Anda di halaman 1dari 14

Mega Pertiwi

111611133059

Kelas D-1

3081

Dampak Kecanduan Alkohol Terhadap Otak

Mengonsumsi minuman beralkohol saat ini bukan lagi sesuatu yang asing ditengah
masyarakat modern seperti sekarang. Sebagian masyarakat beranggapan bahwa minum-minuman
keras adalah hal yang wajar dan sudah cukup dimaklumi. Menurut (National Collaborating
Centre for Mental Health, 2011, p. 17), mengonsumsi minuman beralkohol sudah dianggap biasa
secara sosial oleh sebagian besar masyarakat dan dipercaya memiliki efek relaksasi dan
membawa kesenangan bagi peminumnya. Bahkan sejak dahulu kala, meminum alkohol
berkorelasi dengan status sosial seseorang di tengah masyarakat (Wolfgang Heckmann, 2009, p.
1).

Minuman berakohol bukan lagi menjadi barang mewah dan saat ini telah menjadi gaya
hidup di hampir seluruh negara-negara barat dan sebagian kecil negara-negara di bagian timur.
Harganya yang bervariatif dan banyaknya jenis minuman ini menjadikan alkohol dapat
dijangkau oleh berbagai lapisan masyarakat baik tua maupun muda. Ketersediaan minuman
beralkohol dipasaran juga relatif stabil sehingga mudah diperoleh di mana saja. Hal ini tentu
dapat memicu penyalahgunaan alkohol secara luas dan bebas oleh oknum-oknum yang tidak
bertanggung jawab. Penyalahgunaan alkohol sendiri saat ini merupakan salah satu masalah serius
yang dihadapi oleh warga di seluruh dunia dalam era modern saat ini (Oltmanns dan Emery,
1995 dalam Chiejina EN, 2012).

Meskipun banyak penelitian ilmiah yang membeberkan tentang dampak negatif dari
konsumsi alkohol bagi kesehatan, namun hal ini tidak menjadikan minuman beralkohol sebagai
suatu hal tabu yang dihindari oleh masyarakat, justru angka konsumsi alkohol semakin
meningkat dari tahun ke tahun. Banyak sekali faktor yang menyebabkan tingginya konsumsi
alkohol di dunia. Menurut (Anamaria Ciubară, 2015), faktor sosio-kultural menjadi salah satu
faktor yang cukup kuat untuk mendasari terjadinya konsumsi berlebih alkohol pada seseorang.
Sebagai contoh, negara – negara western yang cenderung memiliki gaya hidup bebas dan tidak
terikat norma sosial (budaya ketimuran) seperti negara –negara di wilayah timur memiliki tingkat
konsumsi alkohol yang cukup tinggi. Hal ini dibuktikan oleh penelitian bahwa di England, 87%
penduduk atau sekitar 36 juta orang (mulai usia 16 tahun) adalah penikmat alkohol (Jotangia D.
E. Fuller, 2009). Sementara menurut Global Status Report on Alcohol and Health (WHO, 2014),
rata-rata penduduk Amerika mengonsumsi 8.4 liter alkohol setiap tahun (André Luiz Monezi
Andradea, 2016, p. 6). Hal yang paling memprihatinkan adalah pesta minuman keras sangat
marak digelar bahkan dilakukan oleh para remaja (Niaimi, 2003 dalam T.L. Briones, 2013).

Hal yang pasti terjadi dan tidak dapat terelakkan dari konsumsi alkohol yang berlebihan
adalah kecanduan. Menurut (E.N. Chiejina, 2012), Kecanduan alkohol merupakan konsekuensi
dari penyalahgunaan alkohol dalam jangka waktu yang cukup lama. Tubuh seseorang yang
mengonsumsi alkohol akan mulai beradaptasi dengan keberadaan zat tersebut dan
mengakibatkan kadar alkohol dalam darah turut meningkat seiring waktu. Ssecara fisiologis,
tubuh seorang pecandu alkohol akan selalu bergantung pada asupan alkohol dalam menjalankan
fungsinya bahkan hanya untuk melakukan hal-hal atau pekerjaan yang paling dasar atau paling
sederhana (Stevens, 2013).

Kebiasaan meminum alkohol dalam jumlah yang berlebih saat ini lazim dikenal dengan
istilah alkoholisme. Istilah ini pertama kali dikemukakan oleh seorang pejabat negara yang
menangani masalah kesehatan masyarakat di Swedia bernama Magnus Huss pada tahun 1849.
Magnus Huss mendefinisikan perilaku alkoholisme sebagai suatu perilaku yang berhubungan
dengan sistem saraf pusat dan kecenderungan mengonsumsi alkohol secara terus menerus dalam
jangka waktu yang cukup panjang (Huss, 1852). Sementara itu, (Jellineck, 1960) mendefiniskan
ulang tentang perilaku alkoholisme sebagai suatu penyakit. Hal ini didasarkan pada jumlah
alkohol yang dikonsumsi oleh indivu tersebut dan dampak negatif yang mungkin ditimbulkan
oleh seorang alkoholik (orang yang menderita alkoholisme) bagi dirinya sendiri maupun
lingkungan sekitar setelah mengonsumsi alkohol. Sementara ini (WHO, 2004) mendefinisikan
alkoholik sebagai seseorang yang mengalami kecanduan alkohol ditandai dengan meminum
alkohol secara berlebihan serta diiringi oleh kekacauan mental dan relasi sosial. Selain itu,
seorang alkoholik digambarkan sebagai individu dengan tingkat ekonomi yang buruk.

Kecenderungan perilaku alkoholisme tidak sama antara satu individu dengan lainnya.
Tidak semua orang yang mengonsumsi alkohol akan menjadi seorang alkoholik. Menurut
(Anamaria Ciubar, 2015), munculnya kecanduan tidak terjadi secara tiba-tiba melainkan
dipengaruhi oleh banyak faktor mendasar seperti faktor biologis, psikologis, sosial dan faktor
lingkungan.

Menurut (California Addiction Network, 2013), kecanduan bisa digolongkan sebagai


sebuah gangguan yang terjadi di otak. Kecanduan alkohol juga dapat mempegaruhi cara kerja
otak dan perilaku seseorang. Kecanduan alkohol adalah suatu kondisi dimana seseorang tidak
dapat lepas dari pengaruh alkohol, sangat bergantung terhadap zat tersebut dan terus menerus
mengonsumsi alkohol meskipun sadar akan bahayanya terhadap kesehatan. Menurut (Anamaria
Ciubară, 2015) penyalahgunaan alkohol juga berdampak pada kejiwaan dan kehidupan sosial
secara kompleks. Selanjutnya menurut (Vaillant, 1983), banyak sekali tindak kekerasan yang
disebabkan oleh kebiasaan mabuk-mabukan dan membuktikan bahwa asosiasi dari alkohol dan
kejahatan bisa dibilang cukup kuat.

Menurut (Santrock, 2002) alkohol adalah salah satu zat psikoaktif yang paling banyak
digunakan saat ini. Sebanyak 13 juta orang menganggap diri mereka adalah seorang pecandu
alkohol (alkoholik) (Utina, 2012) dan alkohol merupakan zat psikoaktif yang paling banyak
digunakan dikalangan remaja (Daniel F. Hermens, 2012). Minuman beralkohol merupakan
minuman yang mengandung zat bermana ethanol. Ethanol adalah zat dengan rumus kimia
C2H5OH. Wujud dari ethanol adalah zat cair yang bening, tidak bewarna dan terkandung dalam
minuman beralkohol (Wolfgang Heckmann, 2009).

Ethanol sebagai salah satu komponen utama minuman beralkohol bersifat psikoaktif
atau dapat menyebabkan ketergantungan dan kecanduan serta dapat menghilangkan kesadaran
bagi yang mengonsumsinya. Selain itu alkohol menekan aktivitas susunan saraf pusat dan
bekerja seolah-olah sebagai zat stimulan yang mampu menurunkan kesadaran pengendalian diri
seseorang dan merangsang seseorang untuk bertindak hyperactive (Candra Priangguna, 2015).
Menurut (Utina, 2012, p. 4), zat psikoaktif mampu mempengaruhi kerja sistem saraf dalam
mengatur perilaku, mengatur suasana hati (mood) seseorang dan bahkan mengubah persepsi
individu secara psikologis.

Zat ethanol (ethyl alcohol) adalah zat yang menyebabkan kecanduan alkohol atau
alkoholisme (alcoholism) dan dapat memicu gangguan pada sistem saraf pusat manusia (Arief
Niendya W, 2011). Ethanol (ethyl alcohol) dalam minuman keras diproduksi dari fermentasi gula
oleh ragi, mudah diserap oleh usus dan bersifat toksik (racun) yang dapat menyebabkan lebih
dari 60 jenis penyakit yang berbeda (National Collaborating Centre for Mental Health, 2011).
Molekul-molekul alkohol sangat kecil dan mudah larut bersama lemak dan dapat terserap
keseluruh bagian-bagian tubuh. Alkohol sendiri termasuk dalam golongan depresan atau
penenang karena mampu melemahkan sistem saraf apabila dikonsumsi dalam jumlah yang cukup
banyak sementara jika dikonsumsi dalam jumlah kecil, alkohol dapat menstimulasi otak untuk
lebih mudah membangun komunikasi sosial (bersosialisasi) (Pinel, 2009). Sementara itu
menurut (National Collaborating Centre for Mental Health, 2011, p. 18) Sifat alkohol yang
mudah diserap mengkibatkan alkohol juga mudah terserap oleh otak setelah diminum dan
mempengaruhi bahkan merubah koordinasi seseorang sehingga cukup membahayakan apabila
meminum alkohol saat sedang mengemudi atau menjalankan mesin. Alkohol yang
dikombinasikan dengan obat-obatan sedatif semisal benzodiazepine akan menimbulkan efek
yang merugikan pada mood dan pengambilan keputusan pada manusia yang meningkatkan risiko
seseorang melakukan tindak kekerasan dan kejahatan.

Menurut (Stevens, 2013), beberapa gejala kecanduan alkohol diantaranya adalah


mengabaikan tanggung jawabnya hanya untuk minum alkohol, minum ditempat yang tidak
seharusnya, perubahan perilaku (cenderung lebih labil dan berbahaya), depresi, kelelahan
berlebihan, enggan berhenti minum walau hanya sebentar, menghindari keluarga dan teman
hanya untuk minum, lebih sering mabuk-mabukan, terjadi masalah kesehatan pada hati, jantung
serta usus dan menggunakan alkohol sebagai satu-satunya media penghilang stress.

Dalam (Diagnostic and statistical manual of mental disorders (DSM V), 2013)
kecanduan alkohol didefinisikan sebagai pola disfungsional dalam konsumsi alkohol yang
mengarah pada gangguan klinis dalam rentang periode 12 bulan dan setidaknya harus memenuhi
dua kriteria dibawah ini yaitu :
a. Alkohol digunakan dalam jangka waktu lama dan dalam jumlah besar.
b. Keinginan / kegigihan untuk menyerah terhadap candu alkohol.
c. Waktunya dihabiskan untuk membeli, mengonsumsi dan memulihkan diri dari efek
alkohol.
d. Craving (adanya hasrat atau keinginan yang besar untuk mengonsumsi alkohol).
e. Konsumsi alkohol yang berulang diikuti dengan kurangnya hubungan sosial dan relasi
dengan keluarga.
f. Tetap mengonsumsi alkohol meskipun tahu secara professional maupun relasional kurang
baik.
g. Kurangnya keterlibatan dalam aktivitas sosial, keluarga dan pekerjaan dikarenakan
konsumsi alkohol.
h. Resiko kesehatan dalam penggunaan alkohol.
i. Tetap minum alkohol meskipun akan meningkatkan risiko kesehatan pada dirinya sendiri.
j. Toleransi.
k. Withdrawl.

Sementara itu Alan Stevens juga mengemukakan dua tanda utama berkembangnya alkoholisme
pada seseorang yaitu :

1. Toleransi akan alkohol dalam tubuh seseorang meningkat dikarenakan tubuh sudah
beradaptasi dengan zat tersebut sehingga diperlukan lebih banyak cairan alkohol untuk
memperoleh efek atau sensasi senang dan mabuk yang biasanya sudah bisa diperoleh
lewat konsumsi dalam jumlah yang relatif sedikit
2. Tubuh mencapai batas tertinggi dari toleransi sehingga ketergantungan akan alkohol
mulai terbentuk, seseorang akan mulai putus asa (withdrawl symptoms) apabila tidak
mengonsumsi alkohol bahkan dalam jangka waktu yang sebentar.

Seperti yang kita tahu, alkohol membawa dampak yang buruk terhadap otak. Otak
adalah bagian dari sistem saraf pusat yang berperan dalam memproses informasi dari luar dan
mengendalikan fungsi fisiologis serta kesadaran manusia. Selain itu otak memiliki peran yang
sangat kompleks dan memiliki keistimewaan yang luar biasa dalam fungsi kognitif seperti
berpikir, mengingat, berbicara dan lain sebagainya. (John P.J. Pinel, 1998). Menurut (Harris and
Buck, 1990 dalam Jung, 2010) tidak seperti zat adikitif yang lainnya, alkohol tidak hanya
menyerang reseptor saraf khusus di otak melainkan seluruh membran saraf.

Studi post mortem juga membuktikan bahwa otak pecandu alkohol yang tidak memiliki
penyakit neurologis lain cenderung memiliki berat lebih ringan dikarenakan hilangnya jaringan
otak oleh perilaku alkoholisme kronis (C.G. Harper, 1982). Selain itu bagian gray matter dalam
otak bisa menghilang dikarenakan konsumsi alkohol yang berlebihan (Jernigan, 1991 dalam
Erica N. Grodin, 2013). Sedangkan menurut (C. Harper, 2005) pecandu alkohol juga berpeluang
besar kehilangan volume otak terutama dibagian lobus frontal. Lobus frontal sendiri sangat
berperan penting dalam mengatur kepribadian dan adaptasi seseorang dan bagian otak yang
mangatur proses berpikir. Apabila lobus frontal mengalami gangguan maka bisa dipastikan
kemampuan kognitif seseorang akan menurun secara drastis.

Sifat ketergantungan alkohol terus dipelajari secara intensif oleh para ilmuwan selama
dua dekade terakhir. Menurut (Jung, 2010), alkohol mengacaukan komposisi dari membran yag
terdiri atas setengah lipid dan setengah protein yang dapat mengubah jalur pintasan yang
melewati glutamat dan reseptor GABA. Konsumsi alkohol akan berakibat fatal terhadap proses
neurotransmission di otak dan menyebabkan kecanduan. Neurotransmitter utama yang diserang
adalah gamma aminobutyric acid (GABA), opioid, glutamat serta dopamin (Nutt, 1999). Alkohol
bertindak seperti obat benzodiazepines pada GABA dan menimbulkan efek sedatif dan sifat
anxiolytic. Alkohol juga mempengaruhi glutamat yang berperan sebagai neurotransmitter utama
untuk stimulasi otak dengan cara menghabmbat kerja N-methyl D-aspartate (NMDA) yaitu salah
satu reseptor glutamate (Krystal, etal., 2006).

Konsumsi alkohol yang berlebihan akan meningkatkan level toleransi peminum alkohol
melalui proses yang disebut neuroadaptations : secara bertahap reseptor di otak beradaptasi
dengan efek dari alkohol untuk mengimbangi rangsangan dan sedasi yang terjadi sehingga efek
dari alkohol dalam jumlah yang sama menjadi berkurang dari waktu ke waktu. Hal ini
menyebabkan seseorang yang mengonsumsi alkohol akan menambah jumlah alkohol yang
diminumnya untuk mendapatkan sensasi yang dia inginkan karena jumlah yang sama tidak lagi
memberikan efek atau sensasi yang sama baginya. Proses toleransi ini sangat dipengaruhi oleh
reseptor GABA dan glutamat. Konsumsi alkohol akan menyebabkan ketidakseimbangan
aktivitas antara GABA dan NMDA. Ketidakseimbangan fungsi ini semakin menjadi tak
terkendali (overactive) di otak apabila seseorang memutuskan untuk berhenti minum alkohol.
Menurut (S. Loeber, 2009), selanjutnya gejala-gejala withdrawal akan muncul berupa
kecemasan, tubuh berkeringat, kejang, halusinasi dan timbul keinginan yang tak tertahankan
untuk mengonsumi alkohol. Hal ini harus segera ditangani secara medis karena dapat
membahayakan nyawa pecandu alkohol. Fase withdrawl yang berulang-ulang ini dianggap
membawa efek toksik (racun) pada neuron dan menyebabkan gangguan kognitif serta kerusakan
otak.

Menurut (Wand, 2004) alkohol mempengaruhi sistem opioid endogen di otak. Opioid
endogen bertanggung jawab atas munculnya sensasi menyenangkan (pleasure) dan memperkuat
efek yang ditimbulkan dari alkohol. Selanjutnya, opioid akan merangsang sistem dopamin yang
ada di otak. Dopamin sendiri bertugas mengatur berbagai perilaku apetitif manusia. Kemudian,
pengaruh alkohol akan memunculkan berbegai keinginan seperti makan, minum, hubungan
seksual dan keinginan mengonsumsi zat psikoaktif. Konsumsi alkohol akan menganggu regulasi
sistem dopamin dan dapat menimbulkan keinginan yang tidak terkendali.

Kecanduan alkohol memiliki konsekuensi yang sangat serius bagi siapa saja, terutama
anak-anak dan remaja masa awal karena tingkat kerentanan mereka yang lebih tinggi dan mereka
cenderung menaruh perhatian khusus terhadap rasa ingin tahu (penasaran) pada minuman
beralkohol (Alaux-Cantin S, 2013). Menurut (D. Zeigler, 2005), Peminum berat terutama anak-
anak dan remaja membawa dampak buruk terhadap perkembangan otaknya dan lebih rentan
terserang penyakit organ dalam. Penyalahgunaan alkohol berakibat fatal terutama terhadap
perkembangan otak orang-orang berumur dibawah 25 tahun. Berbeda dengan peminum yang
berusia dewasa, efek yang ditimbulkan pada otak peminum alkohol yang berusia muda lebih
berbahaya dikarenakan otak mereka masih dalam tahap perkembangan (Spear, 2010).
Perkembangan otak yang terganggu dapat menyebabkan beberapa macam penyakit dan
menganggu kesehatan mental seseorang. Konsumsi alkohol yang berlebihan menyebabkan
gangguan pada otak seperti retardasi fungsi intelektual, kesulitan membuat keputusan secara
rasional dan masalah terhadap kedewasaan secara emosional (Spear, 2011).

(Prelipceanu, 2011) menyatakan bahwa evolusi perilaku alkoholisme dapat berhenti


kapan saja dan dapat berlanjut secara tiba-tiba. Bagi sebagian orang yang telah mengalami
kecanduan alkohol mungkin berpikir akan sulit rasanya untuk dapat sembuh dari kecanduan
tersebut, namun saat ini banyak sekali pihak yang menawarkan solusi untuk mengobati
kecanduan. Pihak-pihak seperti ini memiliki peranan yang sangat penting baik secara medis,
sosial dan lain-lain. Keinginan untuk sembuh dari para pecandu alkohol harus terealisasi dan
sebisa mungkin difasilitasi. Menurut (Alan Stevens, 2013) pengobatan terhadap kecanduan harus
dilakukan secara efektif melalui program rehabilitasi sebagai solusi utama bagi para pecandu
alkohol. Selain itu ada berbagai cara lain untuk mengatasi ketergantungan dan kecanduan
alkohol melalui psikoterapi dan menggunakan pendekatan farmakologi dengan meresepkan obat-
obatan diantaranya :

1. Disulfiram
2. Naltrexone
3. Acamprosate

Obat-obatan tersebut diberikan melalui pemeriksaan yang intensif dan dengan pengawasan ketat
oleh dokter (Wolfgang Heckmann, 2009)

Setiap negara di dunia memiliki organisasi kesehatan yang menangani orang-orang yang
menderita kecanduan. Salah satu program yang dicontohkan adalah sebuah rangkaian
pengobatan yang ditawarkan organisasi rehabilitasi Behavioural Health of Palm Beaches,
beberapa alternatif yang ditawarkan untuk mengobati kecanduan diantaranya adalah :
1. Detoksifikasi racun
Detoksifikasi racun adalah salah satu cara yang wajib dilakukan dalam penanganan
kecanduan. Membersihkan racun dari alkohol membantu pasien untuk menghilangkan
halangan terbesar dari kecanduannya yaitu alkohol.
2. Rumah atau tempat rehabilitasi
Setelah proses detoksifikasi selesai maka langkah selanjutnya adalah memulai
rehabilitasi. Rehabilitasi dilengkapi sesi terapi dan workshop untuk mengetahu akar
permasalahan terjadinya alkolohisme dan dengan adanya tempat rehabilitasi akan
memfokuskan pasien untuk mengatasi kecanduannya dan menghindarkan pasien dari
pengaruh luar untuk sementara waktu yang dapat memunculkan perilaku kecanduaannya
kembali.
3. Tempat pemulihan jangka panjang
Untuk pasien yang menderita kecanduan dalam konteks yang sangat parah, maka
diperlukan tempat pemulihan jangka panjang yang akan memberikan mereka konseling,
terapi yang berkelanjutan dan mengajarkan sudut pandang baru tentang dunia tanpa
alkohol. Tempat pemulihan seperti ini biasanya ditujukan untuk orang-orang yang
menderita kecanduan selama bertahun-tahun.
4. Rawat jalan
Rawat jalan ditujukan kepada pasien yang sudah tidak terlalu membutuhkan banyak
penanganan khusus terhadap adiksinya dan tahap ini bisa diaplikasikan kepada pasien
yang ingin memulai hidup barunya secara normal. Walaupun sudah tidak dirawat secara
medis, pasien masih harus melakukan konsultasi dengan terapis setidaknya enam minggu
sekali untuk mengontrol perkembangan pasien.
5. Rehabilitasi diagnosis ganda
Setidaknya 30% pecandu alkohol memiliki masalah kesehatan mental dan yang paling
utama adalah depresi. Penanganan pasien dengan diagnosis ganda memang sedikit lebih
rumit dan memerlukan terapi secara professional dalam jangka waktu yang cukup
panjang.
6. Campur tangan
Adakala pasien kecanduan merasa tidak ingin melakukan serangkaian pengobatan untuk
mengatasi kecanduan mereka dikarenakan berbagai alasan. Campur tangan disini adalah
peran keluarga dan sahabat terdekat untuk membantu pasien mengatasi kecanduan
bersama dengan terapis.
7. Metode pengobatan dengan dukungan keluarga
Dukungan keluarga menjadi salah satu hal yang diterapkan dalam pengobatan jenis ini.
Dengan dukungan dari orang yang dicintai maka kesuksesan terapi pengobatan pasdien
kecanduan akan meningkat dan menimbulkan semangat bagi pasien untuk berjuang
sembuh dari kecanduan tersebut.
8. Program alumni (komunitas pasien yang telah sembuh dari kecanduan)
Para pasien yang telah sembuh dari kecanduan membentuk suatu komunitas dan
memberikan pengalaman mereka selama pengobatan dan menularkan kisah sukses
mereka terhadap para pasien yang masih mengalami kecanduan. Program seperti ini
menimbulkan motivasi dan memberi anggapan bahwa pasien tidak berjuang sendiri
melainkan bersama-sama.

Selain cara tersebut diatas, menurut (Santrock, 2002). penangangan adiksi alkohol dapat
dilakukan dengan cara terapi intervensi yang bertujuan untuk menahan keinginan dalam
mengonsumsi alkohol dan mengurangi ketergantungan sebaik intervensi psikoterapi.

Selain pusat rehabilitasi, solusi bagi pecandu alkohol adalah dengan mengikuti suatu
kelompok semi-rehabilitasi. Sebagai contoh, adanya kelompok bantuan yang cukup terkenal di
Amerika Serikat yang bernama Alcoholic Anonymous (AA). Keanggotaannya bersifat terbuka
bagi siapa saja yang ingin lepas dari masalah kecanduan alkohol. Didalam kelompok ini juga
terdapat intervensi psikofarmakologi dalam penanganan adiksi yang dipelopori para ahli.

Menurut (Giovanni Addolorato, 2013) kelompok lain yang turut serta berkontribusi
dalam pengobatan kecanduan adalah Alcohol Addiction Unit (AAU) yang didirikan pada tahun
1998 di bawah pengawasan Departemen Penyakit Dalam Rumah Sakit Gemelli, Universitas
Katolik Roma, Italia. AAU bertugas melakukan evaluasi secara klinis, mengelola dan mengobati
para pecandu alkohol. Pasien akan mengikuti serangkaian prosedur pengobatan lewat sesi
konseling bersama psikolog yang kompeten setiap minggu dan dengan bantuan obat baclofen (10
mg, t.i.d.) yang diresepkan kepada pasien untuk mengurangi keinginan mengonsumsi alkohol
dan terbukti aman bagi pecandu alkohol yang memiliki penyakit sirosis hati (G. Addolorato,
2002).

Menurut saya, kecanduan terhadap alkohol seharusnya bisa dihindari dengan


membangun kesadaran diri akan bahaya alkohol yang bisa mengancam kesehatan. Selain
membangun self awareness, kita juga sebaiknya memperhatikan faktor lain yang berpengaruh
seperti faktor lingkungan dan pergaulan karena faktor eksternal juga memiliki andil yang besar
dalam mengontrol perilaku seseorang. Menghindari lingkungan yang memiliki nuansa
alkoholisme dan perilaku menyimpang adalah pilihan terbaik untuk menghindarkan diri kita dari
kemungkinan terburuk yaitu kecanduan alkohol.

Di negara kita, alkoholisme sendiri bukan merupakan budaya sehari-hari dan dianggap
sebagai penyimpangan norma dari budaya ketimuran yang kita anut sehingga wajib hukumnya
bagi warga Indonesia untuk lebih mawas diri dengan konsumsi alkohol yang notabennya tidak
sehat. Kosekuensi yang dihadapi pecandu alkohol bukan hanya pada diri sendiri melainkan juga
dapat terjadi pada lingkungan sekitar dan keluarga terdekat. Rusaknya relasi sosial akan
menimbulkan dampak psikis pada penderita alkoholisme.

Dari uraian diatas dapat kita lihat bagaimana mekanisme alkohol menyerang bagian –
bagian tubuh terutama otak manusia. Menurut saya otak merupakan organ yang sangat vital dan
apabila otak terganggu karena adanya konsumsi alkohol yang berlebihan apalagi hingga
memunculkan adiksi atau kecanduan alkohol maka akan timbul berbagai masalah. Sebaiknya
kita harus memahami apa dampak dari alkohol dengan seksama, dengan begitu kita akan lebih
kritis menanggulangi kecenderungan adiksi yang mungkin saja bisa timbul dan alangkah lebih
baik jika kita berupaya menghindari konsumsi minuman beralkohol meskipun dalam jumlah
yang sangat sedikit. Sebisa mungkin kita menghindari konsumsi alkohol hanya sebagai ajang
pamer, untuk sekadar coba-coban atau dalam rangka menaikan status sosial (gengsi) di
masyarakat.

Setelah membahas berbagai dampak kecanduan alkohol maka dapat disimpulkan bahwa
kecanduan alkohol dapat mempengaruhi kerja sistem saraf manusia, membahayakan kesehatan
dan menimbulkan dampak bagi penggunanya secara fisiologis maupun psikologis. Sebaiknya
kita menghindari mengonsumsi alkohol karena pengaruhnya yang buruk terhadap kesehatan dan
menimbulkan dampak pada diri sendiri maupun lingkungan sekitar kita.
Daftar Pustaka
Alan Stevens. (2013). Understanding Addiction to Alcohol. Mary Pomerantz Advertising.

Alaux-Cantin S, W. V. (2013). Neuropharmacology. Alcohol intoxications increase motivation for


alcohol in adult rats and induce neuroadaptations in nucleus acumbens.

Anamaria Ciubar, S. L. (2015). PSIWORLD 2014. Alcohol addiction - a psychosocial perspective, 1-2.

Anamaria Ciubară, c. L. (2015). Alcohol addiction - a psychosocial perspective .

Anamaria Ciubară, c. L. (2015). PSIWORLD2014. Alcohol addiction - a psychosocial perspective , 1-2.

André Luiz Monezi Andradea, R. B.-F. (2016). Addictive Behaviors. Web-based self-help intervention
reduces alcohol consumption in both heavy-drinking and dependent alcohol users: A pilot study,
6.

Arief Niendya W, M. A. (2011). Rasio Bobot Hepar-Tubuh Mencit (Mus musculus L.) setelah Pemberian
Diazepam, Formalin, dan Minuman Beralkohol , 3.

Association, A. P. (2013). Diagnostic and statistical manual of mental disorders (DSM V).

C. Harper, I. M. (2005). Current Opinion in Pharmacology5. Ethanol and Brain Damage.

C.G. Harper, P. B. (1982). Journal of Neurology, Neurosurgery,and Psychiatry 45. Brain weights in
alcoholic.

California Addiction Network. (2013). How To Get Rid of Alcohol and Drugs Addiction. California:
California Addiction Network.

Candra Priangguna, D. M. (2015). Perilaku Mengkonsumsi Minuman Beralkohol Pada Mahasiswa


Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Negeri Surabya, 2.

D. Zeigler, C. W. (2005). Preventive Medicine. The neurocognitive effects of alcohol on adolescents and
college students.

Daniel F. Hermens, J. L.-W. (2012). Pathways to alcohol-induced brain impairment in young.

E.N. Chiejina, C. O. (2012). European Journal of Social Sciences. Reinforcers to Alcohol Consumption
and the Self-Control Measures among Rural and Urban Dwellers .

E.N. Chiejina, C. O. (2012). European Journal of Social Sciences. Reinforcers to Alcohol Consumption
and the Self-Control Measures among Rural and Urban Dwellers, 1.

Erica N. Grodin, H. L. (2013). NeuroImage : Clinical. Deficits in cortical,diencephalic and midbrain


graymatter in alcoholism measured byVBM:Effects of co-morbid substance abuse.
G. Addolorato, F. C. (2002). Alcohol Alcohol. Baclofen efficacy in reducing alcohol craving and intake:a
preliminary double-blind ran-domized controlled study.

Giovanni Addolorato, A. M. (2013). ALCOHOLISM : CLINICAL AND EXPERIMENTAL


RESEARCH. Liver Transplantation in Alcoholic Patients:Impact of an Alcohol Addiction Unit
Within a Liver Transplant Center, 2-3.

Huss, M. (1852). Chron. Alkoholkh. Stockholm-Leipzig .

J.H. Krystal, J. S. (2006). Gamma-aminobutyric acid type Areceptors and alcoholism: intoxication,
dependence, vulnerability, and treatment.Archives of General Psychiatry, 957–968.

Jellineck, M. E. (1960). The Disease Concept of Alcoholism. New Brunswick : Hillhouse Press.

John P.J. Pinel, M. E. (1998). A Colorful Introduction To The Anatomy Of The Human Brain. USA: Allyn
& Bacon.

Jotangia D. E. Fuller, M. F. (2009). Alcohol misuse and dependence. In AdultPsychiatric Morbidity in


England, 2007 Results of a Household Survey(eds S.McManus, H. Meltzer, T. Brugha, etal.).
Leeds: NHS Information Centre forHealth and Social Care.

Jung, J. (2010). Alcohol, Other Drugs, and Behavior: Psychological Research Perspectives. Sage
Publications Inc.

National Collaborating Centre for Mental Health. (2011). Alcohol-Use Disorders. London: The British
Psychological Society and The Royal College of Psychiatrists.

National Collaborating Centre for Mental Health. (2011). Alcohol-use Disorders, The Nice Guideline in
Diagnosis, Assesment and Management Of Harmful Drinking and Alcohol Dependence. The
British Psychological Society and The Royal College of Psychiatrists.

National Collaborating Centre for Mental Health. (2011). Alcohol-use Disorders, The Nice Guideline On
Diagnosis, Assesment And Management Of Harmful Drinking And Alcohol Dependence. The
British Psychological Society and The Royal College of Psychiatrists.

Nutt, D. (1999). TheBritish Journal of Psychiatry 175. Alcohol and the brain. Pharmacological insights
for psychiatrists., 114–119.

Pinel, J. P. (2009). Biopsychology. Pearson Education Inc.

Prelipceanu, D. (2011). Psihiatrie Clinică. Bucharest: Ed. Medicală.

S. Loeber, T. D. (2009). Alcohol & Alcoholism. Impairment of cognitive abilities anddecision making
after chronic use of alcohol: the impact of multipledetoxifications. , 372–381.

Santrock, J. (2002). Perkembangan Masa Hidup (Terjemahan dari Life-Span Development) Edisi 5, Jilid
I. Jakarta: Erlangga.
Santrock, J. (2002). Perkembangan Masa Hidup (Terjemahan dari Life-Span Development) Edisi 5, Jilid
II. Jakarta: Erlangga.

Spear, L. (2011). Alcohol and Developing Brain. UK: Blackwell Publishing Ltd.

Stevens, A. (2013). Understanding Addiction to Alcohol. Mary Pomerantz Advertising.

Stevens, A. (2013). Understanding Addiction to Alcohol. Mary Pomerantz Advertising.

Stevens, A. (2013). Understanding Addiction to Alcohol. Mary Pomerantz Advertising.

T.L. Briones, J. W. (2013). CHRONIC BINGE-LIKE ALCOHOL CONSUMPTION IN ADOLESCENCE


CAUSES DEPRESSION-LIKE SYMPTOMS POSSIBLY MEDIATED BY THE EFFECTS OF
BDNF ON NEUROGENESIS.

Utina, S. S. (2012). Jurnal Health and Sport. Alkohol dan Pengaruhnya Terhadap Kesehatan Mental, 3.

Vaillant, G. (1983). The natural history of alcoholism: causes, patterns, and paths to recovery.
Cambridge: Havard University Press.

Wand, L. M. (2004). Physiology & Behaviour. Opioids and alcoholism.

WHO, W. H. (2004). Global status report on alcohol, (p. 2).

Wolfgang Heckmann, C. M. (2009). Alcohol Dependence: Clinical aspects and diagnosis. Minha Editora.

Wolfgang Heckmann, C. M. (2009). Alcohol Dependence: Clinical aspects and diagnosis. Minha Editora.

Wolfgang Heckmann, C. M. (2009). Alcohol dependence:Clinical aspectsand diagnosis.

Anda mungkin juga menyukai