Anda di halaman 1dari 28

SEP

UJI KOMPETENSI NERS INDONESIA (UKNI) / UJI KOMPETENSI


PERAWAT INDONESIA
Perkembangan teknologi keperawatan dan juga semakin meningkatnya pengetahuan
masyarakat menjadikan masyarakat semakin kritis sehingga tuntutan masyarakat terhadap
pelayanan keperawatan juga semakin tinggi. Di tengah meningkatnya tuntutan masyarakat
tersebut, persaingan dalam bidang pemberian pelayanan keperawatan juga semakin meningkat.
Wacana masuknya tenaga keperawatan asing ke Indonesia pun semakin berhembus kencang.
Hal tersebut harus segera disikapi oleh perawat Indonesia dengan peningkatan kompetensi yang
meliputi hardskill dan juga soft skill sehingga diharapkan perawat Indonesia nanti mampu
bersaing dengan perawat-perawat dari negara lain.
Salah satu cara yang bisa ditempuh adalah dengan menetapkan standar nasional bagi lulusan
perawat sehingga bisa menjadi acuan bagi para institusi pendidikan keperawatan di Indonesia
yang bisa diaplikasikan ke dalam kurikulum pendidikan keperawatan sehingga harapannya nanti
institusi pendidikan keperawatan di Indonesia mampu menghasilkan lulusan perawat dengan
standart minimal yang sama. Oleh karena itu, Uji Kompetensi Ners Indonesia (UKNI) mulai
dilakukan untuk meningkatkan standarisasi kompetensi perawat baru lulus (entry level
practice) yang bersifat nasional. Selain itu, uji kompetensi yang bersifat nasional, diharapkan
dapat menjadi alat untuk memberi umpan balik pada mutu penyelenggaraan pendidikan
keperawatan.
Uji Kompetensi Ners Nasional (UKNI) dulu dijadikan sebagai exit exam (syarat kelulusan
perguruan tinggi) oleh Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi (Ditjen Dikti) Kementerian
Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) melalui surat edaran nomor 704/E.E3/DT/2013 dan
370/E.E3/DT/2014. Karena adanya beberapa saran dan juga masukan dari berbagai pihak untuk
melakukan peninjauan kembali mengenai UKNI sebagai exit exam, maka pada tanggal 18 Juni
2014 keluar surat terbaru nomor 529/E.E3/DT/2014 tentang Status Uji Kompetensi bagi
Mahasiswa Program Studi DIII Kebidanan, DIII Keperawatan dan Ners. Surat edaran tersebut
berisi “setelah melihat hasil Uji Kompetensi Mahasiswa Program Studi DIII Kebidanan,
Keperawatan dan Ners, diperlukan perbaikan-perbaikan pada sistem pendidikan. Sehubungan
dengan hal tersebut, maka uji kompetensi dilakukan untuk melakukan pemetaan kualitas dan
pembinaan, sehingga belum digunakan untuk menentukan kelulusan”. Keluarnya surat edaran
tersebut menjadi landasan bahwa uji kompetensi perawat bukan sebagai exit exam (syarat
kelulusan perguruan tinggi).
Adapun, rambu-rambu soal yang nanti diujikan dalam uji kompetensi diantaranya meliputi :
1. Kompetensi
Kompetensi dibagi menjadi 3 sub tinjauan kompetensi perawat, meliputi praktik professional,
etis, legal dan peka budaya, pemberian asuhan dan manajemen keperawatan, pengembangan
professional. Adapun komposisi persentase soal-soal dalam soal uji kompetensi adalah :

2. Domain
Merupakan ranah yang mengukur tingkat pengetahuan peserta dari aspek cognitive
(knowledge), skill (psychomotor) dan affective (attitude). Adapun sub tinjauan dari domain,
meliputi :
a) Cognitive (knowledge) meliputi pengetahuan dan pengembangan kemampuan intelektual.
Dalam uji kompetensi ini akan diujikan tingkat kognitif yang bervariasi dari pemahaman, aplikasi
dan berfikir kritis.
b) Pengetahun afektif (konatif) menggambarkan bagaimana cara seseorang bersikap yang
melibatkan emosi dan kemampuan empati untuk mengapilkasikan nilai-nilai profesional dalam
praktik keperawatan.
c) Pengetahuan prosedur (procedural knowledge) menggambarkan kemampuan dalam
melakukan tindakan keperawatan .
Adapun komposisi persentase sub tinjauan dari domain dalam soal uji kompetensi adalah ;

3. Bidang keilmuan
Komposisi persentase keilmuan dalam soal uji kompetensi adalah :

4. Proses keperawatan
Komposisi persentase sub tinjauan proses keperawatan dalam soal uji kompetensi adalah :

5. Upaya kesehatan
Komposisi persentase sub tinjauan upaya kesehatan dalam soal uji kompetensi adalah :
6. Kebutuhan dasar
Komposisi persentase sub tinjauan kebutuhan dasar dalam soal uji kompetensi adalah :

7. Sistem tubuh.
Komposisi persentase sub tinjauan sistem tubuh dalam soal uji kompetensi adalah :

Demikianlah beberapa hal terkait Uji Kompetensi Ners Nasional (UKNI). Semoga berhasil.

SUMBER :
Blue Print Uji Kompetensi Perawat Indonesia. www.aipdiki5.files.wordpress.com/
Diposkan 5 weeks ago oleh Ahmat Pujianto

0
Tambahkan komentar
ARTIKEL KESEHATAN

 Klasik

 Kartu Lipat

 Majalah

 Mozaik

 Bilah Sisi

 Cuplikan

 Kronologis
1.
OCT

MENGENAL GANGGUAN JIWA : MENARIK DIRI


A. Pengertian
Menarik diri merupakan percobaan untuk menghindari interaksi dengan orang lain, menghindari
hubungan dari orang lain (Rawlins, 1993).
Isolasi sosial merupakan kesendirian yang dialami oleh individu dan dirasakan sebagai beban
oleh orang lain dan sebagai fase negatif yang mengancam ( NANDA, 2001-2002 ).
Menurut Towsend, M.C. (1998 :152) isolasi sosial merupakan keadaan kesepian yang dialami
oleh seseorang karena yang lain dianggap menyatakan sikap negatif dan mengancam dirinya.

B. Penyebab / Etiologi
• Faktor Predisposisi
Faktor perkembangan dan sosial budaya merupakan faktor predisposisi terjadinya perilaku
menarik diri. Kegagalan perkembangan dapat mengakibatkan individu tidak percaya diri, tidak
percaya orang lain, ragu, takut salah, pesimis, putus asa terhadap hubungan dengan orang lain,
menghindar dari orang lain, tidak mampu merumuskan keinginan, dan merasa tertekan.
Keadaan ini menimbulkan perilaku tidak ingin berkomunikasi dengan orang lain, menghindar dari
orang lain, lebih menyukai berdiam diri sendiri, dan kegiatan sehari-hari hampir terabaikan.
• Faktor Presipitasi
Stressor sosial budaya
Stressor sosial budaya dapat menyebabkan terjadinya gangguan dalam membina hubungan
dengan orang lain, misalnya anggota keluarga yang labil, yang dirawat di rumah sakit.
Stressor psikologis
Tingkat kecemasan yang berat akan menyebabkan menurunnya kemampuan individu untuk
berhubungan dengan orang lain. Intensitas kecemasan yang ekstrim dan memanjang disertai
terbatasnya kemampuan individu untuk mengatasi masalah diyakini akan menimbulkan berbagai
masalah gangguan berhubungan (menarik diri).

C. Manifestasi Klinik
Tanda dan Gejala dari menarik diri adalah :
o Apatis, ekspresi sedih, afek tumpul.
o Menghindar dari orang lain (menyendiri).
o Komunikasi kurang/tidak ada. Klien tidak tampak bercakap-cakap dengan klien lain/perawat.
o Tidak ada kontak mata, klien sering menunduk.
o Berdiam diri di kamar/ klien kurang mobilitas.
o Menolak berhubungan dengan orang lain, klien memutuskan percakapan atau pergi jika
diajak bercakap-cakap.
o Tidak melakukan kegiatan sehari-hari.
o Posisi janin saat tidur.

D. Penatalaksanaan
• Tindakan Psikoterapeutik
Psikoterapi suportif individual atau kelompok sangat membantu karena berhubungan dengan
praktis dengan maksud mempersiapkan klien kembali ke masyarakat, untuk mendorong klien
bergaul dengan orang lain, klien lain, perawat dan dokter. Maksudnya supaya klien tidak
mengasingkan diri karena dapat membentuk kebiasaan yang kurang baik, dianjurkan untuk
mengadakan permainan atau latihan bersama, seperti terapi modalitas yang terdiri dari:
a) Terapi aktivitas
1) Terapi seni
Fokus: untuk mengekspresikan perasaan melalui berbagai pekerjaan seni
2) Terapi musik
Fokus: mendengar, memainkan alat musik, bernyanyi. Yaitu menikmati dengan relaksasi musik
yang disukai klien.
3) Terapi menari
Fokus pada: ekspresi perasaan melalui gerakan tubuh
4) Terapi relaksasi
Belajar dan praktek relaksasi dalam kelompok
Rasional: untuk koping/ perilaku maladaptif/ deskriptif, meningkatkan partisipasi dan kesenangan
klien dalam kehidupan
b) Terapi sosial
Klien belajar bersosialisasi secara bertahap dengan perawat, klien lain, perawat lain,
keluarga/kelompok/ masyarakat
c) Terapi kelompok
1. Kelompok terapeutik
2. Terapi aktivitas kelompok
• Tindakan Psikofarmaka
Psikofarmaka adalah obat – obatan kimia, yaitu obat – obatan psikotropika, yang dapat
mempengaruhi bagian – bagian otak tertentu dan menekan atau mengurangi atau
menghilangkan gejala – gejala tertentu pada penderita. Macam –macam psikofarmaka (Suseno,
2009) :
a) Golongan anti psikotik
Digunakan untuk menghilangkan gejala psikotik seperti waham dan halusinasi ,penghayatan
diri.Untuk obat jenis konvesional biasanya hanya mampu menghilangkan gejala psitip saja, tetapi
obat jenis atipkal bisa menghilangka gejala positip dan gejala negatip. Jenisnya meliputi
chlorpromazine (promagtil,largagtil), haloperidol (haldol2mg,5mg), trifluoperazine (stelasin 2mg
5mg), perphenazine, fluphenazine, thioridazine (meleril), pimozide, clozapine (clozaril),
sulpirideh, risperidone (persidal), quetiapine, olanzapine.
b) Golongan anti cemas
Obat ini memberi kasiat menghilangkan rasa cemas melalui penguatan inhibitor GABA (gama
acid amino biturat). Untuk terapi-terapi seperti gangguan cemas umum, cemas karena stress,
gangguan tidur, phobia, cemas dengan kondisi medik, cemas karena tindakan medis, gangguan
kejang, hysteria. Jenisnya meliputi diazepam (valium, valisanbe, validex), chlordiazepoxide
(cetabrium), alprazolam (atarax, xanax), clobazam, lorazepam (ativan), buspirone, hidroxyzine,
bromazepam.
c) Golongan anti depresi
Untuk pengobatan gejala depresi seperti mutisme ,hipoaktif dan disforik. Disamping itu bisa
untuk mengobati keadaan panik, enurises, pada anak dengan gangguan perhatian, bumilia
narkolepsi dan obsesi kumpulsif. Tiga jenis obat anti depresan yaitu golongan tricyclik,selective
serotonin reuptake inhibitor (SSRI), monoamine oksidase inhibitor. Macam-macam anti depresan
meliputi amitriptyline(trilin), imipramine, clomipramine, fluoxentine(kalcetin), srtraline(fridep),
amoxapine, moclobenide, citalopram, duloxetine, venlafaxine, maprotilin, fluvoxamine,
mirtazapine, paroxetine, tianeptine, mianserine.
d) Golongan anti maniak
Untuk menghilangkan gejala manik seperti logorhoe, hiperaktive euphoria. Macam-macam anti
maniak yaitu lithium carbonate, carbazepine, haloperidol.
• Tindakan Psikosomatik
Terapi kejang listrik (ECT). Terapi kejang listrik adalah pengobatan untuk menimbulkan kejang
grandmall secara artificial dengan melewatkan aliran listrik melalui electrode yang dipasang pada
satu atau dua temples, dosis terapi kejang listrik 4-5 joule/detik.
Diposkan 6 days ago oleh Ahmat Pujianto

0
Tambahkan komentar
2.
SEP

26

HIV DALAM KEHAMILAN


A. Pengertian
Seseorang dinyatakan terinfeksi virus HIV apabila di dalam tubuhnya terdapat virus Human
immunodeficiency Virus (HIV). Pada tahapan lanjut, terinfeksi virus HIV bisa berkembang
menjadi AIDS Acquired Immune Deficiency Symdrome (AIDS) merupakan kumpulan gejala
penyakit infeksi kronis yang disebabkan oleh virus HIV. Virus HIV ditemukan dalam cairan tubuh
terutama di darah, cairan sperma, cairan vagina, dan air susu ibu. Virus HIV merusak system
kekebalan tubuh manusia dan mengakibatkan turunnya atau hilangnya daya tahan tubuh
sehingga mudah terjangkit penyakit infeksi.

B. Etiologi
Ibu bisa terinfeksi virus HIV dengan cara :
a. Hubungan seks dengan suami atau seseorang yang terserang HIV, tanpa menggunakan
kondom
b. Melalui jarum atau alat lain yang tidak steril yang gunanya untuk menembus kulit
c. Memiliki luka di kulit yang terbuka dan bersentuhan dengan luka terbuka seseorang yang
mengidap HIV
Seorang bayi bisa terinfeksi HIV dari Ibu yang terinfeksi HIV dengan cara :
1. Korioamnionitis atau radang pada plasenta karena infeksi
2. Prosedur pemantauan janin secara invasive
3. kelahiran prematur
4. Pada saat persalinan yang memungkinkan terjadinya percampuran darah dan lender ibu
dengan bayi.
5. Proses menyusui (pemberian air susu ibu kepada bayinya)

C. Tanda dan Gejala


a. Kategori Klinis A
- Infeksi HIV tanpa gejala (asimtomatik)
- Limfadenopati generalisata yang menetap
- Infeksi akut primer HIV sering disertai penyakit penyerta (infeksi oportunistik) atau adanya
riwayat infeksi HIV akut.
b. Kategori Klinis B
Kondisi dengan gejala (simtomatis) pada orang dewasa yang terinfeksi HIV yang tidak termasuk
dalam kategori C dan memenuhi paling kurang satu dari beberapa kriteria berikut :
1. Keadaan yang dihubungkan dengan infeksi HIV atau adanya kerusakan kekebalan yang
diperantari oleh sel (Cell mediated immunity) atau
2. Kondisi yang dianggap oleh dokter telah memerlukan penanganan klinis atau membutuhkan
penatalaksanaan akibat komplikasi infeksi HIV. Antara lain :
Demam > 38,5°C lebih dari satu bulan
Diare lebih dari satu bulan
Kandidiasis orofaringeal
Kandidiasis vulvovaginal
Herpes zoster
Oral hairy leucoplakia
Neuropati perifer
Purpura idiopatik trombositopenia
c. Kategori Klinis C
Meliputi gejala yang ditemukan pada pasien AIDS misalnya :
TBC
Kandidiasis esophagus
Kandidiasis Bronki, trakea, dan paru
Herpes simpleks dan ulkus kronis > sebulan lamanya
Pneumonia yang berulang
Pneumonia Pneumocystis carinii
Sarcoma Kaposi
Toksoplasmosis di otak
Retinitis virus sitomegalo
Ensefalopati yang berhubungan dengan HIV
Limfoma burkit
Bronchitis, esofagitis, atau pneumonia

D. Pemeriksaan Penunjang
1. Pemeriksaan laboratorium
a. Deteksi antibody terhadap HIV
- tes penyaring, dengan metode ELISA
- pemeriksaan konfirmasi, dengan pemeriksaan Western Blot (WB), Line ImmunoAssay (LIA),
Radio Immunoprecipitation assay (RIPA), dan Indirect Immunofluorescense Assay (IFA)
b. Deteksi antigen terhadap HIV
Dilakukan dengan mendeteksi protein p24 yang terdapat dalam capsid virus HIV. antigen ini
dapat dijumpai dalam darah kira-kira 14-16 hari setelah infeksi HIV. manfaat pemeriksaan
antigen p24 :
deteksi infeksi dini pada individu seronegatif dengan riwayat terpapar HIV
uji saring darah
diagnosis infeksi HIV pada bayi baru lahir
penentuan terapi antiviral
c. Deteksi asam nukleat
Dilakukan dengan beberapa cara :
o Reverse Transcription Polymerase Chain Reaction (RT-PCR)
o Nucleic Acid Sequence Based Amplification (NASBA)
o Branched Chain DNA (b-DNA)
d. Biakan virus
2. Pemeriksaan lain
o VCT ( Voluntary Counselling and Testing )

E. Penatalaksanaan HIV Selama Kehamilan


Medikamentosa
Monoterapi zidovudin, sebagai pengobatan semula untuk pencegahan penularan HIV selama
kehamilan pada awalnya sebagai percobaan pediatric AIDS Clinical Trial Group (ACTG) 076
pada awal 1990. Pengaruh klinis pengobatan tiga bagian ini ( antepartum, intrapartum, dan
neonatal ) adalah untuk mengurangi MTCT sebanyak dua pertiga, dari 25,6 sampai 8,3 persen.
Ini tetap merupakan standart minimum perawatan wanita hamil dengan HIV, tanpa
memperhatikan muatan virus. Lebih banyak regimen terapeutik, disebut regimen terapi
antiretroviral sangat aktif (highly active antiretroviral therapy, HAART ), telah lebih jauh
mengurangi resiko 1 sampai 2 persen. Bidan yang menyediakan perawatan untuk wanita HIV
positif selama kehamilan mengkoordinasikan terapi obat keoada spesialis penyakit infeksi atau
dokter perawatan primer yang berpengalaman dalam penatalaksanaan HIV untuk
mempertahankan pilihan pengobatan jangka yang paling efektif. Wanita yang sudah
mengkonsumsi HAART harus melanjutkan tanpa menghentikan obat pada trimester pertama;
wanita yang didiagnosis baru, dan mereka yang sedang tidak diobati, sebaiknya menunggu
sampai organogenesis lengkap sebelum memulai terapi. Pertimbangan dalam meresepkan obat
selama kehamilan termasuk kebutuhan obat wanita itu sendiri dan kemampuan untuk mematuhi
program yang kompleks, terapi sebelumnya, dan potensial untuk berkembangnya resistensi.
Menyeimbangkan pencegahan jangka pendek MTCT dengan terapi seumur hidup ibu adalah di
luar lingkup praktik kebidanan dasar.
Walaupun semua obat HIV yang selama ini dipasarkan oleh FDA diklasifikasikan sebagai kelas
B atau C, data efek pada janin dan neonatal secara luas berasal dari resep obat pragmatic bagi
kebutuhan ibu itu sendiri dan pengurangan muatan virus. Zidovudin tetap satu-satunya obat
yang digunakan untuk periode lama untuk menyatakan bahwa hasil untuk anak-anak yang tidak
terinfeksi mengindikasikan tidak ada masalah jangka panjang.
Studi pada wanita yang mengkonsumsi antiretroviral selama kehamilan, dibandingkan dengan
wanita HIV positif yang tidak sedang dalam pengobatan, telah menunjukkan tidak ada
peningkatan dalam kehilangan janin, kelahiran premature, atau berat badan lahir rendah. Namun
kejadian berat bermakna telah terjadi yang dapat mempengaruhi hasil kehamilan individu,
seperti insufisiensi mitokondria dan asidosis laktat. Dengan hanya mengetahui kategori FDA
tidak cukup untuk menjamin penggunaan yang aman. Efavirenz (sustiva) diketahui menghasilkan
pengaruh teratogenik pada primata dan karenanya tidak digunakan selama kehamilan walaupun
kategorinya C. Pendaftaran kehamilan antiretroviral mempertahankan penyimpanan data hasil
janin secara berkelanjutan.
Saat persalinan, wanita telah menerima terapi antiretroviral selama kehamilan sebaiknya
menerima zidovudin intravena. Bergantung pada keadaan spesifik mereka juga diberikan dosis
tunggal nevirapin oral. Wanita yang belum menerima antiretroviral selama kehamilan, apakah
karena mereka tidak mendapatkan perawatan prenatal atau karena mereka baru terdiagnosis
pada saat persalinan, sebaiknya menerima zidovudin dan nevirapin.

Non Medikamentosa
Strategi pencegahan penularan HIV dari Ibu ke Bayi dapat dilakukan dengan cara:
Mencegah terjadinya penularan HIV pada perempuan usia reproduktif
- Abstinence, artinya absen seks atau tidak melakukan hubungan seks bagi orang yang belum
menikah
- Be faithful, artinya bersikap saling setia kepada satu pasangan seks
- Condom, artinya cegah penularan HIV dengan memakai kondom.
- Drugs No, artinya dilarang menggunakan narkoba dalam bentik apapun.
Mencegah kehamilan yang tidak direncanakan pada ibu yang positif HIV
- layanan konseling
- test sukarela
- sarana kontrasepsi yang aman dan efektif
Mencegah terjadinya penularan HIV dari ibu hamil HIV positif ke bayi yang dikandungnya
- Pelayanan kesehatan ibu dan anak yang komprehensif
- Layanan konseling dan tes HIV secara sukarela
- Pemberian obat antiretroviral
- Konseling tentang HIV dan makanan bayi, serta pemberian makanan bayi
- Persalinan yang aman, dengan menggunakan metode caesar
Memberikan dukungan psikologis, social dan perawatan kepada ibu HIV positif beserta bayi
dan keluarganya.
Diposkan 1 week ago oleh Ahmat Pujianto

0
Tambahkan komentar
3.
SEP

24

JENIS-JENIS ARITMIA
1. Aritmia yang disebabkan oleh gangguan pembentukan impuls terdiri dari:
a. Nodus SA
1. Takikardi Sinus (ST)
Irama : Teratur
Frekwensi (HR) : 100 -150 x/mnt
Gelombang P : Normal, setiap gel P selalu diikuti gel QRS dan T
Interval PR : Normal (0,12 - 0,20 detik)
Gelombang QRS : Normal (0,06 - 0,12 detik)
2. Bradikardi Sinus (SB)
Irama : Teratur
Frekwensi (HR) : Kurang dari 60 x/menit
Gelombang P : Normal, setiap gel P selalu diikuti gel QRS dan T
Interval PR : Normal (0,12 - 0,20 detik)
Gelombang QRS : Normal (0,06-0,12 detik)
3. Aritmia Sinus
Irama : Tidak teratur
Frekwensi (HR) : Biasanya antara 60 – 100 x/menit
Gelombang P : Normal, setiap gel P selalu diikuli gel QRS danT
Interval PR : Normal (0.12- 0,20 detik)
GelombangQRS : Normal (0,06 - Q.12denk)
4. Sinus Arrest
Irama : Teratur, kecuali pada yang hilang
Frekwensi (HR) : Biasanya kurang dari 60x/menit
Gelombang P : Normal, kecuali pada yang hilang
Interval PR : Normal, kecuali pada yang hilang
Gelombang QRS : Normal (0,06 - 0,12 detik)
Hilang satu atau beberapa gelombang P, QRS.T dan hilangnya tidak menyebabkan kelipatan
jarak antara R - R
b. Atrium
1. Ekstrasistol Atrial (AES/PAB/PAC)
Irama : Tidak teratur, karena ada irama yang timbul lebih awal
Frekwensi (HR) : Tergantung irama dasarnya
Gelombang P : Bentuk berbeda dari irama dasarnya
Interval PR : Normal atau memendek
Gelombang QRS : Normal (0,06- 0,12 detik)
2. Takiardi Atrial (PAT)
Irama : Teratur,
Frekwensi (HR) : 150-250x/menit
Gelombang P : Sukar dilihat, kadang terlihat,tetapi kecil
Interval PR : Tidak dapat dihitung atau memendek
Gelombang QRS : Normal (0,06-0,12 detik)
3. Flutter Atrial
Irama : Biasanya teratur, bisa juga tidak
Frekwensi (HR) : Barvariasi (Bisa normal, lambat atau cepat)
Gelombang P : Tidak normal, seperti gigi gergaji, teratur dan dapat dihitung
Interval : Tidak dapat dihitung
Gelombang QRS : Normal, tetapi tidak semua gel QRS mengikuti gel P, sehingga pada
flutter atrial sering disertai blok 2:1,3:1 atau 4 : 1
4. Fibrilasi Atrial
Irama : Tidak tertur
Frekwensi (HR) : Bervariasi (Bisa normal,lambat atau cepat)
Gelombang P : Tidak dapat diidentifikasikan, sering terlihat keriting
Interval PR : Tidak dapat dihitung
Gelombang QRS : Normal (0,06-0,12 detik)
c. Nodus AV
1. Irama Junctional (JR)
Irama : Teratur
Frekuensi (HR) : 40 - 60 x/menit
Gelombang P : Terbalik dl depan, di belakang atau menghilang
Interval PR : Kurang darl 0,12 detik tidak dapat dihitung
Getombang QRS : Normal (0,06-0,12 detik)
2. Ekstrasistol Junctional (JES/PJB/ PJC)
Irama : Tak teratur karena ada irama yang timbul lebih awal,
Frekuensi (HR) : Tergantung irama dasarnya
Gelornbang P : Tidak ada atau tidak normal sesuai dengan letak impuls
Interval PR : Tidak dapat dihitung atau memendek
Gelombang QRS : Normal (0,06- 0,12 detik)
3. Takikardi Junctional
Irama : Teratur
Frekuensi (HR) : Lebih dari 100 x/menit
Gelombang P : Tidak ada/ ada terbalik di depan atau dibelakang gel QRS
Interval PR : Tidak dapat dihitung atau memendek
Gelombang QRS : Normal (0,06-0,12 detik)
d. Supraventrikel
1. Ekstrasistol Supraventrikel (SVES)
Irama : Tidak teratur karena ada ekstrasistol yang timbul lebih awal
Frekwensi (HR) : Tergantung irama dasar
Gelombang P : Tidak ada atau kecil (Timbul lebih awal)
Interval PR : Tidak ada arau memendek
Gelombang QRS : Normal (0,06 - 0,02delik)

2. Takikardi Supraventrikel (SVT)


Irama : Teratur
Frekwensi (HR) : 150-250 x/menit
Gelombang P : Tidak ada atau kecil
Interval PR : Tidak ada atau memendek
Gelombang ORS : Normal (0,06-0,12 defik)
e. Ventrikel
1. Irama Idioventrikel (IVR)
Irama : Teratur
Frekuensi (HR) : 20- 40 x/menit
Gelombang P : Tidak ada
Interval PR : Tidak ada
Gelombang ORS : Lebar lebih dari 0,12 detik
2. Ekstrasistol Ventrikel (VES/PVB/ PVC)
Irama : Tidak teratur karena ada irama yang timbul lebih awal
Frekuensi (HR) : Tergaritung irama dasar
Gelombang P : Tidak ada
Interval PR : Tidak ada
Gelombang QRS : Lebar, lebih dari 0,12 detik
3. Takikardi Ventrikel (VT)
Irama : Teratur
Frekwensi (HR) : Tidak ada
Gelombang P : Tidak ada
Interval PR : Tidak ada
Gelombang QRS : Lebar, lebih dari 0,12 detik
4. Fibrilasi Ventrikel (VF)
Irama : Tidak teratur
Frekwensi : Lebih dari 350 x/menit sehingga tidak dapat dihitung
Gelombang P : Tidak ada
Interval PR : Tidak ada
Gelombang QRS : Lebar dan tidak teratur

2. Disritmia yang disebabkan oleh gangguan penghantaran impuls


a. Nodus SA
1. Blok sinoatrial (SA Block)
Irama : Teratur, kecuali pada gelombang yang hilang
Frekwensi : Umumnya kurang dari 60 x/menit
Gelombang P : Normal, dan hilang pada saat terjadi blok
Interval PR : Tidak ada
Gelombang QRS : Normal (0,06 – 0,12 detik)
Hilang satu atau dua gelombang P.QRS.T menyebabkan kelipatan jarak antara R - R
b. Nodus AV
1. Blok AV derajat 1 (First degree AV block)
Irama : Teratur
Frekwensi : Umumnya normal antar 60 -100x/menit
Gelombang P : Normal
Interval PR : Memanjang, lebih dari 0,2.0 detik
Gelombang QRS : Normal (0,06 - 0,12 detik)
2. Blok AV derajat 2 (Second degree AV block) Tipe mobitz I (Wenckebach).
Irama : Tidak Teratur
Frekwensi : Normal antar 60 x/menit
Gelombang P : Normal,tetapi ada satu P yang tidak diikuti gel QRS
Interval PR : Makin lama makin panjang sampai ada gel yang tidak diikuti gel QRS,
kemudian siklus makin panjang diulang
Gelombang QRS : Normal (0,06 - 0,12 detik)
3. Blok AV derajat 2 (Second degree AV block) Tipe mobitz II
Irama : Umumnya tidak teratur, kadang bisa teratur
Frekwensi (HR) : Umumnya lambat kurang dari 60 x/menit
Gelombang P : Normal, tetapi ada satu atau lebih gel P yang tidak diikuti gel QRS
Interval PR : Normal/memanjang secara konstan
Gelombang QRS : Normal (0,06-0,12 detik)
4. Blok AV derajat 3 (Total AV block)
Irama : Teratur
Frekwensi (HR) : Kurang dari 60 x/menit
Gelombang P : Normal, Tetapi gel P dan gel QRS berdiri sendiri sendiri sehingga
gelombang P kadang diikuti gel QRS kadang tidak.
Interval PR : Berubah-ubah
Gelombang QRS : Normal atau memanjang lebih dari 0,12 detik
c. Interventrikuler
1. Right Bundle Branch Block (RBBB)
Irama : Teratur
Frekwensi (HR) : Umumnya normal antara 60-100 x/menit
Gelombang P : Normal, setiap gel P selalu diikuti gel QRS.T
Interval PR : Normal (0.12-0.20 detik)
Gelombang QRS : Lebar (> 0.12 detik) Ada bentuk rSR ("M shape") di V1 dan
V2, Gelombang S lebar dan dalam di lead I, II dan AVL, V5 dan V6, Perubahan ST segmen dan
gelombang T di V1 dan V2
2. Left Bundle Branc Block (LBBB)
Irama : Teratur
Frekwensi (HR) : Umumnya normal antara 60 -100 x/menit
Gelombang P : Normal, setiap gel P selalu diikuti gel QRS
Interval PR : Normal (0,12-0,20 detik)
Gelombang QRS : Lebar (> 0.12 detik) Ada bentuk rSR ("M shape") di V5 dan V6 ,
Gelombang Q yang dalam dan lebar di V1& V2 Perubahan ST segmen dan gelombang T di V5
danV6

Diposkan 3 weeks ago oleh Ahmat Pujianto

0
Tambahkan komentar
4.
SEP

24

PANKREATITIS AKUT
A. Pengertian
Pankreatitis akut adalah suatu proses peradangan akut yang mengenai pancreas dan ditandai
oleh berbagai derajat odema, perdarahan, dan nekrosis pada sel-sel acinus dan pembuluh darah
(Silvia A, 1994).
B. Etiologi
1. Penyakit traktus billiaris
Adanya kelainan pada traktus billiaris misalnya, suatu obstruktif, maka dapat menyebabkan
timbulnya inflamasi. Hal ini lebih nyata pada penderita dengan batu di ampula vateri, sewaktu-
waktu akan timbul spasme pada spincter oddi, sehingga timbul keluhan kolik dan dapat timbul
sepsis. Selain itu juga akan terjadi sumbatan pengeluaran pada getah pancreas, sehingga terjadi
kenaikan tekanan di dalam duktus pankreatikus yang berakibat menambah sekresi enzim.
2. Alkohol
Alkohol akan merangsang sekresi asam lambung dan sekresi dari secret duodenum. Dengan
adanya hipersekresi tersebut menyebabkan sekresi getah pancreas bertambah. Di samping itu,
alcohol juga menyebabkan reensi dari spincter pada kolon choledeochodeuodenal junction. Oleh
karena itu, diduga alkohol aka menyebabkan terhalangnya aliran getah pankreas.
3. Infeksi
Berdasarkan hasil penelitian, terdapat bakteri di dalam empedu yang merupakan penyebab
terjadinya aktivasi enzim pancreas. Beberapa bakteri yang diduga dapat menyebabkan
pancreatitis adalah protecus vulgaris, Streptococcus piogenes, pseudomonas aeruginosa. Infeksi
virus mungkin juga dapat menimbulkan pancreatitis akut, seperti pada morbili dan hepatitis virus
yang dapat disertai dengan pancreatitis.
4. Trauma pada perut bagian atas
Trauma tajam yang mengenai pancreas mempunyai prognosa yang jelek. Trauma tumpul
menyebabkan rusaknya jaringan pancreas sehingga timbul pankreatitis.
5. Hiperlipidemia
Sampai saat ini belum diketaui secara pasti hubungan antara hipertrigliseridemia dengan
timbulnya pancreatitis. Yang jelas gambaran pancreatitis yang berkaitan dengan hiperlipidemia
adalah :
a. Pada saat timbul serangan pancreatitis tidak disertai peningkatan amylase serum
b. Pada tipe ini serangan ulang dapat dicegah dengan diit rendah lemak terutama terhadap
trigliserida.
6. Hiperparatiroid
Adanya batu di saluran pancreas menimbulkan hiperkalsemia yang mengakibatkan aktivasi
tripsin selama sekresi pancreas, sehingga timbul pancreatitis. Perlu ditambahkan bahwa
penderita hiperkalsemia tanpa disertai hiperparathiroid sangat menimbulkan pancreatitis.
7. Obat-obatan
Beberapa obat yang diduga dapat menyebabkan pancreatitis akut adalah golongan diuretika
(furosemid), glikokortikoid, azulfidin, tetrasiklin, dll.
8. Pasca bedah
Terutama ditemukan setelah pembedahan pancreas, traktus billiaris, dan lambung. Jika
ditemukan kenaikan amylase serum setelah laparotomi harus diperkiraka kemungkinan
timbulnya pancreatitis.
C. Tanda dan Gejala
1. Tanda Subyektif
a. Nyeri perut hebat yang timbul secara mendadak dan terus menerus, biasanya nyeri
dirasakan di epigastrium yang terpusat di kanan atau di kiri garis tengah. Nyeri sering menyebar
ke punguung dan dirasakan tegang, nyeri tekan.
b. Nausea dan vomitus
c. Perut kembung sukar flatus
d. Ekstremitas terasa dingin
e. Lemah
2. Tanda Obyektif
a. Hipotensi
b. Tachikardi
c. Peningkatan suhu tubuh 38 – 39°C
d. Leukositosis
e. Dinding abdomen kaku dan tegang
f. Bising usus kurang, kadang menghilang
g. Adanya tanda Cullen (warna biru sekitar pusat sebagai akibat dari perdarahan
retroperitoneal).
D. Anatomi dan Fisiologi Pankreas
1. Pengertian
Pankreas adalah sekumpulan kelenjar yang strukturnya sangat mirip dengan kelenjar ludah,
panjangnya kira-kira 15 cm, lebar 5 cm mulai dari duodenum sampai ke limpa beratnya kurang
lebih 60-90 gram, terbentang pada vertebra lumbalis 1 dan 2 di belakang lambung.
2. Bagian dari pancreas
a. Kepala pancreas
Terletak di sebelah kanan rongga kanan abdomen dan di dalam lekukan duodenum yang
melingkarinya.
b. Badan pancreas
Merupakan bagian utama yang letaknyadi belakang lambung dan di depan vertebra lumbalis I.
c. Ekor pancreas
Bagian yang runcing di sebelah kiri yang sebenarnya menyentuh limpa.
3. Fungsi pancreas
a. Fungsi eksokrin
Yang membentuk getah pancreas berisi enzim dan elektrolit.
b. Fungsi endokrin
Sekelompok kecil sel epithelium yang membentuk kepulauan langerhaens yang menskresi
hormone insulin dan glucagon yang langsung dialirkan ke peredaran darah kemudian dibawa ke
jaringan untuk membantu metabolisme karbohidrat.
E. Patofisiologi
Adanya berbagai factor etiologi pada pancreatitis akut menimbulkan terbentuknya rangkaian
kejadian patofisiologi yang uniform pada timbulnya penyakit ini. Rangkaian ini didasarkan pada
aktivasi enzim di dalam pancreas yang kemudian mengakibatkan autodigesti organ dalam
proses aktivasi enzim. Peran penting terletak pada tripsin yang mengaktivasi semua enzim
pancreas yang terlihat pada proses autodigesti. Hanya lipase yang aktif yang tidak tergantung
pada tripsin.
Aktivasi enzim secara normal dimulai oleh enterokinase di duodenum ini mengakibatkan
mulanya aktivasi tripsin yang lali mengaktivasi enzim yang lain. Diduga aktivasi dini tripsinogen
menjadi tripsin adalah pemicu terjadinya autodigesti penkreas.
F. Pemeriksaan Penunjang
1. Pemeriksaan laboratorium
Peningkatan amylase pada 24 – 72 jam pertama, peningkatan lipase yang bertahan lebih lama
dari amylase, hiperglikemia, hipertrigliseridemia, peningkatan bilirubin lebih dari 4 mg%.
2. Pemeriksaan CT scan abdomen
Pembesaran pancreas yang difus atau local.
Diposkan 3 weeks ago oleh Ahmat Pujianto

0
Tambahkan komentar
5.
SEP

23

CARA MENGUKUR CENTRAL VENA PRESSURE (CVP) /


TEKANAN VENA CENTRAL
CVP menggambarkan tekanan pada vena central. Alat untuk mengukur CVP adalah CVC line
(Central Venous Cathether). Pemasangan CVC line, biasanya dilakukan oleh seorang
anastesiologi. Area pemasangan CVC line biasanya dilakukan di vena jugularis interna/eksterna,
vena subclavia dextra/sinistra, dan juga vena femoralis. Namun yang area yang bisanya
dilakukan tempat penusukan untuk memasukkan CVC line adalah di vena subclavia karena
letaknya yang relatif dekat dengan atrium kanan. Ujung dari CVC line akan sampai pada muara
vena cava di atrium kanan jantung. Ada beberapa indikasi seorang pasien dilakukan
pemasangan CVC line, diantaranya : pasien dengan kondisi shock yang memerlukan cairan
dalam jumlah yang besar dan dalam waktu yang singkat, serta pasien yang mengalami masalah
pada akses vena perifer sehingga tidak memungkinkan lagi dilakukan akses cairan melalui vena
perifer. Tujuan dari pemasangan CVC line diantaranya adalah :
1. Sebagai pemantauan tekanan vena sentral terkait status cairan dan oksigenasi tubuh
2. Memberikan cairan dalam jumlah yang banyak dan dalam waktu yang relative singkat
3. Untuk memberikan nutrisi via parenteral
4. Untuk memasukkan obat
Cara pengukuran CVP bisa dilakukan dengan 2 metode, yaitu secara manual dan membaca
melalui monitor yang sudah dihubungkan oleh tranduser. Cara melakukan pengukuran CVP
secara manual, diantaranya :
1. Persiapan alat
Alat yang biasanya digunakan untuk melakukan pengukuran CVP diantaranya manometer,
cairan, water pass, extension tube, three way, bengkok, plester, dll.
2. Jelaskan tujuan dan prosedur pengukuran CVP kepada pasien.
3. Posisikan pasien dalam kondisi yang nyaman. Pasien bisa diposisikan semi fowler (450)
4. Dekatkan alat-alat ke tubuh pasien
5. Menentukan letak zero point pada pasien. Zero point merupakan suatu titik yang nantinya
dijadikan acuan dalam pengukuran CVP. Zero point ditentukan dari SIC (spatium inter costa) ke
4 pada linea midclavicula karena SIC ke 4 tersebut merupakan sejajar dengan letak atrium
kanan. Dari midclavicula ditarik ke lateral (samping) sampai mid axilla. Di titik mid axilla itulah
kita berikan tanda.
Gambar 1 : Posisi zero point
6. Dari tanda tersebut kita sejajarkan dengan titik nol pada manometer yang ditempelkan
pada tiang infus. Caranya adalah dengan mensejajarkan titik tersebut dengan angka 0 dengan
menggunakan waterpass. Setelah angka 0 pada manometer sejajar dengan titik SIC ke 4
midaxilla, maka kita plester manometer pada tiang infus.
7. Setelah berhasil menentukan zero point, kita aktifkan sistem 1 (satu). Caranya adalah
dengan mengalirkan cairan dari sumber cairan (infus) kea rah pasien. Jalur threeway dari
sumber cairan dan ke arah pasien kita buka, sementara jalur yang ke arah manometer kita tutup.
8. Setelah aliran cairan dari sumber cairan ke pasien lancar, lanjutkan dengan mengaktifkan
sistem 2 (dua). Caranya adalah dengan mengalirkan cairan dari sumber cairan ke arah
manometer. Jalur threeway dari sumber cairan dan ke arah manometer dibuka, sementara yang
ke arah pasien kita tutup. Cairan yang masuk ke manometer dipastikan harus sudah melewati
angka maksimal pada manometer tersebut.
9. Setelah itu, aktifkan sistem 3 (tiga). Caranya adalah dengan cara mengalirkan cairan dari
manometer ke tubuh pasien. Jalur threeway dari manometer dan ke arah pasien dibuka,
sementara jalur yang dari sumber cairan ditutup.
10. Amati penurunan cairan pada manometer sampai posisi cairan stabil pada angka/titik
tertentu. Lihat dan catat undulasinya. Undulasi merupakan naik turunnya cairan pada manometer
mengikuti dengan proses inspirasi dan ekspirasi pasien. Saat inspirasi, permukaan cairan pada
manometer akan naik, sementara saat pasien ekspirasi kondisi permukaan cairan akan turun.
Posisi cairan yang turun itu (undulasi saat klien ekspirasi) itu yang dicatat dan disebut sebagai
nilai CVP. Normalnya nilai CVP adalah 5-12 cmH2O.
Nilai CVP yang kurang/rendah artinya pasien dalam kondisi kurang cairan, mendapatkan
ventilasi tekanan negatif, shock, dll. Sedangkan jika nilai CVP pada pasien cenderung tinggi
artinya klien mengalami kelebihan volume cairan, gagal jantung kanan, dan pada pasien dengan
ventilasi positif.
Diposkan 3 weeks ago oleh Ahmat Pujianto

0
Tambahkan komentar
6.
SEP

19

FAKTA TENTANG PENYAKIT KRONIS


Masalah penyakit kronis mempengaruhi individu sepanjang hidupnya. Penyakit kronis dapat
terjadi pada semua jenis kelamin, tingkat sosioekonomi, etnik, budaya dan kelompok ras. Namun
demikian, penyakit kronis umum terjadi pada kelompok tingkat sosioekonomi rendah karena
kurang akses ke perawatan kesehatan, nutrisi yang buruk, gaya hidup yang tidak sehat,
lingkungan dan sanitasi yang masih buruk, dan kurangnya pengetahuan masyarakat tentang
penyakit kronis itu sendiri.
Faktor-faktor itulah yang mendorong dan memicu peningkatan angka kejadian penyakit kronis di
Indonesia. Untuk itu perlu menjadi perhatian dari semua pihak bukan hanya dari tenaga
kesehatan tapi juga dari seluruh lapisan masyarakat untuk bahu-membahu menurunkan
prevalensi angka kejadian penyakit kronis.
Mengetahui semakin meningkatnya kasus penyakit kronis di masyarakat, sudah seharusnya
perawat sebagai salah satu tenaga kesehatan turut serta dalam upaya penanganan
permasalahan kesehatan kronis yang ada di komunitas. Dalam makalah ini akan dibahas
mengenai masalah penyakit fisik kronis ditinjau dari aspek keperawatan komunitas dan asuhan
keperawatan yang diberikan sesuai dengan kasus pemicu.

A. Definisi Penyakit Kronis


Penyakit kronis didefinisikan sebagai kondisi medis atau masalah kesehatan yang berkaitan
dengan gejala-gejala atau kecacatan yang membutuhkan penatalaksanaan jangka panjang.
Kebanyakan orang penyakit kronis tidak menganggap diri mereka sakit atau berpenyakitan dan
mencoba untuk hidup senormal mungkin (Robinson dkk, 1993). Akan tetapi hanya ketika
komplikasi atau gejala yang hebat mengganggu aktivitas kehidupan mereka sehari-hari, banyak
individu sakit kronis berfikir bahwa diri mereka sedang sakit (Forsyth, Delaney &
Gresham,1984).

B. Penyebab Penyakit Kronis


1. Kemajuan dalam bidang kedokteran modern yang telah mengarah pada menurunnya angka
kematian dari penyakit infeksi seperti smallpox dan difteri dan dari kondisi-kondisi serius lainnya.
2. Nutrisi yang membaik dan peraturan yang ketat yang mengatur keselamatan di empat kerja
yang telah memungkinkan orang hidup lebih lama.
3. Gaya hidup yang berkaitan dengan masyarakat modern yang telah meningkatkan insiden
penyakit kronis.

C. Implikasi Penyakit Kronis


1. Menangani penyakit kronis mencakup lebih dari menangani masalah-masalah medis.
Adaptasi terhadap penyakit dan kecacatan merupakan proses yang berkepanjangan. Setiap
perubahan besar atau penurunan kempuan fungsi membutuhkan adaptasi fisik, emosi dan social
lebih lanjut (Bury,1991) baik bagi individu maupun keluarga.
2. Kondisi-kondisi kronis dapat melewati berbagai fase yang berbeda sepanjang perjalanan
penyakit (Rolland,1987)
Akan ada periode stabil dan tak stabil, awitan yang sangat mendadak dan remisi. Setiap fase
membawa masalah fisik, psikologis dan social, masing-masing membutuhkan regimen dan
penatalaksanaan yang berbeda.
3. Untuk menjaga agar kondisi kronis tetap terkontrol mengharuskan kepatuhan terhadap
regimen teraupetik yang persisten.
Ketidakberhasilan untuk mematuhi rencana pengobatan atau mengikuti regimen dengan cara
yang konsisten dapat meningkatkan resiko terjadinya komplikasi dan percepatan proses
penyakit.
4. Satu penyakit kronis dapat mengakibatkan kondisi kronis yang lain
Sebagai contoh, diabetes pada akhirnya dapat mengarah pada terjadinya perubahan neurologist
dan sirkulasi dalam penglihatan, jantung, seksual dan masalah-masalah ginjal.
5. Penyakit kronis mempengaruhi seluruh keluarga
Kehilangan peran, kehilangan penghasilan, waktu yang dihabiskan untuk menangani penyakit,
penurunan dalam aktivitas dan sosialisasi keluarga dan biaya pengobatan dapat menimbulkan
ketegangan, sters dan keletihan di dalam keluarga.
6. Individu dengan penyakit kronis dan keluarganya memikul tanggung jawab yang besar
terhadap penatalaksanaan sehari-hari penyakit.
Tidak seperti kondisi akut, rumah disbanding rumah sakit menjadi pusat perawatan primer dalam
penyakit-penyakit kronis.
7. Menangani kondisi kronis membutuhkan penanganan masalah-masalah yang kompleks
yang saling terkait yang sifatnya medis, social dan emosional.
Upaya-upaya kolaboratif dari banyak tenaga kesehatan dibutuhkan untuk memberikan
perawatan menyeluruh.
8. Penatalaksanaan kondisi kronis adalah mahal.
Jutaan dollar biaya perawatan kesehatan dehabiskan setiap tahunnya untuk peralatan, medikasi
dan pelayanan yang berhubungan dengan penyakit kronis.
9. Kondisi kronis menghadirkan dilema etis bagi individu, tenaga kesehatan professional dan
masyarakat.
Tidak ada pemecahan yang mudah terhadap pertanyaan-pertanyaan dan isu seperti kapan
harus mengakhiri perawatan, bagaimana memberi akses ke perawatan, dan bagaimana cara
mengevaluasi kualitas hidup (Jennings, Callahan, Caplan, 1988).
10. Hidup dengan penyakit kronis berarti hidup dengan ketidakpastian.
Meskipun tenaga kesehatan dapat mengidentifikasi perjalanan penyakit, tetapi mereka tidak
dapat menentukan kepastian perjalanan penyakit tepatnya seperti apa yang akan dihadapi oleh
setiap individu.
Diposkan 3 weeks ago oleh Ahmat Pujianto

0
Tambahkan komentar
7.
SEP

19

KESEHATAN MENTAL
A. Definisi Kesehatan Mental
Sehat mental adalah kemampuan individu untuk menyesuaikan diri dengan diri sendiri, orang
lain, masyarakat dan lingkungan.
Ada beberapa kriteria yang harus dipenuhi untuk dapat dikatakan sehat mental yaitu:
1. Ia harus puas dengan dirinya sendiri. Merasa bahagia, gembira dan tenang. Tidak ada
konflik dengan diri sendiri dan tidak menyalahkan dirinya sendiri.
2. Ia harus dapat menyesuaikan dirinya dengan orang lain dalam lingkungannya. Dapat
menerima kritik dan tidak lekas tersinggung. Ia harus mengerti perasaan orang lain dan
mempunyai tenggang rasa.
3. Ia harus dapat mengendalikan dirinya sendiri dengan baik. Tidak emosional, tidak mudah
tercekam oleh rasa takut yang berlebihan, rasa marah, rasa iri, rasa bosan dan keraguan. Ia
harus dapat menghadapi masalah hidup sehari-hari serta dapat mengatasinya secara wajar.

B. Faktor-faktor Predisposisi Kesehatan Mental


1. Biologis
Latar belakang genetika
Dari berbagai hasil penelitian genetika didapatkan bahwa ada pengaruh factor genetika terhadap
mentalitas manusia. Misalnya rate konkordinasi untuk maniak depresi bagi anak kembar identik
75%, anak kembar tidak identuk 23%, kedua orang tua 20-50% dan saudara kandung 9%.
Faktor ibu selama kehamilan
a. Usia ibu
Ibu yang hamil pada usia terlalu muda dapat mengakibatkan keguguran dan prematuritas yamg
mengakibatkan kemampuan intelegensi yang dilahirkan rendah. Ibu yang hamil usia tua beresiko
tinggi pada kelahiran anak dengan down sindrom.
b. Nutrisi
Ibu hamil yang kekurangan nutrisi tidak hanya mempengaruhi fisik anaknya tetapi juga kualitas
mental seperti kecerdasan emosi.
c. Obat-obatan
Alkohol, nikotin atau obat sejenis dapat menimbulkan retardasi mental, pertumbuhan terhambat
dan kelemahan koordinasi tubuh.
d. Kesehatan ibu
Jika selama hamil ibu sering mengalami gangguan mental dapat berakibat kondisi janin kurang
sehat.
e. Status gizi
Status gizi berhubungan dengan perkembangan dan pertumbuhan awal jaringan otak yang tudak
sempurna dapat menyebabkan gangguan psikiatrik.
2. Psikososial
Kemampuan intelegensi individu
Kemampuan intelegensi individu dalam menyelesaikan konflik diri dengan menggunakan
berbagai upaya koping yang sesuai untuk mengurangi ketegangan.
Kemampuan bahasa individu
Kemampuan bahasa individu dapat mengurangi ketegangan psikis dengan kemampuannya
menyesuaikan diri dengan lingkungan.
Pengalaman masa lalu
Kesehatan mental dapat dihubungkan dengan pengalaman masa lalu yang menyenangkan atau
menyakitkan.
Konsep diri
Bagaimana kesesuaikan persepsi terhadap diri dapat mempengaruhi kesehatan mental
Motivasi
Bagaimana motivasi dalam menghadapi tantangan dan dinamika kehidupan
3. Sosial budaya
Stratifikasi sosial
Dalam berbagai penelitian menunjukkan kelompok sosial rendah lebih besar kemungkinan
gangguan psikiatrik disbanding kelompok sosial yang tinggi.
Interaksi sosial
Makin baik interaksi sosial, makin baik kesehatan mentalnya.
Keluarga
Kondisi keluarga yang dapat mempengaruhi kesehatan mental diantaranya perceraian dan
perpisahan, keluarga yang tidak fungsional dan abuse pada anak.
Perubahan sosial
Perubahan sosial yang terlalu cepat dapat mengakibatkan masyarakatnya mengalami kegagalan
dalam penyesuaian terhadap perubahan itu.
4. Lingkungan
Lingkungan fisik
Kepadatan tempat tinggal dapat berakibat bagi mentalitas seperti peningkatan tindak kejahatan,
bunuh diri, penyakit jiwa dan lain-lain.
Lingkungan kimiawi
Zat-zat seperti amfetamin, barbiturate, kafein, kokain, morfin dapat mengakibatkan gangguan
mental.
Lingkungan biologis
Penyakit seperti cacar air, campak, gondok, TBC, dan AIDS dapat menyebabkan penyakit
sekaligus kerusakan pada otak manusia yang beresiko tinggi bagi timbulnya gangguan mental.
5. Respon fisiologis
Simulasi saraf otonom dan simpatis serta peningkatan aktivitas hormone, tremor, peningkatan
motilitas dapat menyebabkan gangguan mental.

C. Masalah Kesehatan Mental Kronis


Gangguan jiwa adalah gangguan yang mempengaruhi jiwa orang, perasaan, dan perilakunya.
Masalah kesehatan mental kronis merupakan suatu sindrom dengan gejala spesifik berupa
gangguan kognisi, persepsi, emosi, dan atau perilaku individu yang secara berulang dalam
periode waktu yang lama. Masalah kesehatan mental yang biasa terjadi pada komunitas antara
lain:
1. Depresi
Depresi adalah gangguan mood, kondisi emosional berkepanjangan yang mewarnai seluruh
proses mental (berfikir, berperasaan, dan berperilaku) seseorang. Pada umumnya mood yang
secara dominant muncul adalah perasaan tidak berdaya dan kehilangan harapan.
Penyebab depresi:
a. Faktor biologis
Sakit fisik, pengaruh hormonal, depresi pasca melahirkan, penurunan berat badan drastis,
susunan kimia otak dan tubuh (hormon adrenalin yang memegang peranan utama dalan
mengendalikan otak dan aktivitas tubuh jumlahnya berkurang pada orang yang mengalami
depresi).
b. Faktor psikososial
Stres, konflik individu, masalah kepribadian (orang yang memiliki kepribadian depresif membuat
mereka terasing dari masyarakat dan akhirnya memudahkan depresi), masalah keluarga.
c. Keturunan
Keluarga lapis pertama (anak, kakak, adik, dan orang tua) dari orang yang menderita depresi
berat mempunyai resiko yang lebih besar (10%-15%) menderita penyakit ini daripada penduduk
umumnya.
Tanda-tanda depresi :
• Selalu merasa sedih
• Kesulitan tidur atau terlalu banyak tidur
• Kesulitan berfikir jernih
• Hilang keinginan untuk bersenang-senang, makan atau seks
• Gangguan fisik seperti pusing atau gangguan usus yang tudak disebabkan oleh penyakit
• Bicara dan gerakan lambat
• Merasa kurang tenaga untuk kegiatan sehari-hari
• Berfikir kearah bunuh diri atau kematian
2. Scizofrenia
Kelainan jiwa ini terutama menunjukkan gangguan dalam fungsi kognitif (pikiran), berupa
disorganisasi. Jadi gangguannya ialah mengenai pembentukan arus serta isi pikiran. Di samping
itu juga ditemukan gejala gangguan persepsi, wawasan diri, perasaan, dan keinginan.
Skizofrenia ditemukan 7 per 1.000 orang dewasa dan terbanyak usia 15-35 tahun..
3. Bunuh diri
Saat ini terdapat pergeseran usia orang yang bunuh diri. Kalau dahulu sangat jarang anak yang
usianya kurang dari 12 tahun melakukan tindak bunuh diri, tetapi sekarang bunuh diri pada anak
usia kurang dari 12 tahun sudah menjadi hal yang biasa ditemukan. Ini merupakan indikator
kegagalan orang tua di rumah, orang tua di sekolah, dan orang tua di masyarakat membekali
keterampilan hidup pada anak-anak untuk mengatasi kesulitan hidupnya. Angka bunuh diri di
suatu masyarakat akan meningkat berkaitan dengan pertambahan penduduk yang cepat, krisis
multidimensi termasuk kesulitan ekonomi, dan pelayanan kesehatan.
Gangguan mental yang paling sering berhubungan dengan risiko bunuh diri adalah depresi
(perasaan sedih, bersalah dan tak berguna yang mendalam, disertai hilangnya gairah hidup),
diikuti oleh gangguan bipolar (fluktuasi mood senang dan sedih yang berlangsung cepaf),
skizofrenia ( gila, karena isi pikirannya tidak sesuai dengan realita), anoreksia nervosa dan
bulimia nervosa (menurunkan asupan makanan dengan sengaja), perilaku mutilasi diri, dan
penyalahgunaan zat.
4. Trauma
Setelah mengalami suatu kejadian yang cukup mengagetkan, menakutkan sampai mengerikan,
korban biasanya mengalami ketakutan, ketidakberdayaan, dan rasa dihantui. Reaksi terhadap
kejadian tersebut memang akan berbeda-beda, bergantung pada kepribadian dan pengalaman
hidup masing-masing. Ada yang kemudian mengalami kejadian yang tidak disukai tersebut di
dalam mimpi atau bayangan mereka, tetapi ada juga yang tidak lama merasakan penderitaan
semacam itu. Ada yang kemudian berusaha mengurung diri atau menjauhkan diri dari hal-hal
yang mengingatkan terhadap kejadian yang sebenarnya..
Banyak cerita tentang anak-anak korban kerusuhan yang sedang bermain-main akan segera lari
tunggang langgang kalau mendengar ada pertengkaran di dekat mereka. Mereka akan langsung
cepat-cepat bersembunyi menyelamatkan diri di mana pun, misalnya di rumah penduduk atau
warung kopi terdekat. Seorang karyawan yang bekerja di Jakarta dan mengalami perang Aceh
sampai saat ini masih sering langsung bersembunyi di bawah meja kerja kalau mendengar suara
keras benda jatuh.
Trauma yang muncul dari kerusuhan, konflik, dan perang sering membuat korban merasa tidak
aman dalam menjalani kehidupan sehari-hari. Ketakutan dan kecemasan melingkupi hidup
mereka, mereka umumnya akan menjalani irama hidup yang abnormal. Kebanyakan dari mereka
merasa bahwa mereka sedang menghadapi dunia yang tidak dapat mereka percayai. Yang
mengerikan, trauma semacam itu dapat membentuk watak balas dendam. Kepedihan,
keperihan, dan kesedihan hidup mengarahkan mereka untuk melakukan tindak balas dendam
yang dapat merugikan kehidupan bersama. Para pendamping anak-anak korban perang di Aceh
menandai bahwa banyak dari mereka yang jiwanya masih dipenuhi rasa sakit hati, dendam, dan
cenderung mudah melakukan kekerasan. Itu dikarenakan mental dan imajinasi mereka telah
dirasuki hal-hal yang penuh kekerasan. Padahal, semua dari kita juga tahu bahwa pengalaman
pada masa kanak-kanak akan berpengaruh besar terhadap mental dan perilaku ketika dewasa.
Pengalaman traumatik pada orang dewasa dapat menyebabkan hal ringan seperti kecemasan
sampai hal-hal lain, seperti sulit tidur, tidak mempunyai selera makan, jantung sering berdebar
keras, suka marah untuk menyalurkan rasa tidak berdayanya, tidak percaya terhadap orang lain
sampai gangguan paranoid.
Diposkan 3 weeks ago oleh Ahmat Pujianto

0
Tambahkan komentar
8.
SEP

18

PENANGANAN KASUS SYOK SEPSIS


KASUS

Ketika seorang klien datang ke UGD dengan keadaan TD 70/palpasi, suhu axila 40,50C, nadi
120x per menit, maka langkah-langkah yang harus kita (perawat) lakukan adalah:
1. Pengkajian Primer
Selalu menggunakan pendekatan ABCDE.
a. Airway
1) Kita lihat kondisi umum klien secara cepat: ada trauma atau tidak.
2) Kita cek kesadaran klien dengan menepuk bahu klien atau mencubit, atau memberi
rangsangan nyeri di sternum. Bila klien tidak sadar, kita pasang tongue spatel/ mayo agar lidah
tidak jatuh ke belakang. Bila klien gelisah indikasi hipoksia sehingga perlu pemberian O2.
3) Kita tegakkan kepala klien (head till chinlift bila tidak dicurigai adanya trauma servikal), atau
jaw trust bila dicurigai ada trauma servikal.
4) Sambil melakukan head till kita lihat rongga mulut klien, ada sumbatan atau tidak. Bila
dalam rongga mulut klien ada benda asing yang masih bisa kita lihat, kita lakukan finger cross,
jika gagal, kita lakukan abdominal trust.
5) Kita dengarkan bunyi napas klien dengan cara mendekatkan telinga kita ke hidung klien
sambil mata melihat pergerakan dinding dada. Bila bunyi napas gurgling, kita lakukan suction.
6) Kita rasakan aliran udara klien dengan mnggunakan punggung tangan. Jika tidak terasa
aliran udara segera periksa nadi carotis. Kalau nadi karotis tidak teraba, segera lakukan RJP.
Tetapi kalau masih teraba nadi tetapi tidak ada napas, kolaborasi dengan tim anestesi untuk
melakukan intubasi dini.
b. Breathing
1) Kita hitung RR klien dalam 1 menit penuh dengan cara melihat naik turunnya dada klien.
Bila RR > 20x/mnt dan airway clear kita berikan 100% oksigen melalui non re-breathing mask.
2) Kita lihat kesimetrisan dinding dada, simetris kanan kiri saat inspirasi dan ekspirasi. Jika
pergerakan maupun bentuk dada tidak simetris waspada adanya pneumothorax, dll.
3) Kita lihat ada tidaknya luka di dada. Bila ada perdarahan dilakukan balut tekan. Jika ada
luka, segera kolaborasi dengan ahli bedah untuk pemasangan WSD.
4) Kita palpasi, ada tidaknya nyeri bila klien sadar. Jika terdengar suara krepitasi saat palpasi,
kita curiga adanya ruptur trakea dan empisema. Segera kolaborasi dengan ahli bedah untuk
pemasangan WSD.
5) Kita perkusi, ada tidaknya perubahan suara paru dan organ dada. Perubahan suara pada
paru mengindikasikan isi dari paru, bisa udara yang berlebih, cairan maupun darah, maupun
tumor.
6) Kita lakukan auskulasi dada, untuk mengetahui adanya perubahan suara paru.
7) Kita pasang pulse oksimetri untuk mengkaji saturasi oksigen. Jika saturasi O2 kurang dari
95%, berikan O2 dengan menggunakan rebreathing mask. Pulse oksimetri hendaknya tetap
dipasang pada jari pasien, untuk memonitor saturasi O2. Jika setelah pemberian O2 dengan
menggunakan rebreathing mask saturasi O2 pasien tetap turun, dan pasien tampak gelisah,
disertai akral dingin dan sianosis, maka segera kolaborasi dengan anestesi untuk segera
dilakukan intubasi dini.
8) Kita cocokkan hasil pengukuran saturasi oksigen dengan PaO2 dalam kurva disosiasi, bila
PaO2< 60 mmHg maka indikasi dilakukan intubasi dini, sambil kita kirim sampel darah (AGD) ke
laboatorium.
c. Circulation
1) Lihat adanya perdarahan terbuka atau tanda-tanda perdarahan yang lain.
2) Kita hitung nadi,bila >100 kali per menit merupakan tanda signifikan.
3) Kita ukur tekanan darah. Jika tekanan darah sisitolik <90 mmHg, MAP <60 mmHg, nadi
>100x/mnt kita pasang infus dengan menggunakan kanul yang besar (18 G), dengan cairan
koloid atau kristaloid.
4) Sambil melakukan pemasangan infus, kita bisa mengambil sampel darah dan melakukan
pemeriksaan GDS. Jika ada tanda hipoglikemia, segera berikan cairan dekstosa 40%, dan jika
ada tanda hiperglikemia berikan insulin. Tetapi, jika GDS menunnjukkan nilai normal, maka kita
fokus pada resusitasi cairan.
5) Kita pasang kateter urin untuk mengetahui balance cairan. Selalu mengukur jumlah cairan
yang masuk dan yang keluar untuk mengetahui balance cairan. Jika jumlah input dan output
tidak seimbang, artinya output sedikit, maka indikasi adanya gangguan di ginjal.
6) Cairan kristaloid yang kita berikan sebanyak 1000 ml atau koloid 500 ml sambil kita pantau
tekanan darah dan MAP, bila tekanan darah dan MAP tetap (tekanan darah sisitolik <90 mmHg,
MAP <60 mmHg ) maka kita pertimbangkan pemasangan CVP dengan berkolaborasi dengan
dokter anestesi dan melakukan pengukuran CVP. Jika tekanan darah sisitolik <90 mmHg, MAP
<60 mmHg dan CVP < 8 mmHg kita ulangi pemberian cairan kristaloid bolus 500-1000 ml atau
cairan koloid 300-500 ml. Kemudian, kita evaluasi tekanan darah sistolik, MAP dan CVP lagi.
Jika tekanan sistolik <90 mmHg dan MAP <90 mmHg, dan CVP ≥8 mmHg maka kita mulai
pemberian vassoaktif pada klien. Jika tekanan sistolik ≥90 mmHg, dan MAP ≥90 mmHg, serta
CVP ≥8 mmHg, maka intervensi selanjutnya adalah pengukuran ScvO2. Jika nilai ScvO2 ≥ 70
mmHg, tekanan sistolik ≥90 mmHg, dan MAP ≥90 mmHg, serta CVP ≥8 mmHg maka resusitasi
cairan berhasil. Jika nilai ScvO2 <70%, maka indikasi dilakukan pemberian tranfusi jika nilai
hematokrit <3%. Jika ada indikasi hipoclorid, maka diberikan inotropik. Tetapi, jika tekanan
sistolik dan MAP, serta CVP tetap (sisitolik <90 mmHg, MAP <60 mmHg dan CVP < 8 mmHg)
kita ulangi lagi pemberian cairan kristaloid 500-1000 ml atau cairan koloid 300-500 ml.
7) Saat ressusitasi cairan pemantauan terhadap suara dan kondisi paru harus diperhatikan,
karena dikhawatirkan terjadi penimbunan cairan pada paru. Selain itu pengukuran input dan
output cairan harus diperhitungkan secara akurat untuk memantau balance cairan pada pasien.
8) Kita periksa waktu pengisian kapiler (CRT). Ini menunjukkan tingkat transportasi O2 pada
jaringan yang paling distal. Jika CRT > 3 detik maka ada gangguan pada proses transportasi O2
pada jaringan distal.
9) Ukur suhu aksila klien. Jika suhu klien lebih dari 40 derajat celcius, pertimbangkan untuk
melakukan internal cooling yaitu suatu mekanisme untuk menurunkan suhu tubuh secara
ekstrim.
10) Lakukan pengukuran tinggi JVP. Jika ada peningkatan JVP, indikasi adanya payah
jantung, sehingga pemberian cairan perlu kita perhatikan dan pertimbangkan.
11) Kita lakukan pemeriksaan darah lengkap, kultur, urin dan sputum untuk mengetahui agen
penyebab sepsis.
Gambar 1 : Skema resusitasi cairan pada penderita Syok Sepsis (Morrel RM, 2009).
Apabila masalah di Airway, Breathing dan Circulation sudah tetangani maka kita lanjut ke :
d. Disability, Drugs
1) Kita cek tingkat kesadaran klien lagi dengan menggunakan AVPU (Alert Verbal Pain
Unresposiveness). Jika pasien gelisah, maka indikasi adanya hipoksia. Maka ada masalah pada
transportasi oksigen.
2) Apabila kuman penyebab sepsis sudah diketahui (dari hasil kultur), kolaborasi dengan
medis untuk diberikan antibiotik spektrum luas.
e. Exposure,EKG
1) Jika sumber infeksi tidak diketahui maka kita cari adanya cidera, luka dan tempat suntikan
dan tempat sumber infeksi lainnya secara lebih teliti.
2) Kita lakukan rekaman EKG, apabila terjadi ventrikel fibrilasi dan ventrikel takikardi tanpa
nadi maka indikasi dilakukan defibrilasi.

2. Pengkajian Sekunder
a. Riwayat Penyakit pasien dan keluarga
Riwayat penyakit dan pengobatan akan sangat berguna untuk menentukan patofisiologi dan
sejarah perkembangan penyakit pada tubuh klien.
b. Pemeriksaan fisik head to toe
Pemeriksaan fisik head to toe, dilakukan agar memperoleh hasil pengkajian yang lebih detail.
c. Pemeriksaan Laboratorium
Data laboratorium yang penting untuk menunjang penatalaksanaan pada pasien dengan syok
sepsis diantaranya BGA, GDS, Laktat, BUN, Ureun, Kreatinin, SGOT, SGPT, elektrolit, dll.
Selain itu, kultur darah, sputum, urin, dan feses juga diperlukan untuk mengetahui jenis bakteri
penyebab sepsis serta antibiotik yang sudah resisten pada pasien.
d. Pemeriksaan penunjang lain.
Pemeriksaan penunjang lain diperlukan untuk memperkuat diagnosa pada pasien. Misalnya
rontgent thorax dan abdomen, untuk mengetahui keadaan dan isi thorax dan abdomen. Jika ada
trauma maka dilakukan rontgen pada area yang mengalami trauma. Jika ada trauma pada
kepala, dilakukan CT-scan.
e. Jika pasien sudah stabil, maka perawat bisa merujuk ke bagian intensif care unit yang sudah
dipesan sebelumnya.

Tanda ancaman terhadap kehidupan


Sepsis yang berat didefinisikan sebagai sepsis yang menyebabkan kegagalan fungsi organ. Jika
sudah menyembabkan ancaman terhadap kehidupan maka pasien harus dibawa ke ICU,
dengan indikasinya sebagai berikut:
• Penurunan fungsi ginjal
• Penurunan fungsi jantung
• Hyposia
• Asidosis
• Gangguan pembekuan darah
• Acute respiratory distress syndrome (ards) – tanda cardinal oedema pulmonal.
Diposkan 3 weeks ago oleh Ahmat Pujianto

0
Tambahkan komentar
9.
SEP

18

PATOFISIOLOGI ASTHMA BRONCHIALE


Asma merupakan penyakit inflamasi kronis pada saluran napas (airway) yang berhubungan
dengan hiperresponsif dan episode penyempitan pada jalan napas. Di era sekarang ini, fakta
tentang prevalensi penderita asma terus mengalami peningkatan. Data dari badan kesehatan
dunia (WHO) tahun 2010, mencatat bahwa 300 juta orang di seluruh dunia menderita asma.
Pada tahun 2005, tercatat 255 ribu orang di dunia meninggal karena serangan asma. Asma juga
paling sering terjadi pada anak-anak, dan 80% penderita asma berada di negara miskin dan
berkembang, sehingga kebanyakan penderita asma sering tidak terdiagnosa dan tidak tertangani
sehingga akibatnya fatal.
Manajemen penanganan asma bronchial mengalami perkembangan seiring dengan proses
evolusi tentang konsep penyakit asma. Pada pertengahan abad 20, asma disebut sebagai
penyakit atau gejala kompleks yang ditandai dengan sesak napas yang berat akibat
bronkospasme (penyempitan pada bronkhus). Bronkospasme merupakan faktor dominan yang
menyebabkan penyempitan pada jalan napas (airway). Dampaknya, untuk mengatasi
penyempitan pada jalan napas tersebut, penderita biasanya diberikan terapi bronkodilator,
seperti epinephrine, dll pada saat penderita mengalami serangan asma (astma attack). Pada
tahun 1960 an, asma didefinisikan sebagai penyakit hiperresponsif pada airway (jalan napas).
Sekitar tahun 1980 an, ditemukan inflamasi pada jalan napas yang kemudian dihubungkan
dengan hiperresponsif pada airway (jalan napas) dan gejala pada asma. Pada penderita asma,
jumlah eosinofil ditemukan mengalami peningkatan pada jalan napas pasien. Eosinofil yang
ditemukan di jalan napas penderita asma tersebut berkontribusi terhadap perubahan histologis
dan fungsi dari jalan napas diantaranya rusaknya lapisan epitel pada bronchus dan
hiperresponsif pada bronchus. Agen anti inflamasi seperti kortikosteroid, agen anti alergi,
theopilin, biasanya diberikan untuk menekan jumlah eosinofil pada jalan napas sehingga jalan
napas bisa kembali lagi efektif. Berdasarkan patofisiologi asma, telah menunjukkan bahwa ada
banyak sel dan cytokine yang memiliki peran pada proses inflamasi jalan napas dan komplikasi
pada pasien dengan asma. Perubahan struktur pada jalan napas akibat proses inflamasi (airway
remodeling) tersebut akan menyebabkan penyempitan dan hiper responsif pada jalan napas
yang bersifat persisten.

Gambar 1 : Evolusi konsep penyakit asma (Sumber : Makino & Sagara, 2010)
Perkembangan penyakit asthma bronchial sejatinya sama seperti proses inflamasi kronis pada
saluran napas yang melibatkan sel T, khususnya T helper tipe 2, sel Th2, sel mast, dan airway
remodeling. Airway remodeling menyebabkan penyempitan jalan napas yang bersifat persisten
(terus menerus) dan hiperresponsif jalan napas. Faktanya pada tahun 1966, Makino menemukan
bahwa pada pasien asthma dengan FEV1/predicted VC yang rendah, terjadi peningkatan
sensitivitas/respon pada jalan napas. Penelitian terbaru difokuskan pada peran transforming
growth factor (TGF) beta, suatu cytokine fibrogenik pada proses airway remodeling. Akhir-akhir
ini evidence telah menemukan bahwa proses airway remodeling disebabkan akibat
ketidakseimbangan mekanisme pengaturan yang dimediatori oleh Smads yaitu salah satu jenis
molekul penghantar signal dari TGF-Beta. Smad7 merupakan antagonis intraseluler dari TGF-
Beta, yang dapat menentukan intensitas atau durasi sinyal TGF-Beta. Sagara, Nakao dkk
menemukan bahwa ekspresi Smad7 pada sel epitel bronchial berbanding terbalik dengan
ketebalan membran dasar dan hiperresponsif jalan napas pada pasien dengan asma, sementara
ekspresi Smad2 memiliki hubungan yang psositif dengan ketebalan membran dasar dan
hiperresponsif jalan napas. Tingkat protein smad di intraseluler dikontrol oleh cytokine. Fueki,
Sagara dkk menemukan bahwa pengaruh Th2, cytokine interleukin (IL)-5 dan granulocyte –
macrophage colony-stimulating factor (GM-CSF) dan pengaturan cytokine IL-10 pada ekspresi
penghambatan protein Smad7 pada sel epitel bronchus. IL-10 menghambat ekspresi TGF-Beta.
Diposkan 3 weeks ago oleh Ahmat Pujianto

0
Tambahkan komentar
10.
SEP

18

PERTOLONGAN PERTAMA PADA KORBAN TERSEDAK


Tersedak merupakan salah satu kasus kegawatdaruratan yang sering kita jumpai di masyarakat.
Dalam istilah medis, tersedak merupakan suatu bentuk obstruksi/sumbatan pada saluran napas.
Jika ada benda asing yang masuk ke jalan napas (kecuali gas), maka tubuh akan merespon
dengan reflek batuk untuk mengeluarkan benda asing tersebut. Tetapi jika benda asing yang
masuk ke dalam saluran napas tersebut ukurannya besar, maka dapat menyebabkan sumbatan
total pada jalan napas. Adapun beberapa benda yang bisa menyebabkan sumbatan pada jalan
napas diantaranya bakso, permen karet, permen, kolang-kaling, daging, dll. Ciri-ciri seseorang
yang tersedak diantaranya :
1. Korban biasanya tidak bersuara.
Korban tidak bisa bicara/tidak mengeluarkan suara karena jalan napas tertutup oleh benda asing
sehingga udara tidak bisa lewat ke pita suara.
2. Korban akan memegang leher.
Ciri khas orang yang tersedak adalah memegang leher. Kondisi tersebut untuk memberikan
isyarat kepada orang lain bahwa korban sebenarnya ada masalah pada leher dan butuh
pertolongan, tetapi korban tidak mampu bersuara.

Gambar 1 : Posisi korban tersedak (Sumber : http://websehat.net)


Jika anda menjumpai korban yang tersedak yang anda harus lakukan adalah :
1. Berteriak minta tolong pada orang lain
Untuk bisa menolong orang dalam kondisi gawat darurat, kita pasti nanti akan butuh pertolongan
orang lain. Oleh karena itu, berteriak minta tolong adalah merupakan salah satu bagian dari
sistem program penanggulangan gawat darurat terpadu.
2. Jika korban adalah dewasa atau anak-anak lakukan haemlich maneuver jika korban masih
dalam kondisi sadar. Cara melakukan haemlich maneuver adalah :
a) Penolong berdiri di belakang korban, posisikan tangan penolong memeluk di atas perut
korban melalui ketiak korban.
b) Sisi genggaman tangan penolong diletakkan di atas perut korban tepat pada pertengahan
antara pusar dan batas pertemuan iga kiri dan kanan (tulang taju pedang).
c) Letakkan tangan lain penolong di atas genggaman pertama lalu hentakan tangan penolong
ke arah belakang dan atas (seperti mengulek) posisi kedua siku penolong ke arah luar,
kemudian lakukan hentakan sambil meminta pasien membantu memuntahkannya.
d) Lakukan berulang sampai berhasil, namun tetap harus berhati-hati.

Gambar 2 : Haemlich manuever pada korban dewasa

Gambar 3 : Posisi tangan saat melakukan haemlich manuever


Gambar 4 : Haemlich maneuver pada anak
e) Tetapi, jika anda sendiri yang mengalami tersedak dan tidak ada teman/orang lain di sekitar
anda, maka anda dapat melakukan haemlich maneuver sendiri. Caranya adalah anda dapat
mencari kursi yang tidak beroda. Anda berdiri dibelakang, lalu bungkukkan tubuh anda dengan
posisi perut menempel pada sandaran kursi. Lakukan hentakan sendiri.

Gambar 5 : Posisi melakukan haemlich maneuver sendirian


Ketika kita sudah berusaha melakukan haemlich maneuver tetapi korban tiba-tiba pingsan dan
sumbatan belum juga keluar, segera lakukan abdominal thrust. Caranya adalah tidurkan korban
dengan posisi telentang, lalu penolong berlutut diantara dua kaki korban. Letakkan punggung
tangan penolong diantara tulang taju pedang dan pusar korban, lalu kaitkan dengan tangan
penolong satunya lalu lakukan gerakan mendorong ke arah kepala korban.
Gambar 6 : Posisi melakukan abdominal thrust
Kontraindikasi Abdominal thrust adalah kehamilan tua dan bayi serta dewasa yang gemuk.
Dianjurkan lebih baik menggunakan chest thrust (kompresi dada) atau back blows atau back
slap yaitu dengan menepuk atau memukul punggung pada pertengahan daerah diantara kedua
scapula. Cara melakukan back blows adalah bungkukkan atau doyongkan tubuh korban ke
depan, lalu beri 5 kali dorongan/ tepukan pada punggung (diantara tulang belikat) dengan
menggunakan tumit salah satu tangan. Kalau pada bayi, posisi bayi ditelungkupkan dan ditopang
dangan salah satu tangan, lalu tangan yang satu memberikan dorongan. Cara melakukan pada
bayi biasanya back blows dikombinasikan dengan chest thrust. Caranya adalah memberikan 5
kali dorongan pada punggung dikuti dengan pemberian 5 kali dorongan pada dada.

Gambar 7 : Teknik melakukan back blows pada bayi (Sumber : www.rezkypratama.com)

Gambar 8 : Teknik melakukan chest thrust pada bayi (sumber : http://www.health.detik.com)

Diposkan 3 weeks ago oleh Ahmat Pujianto

0
Tambahkan komentar

Memuat
Template Dynamic Views. Diberdayakan oleh Blogger.

Anda mungkin juga menyukai