BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
paling dominan berperan dalam timbulnya penyakit ini.15 Berikut ini beberapa faktor
predisposisi yang berperan dalam timbulnya penyakit SLE:
1. Faktor Genetik
Berbagai gen dapat berperan dalam respon imun abnormal sehingga timbul
produk autoantibodi yang berlebihan. Kecenderungan genetik untuk menderita SLE
telah ditunjukkan oleh studi yang dilakukan pada anak kembar. Sekitar 2-5% anak
kembar dizigot berisiko menderita SLE, sementara pada kembar monozigot, risiko
terjadinya SLE adalah 58%. Risiko terjadinya SLE pada individu yang memiliki
saudara dengan penyakit ini adalah 20 kali lebih tinggi dibandingkan pada populasi
umum.15,1
Studi mengenai genome telah mengidentifikasi beberapa kelompok gen yang
memiliki korelasi dengan SLE. MHC (Major Histocompatibility Complex) kelas II
khususnyaHLA- DR2 (Human Leukosit Antigen-DR2), telah dikaitkan dengan
timbulnya SLE. Selain itu, kekurangan pada struktur komponen komplemen
merupakan salah satu faktor risiko tertinggi yang dapat menimbulkan SLE. Sebanyak
90% orang dengan defisiensi C1q homozigot akan berisiko menderita SLE. Di
Kaukasia telah dilaporkan bahwa defisiensi varian S dari struktur komplemen
reseptor 1, akan berisiko lebih tinggi menderita SLE.15,1
2. Faktor Imunologi
Pada LE terdapat beberapa kelainan pada unsur-unsur sistem imun, yaitu :
a. Antigen
Dalam keadaan normal, makrofag yang berupa APC (Antigen Presenting
Cell) akan memperkenalkan antigen kepada sel T. Pada penderita lupus, beberapa
reseptor yang berada di permukaan sel T mengalami perubahan pada struktur maupun
fungsinya sehingga pengalihan informasi normal tidak dapat dikenali. Hal ini
menyebabkan reseptor yang telah berubah di permukaan sel T akan salah mengenali
perintah dari sel T.16
3. Faktor Hormonal
Peningkatan hormon dalam tubuh dapat memicu terjadinya LE. Beberapa
studi menemukan korelasi antara peningkatan risiko lupus dan tingkat estrogen yang
tinggi. Studi lain juga menunjukkan bahwa metabolisme estrogen yang abnormal
dapat dipertimbangkan sebagai faktor resiko terjadinya SLE.16,17
4. Faktor Lingkungan
Beberapa faktor lingkungan dapat bertindak sebagai antigen yang bereaksi
dalam tubuh dan berperan dalam timbulnya SLE. Faktor lingkungan tersebut terdiri
dari:
a. Infeksi virus dan bakteri
Agen infeksius, seperti virus dan bakteri, dapat berperan dalam timbulnya
SLE. Agen infeksius tersebut terdiri dari Epstein Barr Virus (EBV), bakteri
Streptococcus dan Clebsiella.17
c. Stres
Stres berat dapat memicu terjadinya SLE pada pasien yang sudah memiliki
kecenderungan akan penyakit ini. Hal ini dikarenakan respon imun tubuh akan
terganggu ketika seseorang dalam keadaan stres. Stres sendiri tidak akan
mencetuskan SLE pada seseorang yang sistem autoantibodinya tidak ada gangguan
sejak awal.17,18
d. Obat-obatan
Obat pada pasien SLE dan diminum dalam jangka waktu tertentu dapat
menyebabkan Drug Induced Lupus Erythematosus (DILE). Jenis obat yang dapat
menyebabkan DILE diantaranya kloropromazin, metildopa, hidralasin, prokainamid,
dan isoniazid.17,19
seperti sayap kupu-kupu (Gambar 1), telinga, dagu, daerah leher, punggung atas, dan
bagian ekstensor dari lengan. Sebanyak 5% individu dengan DLE memiliki SLE
namun, diantara individu dengan SLE, sebanyak 20% memiliki DLE.15,21
peningkatan trombosis pada SLE dipengaruhi oleh adanya kelainan pada fibrinolisis,
protein antikoagulan (protein S), dan adanya antibodi antifosfolipid. SSP dan
trombosis vena dengan emboli paru adalah penyebab utama morbiditas pada pasien
SLE. Sebagai pencegahan pasien SLE membutuhkan antikoagulan tingkat tinggi.15,22
2.1.4 Diagnosa
Diagnosis penyakit SLE sangat sulit untuk ditegakkan. Selain dapat
menimbulkan kerusakan beberapa organ dalam, gejala dari penyakit ini juga terlihat
sangat bervariasi dan tidak sama pada setiap penderita. Gejala yang dapat timbul
berupa demam berkepanjangan, foto sensitifitas, perubahan berat badan, kelenjar
limfe yang membengkak, dan terjadi perubahan terhadap beberapa organ vital
lainnya. SLE pada tahap awal, seringkali memberikan gambaran seperti penyakit lain
misalnya artritis reumatoid, gelomerulonefritis, anemia, dermatitis, dan sebagainya.
Oleh karena itu, ketepatan diagnosis dan deteksi dini penyakit SLE penting untuk
diperhatikan, mengingat gejala penyakit ini sama dengan penyakit lain.14,23
Pada tahun 1982, American Collage Of Rheumatology membuat suatu kriteria
yang dapat menjamin akurasi diagnosis lupus yaitu sampai ketepatan 98% dan pada
tahun 1997 telah di revisi. Tabel 1 merupakan tabel kriteria SLE yang telah direvisi.14
Kriteria Definisi
Kriteria Definisi
4. Ulser Mulut Ulserasi rekuren yang terjadi pada orofaring, biasanya tidak
nyeri jika sudah kronis.
5. Arthtritis Radang di persendian yang mengenai dua atau lebih
persendian perifer dengan rasa sakit disertai pembengkakan
6. Serositis Radang pada garis paru-paru, disebut juga pleura atau pada
jantung disebut juga pericardium
7. Kelainan Ginjal Proteinuria persisten >0,5 g/dL atau 3+ atau endapan tidak
normal dalam urin terlihat dengan bantuan mikroskop
8. Kelainan Saraf Kejang-tanpa adanya gangguan akibat obat atau gangguan
metabolik yang diketahui.
9. Kelainan Darah Anemia hemolitik disertai retikulosis; leukopenia - <4,0 x
10 pangkat 9/L (4000/mm pangkat 3) total pada dua atau
lebih pemeriksaan.
10. Kelainan Imunitas Antibodi anti-DNA terhadap DNA asal dalam titer
abnormal ; atau antibody antifosfolipid positif berdasarkan
pada kadar antibodi antikardiolipin IgG atau IgM serum
yang abnormal dan uji positif antikoagulan lupus
menggunakan uji standar.
11. Tes ANA Pemeriksaan sebanding pada setiap waktu dan tidak adanya
obat yang diketahui berkaitan dengan SLE yang diinduksi
obat.
Dari tabel tersebut, jika ditemukan 4 atau lebih kriteria, maka diagnosis SLE
mempunyai spesifisitas 95% dapat ditegakkan. Jika hanya 3 kriteria dan salah satunya
ANA positif, maka sangat tinggi kemungkinan diagnosis SLE dapat ditegakkan dan
diagnosis bergantung pada pengamatan klinis. Pada hasil tes ANA, jika hasil tes
ANA negatif, maka kemungkinan bukan SLE, namun jika hanya tes ANA positif dan
tidak terlihat manifestasi klinis, maka belum tentu juga SLE, sehingga hal ini
memerlukan observasi jangka panjang.14,1
2.1.5 Terapi
Terapi SLE sebaiknya dilakukan secara bersamaan dan berkesinambungan
agar tujuan terapi dapat tercapai.14,15 Berikut pilar terapi SLE :
a. Edukasi dan Konseling
Informasi yang benar dan dukungan dari orang sekitar sangat dibutuhkan oleh
pasien SLE dengan tujuan agar para pasien dapat hidup mandiri. Beberapa hal perlu
diketahui oleh pasien SLE, antara lain perubahan fisik yang akan dialami, perjalanan
penyakit, cara mencegah dan mengurangi kekambuhan seperti melindungi kulit dari
paparan sinar matahari secara langsung, memperhatikan jika terjadi infeksi, dan
perlunya pengaturan diet agar tidak kelebihan berat badan, displidemia atau
terjadinya osteoporosis.14
b. Program Rehabilitasi
Secara garis besar pelaksanaan program rehabilitasi yang dilakukan oleh
pasien SLE, antara lain: istirahat yang cukup, sering melakukan terapi fisik, terapi
dengan modalitas, kemudian melakukan latihan ortotik, dan lain-lain.14
c. Terapi Medikasi
Jenis obat-obatan yang digunakan untuk terapi SLE terdiri dari NSAID ( Non
Steroid Anti-Inflamation Drugs), antimalaria, steroid, imunosupresan dan obat terapi
lain sesuai manifestasi klinis yang dialami.14,24
1. NSAID ( Non Steroid Anti-Inflamation Drugs)
NSAID dapat digunakan untuk mengendalikan gejala SLE pada tingkatan
yang ringan, seperti menurunkan inflamasi dan rasa sakit pada otot, sendi dan
jaringan lain. Contoh obat : aspirin, ibuprofen, baproxen dan sulindac. Obat-obatan
tersebut dapat menimbulkan efek samping, yaitu pada saluran pencernaan seperti
mual, muntah, diare dan perdarahan lambung.14,24
2. Kortikosteroid
Penggunaan dosis steroid yang tepat merupakan kunci utama dalam
pengendalian lupus. Dosis yang diberikan dapat terlalu rendah atau tinggi sesuai
tingkat keparahan penyakit untuk pengendalian penyakit. Penggunaan kortikosteroid
dapat dilakukan secara oral, injeksi pada sendi, dan intravena. Contoh :
Metilprednisolon. Kesalahan yang sering terjadi adalah pemberian dosis yang tinggi,
namun tidak disertai kontrol dan dalam waktu yang lama.14,24 Beberapa efek samping
dari mengonsumsi kortikosteroid terdiri dari meningkatkan berat badan, penipisan
kulit, osteoporosis, meningkatnya resiko infeksi virus dan jamur, perdarahan
gastrointestinal, memperberat hipertensi dan moon face.14,24
3. Antimalaria
Antimalaria yang dapat digunakan untuk terapi SLE terdiri dari
hydroxychloroquinon dan kloroquin. Hydroxychloroquinon lebih sering digunakan
dibanding kloroquin karena resiko efek samping pada mata lebih rendah. Obat
antimalaria efektif untuk SLE dengan gejala fatique, kulit, dan sendi. Baik untuk
mengurangi ruam tanpa meningkatkan penipisan pembuluh darah. Toksisitas pada
mata berhubungan dengan dosis harian dan kumulatif, sehingga selama dosis tidak
melebihi, resiko tersebut sangat kecil. Pasien dianjurkan untuk memeriksakan
ketajaman visual setiap enam bulan untuk identifikasi dini kelainan mata selama
pengobatan.14,24
4. Immunosupresan
Obat Immunosupresan merupakan obat yang berfungsi untuk menekan sistem
imun tubuh. Ada beberapa jenis obat immunosupresan yang biasa dikonsumsi pasien
SLE seperti azathioprine (imuran), mycophenolate mofetil (MMF), methotrexate,
cyclosporine, cyclophosphamide, dan Rituximab.14,24
a. Xerostomia
Xerostomia merupakan salah satu manifestasi SLE pada rongga mulut. Sekitar
75% penderita lupus mengeluhkan gejala pada rongga mulut seperti rasa kering
terutama ketika makan makanan panas dan pedas. Adanya infiltrasi limfosit pada
kelenjar saliva mayor telah ditemukan pada 50-75% pasien SLE, baik pada pasien
yang mengeluhkan adanya rasa kering di mulut ataupun tidak. Laju aliran saliva yang
tidak distimulasi terlihat menurun pada beberapa penderita SLE. Hal ini dapat
dikaitkan pada penyakit autoimun lain yaitu Sjogren’s Syndrome yang menyerang
kelenjar saliva mayor. SLE juga menjadi komponen diagnosis dari Sjogren’s
Syndrom.26,27
Kelainan pada kuantitas saliva pasien SLE dapat ditemukan pada saat
pemeriksaan kadar imunoglobulin (Ig) dalam saliva. Pada pasien SLE dapat terlihat
adanya peningkatan konsentrasi Ig A dan Ig M, sedangkan konsentrasi Ig G biasanya
dalam batas normal. Hal ini dapat terjadi karena Ig A dan Ig M disintetis secara lokal
dan disekresikan ke dalam saliva, sedangkan Ig G diinfiltrasi oleh plasma. Kejadian
ini ditemukan pada 30% pasien lupus. Peningkatan Ig A dan Ig M pada saliva dapat
disebabkan oleh penurunan kuantitas saliva.28
b. Lesi Ulserasi
Berdasarkan kriteria ACR 1997, ulser rongga mulut merupakan salah satu
kriteria untuk penegakan diagnosis SLE.29 Dalam suatu studi, prevalensi ulserasi
orofaringeal berjumlah 15% pada pasien lupus. Lesi ulser pada SLE berukuran lebih
dari 1 cm, dengan tepi ireguler, berbatas jelas, dan dikelilingi dengan eritema halo.
Ulser ini dapat timbul sebelum, saat ataupun setelah lesi kulit timbul. Ulser pada
pasien lupus sering ditemukan pada mukosa bukal, gingiva, palatum, serta meluas ke
daerah faring. Lesi juga dapat tidak spesifik, asimtomatik, dan bila semakin parah
akan menimbulkan rasa sakit dan tidak nyaman, namun pada pasien lupus, ulser
biasanya timbul pada saat lupus teraktifasi (flare up) (Gambar 2). Biasanya, ulser
pada pasien lupus lebih lama mengalami masa penyembuhan. Penyembuhan lesi ini
cenderung membentuk jaringan parut dan fibrosis.25,30
Selain ulser, juga sering terlihat lesi berwarna merah dan putih, berbentuk
garis-garis yang sejajar dan multipel pada beberapa permukaan mukosa. Lesi ini
dapat dikatakan mirip dengan lichen planus (Gambar 3). Hal ini disebabkan karena
keduanya merupakan kelainan inflamasi mukokutaneus imunologik kronik yang
memiliki gambaran keratotik, berwarna kemerahan, dan disertai ulser.25 Pada
pemeriksaan histopatologi, juga terlihat kesamaan antara SLE dan lichen planus,
yaitu terdapat kerusakan pada sel basal, sel limfosit, perivaskular, hiperkeratotis, dan
atrofi perifer. Pada dasarnya, butterfly rash yang terdapat di pipi dan hidung dapat
membantu dalam menyingkirkan diagnosa lichen planus. Selain itu, pada
pemeriksaan histopatologi juga dapat terlihat perbedaan antara SLE dan lichen
planus, yaitu pada SLE terlihat edema submukosa dan vasodilatasi pembuluh darah,
sementara pada lichen planus, sama sekali tidak terlihat hal tersebut.25,28
Lesi ulserasi lainnya juga sering dijumpai di daerah vermilion bibir, seperti
lesi ulser yang biasanya disebabkan oleh virus herpes. Lesi awal terlihat berupa
vesikel berukuran kecil dan berkelompok, kemudian dalam hitungan jam vesikel akan
pecah dan menjadi ulserasi yang pada permukaannya terlihat lapisan berwarna
kekuningan (Gambar 4).25,33
c. Lesi Diskoid
Lesi diskoid dapat terjadi pada bibir, terutama pada bibir bawah bagian tepi
vermillion yang sering terpajan dengan sinar matahari (Gambar 5), sementara itu
bibir bagian atas juga dapat terkena akibat perluasan langsung dari lesi diskoid yang
terdapat pada kulit. Lesi biasanya diawali dengan lesi kemerahan, namun lama-
kelamaan berubah menjadi lesi keratotik dan bersisik (Gambar 6). Bila sisik diangkat,
maka bibir akan perih dan menimbulkan perdarahan.25
e. Kandidiasis Oral
Kandidiasis pseudomem
mbran akuut (trush) merupakaan suatu infeksi
opurtunistiik yang dissebabkan oleh jamur candida albiicans superrfisial dan menjadi
m
komplikasi paling seriing akibat ppenggunaan obat imunoosupresif sepperti kortikoosteroid
sistemik yang
y Secara klinnis, thrush terlihat
seringg digunakann oleh pasien SLE. S
sebagai plaak-plak putiih, berkelom
mpok, memppunyai tepi eritematosuus, dan jika dikerok
d
akan meniinggalkan peermukaan yyang merah,, kasar atau berdarah (G
Gambar 9 ddan 10).
25,33
Gam LE).15
mbar 10. Trrush pada paasien imunoosupresi (SL
sering tim
mbul di daeerah dorsum
m lidah, ppalatum dann sudut biibir. Lesi ttersebut
mempunyaai tepi meniimbul yangg tegas, dan permukaann putih berbbintil-bintil dengan
beberapa ddaerah meraah dan tidak dapat dikerrok (Gambaar 11).25,33
SLE
(Systemic Lupus Erythematosus)
Jenis kelamin