Yurisprudensi Hukum Adat
Yurisprudensi Hukum Adat
yang disebut metode. Untuk menguraikan hukum waris adat dapat digunakan metode
komparatif atau metode perbandingan yang cara kerjanya didukung oleh metode deskriptif,
dengan melakukan pencatatan- pencatatan baik dari bahan-bahan yang telah ada didalam
Perbandingan adalah suatu cara untuk menambah pengertian; dengan perbandingan akan
Nampak perbedaan-perbedaan dan persamaan-persamaan dari dua objek atau lebih yang
dibandingkan.
Metode yang dilakukan perkara waris dalam yurisprudensi MA tgl 1-6-1955 no.
53K/SIP/1952 menegaskan hokum adat waris bali karna perkara waris tersebut
membandingkan dengan hukum waris adat yang berada di Bali, kalo seorang wafat
meninggalkan seorang anak laki-laki, maka anak itu adalah satu-satunya ahli waris, yang
waris tersebut membandingkan dengan hukum waris adat yang berada di Bali, kalo seorang
wafat meninggalkan seorang anak laki-laki, maka anak itu adalah satu-satunya ahli waris,
Menurut Van Dijk, dalam sistem kekerabatan parental kedua orang tua
maupun kerabat dari ayah-ibu itu berlaku peraturan-peraturan yang sama baik
Dalam susunan parental ini juga seorang anak hanya memperoleh semenda
terdapat masyarakat Jawa barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Madura, Kalimantan
keturunan dari pihak bapak (laki-laki) dinilai mempunyai kedudukan lebih tinggi
kekerabatan ini terdapat pada masyarakat Suku Bali, suku Rejang, suku batak dan
meresap diantara para warganya yang seketurunan menurut garis ibu, hal mana
yang jauh lebih banyak dan lebih penting dari pada keturunan menurut garis
bapak. Susunan sistem kekerabatan ini terdapat pada Suku Indian di Apache
Barat, Suku Khasi di Meghalaya, India Timur Laut, Suku Nakhi di provinsi
4. Pembangunan hukum di Indonesia sampai saat ini masih menjadi diskursus yang
hangat dikalangan ahli hukum. Pasang surut dan dinamika pembangunan hukum di
Indonesia telah memberikan banyak pelajaran dalam mewujudkan tujuan negara. Pada
zaman zaman Orde Lama dalam bentuknya yang “primitif” mulai dituangkan secara garis
besarnya dalam “Pembangunan Semesta Berencana”, namun isinya sangat kental dengan
nuasa politik ketimbang nuasa hukumnya. Bahkan HAS Natabya lebih jauh
dan kepentingan menegakkan hukum dan keadilan atau kepentingan hukum itu sendiri.
Setelah rezim Orde lama di gantikan rezim Orde Baru, dimulai era baru pembangunan
hukum dengan diakomodasinya pendapat Rescoe Pound yaitu law as tool of social
engineering [2] (hukum adalah sebagai alat rekayasa masyarakat) yang dimofikasi oleh
Meskipun demikian pada zaman Era Orde Baru ini, pembangunan hukum masih menjadi
subsistem dari pembangunan politik. Keadaan itu baru berubah pada sekitar tahun 1993,
mandiri, tetapi pengaruh dan intervensi politik terhadap pembangunan hukum sudah
terlanjur kuat.
Dari fakta pada dua rezim pemerintahan yang pernah berkuasa di Indonesia terlihat
sekaligus pertarungan aliran atau paham hukum. Disisi lain kepentingan politik atau
di era reformasi tampaknya masih menjadi debatable, dimana pada ada ketidakpuasan–
selama Orde Baru dan disisi lain Indonesia belum pula menemukan paradigma
pembangunan hukum yang ideal dan cocok. Sekalipun UUD 1945 sudah diamandemen,
tetapi pembangunan hukum belum dapat dikatakan [4] terarah dan terpadu sebagaimana
pada masa Orde Baru. Atas kenyataan ini, maka sebenarnya pembangunan hukum di
Indonesia sedang dihadapan pada keadaan tidak “menentu”, kecuali adanya keinginan
untuk mengembangkan suatu konsep pembangunan hukum yang lebih demokratis dan
Dilema yang dihadapi dalam pembangunan hukum nasional itu, secara tidak lansung tentu
pemerintahan harus berjalan dan berjalan di atas ketentuan hukum yang ada, termasuk
ketentuan peraturan perundang-undangan yang dibentuk pada zaman Orde Baru. Keadaan
itu sebenarnya sangat berpengaruh pada pembangunan hukum administrasi sebagai bagian
(evaluasi)
Menurut hokum adat yang berlaku di Jawa yang bersifat parental, kewajiban untuk
membayar biaya penghidupan dan Pendidikan seorang anak yang belum dewasa tidak
semata-mata dibebankan kepada ayah anak tersebut, akan tetapi kewajiban itu juga
ditugaskan kepada ibu dari anak tersebut dan apabila salah seorang dari orang tua tidak
menepati kewajibannya, maka hal ini dapat dituntut mengenai biaya selama anak tersebut
216K/SIP/1958 menegaskan karna sesuai hukum adat yang diberlakukan di jawa yaitu
parentil, adalah garis induk seseorang menurut garis keturunan ibu/ayahnya jadi kedua
orang tuanya wajib bertanggung jawab kepada anak, tidak semata-mata hanya ayahnya
saja yang ajib menafkahi tetapi ibunya juga ada kewajiban dialamnya/
Menurut Van Dijk, dalam sistem kekerabatan parental kedua orang tua maupun kerabat
dari ayah-ibu itu berlaku peraturan-peraturan yang sama baik tentang perkawinan,
kewajiban memberi nafkah, penghormatan, pewarisan. Dalam susunan parental ini juga
seorang anak hanya memperoleh semenda dengan jalan perkawinan, maupun langsung
oleh perkawinannya sendiri, maupun secara tak langsung oleh perkawinan sanak
tetapi masih banyak kekurangan terhadap penerapnnya sehinnga orang tidak merasa
ketakutan jika menerima sanksi dari pemerintah, tidak memberikan efek jera, seharusnya
DALAM YURISPRUDENSI
MA TANGGAL 4-12-1957 No. 271K/SIP/1956
1. Metode penafsiran yang dilakukan adalah metode deskriptif (penggambaran) yang
(evaluasi)
hanya berarti, bahwa dengan diucapkannya kata-kata dengan mulut saja belumlah terjadi
perjanjian jual-beli. Karena in case sudah terjadi penuisan kontrak jual-beli dimuka kepadala
kampung serta penerimaan harga barangnya oleh penjual, dengan mana dinyatakanoleh
penjual secara riil pelaksanaan maksudnya untuk memindahkan hak miliknya kepada
tetapi masih banyak kekurangan terhadap penerapnnya sehinnga orang tidak merasa
ketakutan jika menerima sanksi dari pemerintah, tidak memberikan efek jera, seharusnya
pemerintah menerapkan dengan tegasdan serius dalam penerapan sanksi, sehingga masyarakt