2. Domain
Merupakan ranah yang mengukur tingkat pengetahuan peserta dari aspek cognitive
(knowledge), skill (psychomotor) dan affective (attitude). Adapun sub tinjauan dari domain,
meliputi :
a) Cognitive (knowledge) meliputi pengetahuan dan pengembangan kemampuan intelektual.
Dalam uji kompetensi ini akan diujikan tingkat kognitif yang bervariasi dari pemahaman, aplikasi
dan berfikir kritis.
b) Pengetahun afektif (konatif) menggambarkan bagaimana cara seseorang bersikap yang
melibatkan emosi dan kemampuan empati untuk mengapilkasikan nilai-nilai profesional dalam
praktik keperawatan.
c) Pengetahuan prosedur (procedural knowledge) menggambarkan kemampuan dalam
melakukan tindakan keperawatan .
Adapun komposisi persentase sub tinjauan dari domain dalam soal uji kompetensi adalah ;
3. Bidang keilmuan
Komposisi persentase keilmuan dalam soal uji kompetensi adalah :
4. Proses keperawatan
Komposisi persentase sub tinjauan proses keperawatan dalam soal uji kompetensi adalah :
5. Upaya kesehatan
Komposisi persentase sub tinjauan upaya kesehatan dalam soal uji kompetensi adalah :
6. Kebutuhan dasar
Komposisi persentase sub tinjauan kebutuhan dasar dalam soal uji kompetensi adalah :
7. Sistem tubuh.
Komposisi persentase sub tinjauan sistem tubuh dalam soal uji kompetensi adalah :
Demikianlah beberapa hal terkait Uji Kompetensi Ners Nasional (UKNI). Semoga berhasil.
SUMBER :
Blue Print Uji Kompetensi Perawat Indonesia. www.aipdiki5.files.wordpress.com/
Diposkan 5 weeks ago oleh Ahmat Pujianto
0
Tambahkan komentar
ARTIKEL KESEHATAN
Klasik
Kartu Lipat
Majalah
Mozaik
Bilah Sisi
Cuplikan
Kronologis
1.
OCT
B. Penyebab / Etiologi
• Faktor Predisposisi
Faktor perkembangan dan sosial budaya merupakan faktor predisposisi terjadinya perilaku
menarik diri. Kegagalan perkembangan dapat mengakibatkan individu tidak percaya diri, tidak
percaya orang lain, ragu, takut salah, pesimis, putus asa terhadap hubungan dengan orang lain,
menghindar dari orang lain, tidak mampu merumuskan keinginan, dan merasa tertekan.
Keadaan ini menimbulkan perilaku tidak ingin berkomunikasi dengan orang lain, menghindar dari
orang lain, lebih menyukai berdiam diri sendiri, dan kegiatan sehari-hari hampir terabaikan.
• Faktor Presipitasi
Stressor sosial budaya
Stressor sosial budaya dapat menyebabkan terjadinya gangguan dalam membina hubungan
dengan orang lain, misalnya anggota keluarga yang labil, yang dirawat di rumah sakit.
Stressor psikologis
Tingkat kecemasan yang berat akan menyebabkan menurunnya kemampuan individu untuk
berhubungan dengan orang lain. Intensitas kecemasan yang ekstrim dan memanjang disertai
terbatasnya kemampuan individu untuk mengatasi masalah diyakini akan menimbulkan berbagai
masalah gangguan berhubungan (menarik diri).
C. Manifestasi Klinik
Tanda dan Gejala dari menarik diri adalah :
o Apatis, ekspresi sedih, afek tumpul.
o Menghindar dari orang lain (menyendiri).
o Komunikasi kurang/tidak ada. Klien tidak tampak bercakap-cakap dengan klien lain/perawat.
o Tidak ada kontak mata, klien sering menunduk.
o Berdiam diri di kamar/ klien kurang mobilitas.
o Menolak berhubungan dengan orang lain, klien memutuskan percakapan atau pergi jika
diajak bercakap-cakap.
o Tidak melakukan kegiatan sehari-hari.
o Posisi janin saat tidur.
D. Penatalaksanaan
• Tindakan Psikoterapeutik
Psikoterapi suportif individual atau kelompok sangat membantu karena berhubungan dengan
praktis dengan maksud mempersiapkan klien kembali ke masyarakat, untuk mendorong klien
bergaul dengan orang lain, klien lain, perawat dan dokter. Maksudnya supaya klien tidak
mengasingkan diri karena dapat membentuk kebiasaan yang kurang baik, dianjurkan untuk
mengadakan permainan atau latihan bersama, seperti terapi modalitas yang terdiri dari:
a) Terapi aktivitas
1) Terapi seni
Fokus: untuk mengekspresikan perasaan melalui berbagai pekerjaan seni
2) Terapi musik
Fokus: mendengar, memainkan alat musik, bernyanyi. Yaitu menikmati dengan relaksasi musik
yang disukai klien.
3) Terapi menari
Fokus pada: ekspresi perasaan melalui gerakan tubuh
4) Terapi relaksasi
Belajar dan praktek relaksasi dalam kelompok
Rasional: untuk koping/ perilaku maladaptif/ deskriptif, meningkatkan partisipasi dan kesenangan
klien dalam kehidupan
b) Terapi sosial
Klien belajar bersosialisasi secara bertahap dengan perawat, klien lain, perawat lain,
keluarga/kelompok/ masyarakat
c) Terapi kelompok
1. Kelompok terapeutik
2. Terapi aktivitas kelompok
• Tindakan Psikofarmaka
Psikofarmaka adalah obat – obatan kimia, yaitu obat – obatan psikotropika, yang dapat
mempengaruhi bagian – bagian otak tertentu dan menekan atau mengurangi atau
menghilangkan gejala – gejala tertentu pada penderita. Macam –macam psikofarmaka (Suseno,
2009) :
a) Golongan anti psikotik
Digunakan untuk menghilangkan gejala psikotik seperti waham dan halusinasi ,penghayatan
diri.Untuk obat jenis konvesional biasanya hanya mampu menghilangkan gejala psitip saja, tetapi
obat jenis atipkal bisa menghilangka gejala positip dan gejala negatip. Jenisnya meliputi
chlorpromazine (promagtil,largagtil), haloperidol (haldol2mg,5mg), trifluoperazine (stelasin 2mg
5mg), perphenazine, fluphenazine, thioridazine (meleril), pimozide, clozapine (clozaril),
sulpirideh, risperidone (persidal), quetiapine, olanzapine.
b) Golongan anti cemas
Obat ini memberi kasiat menghilangkan rasa cemas melalui penguatan inhibitor GABA (gama
acid amino biturat). Untuk terapi-terapi seperti gangguan cemas umum, cemas karena stress,
gangguan tidur, phobia, cemas dengan kondisi medik, cemas karena tindakan medis, gangguan
kejang, hysteria. Jenisnya meliputi diazepam (valium, valisanbe, validex), chlordiazepoxide
(cetabrium), alprazolam (atarax, xanax), clobazam, lorazepam (ativan), buspirone, hidroxyzine,
bromazepam.
c) Golongan anti depresi
Untuk pengobatan gejala depresi seperti mutisme ,hipoaktif dan disforik. Disamping itu bisa
untuk mengobati keadaan panik, enurises, pada anak dengan gangguan perhatian, bumilia
narkolepsi dan obsesi kumpulsif. Tiga jenis obat anti depresan yaitu golongan tricyclik,selective
serotonin reuptake inhibitor (SSRI), monoamine oksidase inhibitor. Macam-macam anti depresan
meliputi amitriptyline(trilin), imipramine, clomipramine, fluoxentine(kalcetin), srtraline(fridep),
amoxapine, moclobenide, citalopram, duloxetine, venlafaxine, maprotilin, fluvoxamine,
mirtazapine, paroxetine, tianeptine, mianserine.
d) Golongan anti maniak
Untuk menghilangkan gejala manik seperti logorhoe, hiperaktive euphoria. Macam-macam anti
maniak yaitu lithium carbonate, carbazepine, haloperidol.
• Tindakan Psikosomatik
Terapi kejang listrik (ECT). Terapi kejang listrik adalah pengobatan untuk menimbulkan kejang
grandmall secara artificial dengan melewatkan aliran listrik melalui electrode yang dipasang pada
satu atau dua temples, dosis terapi kejang listrik 4-5 joule/detik.
Diposkan 6 days ago oleh Ahmat Pujianto
0
Tambahkan komentar
2.
SEP
26
B. Etiologi
Ibu bisa terinfeksi virus HIV dengan cara :
a. Hubungan seks dengan suami atau seseorang yang terserang HIV, tanpa menggunakan
kondom
b. Melalui jarum atau alat lain yang tidak steril yang gunanya untuk menembus kulit
c. Memiliki luka di kulit yang terbuka dan bersentuhan dengan luka terbuka seseorang yang
mengidap HIV
Seorang bayi bisa terinfeksi HIV dari Ibu yang terinfeksi HIV dengan cara :
1. Korioamnionitis atau radang pada plasenta karena infeksi
2. Prosedur pemantauan janin secara invasive
3. kelahiran prematur
4. Pada saat persalinan yang memungkinkan terjadinya percampuran darah dan lender ibu
dengan bayi.
5. Proses menyusui (pemberian air susu ibu kepada bayinya)
D. Pemeriksaan Penunjang
1. Pemeriksaan laboratorium
a. Deteksi antibody terhadap HIV
- tes penyaring, dengan metode ELISA
- pemeriksaan konfirmasi, dengan pemeriksaan Western Blot (WB), Line ImmunoAssay (LIA),
Radio Immunoprecipitation assay (RIPA), dan Indirect Immunofluorescense Assay (IFA)
b. Deteksi antigen terhadap HIV
Dilakukan dengan mendeteksi protein p24 yang terdapat dalam capsid virus HIV. antigen ini
dapat dijumpai dalam darah kira-kira 14-16 hari setelah infeksi HIV. manfaat pemeriksaan
antigen p24 :
deteksi infeksi dini pada individu seronegatif dengan riwayat terpapar HIV
uji saring darah
diagnosis infeksi HIV pada bayi baru lahir
penentuan terapi antiviral
c. Deteksi asam nukleat
Dilakukan dengan beberapa cara :
o Reverse Transcription Polymerase Chain Reaction (RT-PCR)
o Nucleic Acid Sequence Based Amplification (NASBA)
o Branched Chain DNA (b-DNA)
d. Biakan virus
2. Pemeriksaan lain
o VCT ( Voluntary Counselling and Testing )
Non Medikamentosa
Strategi pencegahan penularan HIV dari Ibu ke Bayi dapat dilakukan dengan cara:
Mencegah terjadinya penularan HIV pada perempuan usia reproduktif
- Abstinence, artinya absen seks atau tidak melakukan hubungan seks bagi orang yang belum
menikah
- Be faithful, artinya bersikap saling setia kepada satu pasangan seks
- Condom, artinya cegah penularan HIV dengan memakai kondom.
- Drugs No, artinya dilarang menggunakan narkoba dalam bentik apapun.
Mencegah kehamilan yang tidak direncanakan pada ibu yang positif HIV
- layanan konseling
- test sukarela
- sarana kontrasepsi yang aman dan efektif
Mencegah terjadinya penularan HIV dari ibu hamil HIV positif ke bayi yang dikandungnya
- Pelayanan kesehatan ibu dan anak yang komprehensif
- Layanan konseling dan tes HIV secara sukarela
- Pemberian obat antiretroviral
- Konseling tentang HIV dan makanan bayi, serta pemberian makanan bayi
- Persalinan yang aman, dengan menggunakan metode caesar
Memberikan dukungan psikologis, social dan perawatan kepada ibu HIV positif beserta bayi
dan keluarganya.
Diposkan 1 week ago oleh Ahmat Pujianto
0
Tambahkan komentar
3.
SEP
24
JENIS-JENIS ARITMIA
1. Aritmia yang disebabkan oleh gangguan pembentukan impuls terdiri dari:
a. Nodus SA
1. Takikardi Sinus (ST)
Irama : Teratur
Frekwensi (HR) : 100 -150 x/mnt
Gelombang P : Normal, setiap gel P selalu diikuti gel QRS dan T
Interval PR : Normal (0,12 - 0,20 detik)
Gelombang QRS : Normal (0,06 - 0,12 detik)
2. Bradikardi Sinus (SB)
Irama : Teratur
Frekwensi (HR) : Kurang dari 60 x/menit
Gelombang P : Normal, setiap gel P selalu diikuti gel QRS dan T
Interval PR : Normal (0,12 - 0,20 detik)
Gelombang QRS : Normal (0,06-0,12 detik)
3. Aritmia Sinus
Irama : Tidak teratur
Frekwensi (HR) : Biasanya antara 60 – 100 x/menit
Gelombang P : Normal, setiap gel P selalu diikuli gel QRS danT
Interval PR : Normal (0.12- 0,20 detik)
GelombangQRS : Normal (0,06 - Q.12denk)
4. Sinus Arrest
Irama : Teratur, kecuali pada yang hilang
Frekwensi (HR) : Biasanya kurang dari 60x/menit
Gelombang P : Normal, kecuali pada yang hilang
Interval PR : Normal, kecuali pada yang hilang
Gelombang QRS : Normal (0,06 - 0,12 detik)
Hilang satu atau beberapa gelombang P, QRS.T dan hilangnya tidak menyebabkan kelipatan
jarak antara R - R
b. Atrium
1. Ekstrasistol Atrial (AES/PAB/PAC)
Irama : Tidak teratur, karena ada irama yang timbul lebih awal
Frekwensi (HR) : Tergantung irama dasarnya
Gelombang P : Bentuk berbeda dari irama dasarnya
Interval PR : Normal atau memendek
Gelombang QRS : Normal (0,06- 0,12 detik)
2. Takiardi Atrial (PAT)
Irama : Teratur,
Frekwensi (HR) : 150-250x/menit
Gelombang P : Sukar dilihat, kadang terlihat,tetapi kecil
Interval PR : Tidak dapat dihitung atau memendek
Gelombang QRS : Normal (0,06-0,12 detik)
3. Flutter Atrial
Irama : Biasanya teratur, bisa juga tidak
Frekwensi (HR) : Barvariasi (Bisa normal, lambat atau cepat)
Gelombang P : Tidak normal, seperti gigi gergaji, teratur dan dapat dihitung
Interval : Tidak dapat dihitung
Gelombang QRS : Normal, tetapi tidak semua gel QRS mengikuti gel P, sehingga pada
flutter atrial sering disertai blok 2:1,3:1 atau 4 : 1
4. Fibrilasi Atrial
Irama : Tidak tertur
Frekwensi (HR) : Bervariasi (Bisa normal,lambat atau cepat)
Gelombang P : Tidak dapat diidentifikasikan, sering terlihat keriting
Interval PR : Tidak dapat dihitung
Gelombang QRS : Normal (0,06-0,12 detik)
c. Nodus AV
1. Irama Junctional (JR)
Irama : Teratur
Frekuensi (HR) : 40 - 60 x/menit
Gelombang P : Terbalik dl depan, di belakang atau menghilang
Interval PR : Kurang darl 0,12 detik tidak dapat dihitung
Getombang QRS : Normal (0,06-0,12 detik)
2. Ekstrasistol Junctional (JES/PJB/ PJC)
Irama : Tak teratur karena ada irama yang timbul lebih awal,
Frekuensi (HR) : Tergantung irama dasarnya
Gelornbang P : Tidak ada atau tidak normal sesuai dengan letak impuls
Interval PR : Tidak dapat dihitung atau memendek
Gelombang QRS : Normal (0,06- 0,12 detik)
3. Takikardi Junctional
Irama : Teratur
Frekuensi (HR) : Lebih dari 100 x/menit
Gelombang P : Tidak ada/ ada terbalik di depan atau dibelakang gel QRS
Interval PR : Tidak dapat dihitung atau memendek
Gelombang QRS : Normal (0,06-0,12 detik)
d. Supraventrikel
1. Ekstrasistol Supraventrikel (SVES)
Irama : Tidak teratur karena ada ekstrasistol yang timbul lebih awal
Frekwensi (HR) : Tergantung irama dasar
Gelombang P : Tidak ada atau kecil (Timbul lebih awal)
Interval PR : Tidak ada arau memendek
Gelombang QRS : Normal (0,06 - 0,02delik)
0
Tambahkan komentar
4.
SEP
24
PANKREATITIS AKUT
A. Pengertian
Pankreatitis akut adalah suatu proses peradangan akut yang mengenai pancreas dan ditandai
oleh berbagai derajat odema, perdarahan, dan nekrosis pada sel-sel acinus dan pembuluh darah
(Silvia A, 1994).
B. Etiologi
1. Penyakit traktus billiaris
Adanya kelainan pada traktus billiaris misalnya, suatu obstruktif, maka dapat menyebabkan
timbulnya inflamasi. Hal ini lebih nyata pada penderita dengan batu di ampula vateri, sewaktu-
waktu akan timbul spasme pada spincter oddi, sehingga timbul keluhan kolik dan dapat timbul
sepsis. Selain itu juga akan terjadi sumbatan pengeluaran pada getah pancreas, sehingga terjadi
kenaikan tekanan di dalam duktus pankreatikus yang berakibat menambah sekresi enzim.
2. Alkohol
Alkohol akan merangsang sekresi asam lambung dan sekresi dari secret duodenum. Dengan
adanya hipersekresi tersebut menyebabkan sekresi getah pancreas bertambah. Di samping itu,
alcohol juga menyebabkan reensi dari spincter pada kolon choledeochodeuodenal junction. Oleh
karena itu, diduga alkohol aka menyebabkan terhalangnya aliran getah pankreas.
3. Infeksi
Berdasarkan hasil penelitian, terdapat bakteri di dalam empedu yang merupakan penyebab
terjadinya aktivasi enzim pancreas. Beberapa bakteri yang diduga dapat menyebabkan
pancreatitis adalah protecus vulgaris, Streptococcus piogenes, pseudomonas aeruginosa. Infeksi
virus mungkin juga dapat menimbulkan pancreatitis akut, seperti pada morbili dan hepatitis virus
yang dapat disertai dengan pancreatitis.
4. Trauma pada perut bagian atas
Trauma tajam yang mengenai pancreas mempunyai prognosa yang jelek. Trauma tumpul
menyebabkan rusaknya jaringan pancreas sehingga timbul pankreatitis.
5. Hiperlipidemia
Sampai saat ini belum diketaui secara pasti hubungan antara hipertrigliseridemia dengan
timbulnya pancreatitis. Yang jelas gambaran pancreatitis yang berkaitan dengan hiperlipidemia
adalah :
a. Pada saat timbul serangan pancreatitis tidak disertai peningkatan amylase serum
b. Pada tipe ini serangan ulang dapat dicegah dengan diit rendah lemak terutama terhadap
trigliserida.
6. Hiperparatiroid
Adanya batu di saluran pancreas menimbulkan hiperkalsemia yang mengakibatkan aktivasi
tripsin selama sekresi pancreas, sehingga timbul pancreatitis. Perlu ditambahkan bahwa
penderita hiperkalsemia tanpa disertai hiperparathiroid sangat menimbulkan pancreatitis.
7. Obat-obatan
Beberapa obat yang diduga dapat menyebabkan pancreatitis akut adalah golongan diuretika
(furosemid), glikokortikoid, azulfidin, tetrasiklin, dll.
8. Pasca bedah
Terutama ditemukan setelah pembedahan pancreas, traktus billiaris, dan lambung. Jika
ditemukan kenaikan amylase serum setelah laparotomi harus diperkiraka kemungkinan
timbulnya pancreatitis.
C. Tanda dan Gejala
1. Tanda Subyektif
a. Nyeri perut hebat yang timbul secara mendadak dan terus menerus, biasanya nyeri
dirasakan di epigastrium yang terpusat di kanan atau di kiri garis tengah. Nyeri sering menyebar
ke punguung dan dirasakan tegang, nyeri tekan.
b. Nausea dan vomitus
c. Perut kembung sukar flatus
d. Ekstremitas terasa dingin
e. Lemah
2. Tanda Obyektif
a. Hipotensi
b. Tachikardi
c. Peningkatan suhu tubuh 38 – 39°C
d. Leukositosis
e. Dinding abdomen kaku dan tegang
f. Bising usus kurang, kadang menghilang
g. Adanya tanda Cullen (warna biru sekitar pusat sebagai akibat dari perdarahan
retroperitoneal).
D. Anatomi dan Fisiologi Pankreas
1. Pengertian
Pankreas adalah sekumpulan kelenjar yang strukturnya sangat mirip dengan kelenjar ludah,
panjangnya kira-kira 15 cm, lebar 5 cm mulai dari duodenum sampai ke limpa beratnya kurang
lebih 60-90 gram, terbentang pada vertebra lumbalis 1 dan 2 di belakang lambung.
2. Bagian dari pancreas
a. Kepala pancreas
Terletak di sebelah kanan rongga kanan abdomen dan di dalam lekukan duodenum yang
melingkarinya.
b. Badan pancreas
Merupakan bagian utama yang letaknyadi belakang lambung dan di depan vertebra lumbalis I.
c. Ekor pancreas
Bagian yang runcing di sebelah kiri yang sebenarnya menyentuh limpa.
3. Fungsi pancreas
a. Fungsi eksokrin
Yang membentuk getah pancreas berisi enzim dan elektrolit.
b. Fungsi endokrin
Sekelompok kecil sel epithelium yang membentuk kepulauan langerhaens yang menskresi
hormone insulin dan glucagon yang langsung dialirkan ke peredaran darah kemudian dibawa ke
jaringan untuk membantu metabolisme karbohidrat.
E. Patofisiologi
Adanya berbagai factor etiologi pada pancreatitis akut menimbulkan terbentuknya rangkaian
kejadian patofisiologi yang uniform pada timbulnya penyakit ini. Rangkaian ini didasarkan pada
aktivasi enzim di dalam pancreas yang kemudian mengakibatkan autodigesti organ dalam
proses aktivasi enzim. Peran penting terletak pada tripsin yang mengaktivasi semua enzim
pancreas yang terlihat pada proses autodigesti. Hanya lipase yang aktif yang tidak tergantung
pada tripsin.
Aktivasi enzim secara normal dimulai oleh enterokinase di duodenum ini mengakibatkan
mulanya aktivasi tripsin yang lali mengaktivasi enzim yang lain. Diduga aktivasi dini tripsinogen
menjadi tripsin adalah pemicu terjadinya autodigesti penkreas.
F. Pemeriksaan Penunjang
1. Pemeriksaan laboratorium
Peningkatan amylase pada 24 – 72 jam pertama, peningkatan lipase yang bertahan lebih lama
dari amylase, hiperglikemia, hipertrigliseridemia, peningkatan bilirubin lebih dari 4 mg%.
2. Pemeriksaan CT scan abdomen
Pembesaran pancreas yang difus atau local.
Diposkan 3 weeks ago oleh Ahmat Pujianto
0
Tambahkan komentar
5.
SEP
23
0
Tambahkan komentar
6.
SEP
19
0
Tambahkan komentar
7.
SEP
19
KESEHATAN MENTAL
A. Definisi Kesehatan Mental
Sehat mental adalah kemampuan individu untuk menyesuaikan diri dengan diri sendiri, orang
lain, masyarakat dan lingkungan.
Ada beberapa kriteria yang harus dipenuhi untuk dapat dikatakan sehat mental yaitu:
1. Ia harus puas dengan dirinya sendiri. Merasa bahagia, gembira dan tenang. Tidak ada
konflik dengan diri sendiri dan tidak menyalahkan dirinya sendiri.
2. Ia harus dapat menyesuaikan dirinya dengan orang lain dalam lingkungannya. Dapat
menerima kritik dan tidak lekas tersinggung. Ia harus mengerti perasaan orang lain dan
mempunyai tenggang rasa.
3. Ia harus dapat mengendalikan dirinya sendiri dengan baik. Tidak emosional, tidak mudah
tercekam oleh rasa takut yang berlebihan, rasa marah, rasa iri, rasa bosan dan keraguan. Ia
harus dapat menghadapi masalah hidup sehari-hari serta dapat mengatasinya secara wajar.
0
Tambahkan komentar
8.
SEP
18
Ketika seorang klien datang ke UGD dengan keadaan TD 70/palpasi, suhu axila 40,50C, nadi
120x per menit, maka langkah-langkah yang harus kita (perawat) lakukan adalah:
1. Pengkajian Primer
Selalu menggunakan pendekatan ABCDE.
a. Airway
1) Kita lihat kondisi umum klien secara cepat: ada trauma atau tidak.
2) Kita cek kesadaran klien dengan menepuk bahu klien atau mencubit, atau memberi
rangsangan nyeri di sternum. Bila klien tidak sadar, kita pasang tongue spatel/ mayo agar lidah
tidak jatuh ke belakang. Bila klien gelisah indikasi hipoksia sehingga perlu pemberian O2.
3) Kita tegakkan kepala klien (head till chinlift bila tidak dicurigai adanya trauma servikal), atau
jaw trust bila dicurigai ada trauma servikal.
4) Sambil melakukan head till kita lihat rongga mulut klien, ada sumbatan atau tidak. Bila
dalam rongga mulut klien ada benda asing yang masih bisa kita lihat, kita lakukan finger cross,
jika gagal, kita lakukan abdominal trust.
5) Kita dengarkan bunyi napas klien dengan cara mendekatkan telinga kita ke hidung klien
sambil mata melihat pergerakan dinding dada. Bila bunyi napas gurgling, kita lakukan suction.
6) Kita rasakan aliran udara klien dengan mnggunakan punggung tangan. Jika tidak terasa
aliran udara segera periksa nadi carotis. Kalau nadi karotis tidak teraba, segera lakukan RJP.
Tetapi kalau masih teraba nadi tetapi tidak ada napas, kolaborasi dengan tim anestesi untuk
melakukan intubasi dini.
b. Breathing
1) Kita hitung RR klien dalam 1 menit penuh dengan cara melihat naik turunnya dada klien.
Bila RR > 20x/mnt dan airway clear kita berikan 100% oksigen melalui non re-breathing mask.
2) Kita lihat kesimetrisan dinding dada, simetris kanan kiri saat inspirasi dan ekspirasi. Jika
pergerakan maupun bentuk dada tidak simetris waspada adanya pneumothorax, dll.
3) Kita lihat ada tidaknya luka di dada. Bila ada perdarahan dilakukan balut tekan. Jika ada
luka, segera kolaborasi dengan ahli bedah untuk pemasangan WSD.
4) Kita palpasi, ada tidaknya nyeri bila klien sadar. Jika terdengar suara krepitasi saat palpasi,
kita curiga adanya ruptur trakea dan empisema. Segera kolaborasi dengan ahli bedah untuk
pemasangan WSD.
5) Kita perkusi, ada tidaknya perubahan suara paru dan organ dada. Perubahan suara pada
paru mengindikasikan isi dari paru, bisa udara yang berlebih, cairan maupun darah, maupun
tumor.
6) Kita lakukan auskulasi dada, untuk mengetahui adanya perubahan suara paru.
7) Kita pasang pulse oksimetri untuk mengkaji saturasi oksigen. Jika saturasi O2 kurang dari
95%, berikan O2 dengan menggunakan rebreathing mask. Pulse oksimetri hendaknya tetap
dipasang pada jari pasien, untuk memonitor saturasi O2. Jika setelah pemberian O2 dengan
menggunakan rebreathing mask saturasi O2 pasien tetap turun, dan pasien tampak gelisah,
disertai akral dingin dan sianosis, maka segera kolaborasi dengan anestesi untuk segera
dilakukan intubasi dini.
8) Kita cocokkan hasil pengukuran saturasi oksigen dengan PaO2 dalam kurva disosiasi, bila
PaO2< 60 mmHg maka indikasi dilakukan intubasi dini, sambil kita kirim sampel darah (AGD) ke
laboatorium.
c. Circulation
1) Lihat adanya perdarahan terbuka atau tanda-tanda perdarahan yang lain.
2) Kita hitung nadi,bila >100 kali per menit merupakan tanda signifikan.
3) Kita ukur tekanan darah. Jika tekanan darah sisitolik <90 mmHg, MAP <60 mmHg, nadi
>100x/mnt kita pasang infus dengan menggunakan kanul yang besar (18 G), dengan cairan
koloid atau kristaloid.
4) Sambil melakukan pemasangan infus, kita bisa mengambil sampel darah dan melakukan
pemeriksaan GDS. Jika ada tanda hipoglikemia, segera berikan cairan dekstosa 40%, dan jika
ada tanda hiperglikemia berikan insulin. Tetapi, jika GDS menunnjukkan nilai normal, maka kita
fokus pada resusitasi cairan.
5) Kita pasang kateter urin untuk mengetahui balance cairan. Selalu mengukur jumlah cairan
yang masuk dan yang keluar untuk mengetahui balance cairan. Jika jumlah input dan output
tidak seimbang, artinya output sedikit, maka indikasi adanya gangguan di ginjal.
6) Cairan kristaloid yang kita berikan sebanyak 1000 ml atau koloid 500 ml sambil kita pantau
tekanan darah dan MAP, bila tekanan darah dan MAP tetap (tekanan darah sisitolik <90 mmHg,
MAP <60 mmHg ) maka kita pertimbangkan pemasangan CVP dengan berkolaborasi dengan
dokter anestesi dan melakukan pengukuran CVP. Jika tekanan darah sisitolik <90 mmHg, MAP
<60 mmHg dan CVP < 8 mmHg kita ulangi pemberian cairan kristaloid bolus 500-1000 ml atau
cairan koloid 300-500 ml. Kemudian, kita evaluasi tekanan darah sistolik, MAP dan CVP lagi.
Jika tekanan sistolik <90 mmHg dan MAP <90 mmHg, dan CVP ≥8 mmHg maka kita mulai
pemberian vassoaktif pada klien. Jika tekanan sistolik ≥90 mmHg, dan MAP ≥90 mmHg, serta
CVP ≥8 mmHg, maka intervensi selanjutnya adalah pengukuran ScvO2. Jika nilai ScvO2 ≥ 70
mmHg, tekanan sistolik ≥90 mmHg, dan MAP ≥90 mmHg, serta CVP ≥8 mmHg maka resusitasi
cairan berhasil. Jika nilai ScvO2 <70%, maka indikasi dilakukan pemberian tranfusi jika nilai
hematokrit <3%. Jika ada indikasi hipoclorid, maka diberikan inotropik. Tetapi, jika tekanan
sistolik dan MAP, serta CVP tetap (sisitolik <90 mmHg, MAP <60 mmHg dan CVP < 8 mmHg)
kita ulangi lagi pemberian cairan kristaloid 500-1000 ml atau cairan koloid 300-500 ml.
7) Saat ressusitasi cairan pemantauan terhadap suara dan kondisi paru harus diperhatikan,
karena dikhawatirkan terjadi penimbunan cairan pada paru. Selain itu pengukuran input dan
output cairan harus diperhitungkan secara akurat untuk memantau balance cairan pada pasien.
8) Kita periksa waktu pengisian kapiler (CRT). Ini menunjukkan tingkat transportasi O2 pada
jaringan yang paling distal. Jika CRT > 3 detik maka ada gangguan pada proses transportasi O2
pada jaringan distal.
9) Ukur suhu aksila klien. Jika suhu klien lebih dari 40 derajat celcius, pertimbangkan untuk
melakukan internal cooling yaitu suatu mekanisme untuk menurunkan suhu tubuh secara
ekstrim.
10) Lakukan pengukuran tinggi JVP. Jika ada peningkatan JVP, indikasi adanya payah
jantung, sehingga pemberian cairan perlu kita perhatikan dan pertimbangkan.
11) Kita lakukan pemeriksaan darah lengkap, kultur, urin dan sputum untuk mengetahui agen
penyebab sepsis.
Gambar 1 : Skema resusitasi cairan pada penderita Syok Sepsis (Morrel RM, 2009).
Apabila masalah di Airway, Breathing dan Circulation sudah tetangani maka kita lanjut ke :
d. Disability, Drugs
1) Kita cek tingkat kesadaran klien lagi dengan menggunakan AVPU (Alert Verbal Pain
Unresposiveness). Jika pasien gelisah, maka indikasi adanya hipoksia. Maka ada masalah pada
transportasi oksigen.
2) Apabila kuman penyebab sepsis sudah diketahui (dari hasil kultur), kolaborasi dengan
medis untuk diberikan antibiotik spektrum luas.
e. Exposure,EKG
1) Jika sumber infeksi tidak diketahui maka kita cari adanya cidera, luka dan tempat suntikan
dan tempat sumber infeksi lainnya secara lebih teliti.
2) Kita lakukan rekaman EKG, apabila terjadi ventrikel fibrilasi dan ventrikel takikardi tanpa
nadi maka indikasi dilakukan defibrilasi.
2. Pengkajian Sekunder
a. Riwayat Penyakit pasien dan keluarga
Riwayat penyakit dan pengobatan akan sangat berguna untuk menentukan patofisiologi dan
sejarah perkembangan penyakit pada tubuh klien.
b. Pemeriksaan fisik head to toe
Pemeriksaan fisik head to toe, dilakukan agar memperoleh hasil pengkajian yang lebih detail.
c. Pemeriksaan Laboratorium
Data laboratorium yang penting untuk menunjang penatalaksanaan pada pasien dengan syok
sepsis diantaranya BGA, GDS, Laktat, BUN, Ureun, Kreatinin, SGOT, SGPT, elektrolit, dll.
Selain itu, kultur darah, sputum, urin, dan feses juga diperlukan untuk mengetahui jenis bakteri
penyebab sepsis serta antibiotik yang sudah resisten pada pasien.
d. Pemeriksaan penunjang lain.
Pemeriksaan penunjang lain diperlukan untuk memperkuat diagnosa pada pasien. Misalnya
rontgent thorax dan abdomen, untuk mengetahui keadaan dan isi thorax dan abdomen. Jika ada
trauma maka dilakukan rontgen pada area yang mengalami trauma. Jika ada trauma pada
kepala, dilakukan CT-scan.
e. Jika pasien sudah stabil, maka perawat bisa merujuk ke bagian intensif care unit yang sudah
dipesan sebelumnya.
0
Tambahkan komentar
9.
SEP
18
Gambar 1 : Evolusi konsep penyakit asma (Sumber : Makino & Sagara, 2010)
Perkembangan penyakit asthma bronchial sejatinya sama seperti proses inflamasi kronis pada
saluran napas yang melibatkan sel T, khususnya T helper tipe 2, sel Th2, sel mast, dan airway
remodeling. Airway remodeling menyebabkan penyempitan jalan napas yang bersifat persisten
(terus menerus) dan hiperresponsif jalan napas. Faktanya pada tahun 1966, Makino menemukan
bahwa pada pasien asthma dengan FEV1/predicted VC yang rendah, terjadi peningkatan
sensitivitas/respon pada jalan napas. Penelitian terbaru difokuskan pada peran transforming
growth factor (TGF) beta, suatu cytokine fibrogenik pada proses airway remodeling. Akhir-akhir
ini evidence telah menemukan bahwa proses airway remodeling disebabkan akibat
ketidakseimbangan mekanisme pengaturan yang dimediatori oleh Smads yaitu salah satu jenis
molekul penghantar signal dari TGF-Beta. Smad7 merupakan antagonis intraseluler dari TGF-
Beta, yang dapat menentukan intensitas atau durasi sinyal TGF-Beta. Sagara, Nakao dkk
menemukan bahwa ekspresi Smad7 pada sel epitel bronchial berbanding terbalik dengan
ketebalan membran dasar dan hiperresponsif jalan napas pada pasien dengan asma, sementara
ekspresi Smad2 memiliki hubungan yang psositif dengan ketebalan membran dasar dan
hiperresponsif jalan napas. Tingkat protein smad di intraseluler dikontrol oleh cytokine. Fueki,
Sagara dkk menemukan bahwa pengaruh Th2, cytokine interleukin (IL)-5 dan granulocyte –
macrophage colony-stimulating factor (GM-CSF) dan pengaturan cytokine IL-10 pada ekspresi
penghambatan protein Smad7 pada sel epitel bronchus. IL-10 menghambat ekspresi TGF-Beta.
Diposkan 3 weeks ago oleh Ahmat Pujianto
0
Tambahkan komentar
10.
SEP
18
0
Tambahkan komentar
Memuat
Template Dynamic Views. Diberdayakan oleh Blogger.