Anda di halaman 1dari 7

DALAM YURISPRUDENSI

MA TANGGAL 1-6-1955 NOMOR 53K/SIP/1952

1. Untuk mendapatkan kebenaran yang objektif diperlukan cara bekerja ilmiah

yang disebut metode. Untuk menguraikan hukum waris adat dapat digunakan metode

komparatif atau metode perbandingan yang cara kerjanya didukung oleh metode deskriptif,

dengan melakukan pencatatan- pencatatan baik dari bahan-bahan yang telah ada didalam

kepustakaan maupun yang harus diteliti dilapangan.

Perbandingan adalah suatu cara untuk menambah pengertian; dengan perbandingan akan

Nampak perbedaan-perbedaan dan persamaan-persamaan dari dua objek atau lebih yang

dibandingkan.

Metode yang dilakukan perkara waris dalam yurisprudensi MA tgl 1-6-1955 no.

53K/SIP/1952 menegaskan hokum adat waris bali karna perkara waris tersebut

membandingkan dengan hukum waris adat yang berada di Bali, kalo seorang wafat

meninggalkan seorang anak laki-laki, maka anak itu adalah satu-satunya ahli waris, yang

berhak untuk mengajukan gugatan tentang peninggalanalmarhum bapaknya.

2. Yurisprudensi MA tgl 1-6-1955 no. 53K/SIP/1952 itu menegaskan karna perkara

waris tersebut membandingkan dengan hukum waris adat yang berada di Bali, kalo seorang

wafat meninggalkan seorang anak laki-laki, maka anak itu adalah satu-satunya ahli waris,

yang berhak untuk mengajukan gugatan tentang peninggalan almarhum bapaknya.

a. Sistem Kekerabatan Parental

Menurut Van Dijk, dalam sistem kekerabatan parental kedua orang tua
maupun kerabat dari ayah-ibu itu berlaku peraturan-peraturan yang sama baik

tentang perkawinan, kewajiban memberi nafkah, penghormatan, pewarisan.

Dalam susunan parental ini juga seorang anak hanya memperoleh semenda

dengan jalan perkawinan, maupun langsung oleh perkawinannya sendiri, maupun

secara tak langsung oleh perkawinan sanak kandungnya, memang kecuali

perkawinan antara ibu dan ayahnya sendiri.Susunan sistem kekerabatan ini

terdapat masyarakat Jawa barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Madura, Kalimantan

dan Sulawesi (Makassar).

b. Sistem Kekerabatan Patrilineal

Dalam sistem kekerabatan patrilineal anak menghubungkan diri dengan

kerabat ayah berdasarkan garis keturunan laki-laki secara unilateral. Di dalam

susunan masyarakat ini, yaitu berdasarkan garis keturunan bapak (laki-laki),

keturunan dari pihak bapak (laki-laki) dinilai mempunyai kedudukan lebih tinggi

serta hak-haknya juga akan mendapatkan lebih banyak. Susunan sistem

kekerabatan ini terdapat pada masyarakat Suku Bali, suku Rejang, suku batak dan

suku Makassar, dan Bangsa Arab.

c. Sistem Kekerabatan Matrilineal

Menurut Bushar Muhammad, dalam masyarakat yang susunannya

matrilineal, keturunan menurut garis ibu dipandang sangat penting, sehingga

menimbulkan hubungan pergaulan kekeluargaan yang jauh lebih rapat dan

meresap diantara para warganya yang seketurunan menurut garis ibu, hal mana

yang menyebabkan tumbuhnya konsekuensi (misalkan, dalam masalah warisan)

yang jauh lebih banyak dan lebih penting dari pada keturunan menurut garis
bapak. Susunan sistem kekerabatan ini terdapat pada Suku Indian di Apache

Barat, Suku Khasi di Meghalaya, India Timur Laut, Suku Nakhi di provinsi

Sichuan dan Yunnan, Tiongkok,Suku Minangkabau di Sumatera Barat, Kerinci

dan orang Sumendo.

4. Pembangunan hukum di Indonesia sampai saat ini masih menjadi diskursus yang

hangat dikalangan ahli hukum. Pasang surut dan dinamika pembangunan hukum di

Indonesia telah memberikan banyak pelajaran dalam mewujudkan tujuan negara. Pada

zaman zaman Orde Lama dalam bentuknya yang “primitif” mulai dituangkan secara garis

besarnya dalam “Pembangunan Semesta Berencana”, namun isinya sangat kental dengan

nuasa politik ketimbang nuasa hukumnya. Bahkan HAS Natabya lebih jauh

mengemukakan, bahwa pembangunan hukum hanya sebagai pendukung atau legitimasi

politik pemerintah/penguasa (politik) sebagai panglima, bukan untuk kepentingan rakyat

dan kepentingan menegakkan hukum dan keadilan atau kepentingan hukum itu sendiri.

Setelah rezim Orde lama di gantikan rezim Orde Baru, dimulai era baru pembangunan

hukum dengan diakomodasinya pendapat Rescoe Pound yaitu law as tool of social

engineering [2] (hukum adalah sebagai alat rekayasa masyarakat) yang dimofikasi oleh

Muchtar Kusumaatmadja dengan istilah “hukum sebagai alat pembaharuan masyarakat”.

Meskipun demikian pada zaman Era Orde Baru ini, pembangunan hukum masih menjadi

subsistem dari pembangunan politik. Keadaan itu baru berubah pada sekitar tahun 1993,

dimana pembangunan hukum ditempatkan sebagai subsistem pembangunan nasional yang

mandiri, tetapi pengaruh dan intervensi politik terhadap pembangunan hukum sudah

terlanjur kuat.
Dari fakta pada dua rezim pemerintahan yang pernah berkuasa di Indonesia terlihat

dengan jelas, pembangunan hukum bukanlah sekedar pembangunan hukum, tetapi

sekaligus pertarungan aliran atau paham hukum. Disisi lain kepentingan politik atau

intervensi politik terus memaikan taringnya, meskipun kemudian hukum ditempatkan

sebagai sub-sistem pembangunan nasional yang mandiri. Kemudian pembangunan hukum

di era reformasi tampaknya masih menjadi debatable, dimana pada ada ketidakpuasan–

untuk tidak mengatakan menyalahkan—konsep pembangunan hukum yang diterapkan

selama Orde Baru dan disisi lain Indonesia belum pula menemukan paradigma

pembangunan hukum yang ideal dan cocok. Sekalipun UUD 1945 sudah diamandemen,

tetapi pembangunan hukum belum dapat dikatakan [4] terarah dan terpadu sebagaimana

pada masa Orde Baru. Atas kenyataan ini, maka sebenarnya pembangunan hukum di

Indonesia sedang dihadapan pada keadaan tidak “menentu”, kecuali adanya keinginan

untuk mengembangkan suatu konsep pembangunan hukum yang lebih demokratis dan

kearah masyarakat sipil (civil society) yang lebih sejahtera.

Dilema yang dihadapi dalam pembangunan hukum nasional itu, secara tidak lansung tentu

mempengaruhi segala aspek kehidupan hukum di Indonesia. Bahkan Indoensia belum

memiliki grand disain pembangunan hukum nasional, disisi lain penyelenggaraan

pemerintahan harus berjalan dan berjalan di atas ketentuan hukum yang ada, termasuk

ketentuan peraturan perundang-undangan yang dibentuk pada zaman Orde Baru. Keadaan

itu sebenarnya sangat berpengaruh pada pembangunan hukum administrasi sebagai bagian

dari pembangunan hukum nasional


DALAM YURISPRUDENSI
MA TANGGAL 3-9-1958 No. 216K/SIP/1958

1. Metode penafsiran yang dilakukan adalah metode deskriptif (penggambaran) yang

dihimpun dan diuraikan (dianalisa) secara sistematis, kemudian diadakan penilaian

(evaluasi)

Menurut hokum adat yang berlaku di Jawa yang bersifat parental, kewajiban untuk

membayar biaya penghidupan dan Pendidikan seorang anak yang belum dewasa tidak

semata-mata dibebankan kepada ayah anak tersebut, akan tetapi kewajiban itu juga

ditugaskan kepada ibu dari anak tersebut dan apabila salah seorang dari orang tua tidak

menepati kewajibannya, maka hal ini dapat dituntut mengenai biaya selama anak tersebut

masih belum dewasa.

2. Yurisprudensi DALAM YURISPRUDENSI MA TANGGAL 3-9-1958 No.

216K/SIP/1958 menegaskan karna sesuai hukum adat yang diberlakukan di jawa yaitu

parentil, adalah garis induk seseorang menurut garis keturunan ibu/ayahnya jadi kedua

orang tuanya wajib bertanggung jawab kepada anak, tidak semata-mata hanya ayahnya

saja yang ajib menafkahi tetapi ibunya juga ada kewajiban dialamnya/

3. Sistem Kekerabatan Parental

Menurut Van Dijk, dalam sistem kekerabatan parental kedua orang tua maupun kerabat

dari ayah-ibu itu berlaku peraturan-peraturan yang sama baik tentang perkawinan,

kewajiban memberi nafkah, penghormatan, pewarisan. Dalam susunan parental ini juga

seorang anak hanya memperoleh semenda dengan jalan perkawinan, maupun langsung

oleh perkawinannya sendiri, maupun secara tak langsung oleh perkawinan sanak

kandungnya, memang kecuali perkawinan antara ibu dan ayahnya sendiri.Susunan


sistem kekerabatan ini terdapat masyarakat Jawa barat, Jawa Tengah, Jawa Timur,

Madura, Kalimantan dan Sulawesi (Makassar).

4. Perkembangan hokum diindonesia ini cukup fleksibel dengan kondisi masyarakatnya,

tetapi masih banyak kekurangan terhadap penerapnnya sehinnga orang tidak merasa

ketakutan jika menerima sanksi dari pemerintah, tidak memberikan efek jera, seharusnya

pemerintah menerapkan dengan tegasdan serius dalam penerapan sanksi, sehingga

masyarakt memang merasa taat terhada hokum yang diciptakan.

DALAM YURISPRUDENSI
MA TANGGAL 4-12-1957 No. 271K/SIP/1956
1. Metode penafsiran yang dilakukan adalah metode deskriptif (penggambaran) yang

dihimpun dan diuraikan (dianalisa) secara sistematis, kemudian diadakan penilaian

(evaluasi)

2. Yurisprudensi MA TANGGAL 4-12-1957 No. 271K/SIP/1956 Menurut Hukum Adat

hanya berarti, bahwa dengan diucapkannya kata-kata dengan mulut saja belumlah terjadi

perjanjian jual-beli. Karena in case sudah terjadi penuisan kontrak jual-beli dimuka kepadala

kampung serta penerimaan harga barangnya oleh penjual, dengan mana dinyatakanoleh

penjual secara riil pelaksanaan maksudnya untuk memindahkan hak miliknya kepada

pembeli, maka hak milik sudah berpindah

3. Berlakunya undang-undang no.5 tahun 1960

4. Perkembangan hokum diindonesia ini cukup fleksibel dengan kondisi masyarakatnya,

tetapi masih banyak kekurangan terhadap penerapnnya sehinnga orang tidak merasa
ketakutan jika menerima sanksi dari pemerintah, tidak memberikan efek jera, seharusnya

pemerintah menerapkan dengan tegasdan serius dalam penerapan sanksi, sehingga masyarakt

memang merasa taat terhada hokum yang diciptakan.

Anda mungkin juga menyukai