamalan madzhab Syafi'i bercorak tasawuf dan
mengutamakan Ahlul Bait; seperti mengadakan Maulid, membaca Diba & Barzanji,
beragam Shalawat Nabi, doa Nur Nubuwwah dan banyak amalan lainnya hanya
terdapat di Hadramaut, Mesir, Gujarat, Malabar, Srilangka, Sulu & Mindanao,
Malaysia dan Indonesia. Kitab fiqh Syafi’i Fathul Muin yang populer di Indonesia
dikarang oleh Zainuddin Al Malabary dari Malabar, isinya memasukkan pendapat-
pendapat baik kaum Fuqaha maupun kaumSufi. Hal tersebut mengindikasikan
kesamaan sumber yaitu Hadramaut, karena Hadramaut adalah sumber pertama
dalam sejarah Islam yang menggabungkan fiqh Syafi'i dengan
pengamalan tasawuf dan pengutamaan Ahlul Bait.
 Di abad ke-15, raja-raja Jawa yang berkerabat dengan Walisongo seperti Raden
Patah dan Pati Unus sama-sama menggunakan gelar Alam Akbar. Gelar tersebut
juga merupakan gelar yang sering dikenakan oleh keluarga besar Jamaluddin
Akbar di Gujarat pada abad ke-14, yaitu cucu keluarga besar Azhamat Khan (atau
Abdullah Khan) bin Abdul Malik bin Alwi, seorang anak dari Muhammad Shahib
Mirbath ulama besar Hadramaut abad ke-13. Keluarga besar ini terkenal
sebagai mubaligh musafir yang berdakwah jauh hingga pelosok Asia Tenggara, dan
mempunyai putra-putra dan cucu-cucu yang banyak menggunakan nama Akbar,
seperti Zainal Akbar, Ibrahim Akbar, Ali Akbar, Nuralam Akbar dan banyak lainnya.
Teori keturunan Cina (Hui)[sunting | sunting sumber]
Sejarawan Slamet Muljana mengundang kontroversi dalam buku Runtuhnya Kerajaan
Hindu Jawa (1968), dengan menyatakan bahwa Walisongo adalah keturunan Tionghoa
Muslim.[6] Pendapat tersebut mengundang reaksi keras masyarakat yang berpendapat
bahwa Walisongo adalah keturunan Arab-Indonesia. Pemerintah Orde Baru sempat
melarang terbitnya buku tersebut.[rujukan?]
Referensi-referensi yang menyatakan dugaan bahwa Walisongo berasal dari atau
keturunan Tionghoa sampai saat ini masih merupakan hal yang kontroversial. Referensi
yang dimaksud hanya dapat diuji melalui sumber akademik yang berasal dari Slamet
Muljana, yang merujuk kepada tulisan Mangaraja Onggang Parlindungan, yang
kemudian merujuk kepada seseorang yang bernama Resident Poortman. Namun,
Resident Poortman hingga sekarang belum bisa diketahui identitasnya serta
kredibilitasnya sebagai sejarawan, misalnya bila dibandingkan dengan Snouck
Hurgronje dan L.W.C. van den Berg. Sejarawan Belanda masa kini yang banyak
mengkaji sejarah Islam di Indonesia yaitu Martin van Bruinessen, bahkan tak pernah
sekalipun menyebut nama Poortman dalam buku-bukunya yang diakui sangat detail dan
banyak dijadikan referensi.
Salah satu ulasan atas tulisan H.J. de Graaf, Th.G.Th. Pigeaud, M.C. Ricklefs
berjudul Chinese Muslims in Java in the 15th and 16th Centuries adalah yang ditulis
oleh Russell Jones. Di sana, ia meragukan pula tentang keberadaan seorang Poortman.
Bila orang itu ada dan bukan bernama lain, seharusnya dapat dengan mudah dibuktikan
mengingat ceritanya yang cukup lengkap dalam tulisan Parlindungan [7].

Sumber tertulis tentang Walisongo[sunting | sunting sumber]

1. Terdapat beberapa sumber tertulis masyarakat Jawa tentang Walisongo, antara


lain Serat Walisanga karya Ranggawarsita pada abad ke-19, Kitab
Walisongo karya Sunan Dalem (Sunan Giri II) yang merupakan anak
dari Sunan Giri, dan juga diceritakan cukup banyak dalam Babad Tanah Jawi.
2. Mantan Mufti Johor Sayyid `Alwî b. Tâhir b. `Abdallâh al-Haddâd (meninggal
tahun 1962) juga meninggalkan tulisan yang berjudul Sejarah perkembangan
Islam di Timur Jauh (Jakarta: Al-Maktab ad-Daimi, 1957). Ia menukil
keterangan diantaranya dari Haji `Ali bin Khairuddin, dalam karyanya Ketrangan
kedatangan bungsu (sic!) Arab ke tanah Jawi sangking Hadramaut.
3. Dalam penulisan sejarah para keturunan Bani Alawi seperti al-Jawahir al-
Saniyyah oleh Sayyid Ali bin Abu Bakar Sakran, 'Umdat al-Talib oleh al-Dawudi,
dan Syams al-Zahirah oleh Sayyid Abdul Rahman Al-Masyhur; juga terdapat
pembahasan mengenai leluhur Sunan Gunung Jati, Sunan Ampel, Sunan Giri,
Sunan Kudus, Sunan Bonang dan Sunan Gresik.

Lihat pula[sunting | sunting sumber]

 Mazhab Syafi'i
 Suku Arab-Indonesia
 Syekh Muhammad Shahib Mirbath
 Sunan Bayat
 Ki Ageng Pandan Arang
 Syekh Siti Jenar
 Resident Poortman
 Syekh Shohibul Faroji Azmatkhan Ba'alawi Al-Husaini
 Majelis Dakwah Walisongo

Pranala luar[sunting | sunting sumber]

 (Inggris) Najmuddin al-Kubra, Jumadil Kubra and Jamaluddin al-Akbar: Traces of


Kubrawiyya influence in early Indonesian Islam Online publication of Martin van
Bruinessen, by Universiteit Utrecht
 (Indonesia) Syekh Hasanuddin: Pendiri Pesantren Pertama di Jawa
Barat Republika Online: Jumat, 28 April 2006

Referensi[sunting | sunting sumber]

1. ^ Dahlan, KH. Mohammad. Haul Sunan Ampel Ke-555, Penerbit Yayasan Makam
Sunan Ampel, hlm 1-2, Surabaya, 1979.
2. ^ Meinsma, J.J., 1903. Serat Babad Tanah Jawi, Wiwit Saking Nabi Adam Dumugi
ing Tahun 1647. S'Gravenhage.
3. ^ Istilah maqam, selain berarti kubur juga dapat berarti tempat menetap atau
tempat yang pernah dikunjungi seorang tokoh; contohnya seperti makam Nabi
Ibrahim di Masjidil Haram.
4. ^ Lihat pula: Pangeran Sabrang Lor.

Anda mungkin juga menyukai