BAB I
PENDAHULUAN
Material timbunan dan cara pemadatan tanah akan mempengaruhi kuat geser dan
stabilitas lereng dari suatu bendungan urugan existing. Kondisi lainnya yang membahayakan
stabilitas bendungan urugan adalah deformasi berlebihan, tegangan berlebihan, limpasan
(overtopping), dan erosi internal. Bentuk-bentuk ketidakstabilan bendungan urugan ini
dapat terjadi pada kondisi biasa dan luar biasa.
Bahan ajar ini disusun sebagai pengantar bagi peserta pelatihan untuk memahami
masalah penimbunan dan pemadatan tanah serta pengawasannya dalam melaksanakan
konstruksi suatu bendungan urugan tanah. Materi bahan ajar ini menjelaskan mengenai
dasar-dasar pemilihan material timbunan dan cara penimbunuan dan pemadatan tanah
pada suatu bendungan urugan tanah.
BAB II
MATERIAL TIMBUNAN
2.1 Umum
Secara garis besar bahan atau material pokok timbunan tubuh bendungan dapat
dibedakan dalam 2 (dua) macam, yaitu :
- Material yang fungsi utamanya untuk mendukung stabilitas tubuh bendungan, berupa
material lulus air, seperti pasir, kerikil dan batu.
- Material yang fungsi utamanya untuk mencegah rembesan air dari waduk, berupa
material kedap air yang umumnya berupa tanah lempungan.
Pada umumnya material lulus air tidak sensitif terhadap perubahan tingkat kadar air yang
dikandungnya, sehingga karakteristik mekanisnya juga tidak banyak berubah saat terjadi
perubahan kadar air, baik yang berasal dari air hujan maupun dari air tanah. Sebaliknya
material kedap air sangat sensitif terhadap perubahan tingkat kadar air yang
dikandungnya. Oleh karena itu, pada saat penimbunan, kadar air material tersebut harus
selalu diawasi secara teliti, apabila kadar airnya berbeda dari spesifikasi desain, maka
kadar air material tersebut harus disesuaikan lebih dulu sebelum digunakan untuk
timbunan.
Material untuk tubuh bendungan, biasanya diusahakan agar dapat diambil sedekat
mungkin dari tempat lokasi calon bendungan. Hampir semua material tanah/batuan dapat
digunakan sebagai material tubuh bendungan, kecuali tanah yang mengandung zat-zat
organik atau zat-zat yang mudah larut lainnya.
Berhubung banyaknya jenis material yang terdapat di daerah sekitar lokasi calon
bendungan, maka dengan dasar pemilihan material yang paling ideal, tubuh bendungan
dapat direncanakan sedemikian rupa, sehingga didapatkan altermatif bentuk geometri
yang paling menguntungkan.
Berdasarkan material timbunan yang digunakan, tipe bendungan urugan dapat dibedakan
menjadi 3 jenis, seperti tabel di bawah.
Zone Kedap
Bendungan Urugan Air Apabila 80% dari seluruh bahan
Homogen Zone Lulus Air pembentuk tubuh bendungan terdiri
dari bahan yang bergradasi sama
Drainase dan bersifat kedap air.
Inti Vertikal Zone Inti Kedap Air Apabila bahan pembentuk tubuh
Zone Lolos Air bendungan terdiri dari bahan yang
Zone Lolos Air
lolos air, tetapi dilengkapi dengan
Zone Transisi inti kedap air yang berkedudukan
vertikal.
Apabila bahan pembentuk tubuh
Bendungan Urugan Batu bendungan terdiri dari bahan yang
Dengan Membran Zone Lolos Air lolos air, tetapi dilengkapi dengan
Membran
membran kedap air di lereng
udiknya, yang biasanya terbuat dari
lembaran baja tahan karat,
lembaran beton bertulang, aspal
beton, lembaran plastik, dan lain-
lainnya.
Keterangan :
a) Bendungan urugan tanah homogen
Ditinjau dari pelaksanaan pembangunannya bendungan tipe ini merupakan bendungan
yang paling sederhana dibanding tipe lain. Akan tetapi karena sebagian besar material
yang digunakan berupa tanah/lempung yang sensitif terhadap kandungan air, pelaksanaan
pembangunan akan terganggu oleh curah hujan. Untuk mengurangi pengaruh air hujan
terhadap timbunan, ada beberapa upaya yang dapat dilakukan, diantaranya:
- Tidak menghentikan pekerjaan sebelum hamparan tanah timbunan dipadatkan.
- Setiap akhir pekerjaan atau sebelum hujan, permukaan timbunan digilas dengan mesin
gilas, sehingga membentuk ”sealing” pada permukaan timbunan dan air tidak meresap
kedalam timbunan
- Profil timbunan dibuat miring, sehingga air hujan yang jatuh diatas timbunan akan
segera mengalir keluar daerah timbunan.
- Bila mungkin, permukaan timbunan ditutup dengan terpal atau lembaran plastik.
Timbunan berikutnya dilaksanakan setelah lapisan permukaan yang basah karena hujan
dikupas, bila tidak turun hujan permukaan yang halus harus dicacah atau dikasarkan lebih
dulu agar terbentuk ikatan yang baik dengan lapisan timbunan diatasnya. Pengkasaran
juga perlu dilakukan, apabila dijumpai permukaan timbunan yang halus bekas lalu-lalang
kendaraan atau peralatan konstruksi lain.
B) Bendungan zonal
Bendungan tipe ini memiliki 2 macam atau lebih zona timbunan, yaitu: zona kedap air,
filter, transisi, zona lulus air atau zona batu. Zona kedap air atau inti, biasanya
menggunakan tanah lempung yang sensitif terhadap air. Pada pekerjaan timbunan inti,
hindari pembuangan air hujan yang kotor ke zona filter, karena dapat mengakibatkan filter
menjadi buntu (clogging). Filter juga harus dijaga dari kontaminasi material zona inti
disebelahnya dan guguran material dari kendaraan yang lewat menyeberangi zona filter,
disamping itu gradasi filter dan juga transisi harus diperiksa dan dijaga agar selalu
memenuhi spesifikasi teknis. Untuk zona urugan batu, pilih dan tempatkan batu-batu
berukuran kecil disamping transisi, kemudian yang lebih besar di bagian timbunan lebih
luar. Awasi dengan teliti dan hindari penggunaan batu diluar jenis dan mutu yang
ditetapkan.Bagi bendungan zonal urugan batu dengan inti miring, zona urugan batu
dibawah inti juga berfungsi seperti fondasi bendungan, bentuk-bentuk ketidak beraturan
pada sisi pertemuannya dengan filter dapat menyebabkan terjadinya penurunan yang tidak
merata pada timbunan inti yang berakibat timbulnya retakan dalam timbunan.
Dari ukuran butiran maupun gradasi (distribusi ukuran butiran) dari suatu material
dapat diperkirakan sifat teknisnya, antara lain sebagai berikut :
- Tanah berbutir kasar yang bercampur secara homogen dengan butiran-butiran yang
lebih halus, akan merupakan bahan yang baik untuk stabilitas bendungan.
- Semakin kecil ukuran butiran tanah, maka koeffisien filtrasinya akan semakin rendah.
Seperti telah diuraikan diatas, semakin kecil ukuran butiran tanah, maka koefisien
permeabilitasnya akan semakin rendah. Biasanya jenis tanah yang baik untuk zone
atau lapisan kedap air adalah tanah dengan butiran yang agak kasar (coarse grains),
tetapi bercampur secara homogen dengan dua jenis tanah yang lebih halus yaitu :
- Tanah yang 10 -15 % bagiannya dapat melewati saringan berukuran 0,074 mm.
- Tanah lempungan yang 5 % bagiannya dapat melewati saringan 0,005 mm.
Material kedap air (ASTM D 2487-90) terdiri dari: lempung berplastisitas tinggi dan
plastisitas rendah (CH dan CL), pasir lempungan dan kerikil lempungan(SC-GC), dan
lanau lempungan (CL-ML). Material ini biasa digunakan sebagai material urugan zona inti
dan selimut kedap air, memiliki koefisien permeabilitas setelah dipadatkan lebih kecil dari
orde 10-5 cm/s.
Material semi kedap air, mecakup: lanau, pasir lanauan (SM), kerikil lanauan (GM), pasir
lanauan dan pasir bergradasi buruk (SP) yang mengandung butiran halus yang lolos
ayakan no. 200 hingga 12% (biasanya 5% adalah batas atas material lulus air) bersifat
semi kedap air, walaupun dalam spesifikasi material diizinkan dipakai untuk material
urugan zona lolos air.
Identifikasi tanah di lapangan dapat dilakukan secara sederhana, karena terbatas dengan
alat dan pandangan/kamampuan mata yang sangat terbatas, sehingga hanya dapat
digolongkan ke dalam butiran kasar dan butiran halus. Untuk butiran kasar merupakan
butiran yang mempunyai ukuran butiran pasiran 0,075 m sampai kerikilan (gravel) 80 mm.
Dengan mengamati diameter butiran, gradasi dan bentuknya, maka dapat dilakukan
identifikasi jenis tanah butir halus di lapangan (Peck, Hanson dan Thornburn) seperti di
bawah ini :
Shaking test Air akan timbul secara cepat. Tidak beraksi dan tanah tidak ada perubahan.
Plasticity Kekuatan yang rendah cepat mengering. Dalam keadaan plastis mumpunyai kekuatan
Dalam keadaan sekitar plastis mudah yang tinggi. Cukup lama mengering.
dihancurkan. Umumnya dalam keadaan teguh.
Dispersion Mengendap antara 15 – 30 menit (Pasir Proses pengedapan yang cukup lama bahkan
mengendap antara 30 – 60 detik). berhari-hari.
Catatan : Cara-cara di atas mudah untuk dilakukan di lapangan.
Dengan cara pengelompokan prosentase butir halus dan butir kasar secara tabelaris dan
seterusnya dapat diperiksa tabel Unified Soil Classification di bawah, maka jenis tanah ini
dapat ditentukan.
Yang dimaksudkan material lulus air menurut ”Pedoman Uji Mutu konstruksi Tubuh
Bendungan Tipe Urugan” adalah pasir dan atau kerikil non kohesif yang mempunyai sifat
meluluskan air (free drain) dan mengandung butiran yang lolos saringan no. 200 kurang
dari 5%. Uji kompaksi standar (standard proctor) di laboratorium terhadap material ini tidak
dapat menghasilkan kadar air optimum dan kepadatan kering maksimum yang jelas,
seperti halnya material kedap air (lempung). Kepadatan kering di lapangan dapat diperoleh
dari hubungan kepadatan maksimum dan minimum yang dapat diperoleh dari pengujian
kepadatan relatif di laboratorium dengan menggunakan meja getar (SNI 03-1965-1990).
Biasanya, zona urugan luar (shell) suatu bendungan menggunakan tanah berbutir kasar
yang mengandung sejumlah butiran halus dan didesain sebagai zona lulus air.
Jenis batuan yang cocok sebagai material urugan dari suatu bendungan, adalah seperti
tabel di bawah.
Tabel 2.4 Jenis Batuan yang Cocok untuk Bendungan.
Jenis batuan yang baik untuk digunakan Jenis batuan yang harus dipertim-
sebagai bahan. bangkan sebelumd
Granit Serpih, batu sabak
Basalt, andesit, dan riolit Tufa
Batu pasir yang berumur sebelum era Mesozoik Batu pasir yang berumur Era kenozoikum
Batu gamping Genes, sekis yang mengandung
Kwarsit banyak retakan
dengan kadar air dan indeks plastisitas tinggi (CH) yang berpotensi bersifat ekspansif dan
sulit dikerjakan pada kadar air mendekati kadar air optimum.
Untuk memperbaiki sifat dan konsistensinya tersebut jenis tanah tersebut yang dikenal
sebagai stabilisasi tanah dengan cara pencampuran dengan pasir atau kapur, tergantung
kemudahan dan tersedianya material pencampur tersebut di lapangan. Dengan cara
stabilisasi tersebut disamping kemudahan pengerjaan (workability), juga meningkatkan kuat
geser tanah. Khusus mengenai tanah dispersif ini dibahas lebih dalam pada bab tersendiri.
Bila material random ini digunakan pada bendungan tipe sekat, maka sebagai lapisan
kedap air yang dipasang pada lereng hulu, digunakan material seperti beton aspal, beton
bertulang, material pelapis kedap air. Akan tetapi pada perhitungan stabilitas bendungan,
terutama perhitungan longsoran, kekuatan geser material pelapis kedap air yang tipis ini
biasanya diabaikan.
1. Tanah Dispersif
Tanah lempung/tanah yang bersifat dispersif adalah tanah yang mudah tererosi karena
suatu proses terjadinya pemisahan butiran-butiran tanah pada air yang tenang/diam.
Sedangkan proses erosi pada tanah sedikit berbeda, karena adanya kecepatan air. Erosi
buluh (“piping”) pada lempung dispersif terjadi karena pergerakan air yang lambat yang
menyebabkan terjadinya kerusakan atau keruntuhan pada bendungan- bendungan urugan
tanah, saluran-saluran dan bangunan-bangunan air lainnya.
Perbedaan yang prinsip antara tanah lempung dispersif dengan lempung biasa yang tahan
terhadap erosi adalah kandungan kation unsur kimia yang ada dalam air pori. Lempung
dispersif banyak mengandung kation dari unsur natrium, sedangkan lempung biasa yang
tahan terhadap erosi banyak mengandung kation unsur kalsium dan magnesium dalam
air porinya. Sifat lain yang penting dari lempung ini adalah mudah sekali untuk mengurai
karena banyaknya larutan kation natrium dalam air pori, dalam hubungannya dengan
banyaknya larutan kation lainnya, terutama kalsium dan magnesium.
2. Tanah Ekspansif
Faktor - faktor yang sangat mempengaruhi sifat ekspansif ini adalah sebagai berikut :
- Kandungan mineral lempung dan sifat kimia air dan tanah.
- Plastisitas dan berat isi tanah.
- Kondisi lingkungan dan kadar air
c) Uji konsolidasi 1-D dengan cara pengembangan bebas (free swell) atau dengan
volome tetap (constant volume).
Likuifaksi adalah suatu fenomena lapisan tanah pasiran yang berubah konsistensinya
menjadi seperti cairan (liquid). Apabila suatu endapan lapisan pasir yang jenuh mengalami
getaran/vibrasi, lapisan pasir tersebut cenderung akan memadat dan volumenya
berkurang, yang mengakibatkan meningkatnya tekanan air pori.
Pada pasir urai, terdapat rongga-rongga (void) di antara butiran tanah. Apabila terjadi
getaran, butiran-butiran tanah akan menyebar seakan-akan mengapung di dalam air,
dimana pada keadaan tersebut tekanan air pori meningkat mendekati atau sama dengan
berat butiran-butiran tanah tersebut.
- frekuensi getaran
- tekanan lateral (confining pressure) → initial liquefaction - tingkat kejenuhan
- distribusi ukuran butiran tanah
- kepadatan relatif
- stress - strain history
Khusus untuk tanah berproblema ini akan dibahas lebih rinci di dalam modul geoteknik.
BAB III
PERSYARATAN MATERIAL TIMBUNAN
b. Kekuatan geser
Untuk material berbutir halus (lempungan), biasanya mempunyai kuat geser yang lebih
rendah dibandingkan yang berbutir kasar. Besar kuat geser material ini dipengaruhi oleh
kadar air serta tingkat pemadatannya, karena itu walaupun dari material yang sama, kuat
gesernya akan berubah, apabila kadar air serta tingkat pemadatannya berubah pula. Akan
tetapi pada material berbutir kasar, perubahan-perubahan kuat gesernya tidak terlalu
besar, walaupun material tersebut mempunyai kemampuan penyerapan air yang tinggi
(angka porinya besar). Pemadatan suatu material tanah, biasanya dilaksanakan pada
kadar air mendekati kadar air optimum dan akan memberikan kuat geser yang tinggi.
Akan tetapi setelah waduk terisi air dan material menjadi jenuh air, maka kuat gesernya
akan menurun.
Kuat geser suatu material, biasanya ditentukan oleh kohesi (c) dan sudut geser dalam (Ø).
Pada umumnya, suatu material dengan tingkat kepadatan D = 95 s/d 98% merupakan
harga yang cukup baik untuk digunakan pada penimbunan tubuh bendungan. Sedang
material timbunan dengan harga D = 90 s/d 95% biasanya digunakan untuk pembangunan
bendungan yang rendah (< 30 meter) atau untuk bendungan dari timbunan material
berbutir halus, dimana penimbunannya dilakukan pada kadar air yang lebih basah dari
kadar air optimumnya.
c. Konsolidasi
Semakin halus gradasi suatu material dan semakin tinggi kadar airnya, maka indeks
kompresinya akan menjadi lebih besar dan tekanan air pori mungkin dapat meningkat
pada saat berlangsungnya proses konsolidasi tersebut. Dengan demikian dalam tubuh
bendungan yang baru selesai ditimbun, selain tekanan - tekanan yang disebabkan oleh
hasil pemadatan, maka timbul pula tekanan-tekanan tambahan yang diakibatkan oleh
adanya proses-proses konsolidasi tersebut di atas (tekanan konsolidasi). Terutama untuk
material tubuh bendungan yang kadar airnya yang lebih tinggi dari kadar air optimumnya,
maka pada saat penimbunan dan pemadatan, tekanan air pori dapat meningkat cukup
siknifikan yang dapat mempengaruhi satabilitas bendungan.
d. Kemudahan Pengerjaan
Pada umumnya penimbunan dan pemadatan material berbutir kasar lebih mudah
dilaksanakan dibandingkan dengan material berbutir halus. Demikian pula kadar air suatu
material urugan dapat mempengaruh pelaksanaannya; pada kondisi kadar air sedikit
rendah dari kadar air optimumnya (dry side), penimbunan dan pemadatan tanah akan lebih
mudah dilaksanakan dibandingkan dengan tanah yang kadar airnya hanya beberapa
prosen saja bergeser ke arah yang lebih tinggi dari titik optimum tersebut (wet side).
Penentuan peralatan yang tepat juga akan mempengaruhi kondisi pemadatan material,
terutama kualitas hasil penimbunan. Contoh sederhana dalam pemilihan peralatan
tersebut adalah sebagai berikut :
e. Kandungan Organik
Kandungan organik adalah merupakan zat-zat yang mudah terurai yang dapat
mengakibatkan terjadinya perubahan-perubahan fisik dari zat-zat tersebut yang dapat
menurunkan kekuatan geser material. Oleh karena itu, material yang terpilih untuk tubuh
bendungan supaya bebas dari campuran zat - zat organik, atau kandungan organik
tersebut tidak boleh melebihi 5 %. Di bawah adalah plasticity chart untuk menentukan jenis
dan klasifikasi tanah.
Gambar 3.2 Plasticity chart ketahanan tanah terhadap erosi (kiri) dan gradasi tanah yang
rentan terhadap retakan (kanan)
3.2 Zona Filter dan Transisi
Untuk mencegah terbawanya material halus dari zona inti, maka di bagian hulu dan hilir
zona inti dilengkapi dengan zona filter dan zona transisi, sebelum zona batu sebagai zona
terluar dari suatu bendungan tipe zonal.
Material yang digunakan untuk zona filter/transisi tersebut adalah berupa pasir dan kerikil
yang dipilih sedemikian rupa, supaya mempunyai kuat geser dan kemampuan
meluluskan air (drainase) yang memadai. Kemampuan meluluskan air dari suatu material
berbutir kasar, biasanya sangat berbeda-beda, tergantung dari gradasinya. Sedangkan
sudut geser dalam biasanya tergantung dari bentuk butiran, kekerasan dan kestabilan
butiran terhadap pengaruh-pengaruh mekanis maupun fisik, gradasi, kepadatan, tekanan--
tekanan yang bekerja pada material tersebut, dan lain-lain. Sudut geser dalam dari
material berbutir kasar yang bentuk butirannya bersegi (angular), serta tingkat kekerasan
dan kestabilannya tinggi, gradasinya baik dan tingkat kepadatannya tinggi, akan lebih
tinggi dibandingkan dengan yang berbentuk membulat, bergradasi buruk dan tingkat
kepadatannya rendah.
Material kerikil ataupun pasir yang akan digunakan untuk lapisan filter, harus
mempunyai kemampuan menahan/menyaring keluarnya butiran-butiran halus dari zona
inti yang dilindungi, tetapi mempunyai kapasitas drainase yang memadai untuk
mengalirkan air rembesan ke hilirnya.
Agar filter dapat berfungsi sebagai penyaring butiran-butiran halus dari zona inti yang
dilindungi, maka jenis material tersebut harus memenuhi persyaratan seperti diuraikan di
bawah.
a) Kriteria pokok:
- Filter harus dapat mencegah terjadinya pengangkutan butir tanah oleh rembesan
- Permeabilitas (k) filter harus jauh lebih besar dari pada urugan yang dilindungi,
permeabilitas filter sekitar 20 ~ 100 permeabilitas inti.
Agar filter dapat berfungsi dengan baik, gradasi filter harus memenuhi kreteria berikut :
3). Kreteria filter terkait dengan jenis tanah dasar yang dilindungi, disajikan pada Tabel
3.1 di bawah.
Tabel 3.1 Hubungan antara jenis tanah dasar dan kriteria filter
2 Pasir, lanau, lempung, dan pasir lanauan, dan pasir D15F 9mm
0,7 3)
0,7 mm
4)
3 Pasir dan kerikil mengandung lanau dan lempung D15F +
yang melewati saringan No. 200 antara 15 % - 39 (40-A) (4xD85B –
5)
%. 0,7mm)
25
4 Pasir dan kerikil lebih kecil dari 15 % yang melewati D15F /D85B
saringan No. 4 (melewati 4, 75 mm)
4 6)
Keterangan :
1) Kategori tanah yang mengandung butiran > 4,75 mm ditentukan dari kurva gradasi dari
tanah dasar setelah disesuaikan menjadi 100 % melewati saringan No. 4.
2) Ukuran terbesar butir filter adalah 75 mm dan persentase yang melewati saringan No.
200 maksimal 5 % dan indek plastisitas ditentukan berdasar material yang melewati
saringan no. 40. Untuk meyakinkan filter mempunyai permeabilitas yang cukup maka
D15F
5 dan lebih kecil dari 0,10 mm.
D85B
Koefisien permeabilitas filter, dapat diketahui dari hasil uji lapangan atau uji laboratorium
terhadap contoh tanah tidak terganggu. Pada desain awal, permeabilitas filter dapat
diperkirakan dengan menggunakan rumus empiris Hazen, seperti berikut:
k = C x D102
Keterangan :
k : koefisien permeabilitas [cm/s];
C : konstanta = 1, berlaku untuk pasir dan kerikil bergradasi seragam,
tanpa sementasi dan bersih (lanau dan lempung < 5%);
D10 : ukuran butir yang lewat saringan 10 % pada kurva gradasi material (mm)
Untuk bendungan yang tingginya kurang dari 50 meter, dapat digunakan material batu
dengan persyaratan sebagai berikut:
- Berat jenis sekitar 2,3.
- Kuat tekan batu sekitar 300 kg/cm2.
- Daya tahan terhadap pelapukan pada pengujian dengan cairan Na 2SO4,
penyusutannya sebesar 0,15 %).
intensitas retakan yang rendah pada setiap bongkah batu dan mempunyai daya tahan
yang tangguh terhadap pengaruh air maupun pengaruh atmosfir lainnya. Semakin
besar ukuran batu serta semakin masif batu tersebut, maka material ini akan semakin
baik. Karena itu biasanya material batu yang berasal dari batuan beku atau batuan
metamorfis, merupakan material yang memenuhi persyaratan tersebut di atas. Material
yang berasal dari batuan sedimen kadang-kadang juga dapat digunakan terutama
batuan sedimen tua, tetapi harus dilakukan penelitian yang seksama. Jenis bahan
batu yang umumnya memenuhi syarat sebagai material timbunan tubuh bendungan
dapat diklasifisikan seperti pada tabel di bawah.
Mengingat material batu tersebut biasanya diledakkan guna memperoleh ukuran batu
serta gradasi yang sesuai dengan spesifikasi teknisnya, maka dilakukan uji peledakan di
lapangan untuk menentukan cara-cara peledakan yang sesuai, terutama mengenai
kedalaman dari pada setiap lubang.
Apabila gradasi material batu tersusun dari ukuran butiran kecil, maka pemadatan yang
dilakukan adalah dengan metode pemadatan perlapisan (placement compaction method)
yang merupakan cara pemadatan yang paling baik. Sedangkan untuk gradasi material
batu berukuran besar, pemadatan yang dilakukan dengan metode pemadatan menuang -
ratakan (dumping and slincing compaction method) yang merupakan cara yang paling
sesuai.
Apabila material batu mengandung 7 % butiran halus (yang dapat melalui saringan No.
200 dengan ukuran lubang 0,074 mm), maka material campuran ini akan bersifat kedap
air. Akan tetapi apabila kandungan bahan berbutir halus hanya mencapai > 4 %, maka
material campuran ini akan bersifat semi-kedap air.
Mengingat hal tersebut, maka terutama untuk material timbunan yang berasal dari sungai
yang diambil menggunakan mesin gali seret (drag-line), supaya diperhatikan kandungan
butiran halus, agar tidak melebihi persyaratan yang telah diuraikan di atas.
persyaratan khusus. Namun, kandungan material halus dan organik tetap tidak boleh >
5%, disamping bukan berasal dari batuan yang terlapuk kuat.
RANGKUMAN
Dalam rangka melakukan penimbunan dan pemadatan tanah, hal yang penting dilakukan
oleh pengawas lapangan adalah mengetahui jenis tanah yang dapat dijadikan sebagai
material timbunan. Pada prinsipnya hampir semua tanah dapat digunakan sebagai
material timbunan, namun khusus untuk bendungan yang selalu berhubungan dengan
air, faktor yang berkaitan dengan keamanan bendungan adalah permeabilitas, kuat
geser dan kompresibilitas. Faktor permeabilitas berkaitan dengan masalah rembesan,
baik debit bocoran yang keluar maupun terbawanya butiran tanah (piping). Faktor kuat
geser berkaitan dengan masalah stabilitas lereng dan daya dukung yang berhubungan
dengan masalah kelongsoran lereng (sliding) yang dapat mengakibatkan berkurangnya
jagaan dan memicu terjadinya limpasan melalui puncak bendungan (overtopping). Faktor
kompresibilitas berkaitan dengan masalah penurunan yang dapat berpengaruh terhadap
terjadinya keretakan-keretakan yang terjadi di dalam tubuh bendungan.
Hal lain yang perlu diperhatikan adalah jenis tanah yang bersifat khusus, yakni tanah
dispersif, tanah ekspansif, tanah yang mudah runtuh dan tanah berpotensi likuifaksi.
Apabila pengawas menemui jenis tanah tersebut sebaiknya cepat melaporkan kepada
atasannya untuk mencari solusinya.
BAB IV
PENANGANAN MATERIAL DI SUMBERNYA
Kadar air pada borrow pit dapat berubah karena hujan, penguapan dan pengolahan tanah.
Bagaimanapun juga, sebelum tanah bahan timbunan diangkut ke tempat penimbunan,
kontraktor harus mengupayakan supaya kadar air mendekati kadar air rencana, antara
lain dengan cara seperti di bawah.
a. Penyiraman
Didaerah kering, rata-rata kadar air di sumber galian alami berkisar 10-15 % dibawah
persyaratan untuk pemadatan. Dalam keadaan demikian, borrow area harus dibasahi
dengan menambah air. Pembasahan borrow area dapat dilakukan dengan penyiraman
/mengalirkan air dengan membuat tanggul kecil atau dengan sistim sprinkler. Apabila
sumber galian tidak dapat dibasahi, sprinkle pada waktu pelaksanaan penggalian
dapat ditambahkan, sehingga air dapat bercampur secara homogen dengan tanah,
saat pembajakan, pengangkutan, penuangan dan penebaran ( ripping, hauling,
dumping dan spreading.
b. Pengeringan
Pada saat musim hujan, tahapan pertama untuk mengeringkan atau menjaga kadar air
pada borrow pits adalah dengan membuat drainase permukaan. Cara ini dilakukan
dengan membuat saluran drainasi, dan membuat permukaan sumber galian miring
menuju saluran. Hal ini akan mengurangi penyerapan air hujan.
Untuk kondisi di Indonesia yang tanahnya berupa tanah lempungan hasil residual (residual
tropical soil), kadar air lapangan (wf) biasanya beberapa % sedikit di atas kadar air
optimum (OMC) standard proctor. Setelah diangkut ke tempat penimbunan, biasanya
kadar airnya sudah mendekati OMC.
Jenis peralatan penggali yang dipakai pada borrow area kering antara lain : Loader, back
hoe, power shovel, drag lines, scrapers, wheel excavator atau side delivery loaders.
Meskipun jarang, dredger sangat cocok digunakan untuk menggali material dari
submerged area dalam jumlah besar, yaitu dari sungai, waduk, dan lain-lain. Ada dua jenis
dredger yaitu “Bucket dredger dan Hydraulic dredger”.
Bila digunakan scraper untuk penggalian di borrow area yang lokasinya tidak berjauhan
dengan daerah timbunan, tambahan alat angkut sudah tidak diperlukan lagi. Bila
dipergunakan alat penggali lainnya, masih diperlukan alat angkut berupa truk dan belt
conveyor.
4.2 Quarry
4.2.1 Pengambilan Material
Rencana Pelaksana pengeboran dan peledakan harus mendapat persetujuan Direksi dan
Insatnsi Keamanan. Uji galian mungkin diperlukan untuk mengetahui apakah produksi batu
sesuai dengan spesifikasi yang telah ditetapkan
Tenaga Ahli Geologi yang berpengalaman, ahli tehnik dan ahli peledakan, ditempatkan di
quarry untuk melakukan pengeboran dan uji peledakan, agar produksi batu dapat
mencapai hasil yang optimum. Masalah yang sering dihadapi pada peledakan adalah
bagaimana memperoleh perbandingan volume batu pasir, kerikil, ataupun diameter yang
lebih besar sesuai desain.
Sebagai alat pemuat material material ke dalam truk atau alat angkut lainnya digunakan
Front-End-Loaders yang merupakan alat yang paling mutakhir, sedangkan Power shovel
jarang digunakan di quarry, namun masih digunakan untuk mengambil langsung dari stock
pile, karena kapasitasnya besar dan efisien serta dapat memuat langsung ke alat
pengangkut.
Truk adalah merupakan alat angkut utama ; ada tiga macam truk, yaitu :
1) Side Dump type ; alat ini jarang digunakan pada pelaksanaan Bendungan Urugan, dan
lebih sering digunakan untuk melayani bangunan gedung.
2) Bottom type ; alat ini lebih banyak digunakan, tetapi terdapat keterbatasan, batu besar
sering tidak bisa keluar, tersumbat dipintu, memerlukan buldoser untuk mencukil batu
tersebut. Jadi banyak waktu terbuang percuma dan mengganggu program angkutan.
3) End Dump Type ; alat ini adalah alat yang paling baik diantara ketiganya, karena
kecepatan, mobilitas, dan lebih murah.
Batu hasil ledakan perlu diproses lebih lanjut. Peralatan yang sering digunakan dalam
pemrosesan batu adalah sebagai berikut :
a) Grizzly
Grizzly adalah saringan dari batang baja, dipasang miring terhadap arah jatuhnya batu
yang disaring. Biasanya batang baja bagian atas lebar, kemudian makin kecil pada
bagian bawahnya, sehingga bukan semakin lebar dibagian bawahnya. Dengan
demikian saringan tidak akan tersumbat oleh jatuhnya batu yang disaring.
b) Trommel
Trommel adalah alat pemisah/pengayak yang lebih maju yang berupa silinder pelat
baja berlubang-lubang dan berputar; berfungsi untuk menyaring batu-batu besar, dan
juga bisa memisahkan batu selebihnya, ke beberapa saringan yang lebih kecil.
Trommel terbuka pada kedua ujungnya, dengan as silinder horizontal atau agak miring,
agar material dapat terdorong dengan berputarnya silinder. Sejumlah batu dimasukan
kedalam silinder yang berputar. Material yang besar bergerak dan dialirkan ke udjung
keluaran, sedangkan pecahan-pecahan kecil mengalir lewat lubang lubang kecil
dipangkal silinder, yang kemudian diterima dalam hopper dan dibawa ke stok piles
dengan menggunakan conveyor.
c) Saringan Getar (Vibrating Screen)
Alat ini digunakan untuk menyaring. Alat ini terdiri dari saringan baja, dipasang
horizontal atau miring. Material dimasukan kedalam saringan hingga sampai diujung
saringan dan keluar melalui hopper dan diterima oleh belt conveyor.
d) Alat pemecah batu (Rock Crusher Plants)
Pemecah batu tidak biasa digunakan untuk memecah batu-batu besar, karena biaya
opersionalnya terlalu besar. Pemecah batu digunakan untuk memproduksi batu filter
dan material drainase.
Beberapa macam pemecah batu, antara lain :
Jaw Crushers, untuk pemecah awal.
Impact Crushers, untuk pecah awal.
Cone Crushers, untuk pemecah tahap kedua.
Roll Crushers, untuk pemecah tahap ketiga.
Perencanaan Crushing Plant tergantung pada kondisi spesifikasi yang diperlukan.
Kontraktor harus berkonsultasi dengan pembuat peralatan pemecah batu, agar
hasilnya sesuai dengan spesifikasi yang telah ditentukan.
e) Alat Pencuci
Pencuci tidak diperlukan untuk produksi batu, tetapi diperlukan untuk produksi filter dan
material drainase. Pencucian dilakukan bersamaan dengan proses penyaringan, air
langsung disemprotkan ke material didalam saringan; dengan tekanan tinggi, air
disemprotkan tegak lurus pada permukaan saringan. Pencucian dilakukan pada waktu
akhir penyaringan.
Pengawasan pada waktu pelaksanaan uji quarry dilakukan untuk menjamin bahwa :
a) Tetap dipatuhinya spesifikasi uji quarry walaupun ada perbedaan didalam metode uji
dan prosedur, dengan demikian perbandingan dari metode yang berbeda dan analisa
dari informasi lain, akan punya arti.
b) Kelengkapan dan akurasi data disimpan selama pekerjaan berlangsung.
c) Harus dibuat laporan yang mencatat hal-hal sebagai berikut :
- Tipe mesin pengebor yang digunakan.
- Kecepatan pengeboran, untuk masing-masing tipe batuan.
- Diameter, kedalaman, pola, jarak, lobang bor, tipe dan intensitas bahan peledak.
Metode pengeboran dan peledakan yang dilakukan oleh kontraktor, mempunyai pengaruh
yang sangat menentukan terhadap gradasi batu yang dihasilkan. Pada umumnya,
pengalaman dari Pelaksana sangat penting; pengalaman terhadap peledakan pertama
akan memperoleh kriteria pengeboran dan pola peledakan. Jarak pengeboran dan
intensitas bahan peledak, tergantung pada kondisi batuan setempat. Produksi
batu/Quarry, bisa menggunakan cara “Bench cutting atau Coyote holing”. Metode coyote
memerlukan peledakan besar, awalnya lebih murah bila dibandingkan Bench Cutting,
tetapi kemudian masih diperlukan peledakan susulan untuk memecah batu yang besar
tersebut. Peledakan metode coyote tidak digunakan bila ingin mendapatkan material batu
untuk struktur.
Apabila material yang harus dicampur berupa perlapisan horisontal, penggalian dengan
alat power shovel pada arah vertikal harus dilakukan untuk mencampur material tersebut.
Apabila dengan cara tersebut hasil pencampurannya belum memenuhi syarat, maka
pencampuran ulang perlu dilakukan. Kontrol pelaksanaan dengan melakukan pemeriksaan
terhadap ketebalan, pemotongan lapisan, dan proporsi yang benar pada setiap lapisan,
serta memastikan bahwa material tercampur secara merata (homogen).
Bila kemajuan pekerjaan pengambilan tanah di borrow area berjalan jauh lebih cepat
dibandingkan pemadatan didaerah bendungan, atau lokasi borrow area jauh dari
bendungan maka dianjurkan untuk membuat stock pile di dekat daerah pekerjaan. Material
filter/drainase juga sering di stock, bila material tersebut harus didatangkan dari jauh.
Material tersebut harus ditempatkan sedemikian rupa, untuk menghindari terjadinya
pemisahan (segregasi) dan pencemaran (kontaminasi) dengan material lain. Penurunan
material filter, harus dilakukan dengan hati-hati, uji gradasi harus dilakukan di tempat stock
pile dan juga ditempat timbunan, agar tidak menyimpang dari spesifikasi.
Untuk menghindari segregasi, penuangan material filter dan drainase dari alat pengangkut
harus serendah mungkin. Lokasi penyimpanan filter atau drainase harus cukup jauh dari
material lain dan alat berat tidak boleh melintas diatas stock pile. Parit drainasi disediakan
untuk menjauhkan aliran air hujan dari daerah stock pile Uji gradasi harus dilakukan
terhadap contoh yang diambil dari beberapa lokasi di stock pile, demikian pula setelah
penempatan didaerah timbunan. Semua jenis material di stock pile harus diperiksa
kualitasnya dan harus memenuhi spesifikasi sebelum diangkut ke tempat penimbunan.
BAB V
PENIMBUNAN DAN PEMADATAN
5.1 Tanah
Kegiatan penimbunan dan pemadatan tanah ternyata telah dikenal ribuan tahun yang lalu,
seperti di Ceylon, penggunaan tanah sebagai material timbunan telah dikembangkan pada
tahun 504 SM. Pemadatan ini dilakukan pada pembangunan suatu bendungan yang
panjangnya kurang lebih 17 km dan tinggi 21 m yang dapat menampung sekitar
16.000.000 m3 air untuk keperluan irigasi. Namun kegiatan yang dilakukan tersebut belum
menggunakan suatu teknik pemadatan.
Massa tanah terdiri dari partikel-partikel padat (butiran tanah), udara dan air. Udara dan air
tersebut mengisi ruang pori diantara butirannya. Energi pemadatan umumnya
menggunakan bahan bergerak berupa penggilasan, penumbukan atau getaran.
Pemadatan adalah proses untuk meningkatkan kepadatan tanah dengan memperkecil
ruang/pori-pori antar partikel dengan berkurangnya volume udara. Pada pelaksanaan
penimbunan dan pemadatan tanah, tanah yang urai dihampar dengan ketebalan 25
sampai 40 cm, tiap lapis dipadatkan sesuai dengan standar tertentu menggunakan mesin
gilas (roller), penumbuk (rammers), atau penggetar (vibrator).
Kepadatan kering tanah setelah pemadatan tergantung pada kadar air dan besarnya
energi yang diberikan oleh alat pemadat. Sifat pemadatan tanah dapat diketahui dari
pengujian pemadatan dengan metoda Standard Proctor di laboratorium. Hasil dari
percobaan pemadatan dilaboratorium dapat dilihat pada gambar hasil uji pemadatan
dilabolatorium. Bila seluruh udara dalam tanah dapat dikeluarkan akibat pemadatan, maka
tanah tersebut berada pada keadaan jenuh sempurna dan kepadatan kering mencapai
harga maksimum pada kadar air.
Pada proses pemadatan ini, udara akan keluar dari ruangan/pori-pori, sedangkan jumlah
kandungan air tidak mengalami perubahan. Dengan demikian kadar air (w) ini tetap
nilainya sesudah maupun sebelum dipadatkan. Pengalaman menunjukkan bahwa dengan
berbagai cara pemadatan, udara didalam ruang pori tak mungkin seluruhnya dapat
dikeluarkan. Ini berarti bahwa keadaan jenuh sempurna tidak akan pernah dapat dicapai.
Salah satu cara untuk memperoleh hasil pemadatan yang maksimal telah dikembangkan
oleh Proctor (1933) di laboratorium. Dasar teknik pemadatan tanah ini mempunyai prinsip
bahwa nilai kepadatan tanah yang tinggi tergantung dari kadar air dan energi pemadatan
yang ada. Pada kadar air tertentu, akan dicapai nilai kepadatan maksinum. Kepadatan
maksimum yang lebih tinggi akan dicapai bila energi pemadatan ditingkatkan.
Meskipun akibat pemadatan tanah, kepadatan akan meningkat, tetapi prosesnya berlainan
dengan pemampatan (konsolidasi) yang mengalami proses terdrainasinya air di dalam
tanah akibat beban statis yang bekerja. Dengan demikian pada tanah yang dipadatkan
kuat geser (shear strength) akan meningkat, pemampatan (compressibility) berkurang dan
permeabilitas juga meningkat. Namun demikian hasil pemadatan yang maksimal
tergantung dari beberapa faktor, antara lain jenis tanah dan metoda/cara pemadatan.
Hal penting yang perlu diperhatikan dalam pengawasan pemadatan adalah menjaga
supaya tanah yang dipadatkan bersifat homogin dan tidak terjadi stratifikasi, yakni
menjaga :
- Jenis tanah yang digunakan memenuhi spesifikasi.
- Kadar air dari tanah yang dihampar konsisten pada batas yang ditetapkan, misalnya
tetap pada “sisi basah (wet side)”.
- Ketebalan tanah yang dihampar sesuai dengan spesifikasi, jangan terlalu tipis dan
jangan terlalu tebal.
- Alat pemadat dan banyak gilasan sesuai degan spesifikasi, semua bagian tanah yang
dihampar harus memperoleh energi pemadatan yang sama, pada bagian yang
sempit/khusus gunakan alat pemadat yang sesuai, misalnya penumbuk tangan,
tamping rammer, baby roller, dll.
Bila kondisi tanah tidak dipadatkan dengan baik (tidak mengikuti prosedur), sehingga
terjadi lapisan yang tidak homogin serta stratifikasi, maka hal tersebut dapat menimbulkan
masalah rembesan setelah waduk diisi.
a) Standar Proctor
Pemadatan ini dilakukan dengan menggunakan peralatan yang telah dibakukan. Energi
pemadatan diperoleh dengan menjatuhkan beban/penumbuk seberat 5.5 lbs (= 2.49 kg),
diameter 2 inchi (= 5.1 cm) setinggi 12 inchi (= 30.48 cm) pada lapisan yang dihampar
merata selapis demi lapis di dalam sebuah silinder besi berdiameter 4 inchi (= 10.16 cm),
tinggi 4.6 inchi (11.68 cm). Setiap lapisan ditumbuk 25 kali. Energi yang diperoleh sebesar
12.400 ft. lb/cu (= 60.5965 tm/m3). Pengujian kepadatan tanah ini dapat menggunakan
Metode Pengujian Kepadatan Ringan untuk tanah, SNI 03.1742.-1989.
Tanah yang dipadatkan mempunyai ukuran butir yang lolos saringan no. 4. Kadar air
diperoleh dengan mengeringkan beberapa gram tanah yang telah dipadatkan di dalam
oven bertemperatur antara 105 – 110 ºC selama kurang lebih 24 jam. Dari beberapa
pemadatan dengan kadar air yang berlainan, maka diperoleh suatu lengkung/kurva
pemadatan, seperti gambar di bawah.
b) Modified AASHO
Pada prinsipnya pengujian dengan cara ini sama dengan cara Standard Proctor diatas,
tetapi menggunakan energi kepadatan yang lebih besar. Berat penumbuk 10 lbs (= 4.54
kg), dijatuhkan setinggi 18 inchi ( = 45.72 cm) sebanyak 25 kali pada setiap lapisan tanah.
Tanah ditempatkan selapis demi selapis dalam silinder (mold) dengan ukuran diameter 6
inchi (= 15.24 cm) dan tinggi 5 inchi (= 12.70 cm). Tanah ini dihamparkan sebanyak 5
lapis. Energi pemadatan yang diperoleh sebesar 56.250 ft. lb/cu ft (= 274.7441 tm/m3).
Cara ini dilakukan untuk mengetahui sifat kepadatan tanah timbunan yang menggunakan
alat pemadat dengan energi pemadatan yang besar (alat-alat besar). Pengujian kepadatan
tanah cara ini sesuai dengan Metode Pengujian Kepadatan Berat untuk Tanah, SNI 03-
1743-1989.
Untuk memperoleh parameter teknik lainnya, maka pada kadar air tertentu (biasanya -1%
hingga +3% kadar air optimum/OMC), diambil contoh tanah (ex-proctor) untuk pengujian-
pengujian lainnya, antara lain :
- Konsolidasi untuk memperoleh indeks kompresi (Cc), koefisien konsolidasi (Cv),
tekanan prakonsolidasi ( σc), dll
- Permeabilitas (k),
- Kuat geser (triaksial, geser langsung/direct shear)
- Sifat dispersif (pin-hole test)
- Dll.
Gambar 5.3 Kurva hasil pemadatan laboratotium, Standar dan Modified Proctor
6) Konfirmasi antara parameter desain dengan sifat-sifat teknis dan perilaku material
pada saat pemadatan, dll.
Uji gradasi dilakukan sebelum dan sesudah pemadatan, untuk mengetahui banyaknya
butiran yang hancur selama pemadatan. Ketebalan lapisan juga harus diukur, demikian
pula kepadatan material setelah pemadatan harus ditentukan langsung dengan
menggunakan cara konvensional skala besar (water replacement) , atau langsung dengan
memeriksa penurunan/settlement lapis pemadatan. Bila kepadatan lapisan ditentukan dari
pengkuran penurunan, pengukuran harus dilakukan secara seksama, agar diperoleh hasil
pengukuran yang riil pada lapisan, tidak termasuk penurunan pondasi dibawahnya.
Pemeriksaan dan pengukuran dilakukan pada paritan yang dibuat ditengan hamparan batu
yang telah dipadatkan, yang mencakup pemeriksaan: tebal urugan yang dipadatkan,
distribusi material halus dan distribusi kepadatan. Untuk melengkapi data penurunan, jika
perlu dibuat beberapa uji kepadatan cara konvensional.
Untuk pemadatan lapisan urugan bendungan, ada 3 macam alat pemadat berat, yaitu:
- Mesin gilas kaki kambing (sheeps foot roller- tamping roller)
- Mesin gilas ban karet (tire wheel vibrating roller)
- Mesin gilas getar roda besi (steel wheel vibrating roller)
Kelebihan: mesin gilas ini digunakan untuk memadatkan tanah berbutir halus atau tanah
berbutir kasar dengan kandungan bahan halus yang cukup besar.
Jumlah roda tergantung dari berat mesin gilas yang bersangkutan dan tergantung pula dari
lebar jangkauan yang dikehendaki serta penempatan roda-rodanya dalam berbagai posisi.
Untuk memperoleh hasil pemadatan yang baik, maka diperlukan adanya tekanan yang
sama dan merata di seluruh bidang pemadatan, walaupun permukaan lapisan yang
dipadatkan tidak begitu rata. Persyaratan tersebut dapat dicapai dengan pengaturan udara
pada masing-masing ban, disesuaikan dengan berat mesin dan kondisi permukaan lapisan
yang akan dipadatkan.
Kegunaan: utamanya untuk memadatkan tanah kohesif (digunakan juga untuk tanah
pasiran atau tanh nonkohesif).
Kelebihan: jangkauan kedalaman pemadatan lebih dalam dari pada mesin gilas kaki
domba; permukaan tanah yang dipadatkan halus sehingga lebih tahan terhadap air hujan;
efektif untuk pemadatan pada ruang terbatas seperti pada bidang pertemuan dengan
tumpuan dan konstruksi beton; lebih efektif dari pada mesin gilas kaki domba dalam
pemadatan tanah kohesif yang mengandung butiran besar; urugan yang terlalu basah
dapat diketahui dari pengamatan adanya bekas roda mesin gilas.
Gambar 5.5 Mesin gilas kaki kambing (kiri) dan vibrating roller (kanan)
Kegunaan: untuk memadatkan material nonkohesif pada zona semi lulus air dan zona
llulus air yang berupa pasir, kerikil dan urugan batu
Kelebihan: dapat diperoleh kepadatan tanah nonkohesif yang lebih besar dibanding
dengan mesin gilas ban karet. Untuk memperbaiki hasil pemadatan urugan dapat
dibasahi.
Gambar 5.6 Alat pemadat manual (hand tamping rammer) di tempat sempit
e) Alat penghampar
Alat penghampar dan pemroses yang biasa digunakan pada pekerjaan timbunan
bendungan, antara lain seperti diuraikan di bawah.
Jenis Tanah Sangat berhasil bila digunakan pada Sangat berhasil untuk digunakan tanah
jenis tanah pasiran berlempung, tanah lempungan, juga dapat digunakan untuk
berbutir halus berpasir dan mengandung tanah lempung lanauan.
lanauan.
Perilaku Dapat dilengkapi dengan getaran, hasil Dapat dilengkapi dengan getaran, hasil
Pemadatan kepadatan tanah dilapis dengan jumlah kepadatan tanah dari kedalaman sheeps
lintasan tertentu dan juga dengan foot akibat getaran yang akan
meningkatkan tekanan angin roda. meningkatkan kekuatan tanah.
Demikian pula kandungan kadar air Pada lintasan awal, lapisan tanah paling
tanah lapangan sangat menentukan hasil bawah akan memadat dan setelah
pemadatan. beberapa lintasan tanah bagian atas
akan memadat.
Pada bagian atas lapisan tanah, akan Hasil kepadatan yang lebih merata dan
3). Tebal lapisan pemadatan ditentukan berdasarkan jenis material dan alat pemadat
yang dipergunakan. Material semi atau kedap air, biasanya dipadatkan dengan tebal
antara 15 cm - 20 cm urugan tanah lepas, dengan 6~8 lintasan pemadatan menggunakan
pemadat mesin gilas kaki domba.
Bila menggunakan mesin gilas tipe lain yang meninggalkan permukaan pemadatan yang
halus, setelah pemadatan perlu dilakukan pencacahan/pengkasaran permukaan timbunan
dengan roda pencacah, agar terjadi ikatan yang baik dengan lapisan timbunan diatasnya.
Untuk daerah yang sempit dan daerah transisi (abutment, bangunan beton, dan
sebagainya) pemadatan harus dilakukan secara manual menggunakan alat tamping
rammer atau tire roller, dengan ketebalan lapisan sebelum dipadatkan 7,5~10 cm.
Pemadatan yang dilakukan secara manual, pengasaran permukaannya dilakukan secara
manual pula misal menggunakan alat garuk.
4). Kadar air dan kepadatan material dilapangan, berdasarkan kadar air optimum dan
kepadatan maksimum hasil standar proctor di laboratorium dapat digunakan sebagai
pembanding terhadap hasil pemadatan di lapangan. Tingkat kepadatan minimum yang
dikehendaki, biasanya kepadatan kering maksimum bagi bendungan tinggi: 95~98%
kepadatan Standard Proctor, bagi bendungan rendah 90~95%, sedangkan toleransi kadar
air pada waktu dipadatkan adalah sekitar 3% dari kadar air optimum(OMC) seperti
tercantum didalam spesifikasi tekniknya.
Setiap jenis tanah mempunyai kepadatan maksimum dan kadar air optimum yang
berbeda-beda. Tingkat kepadatan dan kadar air pada setiap kali pemadatan harus
dibandingkan dengan hasil uji kepadatan di laboratorium untuk jenis tanah yang sama.
Bila jenis material yang digunakan tidak sama dengan jenis tanah yang telah diuji di
laboratorium, maka sebelum digunakan lebih dulu harus dilakukan uji material di
laboratorium sebagaimana yang dilakukan pada tahap desain guna menilai kesesuaian
material dengan parameter desain. Disamping itu juga perlu dilakukan percobaan
pemadatan di lapangan kembali, untuk meyakinkan konsistesinya terhadap desain.
Pada lembah datar dan lebar, timbunan dapat dilaksanakan dalam 2 potongan/segmen,
segmen pertama pada satu sisi sungai sampai sepenuh tinggi bendungan, kemudian
setelah bagian pertama selesai dilanjutkan pelaksanaan bagian lainnya. Pada fondasi
tanah lunak, timbunan dilaksanakan hingga elevasi tertentu sesuai hasil perhitungan daya
dukung fondasi, kemudian dihentikan menunggu proses disipasi tekanan air pori sampai
nilai yang direncanakan untuk mencapai derajat konsolidasi yang cukup, setelah itu baru
dilanjutkan tahap penimbunan berikutnya. Laju pelaksanaan timbunan di kontrol berdasar
tekanan pori dan konsolidasi didalam fondasi.
Pada lembah yang curam dan sempit dengan fondasi berupa batuan, seluruh urugan
harus dikerjakan secara serempak. Untuk menghindari limpasan banjir diatas timbunan,
sebelum pelaksanaan timbunan lebih dulu harus disiapkan saluran pengelak, kemudian
bendungan pengelak sementara (primary cofferdam), coferdam hulu dan hilir. Setelah itu
dilanjutkan dengan pembangunan pelimpah dan timbunan tubuh bendungan.
Pelaksanaan penimbunan material pada parit halang (cut off), harus dimulai dengan
menghampar lapisan pertama material filter di bagian hilir paritan (kalau filter tersebut
diperlukan di lereng hilir paritan) kemudian diikuti penghamparan lapis pertama material
kedap air. Setelah itu dilanjutkan pemadatan pada kedua zona, dengan alat pemadat
masing-masing yang sesuai. Didahulukannya penimbunan zona filter untuk menjaga agar
ketebalannya dapat memenuhi ketentuan yang disyaratkan. Filter-drainasi horisontal
dibagian hilir, setelah selesai dipasang, harus segera ditutup dengan material shell atau
timbunan bendungan diatasnya sebanyak 2 lapis untuk mencegah terkotorinya filter oleh
tanah halus yang terbawa aliran air permukaan.
Bila lapangannya masih luas, pemadatan dengan alat pemadat sheepfoot roller dilakukan
secara memanjang dan melintang yang dilakukan secara bergantian, sampai banyak
lintasan yang disyaratkan terpenuhi. Namun, bila medan kerja terbatas dimana pemadatan
normal dengan alat berat tidak dapat dilakukan, pemadatan dapat dilakukan dengan alat
pemadat yang lebih kecil atau dengan manual. Bila masih memungkinkan penggunaan
alat berat, sebaiknya pemadatan dilakukan dengan alat berat. Medan terbatas yang sering
masih memungkinkan penggunaan alat pemadat berat secara sangat hati-hati (bila ruang
gerak cukup) adalah tumpuan yang agak smooth, dinding beton pelimpah, dinding conduit,
menara intake, dll.
Bila pemadatan tidak memungkinkan menggunakan mesin gilas berat, diusahakan agar
mesin gilas dapat sedekat mungkin dengan permukaan fondasi/tumpuan atau dinding
bangunan dan bagian yang langsung berdekatan dengan permukaan tumpuan atau
dinding bangunan dipadatkan dengan memadat ringan (hand operated power tamper),
dengan lapisan pemadatan tipis tidak lebih dari 10 cm. Alat pemadat yang digunakan
harus memiliki berat statik minimal 45 kg (50 lb). Pengawas harus memeriksa bahwa
tekanan udara yang digunakan sesuai dengan manual dari pabrik. Dari pengalaman
menunjukkan pemadatan dengan tamper udara bertekanan satu kaki tidak dapat
menghasilkan pemadatan yang memadai. Pemadatan dengan alat berat dan dengan
tangan harus saling overlap sehingga tidak ada bagian urugan yang tidak terpadatkan.
Pemadatan zona kedap air pada daerah tersebut harus menggunakan tanah berbutir
halus. Tanah harus cukup plastis (sekitar OMC+4%) untuk dapat di-penetrasikan mengisi
rongga atau bentuk tidak beraturan permukaan fondasi/tumpuan dan membentuk ikatan
yang baik.
Pengawasan di daerah ini harus dilakukan secara ketat karena daerah ini lebih kritis
dibanding timbunan tubuh bendungan pada umumnya, terkait dengan rembesan,
penurunan yang berakibat retakan pada timbunan dan aliran buluh (piping). Harus dibuat
program khusus untuk pengambilan contoh (sample), dan pengawas harus mengawasi
setiap penggunan pemadat manual (power tamper).
1:6 1:6
1S
1S 1R
1R
1S 1S
1R
1S 1S
1S 1S
1S 1S
1S 1S
Gambar 5.9 Contoh tahapan pelaksanaan timbunan zona inti pada dasar galian fondasi
dan tumpuan
Pelaksanaan penimbunan material pada parit halang (cut off), harus dimulai dengan
menghampar lapisan pertama material filter di bagian hilir paritan (kalau filter tersebut
diperlukan di lereng hilir paritan) kemudian diikuti penghamparan lapis pertama material
kedap air. Setelah itu dilanjutkan pemadatan pada kedua zona, dengan alat pemadat
masing-masing yang sesuai. Didahulukannya penimbunan zona filter untuk menjaga agar
ketebalannya dapat memenuhi ketentuan yang disyaratkan. Filter-drainasi horisontal
dibagian hilir, setelah selesai dipasang, harus segera ditutup dengan material shell atau
timbunan bendungan diatasnya sebanyak 2 lapis untuk mencegah terkotorinya filter oleh
tanah halus yang terbawa aliran air permukaan.
dan menghambat distribusi butiran halus kesegala penjuru lapisan. Oleh karenanya perlu
disyaratkan bahwa material batu harus ditumpah langsung ditempat pemadatan.
Sebelum pemadatan, batuan berukuran lebih besar dari yang disyaratkan, harus
dipindahkan dengan bulldozer atau dengan crawler tractor yang dipasang dengan
penggaruk batuan atau crane. Batuan ukuran terlalu besar didorong ke dalam zona
lainnya pada lereng luar atau diangkut keluar ditumpuk dilain tempat atau dihancurkan
dengan membantingnya atau dihancurkan dengan bahan peledak dan digunakan diurugan
batu atau zona rip rap. Cara lain untuk memecah batuan yang terlalu besar adalah dengan
pahat hidrolik.
Ketebalan lapisan yang disyaratkan tergantung dari ukuran dan jenis batuan serta jenis
peralatan pemadat yang digunakan yang biasanya ditentukan dari hasil uji coba
penimbunan. Pada umumnya tebal hamparan dibatasi tidak boleh lebih tebal dari 60 cm
(24”) kecuali dari hasil uji coba penimbunan menunjukkan bahwa dengan hamparan yang
lebih tebal dapat diperoleh kepadatan yang memenuhi syarat. Ukuran maksimum batuan
harus tidak boleh melebihi 90% ketebalan hamparan lapisan.
Pengawasan ketat diperlukan untuk memastikan bahwa material tidak mengandung fraksi
halus berlebihan. Kelebihan fraksi halus dapat menyebabkan amblesan saat waduk diisi.
Gambar 5.10 Contoh tahap pelaksanaan timbunan dengan disertai lintasan angkutan
material diatas zona inti, tampak level lapisan filter/transisi selalu lebih tinggi dari level
zona inti
Pada lembah datar dan lebar, timbunan dapat dilaksanakan dalam 2 potongan/segmen,
segemen pertama pada satu sisi sungai sampai sepenuh tinggi bendungan, kemudian
setelah bagian pertama selesai dilanjutkan pelaksanaan bagian lainnya. Pada fondasi
tanah lunak, timbunan dilaksanakan hingga elevasi tertentu sesuai hasil perhitungan daya
dukung fondasi, kemudian dihentikan menunggu proses disipasi tekana air pori sampai
nilai yang direncanakan untuk mencapai derajat konsolidasi yang cukup, setelah itu baru
dilanjutkan tahap penimbunan berikutnya. Laju pelaksanaan timbunan di kontrol berdasar
tekanan pori dan konsolidasi didalam fondasi.
Pada lembah yang curam dan sempit dengan fondasi berupa batuan, seluruh urugan
harus dikerjakan secara serempak. Untuk menghindari limpasan banjir diatas timbunan,
sebelum pelaksanaan timbunan lebih dulu harus disiapkan saluran pengelak, kemudian
bendungan pengelak sementara (primary cofferdam), coferdam hulu dan hilir. Setelah itu
dilanjutkan dengan pembangunan pelimpah dan timbunan tubuh bendungan.
Pengawas bertanggung jawab terhadap penentuan setiap tahapan atau bagian
bendungan yang akan dibangun serta prosudur dan jadwal pelaksanaan yang tepat.
Perubahan urutan atau pengaturan waktu tahapan harus dilakukan atas pertimbangan ahli
desain.
300.00 As Dam
EL.283.00
HWL. EL.274.00 Sept'00
Agt'00 EL.274.00
Jul'00
Jun'00
Mei'00
Apr'00
250.00 5 1 5
2 Mrt'00 2
Jan'00
ELEVASI ( m )
Okt'99 Feb'00
Des'99
Feb'99 Nop'99
Jan'99
Sept'99
Nop '98 Agt'99
Okt '98 Jul'99 Apr'98
Apr'98
F/M '98 Jun'99
Nop'98
200.00 EL.200.00 Nop-DES '97 Jan '98 Mei'99 EL.200.00
1 Okt '97 Okt'98 - Apr'99
Apr'98 Mrt'98
Sept'98
Mrt'98
Sept '97 Agt'98 Jan'98
4 Agt '97 Jul'98 Feb'98 Des'97
Jul '97 Jun'98 Jan'98 Nop '97
Jun '97 Mei'98 Okt '97
Mrt - Apr '98 Sept '97
Feb '98
Des'97 - Jan'98 4
3a 4
3b
150.00 3a 3a
CATATAN:
1. Inti
CATATAN
POTONGAN MELINTANG
2. Rock
1 Inti
2 Rock
3a. Filter Halus
3a Filter halus
3b. Filter Kasar
3b Filter kasar
4. Transisi < 40 cm
4 Transisi Ø < 40 cm
5. Riprap
5 Riprap
Pada umumnya bendungan dibangun secara serempak mencakup seluruh lebar dan
panjang bendungan. Beberapa metode pelaksanaan penimbunan diuraikan seperti di
bawah.
1) Musim hujan
Semua zona bendungan dibuat rata, tetapi bagian atas timbunan harus dibentuk agak
cembung miring ke kedua arah tepi, agar selama musim hujan dapat terdrainasi dengan
dengan baik. Kemiringan arah melintang permukaan timbunan biasanya berkisar antara 1
% ~ 5 %.
2) Musim Kemarau
Selama musim kering, tinggi urugan zona kedap air boleh melebihi tinggi zona lulus air
bagian kiri dan kanannya, lazimnya sampai sebesar 1,5 m. Bila perbedaan tinggi tersebut
terlalu besar dikawatirkan menjadi longsor dan material halus dari zona inti yang logsor
akan mengotori/kontaminasi lapisan filter yang berakibat tersumbatnya filter. Untuk
memperoleh hasil pemadatan yang baik di tepi timbunan, masing-masing ditepi kiri dan
kanan diberi tambahan timbunan ekstra selebar 1 m sampai menutup zona filter. Setelah
timbunan zona inti mencapai ketinggian 1,5 m diatas zona filter, timbunan ekstra di sisi
dikiri dan kanan dipotong dan dirapihkan, filter dan urugan batu dibersihkan dari kotoran
tanah, baru kemudian dilanjutkan dengan timbunan filter dan batu. Pada metode ini harus
diperhatikan kemiringan zona inti jangan sampai melampaui kemiringan zona filter.
Pelaksanaan penimbunan material pada parit halang (cut off), harus dimulai dengan
menghampar lapisan pertama material filter di bagian hilir paritan (kalau filter tersebut
diperlukan di lereng hilir paritan) kemudian diikuti penghamparan lapis pertama material
kedap air. Setelah itu dilanjutkan pemadatan pada kedua zona, dengan alat pemadat
masing-masing yang sesuai. Didahulukannya penimbunan zona filter untuk menjaga agar
ketebalannya dapat memenuhi ketentuan yang disyaratkan. Filter-drainasi horisontal
dibagian hilir, setelah selesai dipasang, harus segera ditutup dengan material shell atau
timbunan bendungan diatasnya sebanyak 2 lapis untuk mencegah terkotorinya filter oleh
tanah halus yang terbawa aliran air permukaan.
Gambar 5.12 Pelaksanaan timbunan zona inti lebih tinggi dari zona filter dan urugan batu.
Gambar 5.13 Contoh tahap pelaksanaan timbunan dengan jalan angkutan material
(ramp) di atas zona inti
Perlindungan lereng hilir diperlukan untuk melindungi lereng dari erosi permukaan dan
hujan, yang dapat berupa kerikil untuk daerah yang kering, gebalan rumput untuk iklim
basah. Kadang-kadang pada bagian kaki hilir bendungan mendapat ancaman
gerusan/scouring dari aliran air yang keluar dari pelimpah, pada kondisi tersebut lereng
bendungan perlu dilindungi dari pengaruh gerusan tersebut, misal dengan rip rap.
lereng luar dengan ketebalan minimal 30 cm tegak lurus permukaan. Bila urugan
bagian luar bendungan (shell) berupa material random granular, untuk pelindung
lereng sering digunakan batu bongkah (cobles) yang ditekan masuk kepermukaan
lereng.
5.4.4 Pelaporan
1) Laporan harian
Laporan harian atau buku harian dipersiapkan oleh petugas inspeksi lapangan yang terkait
dalam bentuk formulir atau buku harian konstruksi. Formulir yang sama yang disiapkan di
lapangan dapat juga digunakan. Formulir itu harus dapat disiapkan oleh semua tingkatan
tenaga teknik setempat karena merupakan bagian dari catatan instansi terkait yang dapat
digunakan sebagai bukti hukum jika diperlukan. Laporan harian dapat juga digunakan
dalam menentukan sebab-sebab yang mungkin terjadi dalam kondisi sulit, rembesan yang
tidak umum, atau kondisi kritis lainnya selama dan setelah konstruksi selesai
dilaksanakan. Laporan dari pengawas tidak merupakan catatan perorangan, tetapi harus
dipersiapkan dengan cermat sebagai catatan proyek. Laporan harian harus dibuat dengan
baik, akurat, ditata dengan rapi, dan mudah dibaca. Informasi terperinci yang dijelaskan
dalam laporan terdiri dari hal-hal sebagai berikut.
1) nomor kontrak dan nama kontraktor,
2) deskripsi dan lokasi pekerjaan,
3) tanggal,
4) cuaca,
5) jenis-jenis peralatan dan prosedur yang digunakan,
6) tipe dan jumlah pekerjaan yang dilakukan,
7) tipe dan jumlah uji mutu lapangan yang dilaksanakan oleh kontraktor dan oleh
proyek, serta tanggapan singkat terhadap hasil pekerjaan,
8) kemajuan pekerjaan, keterlambatan, sebab-sebab keterlambatan, dan perluasan
keterlambatan,
9) penjelasan tentang kontraktor meliputi nama kontraktor yang mewakili dan hasil
kegiatan kontraktor,
10) perincian hal-hal yang kontroversi,
11) pengunjung proyek menjadi tanggung jawab pengawas, dan
12) pelanggaran keamanan yang teramati dan kegiatan perbaikan yang dilaksanakan.
Laporan harian biasanya terdiri dari laporan kemajuan mingguan dari divisi konstruksi
daerah. Laporan mingguan mencakup informasi tentang kemajuan kondisi yang tidak
umum, dan penjelasan serta arahan yang diberikan kepada kontraktor oleh tenaga ahli
lapangan setempat untuk mendapatkan hasil yang diinginkan sesuai dengan desain dan
spesifikasi teknis.
BAB VI
KENDALI MUTU
6.1 Umum
Untuk menjamin bahwa hasil pemadatan telah memenuhi spesifikasi desain, selama
pelaksanaan timbunan harus selalu dilakukan uji mutu (quality control) terhadap hasil
pemadatan. Masing-masing zona timbunan memiliki spesifikasi dan fungsi yang berbeda.
Uji harus dilakukan terhadap hasil pemadatan material pada masing-masing zona
timbunan untuk mengetahui apakah spesifikasi dan fungsi yang direncanakan telah
terpenuhi.
Kualitas dari suatu konstruksi ditentukan dengan pemeriksaan visual, pengukuran, dan
pengujian. Sejauh mana masing-masing prosedur tersebut dilaksanakan akan tergantung
pada kondisi setempat, kepentingan dan nilai pekerjaan yang sedang disupervisi, serta
keahlian pelaksana supervisi. Jumlah setiap tipe supervisi akan beragam sesuai kemajuan
pekerjaan. Selama tahap konstruksi awal, pengujian dan pengukuran untuk menilai mutu
pelaksanaan konstruksi harus lebih sering dilakukan, sampai kemampuan untuk
menentukan kelaikan konstruksi secara visual dapat diandalkan. Dalam beberapa kasus,
banyaknya pengukuran dan pengujian dapat dikurangi sesuai kemajuan pekerjaan, tetapi
tidak boleh dihilangkan sama sekali.
Pengujian terhadap seluruh pekerjaan tidak praktis untuk dilaksanakan. Prosedur yang
biasa dilakukan adalah memilih contoh-contoh yang mewakili beberapa satuan pekerjaan
konstruksi atau material untuk dilakukan pengujian-pengujian yang diperlukan.
Untuk sebagian besar konstruksi timbunan tanah, perbandingan antara ukuran contoh
dengan satuan pekerjaan konstruksi atau material yang diwakilinya sangat kecil.
Berdasarkan hal ini, penggunaan satu contoh saja untuk mewakili suatu satuan pekerjaan
konstruksi atau material, adalah tidak memadai. Untuk memperbaiki hal tersebut, harus
digunakan prosedur khusus untuk pemilihan contoh. Karena tujuan utamanya adalah
untuk memastikan kelaikan pekerjaan konstruksi, maka cara yang dilakukan adalah
memilih contoh pada bagian-bagian pekerjaan konstruksi yang tampaknya paling tidak laik
atau kritis. Jika beberapa contoh tersebut menunjukkan tingkat kinerja yang memenuhi
persyaratan minimum, maka kelaikan pekerjaan konstruksi tersebut secara umum dapat
diterima.
Cara lain pemilihan contoh adalah memilih secara acak dengan kekerapan minimum yang
dianjurkan. Jika cara ini dilaksanakan, maka hasil pengujiannya akan lebih mewakili
kondisi rata-rata pekerjaan konstruksi yang telah dilaksanakan. Kisaran kinerja pekerjaan
konstruksi tidak setepat yang dihasilkan dengan cara pengambilan contoh dari bagian
pekerjaan yang tampak tidak laik/kritis seperti yang disebutkan sebelumnya.
Selain pengujian untuk pengendalian mutu, dapat pula dipilih contoh pada interval yang
lebih jarang untuk menguji berbagai karakteristik teknik, seperti kuat geser, kelulusan air,
dan konsolidasi. Pengujian tersebut harus dimasukkan ke dalam catatan uji pelaksanaan
(record test) dan digunakan untuk memastikan bahwa parameter material yang dipakai di
dalam desain mencerminkan kondisi pelaksanaan yang sebenarnya. Catatan uji
pelaksanaan ini bersama-sama dengan data kinerja, seperti tinggi muka air pisometer,
data penurunan dan pergerakan/deformasi, serta data kuantitas rembesan yang
diperlukan untuk mengevaluasi kelayakan dan keamanan bendungan urugan yang telah
selesai dibangun.
Uji mutu secara sederhana dapat dilakukan dengan pengamatan visual dan pengukuran
secara kasar. Cara ini tidak akurat oleh karenanya tetap harus dilakukan uji mutu dengan
cara yang lebih teliti. Untuk dapat melakukan penilaian kualitas secara visual, pengawas
harus memahami perilaku dan karakteristik material urugan serta kinerja alat pemadat.
Untuk memahami itu, sebelum pelaksanaan perlu dilakukan uji penimbunan lebih dulu.
Pengawas yang terlatih harus dapat memperkirakan kadar air suatu tanah, apakah terlalu
kering, terlalu basah atau telah memenuhi kadar air optimum berdasar perasaan dan
pengalamannya. Untuk itu pengawas sebaiknya juga ikut melakukan uji pemadatan dan uji
batas-batas Atterberg di laboratorium lapangan.
Kadar air tanah, dapat diperkirakan dengan menggulung-gulung tanah diantara kedua
telapak tangan seperti pada saat uji batas-batas Atterberg. Bila gulungan tanah retak-retak
saat Ø > 3 mm bertarti tanah terlalu kering, bila retak-retak terjadi saat diameter gulungan
tanah ~3 mm berarti kadar airnya sudah memenuhi untuk pemadatan, tapi bila retak-retak
baru terjadi saat Ø < 3 mm berarti tanah terlalu basah untuk dipadatkan.
Kadar air tanah yang terlalu tinggi, juga dapat diketahui dari pengamatan bekas lintasan
mesin gilas. Bila lintasan pertama mesin gilas ban karet ambles > ½ lebar ban, dan setelah
beberapa lintasan permukaan tanah terlihat bergelombang. Tapi perlu diingat kondisi ini
juga dapat terjadi karena tekanan ban yang terlalu tinggi. Muncul dan tenggelamnya
permukaan pemadatan yang tiba-tiba juga dapat menjadi pertanda adanya lapisan tanah
lunak atau adanya kantong-kantong di bawah permukaan tanah.
Pada tanah dengan kadar air yang memadai, mesin gilas akan meninggalkan bekas yang
bagus pada lintasan pertamanya, dan roda-roda akan tertanam sedalam 7,5~10 cm.
Pengamatan lain yang penting adalah bersih tidaknya kondisi kaki mesin gilas kaki domba
setelah pemadatan. Umumnya tanah yang terlalu basah ditandai dengan banyaknya tanah
yang terbawa oleh kaki roda, kadar air yang memadai akan ditandai tanah yang melekat di
kaki roda sedikit.
Selain memperkirakan kadar air secara sederhana, Pengawas juga harus mengukur
secara langsung tebal penebaran urugan tanah, tidak cukup hanya diamati secara visual.
Pengawas hendaknya juga mampu mengukur kepadatan tanah dengan menggunakan
jarum Proctor (alat penetrasi Proctor) atau menggunakan hand penetrometer. Pengukuran
cara ini hanya akan mendapatkan perkiraan nilai kepadatan pada permukaan timbunan
sehingga masih diperlukan uji yang lebih teliti dengan uji cara langsung seperti cara sand
cone .
Banyak faktor yang mempengaruhi frekwensi dan lokasi uji serta jumlah contoh tanah
yang diambil. Frekuensi uji tergantung pada jenis material dan tingkat kekritisan timbunan
yang akan dilakukan dikaitkan dengan keseluruhan pekerjaan (contoh inti kedap air
memerlukan uji mutu yang lebih teliti daripada urugan acak/random). Secara umum lokasi
uji dan lokasi pengambilan contoh harus dapat mewakili keseluruhan kondisi urugan.
Pada awal pekerjaan harus dibuat rencana uji dan rencana pengambilan contoh yang
sistematik. Uji rutin dilakukan di lokasi yang telah ditetapkan dalam desain, untuk setiap
750 m3 ~ 2.000 m3 material yang telah dipadatkan, bahkan dapat lebih sering pada
pekerjaan timbunan yang sempit dengan volume sedikit (seperti bendungan kecil).
Demikian pula pada lapis pertama/diatas pondasi, uji harus lebih sering dilaksanakan
untuk meyakinkan bahwa pemadatannya dilakukan dengan baik, terutama pada kontak
permukaan pondasi yang merupakan daerah sangat penting.
Agar dapat mewakili kondisi umum bendungan, lokasi uji rutin diatur secara zig-zag:
pertama dibagian tepi hilir zona timbunan, kemudian ditengah, kemudian sisi hulu, terus
kembali ditengah, tepi hilir, dst.
Untuk pengambilan contoh, lokasi pengambilan harus ditentukan atas petunjuk tenaga ahli
desain dan sesuai desain semula. Sebagai petunjuk praktis frekwensi pengambilan contoh
adalah: satu contoh (sample) untuk setiap 20.000 m3, bagi urugan inti dan setiap
20.000~35.000 m3 urugan diluar inti. Karena contoh yang diambil khususnya akan
digunakan untuk uji kuat geser, maka pengambilan contoh untuk zona pendukung adalah
sangat penting. Sebaliknya bila data contoh tanah untuk konfirmasi parameter konsolidasi,
maka akan lebih penting untuk mengambil contoh timbunan pada inti dari bendungan.
Catatan uji pelaksanaan pada umumnya berlangsung selama beberapa hari atau
beberapa minggu dan merupakan pengukuran langsung terhadap sifat-sifat teknik, seperti
kuat geser, kelulusan air, konsolidasi, dan pengujian khusus lainnya.
Kekerapan/interval pengujian dapat bervariasi, tergantung dari jumlah material yang harus
ditempatkan dan ukuran butiran material tersebut Biasanya, makin besar butirannya,
makin jarang dilakukan pengujian. Dalam kenyataan, proyek kecil yang mempergunakan
urugan batu berukran besar tidak perlu melaksanakan pengujian. Untuk proyek besarpun,
pengujian untuk material berbutir besar hanya diperlukan beberapa pengujian saja karena
diperlukan peralatan khusus yang mahal untuk penanganan dan pengujian.
Untuk memperoleh nilai pemadatan tanah di lapangan, maka perlu dilakukan pekerjaan
pengawasan pemadatan tanah. Nilai kepadatan tanah yang diperoleh dari hasil pemdatan
tanah di lapangan harus mendekati nilai kepadatan tanah yang diperoleh di laboratorium.
Dengan demikian diperlukan beberapa pemeriksaan secara periodik terhadap contoh
tanah yang diambil dari lapangan untuk mengetahui nilai kepadatan dan nilai kadar airnya.
Nilai kepadatan maksimum (Maximum Dry Density) yang diperoleh dari pengujian Proctor
merupakan dasar bagi hasil pemadatan di lapangan. Untuk mencapai nilai kepadatan
maksimum ini maka nilai kadar air lapangan yang digunakan agar mendekati nilai
Optimum Moisture Content (OMC) yang diperoleh dari hasil percobaan Proctor di
laboratorium.
Selain kegiatan diatas, pengamatan curah hujan dan cuaca di sekitar lokasi pekerjaan
perlu dilakukan.
Uji mutu dilakukan dengan cara: uji lapangan dan pengambilan contoh tanah urugan yang
telah dipadatkan, dengan maksud:
1) Untuk menjamin hasil pekerjaan timbunan telah sesuai dengan persyaratan desain.
2) Melengkapi data pemanen konstruksi pada kondisi bendungan terbangun (permanent
record as built condition of construction) yang dikemudian hari akan sangat diperlukan
dalam evaluasi keamanan bendungan.
Pada waktu dan interval lapisan tertentu/berkala (misalnya setelah 6 – 10 lapis tanah yang
telah dipadatkan) dilakukan pengambilan contoh tanah tak terganggu (undisturbed
samples) untuk di uji di laboratorium. Pengujian di laboratorium tersebut untuk
memperoleh parameter-parameter tanah guna melakukan verifikasi terhadap parameter
desain, antara lain :
(a) Berat isi dan kadar air
(b) Gradasi
(c) Batas-batas konsistensi atterberg
(d) Konsolidasi
(e) Kuat Geser
(f) Permeabilitas
(g) Dll.
Jumlah minimum uji lapangan dan program pengambilan contoh tanah tak terganggu,
harus tertuang dengan jelas dalam spsesifikasi pekerjaan.
Metode uji kepadatan volume pasir dan balon air/penggantian air, dapat digunakan untuk
menentukan kepadatan lapangan material urugan lulus air. Bila material mengandung
butiran besar, menggali lubang kecil untuk pengambilan contoh akan mengalami kesulitan,
lubang perlu diperbesar dan ditutup plastik film kemudian diisi air untuk mengetahui
volumenya.
Kapadatan lapangan untuk tanah berbutir kasar (pasir dan kerikil) dinyatakan dalam
kepadatan relatif (Dr), yang merupakan perbandingan dengan kepadatan minimum dan
maksimum hasil uji meja getar di laboratorium.
Uji kepadatan lapangan dengan menggunakan prosedur balon air atau volume pasir, pada
awal pelaksanaan dilakukan setiap 750 m 3 (atau 1000 yard cu) urugan dan setiap 2000 m 3
(atau 3000 yard cu) pada urugan berikutnya.
Terhadap contoh tersebut, kemudian dilakukan uji kuat geser (misalnya Triaksial CU) dan
uji konsolidasi di laboratorium. Terhadap material contoh yang tersisa, dan material contoh
terganggu, kemudian dilakukan uji laboratorium, antara lain kompaksi, gradasi, berat
jenis, batas-batas Atterberg, dll.
2) Pengukuran Langsung. Metode ini pada umumnya digunakan pada urugan batu
yang ukuran batuannya melebihi 300 mm. Material batu yang akan dipasang,
ditimbang di dalam alat angkutnya, dan volume material yang ditempatkan ditentukan
melalui survey topografi yang teliti. Perbandingan berat/volume memberikan besaran
kepadatan atau berat isi lapangan rata-rata.
3) Pengukuran Tak Langsung. Sebuah lubang berbentuk piramid terbalik yang sama
kedalamannya dengan lapisan yang akan dipadatkan, digali di dalam urugan yang
belum dipadatkan. Di tengah parit tersebut dipasang sebuah alat pengukur
penurunan. Kemudian parit tersebut diisi dengan material yang telah ditimbang,
diratakan, dan dilapisi dengan jala kawat halus. Setelah dipadatkan dengan banyak
lintasan dan alat pemadat yang telah ditentukan, volume yang baru dihitung dan
kemudian dihitung kepadatannya. Metode ini digunakan di Austria untuk material
lepas dengan butiran berukuran besar (batu atau kerikil).
Metode lain yang digunakan untuk mengukur kepadatan atau berat isi lapangan untuk
batu atau urugan kerikil pada umumnya sama seperti yang dipakai untuk material berbutir
halus, kecuali alat ukurnya diperbesar seperti kerucut pasir (sand cone) dan metode
volume air (water replacement) yang menggunakan cincin berdiameter 2 m. Makin besar
ukuran butiran yang akan diuji, makin besar pula volume contoh uji yang dibutuhkan dan
oleh karena itu, alat uji serta biayanyapun menjadi makin besar pula.
Keputusan mengenai pelaksanaan pengujian semacam ini harus dibahas kasus per kasus.
Tujuannya agar tercapai keseimbangan antara perolehan hasil uji yang secara realistik
sesuai dengan karakteristik urugan dan parameter desain yang digunakan dengan biaya
dan kesulitan pelaksanannya. Material yang mempunyai kandungan butiran besar lebih
dari 30 - 40% memerlukan prosedur pengujian khusus.
1) Pemadatan tanah
o Tabung (silinder) berdiameter 7-10cm yang ujung bawahnya berbentuk pisau yang
ditusukkan ke dalam lapisan tanah yang telah dipadatkan, sesuai dengan ASTM D
3017- 88.
o Pengujian kepadatan lapangan dengan alat konus pasir (sand replacement cone),
menggali lubang denga diameter sekitar 15-20 cm sampai kedalaman sekitar 10-15
cm pada lapisan tanah yang telah dipadatkan, pada lubang tersebut dituangkan
pasir (yang telah dikalibrasi berat isinya) melalui ujung konus dari botol berisi pasir,
hingga lubang penuh, sehingga dapat dihitung berat isi basah tanah. Berat isi
kering tanah dapat diketahui setelah kadar air tanah diketahui (menggunakan
speedy moisture tester). Sesuai dengan SNI 03-2828-1992.
o Nuclear density test, dengan alat yang canggih ini dapat diketahui sekaligus berat
isi basah dan kadar airnya, sesuai dengan ASTM D 2937- 83 1990.
Sedangkan untuk pengujian kuat geser dan konsolidasi dapat dilakukan dengan
mengambil contoh tanah menggunakan tabung contoh dan diuji di laboratorium tanah.
Pada proyek yang cukup besar biasanya kontraktor disyaratkan untuk menyediakan
peralatan Laboratorium Tanah dan Beton di lapangan.
Untuk mengetahui apakah kadar air material yang dihampar telah mendekati kadar air
optimum standard proctor (OMC) dapat dilakukan dengan cara mengambil segenggam
tanah dan meremasnya pada telapak tangan dan menekannya kuat-kuat. Bila gumpalan
tanah tersebut sulit dipatahkan, kemungkinan kadar airnya telah mendekati OMC.
Untuk memperoleh nilai pemadatan tanah di lapangan, maka perlu dilakukan pekerjaan
pengawasan pemadatan tanah. Nilai kepadatan tanah yang diperoleh dari hasil pemdatan
tanah di lapangan harus mendekati nilai kepadatan tanah yang diperoleh di laboratorium.
Nilai kepadatan maksimum (Maximum Dry Density) yang diperoleh dari pengujian Proctor
merupakan dasar bagi hasil pemadatan di lapangan. Untuk mencapai nilai kepadatan
maksimum ini maka nilai kadar air lapangan yang digunakan agar mendekati nilai
Optimum Moisture Content (OMC) yang diperoleh dari hasil percobaan Proctor di
laboratorium.
∂d max kg/cm2
Zero Air Void Line 100 %
1.5
95 % dry density Req Degree of Compaction
1.4
1.3
1.2
0 20 22 24 26 28 30 32 34
Water Content %
Gambar 6.5 Evaluasi hasil pengujian kepadatan tanah dengan sand cone yang diplotkan
ke dalam kurva pemadatan
Gambar 6.6 Evaluasi derajat kepadatan tanah (D) zona inti, persyaratan D ≥ 95%
Sedangkan hasil pemeriksaan kadar air lapangan (w f) dapat diplotkan seperti berikut.
Gambar 6.7 Evaluasi kadar air dari tanah yang dihampar sebelum dipadatkan
Sedangkan hasil uji kepadatan dari material filter/transisi ini yang dibandingkan dengan
hasil uji kepadatan relatif di laboratorium (misalnya dengan meja getar), dapat dilihat
seperti ganbar di bawah.
6.5.3 Ketidaksesuaian
Pada pelaksanaan konstruksi yang dilengkapi rencana pengendalian mutu rinci, kasus
ketidaksesuaian dengan pengujian atau prosedur yang disebutkan di dalam spesifikasi
dapat diidentifikasi dan ditangani lebih cepat dari pada yang tidak memiliki prosedur
formal.
Dalam suatu proyek, ketidaksesuaian dapat terjadi di berbagai tahap, sebagai berikut :
(1) ketika pekerjaan konstruksi sama sekali belum dimulai;
(2) selama konstruksi;
(3) setelah pekerjaan selesai.
Jika kesesuaian tidak ditemukan saat konstruksi selesai, maka ketidaksesuaian tersebut
dianggap sebuah anomali. Prosedur yang harus diikuti jika terjadi hal seperti itu
tergantung dari tingkat ketidaksesuaian dan pengaruhnya terhadap baku mutu.
Anomali tersebut harus dikaji oleh Pemilik/Direksi atau Kontraktor, tergantung siapa yang
bertanggung jawab membuat keputusan akhir. Tindakan yang mungkin dilakukan adalah :
- Menyetujui urugan yang telah dibangun jika memenuhi kriteria yang ditetapkan dalam
desain;
- Melakukan modifikasi desain, sehingga memungkinkan digunakannya material urugan
yang berbeda baku mutunya dengan tetap menjaga baku mutu keseluruhan yang
ditetapkan dalam desain, agar kinerja dan keamanan konstruksi tetap terjaga;
- Menghancurkan bagian urugan yang tidak sesuai dan membangunnya kembali sesuai
baku mutu semula, jika desain tidak dapat diubah, agar kinerja dan keamanan
konstruksi tetap terjaga.
Prosedur yang harus diikuti tergantung pada tingkat ketidaksesuaian yang terjadi dan
biasanya menyangkut proses dua tahap.
a) Tahap pertama adalah menentukan kelas setiap ketidaksesuaian berdasarkan tingkat
keparahannya, sehingga dapat dipilih dan dapat diperbaiki tanpa tindakan khusus
yang memerlukan perubahan kontrak.
b) Tahap kedua menyangkut ketidaksesuaian yang memerlukan penyelidikan dan
evaluasi rinci untuk menentukan perlu tidaknya mengubah desain, baku mutu, atau
kontrak sebelum mencapai keputusan akhir. Perubahan tersebut tidak boleh
dilaksanakan hanya berdasarkan persetujuan wakil Pemilik atau Direksi di lapangan
saja, tetapi harus disetujui oleh Pemilik atau Direksi terlebih dahulu.
Prosedur administrasi untuk perubahan yang harus dilakukan selama konstruksi dan
kondisi lokasi yang berbeda harus diuraikan dengan jelas oleh Pemilik atau Direksi di
dalam kontrak dan pada awal konstruksi. Begitu telah dibuat keputusan untuk membuat
perubahan, maka pekerjaan yang terkait dilaksanakan dengan baku mutu yang sama
seperti yang ditetapkan untuk konstruksi semula atau dengan baku mutu yang baru, jika
perintah perubahan diberikan. Ketidak sesuaian dengan spesifikasi harus ditentukan
berdasarkan kontrak. Prosedur administrasi yang diperlukan untuk melaksanakan
perubahan, perlu diperhatikan agar tercapai keseimbangan antara kebutuhan melanjutkan
konstruksi dengan cepat dan keharusan memenuhi persyaratan desain.
Sebelum dipadatkan, material tanah tersebut perlu dikeringkan terlebih dahulu yang
selanjutnya ditambahkan sejumlah air dan diaduk-aduk agar merata, namum pada
umumnya, meskipun nilai kadar air ini sama, nilai kadar air optimum yang diperoleh akan
berbeda-beda, demikian juga kepadatan maksimum, derajat kejenuhan, tekanan air pori
dan kekuatan geser.
Berdasarkan penelititan yang telah dilakukan oleh KOTTOWICS & KIRK (1971)
menunjukkan bahwa kadar air optimum berubah-ubah sesuai dengan kadar air asli yang
tergantung pula pada derajat pemerataan kadar airnya. Hal ini disebabkan oleh perubahan
ketebalan dari selaput air yang mengelilingi butiran tanhnya. Juga HILF (1969)
menjelaskan bahwa hal ini karena adanya sifat anomali air.
Atas dasar hsil penelitian diatas maka proses pemerataan kadar air (curing) pada contoh-
contoh tanah yang akan dipadatkan sangat diperlukan, lamanya proses pemerataan
minimum 24 jam.
Biasanya para teknisi menyebut lempung dengan struktur latosol ini adalah “tanah
lempung lateritik”. Dan jenis mineral monmorilonite, kaolinite, sering dijumpai pada tanah-
tanah lempung yang mudah mengalami pengembangan atau perubahan volume
(penyusutan).
Tanah-tanah lempung jenis lateritik dan jenis andosol ini pada umumnya mempunyai sifat
yang tidak mudah mengembang bila adanya penambahan air, meskipun sifat daya
rekahannya cukup besar. Tanah-tanah ini banyak dijumpai di daerah perbukitan dan
pegunungan.
Berdasarkan hasil Plasticity Chart dari Casagrande tanah-tanah Latosol yang diperoleh di
Jawa Barat sedikit di bawah garis A sedangkan tanah andosol berada jauh di bagian
sebelah bawah dan bawah garis A. Dengan nilai batas cair andosol antara 80 – 250 % dan
latosol 68 – 120 %.
Untuk mempelajari sifat halloysite dan allophan, telah dilakukan percobaan pemadatan
tanah dengan menggunakan tanah dengan kadar air asli, tanah yang dikeringkan di udara
dan tanah yang dikeringkan di oven. Hasil-hasil pemadatan dengan cara ini telah
dilakukan pada contoh-contoh tanah lempung daerah sumedang, Pangalengan, Bogor,
Purwakarta, Lembang, Telomoyo dan daerah Cipanunjang serta daerah Pakis Baru di
Daerah pacitan. Berdasarkan hasil percobaan pemadatan tanah-tanah ini, maka nilai
kepadatan tanah sangat dipengaruhi oleh proses pengeringan tersebut.
GUNAWAN BUDHIHARTANTO & NENSI ROSALINA (1979) telah meneliti tanah untuk
bahan bendungan pakis Baru. Tanah ini termasuk tanah lempung lateritik dengan nilai
batas cairnya dalam keadaan asli sebesar 81 – 131%, bila digunakan Plasticity Chart
tanah-tanah ini berada di bawah garis A. Nilai kekuatan gesernya dari tanah yang telah
dipadatkan adalah sebesar C’ = 0.15 – 0.35 t/m2 dan sudut geser Ø = 31.5 – 36 o . tanah
ini mengandung mineral halloysite.
Berdasarkan hasil-hasil penelitian contoh – contoh tanah diatas, meskipun nilai batas
cairnya cukup tinggi, namun nilai-nilai kekuatan gesernya cukup menguntungkan bagi
konstruksi bangunan, seperti bangunan Cipanunjang dengan ketinggian 33 m dan
kemiringan 1 ; 25.5 untuk lereng bagian udik dan 1 : 3 untuk lereng bagian hilir yang
dibangun antara tahun 1929 – 1939 yang sampai saat ini masih stabil dan aman.
Demikian juga tanah sejenis yang digunakan sebagai bagian bendungan yang kedap air
(core material) pada bendungan Jatiluhur; SHERAD (1963) menyatakan bahwa tanah-
tanah yang digunakan sebagai bahan kedap air yang mempunyai nilai batas cair sekitar
110% dan mempunyai kekuatan geser yang lebih besar dari tanah lainnya dengan nilai
batas cair sekitar 60%.
LAMBE . T.W. (1958) menjelaskan bahwa pada suatu kadar air yang berada di A, gaya
tolakan listrik dari partikel-partikelnya lebih kecil dari gaya tarik listriknya, sehingga pertikel-
partikelnya membentuk suatu gumpalan dan partikelnya tidak beraturan. Bila kadar airnya
bertambah, gaya tolakan diantara partikelnya bertambah sehinga partikel-partikelnya akan
membentuk suatu keadaan yang agak teratur. Penambahan air akan memperoleh
kepadatan yang agak besar dan kepadatan kan berkurang bila nilai kadar air lebih tinggi
dari B meskipun partikel-partikelnya membentuk suatu keadaan teratur dan sejajar tetapi
kepadatan tanahnya berkurang seperti di C, karena air menempati ruangan yang
seharusnya diisi oleh partikel-partikelnya.
Penambahan daya pemadatan pada kadar air tertentu akan memberikan hasil kepadatan
tanah yang lebih besar lagi. Pendapat lain mengenai teori ini adalah bahwa tiap jenis
tanah mempunyai sifat keseimbangan dari kadar airnya.
Selama kadar air ini masih di bawah nilai kadar air keseimbangan, maka tanah ini masih
mencoba untuk menarik air di luar. Tanah timbunan yang dipadatkan dan tanah asli
maupun tanah terganggu pada keadaan di daerah kering mempunyai struktur yang
menggumpal, sedangkan di daerah basah mempunyai struktur yang lepas. Sehingga
bertambahnya kandungan kadar air bertambah pula keadaan terurainya partikel-partikel
tanah ini.
Hal ini dapat dijelaskan dengan memperhatikan di A, pertikelnya lebih tidak beraturan
daripada di E dan partikel E lebih berdekatan daripada di A, sehingga kekuatan di E lebih
besar daripada di A. Di D kekuatan tanahnya lebih kecil daripada di C karena keadaan
partikel di D lebih teratur dan lebih berdekatan daripada C.
Bila memperhatikan hal di atas, maka contoh tanah A mempunyai kekuatan yang lebih
besar daripada di C hal ini, karena di A partikelnya lebih tidak beraturan, nilai daya isap
tekanan air pori di A lebih besar daripada di C dan daya tolak partikel di A lebih kecil dari
C.
SHEED & CHAN (1959) menjelaskan pengaruh dari cara pemadatan tanah yang dapat
merubah sifat kekuatannya, seperti dapat diperhatikan pada gambar bahwa dengan
berbagai macam cara pemadatan yaitu dengan berupa beban berupa peremasan,
tumbukan, getaran dan pembebanan mempunyai nilai kekuatan yang berlainan yang juga
dipengaruhi oleh besarnya percepatan geserannya.
5. Pengaruh Rembesan
Nilai rembesan dari suatu tanggul, bendungan dan tanah pondasi lainnya sangat penting
di dalam menentukan garis depresi (seepage line), penurunan dan stabilitas.
1) Komposisi Tanah
Komposisi mineral tanah merupakan faktor yang utama, sehingga tanah ini dapat
mengalami pengembangan. Hanya beberapa mineral saja yang dapat mengakibatkan
terjadinya perubahan volume, yang diantaranya adalah monmorilonite, kaolinite dan
illete.
2) Kadar Air Asli
Tergantung dari kadar air aslinya, beberapa jumlah kadar air akan diserap oleh
partikel-partikelnya. Besarnya pengembangan suatu tanah sebanding dengan
jumlahnya kandungan kadar air.
3) Struktur tanah
Sehubungan dengan adanya pemadatan, maka struktur tanahnya akan kembali seperti
struktur tanah asalinya. Sehingga bila kepadatan lebih kecil dari kepadatan tanah
aslinya, maka pengembangan mungkin terjadi.
4) Beban Kerja
Beban yang bekerja di atas tanah ini akan mempengaruhi pengembangan tanahnya,
bila beban ini lebih kecil dari beban minimum pengembangan, maka tanah ini akan
mengembang.
5) Proses Pemerataan Kadar Air
Lamanya proses pemerataan kadar air juga mempengaruhi besar kecilnya pengaruh
pengembangannya.
6) Waktu Pengembangan
Besarnya pengembangan sebanding dengan waktu yang diberikan untuk mengalami
pengembangan
7) Temperatur
Bila suhu udara di sekeliling contoh tanah ditingkatkan, maka nilai pengembangannya
akan berkurang.
Besarnya pengembangan baik pada arah vertikal maupun arah horizontal dari suatu tanah
yang dipadatkan diperngaruhi oleh macam serta jenis beban yang berkerja.
Hasil dari pada penelitian ini adalah bahwa untuk memadatan tanah dengan cara diremas-
remas, lengkung pengembangan dan waktunya hampir sama. Pengembangan dengan
cara pembebanan tetap, nilai pengembangan hampir dua kali dari pada pengembangan
tanah yang dipadatkan dengan cara peremasan.
Nilai pengembangan pada arah vertikal dan horizontal tanah yang sama dipadatkan
dengan cara peremasan mempunyai hasil yang sama sedangkan pada cara pengbebanan
tetap nilai pengembangan pada arah horizontal lebih besar dari pada pengembangan
dengan arah vertikal, dengan demikian struktur tanahnya mengalami perubahan.
Ibnu Kasiro $ Theo Najoan (1976) telah memperoleh persamaan hubungan antara nilai
kadar air optimum OMC (%), dan batas plastis w P dari tanah lempung yang dipadatkan
sejumlah n = 210 pasang. Data hubunga ini diperoleh dengan menggunakan regression
liniar dan diperoleh nilai kolerasi yang cukup baik sebesar r = 88,0 %. Adapun persamaan
hubungan antara OMC dan wP adalah :
OMC = 0,861 wP + 4,266
Dimana nilai batas plastis tanah lempung yang diamati berkisar antara 15 % - 55 %.
Atas dasar persamaan tersebut di atas telah dilakukan penentukan nilai OMC dari nilai-
nilai batas plastis tanah di daerah Waduk Lalung dengan hasil yang cukup mendekati
dengan hasil OMC yang ada.
Selain hubungan kolerasi parameter tanah antara OMC dan wP di atas juga diperoleh
persamaan hubungan antara kedapatan kering, γd (t/m3) dan kadar air lapangan wf (%)
atas contoh tanah yang diperoleh di lapangan. Jumlah data keseluruhan ini sebanyak n =
659 pasang data. Untuk memperoleh nilai kolerasi yang cukup baik maka persamaan ini
dibagi 3 kelompok yang didasaran pada nilai batas plastis w P antara 15 – 30 %, 30 – 40 %
dan 40 – 55 %.
Data yang ada di Waduk Ketro dan Waduk Lalung telah dihitung nilai-nilai kepadatan
tanahnya dengan menggunakan persamaan kolerasi di atas dan memberikan hasil yang
hampir sama dengan nilai kepadatan yang ada (pemadatan di laboratorium).
Selanjutnya telah dicari hubungan persamaan antara nilai kepadatan maksimum, MDD
(t/m3) dan nilai kadar air optimum, OMC (%) yang dilakukan atas percobaan pemadatan
dengan standard proctor sebanyak n = 212 pasang data. Nilai kolerasi antara hubungan
kedua parameter ini adalah sebesar r = 0,915. Adapun persamaan dari kedua parameter
ini, adalah :
dengan nilai batas plastis wP antara 15 – 55 % Grafik dari hubungan ini dapat dilihat pada
Gambar tersebut. Dengan menggunakan data-data yang ada telah diperoleh nilai MDD
yang menggunakan persamaan di atas yang cukup mendekati dengan hasil di
laboratorium.
Berdasarkan hasil-hasil pemeriksaan yang telah dilakukan, ternyata pada umumnya kadar
air lapangan berada di atas nilai kadar air optimum. Tentu untuk memperoleh hasil
pemadatan yang cukup memenuhi syarat, nilai kadar airnya diusahakan berada di sekitar
nilai optimum. USBR method (HILF), mensyaratkan bahwa kadar air pemadatan harus
berada diantara – 3 % hingga + 3 % dari OMC. Hal ini akan memperoleh kesulitan karena
kadar air lapangan pada umumnya agak jauh dari nilai kadar air optimumnya. sedangkan
berkurangnya kadar air yang diperoleh selama pengangkutan untuk sejauh 0,5 – 1,5 km
dan dimusim kemarau sebesar lebih kurang 5 % saja.
Cara lain untuk mengatasi keadaan kadar air lapangan yang cukup tinggi terhadap nilai
kadar air optimum adalah Swedish method. Pada cara ini kadar air yang digunakan adalah
kadar air lapangan. Keuntungan dengan cara ini, tanah tidak perlu dikeringkan terlebih
dahulu dan pengaruh swelling akan kecil, namun kerugiannya adalah kepadatan tanah
akan lebih kecil dan kekuatan geser akan lebih kecil, disamping timbulnya nilai tekanan air
pori yang cukup tinggi yang dapat mempengaruhi nilai kekuatan gesernya.
Pada pemadatan tanggul yang tidak terlalu tinggi, cara ini cukup memadai. Untuk
mengatasi keadaan air lapangan yang pada umumnya lebih tinggi dari OMC ini maka
berdasarkan pengalaman kadar air pemadatan dapat digunakan 4 % diatas nilai OMC
dengan persyaratan nilai kepadatan kering yang dicapai sekitar 95 % dari nilai maksimum
kepadatan kering, terutama pada pekerjaan pemadatan tanggul atau bendungan dengan
tinggi tidak lebih dari 30 m dan batas plastis tanah yang dipadatkan sekitar antara
30 – 35%.
Kejadian yang paling berbahaya adalah pada saat terjadi rekahan maksimum atau pada
saat musim kemarau akan berakhir dan terjadilah intensitas hujan yang sangat tinggi,
sehingga keadaan tanah menjadi jenuh dan rekahan terisi oleh air. Air ini akan
menimbulkan tekanan ke arah horizontal yang dapat mengurangi stabilitas lerang.
Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan pada beberapa tanggul, agar rekahan
yang terjadi ini kecil maka bahan timbunan yang digunakan diusahakan mempunyai nilai
batas susut (SL) dibawah 20 %.
Namun demikian, bila nilai batas susutan bahan timbunan ini sedikit di atas 20 % maka
untuk mengurangi nilai batas susutan yang terjadi pada bahan timbunan ini perlu dicampur
dengan pasir. Hal ini telah dilakukan di tanggul waduk Lalung dan tanggul Waduk Ketro
yang dipasang setebal 1 mpada lereng hilirnya. Dengan menggunakan campuran 4
lempung : 1 pasir nilai batas susutan tanah campuran Waduk Ketro akan lebih kecil dari
nilai susutan tanpa tanah campuran, sehingga diharapkan tidak terjadi rekahan yang
membahayakan. Perbandingan campuran lempung dan pasir ini harus ditentukan melalui
beberapa percobaan terlebih dahulu, agar nilai batas susut dapat di capai
10. Lain-Lain
Untuk memperoleh hasil pemadatan yang cukup baik dan sesuai dengan nilai kepadatan
yang telah disyaratkan, maka diantara kontraktor, pengawas mutu hasil pemadatan dan
pemilik/pemimpin Proyek harus ada kerja sama yang baik. Tanpa kerja sama yang tinggi
maka hasil pemadatan sulit untuk ditingkatkan.
11. Laporan
Dokumentasi/catatan lengkap harus terus dilaksanakan atas semua kegiatan konstruksi
bangunan urugan. Dokumentasi ini akan berharga pada saat diperlukan perbaikan atau
modifikasi bangunan di kemudian hari. Dokumentasi juga diperlukan jika ada gugatan dari
Kontraktor ataupun dari Pemilik bahwa pekerjaan yang dikehendaki (oleh Pemilik) atau
telah dilaksanakan (oleh Kontraktor) tidak sesuai dengan kontrak. Dokumen dasar
pekerjaan konstruksi adalah berupa desain dan spesifikasi, modifikasi yang telah
dilaksanakan yang dianggap telah tercakup di dalam ketentuan kontrak, amandemen
kontrak seperti yang berkenaan dengan perintah penambahan pekerjaan atau perintah
untuk mengadakan perubahan, protes, hasil pengujian, pengukuran pekerjaan yang telah
dilaksanakan dan pembayaran kontrak.
Untuk memastikan bahwa dokumentasi telah dilakukan dengan benar, maka selama tahap
konstruksi perlu dibuat berbagai laporan berkala. Dengan membahas laporan-laporan
tersebut, maka petugas pengawas dapat menentukan apakah kinerja yang baik telah
tercapai atau tidak atau apakah ada kekurangan atau salah paham. Berdasarkan laporan
ini, dapat dilakukan perbaikan, bila diperlukan. Laporan kemajuan memungkinkan
dilaksanakannya koordinasi berbagai pekerjaan yang diperlukan agar kontrak dapat
terlaksana dengan tepat waktu dan efisien. Setiap pengujian yang dilakukan di
laboratorium dan di lapangan harus dibuat laporannya. Inspektur harus membuat laporan
harian mengenai kelaikan, kemajuan dan tanggapan atas keputusan-keputusan yang
telah dibuat. Laporan harian ini mutlak dibuat untuk menentukan tindakan selanjutnya.
Laporan tentang keputusan-keputusan yang telah dibuat biasanya berdasarkan pada
catatan-catatan harian yang dibuat oleh petugas pengawas dan pengawas lapangan.
Catatan harian dan laporan pengujian harus dibuat ringkasannya secara berkala berupa
informasi dan laporan bulanan resmi yang juga mencakup semua keputusan yang telah
dibuat mengenai hal-hal yang kontroversial. Pada akhir konstruksi, harus dibuat sebuah
laporan akhir yang memberikan ringkasan dari semua metode dan peralatan yang
digunakan dan hasil pengujian yang diperoleh selama konstruksi berlangsung.
RANGKUMAN
Sebelum mengambil dan mengangkut tanah dari sumber-sumbernya, penanganan
material tanah di sumbernya (borrow area dan quarry) sendiri adalah merupakan salah
satu faktor keberhasilan pekerjaan penimbunan dan pemadatan tanah yang memenuhi
spesifikasinya. Pemeriksaan kadar air tanah di borrow area perlu dilakukan secara
berkala, supaya bila tanah telah dihampar dan siap dipadatkan telah mendekati kadar air
optimum seperti yang disyaratkan. Bila tanah langsung digali di sumbernya, kadar airnya
biasanya sekitar 3 @ 5% di atas OMC, sehingga kontraktor jangan terlalu lama
Penanganan pengambilan material berbutir kasar (pasir dan batu) juga memerlukan
pemeriksaan sendiri, termasuk uji quarry di lapangan, oleh karena itu pengawas harus
memahami cara dan metoda pengambilannya, terutama bila dilakukan dengan peledakan.
Untuk menjamin mutu pelaksanaan pekerjaan pemadatan di atas, maka perlu dilakukan
pemeriksaan dan kendali mutu di lapangan dengan melakukan pengambilan contoh dan
pengujian-pengujian lapangan. Dari hasil pengujian-pengujian tersebut dilakukan evaluasi
terhadap mutu yang telah dicapai. Tujuan dari kendali mutu ini adalah disamping
melakukan pemeriksaan juga untuk memastikan apakah asumsi dan parameter desain
dapat dicapai selaman pelaksanaan konstruksi.
DAFTAR PUSTAKA
1) Departemen PU, “Pedoman penyelidikan geoteknik untuk fondasi bangunan air”, Vol 1
(Pd T-03.1-2005-A), Vol. 2 (Pd T-03.2-2005-A), dan Vol. 3 (Pd T-03.3-2005-A), tahun
2005.
2) Gunawan B & Nensi R, (1982), Cara Pemadatan Tanah untuk Perkerjaan Pembuatan
Tanggul dan Bendungan, Tidak dipublikasikan.
3) Hirschfelo, R.C & Poulos, S.J (1972), Embankment Dam Engineering, Casagrande
Volume, John Wiley & Sons, New York.
4) Lambe, T.W. & Whitman, R.V (1969), Soil Menhanics, John Wiley & Sons, New York.
5) SHERARD, J.L., R.J. WOODWARD, S.F. GIZIENSKI, and W.A. CLEVENGER (1963),
Earth and Earth-Rock Dams, John Wiley and Sons, New York NY, 1963.
6) Sosrodarsono, S dan Takeda K (1977) Editor, Bendungan Tipe Urugan, Penerbit
Pradnya Paramita Jakarta 1977.
7) USBR 1973, Design Of Small Dams, U.S. Department of the Interior, Bureau of
Reclamation.