Anti-Tesis Agustus - Kemandirian Kelas Buruh Dan Pilpres 2019
Anti-Tesis Agustus - Kemandirian Kelas Buruh Dan Pilpres 2019
Beranda Analisa & Perspektif Hukum & Demokrasi Anti-Tesis Agustus: Kemandirian Kelas Buruh dan Pilpres 2019
Liked Share
Tweet
Share 352
Militan Indonesia
pada hari Minggu
Kelas tertindas di negeri penindas
Menjelang pilpres tahun depan, terutama kelas buruhnya harus
kita dihadapkan sekali lagi dengan mendukung Hak Menentukan Nasib
pertanyaan mengenai apa sikap, Sendiri bagi rakyat Papua. Serikat-
serikat buruh Indonesia harus berani
strategi, dan taktik yang harus
berdiri bersama rakyat Papua. Bila
diambil oleh Gerakan Kiri hari ini. ada penyerangan kembali terhadap
Kita juga sekali lagi disajikan kawan-kawan Papua kita, serikat-
dengan analisa pemilu dari serikat buruh harus segera
mengorganisir aksi solidaritas,
perwakilan kaum Marxis Liberal
dengan memobilisasi anggota-
kita Martin Suryajaya. Setelah hampir 4 tahun yang lalu pamit untuk anggota buruh untuk menjadi pagar
“menemukan kembali Marxisme” -- dan kita masih menunggu Marxisme ini betis. Tunjukkan kepada ormas-
-- kita sekarang tampaknya ditawarkan sedikit hidangan pembuka. “Tesis ormas reaksioner ini kalau kawan-
kawan muda Papua kita ini tidak
Agustus” Martin bisa memberi kita gambaran akan “Marxisme baru” macam sendirian Hal ini untuk menunjukkan
apa yang sedang direkonstruksi olehnya selama 4 tahun terakhir, dan hanya
kekecewaan yang akan menyambut mereka-mereka yang menunggunya
karena tidak ada yang baru sama sekali. Kita hanya disajikan oportunisme
lama yang paling buruk rupa. [Baca “Penemuan Kembali Marxisme Kita”
oleh Martin, dan balasan dari Militan “Marxisme Mereka dan Marxisme
Kami”]
Mengenai sikap yang harus diambil oleh kaum revolusioner, ini sudah kami
jabarkan dengan cukup detail di artikel-artikel analisa pemilu sebelumnya:
“Perspektif Marxis untuk Pemilu 2014: Kritik, Analisa, dan Tugas Kita” dan
“Apa Ada Bahaya Fasisme di Indonesia?” Secara garis besar tidak ada
perubahan fundamental dalam konstelasi politik yang ada, sehingga posisi
kami tetap sama: tidak ada satupun parpol atau kandidat dalam pemilu yang
bisa didukung oleh kelas buruh di pemilu 2019 dan tugas utama kelas buruh
masihlah pembangunan organisasi politik yang mandiri.
Ada tujuh tesis yang diajukan oleh Martin. Mari kita periksa satu per satu
tesis gemilang dari intelektual kita ini. Tugas ini tidaklah mudah karena
setiap baris dari artikelnya mengandung begitu banyak kekeliruan,
misrepresentasi, kebingungan dan kebodohan, entah sengaja atau tidak
disengaja, sehingga kami bisa menghabiskan banyak waktu untuk
membantah semuanya. Oleh karenanya banyak kebodohan yang harus kami
abaikan kalau kita ingin bisa fokus pada garis-garis utama yang perlu
dikupas.
1. Tesis: “Tidak ada gerakan Kiri yang cukup berpengaruh untuk
menghasilkan perubahan signifikan pada Pilpres 2019.”
Anti-tesis: “Gerakan buruh hari ini masih kecil dan tidak punya
organisasi politik yang mandiri untuk mengintervensi pemilu. Mari kita
mulai dengan serius dan konsekuen proses pembangunan Partai
Buruh!”
Sepintas argumen ini tampak masuk di akal. Namun kalau Martin mampu
berpikir lebih jauh justru argumennya di atas mengalahkan dirinya sendiri.
Kalau memang yang pada akhirnya akan menang adalah Jokowi, atau
Prabowo, dan gerakan Kiri terlalu kecil untuk menentukan hasil
pertarungan pemilu, maka yang mengidap waham kebesaran adalah dia
sendiri. Dia bayangkan bahwa dengan mendukung Jokowi maka dia dan
gerakan Kiri – yang katanya perolehan suaranya hanya di bawah 1 persen –
dapat memperbesar prospek kemenangan Jokowi, dan dengan demikian
Gerakan Kiri sungguh dapat menentukan hasil pemilu. Tapi ini sangat
bertentangan dengan keluhannya di atas.
Kaum Marxis tidak punya ilusi bahwa dengan memboikot pemilu – dan
memboikot pemilu bukanlah posisi prinsipil – maka ini akan menghasilkan
perubahan besar dalam sistem. Hari ini kaum Marxis adalah minoritas di
antara minoritas. Kekuatan kita terlalu kecil untuk bisa menentukan alur
politik besar, dan oleh karenanya tugas kita sekarang adalah dengan sabar
dan telaten membangun apa yang bisa kita bangun dengan kekuatan kita
yang kecil. Tugas kita adalah mendidik dan merekrut satu dua ke dalam
barisan revolusioner lewat kerja-kerja kecil yang bersahaja: kelompok
diskusi politik untuk kaum buruh dan muda; menerbitkan dan
menyebarkan koran revolusioner yang independen; mengumpulkan seperak
dua perak dana juang dari kaum buruh dan muda; melakukan intervensi
politik ke dalam kehidupan kampus dan pabrik; dsb. Semua ini adalah kerja-
kerja seputar membangun kerangka organisasi politik kelas buruh yang
mandiri. Misalnya baru-baru ini sejumlah serikat buruh memulai inisiatif
untuk merumuskan masalah pembentukan partai buruh, walau masih
dalam tahap awal dan terbatas lingkupnya. Terbangunnya partai buruh
akan menjadi momen politik historis bagi kaum buruh yang sejak 1965 tidak
punya organisasi politik massa. Tapi ini harus dibangun dari nol, dari
bawah, dan tidak ada satupun hal yang megah dan grandeur dalam kerja
semacam ini. Semua hal-hal kecil ini dilakukan untuk persiapan menuju
tujuan yang besar ke depannya: kemenangan revolusi sosialis.
Yang mengidap “waham kebesaran” justru adalah kawan kita Martin, yang
ingin segera bertarung di medan politik nasional yang besar tanpa terlebih
dahulu membangun fondasi kokoh, tanpa terlebih dahulu melakukan kerja-
kerja kecil. Ia ingin segera “mengambil posisi dalam rejim yang akan
menang demi memajukan agenda Kiri,” atau konkretnya dia ingin lebih
banyak Hilmar Fahrid, lebih banyak Dita Indah Sari, lebih banyak Budiman
Sudjatmiko, dan mungkin di hari depan dia sendiri bisa bergabung ke
jajaran orang-orang Kiri yang berhasil ini. Ternyata “Marxisme baru” Martin
ini tidak lain adalah reformisme, yang percaya bahwa masalah perubahan
sistem adalah masalah “retooling”, masalah memasukkan lebih banyak
orang-orang progresif ke dalam negara. Sama sekali tidak ada analisa
karakter kelas dari negara yang ada, yang merupakan tesis utama
Marxisme.
Lebih dari separuh abad yang lalu kita bisa bayangkan bagaimana Aidit
mengatakan hal yang serupa, bahwa “mendukung Soekarno berarti
menyelamatkan ruang demokrasi sebab dia lah figur terkuat saat ini yang
dapat membendung imperialisme dan para jendral anti-Kiri.” Tetapi yang
terjadi justru sebaliknya. Dengan mendukung Soekarno, kelas buruh
dilumpuhkan karena mereka diharuskan menunda perjuangan kelas dan
menumpulkan program-program politik kelasnya demi apa yang disebut
“aliansi taktis” dengan kelas borjuasi progresif.
Bagaimana dengan buku sejarah Rusia, yang menurut Martin bukan buku
yang seharusnya kita buka? Dalam lembar-lembar sejarah Rusia kita temui
kemenangan Revolusi Oktober pada 1917 di bawah kepemimpinan Lenin
dan Trotsky, kemenangan megah yang membuka gerbang untuk gelombang
revolusi-revolusi sosialis di Eropa dan revolusi-revolusi kolonial di negeri-
negeri jajahan, kemenangan besar yang membangkitkan ratusan juta buruh
dan tani di seluruh dunia. Bila saja Revolusi Indonesia – pada 1925-26, 1945-
49, dan terutama pada 1960an – mengantar kita ke kemenangan semacam
ini, tentunya tidak hanya kita tetapi juga seluruh rakyat pekerja dunia
diwajibkan membuka buku sejarah Indonesia dan memetik pelajaran
darinya. Tapi sayangnya tidak demikian. Tidak ada pelajaran kemenangan.
Yang ada hanya pelajaran kekalahan yang pedih, yakni pelajaran mengenai
apa yang tidak seharusnya dikerjakan atau What is not to be done:
mengorbankan kemandirian kelas dengan mencari persekutuan dengan apa
yang disebut kelas borjuasi progresif; mengekor pada sosialisme borjuis-
kecil yang nasionalistis, yang di Indonesia disebut Soekarno-isme.
Yang dia tuntut di sini adalah bahwa tanggung jawab kegagalan rejim
Jokowi untuk memenuhi janji-janjinya merupakan kesalahan dari para
pendukungnya yang kurang tekun, yang “malas bekerja” dan “rendah
inisiatif”. Bila saja para pendukung Jokowi tidak hanya memberi sokongan
intelektual, moral, politik, atau yang sejenisnya, tidak hanya nyoblos saja,
tetapi juga aktif “membangun negara” dan “kerja”, maka rejim Jokowi tidak
akan mengecewakan rakyat. Kaum Kiri diminta untuk memenuhi tugas-
tugas yang lalai dilakukan oleh Jokowi dan para pejabat negara yang
tambun. Seperti John F. Kennedy yang mengatakan: Ask not what your
country can do for you, ask what you can do for your country (Jangan
tanyakan apa yang negara ini berikan kepadamu tapi tanyakan apa yang
telah kamu berikan kepada negaramu.)
Akhirnya kita tiba pada kesimpulan dari semua celoteh pintar Martin:
“realisme politik” dan “Machiavelli”, yang menurutnya harus jadi pedoman
perjuangan politik kita. Kedua paham ini dapat diisi apapun sesuai dengan
kehendak pengujarnya, dan oleh karenanya tidak punya arti sama sekali.
Mereka adalah ungkapan pamungkas dan demagogis kaum filistin.
Sementara kita dinasihati agar jangan mematok diri kita pada “sistem
klasifikasi Marxis sehingga ... menggolong-golongkan mana yang boleh dan
tak boleh dilakukan seturut sistem klasifikasi tersebut.” Intinya, menurut
Martin Marxisme itu mengajarkan bahwa ya adalah ya, dan tidak adalah
tidak, bahwa semua itu hitam dan putih, dalam klasifikasi moralis yang
kaku.
Ini hanya menunjukkan bahwa sang intelektual kita, yang begitu getolnya
dulu menulis berbagai artikel mengenai Marxisme – dengan judul-judul
“Marxisme dan XYZ” – sesungguhnya tidak pernah memahami inti filsafat
Marxisme. Marxisme justru menolak secara prinsipil klasifikasi yang kaku.
Ia menolak logika formal yang hanya bisa menjawab ya atau tidak, yang
menyangkal kontradiksi, yang ingin mengkotak-kotakkan segala hal dalam
ruang dan waktu yang statis. Martin ternyata hanya bisa membeo dari apa
yang dibacanya mengenai Marxisme tetapi tidak pernah sungguh
meresapinya untuk bisa menerapkannya dalam politik. Ketika dia coba
terapkan Marxisme dalam politik, hasilnya bertentangan dengan prasangka
borjuis kecilnya, prasangka reformis dan oportunisnya, keinginannya untuk
“mengambil posisi dalam rejim [borjuasi]”. Walhasil, seperti anak kecil yang
mengambek, dia salahkan Marxisme sebagai sistem klasifikasi yang kaku.
Penolakan kaum Marxis terhadap Jokowi dan kubunya tidak datang dari
perhitungan moral, tetapi dari perhitungan politik yang paling praktis –
kalau kita ingin sungguh-sungguh berbicara mengenai “realisme politik” –
untuk kemenangan sosialisme, yakni krusialnya mempertahankan
kemandirian kelas. Alat utama kelas penindas untuk bisa mempertahankan
dominasinya terhadap yang ditindasnya adalah dengan mengaburkan garis
kelas, dengan ilusi “persatuan nasional”, “kepentingan kebangsaan”, “kita
semua orang Indonesia”, “kewarganegaraan” dan berbagai turunannya.
Kelas buruh dikecoh dengan ilusi-ilusi ini supaya kesadaran kelasnya tetap
tak berkembang, supaya ia buta akan adanya penindasan kelas yang
dialaminya, agar ia tetap hanya menjadi kelas dalam dirinya sendiri dan
bukan kelas untuk dirinya sendiri. Ilusi ini lalu dikemas ulang oleh kaum
borjuis kecil agar lebih menarik – dan dengan demikian lebih bisa mengecoh
kelas tertindas – menjadi pembentukan front nasional antar semua kelas
guna mempertahankan demokrasi, melawan fasisme, fundamentalisme,
imperialisme, feodalisme, dan lain sebagainya. Fakta historis inilah yang
mendikte tugas utama kaum revolusioner: mempertahankan kemandirian
kelas buruh dari gempuran kelas borjuasi, bukan menggadaikannya ke kelas
borjuasi demi apa yang disebut “realisme politik”. Kemandirian kelas bukan
sesuatu yang bisa dijual untuk sementara dan lalu didapat kembali dengan
bunga-bunganya. Sejarah, kalau kita serius ingin belajar darinya,
menunjukkan bahwa mereka-mereka yang menjual kemandirian kelasnya
tidak pernah mendapatkannya kembali.
Memilih “terbaik dari yang terburuk” adalah “Marxisme baru” yang selama
4 tahun terakhir dia renungkan, yang tidak berbeda dengan posisi politiknya
pada pilpres 2014 yang lalu. Kita tidak perlu 4 tahun untuk menemukan
“Marxisme baru” macam ini. Kita hanya perlu membaca tulisan Stalin
mengenai blok empat kelas, yang lalu diadopsi dengan gemilang oleh Aidit
dengan hasil akhir yang berdarah-darah.
Pencarian “Marxisme” oleh Martin sejak awal sudah bisa diduga apa
hasilnya. Mentok-mentok, yang ditemukannya tidaklah lebih dari Aidit-isme
dan Soekarnoisme. Bila dia beruntung, dia akan berakhir ke liberalisme,
tempat yang paling alami dan nyaman baginya. Semakin ia mencari
Marxisme, semakin Marxisme akan menjauhinya, dan lebih baik memang
demikian. Marxisme tidak membutuhkan orang-orang seperti Martin. Bagi
yang ingin menemukan kembali Marxisme, pelajarilah secara langsung
Marx, Engels, Lenin dan Trotsky, tidak hanya tulisan-tulisan teoretis mereka
tetapi juga pengalaman berorganisasi mereka. Hanya dengan demikian
maka kita sungguh akan bisa menemukan jalan keluar dari kebuntuan yang
ada dalam gerakan.