Anda di halaman 1dari 7

MENGENAI MILITAN DOKUMEN PERSPEKTIF BUKU MILITAN DONATE HUBUNGI KAMI

BERANDA BERITA ANALISA & PERSPEKTIF TEORI INTERNASIONAL Search...

Beranda Analisa & Perspektif Hukum & Demokrasi Anti-Tesis Agustus: Kemandirian Kelas Buruh dan Pilpres 2019

Anti-Tesis Agustus: Kemandirian Kelas Militan Indonesia


Buruh dan Pilpres 2019
5,838 likes

Liked Share

Senin, 17 September 2018 Ted Sprague


You like this

Tweet
Share 352
Militan Indonesia
pada hari Minggu
 
Kelas tertindas di negeri penindas
Menjelang pilpres tahun depan, terutama kelas buruhnya harus
kita dihadapkan sekali lagi dengan mendukung Hak Menentukan Nasib
pertanyaan mengenai apa sikap, Sendiri bagi rakyat Papua. Serikat-
serikat buruh Indonesia harus berani
strategi, dan taktik yang harus
berdiri bersama rakyat Papua. Bila
diambil oleh Gerakan Kiri hari ini. ada penyerangan kembali terhadap
Kita juga sekali lagi disajikan kawan-kawan Papua kita, serikat-
dengan analisa pemilu dari serikat buruh harus segera
mengorganisir aksi solidaritas,
perwakilan kaum Marxis Liberal
dengan memobilisasi anggota-
kita Martin Suryajaya. Setelah hampir 4 tahun yang lalu pamit untuk anggota buruh untuk menjadi pagar
“menemukan kembali Marxisme” -- dan kita masih menunggu Marxisme ini betis. Tunjukkan kepada ormas-
-- kita sekarang tampaknya ditawarkan sedikit hidangan pembuka. “Tesis ormas reaksioner ini kalau kawan-
kawan muda Papua kita ini tidak
Agustus” Martin bisa memberi kita gambaran akan “Marxisme baru” macam sendirian Hal ini untuk menunjukkan
apa yang sedang direkonstruksi olehnya selama 4 tahun terakhir, dan hanya
kekecewaan yang akan menyambut mereka-mereka yang menunggunya
karena tidak ada yang baru sama sekali. Kita hanya disajikan oportunisme
lama yang paling buruk rupa. [Baca “Penemuan Kembali Marxisme Kita”
oleh Martin, dan balasan dari Militan “Marxisme Mereka dan Marxisme
Kami”]

Mengenai sikap yang harus diambil oleh kaum revolusioner, ini sudah kami
jabarkan dengan cukup detail di artikel-artikel analisa pemilu sebelumnya:
“Perspektif Marxis untuk Pemilu 2014: Kritik, Analisa, dan Tugas Kita” dan
“Apa Ada Bahaya Fasisme di Indonesia?” Secara garis besar tidak ada
perubahan fundamental dalam konstelasi politik yang ada, sehingga posisi
kami tetap sama: tidak ada satupun parpol atau kandidat dalam pemilu yang
bisa didukung oleh kelas buruh di pemilu 2019 dan tugas utama kelas buruh
masihlah pembangunan organisasi politik yang mandiri.  

Ada tujuh tesis yang diajukan oleh Martin. Mari kita periksa satu per satu
tesis gemilang dari intelektual kita ini. Tugas ini tidaklah mudah karena
setiap baris dari artikelnya mengandung begitu banyak kekeliruan,
misrepresentasi, kebingungan dan kebodohan, entah sengaja atau tidak
disengaja, sehingga kami bisa menghabiskan banyak waktu untuk
membantah semuanya. Oleh karenanya banyak kebodohan yang harus kami
abaikan kalau kita ingin bisa fokus pada garis-garis utama yang perlu
dikupas.
1. Tesis: “Tidak ada gerakan Kiri yang cukup berpengaruh untuk
menghasilkan perubahan signifikan pada Pilpres 2019.”

Anti-tesis: “Gerakan buruh hari ini masih kecil dan tidak punya
organisasi politik yang mandiri untuk mengintervensi pemilu. Mari kita
mulai dengan serius dan konsekuen proses pembangunan Partai
Buruh!”

Martin berkeluh kesah mengenai fragmentasi dan kecilnya gerakan Kiri.


Dari sini ia simpulkan bahwa apapun yang dilakukan oleh gerakan Kiri
tidak akan menentukan hasil pemilu. Menurutnya hanya di bawah 1%
jumlah suara yang bisa dipengaruhi Kiri kalau mereka semua bersatu.
“Insignifikan!” tegasnya dengan angkuh. Dia ingatkan kita agar jangan
“mengidap waham kebesaran” atau delusion of grandeur, bahwa dengan
memboikot pemilu dan mengkritiknya kita bisa menentukan hasil pemilu.
Oleh karenanya akan lebih baik kalau kita dukung Jokowi.

Sepintas argumen ini tampak masuk di akal. Namun kalau Martin mampu
berpikir lebih jauh justru argumennya di atas mengalahkan dirinya sendiri.
Kalau memang yang pada akhirnya akan menang adalah Jokowi, atau
Prabowo, dan gerakan Kiri terlalu kecil untuk menentukan hasil
pertarungan pemilu, maka yang mengidap waham kebesaran adalah dia
sendiri. Dia bayangkan bahwa dengan mendukung Jokowi maka dia dan
gerakan Kiri – yang katanya perolehan suaranya hanya di bawah 1 persen –
dapat memperbesar prospek kemenangan Jokowi, dan dengan demikian
Gerakan Kiri sungguh dapat menentukan hasil pemilu. Tapi ini sangat
bertentangan dengan keluhannya di atas.

Hanya mereka-mereka yang sudah menyerah yang selalu mengukur besar


kecilnya gerakan Kiri dan organisasi Kiri sebagai tolak ukur untuk
menentukan garis politik utama, dan dalam hal ini kemandirian kelas.
Masalah kelas mana yang diwakili oleh kubu Jokowi sama sekali tidak
disentuhnya. Mungkin karena Martin agak malu untuk mengatakan bahwa
kelas buruh harus mendukung kelas kapitalis. Ia perlu belajar lebih banyak
keberanian setidaknya dari kawan Bonnie Setiawan yang secara gamblang
mengatakan bahwa tugas kelas buruh hari ini adalah mendukung kubu
kapitalis yang dianggapnya progresif.

Keluhan mengenai organisasi Kiri yang kecil, terpecah-pecah, dan tidak


signifikan dalam perpolitikan Indonesia bukanlah sesuatu yang baru dalam
gerakan. Di satu sisi ini mencerminkan pesimisme kaum Kiri umumnya
mengenai prospek revolusi sosialis. Di sisi lain ini juga menunjukkan bahwa
tradisi serta pemahaman membangun partai revolusioner sangatlah lemah –
dan bahkan sudah hilang – dalam gerakan. Alih-alih fokus secara sabar dan
konsisten membangun partai, para aktivis sibuk melompat dari satu
kampanye ke kampanye lain, dari satu kasus ke kasus lain, mengejar
advokasi yang tidak ada akhirnya. Kerja pembangunan partai dianggap
tidak penting dan terbengkalai. Bahkan konsep apa itu partai dan
bagaimana membangunnya tidaklah banyak yang memahami, dan ini
mengharuskan kita menggali kembali pelajaran dan pengalaman sejarah
perjuangan kelas buruh selama 200 tahun terakhir, dari hari-hari Marx dan
Engels sampai pada puncak pembangunan partai kelas buruh yang berhasil
merebut kekuasaan: partai Bolsheviknya Lenin dan Trotsky.

2. Tesis: “Masuk ke dalam gelanggang Pilpres 2019 lebih menguntungkan


buat gerakan Kiri ketimbang mempropagandakan golput”

Anti-tesis: “Tidak ada keuntungan yang datang dari membonceng parpol


borjuasi. Mereka-mereka yang ingin untung segera tanpa kerja-kerja
persiapan yang sabar dan telaten hanya akan kebablasan akhirnya.”
Mayoritas kaum Kiri pada pemilu sebelumnya telah mendukung Jokowi dan
tidak sedikit yang sudah berhasil masuk ke dalam rejim. Kalau Martin
mengatakan bahwa mendukung Jokowi akan lebih menguntungkan, kita
setidaknya perlu menagih bukti keuntungan ini selama 4 tahun terakhir.
Pada akhirnya pembuktian dari sebuah teori adalah hasil praktiknya. Kubu
Kiri yang mendukung Jokowi – yang jumlahnya dan sumber dayanya jauh
lebih besar daripada kubu Kiri yang tidak mendukung Jokowi – sama sekali
tidak bisa menunjukkan hasil keuntungan ini, entah dalam bentuk Gerakan
Kiri yang lebih besar dan terkonsolidasi, atau dalam bentuk “memajukan
agenda Kiri”. Mungkin kalau dalam bentuk kemajuan karier ikut
mendukung Jokowi dapat memberikan keuntungan, yang sudah terbukti
dalam keberhasilan sejumlah aktivis Kiri yang telah kecipratan jabatan.
Ketidakmampuan Martin untuk menyebut satu saja pencapaian utama yang
konkret dari kubu Kiri pro-Jokowi ini sungguh memekakkan telinga, dan ini
menghancurkan tesis keduanya.

Kaum Marxis tidak punya ilusi bahwa dengan memboikot pemilu – dan
memboikot pemilu bukanlah posisi prinsipil – maka ini akan menghasilkan
perubahan besar dalam sistem. Hari ini kaum Marxis adalah minoritas di
antara minoritas. Kekuatan kita terlalu kecil untuk bisa menentukan alur
politik besar, dan oleh karenanya tugas kita sekarang adalah dengan sabar
dan telaten membangun apa yang bisa kita bangun dengan kekuatan kita
yang kecil. Tugas kita adalah mendidik dan merekrut satu dua ke dalam
barisan revolusioner lewat kerja-kerja kecil yang bersahaja: kelompok
diskusi politik untuk kaum buruh dan muda; menerbitkan dan
menyebarkan koran revolusioner yang independen; mengumpulkan seperak
dua perak dana juang dari kaum buruh dan muda; melakukan intervensi
politik ke dalam kehidupan kampus dan pabrik; dsb. Semua ini adalah kerja-
kerja seputar membangun kerangka organisasi politik kelas buruh yang
mandiri. Misalnya baru-baru ini sejumlah serikat buruh memulai inisiatif
untuk merumuskan masalah pembentukan partai buruh, walau masih
dalam tahap awal dan terbatas lingkupnya. Terbangunnya partai buruh
akan menjadi momen politik historis bagi kaum buruh yang sejak 1965 tidak
punya organisasi politik massa. Tapi ini harus dibangun dari nol, dari
bawah, dan tidak ada satupun hal yang megah dan grandeur dalam kerja
semacam ini. Semua hal-hal kecil ini dilakukan untuk persiapan menuju
tujuan yang besar ke depannya: kemenangan revolusi sosialis.

Yang mengidap “waham kebesaran” justru adalah kawan kita Martin, yang
ingin segera bertarung di medan politik nasional yang besar tanpa terlebih
dahulu membangun fondasi kokoh, tanpa terlebih dahulu melakukan kerja-
kerja kecil. Ia ingin segera “mengambil posisi dalam rejim yang akan
menang demi memajukan agenda Kiri,” atau konkretnya dia ingin lebih
banyak Hilmar Fahrid, lebih banyak Dita Indah Sari, lebih banyak Budiman
Sudjatmiko, dan mungkin di hari depan dia sendiri bisa bergabung ke
jajaran orang-orang Kiri yang berhasil ini. Ternyata “Marxisme baru” Martin
ini tidak lain adalah reformisme, yang percaya bahwa masalah perubahan
sistem adalah masalah “retooling”, masalah memasukkan lebih banyak
orang-orang progresif ke dalam negara. Sama sekali tidak ada analisa
karakter kelas dari negara yang ada, yang merupakan tesis utama
Marxisme.

3. Tesis: “Mendukung Jokowi lebih menguntungkan bagi gerakan Kiri


daripada mendukung Prabowo di Pilpres 2019”

Anti-tesis: “Belajarlah sejarah yang benar! Soekarno-isme bukan jalan


menuju kemenangan tetapi kekalahan telak gerakan.”

Soekarnoisme kali ini dipanjatkan olehnya sebagai “pilihan terdekat (secara


ideologis) bagi gerakan Kiri.” Kita diminta untuk “membuka buku sejarah
Indonesia [dan] bukan Rusia”. Namun ketika kita buka buku sejarah
Indonesia dan tengok apa hasil dari Soekarnoisme, apa hasil dari PKI yang
mengekor Soekarno, kita temui tumpukan mayat yang menjadi fondasi
kediktatoran militer Orde Baru selama 32 tahun.

Kita diwanti-wanti bahwa “mendukung Jokowi berarti menyelamatkan


ruang demokrasi, sebab dia lah figur terkuat saat ini yang dapat
membendung gelombang fundamentalisme anti-Kiri.” Ya, gelombang
fundamentalisme telah dibendung Jokowi dengan merangkulnya masuk ke
dalam rejim sebagai cawapres.

Lebih dari separuh abad yang lalu kita bisa bayangkan bagaimana Aidit
mengatakan hal yang serupa, bahwa “mendukung Soekarno berarti
menyelamatkan ruang demokrasi sebab dia lah figur terkuat saat ini yang
dapat membendung imperialisme dan para jendral anti-Kiri.” Tetapi yang
terjadi justru sebaliknya. Dengan mendukung Soekarno, kelas buruh
dilumpuhkan karena mereka diharuskan menunda perjuangan kelas dan
menumpulkan program-program politik kelasnya demi apa yang disebut
“aliansi taktis” dengan kelas borjuasi progresif.

Soekarno-isme adalah perangkap untuk menyalurkan semangat


revolusioner rakyat pekerja ke saluran yang aman -- ke jalan buntu lebih
tepatnya -- guna melucuti rakyat pekerja yang kemudian diserahkan ke
algojo Soeharto. Inilah fungsi dari Soekarno-isme. Kalau Soekarno sendiri
sebagai individu mengalami nasib tragis sebagai korban Orba, kendati
secara pribadi percaya bahwa dia sedang melakukan hal yang benar, ini
tidaklah relevan karena politik tidak ditentukan oleh maksud baik
seseorang. Maksud baik Martin ingin mencapai sosialisme lewat
Soekarnoisme tidak akan membersihkannya dari kekeliruannya yang fatal.

Bagaimana dengan buku sejarah Rusia, yang menurut Martin bukan buku
yang seharusnya kita buka? Dalam lembar-lembar sejarah Rusia kita temui
kemenangan Revolusi Oktober pada 1917 di bawah kepemimpinan Lenin
dan Trotsky, kemenangan megah yang membuka gerbang untuk gelombang
revolusi-revolusi sosialis di Eropa dan revolusi-revolusi kolonial di negeri-
negeri jajahan, kemenangan besar yang membangkitkan ratusan juta buruh
dan tani di seluruh dunia. Bila saja Revolusi Indonesia – pada 1925-26, 1945-
49, dan terutama pada 1960an – mengantar kita ke kemenangan semacam
ini, tentunya tidak hanya kita tetapi juga seluruh rakyat pekerja dunia
diwajibkan membuka buku sejarah Indonesia dan memetik pelajaran
darinya. Tapi sayangnya tidak demikian. Tidak ada pelajaran kemenangan.
Yang ada hanya pelajaran kekalahan yang pedih, yakni pelajaran mengenai
apa yang tidak seharusnya dikerjakan atau What is not to be done:
mengorbankan kemandirian kelas dengan mencari persekutuan dengan apa
yang disebut kelas borjuasi progresif; mengekor pada sosialisme borjuis-
kecil yang nasionalistis, yang di Indonesia disebut Soekarno-isme.

Martin mengidap Rusia-fobia yang akut. Ia begitu takutnya orang membuka


buku sejarah Rusia karena Revolusi Oktober akan segera mengekspos
oportunisme dan reformisme dari sang borjuis kecil kita. Seperti khalayak
ramai borjuis kecil lainnya, dia hanya bisa terus mengulang “Indonesia
bukan Rusia!”, “Rusia bukan Indonesia!” dan “Indonesia adalah Indonesia!”
seakan-akan ini adalah sebuah pengungkapan intelektual yang luar biasa.

4. Tesis: “Kekeliruan Indoprogress di 2014: mengartikan “dukungan


kritis” sebagai posisi intelektual, bukan sebagai kerja politik.”

Anti-Tesis: “Kekeliruan harus dibenahi, bukan diteruskan dan


dilipatgandakan.”
Tesis di atas sesungguhnya adalah pengakuan bahwa taktik mendukung
Jokowi pada pemilu 2014 kemarin telah gagal. “Sampah numpuk,” yakni
sampah kebangkrutan rejim borjuasi Jokowi. Tetapi alih-alih mengakui
kesalahan ini dan mengubah haluan, Martin justru terus menerjang. Ia
meminta kaum Kiri untuk lebih giat membersihkan sampah ini. Ini yang kita
sebut “double down”, yakni pejudi kronik yang sudah kalah lalu
melipatgandakan taruhan selanjutnya. Kita tahu biasanya bagaimana nasib
pejudi seperti itu. Tidak ada yang bisa mengalahkan bandar.

Yang dia tuntut di sini adalah bahwa tanggung jawab kegagalan rejim
Jokowi untuk memenuhi janji-janjinya merupakan kesalahan dari para
pendukungnya yang kurang tekun, yang “malas bekerja” dan “rendah
inisiatif”. Bila saja para pendukung Jokowi tidak hanya memberi sokongan
intelektual, moral, politik, atau yang sejenisnya, tidak hanya nyoblos saja,
tetapi juga aktif “membangun negara” dan “kerja”, maka rejim Jokowi tidak
akan mengecewakan rakyat. Kaum Kiri diminta untuk memenuhi tugas-
tugas yang lalai dilakukan oleh Jokowi dan para pejabat negara yang
tambun. Seperti John F. Kennedy yang mengatakan: Ask not what your
country can do for you, ask what you can do for your country (Jangan
tanyakan apa yang negara ini berikan kepadamu tapi tanyakan apa yang
telah kamu berikan kepada negaramu.)

Rakyat pekerja, mengabdilah dengan setia pada negaramu ini! Kalau


negaramu tidak mampu menyejahterakan kalian, mari kita semua bekerja
bersama sebagai warganegara untuk membangun negara ini agar sejahtera!
Ilusi kewarganegaraan adalah ilusi paling beracun untuk mengaburkan
kepentingan kelas yang bertentangan dan tak terdamaikan antara kapital
dan buruh. Persis inilah yang dilakukan oleh Martin. Ia menuntut
“kewajiban warga untuk membangun negara” dan tidak mengatakan apa
karakter kelas dari negara yang ingin dia bangun ini, yakni negara borjuasi
yang tujuannya adalah menindas kelas buruh. Dengan ini Martin telah
menjadi corong suara dari kelas penguasa borjuasi. Kita patut bertanya:
perenungan macam apa yang dilakukan olehnya selama empat tahun
terakhir, yang mengantarnya bukan pada Marxisme tapi pada ideologi
borjuis yang reaksioner? 

5. Tesis: “Kaum Intelektual Kiri mesti kembali menjadi orang Indonesia,


bukan berusaha menjadi Indonesianis.”

Anti-tesis: “Kaum Kiri mesti kembali menjadi pejuang kelas buruh,


bukan berusaha mengaburkan garis kelas dengan abstraksi ‘Orang
Indonesia’ dan menjadi alat ideologi kelas penguasa dengan masuk ke
rejim borjuasi.”

Berputar-putar panjang, maksud Martin adalah jangan berteori saja tetapi


berprakteklah yang nyata sebagai “orang Indonesia”. Dengan menggunakan
prasangka anti-intelektual yang paling kasar, sang intelektual kita
menyajikan gagasannya (teorinya) sebagai praktik nyata yang konkret,
sementara gagasan-gagasan yang bertentang dengannya sebagai teori
semata yang tidak praktis dan tidak konkret. Hanya orang bodoh yang bisa
terjerumus pada demagogi hampa seperti ini.

Kita diingatkan sekali lagi di tesis ini: janganlah “membawa-bawa Rusia ke


mana-mana”! Rusia-fobia sungguh menjangkiti borjuis kecil kita ini, seperti
halnya ia menjangkiti para politisi AS dan Eropa hari ini, yang melihat Rusia
di mana-mana sebagai biang kerok dari semua yang salah.

Kali ini ilusi kewarganegaraan borjuis ditaburkannya lewat abstraksi “orang


Indonesia”. Kita harus menjadi berpikir dan berpraktik berdasarkan
“kepentingan kebangsaan yang mewujud dalam ... semua orang Indonesia
yang hidup dan mati bersama kita di Republik ini.” Orang Indonesia yang
kaya dan yang miskin, yang majikan dan yang buruh, yang tuan tanah dan
petani, yang menindas dan tertindas, adalah perwujudan dari “kepentingan
kebangsaan.” Kepentingan kelas menghilang atau dihilangkan di bawah
“kepentingan kebangsaan”. Inilah Soekarno-isme: perjuangan kelas yang
disubordinasi oleh perjuangan nasional yang katanya menyatukan semua
kelas yang bertentangan. Tetapi sesungguhnya persatuan nasional ini semu,
karena digunakan untuk mengaburkan realitas dominasi kapital atas buruh.

6. Tesis: “Yang kita butuhkan sekarang, lebih dari segalanya, adalah


realisme politik.”

Anti-tesis: “Yang kita butuhkan sekarang adalah program politik yang


berdasarkan kemandirian kelas buruh.”

Akhirnya kita tiba pada kesimpulan dari semua celoteh pintar Martin:
“realisme politik” dan “Machiavelli”, yang menurutnya harus jadi pedoman
perjuangan politik kita. Kedua paham ini dapat diisi apapun sesuai dengan
kehendak pengujarnya, dan oleh karenanya tidak punya arti sama sekali.
Mereka adalah ungkapan pamungkas dan demagogis kaum filistin.
Sementara kita dinasihati agar jangan mematok diri kita pada “sistem
klasifikasi Marxis sehingga ... menggolong-golongkan mana yang boleh dan
tak boleh dilakukan seturut sistem klasifikasi tersebut.” Intinya, menurut
Martin Marxisme itu mengajarkan bahwa ya adalah ya, dan tidak adalah
tidak, bahwa semua itu hitam dan putih, dalam klasifikasi moralis yang
kaku.

Ini hanya menunjukkan bahwa sang intelektual kita, yang begitu getolnya
dulu menulis berbagai artikel mengenai Marxisme – dengan judul-judul
“Marxisme dan XYZ” – sesungguhnya tidak pernah memahami inti filsafat
Marxisme. Marxisme justru menolak secara prinsipil klasifikasi yang kaku.
Ia menolak logika formal yang hanya bisa menjawab ya atau tidak, yang
menyangkal kontradiksi, yang ingin mengkotak-kotakkan segala hal dalam
ruang dan waktu yang statis. Martin ternyata hanya bisa membeo dari apa
yang dibacanya mengenai Marxisme tetapi tidak pernah sungguh
meresapinya untuk bisa menerapkannya dalam politik. Ketika dia coba
terapkan Marxisme dalam politik, hasilnya bertentangan dengan prasangka
borjuis kecilnya, prasangka reformis dan oportunisnya, keinginannya untuk
“mengambil posisi dalam rejim [borjuasi]”. Walhasil, seperti anak kecil yang
mengambek, dia salahkan Marxisme sebagai sistem klasifikasi yang kaku.

Penolakan kaum Marxis terhadap Jokowi dan kubunya tidak datang dari
perhitungan moral, tetapi dari perhitungan politik yang paling praktis –
kalau kita ingin sungguh-sungguh berbicara mengenai “realisme politik” –
untuk kemenangan sosialisme, yakni krusialnya mempertahankan
kemandirian kelas. Alat utama kelas penindas untuk bisa mempertahankan
dominasinya terhadap yang ditindasnya adalah dengan mengaburkan garis
kelas, dengan ilusi “persatuan nasional”, “kepentingan kebangsaan”, “kita
semua orang Indonesia”, “kewarganegaraan” dan berbagai turunannya.
Kelas buruh dikecoh dengan ilusi-ilusi ini supaya kesadaran kelasnya tetap
tak berkembang, supaya ia buta akan adanya penindasan kelas yang
dialaminya, agar ia tetap hanya menjadi kelas dalam dirinya sendiri dan
bukan kelas untuk dirinya sendiri. Ilusi ini lalu dikemas ulang oleh kaum
borjuis kecil agar lebih menarik – dan dengan demikian lebih bisa mengecoh
kelas tertindas – menjadi pembentukan front nasional antar semua kelas
guna mempertahankan demokrasi, melawan fasisme, fundamentalisme,
imperialisme, feodalisme, dan lain sebagainya. Fakta historis inilah yang
mendikte tugas utama kaum revolusioner: mempertahankan kemandirian
kelas buruh dari gempuran kelas borjuasi, bukan menggadaikannya ke kelas
borjuasi demi apa yang disebut “realisme politik”. Kemandirian kelas bukan
sesuatu yang bisa dijual untuk sementara dan lalu didapat kembali dengan
bunga-bunganya. Sejarah, kalau kita serius ingin belajar darinya,
menunjukkan bahwa mereka-mereka yang menjual kemandirian kelasnya
tidak pernah mendapatkannya kembali.

Untuk sedikit menyejukkan hati nuraninya, Martin harus menyebut sekali


saja kata “sosialisme”, bahwa semua ini dilakukannya untuk “menggali dan
mempropagandakan akar sosialisme dari Soekarnoisme”. Namun tidak ada
sosialisme dalam Soekarnoisme. Yang ada hanya karikatur borjuis kecil dari
sosialisme, seperti sepatu Nike tiruan yang murah dan berkualitas buruk,
yang tujuannya memerangkap kesadaran kelas buruh.

7. Tesis: “Kaum Kiri Indonesia, jangan centil!

Anti-Tesis: “Martin-Martin Indonesia, enyahlah!”

Memilih “terbaik dari yang terburuk” adalah “Marxisme baru” yang selama
4 tahun terakhir dia renungkan, yang tidak berbeda dengan posisi politiknya
pada pilpres 2014 yang lalu. Kita tidak perlu 4 tahun untuk menemukan
“Marxisme baru” macam ini. Kita hanya perlu membaca tulisan Stalin
mengenai blok empat kelas, yang lalu diadopsi dengan gemilang oleh Aidit
dengan hasil akhir yang berdarah-darah.

Pencarian “Marxisme” oleh Martin sejak awal sudah bisa diduga apa
hasilnya. Mentok-mentok, yang ditemukannya tidaklah lebih dari Aidit-isme
dan Soekarnoisme. Bila dia beruntung, dia akan berakhir ke liberalisme,
tempat yang paling alami dan nyaman baginya. Semakin ia mencari
Marxisme, semakin Marxisme akan menjauhinya, dan lebih baik memang
demikian. Marxisme tidak membutuhkan orang-orang seperti Martin. Bagi
yang ingin menemukan kembali Marxisme, pelajarilah secara langsung
Marx, Engels, Lenin dan Trotsky, tidak hanya tulisan-tulisan teoretis mereka
tetapi juga pengalaman berorganisasi mereka. Hanya dengan demikian
maka kita sungguh akan bisa menemukan jalan keluar dari kebuntuan yang
ada dalam gerakan. 

Anda mungkin juga menyukai