Anda di halaman 1dari 155

Suhari Ete

Buruh Indonesia
Perdjoeangan Dari Masa Ke Masa

Penerbit
Triwarna Media Publishing
Jakarta
Buruh Indonesia

Perdjoeangan Dari Masa Ke Masa

Copyright © 2016 Suhari Ete

Penerbit

Triwarna Media Publishing Jakarta

Jakarta

Desain Sampul:

Triwarna Media Publishing

Hak cipta di lindungi oleh undang-undang

Isi di luar tanggung jawab percetakan.

Di larang keras mengambil sebagian atau seluruh isi buku ini


tanpa ijin tertulis dari penerbit.

ii
Ku persembahkan buku ini untuk
Semua pejuang, aktivis dan para buruh di seluruh
Indonesia.

iii
DAFTAR ISI

Kata Pengantar ...................................................... 1

Pendahuluan .......................................................... 4

Bab I Masa Gerakan Tak teroganisir .................... 7

Masa Kerajaan Indonesia ...................................... 7

Masa Tanam Paksa ............................................. 10

Masa Penjajahan ................................................. 12

Bab II Terbentuknya serikat buruh ..................... 17

Pembentukan serikat oleh buruh Belanda ........... 17

Serikat buruh Pertama di Jawa ............................ 21

Buruh pada Masa Pergerakan Nasional .............. 26

iv
BAB III Soekarno dan Kaum Buruh ................... 36

Gagasan Soekarno Tentang Gerakan Buruh ....... 36

PNI dan Gerakan Buruh ...................................... 40

Kaum Marhaenisme dan Proletar........................ 42

BAB IV Suryopranoto dan Kaum Buruh ............ 45

Timbulnya pergerakan Buruh ............................. 45

Menggerakan Buruh dalam P.F.B ....................... 47

Gerakan PPPB dan PPPH ................................... 50

Suryopranoto dan Partai Sarekat Islam .............. 56

BAB V TAN MALAKA ..................................... 60

BAB VI SEMAUN ............................................. 71

PKI dan Semaun ................................................. 74

Peran Semaun...................................................... 75

Masa Pengasingan ............................................... 77

Akhir hidup ......................................................... 78

BAB VII Buruh Dan Revolusi 1945 .................. 81


v
BAB VIII Gerakan Buruh Pasca Kemerdekaan .. 91

Penyatuan dan Perpecahan .................................. 94

Peta Politik Gerakan Buruh ................................ 95

Pengikisan Gerakan Buruh ............................... 100

BAB IX Buruh Dan Politik ............................... 104

BAB X Buruh di Masa Orde Baru .................... 109

Pembungkaman Gerakan Buruh ....................... 109

BAB XI Marsinah ............................................. 113

Pengetahuan Mengubah Nasib .......................... 114

Bangkitnya Keberanian ..................................... 119

Awal Kebangkitan ............................................ 121

Menanti Buruh Bertindak ................................. 126

Bab XII

Perjuangan Buruh Era Reformasi ..................... 128

Meluasnya aksi-aksi dan konsolidasi buruh ..... 130

Era Jokowi yang lebih buruk ............................ 136


vi
Buruh menyongsong pemilu 2019 ................... 139

Penutup ............................................................. 144

Daftar Pustaka ................................................... 145

vii
Kata Pengantar

Dari sejak dulu hingga sekarang ini, peran dari


seorang buruh seringkali dikesampingkan dan
dianggap tidak penting. Padahal, jika dilihat dari nilai
historisnya buruh memiliki peranan yang sangat
penting dalam proses pembangunan perekonomian
negara khususnya di sektor industri. Tanpa buruh,
tidak mungkin proses produksi bisa berjalan dan
menghasilkan devisa atau keuntungan bagi negara.

Hal itu yang sangat disayangkan, pengabdian mereka


selama ini tidak sebanding dengan apa yang mereka
dapatkan. Karena pemerintah lebih mementingkan
kepentingan kaum pemilik modal daripada
kepentingan buruh itu sendiri. Hal tersebut semakin
diperparah dengan sistem kapitalis yang diterapkan di
Indonesia saat ini hanya menempatkan buruh sebagai
salah satu unsur dari proses produksi, bukan sebagai
faktor utama dalam proses ekonomi. Kondisi seperti
inilah yang membuat para buruh tidak mendapatkan
jalan lain melainkan dengan jalan mogok kerja dan
aksi protes.

Sebagai sebuah gerakan sosial, gerakan buruh


sangatlah disayangkan apabila tidak diangkat dan
diulas secara lebih dalam. Pembuatan sebuah tulisan
mengenai Gerakan buruh merupakan sebuah
pekerjaan besar yang luar biasa. Dinamika yang
terjadi di dalam sebuah masyarakat selalu jauh lebih
kompleks dan rumit daripada yang dapat diuraikan
oleh satu atau beberapa orang penulis. Dalam tulisan
ini penulis hanya berkeinginan untuk memaparkan
perjuangan yang telah ditempuh oleh gerakan buruh
Indonesia, situasi ekonomi-politik yang sedang
berkembang,

Metode-metode yang dipakainya dalam tiap masa,


dan akibat yang dirasakan oleh kaum buruh Indonesia
dalam tiap masa pergerakan. Tentu saja, tidak semua
orang akan sepakat dengan tulisan yang dibuat di
sini. Tulisan ini semata ditujukan untuk membedakan
keterorganisiran, unsur-unsur yang berfungsi sebagai
tulang punggung gerakan dan manfaat/mudharat yang
dirasakan kaum buruh Indonesia ketika masa tertentu
berlangsung.

Diharapkan tulisan ini dapat membantu untuk


membangkitkan semangat tentang bagaimana
gerakan buruh harus dibangun untuk menghadapi
tantangan dalam sebuah situasi tertentu yang berada
di depan mata gerakan buruh.

Mengingat pergerakan buruh ini merupakan


sempalan dan sebagian besar dari sejarah perjuangan
Bangsa maka pemahaman dan pengetahuan akan
gerakan buruh ini harus diketahui oleh banyak pihak
dan masyarakat Indonesia sendiri. Pada masa
2
sekarang-sekarang ini orang sering melupakan jasa
dari para pendahulunya (Pahlawan Bangsa)
khususnya dalam hal pergerakan buruh. Walaupun di
dalam sejarah pergerakan buruh ini tidak dijelaskan
secara terperinci namun tidak salahnya kita sebagai
generasi penerus bangsa memahami hal ini dan
mengambil hal-hal positif dari perjuangan para
pahlawan.

Batam, Februari 2016

Suhari Ete

3
Pendahuluan
Pergerakan buruh di Indonesia memang sudah terjadi
sejak lama. Kita dapat melihat sendiri bahwa dari
mulai masa pra-imperialisme/kolonialisme pun sudah
ada pergerakan buruh walaupun dalam
skala/intensitas yang kecil dan masih digolongkan
dalam gerakan yang bersifat kedaerahan. Gerakan
buruh di sini lebih pada protes dari kalangan petani
(buruh tani) terhadap pemerintahan raja/sultan yang
merasa ditindas dan dieksploitasi.

Hal ini tentunya tidak lepas juga dari struktur


masyarakat kerajaan yang masih menggunakan
stratifikasi sosial dalam membagi kedudukan
masyarakat. Bergerak kepada masa kolonialisme
pergerakan kaum buruh semakin lebih intensif dan
meningkat baik itu dalam kuantitas maupun
jangkauan. Keadaan saat itu yang memaksa mereka
melakukan pemogokan-pemogokan, dan
pemberontakan-pemberontakan mereka terhadap
pemerintahan kolonial yang sewenang-wenang
terhadap petani, buruh, dan pegawai pabrik.

Di dalam masa kolonialisme ini pun muncul banyak


tokoh-tokoh pergerakan buruh yang memiliki andil

4
besar dalam memperjuangkan kaum buruh dari
penindasan. Tokoh-tokoh tersebut ada yang berasal
dari kaum buruh itu sendiri, ataupun berasal dari
kaum bangsawan, keagamaan, dan Nasionalis,
bahkan komunis. Sebut saja mereka adalah Semaun,
Suryopranoto, H. Agus Salim, dan masih banyak lagi
yang berperan besar dalam konteks ini. Pada masa
kolonialisme kebijakan-kebijakan yang dibuat oleh
pihak kolonial digadang-gadang penyebab dari
munculnya pergerakan buruh. Di sini juga dualisme
kekuasaan raja dan sultan di kerajaan dan kesultanan
dengan pemerintahan Belanda turut mempersulit
posisi dan kedudukan rakyat. Orang-orang Cina yang
diberi keleluasaan menanamkan modal di Indonesia
oleh Belanda pun disebut-sebut banyak merugikan
rakyat Indonesia khususnya kaum buruh.

Banyak organisasi dan perserikatan-perserikatan


buruh pun dibentuk misalnya saja PFB, PPPB, PPPH,
Perserikatan Buruh Kereta Api (VSTP), dan masih
banyak lagi. Menuju era pergerakan kebangsaan rasa
Nasionalisme pun muncul dari kalangan buruh dan
pergerakannya semakin luas dan menyebar untuk
menentang pemerintahan kolonial Belanda. Soekarno
pun sebagai tokoh pergerakan Nasional ikut turut
serta dalam memperjuangkan kaum buruh di
Indonesia. Sebagai seorang intelektual Soekarno
muda memiliki gagasan-gagasan briliant dalam
pikirannya dan memiliki kharisma seorang pemimpin
dalam memimpin rakyat Indonesia. Melalui PNI
Soekarno menegaskan bahwa pergerakan kaum buruh
5
adalah pergerakan masa dalam jumlah besar dan
harus dilakukan dengan habis-habisan karena
banyaknya tuntutan yang mereka lontarkan. Paham
Marhaenisme dan proletar yang diusung oleh bung
Karno pun serasa memberikan semangat dan
motivasi tersendiri terhadap perjuangan kaum buruh
di Indonesia.

Soekarno, salah satu tokoh paling cemerlang dan


terkemuka saat itu, tidak bisa dipisahkan dengan
gerakan buruh dan gerakan massa, terutama saat PKI
telah dihilangkan oleh penindasan kolonial dalam
panggung terbuka perjuangan pembebasan nasional.
Soekarno, terutama setelah pidato Indonesia
Menggugat yang begitu tajam dan terkenal itu, telah
didaulat secara tidak langsung sebagai pemimpinnya
gerakan massa. Bahkan, oleh Dr. Sutomo, salah satu
tokoh gerakan nasional saat itu, Soekarno diletakkan
sebagai motor, kekuatan penggerak dari seluruh
barisan yang beraliran kiri.

6
BAB I
Masa Gerakan Tak Teroganisir

Masa Kerajaan Indonesia

Pada masa ini kita membatasi pergerakan buruh


hanya pada lingkup Kerajaan-Kerajaan yang memang
memiliki sejarah tentang Buruh. Pada masa
Kerajaan/Kesultanan misalnya kerajaan Mataram,
Kesultanan Surakarta, dan sebagainya pergolakan
yang terjadi di kalangan masyarakat Kerajaan tidak
lepas dari pembagian lapisan masyarakat dalam
stratifikasi sosial Kesultanan/Kerajaan. Struktur
Kesultanan dan Kerajaan yang dibagi atas bentuk-
bentuk seperti Raja, Priyayi, dan Kawula telah
menjadikan kecemburuan sosial diantara
masyarakatnya. Hal ini menimbulkan adanya
pemberontakan dari kalangan buruh yang juga
kebayakan adalah kaum petani. Pada masa
feodalisme murni ini, terjadi pemusatan kekuasaan
pada segelintir kelompok masyarakat yang dikenal
sebagai kaum bangsawan, dan dipimpin oleh seorang
raja atau sultan.

Dalam menjalankan roda perekonomian di daerah


kekuasaannya para bangsawan menjalankan usaha

7
agraris (pertanian) yang dilaksanakan oleh para tuan
tanah, di mana para tuan tanah memerintahkan petani
penggarap untuk bercocok tanam sesuai dengan apa
yang diperintahkan para tuan tanah. Hasil dari
pertanian yang dijalankan petani penggarap di
berikan sepenuhnya kepada tuan tanah, dan sebagai
upah atas kerja petani penggarap hanya diberikan
sedikit hasil tani yang dapat menghidupinya sesuai
dengan tingkat kebutuhan hidup yang sangat
sederhana. Dan mereka diberi lokasi tempat tinggal
di sekitar tanah garapan yang sebenarnya tanpa
disadari petani juga dijadikan sebagai penjaga tanah
dan garapannya tersebut.

Penjualan dan distribusi hasil tani dijalankan para


tuan-tuan tanah dengan dibantu kelompok pedagang
yang memilik akses ke berbagi daerah lain yang
membutuhkan hasil-hasil pertanian tersebut.
Keuntungan yang didapat dimiliki sepenuhnya oleh
para tuan tanah. Sebagai imbalan ke pihak
bangsawan, tuan tanah memberikan berupa upeti atau
persembahan yang pada dasarnya memohon agar
mereka diberi hak lagi untuk menjalankan usaha di
lokasinya. Di sini dapat dilihat bahwa pada corak
kehidupan feodal, penindasan terhadap rakyat kecil
(dapat dianggap bahwa para petani atau petani tak
bertanah mempunyai kelompok masyarakat yang
berjumlah besar dibanding kelompok masyarakat
yang lain) terjadi secara sistematis (terstruktur).

8
Penindasan secara langsung jelas dilakukan oleh para
tuan tanah dengan tidak memberikan imbalan yang
layak kepada petani penggarap yang sesuai dengan
nilai kerja mereka. Dapat dipastikan bahwa tingkat
kehidupan petani tidak akan beranjak ke tingkat yang
lebih baik sampai kapanpun. Penindasan terhadap
petani oleh tuan tanah dilakukan untuk
mendatangkan keuntungan yang maksimal bagi tuan
tanah mengingat mereka harus mengeluarkan biaya
persembahan .

Sistem ekonomi feodal telah membentuk struktur


masyarakat sebagai berikut :

Raja dan bangsawan, mewakili kelas penguasa


politik, dimana mereka membuat segala aturan dalam
politik kekuasaan ataupun ekonomi di dalam
kerajaan.

Tuan tanah, sebagai pemilik alat produksi (berupa


tanah) dan mengambil keuntungan dari hasil produksi
tersebut. Perlu diingat bahwa kepemilikan alat
produksi dari si tuan tanah tidaklah didapat dari suatu
mekanisme kepemilikan yang mandiri. Kepemilikan
tanah diberikan oleh raja (atau bangsawan)dalam
bentuk hak pengelolaan dengan imbalan upeti. Ini
nantinya yang akan membedakan corak produksi
kapitalisme, kepitalisme pinggiran, dan feodal.

Pedagang, sebagai kelompok yang mendistribusikan


barang. Mereka mengambil keuntungan dengan
9
mendapatkan selisih harga beli dari tuan tanah dan
harag jual pembeli di tempat lain.

Petani penggarap, merupakan kelompok mayoritas


yang secara ekonomi tidak memiliki kekuasan
apapun.

Masa Tanam Paksa

Diterapkannya sistem Tanam Paksa oleh Gubernur


Jenderal Hindia Belanda, Van den Bosch (1830-
1870) adalah satu masa penting dalam sejarah
gerakan buruh. Pada masa inilah para petani di
Nusantara, utamanya di Jawa (sebagai pusat
kekuasaan Hindia Belanda), mulai dihancurkan
prikehidupannya sebagai petani dan diubah paksa
menjadi buruh tani. Tentu saja, di bawah akumulasi
primitif yang diterapkan dalam sistem tanam paksa,
para buruh tani ini tidak memperoleh upah. Kondisi
kerjanya lebih mirip corvee labor atau pekerja paksa.
Para petani Jawa diperkenankan memiliki tanah,
namun harus membayar pajak natura berupa
keharusan untuk menyerahkan sebidang tanahnya
untuk tanaman komersial yang laku di Eropa. Pilihan
lain adalah menyerahkan 66 hari dalam setahun untuk
bekerja pada perkebunan milik Gubernemen.
Tepatlah jika istilah koeli dipakai pada jaman itu.
Dalam masa ini, dimulailah proses di mana
prikehidupan tani feudal mulai digantikan oleh
sebuah prikehidupan di mana kerja tidak lagi
dikaitkan dengan tanah milik, melainkan dengan
10
sebuah lembaga pencetak profit—dalam hal ini
pemerintah Hindia Belanda dan perusahaan-
perusahaan perkebunan milik Kerajaan Belanda.

Era Liberal yang menyusul tahun-tahun Tanam Paksa


menyebabkan tumbuh suburnya perkebunan swasta
menggantikan perkebunan milik Kerajaan Belanda.
Struktur pedesaan Jawa pun digerus oleh struktur
industrial, sekalipun masih berupa industri ekstraktif.
Perkebunan-perkebunan swasta pun dibuka di
Sumatra, dengan sumber tenaga kerja para koeli
kontrak—yang didatangkan dari Jawa atau
Semenangjung Melayu. Kontrak-kontrak ini disertai
ancaman poenale sanctie yang kejam.

Kondisi kerja yang demikian buruk memicu


munculnya bentuk perlawanan yang khas sebuah
gerakan buruh: pemogokan. Salah satu pemogokan
pertama dalam sejarah Indonesia tercatat di tahun
1882 di Yogyakarta, di mana pada puncak
gelombang pemogokan ini 21 pabrik gula terpaksa
menghentikan produksinya karena pemogokan. Isu
yang diangkat adalah 1) Upah; 2) kerja gugur-gunung
yang terlalu berat; 3) kerja jaga 1 hari tiap 7 hari; 4)
kerja moorgan yang tetap dijalankan padahal tidak
lazim lagi; 5) upah tanam sering tidak dibayar; 6)
banyak pekerjaan tidak dibayar padahal bukan kerja
wajib; 7) harga yang dibayar pengawas terlalu murah
dibandingkan harga pasar; 8) pengawas Belanda
sering memukul petani. Apakah Anda merasa akrab
dengan tuntutan-tuntutan ini?
11
Tiadanya pengorganisasian modern untuk
mendukung pemogokan-pemogokan ini
menyebabkan terjadinya kekalahan demi kekalahan
di pihak kaum buruh. Para sejarawan juga enggan
melakukan pencatatan terhadap pergerakan ini
terutama karena tiadanya keteraturan dalam
pemogokan-pemogokan tersebut.

Masa Penjajahan

Abad ke-19 adalah abad paling revolusioner dan


penuh perubahan dalam sejarah Indonesia. Di awal
abad 19 konsep negara-Kolonial Hindia Belanda
disiapkan oleh Herman Willem Daendels (1808-
1811) untuk mempertegas pengelolaan wilayah
Koloni yang sebelumnya hanya merupakan mitra
perdagangan Vereenigde Oost-Indische Compagnie
(VOC).

Pada abad 19 pula struktur masyarakat kapitalis


terbentuk. Lembaga keuangan Nederlansche
Handels-Maaatschapij (NHM) dan Javansche Bank
didirikan. Tampil pengusaha-pengusaha mengelola
industri perkebunan dan pabrik-pabrik, sementara
kaum bumiputera disiapkan sebagai buruh.

Perjalanan perburuhan sejak jaman Kolonial Hindia


Belanda tonggak pentingnya adalah sekitar tahun
1830-1870 sebagai kurun Culturstelsel, sedang
setelah 1870 pencanangan Agrarische Wet. Pada
abad ke-19 telah ada buruh karena industrial
12
kapitalistik (hubungan barang dengan modal) untuk
memproduksi barang dagangan secara masal telah
dimulai sejak 1830.

Pada Mei 1842 saat terjadi rotasi penanaman lahan


tebu di kabupaten Batang-Karesidenan Pekalongan di
desa-desa Kalipucang Kulon, Karang anyar dan
Wates Ageng akan diadakan perluasan penanaman
tebu. Residen meminta tanah-tanah baru yang
berkondisi baik untuk dipakai menanam tebu dalam
jangka dua tahun.

Pada 22 Oktober, kontrolir di kabupaten Batang


melaporkan sejumlah 40 desa yang penduduknya
melakukan Culturdienst tebu untuk masa tanam tahun
yang lalu belum dilunasi upahnya untuk kerja muslim
panen tahun ini sebab dianggap belum cukup
memenuhi pajak natura tebu yang harus diserahkan
yang telah tertera dalam kontrak kerja tahun 1841
dengan upah sebesar 14,22 gulden per orang.
Penanam tebu yang terlibat dalam kerja tersebut
tidak mau melunasi pajak natura yang dibebankan
melainkan berbalik melakukan tuntutan untuk
kenaikan upah. Protes ini terjadi pada 24 oktober
1842 dan diikuti 600 penanam tebu dari 51 desa.

Di Yogyakarta tahun 1882 terjadi pemogokan


berturut-turut dalam tiga gelombang masa. Lokasi
pemogokan adalah kabupaten Kalasan dan Sleman.
Isu pemogokan tersebut adalah karena upah, kerja
gugur-gunung yang terlalu berat, kerja jaga yang
13
dilakukan satu hari dalam satu pekan, kerja Morgan
yang tetap dilaksanakan padahal tidak lazim
dilakukan, upah tanam yang sering tidak dibayar,
harga bambu petani yang dibayarkan oleh pabrik
terlalu murah bila dibandingkan harga pasar,
terjadinya kekerasan terhadap para petani.

Dilihat dari jumlah orang dan desa yang terlibat


protes besar ini tidak hanya disebabkan faktor diatas
melainkan juga disebabkan belum ada organisasi
modern (serikat, partai dan sebagainya). Berdasarkan
hasil penelitian, pada abad ke-19 cenderung diangkat
persoalan protes petani. Sementara petani di Hindia
Belanda adalah petani yang tidak dapat dikategorikan
sebagai tuan tanah kapitalis, namun lebih merupakan
petani gurem atau miskin yang hidupnya bergantung
pada industri perkebunan yang diciptakan oleh
Hindia-Belanda. Sehingga yang dimaksud dengan
protes petani dengan telah adanya produksi barang
daganga secara masal adalah buruh.

Thomas Stamford Raffles, dalam kurun


pemerintahannya (1811-1816) telah meletakan dasar-
dasar penting bagi perburuhan mendasar di Jawa. Dia
menerapkan pengambil-alihan seluruh tanah di Jawa
menjadi milik negara . Raffles menginterpretasikan
gejala penyerahan upeti pada para penguasa
bumiputra sebagai bukti dari pemilikan tanah negara.
Kebijakan ini dipengaruhi oleh sistem sosial
Zamindar (tuan tanah) yang ada di India, jajahan
Inggris. Oleh Van den Bosch, konsep Raffles tentang
14
pemilikan tanah diadaptasi dan digunakan untuk
berlangsungnya Culturstelsel dengan melakukan
modifikasi.

Di masa selanjutnya, mempekerjakan petani sebagai


buruh semakin tidak dilandaskan pada penguasaan
tanah. Diferensiasi sosial masyarakat desa sejak sikap
petani kaya yang juga dapat mencakup lurah dan
wedono jelas mempunyai akses terhadap tanah.
Namun beberapa lapisan sosial di bawah
menumpang, lebih merupakan buruh dibanding
lapisan sosial berakses tanah. Dua klasifikasi sosial
belakang adalah potensial menjadi buruh.

Setelah tahun 1870 perkembangan industri menjadi


demikian pesat. Jaman ini dikenal dengan jaman
liberal yang direspon secara optimal oleh kalangan
swasta Eropa dengan cara mengambil alih sektor
perdagangan. Dalam hal pertanahan, para kapitalis
perkebunan tersebut diperkenankan melakukan
penyewaan tanah jangka panjang selama 75 tahun
yang disebut erfpacht. Investasi dilakukan tidak
hanya di pulau Jawa namun juga merambah hingga
pulau Sumatera.

Bila investasi di Jawa memerlukan proses panjang


dalam mentransformasikan petani menjadi buruh,
struktur feodal/kerajaan menjadi struktur birokrasi
kolonial, lain halnya dengan yang terjadi di daerah
Sumatera Timur. Di daerah perkebunan-perkebunan
tembakau dibangun mulai dari tahun 1863 di daerah
15
Deli oleh Jacobus Nienhuys mendatangkan para
buruh dari wilayah melayu, dan pulau Jawa. Mereka
diikat dengan kontrak dan kontrak tersebut tidak
dapat diakhiri oleh sang buruh. Bila buruh berusaha
melarikan diri dari tempat kerja mereka akan
dikenakan hukuman.

16
BAB II
Terbentuknya Serikat Buruh

Pembentukan serikat oleh buruh Belanda

Peristiwa aksi buruh menjadi tidak atau kurang


muncul pada abad ke-19 lebih disebabkan belum ada
organisasi serikat buruh. Ciri serikat buruh ini adalah
tidak ada motif ekonomi dalam proses pendiriannya,
tidak ada masalah sekitar tahun berdirinya serikat-
serikat buruh tersebut. Faktor yang mendorong
pembentukan mereka adalah pertumbuhan
pergerakan buruh di Belanda. Sekitar tahun 1860-
1870 di Nederland mengalami pertumbuhan
pergerakan buruh dan sejak ada pengaruh gerakan
sosial demokrat yang mendorong berdirinya National
Arbeids Secretariats (NAS) sebagai induk organisasi.
Pada saat itu di Hindia Belanda menetapkan pasal
111 Regeling Reglement (RR) yang melarang
dilakukannya rapat dan pembentukan sebuah
organisasi tanpa ijin khusus dari pemerintah kolonial.
Namun, pada tahun 1903 pemerintah kolonial
menerapkan desentralisasi susunan pemerintah
kolonial dan menetapkan Bandung, Semarang,
Surabaya, dan Batavia menjadi suatu gemente/ kota
dan pengeturannya dilaksanakan oleh gementeraad

17
(dewan kota), yang kemudian menjadikan pasal 111
RR tidak berlaku.

Pembentukan serikat-serikat oleh buruh impor, selain


merupakan pengaruh dari perkembangan gerakan
buruh yang berlangsung di Eropa pula merupakan
bagian dari kepentingan politik terbatas kehidupan
kota. Perkembangan selanjutnya dalam
keanggotaannya serikat buruh ini tidak hanya
merekrut anggota impor saja, melainkan juga
menerima kalangan bumiputera.

Belanda membentuk serikat buruh di negeri-negeri


jajahan. Banyaknya buruh kulit putih di negeri
jajahan ini juga bersangkutan dengan semakin
berkembangnya industri, terutama industri
perkebunan, yang kemudian menuntut
dikembangkannya sarana transportasi yang
menghubungkan lahan kebun, pabrik dan pasar-pasar,
didirikannya sekolah-sekolah untuk mencetak tenaga
perkebunan yang handal dari kalangan pribumi,
maupun perluasan jajaran birokrasi yang diperlukan
untuk mengatur perekonomian modern yang lebih
kompleks tersebut.

Berturut-turut lahirlah Nederlandsch-Indisch


Onderwijzer Genootschap (1897), Statspoor Bond
(serikat kereta api negeri, 1905), Suikerbond (serikat
buruh gula, 1906), Cultuurbond Vereeniging v.
Asistenten in Deli (serikat pengawas perkebunan
Deli, 1907), Vereeniging von Spoor en Tramweg
18
Personeel in Ned-Indie (serikat buruh kereta api dan
trem, 1908), dll.

Sekalipun pada awalnya serikat-serikat buruh ini


dibangun oleh buruh-buruh kulit putih, namun
semangat internasionalis dari gerakan buruh, yang
saat itu sedang kuat di Eropa, meluber juga ke Hindia
Belanda. Banyak serikat buruh yang tadinya eksklusif
untuk kulit putih ini perlahan-lahan membuka pintu
untuk bergabungnya buruh-buruh pribumi. Selain itu,
persinggungan antara buruh-buruh pribumi dengan
buruh-buruh kulit putih telah menularkan pula
keinginan untuk membangun serikat buruh sendiri di
kalangan pribumi.

Program pendidikan merupakan salah satu program


dalam politik balas jasa di awal tahun 1900 memberi
nuansa baru dalam perkembangan intelektual
bumiputera ditambah dengan pembentukan serikat-
serikat oleh buruh impor yang kemudian memicu
serikat buruh dibangun oleh kaum pribumi. Serikat
buruh pribumi antara lain Perkumpulan Bumiputra
Pabean (PBP) tahun 1911, persatuan Guru Bantu
(PGB) tahun 1912, perserikatan Guru Hindia-
Belanda (PGHB) tahun 1912, Persatuan Pegawai
Pegadaian bumiputra (PPPB) tahun 1914,
Perhimpunan Kaum Buruh dan Tani (PKBT)
didirikan tahun 1917 di lingkungan industri gula.

19
Persatuan Kaum Buruh (PPKB) adalah gagasan dari
Sosorokardono, ketua PPPB (Pegawai Pegadaian)
tahun 1919 yang dikemukakan dalam kongres SI ke
IV, pada Oktober 1919 di Surabaya. Berdirilah PPKB
dengan Semaoen sebagai ketua dan soerjopranoto
sebagai wakil ketua. Tujua dibentuknya PPKB adalah
bermaksud untuk mengajak da mengadakan
persatuan antara kaum buruh sederajat sehingga
mendapat suatu kekuasaan yang akan dipergunakan
untuk kesejahteraan kaum buruh.

Cara yang ditempuh PPKB antara lain melakukan


sesuatu sehingga kekuasaan pemerintah diperintah
oleh rakyat sendiri, mengadakan perdagangan,
mengeratkan kaum buruh senasib dan seperjuangan,
dan mendirikan koperasi. Pada bulan Juni 1920
diadakan suatu konferensi di Jogjakarta yang
kemudian menyebabkan terpecahnya PPKB dan
terbentuknya gabungan baru bernama Revolutionaire
Vakcentrale yang diketuai oleh Semaoen.

Pemogokan-pemogokan dengan mengandalkan


organisasi mulai gencar terjadi tahun 1920-an.
Pemogokan-pemogokan yang semakin menjalar
tersebut di respon Gubernur dengan menerbitkan
peraturan baru yang mendukung berupa tulisan /
artikel yang dimuat dalam surat kabar.

20
Serikat buruh Pertama di Jawa

Serikat buruh pertama di Jawa didirikan pada tahun


1905 oleh buruh-buruh kereta api dengan nama SS
Bond (Staatspoorwegen Bond). Kepengurusan
organisasi ini sepenuhnya dipegang oleh orang-orang
Belanda.

Pada tahun 1910, orang-orang pribumi menjadi


mayoritas anggota (826 dari 1.476 orang). Walau
begitu, orang-orang pribumi tetap tidak memiliki hak
pilih atau suara dalam organisasi. Serikat buruh ini
tidak pernah berkembang menjadi gerakan yang
militan dan berakhir pada tahun 1912.

Pada tahun 1908 muncul serikat buruh kereta api


yang lain, dengan naman Vereeniging van Spooor-en
Tramweg Personeel in Nederlandsch Indie (vstp).
Serikat ini memiliki basis yang lebih luas ketimbang
SS Bond, Karena melibatkan semua buruh tanpa
membedakan ras, jenis pekerjaan, dan pangkat dalam
perusahaan. Organisasi ini berkembang menjadi
militan, terutama sejak 1913, ketika berada di bawah
pimpinan Semaun dan Sneevliet. Kedua tokoh itu
juga tercatat sebagai tokoh gerakan radikal di Jawa
pada masa selanjutnya, dan sampai tahun 1920-an,
nama-nama mereka masih sering terdengar di
kalangan pergerakan.

21
Selain kedua serikat buruh ‘pelopor’ ini, masih ada
sejumlah organisasi buruh yang lain, seperti
Perserikatan Goeroe Hindia Belanda (PGHB), yang
didirikan pada tahun 1912; kemudian Opium
Regiebond, yang didirikan oleh buruh-buruh pabrik
opium pada tahun 1915; Perserikatan Pegawai
Pegadaian Bumiputera (PPPB), pada tahun 1916, di
bawah pimpinan R. Sosrokardono; Vereeniging
Inlandsch Personeel Burgerlijk Openbare Werken
(VIP-BOW), pada tahun 1916, yang didirikan oleh
buruh-buruh pribumi pada dinas pekerjaan umum
(seperti PU sekarang), Personeel Fabriks Bond (PFB)
pada tahun 1919 di bawah pimpinan R. Mo.
Surjopranoto; Sarekat Boeroeh Onderneming (SBO),
pada tahun 1924 untuk buruh-buruh perkebunan;
Serikat Sekerdja Pelaboehan dan Pelajaran, dan
sejumlah serikat buruh lain dari bidang
pertambangan, percetakan, listrik, industri minyak,
sopir, penjahit, dan sebagainya. Pada tahun 1920
telah tercatat ada sekitar seratus serikat buruh dengan
100. 000 anggota. Bertambahnya jumlah anggota dan
serikat buruh dalam waktu relatif singkat, harus
dikaitkan dengan aksi-aksi propaganda yang dibuat
oleh para aktivis melalui pamflet, selebaran dan surat
kabar. Rapat-rapat umum yang dihadiri oleh orang
banyak juga sering diadakan oleh para aktivis untuk
mendapat dukungan.

Pada zaman ini, VSTP tetap menjadi serikat buruh


yang memiliki anggota paling banyak, dan terhitung
penting serta militan. Di bawah pimpinan Semaun,
22
serikat buruh ini terus memperjuangkan kepentingan
kaum buruh, seperti pembelaan hak-hak buruh,
memperbaiki kondisi kerja dan sebagainya. Dalam
usahanya itu, Semaun membuat sebuah ‘buku
panduan’ bagi para aktivis gerakan buruh di Hindia.
Para pemimpin VSTP ini, kemudian dengan sejumlah
tokoh sosialis lainnya mendirikan Indische Sociaal-
Democratische Vereeniging (ISDV). Tokoh-tokoh
yang tidak setuju dengan gagasan ini kemudian
membentuk Indische Sociaal-Democratische Partij
(ISDP) pada tahun 1917. ISDV ini kemudian berubah
menjadi Partai Komunis Indonesia (PKI) pada tahun
1920. Uraian ini setidaknya dapat memperlihatkan
bahwa gerakan buruh di Indonesia sejak awal tidak
terpisahkan dari aktivitas politik, bahkan bisa
dibilang muncul secara bersamaan.

Satu hal yang tidak dapat dilupakan adalah


munculnya suratkabar sebagai orgaan (corong)
masing-masing organisasi. Pada dekade 1920-an
tercatat bahwa di setiap kota besar, ada penerbitan
surat kabar, baik sebagai corong organisasi tertentu,
maupun tidak. Kehidupan pers pada masa tersebut
relatif bebas, karena untuk menerbitkan surat kabar,
tidak diperlukan izin khusus dari Pemerintah Hindia
Belanda, sehingga sebaliknya pemerintah tidak dapat
melakukan pembredelan. Penerbitan surat kabar
menjadi elemen yang penting dari gerakan buruh,
karena masing-masing organisasi dapat
mengemukakan pandangan mereka serta melakukan
perdebatan melalui sarana ini. Para aktivis umumnya
23
mengandalkan surat kabar baik sebagai sarana
perdebatan sesama aktivis maupun untuk mengkritik
sejumlah kebijaksanaan pihak pengusaha dan negara.

Sarekat Islam dan ISDV adalah dua organisasi yang


mendominasi kehidupan politik pada awal abad XX.
Tokoh-tokoh gerakan buruh seperti Sosrokardono,
Surjopranoto, Semaun dan lainnya juga menjadi
aktivis kedua organisasi tersebut. Di antara cabang-
cabang SI yang terkenal militan adalah SI Semarang.
Pada masa itu masih dibolehkan keanggotaan ganda,
sehingga Semaun misalnya, sekaligus menjadi
anggota dari Sarekat Islam, ISDV dan VSTP.

Keanggotaan ganda seperti ini pada masa selanjutnya


membawa persoalan juga, sehingga mulai
diperkenalkan adanya displin partai, yang
mengharuskan anggotanya memilih asalah satu
organisasi saja. Pada bulan Desember 1919 diadakan
konferensi serikat buruh di Jawa, dan sebagai
hasilnya muncul Persatoean Pergerakan Kaoem
Boeroeh (PPKB) yang menjadi badan sentral
organisasi buruh yang ada.

Badan ini dipimpin oleh Semaun sebagai


ketua,Suryopranoto sebagai wakil, dan H. A. Salim
sebagai Sekretaris. Organisasi ini terhitung sebagai
federasi serikat buruh pertama di tanah Hindia.
Konflik di dalam PPKB antara golongan kiri dan
24
Islam –atau lebih tepat antara SI dan ISDV/ PKI tidak
dapat dihindari dan terjadi perpecahan. Golongan kiri
meninggalkan PPKB dan mendirikan Revolutionair
Vakcentrale (RVC). Federasi serikat buruh ini terdiri
dari 14 organisasi, termasuk VSTP. Serikat buruh
lainnya seperti PPPB, PFB, dan VIP-BOW, tetap
bergabung dalam PPKB. Perpecahan ini tidak
berlangsung lama karena masing-masing pihak
merasakan perlunya sebuah organisasi pusat yang
kuat untuk membela kepentinga kaum buruh. Pada
bulan September 1922, kedua federasi itu bergabung
kembali di bawah naungan Persatoean Vakbonden
Hindia (PVH). Pada tahun 1922, PVH menyatakan
bahwa anggotanya terdiri atas 18 serikat burh dengan
32. 120 buruh.

Aksi-aksi yang dilakukan gerakan buruh pada masa


ini, amat beragam. Pada masa 1920-23, aksi
pemogokan berlangsung di berbagai tempat.
Pemogokan besar terjadi pada tahun 1920, yang
dilakukan oleh PFB. Buruh-buruh industri gula
melalui organisasi ini menuntut kenaikan upah. Pada
bulan Agustus, PFB mengumumkan bahwa akan
terjadi pemogokan besar kepada pihak pengusaha.
Walaupun mereka telah memberikanultimatum, pihak
pengusaha mengabaikan tuntutan mereka, sehingga
pemogokan tetap berlangsung. Gubernur Jendral
cepat mengambil tindakan, dengan melarang kegiatan
pemogokan itu.

25
Buruh pada Masa Pergerakan Nasional

Sejak pertengahan 1921 terjadi resesi ekonomi di


Hindia Belanda, dan hal itu ditanggapi oleh pihak
pengusaha dengan menurunkan tingkat upahnya. Di
Surabaya pada tahun 1921 terjadi pemogokan buruh-
buruh pelabuhan. Mereka menuntut kenaikan upah
yang dikurangi oleh pihak pengusaha. Buruh-buruh
yang umumnya berasal dari Madura tidak mau
bekerja sebelum tuntutan mereka dipenuhi. Mereka
hanya duduk di sepanjang Kali Mas sambil
membicarakan pengurangan upah mereka. Pengusaha
kemudian mencari alternatif untuk mengatasi
persoalan, tidak dengan menaikkan upah yang
dituntut oleh kaum buruh, melainkan mendatangkan
tenaga kerja lain dari pedalaman. Buruh yang semula
mogok, lalu terpecah dua. Sebagian akhirnya mau
kembali bekerja dengan tingkat upah yang
‘disesuaikan’, sedangkan sebagian lainnya tetap tidak
mau bekerja. Persoalan akhirnya tidak selesai secara
tuntas, walaupun pihak pengusaha mengalami
kerugian karena buruh-buruh yang baru didatangkan
itu, tidak sekuat buruh-buruh Madura.

Pada bulan Agustus 1925 terjadi pemogokan di


pelabuhan Semarang. Sebelumnya setahun penuh,
SPPL telah mengorganisir buruh-buruh pelabuhan.
Walau demikian, pemogokan tersebut tak dapat
dikatakan sepenuhnya dijalankan berkat agitasi dan
26
propaganda SPPL, melainkan karena ada tuntutan
dari kaum buruh sendiri untuk menaikkan tingkat
upah. Kondisi kerja dan pemukiman buruh pada masa
itu amat buruk dan tidak memadai. Gubuk-gubuk
yang membentuk kampung menjadi hunian
sementara, dalam lingkungan yang sangat buruk
sekalipun dalam ukuran zaman itu. Berbagai laporan
pemerintah kolonial menunjukkan bahwa pemukiman
menjadi salah satu persoalan utama, bukan hanya
bagi buruh, tapi juga bagi perkembangan kota
Semarang sendiri. Aksi pemogokan ini dilakukan
oleh para pelaut dan buruh-buruh kapal lainnya. Di
antara bidang-bidang pekerjaan yang berbeda ini,
timbul semacam solidaritas.

Misalnya, ketika para pelaut melakukan pemogokan,


tidak seorangpun di antara buruh lainnya yang datang
menggantikan, sekalipun sanggup. Justru mereka
memilih ikut mogok bersama. Reaksi pihak
pengusaha cukup keras walaupun dalam pemogokan
ini pihak buruh tidak melakukan perusakan atau
sabotase. Perusahaan itu mengerahkan polisi untuk
memeriksa perahu-perahu dan kapal yang biasa
dijalankan oleh buruh. Para manajer perusahaan
(orang-orang Belanda) diberi penjagaan khusus untuk
menghindari tindak kekerasan.

Dari sejumlah catatan aksi tersebut, terlihat bahwa


hubungan sesama buruh menjadi amat penting.
Kampung, sebagai tempat tinggal mereka menjadi
sarana penghubung untuk memberitahu aksi-aksi
27
yang akan dilakukan buruh, sehingga persatuan di
antara mereka dapat digalang dengan mudah. Para
aktivis gerakan buruh sendiri mengakui bahwa
penggalangan kekuatan buruh di pelabuhan, adalah
pekerjaan yang sangat sulit, karena umumnya mereka
tidak bekerja secara tetap. Pekerjaan sampingan
sebagai buruh tani di desa membuat mereka tidak
sepenuhnya bekerja di pelabuhan, dan tentunya
pengalaman kolektif sebagai buruh yang berhadapan
dengan modal, tak begitu dirasakan. Hal ini amat
berbeda dengan para buruh di perusahaan kereta api,
rumah gadai, industri cetak, dan pabrik yang
menggunakan mesin.

Buruh trampil yang bekerja tetap memiliki peranan


sentral dalam gerakan buruh pada masa itu. Mereka
menjadi semacam penghubung antara para intelektual
dan massa buruh yang bekerja di pabrik, pelabuhan,
rumah gadai dan sebagainya. ‘Kelebihan’ sebagian
buruh ini pada gilirannya juga menjadi masalah
dalam menangani gerakan buruh. Karena
ketrampilannya (baca, tulis dan lainnya) mereka tahu
bahwa posisinya menjadi penting, baik dalam
gerakan buruh maupun dalam kegiatan ekonomi
kolonial. ‘Kelebihan’ ini pula yang membuat mereka
cenderung diperlakukan baik oleh penguasa dan
menerima upah yang tinggi. Hal ini kemudian
berpengaruh dalam hubungan mereka dengan massa
buruh lainnya. Masalah lain yang juga menghambat
gerakan buruh yang kuat adalah pembagian tempat

28
kerja, yang disusun berdasarkan pangkat, status,
sukubangsa dan wilayah.

Reaksi pemerintah Hindia Belanda terhadap gerakan


buruh juga menarik. Mereka umumnya mengecam
tindakan-tindakan pemogokan sebagai ‘aksi
komunis’ — dan bahkan menyatakan “seandainya
orang-orang komunis tidak melakukan propaganda
dan agitasi, maka tidak ada pemogokan”.

Dalam sebuah penelitiannya, John Ingleson, seorang


sarjana Australia yang mempelajari sejarah gerakan
buruh di Hindia Belanda, memperlihatkan bahwa
kebanyakan pemogokan pada periode 1918-1926
disebabkan oleh kondisi sosial ekonomi yang amat
buruk. Memang benar bahwa orang-orang komunis
memegang peranan besar dalam menggalang
kekuatan kaum buruh dalam organisasi, tapi tak dapat
dilupakan bagaimana kondisi kerja yang buruk juga
mengizinkan buruh untuk melakukan aksi-aksinya.

Pemerintah Hindia Belanda yang amat reaksioner di


masa itu, tidak bertentangan dengan pengusaha yang
melakukan eksploitasi. Walaupun negara kolonial
tidak dikendalikan oleh kelas tertentu, kepentingan
mereka agaknya masih bersambungan.

Sejak Desember 1925, pengorganisasian buruh di


perkotaan semakin sulit. Kebanyakan serikat buruh
tidak berjalan dengan baik karena pemimpin-
pemimpin mereka banyak yang berada di penjara
29
atau pengasingan. Para aktivis setempat umumnya
kehilangan pekerjaan, atau sangat khawatir bahwa
mereka akan mengalaminya. Mereka kemudian
cenderung bekerja dengan tenang, dan dengan
sendirinya menyampingkan kegiatan organisasi.
Sejumlah pemogokan tetap dilakukan, dan sifatnya
lebih spontan, karena ada persoalan-persoalan lokal,
seperti upah yang tidak terbayar. Hal ini dapat
ditemui di pelabuhan, tempat percetakan, dan pabrik.
Setelah dikalahkannya pemogokan buruh di Surabaya
di bulan Desember 1925, fase pertama gerakan buruh
di Indonesia berakhir. Serikat-serikat buruh tetap
berdiri, walaupun kehilangan banyak aktivisnya.

Pada tahun 1926 terjadi aksi-aksi perlawanan di


seluruh Jawa dan bagian Barat Sumatra. Pemerintah
Hindia Belanda menumpas gerakan itu dengan
kekerasan, dengan hasil ratusan orang terbunuh, dan
ribuan lainnya ditangkap dan dibuang ke luar Jawa.
Tempat pembuangan yang kemudian terkenal adalah
Tanah Merah di Nieuw Guinea (Irian Jaya pada masa
sekarang). Keadaan tempat pembuangan tersebut
amat buruk, dan belum pernah dihuni manusia
sebelumnya. Orang-orang buangan dipaksa membuat
sendiri tempat tinggal mereka di tengah hutan dan
rawa. Penyakit yang paling sering muncul adalah
malaria hitam yang mematikan. Sejumlah tokoh
pergerakan seperti penyair aktivis Mas Marco
Kartodikromo, Najoan dan Ali Archam meninggal
di tempat ini. Pemerintah Hindia Belanda menuduh
bahwa gerakan itu didalangi oleh orang-orang
30
komunis dengan dukungan Komintern. Dengan
tindakan pembuangan ini, pemerintah Hindia
Belanda telah berhasil menumpas pergerakan radikal
di Jawa dan menyingkirkan tokoh-tokohnya yang
paling berpengaruh, sehingga tidak dapat
mengadakan kontak dengan mereka yang terus
bergerak. Setelah peristiwa 1926 ini, organisasi
seperti PVH tidak lagi terdengar, begitu pula dengan
VSTP, PFB dan lainnya.

Hilangnya tokoh-tokoh radikal itu amat berpengaruh


pada perkembangan gerakan buruh di Jawa. Tokoh
gerakan buruh yang masih bertahan tidak lagi dapat
menggunakan cara-cara seperti sebelumnya, karena
sejak 1927 pemerintah Hindia Belanda melakukan
tekanan terhadap gerakan-gerakan radikal. Beberapa
tokoh kritis di Belanda sendiri, menilai tindakan
negara Hindia Belanda sudah menjurus pada fasisme.
Pada bulan Juli 1927, buruh kereta api mendirikan
Perhimpoenan Beambte Spoor dan Tram (PBST)
yang dalam beberapa bulan saja berhasil
menghimpun sekitar 5.000 buruh. Sejumlah
organisasi yang sudah ada sebelum 1926, kembali
digerakkan secara bertahap, walaupun kekuatannya
lebih lemah jika dibandingkan dengan masa
sebelumnya.

Pada tanggal 8 Juli 1928, didirikan Sarekat Kaoem


Boeroeh Indonesia (SKBI) di Surabaya, yang
beranggotakan beberapa serikat buruh lokal.
Organisasi yang diketuai Marsudi ini dengan cepat
31
dicurigai oleh pemerintah Hindia Belanda sebagai
‘komunis’ — sama pemerintah Orde Baru menuduh
aktivis buruh di zaman itu sebagai ‘PKI’ atau
‘keturunan PKI’. Organisasi ini berkembang cepat
sampai ke Medan, yang dipimpin oleh Mr Iwa
Kusumasumantri. Pada tanggal 1 April 1929 SKBI
bergabung dalam Liga Menentang Kolonialisme dan
Penindasan yang dikoordinir oleh Internasionale
Ketiga (Komintern). Kecurigaan Belanda memuncak,
dan pada tahun 1929 mereka menggeledah kantor-
kantor pusat organisasi ini dan menangkap semua
pimpinannya, yang kemudian dibuang ke Boven
Digoel tanpa pemeriksaan sebelumnya.

Pada bulan April 1930 sejumlah serikat buruh yang


bekerja pada kantor-kantor pemerintah, kembali
membuat federasi serikat buruh dengan nama
Persatoean Vakbond Pegawai Negeri (PVPN).
Sementara itu di perusahaan-perusahaan swasta kaum
buruh kembali bergabung di bawah naungan
Persatoean Sarekat Sekerdja (PSSI), yang dibentuk
beberapa bulan setelah PVPN. Kedua organisasi ini
menjadi pimpinan gerakan buruh pada masa setelah
1926, dan tidak melakukan kegiatan atau aksi yang
berarti. PVPN misalnya sama sekali tidak melakukan
pembicaraan politik dan bergabung dengan federasi
serikat buruh internasional pada tahun 1931. PSSI
sendiri, walaupun memiliki organisasi yang baik,
tidak melibatkan mayoritas buruh yang tidak
memiliki organisasi. Kecurigaan pemerintah Hindia
Belanda terus berlangsung terhadap gerakan buruh
32
ini, dan dengan mudah mereka dapat melakukan
penangkapan tokoh-tokoh yang kemudian dibuang ke
luar Jawa.

Depresi 1929 membawa pengaruh yang cukup besar


pada perkembangan gerakan buruh. Kesulitan
ekonomi mengakibatkan para pengusaha mengambil
jalan pintas, yaitu memecat buruh-buruhnya. Hal ini
dengan sendirinya berpengaruh kepada keanggotaan
serikat buruh yang ada. PVPN misalnya, pada tahun
1933 kehilangan sekitar 8.000 anggotanya. Banyak
organisasi yang bernaung di bawah federasi ini mati
di tengah jalan. Hal yang sama juga dialami oleh
PSSI. Dalam masa resesi, hanya golongan Tionghoa
yang berhasil mencatat sejumlah kemajuan.

Di beberapa kota besar, seperti Semarang, Jakarta


dan Bandung, mereka berhasil mendirikan
Perkoempoelan Kaoem Boeroeh Tionghoa (PKBT)
dan Serikat Boeroeh Tionghoa (SBT). Dalam sebuah
konperensi tanggal 25 Desember 1933, mereka
mendirikan Federasi Kaoem Boeroeh Tionghoa
(FKBT). Kedatangan Direktur ILO, Harold B Butler
pada bulan Oktober 1938 sebenarnya membawa
banyak harapan, tapi seperti yang diamati kemudian,
tidak terjadi kemajuan yang berarti.

Rencana pembentukan partai politik menjelang tahun


1938 menjadi pembicaraan yang hangat. Sebagian
orang yang merasa bahwa perlunya didirikan sebuah
partai untuk membela kepentingan buruh mendirikan
33
Indische Partij van Werknemers. Pada tanggal 7
Oktober 1938 di Jakarta. Alasan pendirian partai ini,
dalam rapat pelantikan disebutkan bahwa hasil
organisasi yang kuat untuk memberi dukungan
kepada gerakan buruh. Di samping itu IPVW juga
bertujuan memberantas pengangguran serta
kesulitan-kesulitan lain dalam memajukan industri
rakyat. Munculnya partai ini tidak serta merta
diterima oleh serikat-serikat buruh yang ada. PVPN
misalnya mengeluarkan pernyataan ‘sebelum PVPN
menetapkan sikapnya… perlu diselidiki dulu
keuntungan dan kerugian kita atas pendirian partai
baru ini dan bagaimana sambutan masyarakat atas
lahirnya partai ini

Pada masa pendudukan Jepang, seperti diketahui,


terjadi kemacetan dalam bidang politik. Pemerintah
militer Jepang melarang semua kegiatan politik,
kecuali beberapa lembaga yang didirikan secara
khusus untuk kepentingan mereka. Gerakan buruh
secara umum mengalami kemacetan, hanya sejumlah
tokoh yang tetap aktif, dan itu pun bukan dalam
kegiatan serikat buruh. Banyak di antara mereka
bergabung dengan kegiatan bawah tanah yang
tersebar di Jakarta dan Jawa Timur.

Hal yang penting untuk dicatat dari gerakan buruh di


zaman kolonial, adalah kenyataan bahwa gerakan
tersebut tak pernah terlepas dari kegiatan politik.
Artinya, pada masa sebelum 1927, gerakan buruh
jelas memiliki persekutuan dengan kegiatan politik,
34
seperti VSTP yang berhubungan erat dengan ISDV.
Begitu pula dengan serikat-serikat buruh lainnya.
PPKB sendiri sebagai federasi gerakan buruh yang
pertama di Hindia, merupakan hasil pergolakan
politik, dan tidak muncul begitu saja. Pada masa
setelah tahun 1927, tekanan pemerintah Hindia
Belanda terhadap dunia pergerakan (melalui
pelarangan, penangkapan, pembuangan, pembunuhan
dan sebagainya) mengakibatkan munculnya
organisasi buruh yang lebih moderat ketimbang masa
sebelumnya. Dibuangnya sejumlah tokoh radikal
tentu berpengaruh besar terhadap perkembangan
sosial-politik di Hindia.

Hal ini membuktikan bahwa kepentingan negara dan


modal di satu pihak, selalu berhadapan dengan
kepentingan masyarakat yang merupakan mayoritas.
Pada masa 1927-1942 negara berhasil menancapkan
kembali dominasinya dalam kehidupan sosial politik
yang semula ‘terganggu’ dengan adanya gerakan
buruh yang radikal tersebut.

35
BAB III

Soekarno dan Kaum Buruh

Gagasan Soekarno Tentang Gerakan Buruh

Sejarah gerakan pembebasan nasional di Indonesia


tidak bisa dipisahkan dengan sejarah pergerakan
buruh. Ketika perjuangan anti-kolonial mulai
berbentuk gerakan politik massa, peranan gerakan
buruh terbilang sangat besar. Kehadiran gerakan dan
serikat buruh, seperti dicatat oleh Ruth Mc Vey, telah
menandai perkembangan menakjubkan dari
perkembangan situasi revolusioner di Indonesia.

Soekarno, salah satu tokoh paling cemerlang dan


terkemuka saat itu, tidak bisa dipisahkan dengan
gerakan buruh dan gerakan massa, terutama saat PKI
telah dihilangkan oleh penindasan kolonial dalam
panggung terbuka perjuangan pembebasan nasional.
Soekarno, terutama setelah pidato Indonesia
Menggugat yang begitu tajam dan terkenal itu, telah
didaulat secara tidak langsung sebagai pemimpinnya
gerakan massa. Bahkan, oleh Dr. Sutomo, salah satu

36
tokoh gerakan nasional saat itu, Soekarno diletakkan
sebagai motor, kekuatan penggerak dari seluruh
barisan yang beraliran kiri.

Akan tetapi, kendati gerakan buruh telah menjadi


elemen penting saat itu dan Soekarno juga punya
peranan di situ, tetapi nama Soekarno tidak setenar
nama seperti Semaun dan Soerjopranoto dalam
gerakan buruh. Saat ini, misalnya, kita begitu akrab
dengan gagasan Soekarno terkait dengan ide-ide
perjuangan nasional, sedangkan soal gagasan
perjuangan buruhnya kurang kedengaran.

Soekarno sangat akrab dengan sosok-sosok


pemimpin gerakan buruh di Eropa seperti Karl
Kautsky, Ferdinand Lassalle, Sidney dan Beatrice
Webb di Inggris, dsb. Sebagai seorang Marxist,
Soekarno pun sangat akrab dengan berbagai aliran
pemikiran sosialis dan komunis, mulai dari Pieter
Troelstra di Belanda, Jean Jaures di Perancis, hingga
Lenin, Stalin, dan Trotsky di Rusia.

Bukankah Soekarno pernah berkata, “Saya punya


pikiran, saya punya mind terbang, meninggalkan
alam kemiskinan ini, masuk di dalam “world of the
mind”; berjumpa dengan orang-orang besar, dan
bicara dengan orang-orang besar, bertukar pikiran
dengan orang-orang besar.”

37
Setidaknya, dari berbagai tokoh tersebut, Soekarno
memperoleh ide soal massa-actie dan machtvorming,
termasuk dalam membangun gerakan serikat
sekerja/serikat buruh. Dalam tulisan berjudul
“bolehkan Sarekat sekerja berpolitik?”, Soekarno
telah mengeritik habis-habisan tuan S (nama inisial,
dalam harian pemandangan) yang menuntut gerakan
serikat buruh tidak usah berpolitik. Dalam pandangan
Soekarno, perjuangan politik bagi serikat buruh,
paling tidak, adalah dimaksudkan untuk
mempertahankan dan memperbaiki nasib politik
kaum buruh, atau mempertahankan “politieke
toestand”. Menurut Bung Karno, Politieke toestand
sangat terkait dengan masa depan gerakan buruh,
yaitu penciptaan syarat-syarat politik untuk tumbuh-
suburnya gerakan buruh.

Lebih jauh lagi, Soekarno juga mengatakan, jika


kaum buruh menginginkan kehidupan yang layak,
naik upah, mengurangi tempo-kerja, dan
menghilangkan ikatan-ikatan yang menindas, maka
perjuangan kaum buruh harus bersifat ulet dan habis-
habisan. Jika ingin merubah nasib, Soekarno telah
berkata, kaum buruh harus menumpuk-numpukkan
tenaganya dalam serikat sekerja, menumpuk-
numpukkan machtvorming dalam serikat sekerja, dan
membangkitkan kekuasaan politik di dalam
perjuangan.

“Politik minta-minta satu kali akan berhasil, tetapi


sembilan puluh sembilan kali niscaya akan gagal”,
38
demikian dikatakan Soekarno saat mengeritik serikat
sekerja yang hanya menuntut perbaikan nasib.
Soekarno telah berkata, “politik meminta-minta tidak
akan menghapuskan kenyataan antitesa antara modal
dan kerja”.

Soekarno juga tidak lupa mengeritik Robert Owen,


Louis Blanc, dan Ferdinand Lassalle, yang mana
mereka dianggap menganjurkan perdamaian antara
modal dan kerja. Karena itu, dalam tulisan Mencapai
Indonesia Merdeka, Soekarno sudah menggaris-
bawahi pentingnya kaum buruh dan rakyat Indonesia
untuk menghancurkan stelsel (sistem) imperialisme
dan kapitalisme.

Dalam hal alat politik, seperti juga kaum Leninis,


Soekarno menganjurkan pendirian sebuah partai
pelopor, sebuah partai yang konsekwen-radikal dan
berdisiplin.

Partai ini, seperti dikatakan Soekarno, harus


merupakan partai yang kemauannya cocok dengan
kemauan marhaen, partai yang segala-galanya cocok
dengan nature (alam), partai yang terpikul natuur dan
memikul natuur. Sebuah partai yang merubah
pergerakan rakyat itu dari onbewust menjadi bewust
(sadar), demikian dikatakan Soekarno.

Hanya saja, dalam perjalanan menuju penghancuran


stelsel imperialisme dan kapitalisme, Soekarno telah
menganjurkan persatuan seluruh kekuatan nasional
39
untuk menggulingkan penjajahan dan mencapai
Indonesia merdeka. Sehingga, dalam praktek politik,
Soekarno mengharuskan pergerakan buruh
mensubordinasikan perjuangan kelas di bawah
perjuangan nasional. Lenin pernah berkata, bahwa di
negeri jajahan dan setengah jajahan, “secara objektif
masih ada tugas-tugas nasional yang bersifat umum,
yaitu tugas-tugas yang demokratis, tugas-tugas untuk
menumbangkan penjajahan asing.

PNI dan Gerakan Buruh

Meskipun akrab dengan gerakan buruh, namun


Soekarno sendiri tidak pernah menjabat sebagai ketua
serikat buruh, seperti Semaun dan Suryopranoto saat
itu. Tapi, Soekarno menaruh dukungan besar
terhadap pergerakan buruh.

Partai Nasional Indonesia (PNI), partainya Soekarno,


saat memandang gerakan massa sebagai komponen
penting perjuangannya, telah menempatkan
pengorganisiran kaum buruh sebagai aspek penting
dalam perjuangan partai. Bersamaan dengan
perayaan Ulang Tahun PNI, 4 Juli 1929, partai telah
memutuskan untuk mengintensifkan propaganda di
kalangan buruh. Untuk itu, PNI telah memperkuat
pengaruhnya terhadap salah satu serikat buruh saat
itu, yaitu Sarekat Kaoem Boeroeh Indonesia (SKBI).

40
Ketika SKBI mulai ditindas penguasa kolonial karena
keterkaitannya dengan Liga Anti Kolonialisme, PNI
tidak berhenti dalam mengorganisir dan memperluas
pengaruhnya di kalangan buruh. Pada bulan Juli
hingga Agustus, PNI kembali mengorganisir
beberapa serikat buruh di berbagai kota besar di
Indonesia. Di Bandung, PNI mendirikan Persatoean
Chauffeurs Indonesia, yang kemudian berganti nama
menjadi “Persatoen Motorist Indonesia”-(PMI). Di
Tanjung Priok, telah berdiri Sarikat Anak Kapal
Indonesia (SAKI); di Surabaya berdiri Persatoean
Djongos Indonesia (PDI) dan Persatoen Boeroeh
Oost Java Stoomstram Mij (OJS-Bond Indonesia).

Paska kemerdekaan, meskipun PNI telah


mensubordinasikan perjuangan kelas di bawah
perjuangan nasional, namun mereka tetap tidak
meninggalkan gerakan buruh. Pada tahun 1952, PNI
telah mendirikan Konsentrasi Buruh Kerakyatan
Indonesia (KBKI), yang haluan politiknya adalah
menuntaskan perjuangan nasional. Dua tahun
kemudian, 1954, KBKI berganti nama menjadi
Kesatuan Buruh Kerakyatan Indonesia.

41
Kaum Marhaenisme dan Proletar

Marhaen, kata Bung Karno, adalah kaum proletar


Indonesia, kaum tani Indonesia yang melarat dan
kaum melarat Indonesia yang lain-lain, misalnya
kaum dagang kecil, kaum ngarit, kaum tukang
kaleng, kaum grobag, kaum nelayan, dan lain-lain.
Meski Soekarno tidak menggunakan istilah proletar,
tetapi pada dasarnya dia mengakui kebenaran dari
faham proletar, khususnya yang berkaitan dengan
ajaran Marx ini. Soekarno sendiri tidak menutupi,
bahwa bagian terbesar dari perjuangan kaum
marhaen ini adalah kaum proletar.

Tapi, menurut Soekarno, ada perbedaan “keadaan”


antara Eropa dan disini, Indonesia. Di Eropa,
kapitalisme terutama sekali adalah kepabrikan,
sedangkan di Indonesia masih bersifat pertanian.
Selain itu, menurut Soekarno, kapitalisme di eropa
bersifat “zuivere industri” (murni industri),
sedangkan di sini sebanyak 75% berasal dari
onderneming (perusahaan) gula, teh, tembakau, karet,
kina, dsb. Ini, kata Soekarno, menghasilkan
perbedaan; di eropa, hasil kapitalisme terutama sekali
adalah proletar 100%, sedangkan di Indonesia
melahirkan kaum tani yang melarat dan papa.

Meskipun kapitalisme mengacu pada 75% industri


pertanian, tetapi Soekarno tidak menutupi kebenaran
42
pendirian, bahwa proletar harus menjadi pembawa
panji-panji. Soekarno telah berkata, “Nah, tentara kita
adalah benar tentaranya marhaen, tentaranya kelas
marhaen, tentara yang banyak mengambil tenaga
kaum tani, tetapi barisan pelopor kita adalah
barisannya kaum buruh, barisannya kaum proletar”.

Marhaenisme tidak bermaksud menganulis teori


kelas, malah berusaha menerapkan penggunaan teori
kelas dalam konteks dan karakteristik Indonesia,
seperti yang telah dijelaskan Soekarno di atas. Ini
bukan versi baru bagi penganut marxisme di negeri
dunia ketiga. Di Amerika Latin terdapat nama José
Carlos Mariátegui, yang telah berusaha
mengembangkan Marxisme dalam konteks setempat,
dan mulai membuang aspek eropa-sentisnya. “Eropa
Barat memiliki Sosial-Demokrasi; Rusia memiliki
Komunisme; Tiongkok San Min Cu I; India
mempunya Gandhiisme; marilah kita di Indonesia
mempropagandakan kita punya Marhaenisme!”
demikian dikatakan Soekarno.

Justru, dalam konteks sekarang ini, marhaenisme


justru bisa dipergunakan sebagai salah satu alat
analisis kelas versi Indonesia, asalkan dikembangkan
dan sesuaikan dengan konteks saat ini. Sebagai
missal, perkembangan sektor informal yang sudah
mencapai lebih dari 70%, memaksa kita untuk
menggunakan teori kelas secara kontekstual.

43
Walaupun Soekarno mengakui teori perjuangan
kelas, namun ia selalu berusaha memperkokoh jiwa
bangsa tidak sebagai kesadaran kelas, seperti yang
biasa terdapat dalam gerakan buruh, tapi sebagai
kesadaran bangsa, kesadaran untuk mencapai tujuan
nasional. Bagi Soekarno, dalam tahap negeri
kolonial, pertentangan-pertentangan kelas itu menjadi
searah dengan pertentangan nasional.

Ini patut dimaklumi, sebab situasi tempat Soekarno


membangun teorinya, salah satunya, karena baru saja
menyaksikan perpecahan tajam di kalangan
pergerakan, terutama perseteruan tajam antara kaum
Marxist versus islam. Perpecahan hanya akan
memperkuat kekuatan musuh, sedangkan barisan kita
akan goyah.

44
BAB IV

Suryopranoto dan Kaum Buruh

Timbulnya pergerakan Buruh

Pergerakan kaum buruh di Indonesia muncul di awali


dengan pergerakan politik Indonesia terlebih dahulu.
Adapun pergerakan buruh di Indonesia timbul akibat
adanya 4 faktor utama yaitu pertama, karena
perkumpulan-perkumpulan politik, maka pikiran
kaum buruh menjadi terbuka untuk berorganisasi.
Kedua, adanya contoh-contoh cara menyusun dan
cara bekerja perkumpulan pekerja bangsa Eropa dan
campuran antara Eropa dan Pribumi secara bersama-
sama. Ketiga, pergerakan sekerja timbul dalam masa
dunia, yaitu pada saat merosotnya syarat-syarat
penghidupan dengan akibat kesukaran dan
pemasukan barang. Keempat, hasrat orang-orang
politik mendekati para pekerja untuk memperkuat
aksinya dengan menggunakan perkumpulan buruh.

45
Pada tahun 1905 Belanda membuka peluang untuk
dunia Internasional untuk menanamkan modal-
modalnya di Indonesia, dalam istilah lain disebut
Open der Politek (Politik pintu terbuka). Setelah
menyadari bahwa Indonesia di eksploitasi oleh
Belanda maka munculah suatu rasa perjuangan yang
bersifat kebangsaan dan hal ini pun kemudian
memotivasi gerakan buruh pada tahap selanjutnya.
Gerakan Buruh pertama adalah S.B. (Serikat Buruh)
dari kereta api Negara pada taun 1905. Selanjutnya
organisasi ini bubar dan anggotanya bergabung
dengan VSTP (Vereniging van Spooren Tramweg
Personeel) didirikan oleh Sneevliet dan Semaun, pada
1908 di Semarang. Setelah itu bermunculanlah
sarikat buruh lainnya seperti PBP (Perhimpunan
Bumi Putra Pabean) pada 1911, PGHB (Persatuan
Guru Hindia-Belanda) pada 1912, PPPB (Persatuan
Pegawai Pegadaian Bumi Putera) pada 1914, P.F.B (
Personeel Fabriek Bond) pada 1917 di Yogyakarta
oleh Suryopranoto.

46
Menggerakan Buruh dalam P.F.B

Ketika Suryopranoto belum masuk partai Sarekat


Islam dan ia bekerja pada perkebunan sebagai
Landbouw Leeraar, dan ia sudah merasakan
penderitaan dari nasib buruh-buruh kecil.
Suryopranoto sangat membenci kaum Kolonial
Belanda yang berlaku sewenang-wenang terutama
terhadap buruh pabrik. Kesalahan yang dilakukan
oleh buruh pabrik tidak hanya dihukum dengan denda
melainkan juga dipecat, bahkan dengan pukulan.
Selain sebagai pucuk pimpinan Partai Suryopranoto
juga menjabat sebagai Ketua Departemen Perburuhan
Sarekat Islam.

Kegelisahan di antara para buruh timbul juga karena


upah yang sangat rendah, sedangkan bahan-bahan
sudah sangat mahal harganya. Akhirnya
Suryopranoto pun membentuk Personeel Fabriek
Bond. Sejak 1917 sampai 1920 jumlah anggotanya
mecapai 30.000 anggota. Di sini sebelu tahun 1920
sistem budak belian juga berlaku di Indonesia. selain
itu bayak perlakuan Amoral yang dilakukan oleh para
penanam modal dari Cina terhadap para wanita yang
bekerja di pabrik dan perkebunan.

47
Suryopranoto juga sebagai bapak rakyat tidak tinggal
diam dengan keadaan tersebut karena walaupun dia
bangsawan tapi kehidupannya selalu bersama dengan
rakyat kecil. PFB sendiri dibentuk untuk memberikan
pertolongan kepada keluarga buruh pabrik di daerah
Yogyakarta, dan kemudian di seluruh Jawa.
Suryopranoto juga meminta kepada kepala
perkebunan dan kepala pabrik sindikat gula untuk
mengakui PFB ini dan meminta untuk menaikan upah
kaum buruh. Namun, akhirnya permintaan tersebut
ditolak dan PFB pun memberikan ultimatum pada 9
agustus 1920.

Para buruh di pabrik sindikat gula tersebut


melakukan pemogokan kerja dan diikuti oleh buruh-
buruh di daerah Bondowoso dan Situbondo, Jawa
timur. Sebenarnya Belanda sendiri sudah mengetahui
bahwa upah buruh di pabrik sindikat gula itu rendah.
Hal ini memang kontradiksi dengan kenyataan karena
pada saat itu pabrik gula memperoleh keuntungan
yang sangat besar. Akhirnya setelah lama melakukan
aksi pemogokan tersebut para majikan perusaaan dan
pabrik memenuhi juga kenaikan upah dari F 10,-
menjadi F 15,- hal ini berarti ada kenaikan sebesar
50% dari gaji sebelumnya.

Pada tanggal 1 agustus 1920 P.P.K.B (Persatuan


Pergerakan Kaum Buruh) berkongres untuk pertama
kalinya di Yogyakarta. Di dalam kongres ini nampak
dua paham yang berbeda yaitu Komunis dan Sosialis.
Aliran sosialis memandang aksi mogok itu hanyalah
48
untuk peningkatan upah saja dan bukannya
merupakan aksi politik, sedangkan aliran komunis
memanfaatkan pemogokan untuk mendapatkan
pengaruh politik. Adapun hasil dari kongres ersebut
adalah membuat susunan kepengurusan PPKB
dengan ketuanya adalah Semaun (Komunis), Ketua
Muda Suryopranoto (SI) dan sekretarisnya adalah
Agus Salim (SI).

Kebanyakan kasus pemogokan para buruh terjadi


karena upah yang rendah dan tidak sesuai dengan
keadaan barang-barang saat itu yang harganya mahal.
Seperti kasus di Surabaya pada 1920 dan meluas ke
daerah lainnya. Namun, pemogoka-pemogokan buruh
ini ditanggapi lambat oleh Belanda sehingga
mengakibatkan kerusakan-kerusakan pada gedung
akibat pembakaran, dan sebagainya. Di mana saja
Suryopranoto dapat menimbulkan daya gerak dan
semangat berjuang pada kaum buruh. Memang benar
degan melakukan pemogokan maka majikan dan
pimpinan perusahaan/pabrik tidak dapat berbuat apa-
apa lagi selain memenuhi tuntutan tersebut.

Kegiatan pemogoka-pemogokan pun terus


berlangsung dari tahun ketahunnya bahkan terjadi
setiap bulan yang dilakukan oleh buruh parker.
Suryopranoto menjadi tokoh yang sangat disegani
masyarakat atas usahanya dalam menggerakan buruh
untuk melakukan pemogokan. Hal ini dikarenakan
aspek kehidupan dan kesejahteraan buruh menjadi
meningkat. Selain memperjuangkan kaum buruh,
49
Suryopranoto juga memperjuangan kaum tani di
Yogyakarta karena diterapkannya peraturan tanah
konvensi yaitu anah rakyat milik raja.

Gerakan PPPB dan PPPH

Pemogokan pegawai pegadaian yang pertama terjadi


di pegadaian Ngupasan Yogyakarta. Adapun asal
mula terjadinya pemogokan adalah Beamkte-beamkte
(pegawai) pegadaian yaitu yang tugasnya melelang
barang-barang yang digadaikan dan telah habis
waktunya, menyuruh pegawai-pegawai bangsa kita
untuk mengangkut barang-barang dari tempat
penyimpanan ke tempat pelelangan. Menjadi
permasalahan karena hal ini dilakukan dengan nada
menghina dan biasanya juga pengangkutan ini
dilakukan oleh pekerja yang sudah mendapat
bagiannya.

Dalam pemogokan ini PPPB mengeluarkan dua


tuntutan pertama, menjunjung tinggi derajat Bangsa.
Kedua, kenaikan gaji karena memang pada tahun
1923 keadaan perekonomian bangsa sangat buruk
(naik drastis). Pemogokan di Ngupasan ini ternyata
menyebar hingga Jawa Barat dan juga Jawa Timur,
jadi hampir seluruh rumah gadai yang ada di Jawa
saat itu tutup. Sayangnya ketika pegadaian sedang
melakukan aksi pemogokan ini Suryopranoto sedang
dipenjara karena kasus P.F.B.
50
Dalam pemogokan PPPB ini PKI tidak terlibat karena
memiliki persatuan buruh sendiri yaitu buruh kereta
api yang bernama V.S.T.P. Menghadapi pemogokan-
pemogokan yang dilakukan PPPB pada 1923
pemerintah Belanda bersikap keras dan tetap tidak
akan menuruti tuntuan PPPB, sehingga pemogokan
pun mengalami kegagalan. Setelah Suryopranoto
bebas dari penjara ia kemudian mengganti nama
PPPB menjadi PPPH (Perserikatan Pegawai-pegawai
Hindia) karena PPPB sudah dicurigai Belanda.

Pada 1931 terjadi suatu perselisihan di dalam tubuh


PPPH yaitu antara wakil ketua dan sekretaris PPPH.
Hal ini dikarenakan adanya permasalahan
kepemipinan yang sama-sama ingin jadi pemimpin.
Namun masalah ini segera diselesaikan karena
mereka berpikir masih banyak buruh yang harus
diperjuangkan daripada mengurusi masalah intern
saja. PPPH ini juga akhirnya yang membebaskan 900
kaum buruh yang terkena PHK (pemecatan)
dikarenakan kurang cakap. Namun, hal ini tidak
terbukti karena dari 900 hanya 30 yang memang
tidak cakap karena kendala buta huruf, buta warna,
dan sebagainya.

Di samping PPPH yang secara berani melancarkan


aksinya maka orang-orang Belanda pun membentuk
perhimpunannya yang khusus menampung pegawai-
pegawai dari bangsa Belanda. Perkumpulan ini
51
disebut Pandhuis–Bond dan merupakan wadah untuk
menyalurkan cita-citanya serta antisipasi dalam
melawan PPPH. Pergerakan-pergeakan buruh ini
ternyata membuat kekhawatiran bagi pihak Belanda
khususnya pengaruhnya bagi perekonomian Belanda
sendiri, sehingga Belanda banyak melakukan
pantauan-pantauan terhadap organisasi PPPB dan
PPPH.

Medan pergerakan Soerjopranoto meluas hingga


Solo. Dari 192 pabrik gula yang ada di Solo, PFB
mempunyai cabang di 153 pabrik. Berhasilnya
pemogokan merangsang buruh-buruh lain untuk ikut
mogok. Pabrik-pabrik menghadapi aksi-aksi buruh
dengan memecati para pemogok. Untuk itu PFB juga
berusaha membantu keuangan buruh-buruh yang
dipecat dan mengusahakan pekerjaan untuk mereka.
Pabrik biasanya mengabulkan tuntutan kenaikan
upah, tetapi menolak untuk mempekerjakan kembali
buruh-buruh yang dipecat dan tidak bersedia
mengakui PFB sebagai wakil buruh.

Bocornya rencana pemogokan umum se-Jawa pada


Juli 1920 dimanfaatkan oleh residen Surakarta untuk
menangkapi para pemimpin SI dan PFB, dengan
tuduhan bahwa aksi-aksi buruh yang bersifat
ekonomi itu mulai ditunggangi oleh aksi-aksi politik
SI, sehingga dikhawatirkan “keamanan dan
ketertiban” (rust en orde) bakal guncang. Tindakan
pabrik-pabrik gula menaikkan upah buruh 20 – 30%
memukul militansi buruh-buruh dan membangkitkan
52
ketakutan mereka terhadap majikan. Beramai-ramai
mereka mundur dari keanggotaan PFB. Tak lama
PFB pun mati.

PPPB dipimpin Abdoel Moeis mendukung


pemogokan buruh-buruh pegadaian Yogyakarta.
Abdoel Moeis mengusahakan negosiasi dengan
pemerintah agar buruh-buruh yang dipecat
dipekerjakan kembali dan dibentuk komite
penyelidikan ketidakpuasan para buruh. Penolakan
pemerintah berkembang menjadi perjuangan nasional
melawan pemerintah, karena tuntutan PPPB
didukung pula oleh Central SI, PKI, Revolutionaire
Vakcentrale, Boedi Oetomo, Muhammadiyah dan
serikat-serikat buruh lainnya. Rencana pemogokan
umum PPPB pada Februari 1922 dipotong oleh
pemerintah dengan menangkapi para pemimpinnya.
Dukungan pun surut, 1.000 buruh dipecat dan PPPB
runtuh.

Rencana rasionalisasi semasa Gubernur Jenderal


Fock menyulut buruh-buruh kereta api yang
tergabung dalam VSTP untuk bergerak. Tahun 1923
pemerintah menghapus tunjangan biaya hidup. VSTP
yang berada di bawah kontrol kaum komunis
mengancam akan menggerakkan pemogokan jika
negosiasi dengan pemerintah gagal atau ada satu saja
pemimpin VSTP yang ditangkap. Sebelum VSTP
betul-betul siap untuk mogok, pemerintah
menangkap Semaoen. Kontan 10.000 buruh kereta
api mogok di Semarang, Yogyakarta, Madiun,
53
Surabaya, Pekalongan, Tegal dan Cirebon.
Pemerintah menerjunkan tentara di sepanjang jalur
kereta api, dan menangkapi para pemimpin VSTP.
Pemogokan berhenti dan VSTP hancur karena
ditinggal anggotanya.

Dimasa-masa kebesaran serikat Buruh, maka di


bawah komando PKI (Perserikatan Komunis
Indonesia, merupakan organisasi yang berdiri 23 Mei
1920, organisasi progresif dan berhaluan pada garis
massa pertama di Asia), serikat-serikat Buruh
komunis mulai melancarkan aksi-aksi massa yang
bertujuan mematangkan kondisi revolusi, dan
diharapkan akan mencapai puncaknya pada akhir
1926. Perencanaan aksi besar ini terinspirasi dari
kemenangan kaum Bolshevik di Rusia, Oktober
1918. Perdebatan terjadi di antara kaum komunis
sendiri atau kelompok progresif lain yang tidak
berhaluan komunis. Perdebatan yang sangat terkenal
terjadi antara Tan Malaka dengan Alimin (PKI), yang
berakibat dikeluarkananya Tan Malaka dari
Komintern (Komunis Internasional).

PKI pun akhirnya memaksakan rencana aksi tersebut.


Pemberontakan pertama di Indonesia yang bertujuan
langsung terhadap perebutan negara terjadi di akhir
1926. Seperti yang diduga Tan Malaka, ternyata
kondisi rakyat Indonesia belumlah matang, terlihat
dari kelambatan beberapa daerah merespon aksi di
Jawa. Penumpasan besar-besaran terjadi, militer

54
belanda bekerja keras untuk menumpas kekuatan
massa radikal tersebut.

Usaha perjuangan pembebasan rakyat secara nasional


ini, menunjukkan betapa takutnya pemerintah
Belanda terhadap aksi-aksi massa yang radikal dan
progersif. Sekitar 13.000 pejuang dibuang ke Boven
Digul oleh Pemerintah Kolonial Hindia Belanda.
Salah satu sebabnya adalah ketidak-mampuan kaum
radikal dalam mengkonsolidasikan secara baik dan
menyeluruh kekuatan-kekuatan potensial rakyat,
yaitu kaum buruh, kaum tani dan kaum tertindas
lainnya. Sehingga kekuatan kaum radikal sendiri
tidak cukup kuat untuk menghadapi aparat militer
Pemerintah Kolonial. Satu pelajaran yang harus kita
ambil adalah bahwa perjuangan bersenjata adalah
kebutuhan nyata massa dan merupakan kulminasi
dari situasi revolusioner perlawanan rakyat terhadap
watak negara kolonial, dengan aparat kemiliterannya,
yang selama ini melakukan penghisapan/penindasan
terhadap segala bentuk perlawanan rakyat.

Pasca 1926 panggung perjuangan politik dikuasai


oleh para pemimpin-pemimpin bearasal dari kaum
intelektual, hanya sedikit yang melakukan
pembangunan di basis massa, aksi-aksi massa yang
sebelum 1926 sangat marak menjadi nyaris hilang.
Perdebatan-perdebatan politik hanya terjadi di
panggung-panggung politik ciptaan Belanda, seperti
Volksraad. Ini tidak lain sebagai usaha Belanda
memutus hubungan antara kaum terpelajar dengan
55
massa rakyat. Karena akan lebih mudah bagi Belanda
menumpas kaum terpelajar yang cukup “vokal”,
dengan cara membuangnya ke Belanda atau Digul.

Suryopranoto dan Partai Sarekat Islam

Suryopranoto masuk Partai Sarekat Islam pada tahun


1911 dan karena keaktifannya segera menjadi
anggota Pucuk Pimpinan. Begitu aktif, tangkas dan
beraninya, sehingga ia menduduki tempat sebagai
pembantu Tjokroaminoto yang utama. Soerjopranoto
menjadi orang kedua di dalam partai. Dalam kursus-
kursus partai yang secara periodik diselenggarakan di
jalan Kepatihan Paku Alaman Yogyakarta, ia adalah
seorang gurunya. Menurut Hamka, yang memberikan
pelajaran ialah H. Fachruddin, Soerjopranoto (dalam
ilmu Sosiologi) dan Tjokroaminoto (Sosialisme dan
Islam).

Dalam Kongres SI di Surabaya tahun 1919


Soerjopranoto mengemukakan, bahwa kemenangan
klas dan menjadikan alat-alat produksi menjadi milik
umum, tidak harus dicapai dengan aksi bersenjata
tapi bisa secara moral, protes-protes, dan jika perlu
dengan "pemogokan", kesemua itu harus dilakukan
secara serentak. Soerjopranoto dikemudian hari
memimpin suatu pemogokan umum dikalangan kaum
pekerja pabrik-pabrik gula yang bergabung dalam
Sarekat buruh pertama yang didirikan di Indonesia
pada tahun 1917 P.F.B. ( Personeel Fabrieks Bond) di
jawa Tengah dan Jawa Timur. Pemogokan ini yang
56
pertama kali pada tanggal 20 Agustus 1920 di pabrik
gula madu Kismo. Dengan perbuatan ini
Soerjopranoto melaksanakan teori pada praktiknya.
Pemogokan ini begitu luas dan hebat sehingga oleh "
De Express" ia disebut "De stakings Koning" (=Raja
Pemogokan). Yang dihadapi sebagai lawan pada
waktu itu adalah P.E.B. (Politiek Economische Bond)
dibawah pimpinan Engelenberg dan Brugers
(kumpulannya Tuan-Tuan Pabrik).

Selama menjadi orang partai Sarekat Islam ia pernah


masuk penjara sampai tiga kali karena spreek-delict
dan tak terhitung lagi pembredelan dan pembeslahan
atas hasil tulisan-tulisannya. Sekali ia dipenjarakan di
Malang (1923-3 bulan), kedua di Semarang (1926-6
bulan) dan ketiga kalinya di Bandung(Sukamiskin)
selama 16 bulan (1933), dengan peringatan untuk
keempat kalinya akan diganjar 4 x 16 bulan.

Pada era 1932 sampai dengan 1936, ironis sekali


bahwa Soerjopranoto yang ikut membesarkan SI
melalui berbagai krisis pada tahun 1933 malah
diskors bersama dr. Soekiman Wirjosandjojo oleh
Tjokroaminoto dan Salim karena membongkar
korupsi. Dikemudian hari skorsing dicabut dan
mereka berdua kemudian mendirikan Partai Islam
Indonesia (PII). Tetapi dalam partai ini ia tidak
pernah aktif karena agaknya merasa kecelok (salah
kira) sebab azas dan programnya ternyata sangat jauh
dari apa yang diangan-angankan sebelumnya. Tenaga
dan pikirannya terutama dicurahkan untuk kemajuan
57
P.P.P.B, Opium Regir Bond, dan sekolah Adhi
Dharma Institut (didirikan tahun 1917 di Yogyakarta,
dulu cabangnya di Malang, Surabaya, dan Magelang
serta Kotaraja). Antara tahun 1933 dan 1935 masuk
dipenjara Sukamiskin karena pers delict berhubung
dengan tulisan-tulisannya dalam buku ensiklopedia
yang ditulis secara jelas sederhana untuk rakyat jelata
tetapi sifat isinya mencela pedas dan menggugat
kejahatan Kapitalisme dan Kolonialisme dengan
maksud supaya cepat meluas menggugah hati rakyat
memberikan diri dalam menuntut akan hak-haknya.

Karena kesehatannya banyak sekali terganggu,


sepulangdari Sukamiskin dan kekuatannya sudah
mengurang kerena tambah tua, maka ia terpaksa
membatasi diri dalam lapangan partai Islam
Indonesia untuk lebih mencurahkan tenaga-
pikirannya duna kemajuan sekolah Adhi Dharma.

Institut juga memberi kursus-kursus sore dan malam


tentang ilmu pengetahuan umum (ketata-
negaraan,sejarah,ekonomi,etnologi,geografi) pada
orang-orang tua dan pemuda-pemuda yang kurang
mampu membiayai pelajarannya tapi mempunyai
kecerdasan untuk hasrat yang lebih maju. Maksudnya
ialah untuk mendapatkan pengalaman guna
mendirikan Universitas bagi rakyat lapisan bawah.
Akan tetapi kena rintangan onderwijsverbod (yang
dicabut kembali dengan perantara tuan Gobius
advisuer van Inlandse zaken).

58
Pada era 1942 sampai dengan 1945, karena sekolah
Adhi Dharma pada zaman Jepang dibubarkan dan
partai-partai dilarang maka ia kemudian menjadi guru
(sampai 1947) ditaman tani "Taman Siswa" yang
didirikan adiknya Ki Hajar Dewantara, juga untuk
menghindari tugas-tugas dari pemerintah pendudukan
Jepang. Dalam masa ini ia juga menjadi anggota Cuo
Sangi In (semacam D.P.A).

Di zaman R.I.-Yogyakarta disamping menjadi guru


Taman Siswa, ia tidak sedikit memberi kursus-kursus
kepada para pemuda, selaku seorang yang partai-
loos. Pada waktu itu ia menerbitkan dua buku : satu
tentang pelajaran Sosialisme dan dua tentang ilmu
Tata-negara, guna secara sederhana lekas menambah
pengetahuan dan pengertian dasar pada golongan
pemuda-pemuda dan rakyat lapisan bawah yang
sedang berjuang melaksanakan perang kemerdekaan.

59
BAB V

TAN MALAKA

Pahlawan Terlupakan dalam Sejarah Indonesia

Dalam lintasan sejarah, Tan Malaka merupakan salah


satu tokoh revolusi kiri yang namanya hingga kini
masih terus berkibar, paling tidak di Eropa. Sehingga
tak heran jika Harry Poeze, peneliti senior sekaligus
Direktur KITLV Belanda, menulis disertasi mengenai
Tan Malaka pada tahun 1976 yang kemudian
diterjemahkan ke bahasa Indonesia dalam dua jilid.
Poeze kemudian melanjutkan buku kisah perjalanan
hidup Tan Malaka ini sampai akhir hayatnya pada
1949, yang dalam buku tersebut diungkap mengenai
lokasi tewasnya Tan Malaka di Jawa Timur dan siapa
yang menembaknya.

Sosok Ibrahim Datoek Tan Malaka atau biasa kita


kenal sebagai “Tan Malaka” adalah sosok yang patut
dikenang oleh buruh Indonesia ,selain kedekatan
beliau terhadap para buruh yang ada di
Indonesia,pahlawan Nasional yang kesepian pada
awal mula perjuanganya menjadi sosok kiri yang
dikenal,ketika ia di Belanda Tan malaka hidup
ditengah kehidupan perkebunan yang benar-benar
kapitalistis dan rasistis,kedudukan Tan Malaka
menjadi sulit.Ia dibayar atas norma-norma Eropa,tapi
60
rekan rekan Belandanya melihat dirinya dengan
sebelah mata,sedang terhadap pekerjaanya selalu
dianggap remeh.

Keyakinan politiknya semakin mendalam,dan jadilah


Ia seorang komunis yang sadar.Ia menulis Risalahnya
yang pertama,sebuah uraian kolot tentang
komunisme: Soviet atau parlement? Tan Malaka
juga pernah berperan dibalik layar ketika terjadi
pemogokan kaum buruh perkebunan di belanda pada
tahun 1920

Jasa-jasa Tan Malaka bagi kaum buruh di Indonesia


sangat besar salah satunya adalah mengadakan
sekolah kerakyatan bagi anak kuli agar terbebas
dengan yang namanya kebodohan dan terhindar dari
penipuan para pemilik modal (kolonial).

Sutan Ibrahim Gelar Datuk Tan Malaka lahir di


Pandan Gadang, Suliki, Sumatera Barat, tahun 1896.
Ia menempuh pendidikan Kweekschool di
Bukittinggi sebelum melanjutkan pendidikan ke
Belanda. Tahun 1919 ia kembali pulang ke Indonesia
dan bekerja di sebuah perkebunan di Deli.
Ketimpangan sosial yang dilihatnya di lingkungan
perkebunan, antara kaum buruh dan tuan tanah
menimbulkan semangat radikal pada diri Tan Malaka
muda

Penindasan terhadap buruh menyebabkan ia berhenti


dan pindah ke Jawa tahun 1921. Ia mendirikan
61
sekolah di Semarang dan kemudian di Bandung.
Aktivitasnya menyebabkan ia diasingkan ke negeri
Belanda. Ia malah pergi ke Moskwa dan bergerak
sebagai agen komunis internasional (Komintern)
untuk wilayah Asia Timur. Namun, ia berselisih
paham karena tidak setuju dengan sikap Komintern
yang menentang pan-Islamisme.

Saat kongres PKI 24-25 Desember 1921, Tan Malaka


diangkat sebagai pimpinan partai.Januari 1922 ia
ditangkap dan dibuang ke Kupang.Pada Maret 1922
Tan Malaka diusir dari Indonesia dan mengembara ke
Berlin, Moskwa dan Belanda.Pada tahun 1921 Tan
Malaka telah terjun ke dalam gelanggang politik.
Dengan semangat yang berkobar dari sebuah gubuk
miskin, Tan Malaka banyak mengumpulkan pemuda-
pemuda komunis. Pemuda cerdas ini banyak juga
berdiskusi dengan Semaun (wakil ISDV) mengenai
pergerakan revolusioner dalam pemerintahan Hindia
Belanda. Selain itu juga merencanakan suatu
pengorganisasian dalam bentuk pendidikan bagi
anggota-anggota PKI dan SI (Sarekat Islam) untuk
menyusun suatu sistem tentang kursus-kursus kader
serta ajaran-ajaran komunis, gerakan-gerakan aksi
komunis, keahlian berbicara, jurnalistik dan keahlian
memimpin rakyat. Namun pemerintahan Belanda
melarang pembentukan kursus-kursus semacam itu
sehingga mengambil tindakan tegas bagi pesertanya.

62
Melihat hal itu Tan Malaka mempunyai niat untuk
mendirikan sekolah-sekolah sebagai anak-anak
anggota SI untuk penciptaan kader-kader baru. Juga
dengan alasan pertama: memberi banyak jalan
(kepada para murid) untuk mendapatkan mata
pencaharian di dunia kapitalis (berhitung, menulis,
membaca, ilmu bumi, bahasa Belanda, Melayu, Jawa
dan lain-lain); kedua, memberikan kebebasan kepada
murid untuk mengikuti kegemaran mereka dalam
bentuk perkumpulan-perkumpulan; ketiga, untuk
memperbaiki nasib kaum miskin. Untuk mendirikan
sekolah itu, ruang rapat SI Semarang diubah menjadi
sekolah. Dan sekolah itu bertumbuh sangat cepat
hingga sekolah itu semakin lama semakin besar.

Perjuangan Tan Malaka tidaklah hanya sebatas pada


usaha mencerdaskan rakyat Indonesia pada saat itu,
tapi juga pada gerakan-gerakan dalam melawan
ketidakadilan seperti yang dilakukan para buruh
terhadap pemerintahan Hindia Belanda lewat VSTP
dan aksi-aksi pemogokan, disertai selebaran-
selebaran sebagai alat propaganda yang ditujukan
kepada rakyat agar rakyat dapat melihat adanya
ketidakadilan yang diterima oleh kaum buruh.

Seperti dikatakan Tan Malaka pada pidatonya di


depan para buruh “Semua gerakan buruh untuk
mengeluarkan suatu pemogokan umum sebagai
pernyataan simpati, apabila nanti menglami
63
kegagalan maka pegawai yang akan diberhentikan
akan didorongnya untuk berjuang dengan gigih
dalam pergerakan revolusioner”.

Pergulatan Tan Malaka dengan partai komunis di


dunia sangatlah jelas. Ia tidak hanya mempunyai hak
untuk memberi usul-usul dan dan mengadakan kritik
tetapi juga hak untuk mengucapkan vetonya atas
aksi-aksi yang dilakukan partai komunis di daerah
kerjanya. Tan Malaka juga harus mengadakan
pengawasan supaya anggaran dasar, program dan
taktik dari Komintern (Komunis Internasional) dan
Profintern seperti yang telah ditentukan di kongres-
kongres Moskwa diikuti oleh kaum komunis dunia.
Dengan demikian tanggung-jawabnya sebagai wakil
Komintern lebih berat dari keanggotaannya di PKI.

Sebagai seorang pemimpin yang masih sangat muda


ia meletakkan tanggung jawab yang sangat berat pada
pundaknya. Tan Malaka dan sebagian kawan-
kawannya memisahkan diri dan kemudian
memutuskan hubungan dengan PKI, Sardjono-
Alimin-Musso.

Pemberontakan 1926 yang direkayasa dari Keputusan


Prambanan yang berakibat bunuh diri bagi
perjuangan nasional rakyat Indonesia melawan
penjajah waktu itu. Pemberontakan 1926 hanya
merupakan gejolak kerusuhan dan keributan kecil di
beberapa daerah di Indonesia. Maka dengan mudah
dalam waktu singkat pihak penjajah Belanda dapat
64
mengakhirinya. Akibatnya ribuan pejuang politik
ditangkap dan ditahan. Ada yang disiksa, ada yang
dibunuh dan banyak yang dibuang ke Boven Digoel,
Irian Jaya. Peristiwa ini dijadikan dalih oleh Belanda
untuk menangkap, menahan dan membuang setiap
orang yang melawan mereka, sekalipun bukan PKI.
Maka perjaungan nasional mendapat pukulan yang
sangat berat dan mengalami kemunduran besar serta
lumpuh selama bertahun-tahun.

Tan Malaka yang berada di luar negeri pada waktu


itu, berkumpul dengan beberapa temannya di
Bangkok. Di ibu kota Thailand itu, bersama Soebakat
dan Djamaludddin Tamin, Juni 1927 Tan Malaka
memproklamasikan berdirinya Partai Republik
Indonesia (PARI). Dua tahun sebelumnya Tan
Malaka telah menulis "Menuju Republik Indonesia".
Itu ditunjukkan kepada para pejuang intelektual di
Indonesia dan di negeri Belanda. Terbitnya buku itu
pertama kali di Kowloon, Hong Kong, April 1925.

Prof. Mohammad Yamin, dalam karya tulisnya "Tan


Malaka Bapak Republik Indonesia" memberi
komentar: "Tak ubahnya daripada Jefferson
Washington merancangkan Republik Amerika
Serikat sebelum kemerdekaannya tercapai atau Rizal
Bonifacio meramalkan Philippina sebelum revolusi
Philippina pecah

65
Ia tidak setuju dengan rencana pemberontakan PKI
yang kemudian meletus tahun 1926/1927
sebagaimana ditulisnya dalam buku Naar de
Republiek Indonesia (Menuju Republik Indonesia,
Kanton, April 1925 dan dicetak ulang di Tokyo,
Desember 1925). Perpecahan dengan Komintern
mendorong Tan Malaka mendirikan Partai Republik
Indonesia (PARI) di Bangkok, Juni 1927.

Walaupun bukan partai massa, organisasi ini dapat


bertahan sepuluh tahun; pada saat yang sama partai-
partai nasionalis di Tanah Air lahir dan mati.

Perjuangan Tan Malaka yang bersifat lintas bangsa


dan lintas benua telah diuraikan secara rinci dalam
dua jilid biografi yang ditulis Poeze. Setelah
Indonesia merdeka, perjuangan Tan Malaka
mengalami pasang naik dan pasang surut. Ia
memperoleh testamen dari Bung Karno untuk
menggantikan apabila yang bersangkutan tidak dapat
menjalankan tugasnya.

Namun, tahun 1948, Tan Malaka dikenal sebagai


penentang diplomasi dengan Belanda yang dilakukan
dalam posisi merugikan Indonesia. Ia memimpin
Persatuan Perjuangan yang menghimpun 141
partai/organisasi masyarakat dan laskar, menuntut
agar perundingan baru dilakukan jika Belanda
mengakui kemerdekaan Indonesia seratus persen.

66
Tahun 1949 Tan Malaka ditembak. Tanggal 28 Maret
1963 Presiden Soekarno mengangkat Tan Malaka
sebagai pahlawan nasional. Namun, sejak era Orde
Baru, namanya dihapus dalam pelajaran sejarah yang
diajarkan di sekolah walau gelar pahlawan nasional
itu tidak pernah dicabut. Adalah kebodohan rezim
Orde Baru menganggap Tan Malaka sebagai tokoh
partai yang dituduh terlibat pemberontakan beberapa
kali. Tan Malaka justru menolak pemberontakan PKI
tahun 1926/1927. Ia sama sekali tidak terlibat dalam
peristiwa Madiun 1948. Bahkan, partai yang
didirikan tanggal 7 November 1948, Murba, dalam
berbagai peristiwa berseberangan dengan PKI.

Harry Poeze telah menemukan lokasi tewasnya Tan


Malaka di Jawa Timur berdasarkan serangkaian
wawancara yang dilakukan pada periode 1986
sampai dengan 2005 dengan para pelaku sejarah yang
berada bersama-sama dengan Tan Malaka tahun
1949. Dengan dukungan dari keluarga dan lembaga
pendukung Tan Malaka, sedang dijajaki kerja sama
dengan Departemen Sosial Republik Indonesia untuk
memindahkan kuburannya ke Taman Makam
Pahlawan Kalibata.

Tentu untuk ini perlu tes DNA, misalnya. Tetapi,


Depsos dan Pemerintah Provinsi Jatim harus segera
melakukannya sebelum masyarakat setempat secara
sporadis menggali dan mungkin menemukan tulang
67
belulang kambing yang bisa diklaim sebagai
kerangka jenazah sang pahlawan nasional.

Tan Malaka yang terakhir ini. Sejarah revolusi


Indonesia tahun 1945-1949 seperti diguncang untuk
ditinjau ulang. Peristiwa Madiun 1948 dibahas
sebanyak 300 halaman. Poeze menggunakan arsip
Komintern yang terdapat di Moskwa.

Ia juga menemukan arsip menarik tentang Soeharto.


Selama ini sudah diketahui bahwa Soeharto datang ke
Madiun sebelum meletus pemberontakan.
Soemarsono berpesan kepadanya bahwa kota itu
aman dan agar pesan itu disampaikan kepada
pemerintah. Poeze menemukan sebuah arsip menarik
di Arsip Nasional RI bahwa Soeharto pernah menulis
kepada "Paduka Tuan" Kolonel Djokosoejono,
komandan tentara kiri, agar beliau datang ke Yogya
dan menyelesaikan persoalan ini. Soeharto menulis
"saya menjamin keselamatan Pak Djoko". Dokumen
ini menarik karena ternyata Soeharto mengambil
inisiatif sendiri sebagai penengah dalam peristiwa
Madiun.

Dalam kondisi ini, Tan Malaka mungkin lebih cocok


disebut sebagai pahlawan yang terlupakan. Mengapa
demikian, karena Ia berpuluh-puluh tahun telah
berjuang bersama rakyat, namun kemudian dibunuh
dan dikuburkan disamping markas militer di sebuah
desa di Kediri pada 1949, tanpa banyak yang tahu.
Padahal ia lebih dari tiga dekade merealisasikan
68
gagasannya dalam kancah perjuangan Indonesia. Ini
dapat dilihat dari ketika Tan Malaka pertama kali
menginjakkan kaki di tanah Jawa, yakni dengan
mendirikan Sekolah Rakyat di Semarang. Padahal
Tan Malaka ketika sedang dalam pengejaran Intelijen
Belanda, Inggris dan Amerika.

Menurutnya, pendidikan rakyat jelas merupakan cara


terbaik membebaskan rakyat dari kebodohan dan
keterbelakangan untuk membebaskan diri dari
kolonialisme. Tan Malaka dan gagasannya tidak
hanya menjadi penggerak rakyat Indonesia, tetapi
juga membuka mata rakyat Philipina dan
semenanjung Malaya atau bahkan dunia.

Harry Poeze telah menemukan lokasi tewasnya Tan


Malaka di Jawa Timur. Lokasi tempat Tan Malaka
disergap dan kemudian ditembak adalah Dusun
Tunggul, Desa Selopanggung, di kaki Gunung Wilis.
Penembakan itu dilakukan oleh Suradi Tekebek atas
perintah Letnan Dua Soekotjo dari Batalyon Sikatan,
Divisi Brawijaya. Pada masa selanjutnya, Soekotjo
pernah menjadi Wali Kota Surabaya dan terakhir
berpangkat brigjen, meninggal tahun 1980-an.

Dalam penelitiannya Poeze juga memanfaatkan foto-


foto sejarah. Rapat raksasa di lapangan Ikada
(sekarang lapangan Monas) Jakarta, 19 September
1945, yang dihadiri 15.000 orang dari seputar Jakarta
merupakan momen historis penting. Walau Indonesia
sudah merdeka, peralihan kekuasaan belum
69
terlaksana. Tentara Jepang masih memegang senjata
dan mengancam jika rakyat mengadakan rapat lebih
dari lima orang. Rapat raksasa di lapangan Ikada itu
dirancang pemuda untuk memperlihatkan dukungan
rakyat kepada proklamasi. Soekarno ragu untuk
menghadiri rapat tersebut karena khawatir tentara
Jepang melakukan penembakan massal terhadap
penduduk. Rapat itu akhirnya berlangsung dan
Soekarno berpidato beberapa menit.

Poeze sempat memeriksa foto-foto tentang peristiwa


itu. Ia menemukan seseorang yang memakai helm di
dekat Bung Karno ketika berpidato. Bahkan, pada
salah satu foto, Soekarno dan orang itu berjalan
berdampingan. Setelah membandingkan berbagai
foto itu, berkesimpulan bahwa lelaki berhelm itu
adalah Tan Malaka. Lelaki itu lebih pendek dari
Soekarno dan ukurannya di foto ternyata cocok
karena tinggi Soekarno adalah 1,72 meter dan Tan
Malaka 1,65 meter.

70
BAB VI

SEMAUN

Semaun adalah seorang tokoh perjuangan


Kemerdekaan Indonesia yang lahir di Curahmalang,
kecamatan Sumobito, termasuk dalam kawedanan
Mojoagung, kabupaten Jombang, Jawa Timur sekitar
tahun 1899. Semaun adalah anak Prawiroatmodjo,
pegawai rendahan, tepatnya tukang batu, di jawatan
kereta api di Surabaya yang secara ekonomi
menempatkannya pada golongan masyarakat kurang
mampu dan tereksploitasi. Karena mereka hanya
dijadikan tenaga kerja murah. Dalam stratifikasi
masyarakat di Hindia Belanda khususnya Jawa
Timur, keluarga Semaun masuk dalam kalangan
Islam abangan yang dalam pergaulan sehari-hari
termarginalisasi secara sosial. Secara politis, keluarga
Semaun tidak masuk hitungan, kecuali dalam
kerangka kepentingan politik penguasa dalam
mencapai tujuannya.

Dalam bidang pendidikan, Semaun dapat meraihnya


walaupun dalam keterbatasan. Meskipun bukan anak
orang kaya maupun priayi, pada usia tujuh tahun
Semaoen berhasil masuk ke sekolah Tweede Klas
(sekolah bumiputra kelas dua) dan memperoleh
pendidikan tambahan bahasa Belanda dengan
mengikuti semacam kursus sore hari., Setelah
71
menamatkan pendidikannya di sekolah Hollands
Inlandsche School (HIS) ia tidak dapat melanjutkan
ke jenjang pendidikan lebih tinggi. Pada tahun 1912,
Semaun mengikuti ujian untuk menjadi pegawai
Pamong Praja Rendah dan berhasil memperoleh
sertifikat Klein Abtenaar. Ia kemudian bekerja di
Staatsspoor (SS) Surabaya setelah dinyatakan
berhasil menempuh ujian “Pengetahoean Oemoem”
(Algemeene Outwikelling) dan ujian
Stationscommies. Dia bekerja di Staatsspoor (SS)
Surabaya sebagai juru tulis rendahan

Semaun juga tokoh yang menggerakkan rnassa buruh


untuk melakukan pernogokan besar-besaran, yang
merongrong perekonomian Hindia Belanda pada
dekade 1920-an

Kiprahnya tidak sebatas sebagai tokoh "Sarekat Islam


yang berhaluan komunis", seperti yang dikatakan
sejarah Orde Baru, tetapi juga aktivis buruh yang
ditakuti oleh Belanda. Bersama Tan Malaka, Semaun
memperkenalkan cara agresi pemogokan buruh.
Selama satu abad penuh, pernogokan rnerajalela di
Hindia

Belanda hingga rnembuat pemerintahan kolonial


kerepotan dan rugi besar. Pada usia 14 tahun Semaun
masuk dalam Central Sarekat Islam (CSI). Saat itu,
tahun 1914, ia bergabung dengan Sarekat Islam (SI)
afdeeling Surabaya. Setahun kemudian, tahun 1915,
bertemu dengan Sneevliet dan diajak masuk ke
72
Indische Sociaal-Democratische Vereeniging
(ISDV), organisasi sosial demokrat Hindia Belanda
afdeeling Surabaya yang didirikan Sneevliet. Ia juga
bergabung di organisasi Vereeniging voor Spoor-en
Tramwegpersoneel (VSTP), serikat buruh kereta api
dan trem afdeeling Surabaya.

Pekerjaan di Staatsspoor akhirnya ditinggalkannya


pada tahun 1916 sejalan dengan kepindahannya ke
Semarang karena diangkat menjadi propagandis
VSTP yang digaji. Penguasaan bahasa Belanda yang
baik, terutama dalam membaca dan mendengarkan,
minatnya untuk terus memperluas pengetahuan
dengan belajar sendiri, hubungan yang cukup dekat
dengan Sneevliet, merupakan faktor-faktor penting
mengapa Semaoen dapat menempati posisi penting di
kedua organisasi Belanda itu.

Di Semarang, ia kemudian menjadi redaktur surat


kabar VSTP berbahasa Melayu dan Sinar Djawa-
Sinar Hindia, koran Sarekat Islam Semarang.
Semaoen adalah figur termuda dalam organisasi.
Pada tahun belasan itu, ia dikenal sebagai jurnalis
yang andal dan cerdas. Ia juga memiliki kejelian yang
sering dipakai sebagai senjata ampuh dalam
menyerang kebijakan-kebijakan kolonial.

Tanggal 6 Mei 1917, Semaun terpilih menjadi ketua


SI Semarang. Semaun sangat menolak pembentukan
Volksraad dan Indie Weerbaar. Sebagai Ketua SI
Semarang, Semaoen banyak terlibat dengan
73
pemogokan buruh. Pemogokan terbesar dan sangat
berhasil di awal tahun 1918 dilancarkan 300 pekerja
industri furnitur. Tahun 1919 Semuan terpilih sebagai
ketua Peratuan Pergerakan Kaum Buruh (PPKB).
Pada tahun 1920, terjadi lagi pemogokan besar-
besaran di kalangan buruh industri cetak yang
melibatkan SI Semarang. Pemogokan ini berhasil
memaksa majikan untuk menaikkan upah buruh
sebesar 20 persen dan uang makan 10 persen.

PKI dan Semaun

Sejak dikeluarkan dari Central Sarikat Islam (CSI),


Semaun mula berkonsentrasi pada Partai Komunis
Indonesia, Semaun juga membawa PKI bergabung
dengan Comintern yang bekerjasama dengan Negara-
negara yang berfaham komunis. Otomatis Semaun
menjabat Ketua Umum Pertama Partai Komunis
Indonesia (PKI).

Bersama-sama dengan Alimin dan Darsono,


Semaoen mewujudkan cita-cita Sneevliet untuk
memperbesar dan memperkuat gerakan komunis di
Hindia Belanda. Sikap dan prinsip komunisme yang
dianut Semaoen membuat renggang hubungannya
dengan anggota SI lainnya. Pada 23 Mei 1920,
Semaoen mengganti ISDV menjadi Partai Komunis
Hindia. Tujuh bulan kemudian, namanya diubah
menjadi Partai Komunis Indonesia dan Semaoen
sebagai ketuanya.

74
PKI menegaskan dirinya sebagai sebuah partai yang
mampu untuk mempersatukan rakyat, baik muslim
maupun bukan muslim. Komunis tidak membiarkan
adanya perbedaan-perbedaan nasib dalam hal pangkat
dan bangsa serta menentang segala bentuk kelas-
kelas manusia. PKI sangat gencar dalam
mengkampanyekan semboyan “sama rasa sama rata”.

PKI pada awalnya adalah bagian dari Sarekat Islam,


tapi akibat perbedaan paham akhirnya membuat
kedua kekuatan besar di SI ini berpisah pada bulan
Oktober 1921. Pada akhir tahun itu juga dia
meninggalkan Indonesia untuk pergi ke Moskow, dan
Tan Malaka menggantikannya sebagai Ketua Umum.
Setelah kembali ke Indonesia pada bulan Mei 1922,
dia mendapatkan kembali posisi Ketua Umum dan
mencoba untuk meraih pengaruhnya kembali di SI
tetapi kurang berhasil.

Peran Semaun

Kesadaran nasional tertanam dalam diri Semaun


seiring dengan realitas yang ada di Hindia, di mana
rakyat kecil selalu menjadi korban kaum penguasa
dalam hal ini pemerintah dan kaum kapitalis. Sebagai
wujud dari kepedulian Semaun ini, maka Semaun
menulis artikel-artikel yang berisi ajakan kepada
tokoh pergerakan dan rakyat untuk sama-sama
memperjuangkan hak-hak rakyat kecil dan juga kaum
75
buruh serta mengkritik berbagai kebijakan
pemerintah kolonial yang berkaitan dengan masalah
perkebunan dan masalah Volksraad. Semaun juga
aktif mengkoordinir berbagai aksi pemogokan
terutama di daerah Semarang dan sekitarnya.

Semaoen juga seorang yang padat dalam berkarya.


Kebanyakan karyanya ditulis di dalam surat kabar
beraliran kiri. Pemikiran Semaoen dipengaruhi oleh
beberapa faktor, yakni oleh Sneevliet dan agama
Islam walau sempat dalam karyanya ia memprotes
pemikiran pribumi yang terlalu percaya akan
kegaiban yang akan mengatur dan menyelamatkan
mereka. Di antara karya-karya Semaoen adalah
Penuntun Kaum Buruh yang dibuat untuk para
anggota Partai Komunis Indonesia, Hikayat Kadiroen
yang menceritakan seorang priyayi Marxis yang
sangat peduli kepada rakyatnya dan Berbareng
Bergerak.

Dalam pergerakan, ia menerima paham Marx tentang


protes sosial kepada pemerintahan Hindia Belanda. Ia
menganggap bahwa Pemerintah telah membiarkan
warga pribumi terjatuh dalam kemiskinan karena
usaha kapitalisasi di Indonesia terutama di Jawa. Ia
berharap bahwa suatu hari nanti akan ada suatu
keadaan mirip dengan Jawa Kuno yang membiarkan
warganya hidup dengan apa yang ia inginkan. Dan
hal itu hanya akan terjadi jika pemerintahan Soviet
hadir di antara mereka.

76
Masa Pengasingan

Pada tahun 1923, VSTP merencanakan demonstrasi


besar-besaran dan langsung dihentikan oleh
pemerintah kolonial Belanda, dan setelah itu Semaun
diasingkan ke Belanda. Semaun ditangkap dan
diberangkatkan ke Belanda pada tanggal 18 Agustus
1923 dengan menggunakan kapal S.S. Koningin der
Nederlanden.

Selama masa pengasingannya dia kembali ke Uni


Sovyet, di mana dia tinggal disana lebih dari 30
tahun. Pada masa itu dia tetap menjadi aktivis tapi
hanya dalam aksi-aksi terbatas, berbicara beberapa
kali di Perhimpunan Indonesia, organisasi mahasiswa
di Belanda pada masa itu. Dia juga sempat belajar di
Universitas Tashkent untuk beberapa waktu.

Selama pembuangan ke Eropa, Semaoen aktif di


Executive Committee of the Comintern International
(ECCI), Komite Eksekutif Komunis Internasional.
Namun sayang sekali jika dalam usahanya tersebut
dengan tokoh-tokoh timur lain seperti Tan Malaka,
Darsono atau Alimin tidak digubris dengan baik.
Dewan Komitern lebih cenderung tertarik bagaimana
memerahkan Eropa ketimbang membantu pergerakan
di Asia, seperti di India atau Indonesia yang saat itu
77
menjadi salah satu corong utama pergerakan di
kawasanya masing-masing. Setelah beberapa tahun
tinggal di Belanda, Semaoen lalu menetap di Uni
Soviet dan menjadi warga negara di sana. Ia pernah
bekerja sebagai pengajar bahasa Indonesia dan
penyiar berbahasa Indonesia pada radio Moscow.
Puncak "kariernya" adalah ketika diangkat oleh Stalin
menjadi pimpinan Badan Perancang Negara
(Gozplan) di Tajikistan.

Akhir hidup

Setelah masa pengasingannya dia kembali ke


Indonesia, dan pindah ke Jakarta. Kepulangan
Semaoen ke Indonesia pada tahun 1953 merupakan
inisiatif Iwa Kusumasumantri. Semaoen, Iwa, dan
Sekjen Partai Komunis Iran mengawini tiga putri
kakak-adik yang saat itu bekerja dalam Comintern.
Saat kembali ke Indonesia dalam usia setengah abad
lebih, Semaoen telah terputus dari PKI, partai yang ia
dirikan. Dari tahun 1959 sampai dengan tahun 1961
dia bekerja sebagai pegawai pemerintah. Dia juga
mengajar mata kuliah ekonomi di Universitas
Padjadjaran, Bandung. Beliau wafat tahun 1971.

Atas dasar keperdulian terhadap kaum buruh di masa


depan, Semaun menulis sebuah buku pada tahun
1920 yang berjudul Penuntun Kaum Buruh yang
berisi :

1. Penyebab Adanya Perkumpulan Di Indonesia.


78
Pada zaman dulu penduduk negeri ini hidup tentram
dan damai tanpa harus berebut kekuasaan, harta, dan
martabat. Semuanya bekerja sesuai keinginan
masing-masing dan menjadi tuan bagi dirinya sendiri.
Namun kedatangan para pedagang asing mulai
mengganggu ketentraman, di sebabkan penduduk
pribumi pada waktu itu tidak memiliki wawasan dan
pengetahuan yang luas hingga dengan mudah
saudagar asing itu membodoh-bodohi kaum pribumi.
Mereka menawarkan barang-barang mewah untuk
ditukar dengan hasil pertanian kaum pribumi.
Perlahan-lahan mereka mulai menguasai lahan
pertanian kaum pribumi dan mempekerjakan kaum
pribumi di lahan milik mereka dan memberi upah.
Kaum pribumi yang mulai sadar akan hak mereka
yang telah direbut mulai membentuk perkumpulan
untuk melawan para saudagar asing, namun usaha
mereka selalu gagal karena saudagar asing mulai
bergabung dengan kolonial yang telah menguasai
sebagian besar wilayah Indonesia.

2. Maksud Didirikanya Serikat Buruh.

Kuatnya kapitalis yang telah menguasai sebagian


besar wilayah indonesia karena memiliki perusahaan,
menguasai perdagangan, pabrik-pabrik dan lain-lain
dalam memberi pekerjaan dan upah pada kaum
buruh. Mereka mendapat laba yang lebih besar.
Sedang kaum buruh diberi upah murah dan disuru
bekerja keras lalu melepas (PHK) buruh sesuka
hatinya. Kaum buruh sadar bahwa hal ini tidak bisa
79
dibiarkan terus menerus, mulailah dibentuk
perkumpulan atau perserikatan untuk mencari cara
melawan kekuatan kapitalis. Sebenarnya buruh
memiliki kekuatan dan kekuasaan namun jika hanya
seorang diri mau melawan tentu akan kalah. Maka
mereka bersatu membentuk kekuatan bersama
melawan kapitalis lewat perkumpulan atau
perserikatan.

3. Cita-Cita Serikat Buruh.

Cita-cita serikat buruh tidak lain yaitu agar hak-hak


kaum buruh dipenuhi oleh borjuis atau kaum majikan
seperti memberi upah layak, tidak memperlakukan
buruh semena-mena, tidak melakukan PHK
sesukanya, memberi jaminan kesehatan, memberi
jaminan hari tua atau pensiun, serta masi banyak lagi.

80
BAB VII

Buruh Dan Revolusi 1945

Pada tanggal 17 Agustus l945 Sukarno-Hatta yang


masih ragu-ragu berhasil dipaksa oleh kaum muda
untuk memproklamasikan kemerdekaan Republik
Indonesia. Kemerdekaan dimungkinkan karena
adanya kevakuman kekuasaan. Kevakuman
kekuasaan tersebut disebabkan kekalahan Jepang
dalam PD II, sementara pasukan sekutu belum
datang. Momentum kekosongan kekuasaan negara ini
yang membuat proklamasi dapat dibacakan berkat
inisiatif dan keberanian dari kaum muda. Proklamasi
pada tahun l945, juga didasari pada patriotisme
bahwa kemerdekaan tidaklah boleh sebagai
pemberian dari Jepang atau hadiah dari Sekutu, tapi
berkat kepemimpinan dari para pejuang Indonesia.

Revolusi pembebasan nasional tahun l945 ternyata


gagal menghasilkan demokrasi yang sejati bagi
rakyat. Hal ini disebab kan karena kekuatan rakyat
yang diorganisir oleh kaum radikal kerakyatan gagal
mengambil kepemimpinan dalam perjuangan
81
pembebasan nasional. Revolusi Agustus ‘45 memang
berhasil mengusir imperialis fasis Jepang dan
menghalau imperialisme Belanda yang berusaha
untuk kembali menjajah.

Namun, sebelum kekuatan-kekuatan rakyat mampu


dikonsolidasikan oleh kaum radikal guna membentuk
pemerintahan koalisi nasional, Amerika telah
mengambil inisiatif untuk menggagalkannya dengan
memperalat kekuatan-kekuatan politik yang ada di
Indonesia. AS dengan dukungan beberapa sekutunya
di Indonesia lalu membuat skenario teror putih
dengan menghancurkan kaum radikal dan frontnya.

Suksesnya skenario AS untuk menjalankan red drive


proposal (proposal politik untuk melenyapkan
kekuatan-kekuatan rakyat) sebenarnya juga
merupakan produk tidak adanya unity of command
antara kekuatan-kekuatan rakyat yang ada di dalam
negeri dengan yang di luar negeri. Hal ini masih
ditambah lagi dengan ketidak mampuan kaum radikal
dalam mengarahkan sasaran perjuangannya ke arah
kaum demokrat-liberal/borjuasi dan Imperialis,
setelah kaum fasis dikalahkan pada PD II

Dengan peristiwa tersebut, situasi revolusioner


mencapai anti klimaksnya. Hal ini hanya melicinkan
jalan menuju persetujuan KMB (Konferensi Meja
Bundar) pada 2 November, 1949. Dengan adanya
persetujuan KMB, imperialisme Belanda
memperoleh konsesi di lapangan ekonomi, politik,
82
militer dan kebudayaan. Revolusi Agustus ‘45 yang
adalah berwatak revolusi borjuis demokratik, hanya
berhasil sebagai revolusi pembebasan nasional (yakni
berhasil mendirikan Republik Indonesia), namun
gagal mendirikan pemerintahan kerakyatan.

Perjuangan mencapai kemerdekaan melibatkan


berbagai unsur dalam masyarakat, termasuk gerakan
buruh. Pada tanggal 15 September 1945 sejumlah
tokoh gerakan buruh berkumpul di Jakarta untuk
membicarakan peranan kaum buruh dalam
perjuangan kemerdekaan dan menentukan landasan
bagi gerakan buruh.

Pada pertemuan tersebut para wakil gerakan buruh


sepakat mendirikan sebuah organisasi yang mewakili
seluruh serikat buruh yang ada. Organisasi itu diberi
nama Barisan Boeroeh Indonesia (BBI). Pilihan nama
‘barisan’ tersebut harus diletakkan pada konteks
zamannya, yaitu ketika orang-orang Indonesia masih
terlibat dalam perang kemerdekaan sampai tahun
1949.

Dalam konferensi tersebut, BBI juga menuntut


Komite Nasional Indonesia untuk memberi
pengakuan terhadap organisasi tersebut. Karena
sulitnya komunikasi dengan wilayah lain, maka
gerakan buruh di luar Jawa mendirikan organisasi
mereka masing-masing. Di Sumatra misalnya pada
bulan Oktober 1945 telah berdiri Persatoean Pegawai
Negara Repoeblik Indonesia (PPNRI).
83
Komite Nasional Indonesia sementara itu juga
menyerukan kepada perwakilan-perwakilan di daerah
untuk mendukung pembentukan serikat-serikat
buruh. Dalam perjuangan fisik, kaum buruh
bergabung dalam Lasjkar Boeroeh Indonesia (LBI)
yang dengan cepat didirikan di berbagai kota. Pada
awalnya belum ada koordinasi yang jelas, sampai
pada sebuah konferensi di Blitar pada bulan
Desember 1945. Soediono Djojoprajitno terpilih
sebagai ketua badan pimpinan. LBI ini juga
ditetapkan sebagai badan yang secara organisasi
terlepas dari BBI dan tidak memiliki hubungan apa-
apa.

Di kalangan buruh perempuan, didirikan Barisan


Boeroeh Wanita yang diketuai oleh SK Trimurti.
Kegiatannya ditujukan untuk memberi pendidikan
dan kesadaran pada kaum buruh perempuan, tentang
perlunya persatuan. Pada tanggal 1 Mei 1946
(Perayaan Hari Buruh), BBW telah berhasil
mengumpulkan calon pemimpin buruh perempuan
untuk dilatih selama dua bulan.

BBI mendapat dukungan kuat dari Menteri Sosial RI


yang pertama, Mr. Iwa Kusumasumantri. Pada bulan
November 1945, BBI mengadakan kongres pertama
yang dihadiri bukan hanya oleh aktivis-aktivis BBI
dan cabang-cabangnya, tapi juga dari aktivis-aktivis
gerakan buruh yang tersebar di Sumatera dan pulau-
pulaunya. Sjamsju Harja Udaja, seorang pemimpin

84
BBI, mengajukan rancangan untuk mengubah BBI
menjadi partai politik.

Rancangan ini mengundang perdebatan di antara


para tokoh. Sebagian bertujuan untuk membangun
BBI sebagai suatu federasi buruh yang kuat, bebas
dari partai-partai politik dan siap menggunakan
pengaruhnya terhadap setiap pemerintahan bila perlu.
Golongan lainnya, di bawah pimpinan Sjamsju Harja
Udaja berusaha untuk menjadikan BBI sebuah partai
politik yang menjadi alat politik dari gerakan buruh.
Akhirnya mereka sepakat untuk mendirikan partai,
tanpa harus membubarkan BBI.

Partai Boeroeh Indonesia (PBI) muncul sebagai hasil


kongres tersebut, dengan Sjamsju Harja Udaja
sebagai ketua. Para aktivis yang tidak setuju dengan
pembubaran BBI, terus menjalankan kegiatan
organisasi ini. Cabang-cabang yang ada diperkuat,
dan sangat berpengaruh pada gerakan buruh
selanjutnya. Cabang Jakarta misalnya, dipimpin oleh
Njono yang pada dekade 1950-an menjadi Sekjen
SOBSI.

Dalam perkembangan selanjutnya, terutama setelah


bulan Januari 1946 PBI semakin menganggap diri
sebagai partai oposisi dan oleh pemerintah
diperlakukan seperti yang mereka kehendaki. Dalam
kegiatannya, PBI menyebarkan gagasan sindikalis;
instalasi industri yang diambilalih oleh buruh harus

85
tetap dipegang oleh buruh, dan bukan oleh
pemerintah.

Perusahaan harus dijalankan kembali oleh buruh-


buruhnya. Sikap bertentangan ditunjukkan oleh Partai
Sosialis yang menguasai kabinet (Sjahrir) dan
akibatnya PBI tidak mendapat sambutan luas
sebagaimana mereka harapkan sebelumnya. Kelas
buruh (industri) pada masa itu masih merupakan
bagian kecil saja dari penduduk dan belum
terorganisir secara politik, sehingga terlalu kecil
untuk menjadi basis politik yang benar-benar kuat.

Pada periode-periode 1945-47 sejumlah serikat buruh


kembali dibentuk, seperti Serikat Boeroeh Goela
(SBG), Serikat Boeroeh Kereta api (SBKA), Serikat
Boeroeh Perkeboenan Repoeblik Indonesia
(Sarbupri), Serikat Boeroeh Kementrian
Perboeroehan (SB Kemperbu), Serikat Boeroeh
Daerah Autonom (SEBDA), Serikat Sekerjdja
Kementrian Dalam Negeri (SSKDN), Serikat
Boeroeh Kementrian Penerangan (SB Kempen), dan
sebagainya. Banyak di antara pemimpin serikat-
serikat buruh ini menjadi tokoh gerakan buruh pada
masa sebelumnya, dan juga ikut dibuang oleh
pemerintah Hindia Belanda.

Dengan sekian banyak serikat buruh seperti ini,


kembali muncul keperluan mendirikan sebuah
federasi serikat buruh. Mengenai pembentukan
federasi serikat buruh ini muncul perbedaan
86
pendapat, sehingga pada tanggal 21 Mei 1946
didirikan Gaboengan Serikat-Serikat Boeroeh
Indonesia (GASBI) sebagai hasil peleburan BBI.

Perubahan nama ini juga terlihat dalam perubahan


bentuknya, karena hanya organisasi yang dibentuk
berdasarkan lapangan kerja, yang dapat bergabung di
dalamnya. Kenyataan ini sulit diterima oleh
organisasi buruh vertikal, seperti SB Minjak, SB
Postel, Pegadaian, PGRI, Listrik dan lainnya. mereka
kemudian membentuk Gaboengan Serikat Boeroeh
Vertikal (GSBV) pada bulan Juli 1946.

‘Perpecahan’ ini tak berlangsung lama dan tanggal 29


November 1946 didirikan Sentral Organisasi Boeroeh
Indonesia (SOBSI), yang menggantikan kedua
federasi sebelumnya. Organisasi ini dipimpin oleh
tokoh-tokoh gerakan buruh seperti Harjono,
Asrarudin, Njono dan Surjono. Organisasi ini juga
mendapat dukungan dari sejumlah kekuatan politik
seperti Partai Sosialis, PBI, Pesindo, PBI, Barisan
Tani yang mendukung pemerintahan Sjahrir di masa
itu.

Dalam azas pendiriannya dinyatakan bahwa SOBSI


bukan partai politik, tapi dalam perjuangannya akan
bekerjasama dengan partai-partai politik. Dasar
organisasi yang dipilih SOBSI adalah demokratis-
sentralisme, artinya pengurus sentral dalam
melakukan tugas-tugasnya bertanggung jawab pada
kongres.
87
Federasi ini dengan cepat mendapat sambutan dari
serikat-serikat buruh yang lain. LBI yang semula
berdiri sendiri, dimasukkan ke dalam SOBSI juga
mendapat perhatian, terlihat dari undangan yang
dikirim WFTU untuk menghadiri sidang umum di
Praha, Cekoslovakia. Sebagai wakilnya, SOBSI
mengirim Setiadjid dan Oei Gie Hwat. Pada masa
perang, dengan adanya blokade Belanda, maka
hubungan badan sentral dengan cabang-cabangnya
tidak berjalan dengan lancar. Perpecahan sesudah
Perjanjian Renville tidak dapat dihindari karena
adanya perbedaan pendapat dalam garis politik.
SOBSI pada dekade 1950-an menjadi federasi serikat
buruh terkuat di Indonesia, baik dari segi jumlah
maupun aktivitasnya.

Golongan yang tidak setuju dengan pemerintahan


Sjahrir, membentuk Gaboengan Serikat Boeroeh
Revoloesioner Indonesia (GASBRI). Ketika terjadi
Peristiwa Madiun 1948, sejumlah tokoh SOBSI mati
ditembak atau ditangkap. Sejumlah tokoh lainnya
yang berhasil menyelamatkan diri, terus bergerak,
walaupun tidak dapat tampil ke permukaan. 16
serikat buruh yang semula bergabung dengan SOBSI
memisahkan diri dari federasi tersebut.

Para tokoh yang semula bergabung kembali pada


bulan Juli 1949, dan mendirikan Himpunan Serikat-
Serikat Boeroeh Indonesia (HISSBI), bergabung di
bawah Gaboengan Serikat Boeroeh Indonesia
(GSBI).
88
HISSBI tidak bertahan lama, dan hilang seiring
dengan tampilnya SOBSI ke panggung gerakan
buruh Indonesia. Di samping kedua federasi yang
besar itu, golongan Islam mendirikan Serikat
Boeroeh Islam Indonesia (SBII), tanggal 27
November 1948. Tidak seperti SOBSI, organisasi ini
tidak memiliki hubungan yang dekat dengan
pemerintah RI. Sementara itu di luar wilayah
republik, pada periode 1946-49 terjadi sejumlah
perkembangan dalam gerakan buruh. Di Jakarta,
didirikan dua buah organisasi buruh yang
dikendalikan orang-orang Tionghoa, yaitu Federasi
Perkoempoelan Boeroeh Seloeroeh Indonesia
(FPBSI), dan Poesat Organisasi Boeroeh (POB).

Sementara itu di beberapa kota pulau Sumatra,


organisasi buruh bermunculan, begitu pula di
Kalimantan. Di Bogor, didirikan Gaboengan Serikat
Boeroeh Indonesia (GABSI), dan di Purwakarta,
organisasi sejenis dibentuk dengan nama Ikatan
Serikat Boeroeh Indonesia (ISBI).

Di Surabaya didirikan Gaboengan Perserikatan


Boeroeh Indonesia (GPBI) dan Federasi Boereoh
Indonesia (FBI). Di luar Pulau Jawa, sejumlah
organisasi berdiri di Balikpapan, Banjarmasin,
Makassar (Ujung Pandang), Pare-Pare, Manado dan
lainnya.

Begitu banyaknya jumlah organisasi yang tidak


jarang mengklaim diri mereka sebagai federasi tentu
89
memiliki alasan tertentu. Perbedaan pendapat
mengenai dasar organisasi dan persepsi politik adalah
sumber perpecahan yang amat umum. Perpecahan
dan penggabungan merupakan pemandangan umum
pada masa itu. Kehidupan sosial-politik yang
demokratis pada masa pasca-Proklamasi tidak
mengizinkan terjadinya tindakan-tindakan sentraisasi
yang amat ketat. Semua tindakan yang kelihatan
mengarah pada sentralisasi, segera dituding sebagai
tindakan yang tidak demokratis dan tidak sejalan
dengan perjuangan kepentingan kaum buruh.

Walau begitu sulit untuk menilai bahwa masa itu


merupakan masa kekacauan, dalam pengertian tidak
adanya serikat buruh yang dapat dijadikan pegangan.
Pandangan yang melihat gejala tersebut (sampai
tahun 1957) sebagai keruntuhan demoksi, sebenarnya
telah melandaskan gagasannya pada perkembangan
demokrasi yang terjadi di Barat. Pandangan seperti
itu tak dapat dibenarkan, karena cenderung
mengabaikan pengalaman historis kelas buruh
Indonesia.

90
BAB VIII

Gerakan Buruh Pasca Kemerdekaan


Setelah Indonesia memproklamasikan kemerdekaan,
pada tanggal 15 September 1945, sejumlah tokoh
gerakan buruh berkumpul di Jakarta untuk
membicarakan peranan kaum buruh dalam
perjuangan kemerdekaan dan menentukan landasan
bagi gerakan buruh. Pada pertemuan tersebut para
wakil gerakan buruh sepakat mendirikan sebuah
organisasi yang mewakili seluruh serikat buruh yang
ada. Organisasi itu diberi nama Barisan Boeroeh
Indonesia (BBI) yang mendapatkan dukungan dari
pemerintah.

Dalam perjuangan fisik, kaum buruh bergabung


dalam Laskar Boeroeh Indonesia (LBI) yang dengan
cepat didirikan di berbagai kota. Pada awalnya belum
ada koordinasi yang jelas, sampai pada sebuah
konperensi di Blitar pada bulan Desember 1945.
Soediono Djojoprajitno terpilih sebagai ketua badan
pimpinan. LBI ini juga ditetapkan sebagai badan
yang secara organisasi terlepas dari BBI dan tidak
memiliki hubungan apa-apa.

91
Di kalangan buruh perempuan, didirikan Barisan
Boeroeh Wanita yang diketuai oleh SK Trimurti
(yang kemudian menjadi menteri perburuhan).
Kegiatannya ditujukan untuk memberi pendidikan
dan kesadaran pada kaum buruh perempuan, dan
terhadap perlunya persatuan.

Dalam kongres pertama, BBI diusulkan untuk


berubah menjadi Partai Boeroeh Indonesia (PBI).
Walau kongres memutuskan BBI melebur kedalam
PBI yang diketuai oleh Sjamsju Harja Udaja, namun
karena timbul perdebatan, akhirnya konferensi PBI di
Blitar menyetujui untuk menghidupkan kembali BBI.

Dalam kegiatannya, PBI menyebarkan gagasan


sindikalis; instalasi industri yang diambilalih oleh
buruh harus tetap dipegang oleh buruh, dan bukan
oleh pemerintah. Perusahaan harus dijalankan
kembali oleh buruh-buruhnya. Sikap bertentangan
ditunjukkan oleh Partai Sosialis yang menguasai
kabinet (Sjahrir) dan akibatnya PBI tidak mendapat
sambutan luas sebagaimana mereka harapkan
sebelumnya. Kelas buruh (industri) pada masa itu
masih merupakan bagian kecil saja dari penduduk
dan belum terorganisir secara politik, sehingga terlalu
92
kecil untuk menjadi basis politik yang benar-benar
kuat.

Pada periode-periode 1945-1947 sejumlah serikat


buruh kembali dibentuk, seperti Serikat Boeroeh
Goela (SBG), Serikat Boeroeh Kereta api (SBKA),
Serikat Boeroeh Perkeboenan Repoeblik Indonesia
(Sarbupri), Serikat Boeroeh Kementrian
Perboeroehan (SB Kemperbu), Serikat Boeroeh
Daerah Autonom (SEBDA), Serikat Sekerjdja
Kementrian Dalam Negeri (SSKDN), Serikat
Boeroeh Kementrian Penerangan (SB Kempen), dan
sebagainya. Banyak di antara pemimpin serikat-
serikat buruh ini menjadi tokoh gerakan buruh pada
masa sebelumnya, dan juga ikut dibuang oleh
pemerintah Hindia Belanda.

Selain berdirinya banyak organisasi serikat buruh dan


partai buruh, kebangkitan gerakan buruh juga
ditandai dengan dimulainya perayaan hari buruh
internasional (May Day) pada 1 Mei 1946, dan
ditetapkannya hari tersebut sebagai hari libur
nasional oleh pemerintah. Pendapat-pendapat buruh
juga jarang diabaikan pemerintah, bahkan organisasi-
organisasi buruh selalu dilibatkan dalam mengambil
keputusan.

93
Penyatuan dan Perpecahan

Dengan banyaknya serikat buruh yang lahir, kembali


muncul keperluan mendirikan sebuah federasi serikat
buruh. Mengenai pembentukan federasi serikat buruh
ini muncul perbedaan pendapat, sehingga pada
tanggal 21 Mei 1946 didirikan Gaboengan Serikat-
Serikat Boeroeh Indonesia (GASBI) sebagai hasil
peleburan BBI.

Perubahan nama ini juga terlihat dalam perubahan


bentuknya, karena hanya organisasi yang dibentuk
berdasarkan lapangan kerja yang dapat bergabung di
dalamnya. Kenyataan ini sulit diterima oleh
organisasi buruh vertikal, seperti SB Minjak, SB
Postel, Pegadaian, PGRI, Listrik dan lainnya. Mereka
kemudian membentuk Gaboengan Serikat Boeroeh
Vertikal (GSBV) pada bulan Juli 1946.

Namun perpecahan ini tak berlangsung lama dan


tanggal 29 November 1946 didirikan Sentral
Organisasi Boeroeh Indonesia (SOBSI), yang
menggantikan kedua federasi sebelumnya. LBI yang
semula berdiri sendiri pun kemudian masuk ke dalam
SOBSI. Organisasi ini dipimpin oleh tokoh-tokoh
gerakan buruh seperti Harjono, Asrarudin, Njono dan
Surjono. Organisasi ini juga mendapat dukungan dari
sejumlah kekuatan politik seperti Partai Sosialis, PBI,
Pesindo, Barisan Tani yang mendukung
pemerintahan Sjahrir di masa itu. Dalam azas
pendiriannya dinyatakan bahwa SOBSI bukan partai
94
politik, tapi dalam perjuangannya akan bekerjasama
dengan partai-partai politik. SOBSI pada dekade
1950 sampai 1960-an menjadi federasi serikat buruh
terkuat di Indonesia, baik dari segi jumlah maupun
aktivitasnya.

Perpecahan sesudah Perjanjian Renville tidak dapat


dihindari karena adanya perbedaan pendapat dalam
garis politik. Golongan yang tidak setuju dengan
pemerintahan Sjahrir akhirnya membentuk
Gaboengan Serikat Boeroeh Revoloesioner Indonesia
(GASBRI) yang kemudian menjadi SOBRI.

Peta Politik Gerakan Buruh

Dalam situasi negara yang menentang imperialisme,


organisasi-organisasi buruh terus bermunculan.
Selain di Jawa, organisasi-organisasi buruh juga
bermunculan di Sumatera, Kalimantan, Sulawesi,
baik dalam bentuk serikat buruh perusahaan, sektor
usaha, maupun federasi.

Disamping urusan pabrik yang mereka hadapi sehari-


hari, kaum buruh juga terlibat dalam aktivitas politik.
Contohnya protes yang mereka lakukan dalam kasus
Irian Barat. Tidak kurang dari satu juta buruh turun
melakukan protes pada akhir tahun 1957 sehubungan
dengan masalah Irian Barat. Secara bertahap,
organisasi-organisasi buruh akhirnya memiliki
95
kecenderungan politik masing-masing, sebagai buah
dari era kebebasan berpolitik pasca kemerdekaan.

Buruh yang terlibat dalam organisasi di tahun 1950-


an tercatat jumlahnya mencapai antara 3-4 juta orang.
Kaum buruh ini bergabung di bawah sekitar 150
serikat buruh nasional, dan ratusan serikat buruh
lainnya di tingkat lokal, yang tak memiliki afiliasi di
tingkat nasional.

Kebesaran organisasi gerakan buruh saat itu turut


menghasilkan perundang-undangan perburuhan yang
amat berpihak pada kaum buruh, semisalnya UU No.
21 Tahun 1954 tentang Perjanjian Perburuhan antara
Serikat Buruh dan Majikan dan UU No. 22 Tahun
1957 tentang Penyelesaian Perselisihan Perburuhan
yang merupakan UU yang dikenal di Asia sebagai
UU pro buruh.

Federasi serikat buruh yang terbesar saat itu beserta


kecenderungan politik didalamnya adalah :

1. SOBSI dengan anggota sekitar 60% dari seluruh


jumlah buruh yang terorganisir. Federasi ini memiliki
organisasi yang baik, dan paling efisien dari segi
administrasi. Seperti diketahui, federasi ini dibentuk
ditahun 1946, ketika Indonesia sedang berada dalam
perang kemerdekaan. Kementerian Perburuhan di
tahun 1956 menyatakan federasi ini memiliki
2.661.970 anggota. Organisasi ini memiliki hubungan
erat dengan Partai Komunis Indonesia (PKI) yang
96
kembali ke panggung politik pada tahun 1951 di
bawah pimpinan Dipa Nusantara Aidit. SOBSI terdiri
atas 39 serikat buruh nasional dan sekitar 800 serikat
buruh lokal. Di antaranya juga yang cukup penting
adalah SBG, Sarbupri, Sarbuksi (Kehutanan), SBPP
(Pelabuhan), SBKA, SBKB (Kendaraan Bermotor),
SERBAUD (Angkatan Udara), SB Postel, Perbum
(Minyak), SBTI (Tambang), SBIM (Industri Metal),
SBRI (Rokok), Sarbufis (Film), SBKP (Kementerian
Pertahanan), Kemperbu, SBPU (Pekerjaan Umum),
SEBDA, dan SBPI (Percetakan). SOBSI juga
memiliki afiliasi dengan World Federation of Trade
Unions (WFTU). Njono yang menjadi Sekretaris
Umum SOBSI juga menjabat sebagai Wakil Presiden
WFTU.

2. Kesatuan Buruh Seluruh Indonesia (KBSI), yang


didirikan pada tanggal 12 Mei 1953 . Jumlah
anggotanya saat pembentukan mencapai 800. 000
orang, tapi segera berkurang seiring dengan
terjadinya perpecahan di tingkat kepemimpinannya.
KBSI memiliki hubungan dengan Partai Sosialis
Indonesia (PSI). Serikat buruh yang menjadi
pendukung federasi ini adalah PERBUPRI
(perkebunan), PBKA (kereta api), SKBM (minyak),
SBP (pertambangan), SBKPM (penerbangan),
OBPSI (perniagaan). Organisasi ini tak memiliki
afiliasi dengan organisasi buruh internasional, dan

97
amat terbatas kegiatannya pada hal-hal yang
berhubungan dengan keadilan sosial.

3. Serikat Buruh Islam Indonesia (SBII) didirikan di


bulan November 1948 oleh tokoh-tokoh Partai Islam,
Masyumi yang menyadari pentingnya gerakan
organisasi buruh sebagai basis pendukung partai.
Pada tahun 1956 anggotanya diklaim sebanyak
275.000 orang dari berbagai bidang pekerjaan.
Pimpinan SBII ini dipegang oleh Mr. Jusuf
Wibisono, anggota Presidium Masyumi dan pernah
menjadi Menteri Keuangan. Sesuai dengan nama
yang disandang, organisasi ini melandaskan
gagasannya pada ajaran-ajaran Quran. SBII ini
memiliki afiliasi dengan International Conference of
Free trade Unions (ICFTU). Selain itu SBII juga
mengadakan kontak dengan gerakan buruh di negara-
negara Islam.

4. Kesatuan Buruh Kerakjatan Indonesia (KBKI)


didirikan pada tanggal 10 Desember 1952. Organisasi
ini semula bernama, Konsentrasi Buruh Kerakjatan
Indonesia, dan memiliki hubungan dengan Partai
Nasional Indonesia. Dalam salah satu pernyataannya
tertulis bahwa organisasi ini bekerja bersama PNI
dalam mencapai tujuan-tujuannya. Azas yang
melandasi organisasi ini adalah Marhaenisme (ajaran
Soekarno). Pada tahun 1955 organisasi ini
mengklaim memiliki anggota sebanyak 95.000 orang.
KBKI ini juga adalah anggota PNI, dan keberhasilan
KBKI dalam menggalang kekuatan (ditahun 1958
98
ditaksir jumlah anggotanya lebih dari setengah juta
orang) tidak dapat dilepaskan dari keberhasilan PNI.
Walaupun berhubungan dengan gerakan buruh di luar
negeri, dan turut berpartisipasi dalam aktivitas
internasional, KBKI tetap memilih tidak bergabung
dengan organisasi internasional.

5. Himpunan Serikat Buruh Indonesia (HISBI)


yang didirikan di tahun 1952. Organisasi ini didirikan
oleh para aktivis gerakan buruh yang dekat dengan
tokoh-tokoh partai buruh. Pada tahun 1955,
anggotanya mencapai 413. 975 orang. Pada
perkembangan selanjutnya seiring dengan
keberhasilan KBKI dan SOBSI, jumlahnya terus
menurun dan di tahun 1958 tercatat sekitar 50. 000
orang.

6. Sentral Organisasi Buruh Republik Indonesia


(SOBRI) yang menjadi gerakan buruh dari Partai
Murba. Ketika dibentuk di tahun 1951, organisasi ini
mengklaim anggotanya mencapai 469. 490 orang.
Sama seperti HISBI, organisasi ini juga kalah
bersaing dengan SOBSI dan KBKI, sehingga pada
tahun 1958 tercatat anggota sebanyak 100. 000 orang.
Sjamsu Haja Udaja yang pernah tercatat sebagai
aktivis BBI menjadi salah satu pimpinan organisasi
ini. SOBRI juga berafiliasi dengan World Federation
of Trade Unions (WFTU).

7. Gabungan Serikat Buruh Indonesia (GSBI) yang


didirikan di bulan September 1949 oleh 19 serikat
99
buruh, termasuk PGRI dan SBDA. GSBI yang
semula bergabung di bawah KBSI, kemudian keluar
dan tetap bertahan sendiri di bawah Rh. Koesnan.
Tahun 1958 tercatat anggotanya sebanyak 36. 000
orang.

8. Selain federasi-federasi diatas, partai-partai


politik pemilu 1955 juga banyak yang ikut
mendirikan serikat-serikat buruh. Nahdlatul Ulama
(NU) misalnya, mendirikan Sarikat Buruh Muslimin
Indonesia (SARBUMUSI) sebagai serikat buruh
vertikal yang bernaung di bawah panji-panji NU.
Golongan Katolik mendirikan Sentral Organisasi
Buruh 'Pancasila''

Pengikisan Gerakan Buruh

Tahun 1956 sampai 1959 ada dua permasalahan besar


yang saling berkaitan yang dihadapi oleh Indonesia.
Yang pertama adalah perjuangan pembebasan Irian
Barat yang selalu gagal diperjuangkan dalam PBB;
dan kedua adalah permasalahan Nasionalisasi
terhadap perusahaan-perusahaan milik asing sebagai
bagian dari arus tuntutan rakyat (khususnya buruh)
sejak kemerdekaan. Pihak militer (khususnya
Angkatan Darat) yang sejak tahun 1950 diuntungkan
oleh kebijakan “Penguasa Perang Pusat” (Peperpu),
100
mendapatkan ruang yang cukup besar semasa konflik
Irian Barat.

Dengan sudah meluasnya kekuatan buruh (yang


didominasi oleh SOBSI) untuk menuntut adanya
nasionalisasi, pihak militer sebagai “penguasa
perang” ketika itu takut akan penguasaan buruh atas
aset-aset perusahaan milik asing seperti yang sempat
terjadi pasca kemerdekaan (yang dilakukan oleh
BBI), walau akhirnya oleh pemerintah dikembalikan
lagi kepada pihak asing.

Untuk itu, pada tahun 1957 militer menginstruksikan


untuk membentuk Badan Kerjasama Militer dengan
elemen-elemen rakyat. Untuk kalangan buruh, SBII
yang kemudian menjadi Gasbiindo (sebagai kekuatan
yang anti terhadap SOBSI) menjadi corong bagi
terbentuknya Badan Kerjasama Buruh-Militer (BKS
Bu-Mil). Lewat BKS Bu-Mil ini, secara bertahap
militer akhirnya mampu mendominasi perusahaan-
perusahaan yang dinasionalisasi dengan
menempatkan banyak kalangan militer sebagai
manajemen.

Pihak militer langsung menerapkan peraturan


larangan mogok di perusahaan-perusahaan yang
sudah dinasionalisasi. Melihat dominasi militer itu,
pemerintah atas desakan rakyat kemudian
mengeluarkan PP No.23 tahun 1958 yang
101
menyatakan bahwa perusahaan-perusahaan yang
dinasionalisasi adalah dikuasai oleh pemerintah RI
dan membentuk Badan Nasionalisasi (BANAS) pada
tahun 1959. Namun secara kenyataan (de facto),
pihak militer tidak menyerahkan perusahaan-
perusahaan tersebut dengan alasan teknis dan hanya
melakukan kordinasi dengan Menteri Perdagangan.

Ruang gerak federasi-federasi serikat buruh mulai


mendapat tekanan dari pihak militer dengan
dijalankannya kebijaksanaan BKS BUMIL. Hal ini
pada masa sebelumnya belum pernah terjadi.

Pada bulan Juli 1960, Menteri Perburuhan dan


sekaligus ketua KBKI, Ahem Erningpraja
mengajukan rancangan untuk membentuk Organisasi
Persatuan Pekerdja Indonesia (OPPI) yang
diharapkan dapat menyatukan gerakan buruh dan
mengikutsertakan organisasi karyawan seperti
Persatuan Karyawan Perusahaan Negara (PKPN)
yang baru terbentuk saat itu. Rancangan tersebut
ditolak oleh SOBSI, walau kemudian tetap terbentuk
di berbagai daerah dengan dukungan serikat-serikat
buruh yang non-komunis dan perwira militer di
daerah-daerah.

Dalam rangka mendukung Trikora untuk pembebasan


Irian Barat, tahun 1961 atas rancangan Menteri
Perburuhan, dibentuklah Sekretariat Bersama Buruh
102
(Sekber Buruh) yang terdiri dari KBKI, SOBSI,
HISSBI, GASBIINDO, SOBRI, GOBSI Indonesia,
SARBUMUSI, KESPEKRI, GSBI, dan Kubu
Pancasila.

Pada tahun 1962, organisasi PKPN yang mendapat


dukungan penuh dari kalangan militer mengadakan
kongres di Jakarta, dan mengubah nama menjadi
Sentral Organisasi Karyawan Sosialis Indonesia
(SOKSI). Organisasi ini dipimpin oleh Jendral
Suhardiman. SOKSI kemudian menjadi organisasi
yang menyaingi keberadaan SOBSI dengan cara
melemahkan gerakan buruh.

Perkembangan Demokrasi Terpimpin dari Soekarno


agaknya semakin menyulitkan gerakan buruh dengan
dikeluarkannya Undang-undang Nomor 7 Pnps
Tahun 1963 tentang Pencegahan Pemogokan dan/
atau Penutupan (Lock Out), lalu Keputusan Presiden
Nomor 123 tahun 1963, tentang pelarangan
pemogokan di sejumlah perusahaan.

103
BAB IX

Buruh Dan Politik

Selepas penjajahan Jepang, gerakan buruh


menggeliat bangkit dari kehidupan bawah tanahnya.
Tidak sampai sebulan setelah Proklamasi Agustus
1945, didirikanlah Barisan Buruh Indonesia (BBI).
Pada gilirannya, BBI melahirkan pula Partai Buruh,
Lasjkar Buruh Indonesia sebagai sayap bersenjata,
dan Barisan Buruh Wanita (BBW) sebagai sayap
perempuan dari gerakan buruh. Di tahun 1946, BBI
berubah nama menjadi Gabungan Serikat Buruh
Indonesia (GASBI). Tahun itu juga, GASBI
bergabung dengan Gabungan Serikat Buruh Vertikal
(GSBV) membentuk SOBSI (Sentral Organisasi
Buruh Seluruh Indonesia).

Keterlibatan SOBSI dalam Proklamasi Madiun


(1948), dan represi yang menyusulnya, menyebabkan
gerakan buruh agak terseok-seok selama beberapa
lama. Namun, di tahun 1950, ketika Soekarno
memutuskan untuk mengundang unsur-unsur
progresif dalam pembentukan kabinetnya, SOBSI
telah kembali berdiri dan semakin menguat dalam
dasawarsa tersebut. Pada dasawarsa tersebut, SOBSI

104
adalah serikat buruh terbesar dan terkuat di
Indonesia, dengan 2,5 juta anggota dan 34 serikat
buruh anggota.

Selain SOBSI, ada dua lagi serikat buruh beraliran


progresif yang patut disebut. Yang pertama adalah
GASBRI (Gabungan Serikat Buruh Revolusioner
Indonesia) yang dekat dengan Partai Murba. Partai
Murba sendiri adalah hasil pengembangan dari
sekelompok orang yang di tahun 1946 memisahkan
diri dari SOBSI. Dalam kongresnya tahun 1951,
GASBRI berubah nama menjadi SOBRI (Sentral
Organisasi Buruh Revolusioner Indonesia).

Yang kedua adalah SARBUPRI (Sarekat Buruh


Perkebunan Republik Indonesia) yang didirikan
tahun 1947. SARBUPRI memiliki kedekatan dengan
SOBSI dan ormas-ormas lain yang juga dekat dengan
PKI.

Ketiga serikat buruh ini kerap mengadakan


pemogokan besar yang berujung pada kemenangan
bagi buruh. Statistik menunjukkan bahwa antara
tahun 1921-1955 terjadi 11.763 pemogokan yang
melibatkan 918.739 buruh. Aksi-aksi nasionalisasi
yang dilancarkan oleh serikat-serikat ini
menghasilkan kemenangan besar di mana-mana,
sekalipun kemudian kemenangan ini tidak banyak
mereka nikmati—malah banyak perusahaan Belanda
yang berhasil dinasionalisasi kemudian malah
diambil-alih oleh Angkatan Darat. Tuntutan untuk
105
dilibatkan dalam proses produksi juga berhasil
dimenangkan. Presiden Soekarno mendukung
program ini dan memerintahkan membentuk Dewan
Perusahaan di tahun 1960, di mana buruh
berkedudukan dalam Dewan Pertimbangan.

Kehadiran tiga serikat buruh besar yang beraliran


progresif ini menyebabkan partai-partai politik
lainnya juga berusaha untuk membangun serikat
buruhnya sendiri. PNI membangun Kesatuan Buruh
Marhaen (KBM, berdiri 1952), NU membentuk
Sarekat Buruh Muslimin Indonesia (Sarbumusi,
berdiri 1956), PSII membentuk GOBSI di tahun
1959, orang-orang Katolik membangun Ikatan Buruh
Pantjasila dan Masjumi mendirikan Serikat Buruh
Islam Indonesia (SBII). SBII inilah yang kelak
memainkan peranan penting dalam mengubah wajah
gerakan serikat buruh, terutama memasuki era Orde
Baru.

SBII menganut ideologi harmoni. Bagi mereka,


jangan sampai ada permusuhan antara buruh dengan
majikan. Jadi, apabila ada perselisihan perburuhan,
SBII akan mengusahakan bantuan materiil pada
buruh yang menjadi korban, baik berupa uang
ataupun bentuk lainnya. Ini supaya lambat-laun akan
terjadi perdamaian dan harmoni di setiap pusat-pusat
buruh.

106
Pada tahun 1959, SBII terkena dampak dari
pembubaran Masjumi atas perintah Soekarno dengan
alasan keterlibatan Masjumi dalam pemberontakan
PRRI-Permesta. SBII kemudian bergabung dengan
Gabungan Serikat Buruh Islam Indonesia
(Gasbiindo). Jusuf Wibisono, salah satu pendiri
Gasbiindo, menelurkan konsep Bahaya Merah di
Indonesia. Untuk membendung “Bahaya Merah” ini,
Wibisono kemudian bekerja sama dengan Angkatan
Darat membangun Badan Kerdjasama Buruh-Militer
(BKS BuMil) dan menjadi salah satu pendukung
utamanya.

Angkatan Darat juga mensponsori pembentukan


SOKSI (Sentral Organisasi Karyawan Seluruh
Indonesia) di tahun 1961. Para perwira Angkatan
Darat yang terlibat dalam PRRI-Permesta, seperti
Zulkifli Lubis dan Sumual, ditempatkan sebagai
pimpinan SOKSI. Ketua SOKSI, Jenderal
Suhardiman, juga merangkap sebagai Presiden
Direktur dari PT. PP Berdikari.

Berhadapan dengan kebangkitan dan penguatan


serikat-serikat buruh yang berorientasi pada ideologi
“harmoni”, yang dekat dengan tentara dan yang jelas-
jelas dipimpin oleh militer-pengusaha ini, serikat-
serikat buruh beraliran progresif malah mengalami
berbagai kemunduran. Tentu saja jumlah anggota
mereka meningkat. SOBSI saja tercatat memiliki 3,3
juta anggota di tahun 1960-an, belum kedua serikat
buruh progresif lainnya. Namun, di antara mereka
107
sendiri sulit untuk bekerja sama. Perasaan saling
curiga, yang sebagian di antaranya didorong oleh
pertikaian di kalangan gerakan progresif
internasional, menghambat kerjasama efektif antara
SOBSI dan SARBUPRI dengan SOBRI. Di samping
itu, ruang politik yang terbuka lebar, di antaranya
adalah partisipasi dalam penyusunan UU Perburuhan
no 22/57 dan 12/64, menyebabkan ketiga serikat
buruh progresif ini menurunkan aktivitasnya di basis.
Antara tahun 1955-59 hanya terjadi 631 kali
pemogokan yang diikuti 441.900 orang buruh.
Terjadi penurunan perlawanan nyaris sampai
setengah dari apa yang kita lihat pada tahun-tahun
sebelumnya.

Jadi, ketika badai datang di pertengahan dasawarsa


1960-an, gerakan buruh progresif tidak siap untuk
menghadangnya.

108
BAB X

Buruh di Masa Orde Baru

Pembungkaman Gerakan Buruh

Peristiwa kelam yang terjadi di tahun 1965


membalikkan keadaan secara drastis. Tuduhan yang
dilontarkan Angkatan Darat bahwa PKI mendalangi
peristiwa penculikan jenderal-jenderal, dan
pembantaian aktivis gerakan rakyat yang terjadi
sesudahnya, praktis menghancurkan struktur dan
sendi-sendi kekuatan gerakan buruh progresif.

Orde Baru bergerak cepat merekonstruksi


perekonomian Indonesia sementara para aktivis
buruh progresif tengah meregang nyawa di tangan
para pembunuh yang sampai sekarang tidak pernah
diadili. Orde Baru membuka pintu lebar-lebar kepada
perusahaan-perusahaan asing. Soeharto juga
membuka pintu bagi mengalirnya pinjaman luar
negeri untuk berbagai proyek yang kemudian
dikelola oleh mitra-mitra dan kerabat dekatnya.

109
Dengan bantuan Frederich Ebert Stiftung, sebuah
yayasan milik Partai Sosial Demokrat Jerman yang
pro pasar bebas, pemerintahan militer ini juga
merekonstruksi gerakan buruh. Melalui sebuah
seminar yang disponsori FES di tahun 1971,
disusunlah konsep baru serikat buruh Indonesia yang
akan didukung oleh Orde Baru:

1. Gerakan Buruh harus sama sekali lepas dari


kekuatan politik manapun;

2. Keuangan organisasi tidak boleh tergantung dari


pihak luar;

3. Kegiatan serikat buruh dititikberatkan pada soal-


soal sosial ekonomis;

4. Penataan ulang serikat-serikat buruh yang


mengarah pada penyatuan;

5. Perombakan pada struktur keserikatburuhan,


mengarah pada serikat sekerja untuk masing-masing
lapangan pekerjaan.

Setidaknya, itulah prinsip yang dicanangkan secara


teoritik. Kenyataannya, rekonstruksi serikat buruh
dilaksanakan dalam bentuk FBSI (Federasi Buruh
Seluruh Indonesia) yang diketuai Agus Sudono,
mantan ketua Gasbiindo, dan sekjennya adalah
Suwarto, seorang mantan perwira Opsus (Operasi
Khusus, pendahulu Kopkamtib). Di bawah komando
110
dua orang petinggi Golkar ini, serikat buruh memang
dilepaskan dari kekuatan politik manapun dan jatuh
ke dalam cengkeraman Golkar. Jajaran pengurus
FBSI selalu diambil dari kader-kader Golkar.

Sejak awal, jelas bahwa FBSI ditujukan untuk


memberangus buruh dan menutup dunia politik bagi
buruh. Ideologi yang dikenakan oleh FBSI adalah
ideologi harmoni, yakni antara buruh dan pengusaha
harus ada ketenangan, tidak boleh ada konflik. Para
pengurus teras FBSI juga selalu merupakan tokoh-
tokoh yang dekat atau tergabung dalam Golkar.

Dengan komposisi kepengurusan semacam ini, FBSI


juga berfungsi sebagai pendulang suara bagi Golkar
dalam tiap pemilu, mirip dengan “organisasi-
organisasi profesi” lainnya seperti HKTI (Himpunan
Kerukunan Tani Indonesia) maupun HNSI
(Himpunan Nelayan Seluruh Indonesia).

Walau demikian, FBSI tetap tidak dapat sepenuhnya


mengendalikan perselisihan perburuhan. Terlebih
sejak Soeharto mengeluarkan Keputusan 15
Nopember 1978 (KNOP 15) yang mendevaluasi nilai
rupiah terhadap dolar, dari Rp 415 per dolar menjadi
Rp 625 per dolar. Devaluasi ini melambungkan
harga-harga kebutuhan pokok—dan mereka yang
upahnya tetap, seperti buruh, adalah yang paling
terpukul oleh keadaan ini. Perlawanan buruh
berlangsung di mana-mana.

111
Di tahun 1985, FBSI diganti menjadi SPSI, keadaan
menjadi bertambah parah karena SPSI dijadikan
sebuah “wadah tunggal”—sebuah penghalusan istilah
bagi dijalankannya sistem korporatisme negara oleh
Orde Baru. Untuk memperhalus kenyataan bahwa
pemberangusan gerakan buruh dilakukan secara lebih
sistematis, Soeharto menunjuk Cosmas Batubara,
seorang mantan aktivis ’66, menjadi Menteri Tenaga
Kerja. Cosmas memperkenalkan konsep Upah
Minimum dan Jamsostek sebagai sogokan bagi buruh
yang sekarang tidak lagi memiliki kebebasan untuk
berorganisasi.

112
BAB XI

Marsinah

Hutan Wilangan, Nganjuk tanggal 9 Mei 1993.


Awalnya adalah anak-anak yang bermain. Mengira
bahwa kaki yang menjulur pada sebuah gubuk
kelompok tani adalah milik orang gila yang biasa
tidur di situ. Mereka menggoda sambil melempari
dengan kerikil. Setelah berkali-kali dilempari dan tak
ada reaksi, mereka pun mendekat. Alangkah
terkejutnya ketika mereka mendapati bahwa kaki
yang menjulur itu adalah kaki seorang mayat
perempuan.

Mayat tersebut tergeletak dalam posisi terlentang.


Sekujur tubuhnya penuh dengan luka memar bekas
pukulan benda keras. Kedua pergelangan tangannya
lecet-lecet, diduga akibat diseret dalam tangan
terikat. Tulang panggulnya hancur karena pukulan
benda keras berkali-kali. Dari sela-sela pahanya ada
bercak-bercak darah, diduga akibat penganiayaan
dengan benda tumpul. Pada bagian yang sama
menempel kain putih berlumuran darah. Mayatnya
ditemukan dalam keadaan lemas.

113
Hanya, dan hanya, secarik potongan resi wesel sudah
cukup untuk memberi petunjuk bagi aparat kepolisian
untuk menelusuri kejelasan identitas mayat tersebut.
Ia adalah Marsinah, seorang buruh pabrik yang pada
beberapa waktu lalu terlibat aksi mogok. Tapi apakah
darah dan bekas-bekas penganiayaan yang
meluluhlantakan tubuh Marsinah juga akan cukup
memberi petunjuk siapa tokoh penganiayaan dan
kepentingan-kepentingan apa yang ada dibalik
penganiayaan tersebut di kemudian hari?

Pengetahuan Mengubah Nasib

Marsinah lahir tanggal 10 April 1969. Anak nomor


dua dari tiga bersaudara ini merupakan buah kasih
antara Sumini dan Mastin. Sejak usia tiga tahun,
Marsinah telah ditinggal mati oleh ibunya. Bayi
Marsinah kemudian diasuh oleh neneknya—
Pu’irah—yang tinggal bersama bibinya—Sini—di
desa Nglundo, Nganjuk, Jawa Timur.

Pendidikan dasar ditempuhnya di SD Karangasem


189, Kecamatan Gondang. Sedang pendidikan
menengahnya di SMPN 5 Nganjuk. Sedari kecil,
gadis berkulit sawo matang itu berusaha mandiri.
Menyadari nenek dan bibinya kesulitan mencari
kebutuhan sehari-hari, ia berusaha memanfaatkan
waktu luang untuk mencari penghasilan dengan
berjualan makanan kecil.
114
Di lingkungan keluarganya, ia dikenal anak rajin.
Jika tidak ada kegiatan sekolah, ia biasa membantu
bibinya memasak di dapur. Sepulang dari sekolah, ia
biasa mengantar makanan untuk pamannya di sawah.
“Dia sering mengirim bontotan ke sawah untuk saya.
Kalau panas atau hujan, biasanya anak itu memakai
payung dari pelepah pisang,” kenang Suradji,
pamannya Marsinah sambil menerawang. Berbeda
dengan teman sebayanya yang lebih suka bermain-
main, ia mengisi waktu dengan kegiatan belajar dan
membaca. Kalaupun keluar, paling-paling dia hanya
pergi untuk menyaksikan siaran berita televisi.

Ketika menjalani masa sekolah menengah atas,


Marsinah mulai mandiri dengan mondok di kota
Nganjuk. Selama menjadi murid SMA
Muhammadiyah, ia dikenal sebagai siswa yang
cerdas. Semangat belajarnya tinggi dan ia selalu
mengukir prestasi dengan peringkat juara kelas. Jalan
hidupnya menjadi lain, ketika ia terpaksa harus
menerima kenyataan bahwa ia tidak punya cukup
biaya untuk melanjutkan sekolah ke jenjang yang
lebih tinggi. “Dia ingin sekolah di IKIP. Tapi, uang
siapa untuk membiayai di perguruan tinggi itu,” ujar
kakek Marsinah.

Pergi meninggalkan desa adalah sebuah langkah


hidup yang sulit terelakan. Kesempatan kerja di
pedesaan semakin sempit. Kerja sebagai buruh tani
makin kecil peluangnya. Sekarang ani-ani—alat
tradisional penuai padi—sudah berganti dengan sabit
115
yang lebih efisien dan tidak memerlukan jumlah
tenaga kerja sebanyak sebelumnya. Perkembangan
teknologi semakin menyingkirkan para buruh tani.
Tidak mengherankan, bau keringat bercampur tanah
sawah sudah tidak lagi memenuhi udara pedesaan.
Lenguhan sapi yang kelelahan membajak tanah
semakin jarang terdengar. Ia telah disingkirkan oleh
deru mesin traktor.

Ujungnya adalah tidak ada pilihan lagi selain pergi ke


kota. Maka ia berusaha mengirimkan sejumlah
lamaran ke berbagai perusahaan di Surabaya,
Mojokerto, dan gresik. Akhirnya ia diterima di pabrik
sepatu BATA di Surabaya tahun 1989. setahun
kemudian ia pindah ke pabrik arloji Empat Putra
Surya di Rungkut Industri, sebelum akhirnya ia
pindah mengikuti perusahaan tersebut yang membuka
cabang di Siring, Porong, Sidoarjo. Marsinah adalah
generasi pertama dari keluarganya yang menjadi
buruh pabrik.

Kegagalan meneruskan ke perguruan tinggi bukannya


membuat semangat belajarnya padam. “Mbak
Marsinah berkeyakinan bahwa pengetahuan itu
mampu mengubah nasib seseorang,” ujar salah
seorang temannya. Karena itu, untuk menambah
pengetahuan dan keterampilan, Marsinah mengikuti
kursus komputer dan bahasa Inggris di Dian Institut,
Sidoarjo. Kursus komputer dengan paket Lotus dan
WordStar sempat dirampungkan beberapa waktu
sebelum ia meninggal. Semangat belajar yang tinggi
116
juga tampak dari kebiasaannya menghimpun rupa-
rupa informasi. Ia suka mendengarkan warta berita,
baik lewat radio maupun televisi. Minat bacanya juga
tinggi. Saking senangnya membaca, ia terpaksa
memakai kacamata. Pada waktu-waktu luang, ia
seringkali membuat kliping koran. Malahan untuk
kegiatan yang satu ini ia bersedia menyisihkan
sebagian penghasilannya untukmembeli koran dan
majalah bekas, meskipun sebenarnya penghasilannya
pas-pasan untuk menutup biaya hidup.

Ia dikenal sebagai seorang pendiam, lugu, ramah,


supel, ringan tangan dan setia kawan. Ia sering
dimintai nasihat mengenai berbagai persoalan yang
dihadapi kawan-kawannya. Kalau ada kawan yang
sakit, ia selalu menyempatkan diri untuk menjenguk.
Selain itu ia seringkali membantu kawan-kawannya
yang diperlakukan tidak adil oleh atasan. Ia juga
dikenal sebagai seorang pemberani.

Paling tidak dua sifat yang terakhir disebut


pemberani dan setia kawan inilah yang
membekalinya menjadi pelopor perjuangan. Pada
pertengahan April 1993, para buruh PT. CPS (Catur
Putra Surya) pabrik tempat kerja Marsinah resah
karena ada kabar kenaikan upah menurut Sudar
Edaran Gubernur Jawa Timur. Dalam surat itu
termuat himbauan pada para pengusaha untuk
menaikkan upah buruh sebesar 20% dari upah pokok.
117
Pada minggu-minggu tersebut, Pengurus PUK-SPSI
PT. CPS mengadakan pertemuan di setiap bagian
untuk membicarakan kenaikan upah sesuai dengan
himbauan dalam Surat Edaran Gubernur.

Keresahan tersebut akhirnya berbuah perjuangan.


Pada tanggal 3 Mei 1993 seluruh buruh PT. CPS
tidak masuk kerja, kecuali staf dan para Kepala
Bagian. Sebagian buruh bergerombol dan mengajak
teman-teman mereka untuk tidak masuk kerja. Hari
itu juga, Marsinah pergi ke kantor Depnaker
Surabaya untuk mencari data tentang daftar upah
pokok minimum regional. Data inilah yang ingin
Marsinah perlihatkan kepada pihak pengusaha
sebagai penguat tuntutan pekerja yang hendak
mogok.

Tanggal 4 Mei 1993 pukul 07.00 para buruh PT. CPS


melakukan unjuk rasa dengan mengajukan 12
tuntutan. Seluruh buruh dari ketiga shift serentak
masuk pagi dan mereka bersama-sama memaksa
untuk diperbolehkan masuk ke dalam pabrik. Satpam
yang menjaga pabrik menghalang-halangi para buruh
shift II dan shift III. Tidak ketinggalan, para satpam
juga mengibas-ibaskan tongkat pemukul serta
merobek poster dan spanduk para pengunjuk rasa
sambil meneriakan tuduhan PKI kepada para
pengunjuk rasa.

118
Bangkitnya Keberanian

Suasana kota yang penuh dengan persaingan telah


membuat setiap orang yang tinggal didalamnya untuk
menjadi keras. Apalagi kehidupan buruh-buruh di
pabrik yang setiap hari dikejar-kejar target produksi
yang telah ditetapkan sepihak oleh pengusaha. Maka
menjadi tidak mengherankan bahwa Marsinah, gadis
desa yang lugu, lalu tidak canggung berdiri di barisan
terdepan pengunjuk rasa. Sebuah keberanian telah
menggusur kepasrahan pada nasib.

Semakin merebak jumlah aksi pemogokan di


berbagai kota industri menjadi bukti ketidakpuasan.
Pabrik, gedung Dewan Perwakilan Rakyat, instansi-
instansi pemerintah yang berurusan dengan masalah
perburuhan, dan jalanan-jalanan kota menjadi
panggung yang mementaskan keresahan kaum buruh
yang tak kunjung terhenti. Menurut berita, di Jawa
Timur tercatat 155 pemogokan yang semuanya
dihadapi tentara.

Aparat dari koramil dan kepolisian sudah berjaga-


jaga di perusahaan sebelum aksi berlangsung. “Ya
sudah, kalau teman-teman tidak diperbolehkan
masuk, keamanan saya serahkan kepada bapak, kami
sekarang hendak berunding dengan pengusaha!”,
ucapnya pada salah seorang aparat keamanan.

119
Perundingan berjalan dengan hangat. Dalam
perundingan tersebut, sebagaimana dituturkan
kawan-kawannya. Marsinah tampak bersemangat
menyuarakan tuntutan. Dialah satu-satunya
perwakilan dari buruh yang tidak mau mengurangi
tuntutan. Khususnya tentang tunjangan tetap yang
belum dibayarkan pengusaha dan upah minimum
sebesar Rp. 2.250,- per hari sesuai dengan kepmen
50/1992 tentang Upah Minimum Regional. Setelah
perundingan yang melelahkan tercapailah
kesepakatan bersama.

Berakhirkah pertentangan antara buruh dengan


pengusaha? Ternyata tidak! Tanggal 5 Mei 1993, 13
buruh dipanggil kodim Sidoarjo. Pemanggilan itu
diterangkan dalam surat dari kelurahan Siring. Tanpa
babibu, tentara mendesak agar ke-13 buruh itu
menandatangani surat PHK. Para buruh terpaksa
menerima PHK karena tekanan fisik dan psikologis
yang bertubi-tubi. Dua hari kemudian menyusul 8
buruh di-PHK di tempat yang sama. Sungguh!
Hukum menjadi kehilangan gigi ketika senapan
tentara ikut bermain.

Marsinah sadar betul bahwa peristiwa yang menimpa


kawan-kawannya adalah suatu keniscayaan di negeri
milik pengusaha ini. Dari kliping-kliping surat kabar
yang diguntingnya, dari keluhan-keluhan kawan-
kawannya se pabrik, dari kemarahan-kemarahan yang
teriakkan, dan dari apa yang ia lihat dengan mata
kepala sendiri, semuanya memberinya pengetahuan
120
tentang ketidakberesan yang melanda segala lapisan
dalam masyarakat kita.

Kemarahannya meledak saat mengetahui perlakuan


tentara kepada kawan-kawannya. “Saya tidak terima!
Saya mau (melapor) ke paklik saya yang jadi jaksa di
Surabaya!” teriak Marsinah gusar. Dengan gundah ia
raih surat panggilan kodim milik salah seorang
kawannya, lantas pergi.

Kemana perginya Marsinah? Tidak ada yang tahu.


Yang pasti, Marsinah tidak lagi terlihat di pabrik
tempat ia bekerja.

Awal Kebangkitan

Marsinah telah mati. Mayatnya ditemukan di gubuk


petani dekat hutang Wilangan, Nganjuk tanggal 9
Mei 1993. Ia yang tidak lagi bernyawa ditemukan
tergeletak dalam posisi melintang. Sekujur tubuhnya
penuh luka memar bekas pukulan benda keras. Kedua
pergelangannya lecet-lecet, mungkin karena diseret
dalam keadaan terikat. Tulang panggulnya hancur
karena pukulan benda keras berkali-kali. Di sela-sela
pahanya ada bercak-bercak darah, diduga karena
penganiayaan dengan benda tumpul. Pada bagian
yang sama menempel kain putih yang berlumuran
darah. Mayatnya ditemukan dalam keadaan lemas,
mengenaskan.
121
Marsinah adalah sosok perjuangan yang telah
dihancurkan oleh sebuah ketakutan dan kecurigaan.
Tapi kita tidak bisa mengingkari bahwa jiwanya tidak
bisa dipenjara. Jiwanya akan membumbung tinggi
untuk berubah menjadi lidah-lidah api yang akan
menghanguskan segala bentuk ketidakadilan.

Anak-anak desa yang menemukan Marsinah, dan


kita, menjadi saksi. Sekarang atau esok, anak-anak
itu dan kita akan terus bersaksi dan bercerita tentang
ketidakadilan, tentang gugurnya seorang buruh
pejuang, tentang buruh perempuan yang tidak ragu
untuk kehilangan nyawanya demi keyakinannya
tentang kebenaran.

Peristiwa tersebut paling tidak menunjukkan


bagaimana negara, pengusaha dan militer
berkongkalikong untuk merampas kesejahteraan
rakyat kecil dan juga bagaimana rentannya posisi
perempuan dalam perjuangan pembebasan rakyat dari
penindasan. Kasus Marsinah yang mengandung
indikasi campur tangan militer dalam usaha
penghancuran gerakan buruh di era Soeharto
berusaha dikaburkan lewat alibi bahwa pembunuhan
itu adalah kasus pemerkosaan, meski bukti hanya
menunjukkan bahwa ia mengalami penganiayaan
berat dan bukan diperkosa.

Hal ini juga adalah tendensi patriarkis rezim ORBA


yang masih bertahan hingga hari ini, kematian
Marsinah yang berlatar belakang politik pengekangan
122
gerakan buruh berusaha dikaburkan menjadi sebuah
kasus pemerkosaan. Di dalam kacamata patriarkis,
pemerkosaan adalah sebuah kasus kriminal biasa
yang tidak bernilai politis seperti isu penghancuran
gerakan buruh atau penghalangan perjuangan buruh,
sehingga menjadikan kasus Marsinah sebagai kasus
pemerkosaan akan meredam efek politis dari
kematianya.

Rezim berhasil menghilangkan jasad dan nyawa


Marsinah dari muka bumi, tapi mereka tidak akan
pernah berhasil menghapuskan sosok dan semangat
Marsinah dari para buruh dan kaum gerakan
Indonesia. Marsinah yang kondisinya sama dengan
buruh-buruh berupah rendah lainnya menjadi prasasti
pengingat bahwa untuk mendapatkan kesejahteraan
yang memang haknya, kaum buruh akan berhadapan
langsung dengan rezim; pemilik modal, pemerintah
dan militer. Di masyarakat luas pun sosok Marsinah
dikenang sebagai sebuah satire negara demokrasi.

Bertahun setelah kematiannya, Marsinah menjadi


sosok yang subversif bagi rezim. Beberapa karya seni
yang mengangkat kisah Marsinah dihalang-halangi
oleh pemerintah, seperti film Marsinah karya Slamet
Rahardjo yang oleh Menakertrans Jacob Nuwa Wea
sempat diminta untuk ditunda rilisnya dan
pementasan drama monolog Marsinah menggugat
oleh Ratna Sarumpaet dilarang oleh kepolisian
Malang meski pun sebelumnya sudah sukses
diadakan di tujuh kota lainnya.
123
Pementasan drama tidak termasuk dalam hal yang
membutuhkan ijin dari pihak kepolisian, cukup hanya
memberikan surat pemberitahuan pelaksanaan.
Namun bila pementasan yang bertajuk Marsinah
Menggugat sampai dilarang oleh pihak keamanan,
maka bisa disimpulkan ada hal terlarang dari
pementasan tersebut. Apa hal terlarang tersebut?
Marsinah, ya, Marsinah adalah kata subversif dalam
kemapanan rejim selama ini.

Labor Market Flexibility (Sistem Pasar Kerja yang


Lentur) yang diterapkan oleh rezim Neolib
menurunkan sistem kerja kontrak dan outsourcing
yang semakin melemahkan posisi buruh di dalam
pekerjaannya, belum lagi perekonomian yang masih
berorientasi pada penanaman modal asing
mengakibatkan upah rendah masih menjadi sebuah
opsi utama.

Kepentingan untuk menarik para penanam modal dan


pelancaran sistem yang kapitalistik meminggirkan
tugas negara yang sudah diamanatkan dalam naskah-
naskah kemerdekaan dan perundangan dasar, yaitu
mensejahterakan rakyat, seluruh rakyat tanpa
pembedaan, sejahtera yang sesejahtera-sejahteranya!

Meski pun ada hukum yang dianggap mampu


melindungi hak-hak buruh, namun dengan lemahnya
posisi buruh dalam peradilan negara, maka hukum ini
pun gagal menjalankan fungsinya. Lebih tepatnya,
hukum di Indonesia memang tidak disusun untuk
124
benar-benar berpihak kepada kaum buruh dan rakyat
kecil. Sudah umum diketahui, kasus-kasus
perburuhan yang sampai di meja peradilan hampir
seluruhnya dimenangkan oleh pihak pengusaha.

Masih banyak sekali perusahaan yang menolak untuk


merundingkan dan menandatangai Perjanjian Kerja
Bersama antara pengusaha dan buruhnya, karena hal
itu akan memberikan kesadaran akan posisi yang
lebih tinggi pada buruh. Begitu juga sistem jaminan
sosial menjadi semacam lagu nina bobo rakyat kecil
pada umumnya dan kaum buruh pada khususnya,
memberikan ilusi kesejahteraan dan perlindungan
negara.

Kapitalisme, dalam bentuk Neoliberalisme tidak


mempertimbangkan buruh dalam posisi yang setara
dengan para pemilik modal, buruh hanya dijadikan
bagian dari mesin-mesin produksi dan direbut harga
kemanusiaannya dan negara telah membantu para
pemiliki modal untuk melemahkan kesadaran juang
kaum buruh lewat iming-iming permainan kata di
lembar-lembar perundangan dan ilusi jaminan sosial.

Jelaslah bahwa selama sistem yang dipakai adalah


sistem Neoliberalisme, selama itu pula lah
kesejahteraan hanya akan menjadi milik segelintir
orang, sementara rakyat kecil tidak akan pernah
sejahtera.

125
Menanti Buruh Bertindak

Melihat keterpurukan posisi buruh dalam alam yang


kapitalistik, maka sangat mudah dipahami ketakutan
rejim akan munculnya pemberontakan massa buruh.
Pada saat beban kehidupan menghimpitm kesadaran
para buruh akan situasinya akan meningkat, borok-
borok kelakuan rejim terhadap kaum buruh akan
semakin jelas terlihat dan dirasakan.

Saat buruh-buruh yang sadar dan penuh api


kemarahan ini bangkit dan bersatu, maka dapat kita
bayangkan betapa menyeramkannya situasi itu bagi
rejim, ini sebabnya mereka berusaha membius kaum
buruh lewat hegemoni paradigma perburuhan yang
sejatinya hanya penghalusan makna dari perbudakan
dan ilusi-ilusi jaminan kesejahteraan.

Di Indonesia, ada ribuan Marsinah yang belum


berhasil mereka bunuh. Kaum buruh yang memiliki
kesamaan latar belakang dengan Marsinah tentunya
memiliki sentimen kuat atas apa yang dialaminya,
karena mencerminkan kehidupan kaum buruh secara
umum. Bila sentimen dan kesadaran buruh akan
kondisi mereka meluas dan menguat, maka sangat
pasti pemberontakan akan terjadi.

Bisa dilihat betapa rezim gentar akan nyala api yang


telah dihidupkan Marsinah di dalam jiwa kaum
126
buruh, nyala api yang bila bersatu akan membakar
habis kemapanan penindasan mereka, menjatuhkan
mereka ke bawah kekuasaan yang sejati, kekuasaan
kelas pekerja. Karena hal ini, selamanya Marsinah
akan tetap hidup, selamanya Marsinah akan menjadi
bagian dari api perlawanan kaum buruh, selamanya
Marsinah akan jadi pahlawan kaum buruh, pahlawan
kaum tertindas.

Ditangan kaum buruhlah keputusan berada, apakah


akan merebut kehidupan yang dipasung oleh rezim
atau kah berdiam diri dan tunduk menjadi budak para
pemilik modal. Namun karena manusia itu sejatinya
adalah sederajat dan memiliki hak yang sama untuk
hidup selayaknya manusia, layak yang paling layak
tidak hanya cukup makan cukup minum, maka kaum
buruh dan rakyat tertindas lainnya harus bangkit
melanjutkan perjuangan pemerdekaan kaum
tertindas.

127
BAB XII

Perjuangan Buruh Era Reformasi (1998-


sekarang)

Reformasi dimulai dengan ditancapkannya kebijakan


neoliberal lewat paket letter of intent (loi) sebagai
akibat dari peminjaman hutang luar negeri yang
sangat besar. Loi secara umum berisi kesepakatan
tentang pengurangan subsidi, privatisasasi
perusahaan negara, dan perdagangan bebas.

Tak lama setelah reformasi, pemerintah meratifikasi


Konvensi ILO tentang Kebebasan Berserikat dan
Perlindungan Hak untuk Berorganisasi, 1948 (No.
87) dengan Keputusan Presiden RI No. 83 Tahun
1998, yang kemudian dilanjutkan dengan
kepmenaker No.05 tahun 1998. Pada akhir 1998
tercatat sudah terbentuk 14 SP setingkat federasi,
termasuk didalamnya SPSI reformasi yang
merupakan hasil perpecahan dari SPSI pasca
reformasi.

Perpecahan dan perubahan formasi dalam tubuh SPSI


terjadi sedemikian massif pasca reformasi.
Diantaranya SP-LEM (sektor logam, elektronika,

128
mesin dalam tubuh SPSI reformasi) berubah menjadi
FSPMI, lalu SP-TSK (sektor tekstil sandang kulit
dalam tubuh SPSI reformasi) kemudian berubah
menjadi SPN. Dalam perkembangan selanjutnya
FSPMI dan SPN membangun suatu konfederasi baru
bernama Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia
(KSPI) yang menambah jumlah konfederasi setelah
KSPSI dan KSBSI sebelumnya.

Pada awal tahun 1999 terbentuk pula Front Nasional


Perjuangan Buruh Indonesia (FNPBI) yang digagas
oleh beberapa aktivis KOBAR.

Peringatan Mayday (Hari Buruh Internasional) yang


semasa Orba dilarang, pertama kali digelar kembali
pada 1 Mei 1999 oleh gabungan organisasi buruh
yang membentuk Komite Aksi 1 Mei.

Geliat perjuangan buruh kembali meninggi saat


pemerintah mulai memberlakukan UU No.21 tahun
2000 tentang Kebebasan Berserikat, yang langsung
disambut oleh aktivis buruh dengan pendirian ratusan
serikat buruh hanya dalam jangka waktu setahun.

Dengan lahirnya UU tentang kebebasan berserikat


ini, selain membawa dampak positif bahwa semakin
banyak serikat buruh yang lahir, tetapi sekaligus juga
membawa dampak negatif yaitu semakin banyaknya
pengkotakan serikat buruh berdasarkan kepentingan
pragmatis, berdasarkan daerah, sektor usaha, dll,
yang sering menyulitkan persatuan buruh.
129
Meluasnya aksi-aksi dan konsolidasi buruh

Dengan bekal organisasi, tercatat perjuangan buruh


mengalami peningkatan. Selama tahun 2000
misalnya, menurut catatan Depnaker saja (catatan
paling konservatif) terdapat 173 kali aksi buruh.
Sedangkan tahun 2001 terdapat 261 kali aksi buruh.
Aksi-aksi tersebut umumnya dilakukan untuk
menuntut kenaikan upah, menolak PHK, dan
kejelasan/pengangkatan status kerja.

Aksi-aksi tidak hanya dilakukan oleh buruh-buruh


manufaktur (pabrik) seperti di jaman orde baru, tapi
juga sudah meluas ke pekerja-pekerja pendidikan
(guru), pekerja ritel (contoh: Hero) dan BUMN
(contoh PT. Pos).

Pada tahun 2001 juga terjadi gelombang aksi yang


meluas dari berbagai serikat untuk menolak
pemberlakuan Kepmen 78/2001 yang membatalkan
hak-hak pesangon pekerja setelah diberhentikan atau
mengundurkan diri.

Selain bergerak menurut isu perburuhan yang


sifatnya lebih ekonomis/normatif, buruh juga sudah
mulai merespon isu-isu yang berada diluar dunia
advokasi perburuhan, contohnya adalah aksi menolak
130
kenaikan harga BBM hasil dari pengurangan subsidi
pemerintah. Tahun 2001 contohnya, Forum
Solidaritas Union (FSU) yang dibentuk antara lain
oleh FNPBI dan SBSI melakukan aksi dengan
gabungan isu menuntut kenaikan upah 100% dengan
isu menolak kenaikan BBM. Dalam aksinya, buruh
tidak lagi menyasar perusahaan semata, namun sudah
mulai sering menyasar instansi-instansi pemerintahan
seperti Depnaker, DPR dan Istana negara.

Pada akhir tahun 2002 beberapa organisasi buruh


lokal-independen berusaha membangun suatu
konsolidasi untuk menembus pengkotakan. Jaringan
Buruh Antar Kota (JBAK) yang diikuti oleh PBL-
Lampung, FSBKU-Tangerang, SBN-Tangerang,
SBJP-Bogor, SBI-Bogor, GSBI-Jakarta, SPBDI-
Purwakarta, FPPB-Bandung, FSBSK-Solo,
SERBUK-Wonosobo, FSBI-Semarang, KKBJ-
Jombang, SBPD-Sidoarjo, SBK-Surabaya, SBDM-
Malang.

Pemerintah menetapkan pemberlakuan UU baru


Ketenagakerjaan, yaitu UU No.13 tahun 2003 yang
didalamnya sudah melegalkan sistem kerja kontrak
dan outsourcing, walaupun pada bidang dan aspek
tertentu. Hal ini memicu reaksi gerakan buruh untuk
melakukan penolakan, walau kemudian UU tersebut
tetap diberlakukan.

Maret 2003 JBAK membentuk Badan Kolektif


Nasional (BKN) Komite Aksi Serikat Buruh
131
Independen (KASBI). Sampai pada Juni 2004,
keanggotaan KASBI bertambah lagi dengan
masuknya GSBM-Jakarta, FSBIP-Jakarta, SPBI-
Malang, dan SERBUK-Medan. Dibangunlah
kemudian Komite Persiapan Kongres Aliansi Serikat
Buruh Indonesia (KP KASBI) yang akhirnya
melaksanakan kongres pertamanya pada Februari
2005. Dalam program perjuangannya, KASBI
menekankan penghapusan sistem kerja kontrak dan
outsourcing yang merupakan turunan dari strategi
Labour Market Flexibility yang diterapkan rezim
Kapitalisme Neoliberal. Setelah kongres kedua tahun
2008, beberapa organisasi juga menyatakan
bergabung dengan KASBI, diantaranya Serikat
Pekerja Carefour Indonesia (SPCI), Persatuan
Gerakan Serikat Pekerja (PROGRESIP), dan Serikat
Buruh Jaya Readymix (SBJR), dll. Pada tahun 2008
KASBI juga telah mendeklarasikan dirinya sebagai
konfederasi alternatif.

Pada tahun 2006 pemerintah berencana merevisi


UUK No.13 tahun 2003 yang kemudian disambut
dengan respon penolakan dari berbagai elemen
gerakan buruh. Atas besarnya tekanan aksi buruh,
rencana revisi UUK akhirnya dibatalkan.

Akhir tahun 2006 beberapa organisasi (seperti


KASBI, FNPBI, FPBJ) menggagas sebuah konferensi
nasional yang menjadikan terbentuknya Aliansi
Buruh Menggugat (ABM). Tidak seperti konsolidasi
buruh lain yang masih sebatas konsolidasi
132
perserikatan buruh yang mempunyai solusi-solusi
normatif, ABM cukup maju dengan slogan/solusi
yang lebih meningkat secara politik, yaitu: (1)
Nasionalisasi perusahaan tambang dan aset-aset vital;
(2) Tolak hutang luar negeri; (3) Bangun
industrialisasi nasional untuk kesejahteraan rakyat;
(4) Tangkap, adili, dan sita harta koruptor. ABM
sering kali turun kejalan untuk merespon isu-isu non-
perburuhan seperti pendidikan, kenaikan BBM, dll.
Namun pada tahun 2009 terjadi perpecahan dalam
tubuh ABM.

Sepanjang tahun 2006 sampai 2011, terdapat banyak


sekali pemberangusan gerakan buruh yang salah
satunya dilakukan dengan cara menghambat atau
menghalangi keberadaan serikat-serikat buruh di
perusahaan, khususnya yang berafiliasi dengan
serikat buruh progresif/maju. Hal ini membuat
jumlah buruh yang berserikat tidak pernah
mengalami peningkatan yang pesat. Jumlah kaum
buruh yang berserikat masihlah kecil, yaitu berada
diantara 7-10% dari keseluruhan buruh di Indonesia
yang jumlahnya sekitar 30 juta. Hal ini utamanya
disebabkan mayoritas kaum buruh sudah bekerja
dalam sistem kerja kontrak/outsourcing yang mana
mempersulit buruh untuk masuk kedalam serikat.

Namun dalam jumlah partisipasi yang masih kecil


ini, terdapat kemajuan kesadaran buruh. Selain sudah
mengangkat isu-isu diluar perburuhan, kaum buruh
juga sudah sering bergabung dengan massa kaum tani
133
dalam memperjuangkan hak atas tanah, dll.
Disamping itu keterlibatan buruh dalam organisasi-
organisasi politik progresif juga sudah mulai
meningkat secara signifikan. Hal ini menandakan
kesadaran buruh tidak lagi hanya sebatas kebutuhan
ekonominya pribadi yang sifatnya jangka pendek,
namun sudah maju pada kesadaran pada perubahan
sistem/menyeluruh yang sifatnya jangka panjang.

Gerakan buruh sejak tahun 2007 juga sudah mulai


mengenal lagi suatu gerakan pendudukan pabrik-
pabrik (yang sudah lama tidak dipakai sejak era
nasionalisasi zaman kemerdekaan) yang tidak
beroperasi lagi atau dinyatakan pailit/merugi. Bahkan
di beberapa pabrik, buruh sudah mulai
mengoperasikan mesin-mesin dalam pabrik dan
menjalankan suatu usaha bersama dengan manajemen
kolektif buruh. Contohnya adalah apa yang terjadi di
PT. Istana Magnoliatama (basis KASBI) yang
memulai pendudukan tahun 2008. Namun hal ini
umumnya tidak bertahan lama. Gerakan pendudukan
ini biasa dipicu oleh kebijakan penutupan pabrik dan
PHK massal.

Pada akhir tahun 2008, akibat dampak dari krisis


ekonomi yang terjadi di AS, pemerintah
mengeluarkan SKB 4 Menteri yang berisikan
larangan untuk menaikkan upah melebihi
pertumbuhan nasional. Dengan demikian berarti
kenaikan upah tahun 2009 tidak boleh melebihi dari
5% pertumbuhan ekonomi saat itu. Hal ini kemudian
134
menyulut aksi besar-besaran dimana-mana. Dengan
tekanan yang sangat besar dan luas, pemerintah
akhirnya merevisi SKB 4 menteri. Ini semakin
membuktikan bahwa dalam sistem kapitalisme, krisis
yang terjadi di luar negeri pasti akan berdampak ke
Indonesia.

Perpecahan kembali terjadi. Awal tahun 2011


beberapa federasi dalam KASBI memisahkan diri
dari KASBI, dan menggabungkan diri dengan
beberapa serikat pekerja BUMN, lalu membentuk
Konfederasi Serikat Nasional (KSN). Sehingga, jika
dihitung menurut klaim deklarasinya, telah terdapat 5
konfederasi serikat buruh di Indonesia saat ini.

Akhir 2011 perjuangan untuk menaikkan upah


minimum propinsi dan kota (UMP/UMK) mengalami
peningkatan dalam jumlah massa aksi, tuntutan aksi,
dan metode-metode aksi. Tuntutan ini umumnya
dikaitkan dengan penolakan terhadap Permen 17
tahun 2005 yang menjadi acuan Dewan Pengupahan
dalam menghitung komponen-komponen kebutuhan
hidup layak (KHL). Setiap daerah bergolak. Di
Batam terjadi bentrok besar yang disusul
penembakan terhadap buruh. Di Tangerang, Bekasi,
Cimahi, dan kota lain juga terjadi aksi massa dengan
pemblokiran jalan-jalan.

Dalam momentum perjuangan upah tahun 2011


terdapat kemajuan juga dalam organisasi-organisasi
buruh di kota-kota dengan membangun berbagai
135
aliansi yang sudah semakin solid. Di Jabotabek
sendiri sedang digagas suatu konsolidasi persatuan
lewat Sekretariat Bersama (Sekber) Buruh Jabotabek.

Era Jokowi yang lebih buruk

Kalangan buruh menilai, 2015 adalah tahun yang


suram bagi kaum buruh di Indonesia. Pemerintah
dinilai lebih melindungi kepentingan pengusaha
ketimbang menja¬min pemenuhan hak-hak bu¬ruh.
Langkah pemerintah men¬geluarkan PP no. 78 tahun
2015 tentang pengupahan dianggap sebagai puncak
penindasan terhadap buruh lantaran kebi¬jakan
tersebut mengembalikan politik upah murah
sekaligus mengkebiri hak buruh untuk merundingkan
upah.

Gerakan Buruh Indonesia sepanjang 2015 telah


menggelar banyak aksi dan penolakan terhadap
kebijaka pemerintah yang tidak pro buruh. Meski
demikian suara-suara buruh tetap tidak didengar,
bahkan aksi-aksi buruh dihadapi secara represif oleh
aparat kepolisian.

PP Pengupahan telah menghilangkan hak berunding


serikat buruh dan kewenangan kepala daerah dalam
menetapkan upah minimum di daerahnya. Upah
minimum 2016 di basis-basis industri berkisar Rp 3-
3,2 juta, padahal di ASEAN rata-rata upah minimum
itu sudah diatas Rp 4 juta

136
Tak hanya itu, saat ini ter¬jadi kesenjangan upah
antar wilayah di Indonesia, di DKI Jakarta upah
minimum 2016 sebesar Rp 3,1 juta sementara di Jawa
Tengah ada daerah yang upah minimum 2016 masih
Rp 1,3 juta. Jika setiap tahun kenaikan upah
minimum se-Indonesia ditetapkan melalui formula
in¬flasi plus pertumbuhan ekonomi maka persentase
kenaikan upah se-Indonesia akan disamakan.

Selain kebijakan soal upah, bu¬ruh juga menyoroti


PP no. 45 ten¬tang Program Jaminan Pensiun.
Pemerintah dianggap tidak serius menjalankan
program jaminan pensiun karena menetapkan iuran
pensiuan hanya 3 persen dari upah buruh.Pemerintah
era Jokowi sangat melindungi kemauan pemi¬lik
modal agar tidak terbebani oleh iuran jaminan
pensiun. Bahkan presiden KSPI Said Iqbal
menyatakan secara tegas pemerintah telah gagal.
Joko Widodo dan Jusuf Kalla mendapat nilai rapor
merah dan dianggap masih berpihak kepada
kelompok pemodal.Ia melihat dari beberapa tuntutan
buruh dalam setahun ini, masih banyak persoalan-
persoalan yang merugikan buruh.

Said juga menyebut pemerintahan Jokowi tak


bedanya dengan rezim Orde baru. Pasalnya, paket
Kebijakan Ekonomi yang dikeluarkan oleh
pemerintahan Jokowi-JK dari jilid 1-8 dinilai tidak
ada yang pro buruh. Di sisi lain negara masih belum
berhasil melakukan perlindungan terhadap buruh
migran dan menghentikan perdagangan manusia
137
sebagai salah satu mencari tenaga kerja untuk
diperbudak

Kebrutalan dan kekerasan polisi terhadap buruh juga


terus terjadi sepanjang tahun 2015, dalam aksi 30
Oktober lalu di depan Istana Negara Jakarta,
kepolisian menangkap 26 aktivis buruh, polisi juga
menghancurkan mobil-mobil milik buruh,bahkan
menganiaya buruh seperti binatang

Menurut buruh, Jokowi-JK adalah penganut


kapitalisme dan liberalis (terakhir ikut TPT) yang
berkedok pro-rakyat dengan retorika revolusi mental
dan nawacita serta blusukan yang penuh pencitraan.
Hal ini makin diperparah dengan APBN 2016 yang
tidak pro rakyat dengan memberi subsidi PMN ke
BUMN dan RUU Pengampunan Pajak bagi
pengusaha dan anehnya buruh malah dikasih upah
murah.

138
Buruh menyongsong pemilu 2019

Kelahiran partai politik kaum buruh pada 1 Mei nanti


hendaknya bukan hanya sekadar lahir, tapi juga
mampu memilih pemimpin yang punya wawasan ke
depan. Jika tidak ada halangan, pada peringatan Hari
Buruh Internasional (Mayday) tanggal 1 Mei 2016,
Gerakan Buruh Indonesia (GBI)—yang terdiri
sejumlah organisasi buruh--akan mendeklarasikan
pembentukan partai politik untuk memperjuangkan
kaum buruh. Sebab, mereka merasa partai politik
yang ada selama ini tidak membela kepentingan
kaum buruh.

Dengan instrumen partai politik milik sendiri, kaum


buruh berharap mereka dapat menempatkan anggota-
anggota terbaiknya pada posisi strategis, seperti di
DPRD, DPD, DPR, dan pemerintahan, bahkan
presiden dan wakil presiden.Sebenarnya, pendirian
partai politik milik kaum buruh bukan barang baru.
Cikal bakal pendirian partai politik buruh sudah
dimulai sejak tahun 1921 saat sejumlah elemen buruh
melakukan demo besar-besaran menentang kebijakan
PHK di berbagai perusahaan milik Belanda akibat
harga beberapa komoditas anjlok. Sayangnya, upaya
melakukan untuk menyatukan suara buruh dalam
sebuah partai politik tak pernah kesampaian karena

139
tentara kolonial banyak melakukan penangkapan dan
penembakan terhadap kaum buruh.

Seperti halnya di zaman penjajahan, pasca


kemerdekaan berbagai organisasi buruh lahir di
tengah masyarakat, dari mulai organisasi persatuan
yang sederhana sampai organisasi buruh yang cukup
besar. Yang paling terkenal adalah Barisan Buruh
Indonesia (BBI) yang didirikan tanggal 15 September
1945. Dalam perjalanannya selanjutnya, BBI berubah
menjadi Partai Buruh Indonesia (PBI). Di dalam PBI,
terdapat unsur organisasi Barisan Buruh Wanita yang
dipimpin S.K. Trimurti, yang kemudian menjadi
Menteri Tenaga Kerja pertama.

Tahun 1955, saat pemilu pertama diadakan di


Indonesia, Partai Buruh ikut bersaing
memperebutkan kursi di legislatif. Hasilnya, partai
ini memperoleh 224.167 suara yang kemudian
menempatkan dua orang wakilnya di legislatif. Pada
pemilu tahap kedua untuk memilih anggota
konstituante, partai ini mendapat 332.047 suara.
Dengan perolehan suara ini, Partai Buruh berhasil
menempatkan wakilnya sebanyak 5 orang di
Konstituante.

Di era Orde Lama, Bung Karno sangat menaruh


perhatian pada kaum buruh. Bahkan, setiap tanggal 1
Mei pemerintahannya menetapkan sebagai hari libur
nasional, seperti yang berlaku saat ini.Dalam setiap
peringatan Hari Buruh, Bung Karno selalu hadir di
140
tengah kaum buruh. Mengutip tulisan Rekson Silaban
dari ILO Governing Body di Harian Kompas, Bung
Karno menyatakan perjuangan politik paling
minimum gerakan buruh adalah mempertahankan
politieke toestand, yakni sebuah keadaan politik yang
memungkinkan gerakan buruh bebas berserikat,
bebas berkumpul, bebas mengkritik, dan bebas
berpendapat. Politieke toestand ini memberikan
ruang bagi buruh untuk melawan dan berjuang lebih
kuat.

Selanjutnya Bung Karno mengatakan, gerakan buruh


harus melakukan machtsvorming, yakni proses
pembangunan atau pengakumulasian kekuatan.
Machtsvorming dilakukan melalui pewadahan setiap
aksi dan perlawanan kaum buruh dalam serikat-
serikat buruh, menggelar kursus-kursus politik,
mencetak dan menyebarluaskan terbitan, mendirikan
koperasi-koperasi buruh, dan sebagainya.

Sayangnya, kebebasan berserikat yang dimiliki kaum


buruh, bukannya dimanfaatkan utuk memasuki fase
machtsvorming, tetapi dilakoni dengan mendirikan
banyak organisasi buruh dan berlomba-lomba
menjadi pemimpin buruh.

Di era Orde Baru, Soeharto menekan habis gerakan


buruh. Soeharto hanya mengizinkan satu organisasi
buruh, yaitu Federasi Sertikat Pekerja Indonesia
(FSPSI).Setelah Soeharto tumbang, gerakan buruh
kembali bermunculan. Tahun 1999, saat pemilu
141
pertama di era reformasi, lahir Partai Buruh Nasional
(PBN) dan ikut bersaing bersama partai-partai
lainnya. Selain PBN, ada lagi tiga partai yang
mewakili suara kaum buruh, yakni Partai Pekerja
Indonesia, Partai Solidaritas Pekerja, dan Partai
Solidaritas Pekerja Seluruh Indonesia. Namun, dari
empat partai kaum buruh itu, tak satu pun yang
berhasil memperoleh 1% suara sehingga tidak dapat
kursi di DPR dan tidak bisa ikut dalam pemilu
berikutnya.

Pada Pemilu 2004 dan 2009, tercatat dua partai yang


mewakili suara buruh, yakni Partai Buruh Sosial
Demokratik (kemudian berubah menjadi Partai
Buruh) dan Partai Pengusaha dan Pekerja Indonesia
(PPPI). Lagi-lagi, mereka tidak berhasl memperoleh
suara yang dipersyaratkan untuk menempatkan
wakilnya di legislatif.

Pada Pemiu 2014, PPPI mencoba ikut kembali,


namun tidak lolos administrasi yang dipersyaratkan
oleh Komisi Pemilihan Umum. Ironisnya, pada
Pemilu Presiden 2014, suara buruh terpecah dalam
dua kubu. Konfederasi Serikat Pekerja Seluruh
Indonesia (KSPSI) dan Konfederasi Serikat Buruh
Sejahtera Indonesia (KSBSI) mendukung capres dan
cawapres Joko Widodo (Jokowi)-Jusuf Kalla (JK). Di
sisi lain, Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia
(KSPI) mendukung capres dan cawapres Prabowo
Subianto-Hatta Rajasa.

142
Memang, problem utama kenapa kelompok-
kelompok buruh terpecah-pecah karena kegagalan
mereka mengelola konflik internal dan lebih
menonjolkan ego pribadi masing-masing. Ditambah
lagi mereka kerap didekati partai politik untuk
mendukung dengan sejumlah janji yang
menggiurkan.

Itulah sebabnya, kelahiran partai politik kaum buruh


pada 1 Mei nanti hendaknya bukan hanya sekadar
lahir, tapi juga mampu memilih pemimpin yang
punya wawasan ke depan, siap menerima kritikan
anggota, melepaskan egoisme, dan mampu membawa
perubahan yang lebih baik untuk kaum buruh, seperti
yang dicita-citakan Bung Karno dan Marsinah.

143
Penutup
Sepanjang sejarahnya, gerakan buruh telah
mengalami pasang-surut yang tiada hentinya. Setiap
kali gerakan buruh mengalami pasang, itu pasti
karena pengorganisiran yang militan di basis-basis,
dan disertai dengan semangat berpolitik. Dan setiap
kali gerakan buruh mengalami pukulan balik, itu
niscaya disebabkan oleh ketergesa-gesaan, oleh
mengendurnya militansi di basis-basis atau oleh
keterlenaan akibat politik parlementarisme.

Gerakan buruh berlandaskan pada kolektivisme, pada


pengorganisiran, pada propaganda yang sabar dan
pendidikan yang tidak kenal menyerah, dan
penggabungan antara perlawanan sosial-ekonomi
dengan perlawanan politik untuk berkuasa. Jika
gerakan buruh mengingat ini, dan konsisten
melaksanakannya, dia akan kuat dan bugar. Tapi, jika
dilupakan, maka gerakan buruh akan letih-lesu.

Hal itu yang sangat disayangkan, pengabdian mereka


selama ini tidak sebanding dengan apa yang mereka
dapatkan. Karena pemerintah lebih mementingkan
kepentingan kaum pemilik modal daripada
kepentingan buruh itu sendiri.

144
Daftar Pustaka

I Nyoman Dekker. 1975. Sejarah Pergerakan


Nasional. Lembaga Penerbit IKIP Malang.

Lyman Tower Sargent.1986. Kaum Buruh dan


Pergerakan. PT Bina Aksara. Jakarta.Ramlan
Surbakti.1992. Memahami Pergerakan Kaum Buruh.
PT Gramedia. Jakarta

Roger Eatwell.2004. Radikalisme Kaum Buruh.


Jendela. Yogyakarta

Edi Cahyono, Gerakan Serikat Buruh dari Masa Ke


Masa: Kolonial Hindia Belanda sampai Orde Baru,
Hasta Mitra, Jakarta

http://www.berdikarionline.com

Shiraishi, Takashi. Zaman Bergerak. Radikalisme


Rakyat di Jawa 1912-1926. Jakarta: Pustaka Utama
Grafiti, 1997.

http://digilib.uin-suka.ac.id/

http://id.wikipedia.org/

http://journal.unnes.ac.id/

http://sentralgerakanburuhnasional.blogspot.co.id/201
5/02/sejarah-gerakan-buruh-indonesia-bab-v.html
145
Tentang Penulis

Suhari Ete Lahir di Tulungagung, Jawa


timur. Mengaku lebih banyak mendapatkan
motivasi dan inspirasi menulis dari keadaan
di sekitarnya. Senang dunia menulis sejak
masih belia, hasil karyanya berupa cerpen
dan puisi pernah di muat di media lokal maupun media
komunitas. Pendidikannya pernah mengenyam bangku kuliah
selama empat semester di salah satu perguruan tinggi di Batam.
Saat ini masih bekerja di salah satu perusahaan di Batam dan
menjadi kontributor untuk media online.

146

Anda mungkin juga menyukai