Anda di halaman 1dari 46

LAPORAN PRAKTIKUM

TINGKAH LAKU IKAN

Oleh:
NAMA : SYAHRUL ALIM
NIM : 185080200111030
KELOMPOK : 20
ASISTEN : FARDATUL LADUNIA

PROGRAM STUDI PEMANFAATAN SUMBERDAYA PERIKANAN


JURUSAN PEMANFAATAN SUMBERDAYA PERIKANAN DAN KELAUTAN
UNIVERSITAS BRAWIJAYA
MALANG
2019
LEMBAR PENGESAHAN
LAPORAN PRAKTIKUM TINGKAH LAKU IKAN

Sebagai salah satu syarat untuk LULUS


Mata kuliah Tingkah Laku Ikan
Di Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan
Universitas Brawijaya
2019

Disusun Oleh :
Nama : Syahrul Alim
NIM : 185080200111030
Kelas : P02
Program Studi : Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan

Malang, November 2019

Mengetahui,
Menyetujui,
Koordinator Asisten
Asisten Pendamping
Tingkah Laku Ikan

Afganny Hilman Nugroho Fardatul Ladunia


NIM. 165080207111016 NIM. 165080201111025
KARTU KENDALI
Identitas Mahasiswa/Praktikan

Nama : Syahrul Alim


FOTO

3X4 NIM : 185080200111030

Beralmamater Kelas : P02

BG. Biru Kelompok : 20

Asisten : Fardatul Ladunia

NO Tanggal Asistensi Keterangan TTD

1.

2.

3.

Malang, November 2019


Koordinator Asisten
Pratikum Tingkah Laku Ikan
KATA PENGANTAR

Puji syukur kita panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan
rahmat serta karunia-Nya sehingga penyusun berhasil menyelesaikan laporan
praktikum ini dengan tepat waktu.
Laporan praktikum ini membahas tentang materi praktikum matakuliah
Tingkah Laku Ikan yang dilaksanakan di kawasan Sendang Biru, kabupaten
Malang Selatan. Dalam laopran ini, penyusun juga memaparkan hasil data-data
selama praktikum berlangsung dengan membandingkan hasil pada literatur-
literatur yang sesuai dengan data yang diperoleh dalam praktikum Tingkah Laku
Ikan.
Penyusun menyadari bahwa laporan praktikum ini masih jauh dari kata
sempurna, oleh karena itu kritik dan saran yang membangun dari semua pihak
sangat penyusun harapkan demi kesempurnaan laporan praktikum ini.
Akhir kata, penyusun sampaikan terima kasih kepada semua pihak yang
telah berperan dalam penyusunan laporan praktikum ini. Semoga dari laporan ini,
kita bisa menambah wawasan tentang Tingkah laku Ikan dan lebih bisa
memperdalam lagi ilmu yang diberikan oleh para Dosen kepada kita semua
sehingga kita bisa mengaplikasikanya dalam dunia pendidikan dan bisa
bermanfaat untuk orang lain.

Malang, November 2019

Penyusun
DAFTAR ISI
DAFTAR GAMBAR
DAFTAR TABEL
DAFTAR GRAFIK
DAFTAR LAMPIRAN
BAB 1. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Tingkah laku ikan sangat dipengaruhi oleh penglihatan yang berhubungan


dengan ketajaman penglihatan, sumbu penglihatan dan jarak pandang maksimum,
sehingga hsil pengkajian organ penglihatan akan memberikan informasi untuk
kegiatan penelitian dan pengembangan metode penangkapan. Perkembangan
metode dan operasi penangkapan ikan sampai saat ini banyak ditentukan oleh
target tangkapannya dengan memanfaatkan tingkahlaku ikan. Pengetahuan
tentang alat tangkap dan tingkah laku ikan yang menjadi sasaran tangkapan
merupakan faktor penting dalam memahami proses penamkapan dari suatu alat
tangkap. Informasi fisiologi penglihatan ikan pada operasi alat tangkap ikan perlu
diketahui. Untuk meningkatkan keberhasilan dalam pengoperasian dalam alat
tangkap ikan perlu diketahui bagaimana cara ikan menghindari sumber bahaya,
meloloskan diri dan kemampuan ikan dalam merubah arah reang. Salah satu
faktor yang mempengaruhi tingkah laku ikan adalah ketajaman penglihatan dari
ikan tertentu, jarak penglihatan yang jelas, kisara dan cakupan penglihatan, warna
yang jelas, dan kemampuan membedakan objek yang bergerak dan objek yang
tidak bergerak. (Fiolita et al., 2017).

Tingkah laku ikan adalah adaptasi tumbuh ikan terhadap pengaruh


llingkungan internal dan eksternal. Pengaruh lingkungan eksternal adalah oksigen,
cahaya, salinitas dan faktor lingkungan lainnya. Yang menjadi faktor internal
adalah kematangan gonad, pertumbuhan. Manfaat mengetahui tingkah laku ikan
dibidang penangkapan ikan antara lain meningkatkan efisiensi alat tangkap dan
membantu dalam managemen perikanan. Dengan mengetahui kapan suatu jenis
ikan melakukan pemijahan, kapan ikan tersebut telah dewasa maka pengaturan
penangkapan ikan berkelanjutan dengan mudah dapat dilakukan. Dalam
manageman penangkapan ikan. Suatu daerah penangkapan (fishing ground)
dapat dilakkukan penutupan jika daerah tersebut merupakan tempat pemijahan
(spawning ground), kapan ikan tersebut melakukan pemijahan harus diketahui
dengan mengetahui tingkah laku ikan tersebut (Mutiara et al., 2014).
Studi terkait tingkah laku ikan umumnya digunakan sebagai informasi dasar
untuk berbagai macam penelitian di bidang penelitian. Selain itu, informasi tentang
tingkah laku ikan dapat dimanfaatkan untuk menentukan jenis alat tangkap yang
sesuai untuk dioperasikan atau mengetahui respon ketertarikan ikan terhadap
suatu objek agar lebih mudah dalam mengumpulkan ikan terdapat perbedaan
respon ikan terhadap cahaya yang mengakibatkan pola pergerakan ikan
mendekati cahaya juga berbeda. Perkembangan teknologi dalam dunia perikanan
telah menghasilkan beberapa alat bantu penangkapan yang dibuat berdasarkan
tingkah laku ikan, salah satunya adalah penggunaaan rumpon, atraktor cahaya
dan atraktor suara (Chairunnisa et al., 2018).

Mempelajari tingkah laku memudahkan kita mengetahui waktu ikan memijah


dan daerah penangkapan dari segerombolan ikan. Penentu keberhasilan dari
operasi penangkapan salah satunya adalah pengetahuan tentang tingkah laku
ikan. Perubahan respon tingkah laku ikan atas lingkungannya terdiri dari 2 faktor
yaitu internal dan eksternal. Faktor eksternal yang mempengaruhi tingkah laku
ikan, yaitu suhu, upwelling, salinitas, arus gelombang, cahaya dan alat tangkap.
Sedangkan faktor internal yang mempengaruhi yaitu kebiasaan makan ikan,
mengelompokkan diri, pemijahan, penyebaran dan migrasi. Aneka tingkah laku
berupa makan, berkelompok, berasosiasi, ruaya, bereproduksi, bergerak dan
berenang.

1.2 Maksud dan Tujuan

Maksud dari dilaksanakan praktikum tingkah laku ikan ini adalah agar
mahasiswa dapat memahami dan menerapkan secara langsung pengetahuan
terkait tingkah laku ikan yang telah didapatkan di bangku perkuliahan dengan
kondisi di lapang.

Sedangkan tujuan pelaksanaan praktikum tingkah laku ikan ini adalah


sebagai berikut:

a. Mahasiswa mampu mengidentifikasi jenis ikan, baik secar morfologi


maupun morfometri.
b. Mahasiswa mampu menentukan Fish Length Frequency.
c. Mahasiswa mampu menentukan hubungan panjang dan berat ikan.
d. Mahasiswa mampu mengetahui Food and Feeding Habit pada ikan.
e. Mahasiswa mampu mengetahui perkembangbiakan ikan melalui
penentuan TKG dan IKG.
f. Mahasiswa mampu memahami hubungan tingkah laku ikan terhadap alat
penangkapan ikan.
g. Mahasiswa mampu menentukan komposisi hasil tangkapan suatu alat
penagkapan ikan sekaligus menginterprestasikannya.
1.3 Waktu dan Tempat pelaksanaan

Praktikum tingkah laku ikan dilaksanakan pada hari

1.4 Kegiatan praktkum

Diharapkan dari praktikum ini mahasiswa dapat :

a. Mengetahui cara mengidentifikasi ikan secara morfologi dan morfometri


beserta hubungannya terhadap tingkah laku ikan secara observasi.
b. Mengetahui hubungan panjang dan berat ikan melalui subtribusi normal.
c. Mengetahui hubungan antara FFH dan TKG terhadap tingkah laku ikan.
d. Mengetahui apa saja faktor-faktor yang dapat mempengaruhi tingkah laku
ikan. Selain itu, dalam usaha penangkapan agar diperoleh suatu
pengetahuan terhadap taktik dan tingkah laku ikan dalam upaya
meningkatkan hasil tangkapan, yang dalam upaya tersebut menggunakan
indera penglihatan dan indrea penciuman serta indera perasa pada ikan
dengan penggunaan cahaya untuk menarik perhatian ikan dan
mengkonsentrasikan ikan.
BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Identifikasi Morfologi dan Morfometri Ikan

2.1.1 Klasifikasi dan Morfologi Ikan

2.1.1.1 Ikan Tuna (Thunnini)

Gambar 1. Ikan Tuna

(Sumber : Fishbase.com, 2019)

Menurut Saanin (1984), ikan tuna berdasarkan taksonominya dapat


diklasifikasikan sebagai berikut:
Filum : Chordata
Subfilum : Vertebrata
Kelas : Teleostei
Subkelas : Actinopterygii
Ordo : Perciformes
Subordo : Scombridei
Family : Scombridae
Genus : Thunnus
Spesies : Thunnus thynnus

Tuna adalah ikan laut yang terdiri dari beberapa spesies dari famili
Scombridae, terutama genus Thunnus. Jenis tuna di Indonesia antara lain
yellowfin, bigeye, skipjack, bluefin, albacore, dan small tuna. Jenis yang paling
banyak ditangkap adalah yellowfin, bigeye, dan skipjack. Untuk membedakan
jenis ikan tuna, selain berdasarkan bentuk juga dapat dilihat berdasarkan tekstur
dan bagian tubuh ikan. Jenis tuna skipjack memiliki tekstur yang sangat berbeda
dengan jenis yang lain, sedangkan jenis bigeye dan yellowfin memiliki tekstur
yang mirip. Kedua jenis ikan tersebut dapat dibedakan berdasarkan kelonjongan
bentuknya. Berdasarkan warna, ketiga jenis ikan tersebut tidak memiki warna
yang beragam yang dapat membedakan jenisnya. Selain melihat faktor bentuk,
tekstur, dan warna, bagian tubuh ikan dapat dijadikan sebagai instrumen
pembeda. Adapun bagian tubuh yang dapat membedakan adalah bentuk dan
panjang sirip, bentuk kepala, mata, dan ekor (Pawening et al., 2016).
Tuna adalah ikan laut pelagik yang termasuk bangsa Thunnini, terdiri dari
beberapa spesies dari famili Scombride, terutama genus Thunnus. Ikan ini adalah
perenang handal (pernah diukur mencapai 77 km/jam). Tidak seperti kebanyakan
ikan yang memiliki daging berwarna putih, daging tuna berwarna merah muda
sampai merah tua. Hal ini karena otot tuna lebih banyak mengandung hemoglobin
daripada ikan lainnya. Beberapa spesies tuna yang lebih besar, seperti tuna sirip
biru Atlantik (Thunnus thynnus), dapat menaikkan suhu darahnya di atas suhu air
dengan aktivitas ototnya. Hal ini menyebabkan mereka dapat hidup di air yang
lebih dingin dan dapat bertahan dalam kondisi yang beragam. Kebanyakan
bertubuh besar, tuna adalah ikan yang memiliki nilai komersial tinggi.
2.1.1.2 Ikan Layang (Decapterus mecrosoma)

Gambar 2. Ikan Layang (Decapterus mecrosoma)

(Sumber : Fishbase.com, 2019)

Menurut Setiawati (2016), klasifikasi ikan layang adalah sebagai berikut:

Filum : Chordata
Subfilum : Vertebrata

Kelas : Actinopterygii

Ordo : Perciformes

Subordo : Percoidei

Famili : Carangidae

Genus : Decapterus

Spesies : Decapterus mecrosoma

Menurut Mamuaja (2014), bagian punggung ikan layang berwarna biru


kehijauan. Bagian perutnya berwarna putih perak sedangkan sirip-siripnya
berwarna kuning kemerahan. Bentuk tubuhnya memanjang dan dapat mencapai
30 cm. Ikan layang memiliki dua sirip punggung. Dua sirip tambahan di belakang
sirip punggung kedua dan satu tambahan di belakang sirip dubur. Ikan layang
memiliki finlet yang merupakan ciri khas dari genus Decapterus.

Ciri khusus ikan layang adalah fisik badannya seperti cerutu, langsing dan
meruncing pada kedua ujungnya. Pada fisiknya ini tinggi ikan lebih besar dari lebar
ikan atau pipih tegak. Pipih melebar, pada fisiknya ini tinggi ikan lebih kecil dari
lebar atau depressed. Lancip memanjang atau bulat panjang, pada fisiknya ini
potongan daging ikan bulat panjang, meruncing pada kedua ujungnya. Pipih
memanjang, pada fisiknya badan ikan pipih tegak dan panjang.

2.1.1.3 Ikan Cakalang (Katsuwonus pelamis)

Gambar 3. Ikan Cakalang (Katsuwonus pelamis)

(Sumber : Informasi kelautan perikanan, 2019)


Menurut Sudarman (2015), cakalang sering disebut skipjack tuna dengan
nama lokal cakalang. Adapun klasifikasi cakalang sebagai berikut:

Filum : Chordata

Kelas : Pisces

Ordo : Perciformes

Famili : Scombridae

Subfamili : Thunninae

Genus : Katsuwonus

Spesies : Katsuwonus pelamis

Menurut Nurjannah et al., (2014), ikan cakalang yang digunakan memiliki


bentuk tubuh torpedo dengan 2 sirip punggung yang pertama berjari-jari keras dan
yang kedua berjari-jari keras dan berjari-jari lemah. Badan cakalang berbentuk
cerutu dan tidak bersisik kecuali di daerah lapisan sirip dada. Ikan cakalang
memiliki morfologi yang mirip dengan ikan tongkol karena berasal dari genus yang
sama. Perbedaan ikan cakalang dengan ikan tongkol adalah bagian langit-langit
pada mulut ikan cakalang yang tidak bergerigi sedangkan perut belang-belang
hitam membujur.

Ikan cakalang termasuk ikan perenang yang cepat dan juga mempunyai pola
makan tidak teratur atau rakus. Ikan cakalang juga hidup bergerombol atau
membentuk suatu kelompok dalam skala yang besar. Ikan cakalang juga senang
melawan arus. Ikan ini mencari makan berdasarkan pada pengelihatannya.
Pernah ada cakalang terbesar yang ditemukan yang mempunyai panjang badan
mencapai 1 meter dan berat lebih dari 18 kg. Cakalang yang banyak tertangkap
biasanya berukuran panjang sekitar 50cm. Makanan cakalang berupa crustacea,
cephalopoda, dan molusca.

2.1.2 Habitat Ikan

2.1.2.1 Ikan Tuna (Thunnini)

Menurut Hariyanto et al., (2015), Indonesia memiliki tingkat


keanekaragaman hayati yang tinggi baik di darat maupun di laut. Indonesia
merupakan salah satu daerah coral triangle yang dipercaya sebagai asal dari
seluruh hewan laut yang ada di dunia. Letak Indonesia sangat strategis yaitu
berada di antara Benua Asia dan Australia serta Samudra Pasifik dan Hindia.
Perairan Indonesia yang sangat luas menyimpan banyak jenis ikan dan hasil laut
lainnya yang memiliki nilai ekonomi penting. Potensi perikanan diIndonesia masih
sangat berlimpah, salah satunya adalah potensi perikanan ikan tuna yang terdapat
di Samudra Hindia yang belum termanfaatkan secara optimal.
Menurut Noegroho et al., (2015), ikan tongkol dan tenggiri dapat
dimasukkan sebagai kelompok ikan tuna neritik. Tuna neritik adalah kelompok
ikan tuna yang habitat hidupnya di perairan neritik atau perairan dangkal dengan
kedalaman kurang dari 200 meter. Termasuk kelompok ini antara lain tongkol
abu-abu atau longtail tuna (Thunnus tonggol), tongkol komo/kawakawa atau
eastern little tuna (Euthynnus affinis), tongkol krai atau frigate tuna (Auxis thazard),
lisong atau bullet tuna (Auxis rochei), tenggiri atau narrow-barred spanish
mackerel (Scomberomorus commerson) dan tenggiri papan atau indo-pasific king
mackerel (Scomberomorus guttatus).
Tuna memiliki bentuk tubuh уаng sedikit banyak mirip dеngаn torpedo,
disebut fusiform, sedikit memipih dі sisi-sisinya dan dеngаn moncong meruncing.
Sirip punggung (dorsal) dua berkas, sirip punggung pertama berukuran relatif kecil
dan terpisah dаrі sirip punggung kedua. Dі bеlаkаng sirip punggung dan sirip dubur
(anal) terdapat sederetan sirip-sirip kecil tambahan уаng disebut finlet. Tuna
memiliki kemampuan untuk menjaga suhu tubuh lebih tinggi daripada suhu
lingkungan. Sеbаgаі predator уаng aktif dan lincah, tuna memiliki tubuh уаng
ramping, dan merupakan salah satu ikan pelagis tercepat. Tuna sirip kuning
misalnya, mampu berenang dеngаn kecepatan hіnggа 75 km / jam (47 mph).
2.1.2.2 Ikan Layang (Decapterus mecrosoma)

Menurut Dahlan et al., (2015), ikan layang (Decapterus mecrosoma) adalah


salah satu jenis ikan pelagis yang tertangkap di perairan Kabupaten Barru,
Sulawesi Selatan. Ikan pelagis merupakan ikan yang hidup di daerah permukaan.
Ikan layang hidup di kolom perairan dengan bergerombol. Ikan layang termasuk
ikan dengan komoditi ekonomi ekonomi yang tinggi. Ikan layang umumnya
ditangkap dengan menggunakan alat tangkap antara lain bagan, jarring insang
(gillnet), payang dan pukat cincin.
Menurut Bubun dan Amir (2016), ikan layang (Decapterus mecrosoma)
dikelompokkan sebagai ikan pelagis yang menyukai habitat oseanik. Distribusi
ikan layang dapat ditemukan di seluruh perairan dunia. Dapat tersebar pada
perairan tropis dan subtropics di Indo-Pasifik dan Lautan Atlantik. Salinitas
perairan yang disenangi oleh ikan layang berkisar antara 30‰ - 34‰. Suhu
perairan memiliki peranan penting bagi penyebaran ikan layang. Suhu perairan
untuk ikan layang berkisar antara 20˚C - 30˚C. Ikan layang dapat ditemukan
sepanjang tahun di Selat Sunda, Selat Makassar, Teluk Ambon, Teluk Kupang,
Sulawesi Tenggara dan Teluk Tomini.

Penyebaran ikan layang (Decapterus kurroides) di Indonesia terdapat di


perairan Pasifik barat Indonesia, perairan Afrika Timur sampai Filiphina, perairan
utara sampai selatan Jepang, perairan selatan sampai barat Australia. Lingkungan
ikan layang (Decapterus kurroides) cukup berbeda dengan jenis genus
Decapterus lainnya, ikan ini berada di kedalaman 100-300 m, dan biasanya berada
di kedalaman 150-300 m, dan biasa berinteraksi di karang.

2.1.2.3 Ikan Cakalang (Katsumonus pelamis)

Menurut Angraeni et al., (2014), suhu perairan yang disukai ikan cakalang
berada pada kisaran 29,5˚C sampai 31˚C. Ikan cakalang yang tertangkap
sebagian besar berada pada daerah thermal front yang memiliki kedalaman 300-
1.900 meter. Perkiraan hasil tangkapan ikan cakalang berkisar 2.290 ekor, dengan
kisaran suhu 29-32˚C, kisaran klorofil-a antara 0,15-0,23 mg/m³ dengan selisih
suhu 0,4-1,1˚C ditemukan di perairan Kabupaten Luwu dan Kabupaten Kolaka
Utara dengan posisi 4˚40’LS-5˚10’LS dan 120˚40’BT-121˚BT.

Menurut Rochman et al., (2015), menyatakan bahwa penyebaran cakalang


di perairan Indonesia meliputi Samudera Hindia (perairan barat Sumatera, Selatan
Jawa, Bali dan Nusa Tenggara), perairan Inonesia bagian timur (Laut Sulawesi,
Maluku, Arafuru, Banda, Flores dan Selat Makassar) dan Samudera Pasifik. Ikan
cakalang bermigrasi jarak jauh dan menempati perairan tropis maupun subtropis.
Keberadaan mangsa, temperature yang sesuai dan oksigen yang mencukupi
sangat berpengaruh nyata terhadap kelangsungan hidup ikan cakalang. Sebagai
konsekuensinya, distibusi spasial ikan cakalang bersifat musiman dan berpola
tahunan.
Tampaknya Decapterus ruselli senang hidup di perairan dangkal seperti Laut
Jawa, sedangkan Decapterus macrosoma tersebar di perairan laut seperti di selat
Bali. Decapterus kurroides tergolong ikan yang langka antara lain terdapat di Selat
Bali, Labuhan dan Pelabuhan Ratu (Jawa Barat). Decapterus maruadsi termasuk
ikan layang yang berukuran besar, hidup di laut dalam seperti Laut Banda
tertangkap pada kedalaman 100 meter lebih. Ikan layang termasuk jenis ikan
perenang cepat, bersifat pelagis, tidak menetap, dan suka bergerombol. Jenis ikan
ini tergolong stenohaline, hidup di perairan yang berkadar garam tinggi.
2.1.3 Ciri Khusus Ikan

2.1.3.1 Ikan Tuna (Thunnini)

Menurut Swastana et al (2016), Ikan Southern Blufin Tuna (SBT) adalah


jenis tuna besar. Ikan jenis ini bisa berenang dengan cepat, beruaya sangat jauh
(highly migratory), dan merupakan jenis ikan pelagis besar. Warna tubuh ikan SBT
memiliki warna tersendiri dari warna jenis ikan tuna lainnya. Warnanya yaitu pada
punggung ikan memiliki warna biru tua agak kehitam-hitaman sedangkan bagian
bawah atau perutnya memiliki warna putih terang tetapi agak keperakperakan.
Daerah operasi penangkapan SBT di Indonesia umumnya berada di Wilayah
Pengelolaan Perikanan Republik Indonesia (WPP-RI) 573, di sekitar perairan
Samudera Hindia sebelah Selatan Jawa dan Bali.
Menurut Kalor et al., (2015) albakora/longfin tuna spesies ini merupakan
spesies epipelagis dan mesopelagis. Ikan albakora hidup pada kisaran suhu 13.5–
25.2°C. Warna tubuh bagian atas kebiru-biruan dan berkilat, bagian bawah putih
perak, sirip berwarna abu-abu dengan warna kuning, ujungnya berwarna gelap.
Memiliki berat berkisar antara 20-39,9 kg, dapat mencapai panjang 94-100 cm.
Kisaran panjang dari Ikan albakora ini yaitu 40-100cm.
Ikan Tuna (Thunus sp) merupakan ikan pelagis besar yang hidup di kolom
perairan. Ikan Tuna (Thunus sp) mempunyai daya jelajah yang sangat jauh, yaitu
antar samudera. Ikan Tuna (Thunus sp) yang ada di perairan indonesa banyak
sekali jenisnya, namun yang bernilai ekonomis tinggi adalah yellow fin tuna (Thunus
sp) (madidihang) dan southern blue fin tuna (Thunus sp). Pada southern blue fin
tuna (Thunus sp) merupakan ikan yang sangat mempunyai nilai ekonomis tinggi
jika menuju pasar internasional atau diekspor. Ikan tuna mayoritas berada di
Samudera Pasifik dan Samudera Hindia. Di Indonesia daerah persebaran tuna
secara horizontal meliputi perairan barat dan selatan sumatera, selatan Jawa, Bali,
dan NTT. Ikan tuna betina dewasa lenbih banyak ditemukan di daerah tropis. Ikan
tuna dewasa ditemukan setiap tahun di daerah sekitar barat dan tengah Samudera
Hindia, meskipun juga jarang di bagian timur pada April hingga Desember.
2.1.3.2 Ikan Layang (Decapterus mecrosoma)

Menurut Sangaji et al., (2016), ikan layang termasuk suku Carangidae ini
biasa hidup bergerombol. Ukurannya sekitar 15 cm meskipun ada pula yang bisa
mencapai 25 cm. ciri khas yang sering dijumpai pada ikan layang ialah terdapatnya
sirip kecil (finlet) di belakang sirip punggung dan sirip dubur dan terdapat sisik
berlingir yang tebal (lateral scute) pada bagian garis sisi. Bagian punggung ikan
layang berwarna biru kehujiauan. Ikan ini memiliki ciri khas mempunyai sirip ekor
yang berwarna merah, sirip kecil di belakang sirip punggung dan sirip dubur,
terdapat gurat sisi.

Menurut Umar et al., (2019), ikan layang memiliki dua ciri kunci khusus yakni
pertama sirip kecil terpisah-pisah yang terdapat dibelakang sirip punggung dan
sirip anal/dubur yang disebut finlet. Dan kedua memiliki sisik berlingir yang tebal
(lateral scute) pada bagian sisi (lateral line). Ukuran ikan layang terpanjang adalah
ikan layang Jepang yaitu Decapterus muroadsi yang mencapai 50 cm. Ikan layang
memiliki bentuk tubuh fusiform. Dengan bentuk dasar bundar tetapi bila dilihat
secara keseluruhan bagian tubuh maka bentuknya seperti torpedo. Dimana bagian
yang terbesar berada pada sekitar 30-40% panjang total, dari arah depan
(anterior), kemudia meruncing kearah belakang (posterior). Posisi mulut terminal
dimana rahang atas dan rahang bawah relatif sama panjang, memiliki lima jenis
sirip dengan dua sirip pinggung dedangklan posisi sirip perut berada di bawah sirip
dada arau toracik dan bentuk sirip ekor bercagak. Ikan layang memiliki guirat sisik
atau garis yang terbentuk oleh adanya pori-pori yang tersusun secara teratur pada
tubuh ikan.

Ciri khusus ikan layang adalah fisik badannya seperti cerutu, langsing dan
meruncing pada kedua ujungnya. Pada fisiknya ini tinggi ikan lebih besar dari lebar
ikan atau pipih tegak. Pipih melebar, pada fisiknya ini tinggi ikan lebih kecil dari
lebar atau depressed. Lancip memanjang atau bulat panjang, pada fisiknya ini
potongan daging ikan bulat panjang, meruncing pada kedua ujungnya. Pipih
memanjang, pada fisiknya badan ikan pipih tegak dan panjang.
2.1.3.3 Ikan Cakalang (Katsumonus pelamis)

Menurut Pundoko et al., (2014), cakalang memiliki bentuk tubuh fusiform,


memanjang dan membulat. Gigi-giginya kecil dan berbentuk kerucut dalam seri
tunggal. Ikan ini memiliki tapis insang 53-62 buah. Bagian punggung hingga dad
berwarna biru agak violet, sedangkan bagian perut berwarna keputih-putihan
hingga kuning muda. Ciri yang paling khas dari ikan cakalang adalah terdapatnya
4-6 garis-garis warna hitam yang memanjang pada bagian samping badan. Ikan
cakalang memiliki dua sirip punggung yang terpisah dengan jarak yang kecil.

Menurut Jatmiko et al., (2015) cakalang merupakan highly migratory spesies


yang disribusinya dari perairan tropis hingga perairan sub-tropis. Spesies ini
melakukan bebrapa kali pemijahan pada daerah dimana suhu permukaan laut
lebih tinggi dari 24˚C. Cakalang mempunyai sifat pemijahan asynchronous,
dimana dalam satu irisan gonad terdapat beberapa ukuran oosit. Keadaan ini
seperti yang terjadi pada ikan tuna sirip kuning. Cakalang melakukan pemijahan
sepanjang tahun dan telur dikeluarkan secara bertahap dalam waktu yang
panjang.

Ikan cakalang termasuk ikan perenang yang cepat dan juga mempunyai pola
makan tidak teratur atau rakus. Ikan cakalang juga hidup bergerombol atau
membentuk suatu kelompok dalam skala yang besar. Ikan cakalang juga senang
melawan arus. Ikan ini mencari makan berdasarkan pada pengelihatannya.
Pernah ada cakalang terbesar yang ditemukan yang mempunyai panjang badan
mencapai 1 meter dan berat lebih dari 18 kg. Cakalang yang banyak tertangkap
biasanya berukuran panjang sekitar 50cm. Makanan cakalang berupa crustacea,
cephalopoda, dan molusca.

2.1.4 Tingkah Laku Ikan Berdasarkan Tipe Renang Ikan

Menurut Yusuf et al., (2016), berdasarkan FAO kecepatan renang ikan


schooling rata-rata 1,1 m/s. Kecepatan renang ikan cakalang dengan kisaran
panjang 30 cm kemampuan renang ikan sekitar 1,6 m/s. Ikan layang dengan
kisaran panjang 15 cm berkemampuan renang ikan sekitar 1,3 m/s. Jenis ikan
tembang memiliki kecepatan renang 1,0 m/s, cakalang sekitar 1,6 m/s, mackerel
1,3 m/s. Kecepatan renang ikan jenis tuna 10 m/s, mackerel 3,3 m/s dengan
kisaran panjang 30 cm, herring dewasa 1 m/s kisaran panjang 20 cm, herring muda
0,5 m/s kisaran panjang 10 cm. Kecepatan pergerakan ikan sardine (Sardinops
sagax) sekitar 0,6-1,59 m/s, lama ikan sardine memecah gerombolannya sekitar
2 menit dan menyatu kembali sekitar 5 menit.
Menurut Zulkhasyni (2015), perairan laut Bengkulu cukup kaya terdapat
berbagai jenis perikanan yang dapat dijadikan sumber penghasilan bagi nelayan
untuk memenuhi kebutuhan masyarakat local, Nasional maupun Internasional
terutama jenis–jenis ikan pelagis besar yang ada di perairan Indonesia termasuk
Bengkulu antara lain : ikan cakalang, tuna, tongkol, kakap, salmon dan tenggiri,
dan banyak dijadikan di konsumsi oleh masyarakat walaupun harganya mahal.
Ciri-ciri ikan cakalang adalah ikan perenang cepat, yang hidup diperairan lepas
dan bergerombol (schooling) sewaktu mencari makan. Kecepatan renang ikan ini
dapat mencapai 50 km/jam. Kemampuan renang ini merupakan salah satu faktor
yang menyebabkan penyebarannya dapat meliputi skala ruang (wilayah geografis)
yang cukup luas, termasuk diantaranya beberapa spesies yang dapat menyebar
dan bermigrasi lintas Samudera.
Bentuk tubuh ikan layang yang memanjang dan pipih membuat ikan ini
mempunyai kemampuan berenang cepat. Penentuan titik kecepatan efektif
diperoleh dengan meningkatkan kecepatan kapal sampai titik tertentu dimana hasil
tangkapan mencapai titik konstan. Kecepatan kapal dimulai dari 6,8 knot sampai
7,3 knot yang mengatakan bahwa kecepatan renang ikan pelagis kecil seperti ikan
layang, ikan kembung dan ikan lemuru sekitar 5 knot. Ciri-ciri ikan cakalang adalah
ikan perenang cepat, yang hidup di perairan lepas dan bergerombol (schooling)
sewaktu mencari makan. Kecepatan renang ikan ini mencapai 50 km/jam.
Kemampuan renang ini merupakan salah satu factor yang menyebabkan
penyebarannya dapat meliputi skala ruang (wilayah geografis) yang luas,
termasuk diantaranya beberapa spesies yang dapat menyebar dan bermigrasi
lintas Samudera.
2.2 Fish Length Frequency

2.2.1 Pengertian Fish Length Frequency

Menurut Desrita et al., (2016), sebaran frekuensi panjang aadalah distribusi


ukuran panjang pada kelompok panjang tertentu. Sebaran frekuensi panjang
didapatkan dengan menentukan selang kelas, nilai tengah kelas dan frekuensi
dalam setiap kelompok panjang. Sebaran frekuensi panjang yang telah
ditentukan dalam masing-masing selang kelas, diplotkan dalam sebuah grafik
untuk melihat jumlah distribusi normalnya. Dari grafik tersebut dapat terlihat
jumlah puncak yang menggambarkan jumlah kelompok umur (kohort) yang ada.
Bila terdapat lebih dari satu kohort, maka dilakukan pemisahan distribusi normal.
Panjang total diukur mulai dari ujung mulut hingga ujung cagak ekor
menggunakan penggaris dengan ketelitian 1 mm. Pada penelitian ini secara
keseluruhan distribusi selang ukuran panjang ikan jantan dan betina terlihat tidak
seimbang. Sebaran berdasarkan hasil tangkapan yang diperoleh di masing-
masing lokasi penelitian setiap bulan, terjadi pergeseran dominasi selang ukuran
tertentu.

Menurut Jutan et al., (2018), Indonesia dikenal sebagai negara kepulauan


terbesar, beriklim tropis dan memiliki stok keanekaragaman sumberdaya hayati
tertinggi (mega biodiversity) dengan berbagai jenis sumberdaya perikanan. Data
distribusi ukuran ikan yang tertangkap berguna sebagai informasi tingkat
efektifitas alat tangkap yang digunakan dan dapat mengidentifikasi fungsi habitat
dari ikan tersebut berdasarkan pada rata-rata ukuran ikan yang tertangkap dari
waktu ke waktu. Sebaran frekuensi panjang adalah distribusi ukuran panjang
pada kelompok panjang tertentu. Sebaran frekuensi panjang didapatkan dengan
menentukan selang kelas, nilai tengah kelas, dan frekuensi dalam setiap
kelompok panjang. Sebaran frekuensi panjang yang telah ditentukan dalam
masing-masing kelas, diplotkan dalam sebuah grafik untuk melihat jumlah
distribusi normalnya. Dari grafik tersebut dapat terlihat jumlah puncak yang
menggambarkan jumlah kelompok umur (kohort) yang ada. Metode yang dapat
digunakan untuk memisahkan distribusi komposit ke dalam distribusi normal
adalah metode Bhattacharya. Analisa terhadap hubungan panjang berat
dilakukan untuk mengetahui pola pertumbuhan individu. Pertumbuhan individu
atau penambahan dalam ukuran berat dari suatu organisme terhadap waktu
dapat diketahui dengan menggunakan formula.

Frekuensi panjang adalah keadaan dimana nilai hasil tangkapan dengan


ukuran panjang ikan mulai dari muka terdepan hingga ekor terbelakang. Data
frekuensi panjang diambil dari sebuah sampel yang dominan. Selain itu, data
frekuensi panjang bisa diambil dengan menangkap ikan dengan alat tangkap
pancing misalnya. Waktu juga mempengaruhi hasil tangkapan yang akan diambil
data frekuensi panjang. Adanya perbedaan jumlah tangkapan antara sore dan
pagi hari, diduga hal ini berkaitan dengan metode alat tangkap pancing tersebut

.
2.2.2 Hubungan Tingkah Laku Ikan dengan Fish Length Frequency

Menurut Amalia (2014), analisis kelompok umur dilakukan berdasarkan


distribusi frekuensi panjang total dari ikan yang diamati pada setiap waktu
pengambilan sampel. Analisis sebaran frekuensi panjang dapat digunakan untuk
menduga umur ikan dan kelompok umur ikan. Hal ini disebabkan frekuensi
panjang ikan tertentu menggambarkan umur yang sama dan cenderung
membentuk sebaran normal. Penangkapan ikan pada usia muda sangat
mempengaruhi stok dari sumber daya ikan tersebut.

Menurut Karman et al., (2016), pendugaan pertumbuhan cakalang dengan


terlebih dahulu menentukan frekuensi panjang. Selanjutnya ditentukan kelompok
umur cakalang dengan metode Tanaka. Hasil pengelompokkan Cohort terhadap
data frekuensi panjang diperoleh panjang rata-rata dari tiap kelompok umur
sehingga diperoleh bentuk kurva pertumbuhannya. Pendugaan nilai koefisien
pertumbuhan (K) dan panjang infinity (L∞) diperoleh berdasarkan pada metode
Ford-Walford (Sparre & Vanema, 1999), yaitu dengan cara meregresikan panjang
cakalang pada umur t (Lt) dengan panjang cakalang pada umur t+1 (Lt+1),
sehingga didapat persamaan parame- ter pertumbuhan K= -Ln.b dan L∞=a/(1-b).
Kemudian untuk menghitung nilai t0 yang merupakan umur teoritis cakalang
digunakan rumus empiris (Pauly, 1983) yaitu: log (-t0) = -0,3922 – 0,2752logL =
-1,038logK.

Tingkah laku ikan erat hubungannya dengan panjang tubuh mereka.


Panjang tubuh ikan dapat menjadi salah satu tingkah laku yang salingberpengaruh
terhadap frekuensi panjang tubuhnya adalah kebiasaan makan. Kebiasaan makan
ikan herbivore membuatnya memiliki usus yang sangat panjang mencapai 5 kali
panjang tubuhnya, begitu juga sebaliknya dengan ikan karnivora. Panjang tubuh
ikan dapat membantu dalam penentuan usia ikan.

2.3 Hubungan Panjang dan Berat Ikan

2.3.1 Pengertian Pertumbuhan

Menurut Baalu et al., (2018) Pertumbuhan adalah perubahan ukuran baik


panjang dan bobot dalam satuan waktu. Sementara itu, pertumbuhan mutlak
adalah selisih antara pertambahan bobot pada akhir dan awal penelitian. Analisis
statistik menunjukkan yang tidak berbeda nyata terhadap pertumbuhan mutlak
bobot, pertumbuhan mutlak panjang, laju pertumbuhan spesifik bobot, laju
pertumbuhan spesifik panjang, tingkat kelangsungan hidup, rasio konversi pakan,
konsumsi pakan (P > 0,05). Pertumbuhan ikan terjadi jika jumlah makanan
melebihi kebutuhan untuk pemeliharaan tubuhnya.

Menurut Agustin et al., (2014), Pertumbuhan pada ikan didefinisikan sebagai


perubahan berat atau panjang dalam waktu tertentu. Pertumbuhan pada ikan
merupakan suatu proses biologis yang dipengaruhi banyak faktor baik internal
maupun eksternal. Pakan merupakan sumber energi bagi organisme untuk dapat
hidup, tumbuh dan berkembang. Pada kondisi lingkungan yang optimal
pertumbuhan ikan ditentukan oleh jumlah dan mutu pakan yang dikonsumsi. Oleh
sebab itu, perlu dilakukan penyempurnaan teknologi dan metode budidaya ikan
agar dapat meningkatkan produksi budidaya.

Pertumbuhan adalah perubahan ukuran individu, biasanya pertumbuhan diukur


dalam satuan panjang, berat dan atau energi. Dalam hubungannya dengan waktu,
pertumbuhan didefinisikan sebagai ukuran rata-rata ikan pada waktu tertentu dan
perubahan panjang atau berat pada awal periode. Pertumbuhan dapat dinyatakan
secara kuantitatif karena pertumbuhan dapat diketahui dengan cara melihat
perubahan yang terjadi pada makhluk hidup yang bersangkutan. Pertumbuhan
diiringi dengan perkembangan pada makhluk hidup itu sendiri. Pada ikan
pertumbuhan ini mempengaruhi besar, tingkat kematangan gonad, maupun
bertumbuhnya organ-organ dalam ikan.

2.3.2 Faktor yang Mempengaruhi Pertumbuhan

Faktor yang mempengaruhi pertumbuhan ikan adalah kandungan protein


dalam pakan, sebab protein berfungsi membentuk jaringan baru untuk
pertumbuhan dan menggantikan jaringan rusak. Kekurangan protein berpengaruh
negatif terhadap konsumsi pakan. Konsekuensinya terjadi penurunan
pertumbuhan bobot. Kelebihan protein dan lemak, nafsu makan ikan
berkurang.Nilai nutrisi (gizi) pakan pada umumnya dilihat dari komposisi zat gizi
dan berapa komponen nutrisi yang penting dan harus tersedia dalam pakan,
antara lain protein, lemak, karbohidrat dan vitamin (Baalu et al., 2018).

Kandungan bakteri pada probiotik dapat menyebabkan tingginya aktivitas


bakteri pada saluran pencernaan dan perbedaan jumlah bakteri probiotik yang
terkandung dapat mempengaruhi laju pertumbuhan ikan. Kecenderungan laju
pertumbuhan yang tinggi erat kaitannya dengan jenis probiotik dan spesies ikan,
dimana jenis bakteri yang tidak beragam diduga menyebabkan jumlah bakteri
mencapai nilai optimum untuk kebutuhan perrtumbuhan ikan. Faktor yang
mempengaruhi tinggi rendahnya efisiensi pakan adalah jenis sumber nutrisi dan
jumlah dari masing-masing komponen sumber nutrisi dalam pakan tersebut.
Jumlah dan kualitas pakan yang diberikan kepada ikan berpengaruh terhadap
pertumbuhan ikan. Semakin tinggi nilai efisiensi pakan maka respon ikan terhadap
pakan tersebut semakin baik yang ditujukkan dengan pertumbuhan ikan yang
cepat (Hariadi dkk, 2005 dalam Arief M. et al 2014).

Faktor-faktor yang mempengaruhi pertumbuhan dibedakan menjadi dua yaitu


faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal merupakan faktor yang
sukar/sulit dikontrol meliputi faktor sex, umur, parasit, penyakit genetik dan kondisi
fisiologis ikan. Sedangkan faktor eksternal antara lain makanan dan suhu perairan,
komposisi kualitas kimia dan fisika air, bahan buangan metabolik serta
ketersediaan pakan dan penyakit. Kedua faktor tersebut akan menyeimbangkan
keadaan tubuh ikan selama dalam media pemeliharaan dan menunjang
pertumbuhan tubuh ikan. Logam berat dapat menggangu laju pertumbuhan ikan.
Toksisistas logam berat timbal (Pb) dapat memberikan pengaruh terhadap laju
pertumbuhan ikan, semakin lama pemaparan timbal akan semakin tinggi
konsentrasi timbal menurunkan laju pertumbuhan.

2.3.3 Pertumbuhan Alometrik dan Isometrik


Bila ikan SBT (Shourtern Blue Fin Tuna) yang ditangkap memiliki berat >130
cm, maka tipe pertumbuhannya akan bersifat alometrik positif yang dapat
menunjukan bahwa laju pertumbuhan bobot ikan SBT lebih besar dari laju
pertumbuhan panjangnya. Perbedaan tersebut kemungkinan disebabkan oleh
jumlah sampel dan waktu pengambilan sampel yang tidak sama serta kondisi
perairan di Samudra Hindia yang berbeda-beda setiap bulannya. Dengan kata lain,
laju pertumbuhan panjang ikan SBT di Samudera Hindia bagian perairan selatan
Jawa, Bali, dan Nusa Tenggara selama Januari 2016 sama dengan laju
pertumbuhan bobotnya. Dari nilai b = 3.075 yang diperoleh dan setelah dilakukan
uji t (α= 0.05) terhadap nilai b, maka didapatkan bahwa nilai b adalah sama dengan
3 (b = 3) yang berarti bahwa ikan SBT memiliki pola pertumbuhan isometrik. hasil
tangkapan ikan SBT yang ditangkap di bagian selatan Samudera Hindia
mengindikasikan bahwa bila ikan SBT yang ditangkap memiliki berat < 130 cm,
dalam artian jika tipe relatif berbentuk alometrik negatif dan cenderung isometrik
yang menggambarkan pertambahan panjang lebih cepat dari pada pertambahan
beratnya (Shiao et al., 2008 dalam Swastana et al., 2016).
Pola pertumbuhan isometrik jika diketahui b = 3, yang berarti pertumbuhan
ikan seimbang antara pertumbuhan panjang dengan pertumbuhan bobotnya.
Tetapi jika nilai b < 3 berarti pertambahan panjangnya lebih cepat daripada
pertambahan bobotnya (alometrik negatif). Dan jika b > 3 maka pertambahan
bobotnya lebih cepat dari pertambahan panjangnya (alometrik positif). Untuk
mengetahui nilai b = 3 atau b ≠ 3 maka dilakukan Uji-t. Tipe pertumbuhan alometrik
negatif (minor) (b < 3) dimana pertambahan panjang tubuh lebih cepat daripada
pertambahan bobot tubuhnya. Hal tersebut berdasrkan uji t terhadap nilai b dimana
nilai t hitung > t tabel (Nur, 2017).

Dalam pertumbuhan terdapat 2 macam yaitu pertumbuhan alometrik dan


pertumbuhan isometrik. pertumbuhan alometrik merupakan pertumbuhan berat
dan panjang ikan tidak sama yang artinya panjang ikan akan relativ sama dan
berat ikan akan relatie cepat. Sedangkan Pertumbuhan isometric adalah
pertumbuhan yang memilki arti yang sama sama panjang dan berat tumbuh secra
bersamaan. Hubungan isometric dan alometrik dapat saja berubah dari suatu
populasi akibat factor lingkungan yang berbeda.

2.3.4 Hubungan Panjang dan Berat Ikan

Menurut Effendie (1997) dalam Wahyudewantoro (2014), wilayah perairan


mangrove TNUK sangat mendukung untuk pertumbuhan beberapa jenis ikan.
Hubungan panjang berat menunjukkan pertumbuhan yang bersifat relatif yang
berarti dapat dimungkinkan berubah menurut waktu. Apabila terjadi perubahan
terhadap lingkungan dan ketersediaan makanan diperkirakan nilai ini juga akan
berubah. Perubahan bobot ikan dapat dihasilkan dari perubahan pakan dan
alokasi energi untuk tumbuh dan reproduksi, yang mengakibatkan bobot ikan
berbeda walaupun panjangnya sama.

Menururt Effendi (1997) dalam Ihsan (2017), hubungan panjang berat ikan
merupakan pengetahuan yang wajib diketahui dalam bidang biologi ditujukan
untuk kepentingan pengelolaan perikanan. Hubungan panjang berat dimaksudkan
untuk mengukur variasi berat harapan untuk panjang tertentu dari ikan secara
individual atau kelompok individu sebagai suatu petunjuk tentang kegemukan,
kesehatan, perkembangan gonad dan sebagainya. Penelitian ini hubungan
panjang berat hanya digunakan untuk melihat pola berat tuna madidihang
berdasarkan waktu. Berat ikan dapat dianggap sebagai suatu fungsi dari
panjangnya dan hubungan panjang berat hampir mengikuti hukum kubik. Nilai b
biasanya berkisar antara 2.5 sampai 4.0. Bentuk tubuh ikan yang ideal memiliki
nilai b = 3. Hukum kubik dari hubungan panjang berat memiliki nilai yang hampir
mendekati 3.

Pengukuran panjang berat merupakan cara yang digunakan untuk


mengetahui variasi dari ikan. Analisa hubungan panjang–berat juga dapat
mengestimasi faktor kondisi atau sering disebut dengan index of plumpness, yang
merupakan salah satu hal penting dari pertumbuhan untuk membandingkan
kondisi atau keadaan kesehatan relatif populasi ikan atau individu tertentu.
Hubungan panjang dan berat ikan adalah suatu hal yang penting dalam
pengelolaan sumberdaya perikanan. Morfometrik merupakan salah satu cara yang
dapat digunakan untuk mengetahui keanekaragaman suatu spesies dengan
melakukan pengujian terhadap karakter morfologi secara umum. Informasi
morfometrik sangat berguna untuk mengkaji variasi bentuk akibat adanya
perbedaan. Selain itu informasi morfometrik sering juga digunakan dalam
taksonomi dan mendeskripsikan ikan.

2.4 Food and Feeding habbit

2.4.1 Pengertian Food and Feeding Habbit

Menurut Anisa et al., 2015. Berdasarkan kebiasaan makanannya, ikan dapat


digolongkan dalam jenis herbivora, karnivora, ataupun omnivora. Ikan herbivora
adalah ikan pemakan tumbuh-tumbuhan. Ikan karnivora adalah ikan pemakan
daging. Ikan omnivora adalah ikan pemakan tumbuhan dan hewan. Persaingan
dalam hal makanan, baik antara spesies maupun antara individu dalam spesies
yang sama akan mengurangi persediaan makanan, sehingga yang diperlukan oleh
ikan tersebut menjadi pembatas. Ini mempengaruhi tingkat pertumbuhan, hanya
ikan-ikan yang kuat dalam persaingan yang akan tumbuh dengan baik. Kebiasaan
makan suatu species ikan perlu dikaji jika ingin ikan tersebut dijadikan ikan
peliharaan.
Menurut kurnia et al., 2018. Makanan yang dimakan oleh ikan dapat berupa
fitoplankton, zooplankton, benthos atau ikan kecil lainnya. Kebiasaan makanan
ikan (food habits) adalah kuantitas dan kualitas makanan yang dimakan oleh ikan,
sedangkan kebiasaan cara memakan (feeding habits) adalah waktu, tempat dan
caranya makanan itu didapatkan oleh ikan. Kebiasaan makanan dan cara
memakan ikan secara alami bergantung pada lingkungan tempat ikan hidup. Salah
satu tujuan kebiasaan makanan (food habits) ikan dimaksudkan untuk mengetahui
pakan yang dimakan oleh setiap jenis ikan. Faktor-faktor yang mempengaruhi jenis
dan jumlah makanan yang dikonsumsi oleh suatu spesies ikan adalah umur,
tempat dan waktu. Makanan mempunyai fungsi yang sangat penting dalam
kehidupan suatu organisme dan merupakan salah satu faktor yang dapat
menentukan luas persebaran suatu spesies serta dapat mengontrol besarnya
suatu populasi. Berdasarkan kebiasaan makanannya, ikan dapat dibedakan atas
tiga golongan, yaitu herbivora, karnivora, dan omnivora.

Kebiasaan makanan (feeding habbit) adalah tingkah laku saat mengambil


dan mencari makanan. Analisis food and feeding habbit dilakukan melalui
pengamatan isi usus ikan tersebut. Berdasarkan jenis kelompok makanannya ikan
dibagi 3 kelompok besar yaitu herbivora, karnivora, dan omnivora. Berdasarkan
jumlah variasi dari macam-macam makanan tadi, ikan dapat dibagi menjadi
euryphagic yaitu ikan pemakan bermacam-macam makanan, stenophagic ikan
pemakan yang macamnya sedikit atau sempit dan monophagic ikan yang
makananya terdiri dari satu macam makanan saja.

2.4.2 Tingkah Laku Berdasarkan Food and Feeding Habbit

Waktu makan ikan tuna madidihang, yang lebih dominan mencari makanan
disore hari dengan struktur ukuran panjang cagak lebih besar. Secara fisiologi
kemungkinan disebabkan oleh pembakaran energi yang terlalu besar disiang hari
akibat pergerakan yang terlalu tinggi untuk melakukan migrasi sehingga proses
metabolisme juga meningkat. Peningkatan metabolisme tersebut menyebabkan
tuna madidihang harus mencari suplai energi untuk menggantikannya, sekaligus
sebagai cadangan makanan malam hari. Ikan tuna aktif mencari makan di pagi
hari dan sore hari. Pada malam hari dipergunakan untuk melakukan aktifitas
pemijahan yang sudah matang gonad (Kantun, 2014).
Menurut Supadminingsih et al., 2015. Tingkah laku ikan sangat berperan
dalam kebiasaan makan dan pola tingkah laku disekitarnya. Salah satu tingkah
laku kepiting bakau adalah memakan sesama atau kanibal. Sifat kanibal ini tidak
terjadi pada kepiting usia juvenile dimana tidak tertarik pada kepiting yang sedang
moulting dan hewan yang terluka. Tingakah laku kepiting juvenile ini dapat di
indikasikan bahwa kepiting bakau dengan ukuran yang berbeda memiliki respon
yang berbeda-beda terhadap stimulus. Frekuensi tertinggi kepiting bakau aktif
mencari makanan yaitu pada pukul 16:00-17:00. Feeding periodicity ini juga
bergantung pada distribusi dan konsentrasi makanan serta kondisi lingkungan
perairan sekitarnya.Kondisi lingkungan perairan yang tercemar dapat
menyebabkan feeding periodicity berubah-ubah, bahkan dapat meyebabkan
terhentinya pengambilan makanan.

Tingkah laku ikan sangat berpengaruh terhadap kebiasaan ikan dalam


mencari makan. Hal ini disebabkan karena adanya interaksi antar spesies seperti
persaingan. Apabila suatu persaingan itu tinggi, maka ikan cenderung lebih agresif
daripada saat mencari makan. Hal lain yang mempengaruhi tingkah laku ikan yaitu
dari lingkungan itu sendiri. Faktor biotik dan abiotik pun menjadi hal yang dapat
menentukan ketersediaan sumber makanan sehingga hal ini dapat mempengaruhi
tingkah laku ikan dalam mencari pakan. Secara fisiologi kemungkinan disebabkan
oleh pembakaran energi yang terlalu besar disiang hari akibat pergerakan yang
terlalu tinggi untuk melakukan migrasi sehingga proses metabolisme juga
meningkat.

2.4.3 Penggolongan Ikan Berdasarkan Tipe Usus dan Isi Lambung

Ikan Cakalang memiliki lambung berbentuk menyerupai kantung yang besar


dan memanjang. Hal ini diduga untuk menyesuaikan dengan kebiasaan ikan
tersebut yang memangsa makanan dalam jumlah besar dan juga diduga
berhubungn dengan bentuk makanan yang berupa ikan yang bentuknya
memanjang serta kebiasaannya langsung menelan mangsa secara utuh dan
menyimpannya sementara waktu di lambung untuk dicerna lebih lanjut. panjang
usus ikan Cakalang tidak melebihi panjang totalnya, hal ini menunjukkan bahwa
ikan Cakalang merupakan jenis ikan karnivora. Ikan karnivora mempunyai usus
yang pendek atau panjang usus ikan karnivora dapat lebih pendek daripada
panjang tubuhnya. Kondisi tersebut dikarenakan makanan ikan Cakalang berupa
daging, sehingga dalam proses pencernaannya tidak memerlukan proses yang
lama seperti pada ikan pemakan tumbuhan atau herbivora (Setya et al., 2014).

Menurut Sianaga et al., (2014), Lambung Ikan baung (M. nemurus C.V) yang
berisi adalah 33 lambung dan 7 lambung dalam keadaan kosong. Ikan baung yang
ditemukan pada penelitian ini adalah jenis karnivora. Mengetahui penggolongan
ikan baung dapat melalui tipe-tipe lambung ikan dan panjang usus ikan. Lambung
ikan baung bentuknya memanjang seperti huruf J yang merupakan ciri-ciri
lambung ikan karnivor dan ikan baung memiliki panjang usus 300 mm dengan
ukuran panjang total tubuhnya 330 mm yang merupakan ciri-ciri usus karnivor.
Beberapa penelitian menunjukan bahwa ikan baung termasuk jenis ikan karnivora
dengan susunan makanan yang terdiri atas ikan, insekta, udang, annelida,
nematoda, detritus, sisa-sisa tumbuhan, atau organik lainnya.

Tiga macam sifat makan ikan, jika dilihat dari perbandingan rentang panjang
usus dengan panjang total ikan. Jika panjang usus lebih panjang dibanding
panjang total ikan dan tidak mempunyai lambung, sifat makan ikan adalah
herbivore. Untuk ikan karnivora ususnya relative paling pendek dan memiliki
lambung. Jenis ikan karnivora memiliki usus yang pendek atau dapat dikatakan
panjang usus ikan karnivora lebih pendek daripada panjang tubuhnya. Kondisi
tersebut dikarenakan makanan ikan cakalang adalah daging, sehingga dalam
proses pencernaannya tidak memerlukan proses lama seperti pada ikan pemakan
tumbuhan atau herbivora. Ikan omnivora termasuk golongan ikan yang memakan
segala yang mulai dari binatang dan tumbuhan. Ikan golongan ini mempunyai
sistem pencernaan antara bentuk herbivora dan karnivora. Ikan herbivora adalah
golongan ikan yang memakan bahan tumbuhan air seperti fitoplankton. Bentuk
usus ikan golongan ini panjang, berliku-liku dan berdinding tipis. Ikan golongan ini
tidak mempunyai gigi dan mempunyai tapis insang yang lembut sehingga dapat
menyaring fitoplankton.

2.4.4 Food and Feeding Habbit Berdasarkan Morfologi ikan

Menurut Brown et al., (2016) Ikan demersal adalah jenis ikan yang
habitatnya berada di bagian dasar perairan, dapat dikatakan juga bahwa ikan
demersal adalah ikan yang tertangkap dengan alat tangkap ikan dasar. Ikan Bawal
Laut (Stromateuscinereus) adalah jenis ikan demersal dan memiliki badan sangat
pipih lateral (punggung bongkok), moncong sangat pendek, sirip dada tidak
runcing seperti bawal hitam dan tidak mempunyai sirip perut. Warna tubuhnya abu
keunguan dibagian atas, dan putih perak di bagian bawah.Termasuk pemakan
plankton, makanannya plankton kasar (invertebrata). Hidup di perairan sampai
kedalaman 100 m, sering masuk ke perairan payau dan membentuk gerombolan
besar. Ikan gulama (Pseudociennaamovensis) adalah ikan yang termasuk ke
dalam jenis ikan demersal. Ikan gulama mempunyai bentuk badan memanjang,
seluruh bagian kepala tertutup sisik kecuali ujung moncong. Pada dagu tidak
mempunyai janggut. Sirip punggung tidak terputus, dengan lekukan yang dalam
antara bagian sirip yang berjari-jari keras dengan bagian sirip yang berjari-jari
lemah. Tipe gelembung renangnya ottolithides. Termasuk jenis ikan omnivora
namun lebih cenderung ke karnivora, pakan alaminya ikan kecil, udang, serasah.
Ikan gulama ini termasuk ikan yang bernilai ekonomis dan habitatnya di perairan
pantai yang dangkal.

Ciri – ciri fisik pada ikan demersal baik itu bentuk mulut, sirip dan warna tubuh
adalah gambaran karakter memangsa dari jenis-jenis ikan demersal yang
ditemukan pada saat penelitian, dari hasil yang telah didapat pada identifikasi
setiap jenis ikan demersal diatas yaitu pada ciri fisik dari jenis ikan yang memiliki
sirip perekat pada dada maupun mulut jenis dari ikan demersal tersebut. Ikan yang
mempunyai sirip perekat cenderung memiliki sirip perekat berfungsi untuk
menempel pada bebatuan agar tidak terbawa arus sungai dan cenderung memiliki
bentuk mulut sub-terminal serta memilki bentuk tubuh dan warna berbeda dan
sering memiliki kebiasaan memakan lumut yang menjadi makanan pokoknya,
seperti ikan uceng, ikan uceng merah, ikan uceng biru, ikan uceng putih, ikan sapu-
sapu, dan ikan lempiras. Lain halnya Ikan sapu-sapu bukan merupakan ikan asli
Indonesia melainkan merupakan jenis ikan hasil introduksi dari Brazil.Ikan
demersal yang memiliki bentuk mulut terminal cenderung bersifat karnivora dan
sering mencari makanan pada substrat pasir pada dasar sungai. Ikan demersal
yang memiliki fisik tanpa sirip perekat mengindikasikan bahwa ikan tersebut
memangsa dengan menyambar terutama pada substrat berpasir dan cenderung
mencari mangsa berupa hewan macrozoobenthos yang bergerak dan
bersembunyi pada dasar substrat pasir perairan sungai sebagai tempat berlindung
dari arus yang deras contoh ikan tersebut adalah ikan beboso, ikan beboso mulut
panjang, ikan gabus atau jeleg, ikan kuyuh, ikan kelepek batu, ikan uduhan, ikan
jajung dan ikan bebengal (Yudha et al., 2018).
Kebisaan hidup dalam lingkungannya, kebiasaan cara makan ikan
ditentukan oleh bentuk morfologi ikan, yaitu bentuk dan ukuran mulut, rahang,
serta gigi. Variasi pada tiap-tiap spesies ikan merupakan spesialisasi struktur
dalam penyesuaian fungsi ekologi yang memberikan ikan tersebut suatu
keuntungan tertentu dari pada ikan lain yang tidak mempunyai bentuk tersebut.
Keadaan demikian untuk beberapa spesies ikan tertentu yang hidup dalam suatu
lingkungan yang khas memberikan kemungkinan yang sangat kecil dalam
persaingan interspesifik, dengan kata lain bahwa spesies tertentu akan
mengadakan penyesuaian yang menguntungkan dalam cara pengambilan
makanan terhadap lingkungannya.

2.5 Aspek Reproduksi Ikan

2.5.1 Pengertian TKG

TKG merupakan satu tingkatan kematangan seksual pada ikan. Sebagian


besar hasil metabolisme digunakan selama fase perkembangan gonad.
Menyatakan bahwa setiap TKG tertentu menunjukkan nilai kisaran diameter telur
tertentu yang terbanyak, sehingga pada ikan betina TKG dapat ditentukan dengan
ukuran diameter telur dan distribusinya di dalam ovarium. Faktor utama yang
menentukan kecepatan pematangan gonad ikan adalah pakan yang diberikan
selama pematangan tersebut. Hal ini karena bahan dasar dalam pembentukan sel
telur dan sel sperma tersebut berasal dari hasil metobolime dari pakan yang
diberikan, terutala untuk ikan betina proses pematangan ini dikenal dengan proses
vitelogenesis. Bahan dasar dalam proses pematangan gonad terdiri atas
karbohidrat, lemak dan protein. Sehingga dalam melakukan pematangan calon
induk untuk usaha pembenihan biasanya para pembenih selalu memberikan
pakan yang mengandung protein tinggi pada pellet yang diberikan. Tingkat
kematangan gonad dapat dipergunakan sebagai penduga status reproduksi ikan,
ukuran dan umur pada saat pertama kali matang gonad, proporsi jumlah stok yang
secara produktif matang dengan pemahaman tentang siklus reproduksi bagi suatu
populasi atau spesies Indeks kematangan gonad ikan dihitung dengan cara
membandingkan antara berat gonad dengan berat tubuh yang berisi gonad
dikalikan seratus (Tarigan, 2017).

Menurut Nasution et al., (2016), tahap kematangan gonad akan diketahui


bilamana organisme itu akan memijah, baru memijah dan sudah memijah, maka
hasil pengamatan selama penelitian diperoleh beberapa tingkat kematangan
gonad. Semakin meningkatnya tingkat kematangan gonad pada ikan tentu akan
meningkatkan pula volume gonad dan akan menambah berat individu ikan
tersebut. Hal ini dikarenakan dengan meningkatnya ukuran diameter telur dan
berat gonad juga meningkat. Pemahaman tentang tahapan kematangan gonad ini
maka akan sangat memungkinkan untuk memperkirakan kapan waktunya ikan
tersebut memijah, baru memijah atau sudah selesai memijah. Mengetahui ukuran
ikan untuk pertama kali gonadnya menjadi masak, ada hubunganya dengan
pertumbuhan ikan itu sendiri dan faktor-faktor lingkungan yang mempengaruhinya.
Syandri (1996) dalam Nasution et al. (2016), menyatakan bahwa selama
perubahan yang terjadi di dalam ovarium dan testis, maka terjadi pula perubahan
bobot dan volume gonad yang menjadi tolak ukur dalam penentuan tingkat
kematangan gonad (TKG). Tahap-tahap kematangan gonad diperlukan untuk
mengetahui perbandingan ikan yang akan melakukan reproduksi dan tidak
melakukan reproduksi.

Tingkat kematangan gonad adalah tahapan perkembangan gonad sebelum


dan sesudah ikan memijah. Penentuan tingkat kematangan gonad antara lain
dengan mengamati perkembangan gonad. Dalam proses reproduksi,
perkembangan gonad yang semakin matang merupakan bagian dari proses
produksi ikan sebelum pemijahan. Selama itu, sebagian besar hasil metabolisme
tertuju pada perkembangan gonad. Berat gonad akan maksimal pada waktu ikan
akan memijah. Tingkat kematangan gonad terdiri atas 5 kelas, dimana setiap kelas
memiliki fase-fase tertentu.

2.5.2 Faktor yang mempengaruhi TKG

Tingkat kematangan gonad (TKG) adalah tahap-tahap tertentu


perkembangan gonad sebelum dan sesudah memijah. Tingkat Kematangan
Gonad Ikan Jantan dan betina ditentukan melalui pengamatan secara morfologis.
Pengamatan morfologis tingkat kematangan gonad ikan dilakukan sesuai dengan
jenis kelamin. Pada ikan betina yang diamati adalah bentuk, ukuran, warna,
kehalusan, pengisisan ovarium dalam rongga tubuh rongga tubuh, warna dan
ukuran telur dalam ovarium. Sedangkan untuk ikan jantan yang diamati adalah
bentuk, ukuran, warna dan pengisin testes dalam rongga tubuh serta keluar
tidaknya cairan dari testes (keadaan segar). Adanya kecenderungan semakin
tinggi TKG maka kisaran Panjang dan berat tubuh semakin tinggi. Selain itu
dijumpai pula ikan dengan ukuran kisaran panjang dan berat yang sama tidak
mempunyai TKG yang sama. Hal ini dapat disebaskan oleh kondisi lingkungan
dimana ikan tersebut hidup, ada tidaknya ketersediaan makanan, suhu, salinitas,
dan kecepatan pertumbuhan ikan itu sendiri dikatakan selanjutnya bahwa
perbedaan awal mula suatu individu ikan mengalami matang gonad disebabkan
umur, ukuran dan faktor fisiologi ikan itu sendiri. (Tarigan et al., 2017).

Menurut Safarini et al., (2017) Penentuan TKG dilakukan secara visual


berdasarkan bentuk morfologi gonad. Selanjutnya, ditentukan volume gonad total
(gr). Sementara untuk mendapatkan data fekunditas, diambil contoh dari bagian
anterior, middle, posterior. Gonad contoh kemudian dipilih sebagai sampel untuk
menentukan diameter telur. Analisis indeks kematangan gonad dilakukan untuk
mengetahui puncak pemijahan dengan formula mengkalikan BG (berat gonad total
(gram)) dan BT (berat tubuh (gram)). Semakin tinggi indeks gonad, peluang ikan
menunjukkan kondisi ikan yang kematangan gonadnya semakin berkembang. Ada
dua faktor yang mempengaruhi TKG (Tingkat Kematangan Gonad) yaitu faktor
dalam (jenis ikan, hormon) dan faktor luar (suhu, makanan, intensitas cahaya, dll).

Ukuran matang gonad untuk setiap spesies ikan berbeda, demikian pada
ikan yang sama spesiesnya jika tersebar pada lintang yang berbeda lebih dari lima
derajat akan mengalami perbedaan ukuran dan umur pertama kali matang gonad.
Ada dua faktor yang mempengaruhi saat pertama kali ikan matang gonad yaitu
faktor luar dan faktor dalam. Faktor yang mempengaruhi kematangan gonad jenis
crustacea adalah manipulasi hormon, pakan dan lingkungan atau media hidup.
Pemberian pakan yang berkualitas dan dalam jumlah yang cukup dapat
meningkatkan kualitas induk. Pakan sangat besar pengaruhnya terhadap
kematangan gonad, baik jantan maupun betina, oleh sebab itu pemilihan pakan
yang tepat sangat berperan penting terhadap proses kematangan gonad.

2.5.3 GSI (Gonad Somatic Indexs)

Gonad Somatic Indeks (GSI), yaitu perbandingan antara berat gonad


dengan berat tubuh ikan. Gonad yang semakin matang merupakan bagian dari
vitellogenesis, yaitu terjadinya pengendapan kuning telur, sehingga terjadi
perubahan-perubahan diantaranya pertambahan berat gonad. Tingkat
Kematangan gonad pada ikan dapat diketahui dengan menghitung Gonad Somatic
Indeks (GSI) ikan. Gonad Somatic Indeks (GSI) dapat dihitung dengan menimbang
berat tubuhnya Induk ikan betina sebelum memijah dan sesudah memijah untuk
menentukan berat gonad. Berat gonad diperoleh dengan berat tubuh ikan sebelum
memijah dikurangi berat tubuh sesudah memijah. Gonado Somatic Indeks (GSI)
dapat untuk menentukan ikan memijah sepanjang tahun atau memijah per musim.
(Setyaningrum et al., 2016).

Menurut Nainggolan et al., (2015), GSI (Gonad Somatic Indeks) merupakan


rasio gonad dengan bobot badan induk. Nilai GSI dengan kematangan gonad
memiliki hubungan linier sehingga berdampak pada fekunditas yang dihasilkan.
Nilai GSI cenderung meningkat karena vitellin disalurkan ke gonad hingga
mencapai ukuran maksimal. Proses vitelogenesis ini menyebabkan nilai Gonad
Somatic Index (GSI) ikan meningkat. Peningkatan nilai GSI selanjutnya akan
memengaruhi fekunditas. Fekunditas merupakan jumlah telur yang dihasilkan
(butir/g induk). GSI dihitung dengan menggunakan rumus membagi nilai Bobot
ovarium dengan Bobot badan ikan di kali 100 persen. Ada beberapa faktor yang
mempengaruhi nilai GSI selain pakan bernutrisi yang memengaruhi reproduksi
adalah proses hormonal atau endokrin. Hormon akan bekerja apabila mendapat
signal dari lingkungan.

Gonad Somatic Indeks (GSI) yaitu suatu nilai dalam persen sebagai hasil
dari perbandingan berat gonad dengan berat tubuh ikan termasuk gonad dikalikan
dengan 100%. Dengan nilai tersebut akan di dapatkan bahwa sejalan dengan
perkembangan gonad, indek itu akan semakin bertambah besar dan nilai tersebut
akan mencapai batas kisar maksimum pada saat akan terjadi pemijahan. Untuk
tingkat kematangan gonad tertentu nilai indek tidak merupakan suatu nilai
melainkan nilainya merupakan suatu nilai batas kisar.

2.6 Alat Penangkapan Ikan

2.6.1 Longline

2.6.1.1 Pengertian Longline

Rawai tuna atau tuna longline merupakan salah satu alat tangkap yang
sangat efektif untuk menangkap tuna. Dalam pengoperasianya rawai tuna jug
menangkap jenis-jenis lain selain tuna yang dikenal dengan sebutan hasil tangkap
sampingan (HTS atau by-catch) yang tertangkap secara tidak sengaja dikarnakan
adanya keterkaitan secara ekologi. Komposisi jumlah dan jenis spesies ikan target
dan ikan hasil tangkap sampingan rawai tuna sangat dipengaruhi oleh konfigurasi
alat tangkap terutama posisi mata pancing didalam air (the depth of hooks), kapan
dan dimana melakukan penangkapan yang berhubungan dengan habitat,
penyebrangan dan kebiasaan hidup dari spesies tersebut (Novianto, 2014).

Rawai adalah alat tangkap yang terdiri dari tali-tali cabang yang dilengkapi
dengan mata pancing. Rawai pada pengoperasianya adalah dengan dihanyutkan
pada perairan dan menunggu ikan memangsa umpan yang terpasang oleh mata
pancing. Rawai juga tergolong alat tangkap yang ramah lingkungan karena
memiliki selektivitas yang tinggi serta tidak memberikan dampak besar terhadap
lingkungan maupun sumberdaya. Rawai merupakan salah satu alat tangkap yang
memiliki selektivitas yang tinggi dengan skor 3 yaitu menangkap ikan kurang dari
3 spesies. Selektivitas rawai terletak pada mata pancingnya (Subehi, 2017).

Longline merupakan alat tangkap yang memiliki variasi baik dalam beberapa
ukuran, struktur maupun besar kecilnya jenis umpan yang digunakan untuk
menangkap ikan yang menjadit target penangkapan. Dari sisi konstruksi, longline
terdiri dari tali utama (main line), tali cabang (branch line), tali pelampung,
pemberat, bendera, pancing (hook), dan tali temalinya. Longline juga merupakan
alat tangkap yang memiliki banyak mata pancing, dan dioperasionalkan secara
horizontal pada dasar perairan. Alat tangkap longline biasanya dioperasikam di
daerah samudera. Longline merupakan alat tangkap pasif karena memiliki prinsip
menunggu sasaran. Longline merupakan alat tangkap yang selektif, namun
demikian masih ada hasil tangkapan sampingan yang seharusnya tidak
tertangkap.

2.6.1.2 Metode Pengoperasian Longline

Rawai tuna atau tuna longline merupakan salah satu alat tangkap yang
sangat efektif untuk menangkap tuna. Dalam pengoperasianya rawai tuna jug
menangkap jenis-jenis lain selain tuna yang dikenal dengan sebutan hasil tangkap
sampingan (HTS atau by-catch) yang tertangkap secara tidak sengaja dikarnakan
adanya keterkaitan secara ekologi. Komposisi jumlah dan jenis spesies ikan target
dan ikan hasil tangkap sampingan rawai tuna sangat dipengaruhi oleh konfigurasi
alat tangkap terutama posisi mata pancing didalam air (the depth of hooks), kapan
dan dimana melakukan penangkapan yang berhubungan dengan habitat,
penyebrangan dan kebiasaan hidup dari spesies tersebut. Pengoperasian rawai
tuna komersia; di Indonesia pada umumnya multi spesies yaitu mereka tidak
hanya menangkap tuna namun mereka juga menangkap beberapa spesies yang
memiliki nilai jual yang akan memberikan tambahan penghasilan untuk mereka
(Novianto, 2014).

Pancing range adalah jenis pancing rawai yang dioperasikan secara vertikal
(vertical longline). Pancing range (vertical longline) dioperasikan diatas perahu
(lepa-lepa) oleh seorang nelayan / ABK. Waktu pengoperasiannya pada waktu
subuh (pagi hari) dan pada saat waktu maghrib (sore hari). Pada saat
pengoperasian pancing, perahu berjalan sambil menghela tali pancing. Pancing
rangge (vertical longline) dioperasikan selama kurang lebih 20 menit untuk setiap
kali seting dan dioperasikan di kedalaman 25-30 meter dibawah permukaan laut
(Rahmat, 2017).

Metode pengoperasian longline yaitu alat tangkap yang telah tersusun rapi
dalam basket pada bagian buritan kapal/perahu dipersiapkan. Disamping itu,
disiapkan pula pelampung dan pemberat yang masing-masing ditempatkanpada
posisi yang berdekatan dengan alat tangkap longline. Kemudian dilakukan
kegiatan operasi penangkapan yang diawali dengan kegiatan yang disebut setting.
Setting merupakan kegiatan penurunan alat tangkap longline ke dalam perairan.
Kegiatan setting dilakukan selama 1-2 jam dan dilaksanakan oleh dua orang.
Kegiatan ini dilaksanakan dalam posisi kapal atau perahu berjalan dengan
perlahan.

2.6.1.3 Hasil Tangkapan Longline

Hasil tangkapan berdasarkan tipe rawai tuna pertengahan diperoleh


tangkapan ikan target sebesar 26,31 % terdiri dari 4 jenis dominan tuna, ikan hasil
tangkap sampingan sebesar 16,72% terdiri dari 24 spesies yang memiliki nilai
ekkonomi (by-product) dan ikan yang tidak termanfaatkan dan dibuang kembali ke
laut, biasany dalam kondisi terluka atau mati (discards) 56,97% yang terdiri dari 7
spesies ikan dan satu spesies penyu. Sementara hasil tangkapan rawai tuna tipe
dalam diperoleh hasil ikan target 25,62%, ikan hasil tangkap sampingan sebanyak
42,15% terdiri dari 16 spesies dan 32,22% ikan discard yang terdiri dari 16 spesies
ikan (Novianto, 2014).

Total hasil tangkapan 5 jenis alat tangkap pancing berkapal penongkol pada
salah satu trip penangkapan di bulan September (kapal contoh) masih sedikit
sebesar 447 kg. Dari total hasil tangkapan tersebut 27% (120 kg) diantaranya
adalah hasil tangkapan pancing rangge (vertical longline). Hasil tangkapan
pancing rangge (vertical longline) didominasi oleh jenis ikan cakalang (Katsueonus
pelamis) sebesar 69%, jenis ikan lainnya terdiri dari ikan tenggiri (Scomberomous
sp.) 16%, tongkol (Auxis sp.) 9% dan jenis ikan tuna (Thunus sp.) 6%. Pada saat
pengoperasian alat tangkap masih berlangsung, jenis ikan yang tertangkap
sementara disimpan diatas lepa-lepa. Ikan hasil tangkapan selanjutnya
dipindahkan dan disimpan di dalam palkah ikan yang terdapat di kapal induk dan
diberi es curah untuk menjaga mulut ikan (Rahmat, 2017).

Alat tangkap ini tujuan penangkapannya adalah ikan dasar (demersal).


Beragamnya hasil tangkapan longline atau rawai dibago menjadi dua hasil
tangkapan yaitu hasil tangkapan utama dan sampingan. Hasil tangkapan utama
antara lain yaitu tuna dan ikan pelagis lainnya. Biasanya hasil tangkapan dari
longlinea dalah ikan-ikan pelagis. Jenis-jenis tuna hasil tangkapan dari longline
meliputi tuna mata besar dan yellow tuna. Sedangkan hasil tangkapan sampingan
dibagi menjadi dua yakni by-catch (masih memiliki nilai ekonomis) seperti
cakalang dan pari. Kemudian discard (tidak memiliki nilai ekonomis) seperti penyu
dan lain-lain.

2.6.1.4 Tingkah Laku Ikan Terhaddap Longline

Rawai dasar merupakan salah satu jenis alat tangkap yang hasil
tangkapannya terdiri dari ikan demersal. Besar kecilnya hasil tangkapan pada
perikanan rawai dasar bergantung pada jumlah dan kualitas umpan, baik umpan
hidup maupun umpan buatan. Umpan yang dipergunakan dalam kondisi mati yakni
umpan cumi-cumi, ikan tembang dan ikan kembung. Umpan dipasang dengan
cara selang- seling dalam setiap basketnya. Adanya perbedaan hasil tangkapan
dengan menggunakan jenis umpan cumi-cumi, tembang dan kembung,di duga di
sebabkan oleh respon ikan terhadap jenis umpan yang berkaitan dengan indra
penciuman dan indra perasa pada ikan lebih sensitive terhadap jenis umpan cumi-
cumi, karena bentuk, warna, ketahanan dan aroma yang khas dapat menarik
perhatian ikan. Jenis-jenis ikan yang tertangkap secara umum dengan
menggunakan alat tangkap rawai dasar selama penelitian dilakukan adalah ikan
kerapu sebesar 32.32% merupakan hasil tangkapan tertinggi dan terendah ikan
lencam sebesar 20.20%. Ikan-ikan yang tertangkap tidak ada yang mendominasi.
Hal ini mengindikasikan bahwa ikan-ikan demersal hidup berdampingan dengan
spesies lainnya (Kantun et al., 2014).
Pada alat tangkap pasif, cara menarik perhatian ikan dari sasarannya
diantaranya dengan menggunakan umpan. Dalam melakukan proses
penangkapan ikan remang (Muraenasox talabon) menggunakan alat tangkap
pancing rawai diperairan Rembang, nelayan menggunakan ikan juwi (Sardinella
melanostica) sebagai umpan rangsangan. Untuk memperkaya hasil penelitian,
digunakan 2 jenis umpan yang berbeda untuk mengetahui perbedaan hasil
tangkapan ikan remang (Muraenasox talabon) yaitu ikan petek segar dan ikan
petek yang diasinkan dikarenakan harga yang lebih murah dibanding ikan juwi.
Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis jumlah hasil tangkapan ikan remang
(Muraenasox talabon) dan untuk mengetahui jenis umpan yang paling
berpengaruh terhadap hasil tangkapan. Penelitian ini bermanfaat untuk
mengetahui perbedaan hasil tangkapan menggunakan jenis umpan yang berbeda
(Pamuntjak, 2017).

Adanya perbedaan hasil tangkapan dengan menggunakan jenis umpan


cumi-cumi, tembang dan kembung,di duga di sebabkan oleh respon ikan terhadap
jenis umpan yang berkaitan dengan indra penciuman dan indra perasa pada ikan
lebih sensitive terhadap jenis umpan cumi-cumi, karena bentuk, warna, ketahanan
dan aroma yang khas dapat menarik perhatian ikan, untuk memperkaya hasil
penelitian, digunakan 2 jenis umpan yang berbeda untuk mengetahui perbedaan
hasil tangkapan ikan remang (Muraenasox talabon) yaitu ikan petek segar dan
ikan petek yang diasinkan dikarenakan harga yang lebih murah dibanding ikan
juwi.

2.6.2 Purse Seine

2.6.2.1 Pengertian Purse Seine

Umumnya alat tangkap purse seine terdiri dari badan jaring, kantong,
selvedge, pelampung, pemberat, tali ris atas, tali ris bawah, tali kerut dan cincin-
cincin. Panjang rata-rata alat tangkap jaring purse seine ‘Gardan’ yaitu 400 meter.
Bentuk konstruksi dari alat tangkap ini adalah trapesium. Ukuran ketebalan
benang jaring bagian serampat baik bawah maupun atas biasanya lebih tebal
agar tidak putus karena untuk menahan beban tarikan ketika pengangkatan
jaring ke atas kapal. Tali ris atas terdiri dari tali pelampung dan tali penguat ris
atas, sedangkan tali ris bawah terdiri dari tali pemberat dan tali penguat ris bawah.
Bagian kantong pada alat tangkap ini terbagi menjadi 3 bagian. Letak kantongnya
berada di pinggir alat tangkap. Lebar jaring ini bisa mencapai 60 meter. Ukuran
mata jaring yang digunakan pada alat tangkap ini adalah berukuran 1’’ dan
¾’’. Jenis bahan alat ini adalah PA (polyamide) untuk bagian jaringnya, tali%temali
berjenis bahan PE (polyethylene), bahan pelampungnya adalah PVC (polyvynil
chloride), pemberat bahannya adalah timah hitam berbentuk melinjo, dan
cincinnya terbuat dari kuningan. Jarak antar pelampungnya adalah 15 cm, jarak
antar pemberatnya adalah 8,9 cm, dan jarak antar cincin adalah 3 meter.
Pelampung tanda yang digunakan berbentuk bola dengan jumlah 2 buah (Pratama
et al., 2016).

Purse seine merupakan alat tangkap yang bersifat multi species, yaitu
menangkap lebih dari satu jenis ikan. Dalam banyak kasus sering ditemukan
ukuran mesh size alat tangkap purse seine yang sangat kecil, hal ini dapat
berpengaruh terhadap hasil tangkapan yang didapatkan. Hal yang mungkin saja
akan di pengaruhi adalah ukuran ikan dan komposisi jenis hasil tangkapan antara
jumlah hasil tangkapan utama dan hasil tangkapan sampinga. ukuran mata jaring
(mesh size) yang digunakan untuk operasi penangkapan pada purse seine
tergolong sangat kecil hal ini memungkinkan menangkap ikan jenis lain dan ikan
yang berukuran kecil. Kesamaan habitat antara ikan target dan non target
menyebabkan beragamnya hasil tangkapan (Rambun et al., 2017).

Purse seine disebut juga “pukat cincin” karena alat tangkap ini dilengkapi
dengan cincin untuk mana “tali cincin” atau “tali kerut” di lalukan di dalamnya.
Fungsi cincin dan tali kerut atau tali kolor ini penting terutama pada waktu
pengoperasian jaring. Sebab dengan adanya tali kerut tersebut jaring yang tadinya
tidak berkantong akan terbentuk pada tiap akhir penangkapan. Prinsip menangkap
ikan dengan purse sein adalah dengan melingkari suatu gerombolan ikan dengan
jaring, setelah itu jaring bagian bawah dikerucutkan, dengan demikian ikan-ikan
terkumpul di bagian kantong. Dengan kata lain dengan memperkecil ruang lingkup
gerak ikan. Ikan-ikan tidak dapat melarikan diri dan akhirnya tertangkap. Fungsi
mata jaring dan jaring adalah sebagai dinding penghadang, dan bukan sebagai
pengerat ikan.

2.6.2.2 Metode Pengoperasian Purse Seine

Metode pengoperasian purse seine ‘Gardan’ PPP Muncar, Banyuwangi


adalah meliputi persiapan operasi penangkapan ikan meliputi pemeriksaan alat
tangkap, mesin motor sebagai penggerak kapal dan mesin diesel sebagai tenaga
untuk penerangan lampu, perahu sekoci (pela) dan kondisi kapal. Kemudian,
nelayan harus menentukan fishing ground. Penurunan jaring (setting) dimulai
dengan menurunkan pelampung tanda terlebih dahulu dan diikuti secara
bersamaan pada bagian bawah, kantong dan atas alat tangkap hingga kembali
pelampung tanda awal ketika pertama kali diturunkan. Penarikan jaring (hauling)
dilakukan jika kedua ujung jaring telah bertemu. Kemudian ditarik sampai semua
bagian bawah mengerucuti gerombolan ikan (Pratama et al., 2016).
Penangkapan ikan dengan menggunakan purse prinsipnya yaitu dengan
melingkari gerombolan ikan dengan jaring, kemudian bagian bawah jaring
dikerutkan sehingga ikan tujuan penangkapan akan terkurung dan pada akhimya
terkumpul pada bagian kantong. Dengan kata lain memperkecil ruang lingkup
gerakan ikan, sehingga ikan tidak dapat melarikan diri dan akhimya tertangkap.
Ada beberapa tahapan dalam kegiatan penangkapan ikan dengan menggunakan
alat tangkap purse seine yaitu: 1) Menemukan kawanan ikan terlebih dahulu, yaitu
di sekitar rumpon rumpon yang telah dipasang 2) Menghidupkan lampu atractor. 3)
Proses setting, menurunkan alat tangkap. 4) Setelah jaring selesai diturunkan dan
juga pecilen sudah melakukan tugasnya, cahaya lampu akan difokuskan kepada
satu titik. Kemudian tahap selanjutya adalah surrounding. 5) Pursing, yaitu menarik
tali kerut pada bagian bawah jaring agar jaring membentuk seperti kantong dan
menjebak ikan di dalamnya 6) Tahapan akhir adalah hauling, yaitu menaikan jaring
ke kapal, lama proses ini tergantung pada gerombolan ikan yang berhasil di
kurung. 7) Jika hasil tangkapan yang ada di jaring terlalu banyak sehingga tidak
dimungkinkan untuk menarik jaring bersama ikan, maka cara yang dilakukan
adalah menyerok ikan ke atas kapal terlebih dahulu sampai sekiranya sudah
mampu untuk angkat dilakukan penarikan jaring atas kapal (Noegroho et al., 2015)
Metode pengoperasian alat tangkap purse sein ini adalah kegiatan
penangkapan ikan yang dilakukan dengan melingkari ikan yang telah terpokus
dengan cahaya lampu dengan menggunakan kapal induk. Sesuai nahkoda kapal
mengisyaratkan dalam kegiatan penangkapan. Pengoperasian alat tangkap di
perlukan tehnik penangkapan ikan. Sebelum alat tangkap diturunkan terlebih
dahulu melihat kondisi cuaca, seperti arus, dan gelombang disesuaikan dengan
alat tangkap yang akan di turunkan kedalam perairan. Setelah dilihat tidak
mengalami kesulitan maka kegiatan penangkapan dengan alat tangkap purse sein
dapat dioperasikan.
2.6.2.3 Hasil Tangkapan Purse Seine

Hasil identifikasi ikan hasil tangkapan purse seine menunjukan alat


tangkap purse seine berhasil menangkap 14 spesies ikan. Hasil tangkapan
tersebut dibagi kedalam dua kategori, yaitu hasil tangkapan utama dan hasil
tangkapan sampingan. Total hasil tangkapan yang tercatat selama penelitian
sebanyak 75.945 ekor dengan bobot total 9.092 kg.Ikan bentong memiliki bobot
1.939 kg atau 21,3% dari bobot seluruh hasil tangkapan. Hasil tangkapan
sampingan terbesar pertama adalah ikan tongkol Ikan tongkol yang tertangkap
terdiri dari 2 spesies yang berbeda yaitu Euthynnus affinis dan Auxis sp. dengan
bobot 1.879 kg atau 20.7% dari bobot seluruh hasil tangkapan (Rambun et al.,
2017).

Hasil tangkapan utama purse seine di PPP Muncah adalah lemuru Adapun
tangkapan sampingan berupa layang dan slengseng. Ketiga jenis ikan tersebut
menupakan hasil tangkapan dominan. Berdasarkan hasil operasi penangkapan
ikan yang di lakukan oleh 10 orang kapal penangkapan ikan selama 10 trip di
peroleh hasil tangkapan berupa ikan lemuru (sardinella lemuru) sebesar 7,88 ton,
ikan selengseng (scomber australicus) sebesar 0,7595 ton Dan ikan layang
(decapterus ruseli) sebesar 0,413 ton (Purbaningrum, 2016).

Gerombolan ikan merupakan target utama bagi alat tangkap purse sein.
Target tangkapan dari alat tangkap ini adalah ikan jenih pelagis. Hasil
tangkapannya meliputi tuna sirip kuning dan cakalang, namun ukuran kedua
spesies ikan ini belum layak tangkap. Dengan kata lain dikatakan persatuan
volume hendaklah jumlah individu ikan sebanyak mungkin. Dengan kata lain dapat
dikatakan persetuan volume hendaklah jumlah individu ikan sebanyak mungkin.
Hal ini dapat dipikirkan sehubungan dengan volue yang terbentuk dengan jaring
(panjang dan lebar) yang dipergunakan. Jenis ikan yang ditangkap denga purse
sein terutama di daerah jawa dan sekitarnya.

2.6.2.4 Tingkah Laku Ikan terhadap Purse Seine

Salah satu tingkah laku ikan yang bermanfaat dalam pengembangan dan
perbaikan metode penangkapan dengan jaring insang soma darape adalah
tingkat distribusi tertangkapnya ikan pada alat tangkap jaring insang soma darape
di rumpon. Pendekatan yang dapat dilakukan adalah dengan memahami perilaku
ikan sebagai bagian dari komponen biologis. Dari berbagai perilaku ikan yang
dapat dikaji sebagai bahan pertimbangan dalam pengelolaan sumberdaya, salah
satunya adalah distribusi tertangkapnya ikan pada alat tangkap jaring insang
soma darape rumpon. Nelayan jaring insang soma darape rumpon
memanfaatkan ikan-ikan yang lolos dari pukat cincin, di mana nelayan
mengoperasikan jaring insang soma darape tersebut pada jarak 1–2 meter di
belakang jaring pukat cincin. Distribusi hasil tangkapan yang dominan pada
lembaran jaring mata setelah meloloskan diri dari pukat cincin ikan selar tidak
langsung berenang ke arah dalam tapi terdistribusi sekitar permukaan perairan
pada kedalaman 0–50 cm dari permukaan perairan (Dimara et al., 2015).
Proses pelingkaran jaring pada alat tangkap purse seine yang ditambahkan
atraktor berupa rumpon lampu bukan menjadi masalah apabila waktu
pelingkarannya cukup lama. Ini dikarenakan pergerakan ikan terfokus pada satu
titik akibat adanya pengaruh dari atraktor tersebut dan pergerakan gerombolan
ikan tidak tersebar ke beberapa area. Hal inilah yang terjadi pada jaring slerek
satu kapal (purse seine one boat system) dimana waktu pelingkaran jaringnya
berpengaruh terhadap total hasil tangkapan karena menggunakan alat bantu
lampu mercury dan halogen yang berada diatas kapal. Alat penangkapan yang
aktif seperti halnya pukat cincin, memerlukan posisi yang tepat tantara alat
tangkap dengan kawanan ikan. Pada kondisi gerakan kapal yang lambat, dan
tidak ada reaksi ikan, penangkapan relative mudah, tetapi pada operasi yang
memerlukan kecepatan untuk menghadang ikan, dan ikan memiliki kemampuan
untuk menghindar dan meloloskan diri, maka proses penangkapan menjadi lebih
sulit (Hermawan et al., 2016).
Pada ikan permukaan umumnya mempunyai tingkah laku untuk
berkelompok, hal ini dikarenakan dorongan untuk dapat memperoleh kemudahan
dalam melakukuan ruaya atau pergerakan, kemudahan daam menghindar atau
menyelamatkan diri dari predator, kemudahan untuk mencari dan memperoleh
makanan serta kemudahan dalam mencari habitay maupun keadaan lingkungan
yang lebih ideal. Tingkah laku ikan dalam gerombolan yang sudah dikurung
dengan alat tangkap purse sein akan selalu berusaha meloloskan diri, baik
kearah horizontal maupun ke arah vertikal. Jika satu ekor dapat meloloskan diri,
maka semua anggota kelompok dapat meloloskan diri. Jika jumlah gerombolan
itu cukup besar maka akan terpecah-pecah dalam sub-sub kelompok.
2.6.3 Komposisi Hasil Tangkapan Ikan

Hasil tangkapan dari alat tangkap Purse Seine perbulan memiliki komposisi
yang beragam. Rata-rata hasil tangkapan setiap bulan dianalisis untuk diketahui
komposisi hasil tangkapan dari alat tangkap Purse Seine. Pada bulan Januari 2016
hasil tangkapan Purse Seine didominasi oleh ikan layang deles sebanyak 48% dari
total hasil tangkapan. Ada 7 spesies yang menjadi ragam hasil tangkapan yaitu
layang deles (Decapterus macrosoma), layang cempluk (Decapterus macarellus),
layang benggol (Decapterus russelli), lemuru (Sardinella lemuru), kembung
(Rastrelliger kanagurta), bentong (Selar crumenophtalmus), dan tongkol lisong
(Auxis rochei). Sedangkan pada bulan Februari, Maret sampai dengan bulan Mei
yang paling banyak tertangkap adalah lemuru sebanyak 39% sampai 43% dari
total hasil tangkapan. Berbeda dengan Januari, pada bulan Februari ikan yang
layang yang tertangkap hanya dua jenis yaitu layang benggol dan layang deles
(Dewi et al., 2018).

Ikan bentong adalah salah satu ikan pelagis kecil dengan nilai ekonomis
yang tinggi. Hasil tangkapan utama ikan bentong memiliki bobot 1.939 kg atau
21,3% dari bobot seluruh hasil tangkapan. Ikan bentong yang tertangkap rata- rata
berukuran 21 cm dengan rata-rata bobot tiap individu yaitu 200 gr. Hasil tangkapan
sampingan terbesar pertama adalah ikan tongkol Ikan tongkol yang tertangkap
terdiri dari 2 species yang berbeda yaitu Euthynnus affinis dan Auxis sp. dengan
bobot 1.879 kg atau 20.7% dari bobot seluruh hasil tangkapan. Ikan tongkol yang
tertangkap memiliki ukuran yang berbeda-beda. Beberapa kelompok ikan tongkol
(Auxis sp.) yang tertangkap berukuran ± 11 cm dengan bobot per individu ± 60 gr.
Selain itu ada juga ikan tongkol (Euthynnus affinis) yang tertangkap dengan
kelompok ukuran > 27 cm dengan bobot per individu >0.9 kg. Ikan tongkol
merupakan salah satu ikan yang memiliki nilai ekonomis yang tinggi namun
berdasarkan peraturan yang telah ada alat tangkap Purse Seine yang boleh
beroperasi di Laut Jawa adalah Purse Seine dengan target spesies ikan pelagis
kecil. Ikan tongkol adalah salah satu ikan yang termasuk kedalam ikan pelagis
besar yang memiliki arti bahwa ikan tongkol adalah ikan yang tidak boleh ditangkap
oleh Purse Seine di Laut Jawa (Rambun et al., 2016).

Komposisi hasil tangkapan ikan (jenis, ukuran panjang dan volume) serta
tingkat keramahan lingkungan unit penangkapan.Dari penentuan koordinat daerah
penangkapan ikan menggunakan Global positioning System (GPS), pengukuran
suhu permukaan laut menggunakan termometer, pengukuran salinitas air laut
menggunakan handrefractometer dan pengukuran tingkat kecerahan air laut
menggunakan seichi disk. Pengamatan hasil tangkapan ikan pada empat
koordinat daerah penangkapan ikan (jenis,ukuran dan volume hasil tangkapan
ikan) dilakukan dengan mengambil sampel semua spesies yang tertangkap sesuai
dengan kebutuhan pendataan. Ukuran panjang total hasil tangkapan diukur dari
ujung mulut ikan sampai pada ujung ekor. Ukuran panjang ikan yang diperoleh
saat observasi, selanjutnya dilakukan identifikasi terhadap lenght at firts maturity
masing-masing spesies. Lenght at first maturity adalah panjang ikan pada saat
pertama melakukan pemijahan. Komposisi ikan hasil tangkapan dapat bermanfaat
untuk selektivitas hasil tangkapan baik target utama dalam penangkapan maupun
by catch dan discard pada penangkapan.

Anda mungkin juga menyukai