Anda di halaman 1dari 28

0

BAB 1
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Defek tulang kepala (cranial bone defects) dan defek tulang wajah (cranio
facial defects) merupakan kasus medis dimana tidak adanya jaringan tulang pada
bagian cranial dan facial (da Silva et al., 2014). Defek tersebut dapat terjadi akibat
trauma, nekrosis jaringan, penyakit infeksi dan degeneratif, pertumbuhan tulang
abnormal, atau tindakan medis yang disengaja seperti craniectomy dan bedah
kecantikan (Gabrielli et al., 2004; Lee et al., 2009; Szpalski et al., 2010). Defek
tersebut dapat menyebabkan berkurangnya fungsionalitas tulang kranial dan
perubahan anatomi (Szpalski et al., 2009). Perubahan anatomi tersebut dapat
berpengaruh negatif terhadap kehidupan sosial pasien yaitu kelemahan psikologis
dan menurunnya kepercayaan diri dalam hubungan sosial (Aydin et al., 2011).
Rekonstruksi dan redesain/perbaikan pada defek tulang kepala disebut
sebagai tindakan cranioplasty (Fusseti et al., 2011). Rekonstruksi defek tersebut
dilakukan untuk memberikan perlindungan pada organ otak, meringankan rasa
sakit pada area defek, memberikan nilai estetis, serta mengurangi kecemasan
pasien. Tindakan cranioplasty dapat dilakukan baik melalui rekonstruksi
osteoplastik maupun restorasi menggunakan alloplastik. Material yang umum
digunakan sebagai implan alloplastik berupa logam inert, polymethylmethacrylate
(PMMA), polyethylene (PE), maupun karet silikon (Dumbrigue et al., 1998).
Masing-masing bahan dan metode manufaktur yang tersedia untuk
rekonstruksi tulang kepala/tengkorak menunjukkan kinerja tertentu dalam hal
akurasi, sifat mekanik, waktu dan biaya produksi. Pemilihan bahan dan metode
untuk pembuatan implan, yang tidak dalam lingkup penelitian ini, tergantung pada
kebutuhan pasien, bentuk dan lokasi dari cacat tulang dalam kombinasi dengan
infrastruktur dan anggaran yang tersedia (Cabraja et al., 2009).
PMMA merupakan salah satu bahan alloplastic paling populer digunakan untuk
tindakan cranioplasty. Penggunaan PMAA secara medis telah dilakukan sejak
Perang Dunia kedua pada tahun 1940-an (Elkins dan Cameron, 1946; Woolf dan
Walker, 1945) dan masih digunakan hingga saat ini (Caro-Osorio et al., 2013).
PMMA merupakan material polimer termoplastik transparan. Resin akrilik ini
1

memiliki keuntungan dalam penggunaannya yaitu dapat dicetak intraoperatif atau


prefabrikasi untuk menyesuaikan dimensi defek (Elkins dan Cameron, 1946;
Woolf dan Walker, 1945).
Prosedur ini memberikan kemudahan untuk mendapatkan dimensi implan yang
sesuai dengan
dimensi defek. Akan tetapi, proses polimerisasi PMMA merupakan reaksi
eksothermis dimana suhu PMMA selama polimerisasi dapat mencapai 107°C
dengan waktu paparan selama 50 detik. Berdasarkan standart ISO 5833,
temperatur polimerasi yang ditoleransi selama proses polimerasi PMMA tidak
boleh lebih dari 90°C. Panas tersebut dapat menyebabkan terjadinya nekrosis pada
permukaan kontak jaringan tulang dan otak. Potensi nekrosis tersebut telah
menjadi perhatian serius bagi praktisi medis.
1.2 Tujuan
1.2.1 Untuk mengetahui definisi skull defect
1.2.2 Untuk mengetahui etiologi skull defect
1.2.3 Untuk mengetahui patofisiologi skull defect
1.2.4 Untuk mengetahui manifestasi klinik skull defect
1.2.5 Untuk mengetahui Asuhan keperawatan pada pasien dengan skull defect
1.2.6 Untuk mengetahui prosedur pembedahan cranioplasty
2

BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Pengertian
Skull defect merupakan suatu kelainan pada kepala ketika tidak adanya
tulang cranium/tulang tengkorak Skull defect menjadi suatu masalah sejak
awal periode kehidupan manusia.Skull defect sudah dapat ditemukan pada
jaman neolitikum..Skull effect adalah adanya pengikisan pada tulang cranium
yang disebabkan oleh adanya pengikisan yang disebabkan massa
ekstrakranial atau intrakranial, atau juga bisa berasal dari dalam tulang
(Burgener & Kormano, 1997). Skull defect dapat terjadi dari lahir atau
kongenital pada bayi yang biasanya disebut dengan anenchephaly dan juga
skull defect yang dilakukan secara sengaja untuk membantu pengeluaran
cairan atau pendarahan atau massa yang ada di kepala atau otak.

2.2 Etiologi
Penyebab terjadinya skull defect diantara lain:
a. Frakturcranium
b. Tumor
c. Penipisantulang
d. Kelainan kongenital(enchephalocele)
e. Pengikisan massa ekstrakranial atauintrakranial
f. Post op trepanasi (Burgener & Kormano,1997)
g. Trauma parah pada tengkorak dan tulangwajah
h. Reseksi tumortengkorak
i. Hilangnya tulang akibat osteomyelitis (Ramamurthi, et al,2007)

2.3 Patofisiologi/ Patologi


Berdasarkan patofisiologinya cedera kepala dapat digolongkan menjadi
2 proses yaitu cedera kepala primer dan cedera kepala sekunder. Cedera otak
primer adalah cedera yang terjadi saat atau bersamaan dengan kejadian
trauma dan merupakan suatu fenomena mekanik.Umumnya menimbulkan lesi
permanen. Tidak banyak yang bisa dilakukan kecuali membuat fungsi stabil,
3

sehingga sel-sel yang sedang sakit bisa mengalami proses penyembuhan yang
optimal. Cedera primer,yang terjadi pada waktu benturan,mungkin karena
memar pada permukaan otak, laserasi substansi alba,cedera robekan atau
hemoragi karena terjatuh, dipukul, kecelakaan dan trauma saat lahir yang bisa
mengakibatkan terjadinya gangguan pada seluruh sistem dalam tubuh.
Cedera otak sekunder merupakan hasil dari proses yang berkelanjutan
sesudah atau berkaitan dengan cedera primer dan lebih merupakan fenomena
metabolic sebagai akibat, cedera sekunder dapat terjadi sebagai kemampuan
autoregulasi serebral dikurangi atau tak ada pada area cedera.Cidera kepala
terjadi karena beberapa hal diantanya, bila trauma ekstrakranial akan dapat
menyebabkan adanya leserasi pada kulit kepala selanjutnya bisa perdarahan
karena mengenai pembuluh darah. Karena perdarahan yang terjadi terus-
menerus dapat menyebabkan hipoksia, hiperemi peningkatan volume darah
pada area peningkatan permeabilitas kapiler, serta vasodilatasiarterial,
semua menimbulkan peningkatan isi intrakranial, dan akhirnya peningkatan
tekanan intrakranial (TIK), adapun, hipotensi namun bila trauma mengenai
tulang kepala akan menyebabkan robekan dan terjadi perdarahan juga. Cidera
kepala intrakranial dapat mengakibatkan laserasi, perdarahan dan kerusakan
jaringan otak bahkan bisa terjadi kerusakan susunan syaraf kranial terutama
motorik yang mengakibatkan terjadinya gangguan dalam mobilitas.

CIDERA
KEPALA

C. Kepala Primer C. Kepala Sekunder


Terjadi akibat:
Terjadi akibat:
Benturan, memar pada
bent
permukaan otak, proses yang
laserasi substansi berkelanjutan sesudah
alba,cedera robekan atau berkaitan dengan
atau hemoragi karena cedera primer dan
terjatuh, dipukul, lebih merupakan
kecelakaan dan trauma fenomena metabolic
saat lahir
4

2.4 Manifestasi Klinik


Gejala yang nampak pada pasien skull defect dapat berupa:
a. Bentuk kepalaasimetris
b. Pada bagian yang tidak tertutup tulang terabalunak
c. Pada bagian yang tidak tertutup tulang dapat dilihat adanya denyutan atau
fontanela(pulsasi)
Sedangkan manifestasi klinis dari cedera kepala tergantung dari berat
ringannya cedera kepala yaitu berupa:
a. Perubahan kesadaran adalah merupakan indicator yang paling sensitive yang
dapat dilihat dengan penggunaan GCS (Glasgow Coma Scale). Pada cedera
kepala berat nilai GCS nya3-8.
b. Peningkatan TIK yang mempunyai trias klasikseperti: nyeri kepala karena
regangan dura dan pembuluh darah; papil edema yang disebabkan oleh
tekanan dan pembengkakan diskus optikus; muntah seringkali proyektil.
c. Perubahan tekanan darah atau normal (hipertensi), perubahan frekuensi
jantung (bradikardi, takikardia, yang diselingi dengan bradikardiadisritmia).
d. Perubahan pola nafas (apnea yang diselingi oleh hiperventilasi), nafas
berbunyi, stridor, terdesak, ronchi, mengi positif (kemungkinan karena
aspirasi),gurgling.

2.5 Pemeriksaan Penunjang


Selain dari gejala-gejala klinik, keluhan pasien maupun dari hasil
pemeriksaan fisik dan psikis, untuk keperluan skull defect perlu dilakukan
pemeriksaan-pemeriksaan penunjangyaitu:
a. CT-Scan
Fungsi CT Scan ini adalah untuk mengidentifikasi luasnya lesi, perdarahan,
determinan ventrikuler, dan perubahan jaringan otak.Untuk mengetahui
adanya infark / iskemia jangan dilekukan pada 24 - 72 jam setelah injuri.
Pada pasien dnegan skull defect diperoleh hasil CT scan sebagai berikut:
5

Gambar 1. CT scan skull defect

b. Foto polos kepala(X-ray)


Tidak semua penderita dengan cidera kepala diindikasikan untuk pemeriksaan
kepalakarenamasalahbiayadankegunaanyangsekarangmakindittinggalkan.Jadi
indikasi pelaksanaan foto polos kepala meliputi jejas lebih dari 5 cm, luka
tembus (tembak/tajam), adanya corpus alineum, deformitas kepala (dari
inspeksi dan palpasi), nyeri kepala yang menetap, gejala fokal neurologis,
gangguan kesadaran. Hasil yag diperoleh pada foto kepala pasien dengan
skull defect adalah sebagai berikut:

Gambar 2. X-ray skull defect

c. MRI (Magnetik ResonanceImaging)


6

Digunakan sama seperti CT-Scan dengan atau tanpa kontras radioaktif.

Gambar 3.MRIskull defect


d. EEG(Elektroensepalogram)
Digunakan untuk melihat perkembangan gelombang yang patologis

Gambar 4.EEGskull defect


7

BAB 3
TINJAUAN KASUS
A. Proses Keperawatan
1. Pengkajian
1) Identitas pasien
Nama : Tn. BK
Jenis kelamin : Laki-laki
Alamat : Umbulsari Sumbermujur Candipuro Lumajang
Nomor register : 261957
Diagnosis medis : Skull Defect
2) Riwayat penyakit sekarang
Klien pernah melakukan operasi trepanasi dan sekarang akan
mengembalikan tulang tengkorak yang tertanam dalam kepala.
3) Riwayat penyakit dahulu
Klien mengatakan tidak memiliki penyakit seperti darah tinggi,
diabetes, dan penyakit pernapasan.
4) Keluhanutama
Klien mengatakan takut akan operasi
5) Riwayat penyakit keluarga
Klien mengatakan dalam keluarganya tidak ada yang mengalami
sakit seperti dirinya.
2. Pemeriksaan Fisik
Pada dasarnya dalam pemeriksaan fisik menggunakan pendekatan secara
sistematik yaitu: inspeksi, palpasi, auskultasi dan perkusi.
1) Keadaanumum
Tanda-tanda vital
Tekanan darah 120/80 mmhg, Nadi 92 x/menit, Respiratori rate 22
x/menit, suhu 36,5 °C
2) Kesadaran
GCS : 456
3) Pemeriksaan head totoe
a) Kepala danrambut
8

Bentuk kepala lonjong, tidak semetris terdapat cekungan di bagian


kiri depan, rambut pendek, terdapat bekas jahitan di kulit kepala.
b) Wajah
Warna kulit sawo matang, ekspresi wajah tegang.
c) Mata
Bentuk bola mata simetris,tidak ada gerakan kelainan pada bola
mata.
d) Hidung
Semetris, bersih.
e) Telinga
Simetris, bersih dan tidak ada kelainan fungsi pendengaran.
f) Mulut danbibir
Bibir simetrs, mukosa lembab, bersih.
g) Gigi
Jumlah gigi tidak lengkap, kurang bersih, tidak ada peradangan
pada gusi.
h) Leher
Posisitrakea tidak deviasi,tidak ada pembesaran kelenjar tiroid atau
vena jugularis.
i) Integumen
Warna sawo matang, bersih, turgor kembali 1 detik, tekstur kulit
kenyal dan lembab.
j) Thorax
Semetris, perkusi sonor, ekspansi dada simetris, tidak ada suara
ronchi dan whezzing.
k) Abdomen
Tidak ada distensi abdomen, asites, nyeri tekan.
l) Ektremitas atas danbawah
Semetris, tidak ada oedema, pergerakan normal dan tonus otot
5555
9

B. Diagnosa Keperawatan
Pre Operasi
1. Cemas berhubungan dengan ancaman pada status terkini: prosedur
pembedahan
Intra Operasi
1. Resiko infeksi berhubungan dengan pertahanan primer tidak adekuat
(trauma jaringan, kulit tidak utuh)
2. Risiko perdarahan berhubungan dengan tindakan operasi (cranioplasty)
3. Risiko hipotermia berhubungan dengan paparan lingkungan (pendingin
ruangan)

Post Operasi
1. Risiko aspirasi berhubungan dengan penurunan tingkat kesadaran
2. Nyeri berhubungan dengan agen cedera fisik
3. Resiko cedera berhubungan dengan trauma intracranial
4. Resiko infeksi berhubungan dengan luka post operasi
10

C. Rencana Keperawatan
No Diagnosa Tujuan Kriteria Hasil Intervensi Keperawatan Rasional
Keperawatan

Pre Operasi
1 Cemas NOC : Kontrol Cemas Kriteria hasil : NIC : Enhancement Coping 1. Memberikan informasi
berhubungan Tujuan : Setelah dilakukan a. Monitor intensitas 1. Sediakan informasi yang selama perawatan yang
dengan ancaman tindakan keperawatan kecemasan sesungguhnya meliputi didapatkan pasien
pada status diharapkan kecemasan b. Rencanakan strategi diagnosis, treatment dan 2. Memberikan rasa
terkini: prosedur hilang atau berkurang. koping untuk prognosis nyaman
pembedahan mengurangi stress 2. Tetap dampingi kien 3. Memberikan rasa
c. Gunakan teknik relaksasi untuk menjaga nyaman pada pasien
untuk mengurangi keselamatan pasien dan 4. Mengurangi ansietas
kecemasan mengurangi
d. Kondisikan lingkungan 3. Instruksikan pasien
nyaman untuk melakukan ternik
relaksasi
4. Bantu pasien
mengidentifikasi situasi
yang menimbulkan
ansietas.
Intra Operasi
1 Resiko infeksi NOC : Pengenalian Resiko Kriteria hasil : NIC : Pengendalian Infeksi 1. Mencegah terjadinya
berhubungan Tujuan : Pasien tidak Tidak menunjukkan tanda- 1. Pantau tanda / gejala infeksi
pertahan tubuh mengalami infeksi atau tanda infeksi infeksi 2. Mencegah invasi
primer tidak tidak terdapat tanda-tanda 2. Rawat luka operasi mikroorganisme
adekuat infeksi pada pasien. dengan teknik steril 3. Mencegah inos
3. Memelihara teknik 4. Mencegah inos
isolasi, batasi jumlah
pengunjung
4. Ganti peralatan
11

perawatan pasien sesuai


dengan protap
2 Resiko NOC : Fluid balance Kriteria hasil : NIC : Manajemen cairan 1. Mengetahui balance
kekurangan Tujuan : Pasien tidak a. Kulit dan membran 1. Catat intake dan output cairan
volume cairan mengalami dehidrasi atau mukosa lembab 2. Monitor status hidrasi 2. Antisipasi tanda
berhubungan cairan tubuh pasien adekuat. b. Tidak terjadi demam, seperti membran dehidrasi
dengan TTV normal mukosa, nadi, tekanan 3. Mengatur balance
kehilangan darah dengan cepat. cairan
cairan 3. Beri cairan yang sesuai
dengan terapi
Post Operasi
1 Nyeri NOC : Tingkat Nyeri Kriteria hasil : NIC : Menejemen Nyeri 1. Mengurangi stressor
berhubungan Tujuan : Pasien tidak a. Tidak menunjukkan Intervensi : yang dapat
dengan prosedur mengalami nyeri, antara lain tanda-tanda nyeri 1. Berikan pereda nyeri memperparah nyeri
bedah penurunan nyeri pada b. Nyeri menurun sampai dengan manipulasi 2. Mengurangi nyeri
tingkat yang dapat diterima tingkat yang dapat lingkungan (misal 3. Meminimalkan nyeri
diterima ruangan tenang, batasi 4. Mengurangi rasa nyeri
pengunjung). yang dirasakan pasien
2. Berikan analgesia sesuai
ketentuan
3. Cegah adanya gerakan
yang mengejutkan
seperti membentur
tempat tidur
4. Cegah peningkatan TIK
2 Resiko tinggi NOC : Pengendalian Resiko Kriteria hasil : NIC : Positioning 1. Menerikan posisi yang
cedera Tujuan : Pasien mengalami a. Stress minimal pada sisi 1. Konsul dengan ahli tepat sehingga
berhubungan stress minimal pada sisi operasi bedah mengenai mengurangi risiko
dengan trauma operasi b. Pasien tetap pada posisi pemberian posisi, cedera
intrakranial yang diinginkan termasuk derajat fleksi 2. Mengurangi
leher. peningkatan TIK
12

2. Posisikan pasien datar 3. Mencegah terjadinya


dan mirirng, bukan cedera
terlentang atau tinggikan 4. Mencegah peningkatan
kepala TIK
3. Balikkan pasien dengan
hati-hati
4. Hindari posisi
trendelenburg
3 Resiko infeksi NOC : Pengenalian Resiko Kriteria hasil : NIC : Pengendalian Infeksi 5. Mencegah terjadinya
berhubungan Tujuan : Pasien tidak Tidak menunjukkan tanda- 5. Pantau tanda / gejala infeksi
dengan luka post mengalami infeksi atau tanda infeksi infeksi 6. Mencegah invasi
operasi tidak terdapat tanda-tanda 6. Rawat luka operasi mikroorganisme
infeksi pada pasien. dengan teknik steril 7. Mencegah inos
7. Memelihara teknik 8. Mencegah inos
isolasi, batasi jumlah
pengunjung
8. Ganti peralatan
perawatan pasien sesuai
dengan protap
13

D. Implementasi
No Diagnosa Tujuan Kriteria Hasil Intervensi Keperawatan Rasional
Keperawatan

Pre Operasi
1 Cemas NOC : Kontrol Cemas Kriteria hasil : NIC : Enhancement Coping 1. Memberikan informasi
berhubungan Tujuan : Setelah dilakukan a. Memonitor intensitas 1. Menyediakan informasi selama perawatan yang
dengan ancaman tindakan keperawatan kecemasan yang sesungguhnya didapatkan pasien
pada status diharapkan kecemasan b. Merencanakan strategi meliputi diagnosis, 2. Memberikan rasa
terkini: prosedur hilang atau berkurang. koping untuk mengurangi treatment dan prognosis nyaman
pembedahan stress 2. Tetap mendampingi kien 3. Memberikan rasa
c. Menggunakan teknik untuk menjaga nyaman pada pasien
relaksasi untuk keselamatan pasien dan 4. Mengurangi ansietas
mengurangi kecemasan mengurangi
d. Mengkondisikan 3. Menginstruksikan pasien
lingkungan nyaman untuk melakukan ternik
relaksasi
4. Membantu pasien
mengidentifikasi situasi
yang menimbulkan
ansietas.
Intra Operasi
1 Resiko infeksi NOC : Pengendalian Resiko Kriteria hasil : NIC : Pengendalian Infeksi 1. Mencegah terjadinya
berhubungan Tujuan : Pasien tidak Tidak menunjukkan tanda- 1. Memantau tanda / gejala infeksi
pertahan tubuh mengalami infeksi atau tanda infeksi infeksi 2. Mencegah invasi
primer tidak tidak terdapat tanda-tanda 2. Merawat luka operasi mikroorganisme
adekuat infeksi pada pasien. dengan teknik steril 3. Mencegah inos
3. Memelihara teknik 4. Mencegah inos
isolasi, batasi jumlah
pengunjung
4. Menganti peralatan
14

perawatan pasien sesuai


dengan protap
2 Resiko NOC : Fluid balance Kriteria hasil : NIC : Manajemen cairan 1. Mengetahui balance
kekurangan Tujuan : Pasien tidak a. Kulit dan membran 1. Mencatat intake dan cairan
volume cairan mengalami dehidrasi atau mukosa lembab output 2. Antisipasi tanda
berhubungan cairan tubuh pasien adekuat. b. Tidak terjadi demam, 2. Memonitor status hidrasi dehidrasi
dengan TTV normal seperti membran mukosa, 3. Mengatur balance
kehilangan nadi, tekanan darah cairan
cairan dengan cepat.
3. Memberi cairan yang
sesuai dengan terapi
Post Operasi
1 Nyeri NOC : Tingkat Nyeri Kriteria hasil : NIC : Menejemen Nyeri 1. Mengurangi stressor
berhubungan Tujuan : Pasien tidak a. Tidak menunjukkan Intervensi : yang dapat
dengan prosedur mengalami nyeri, antara lain tanda-tanda nyeri 1. Memberikan pereda nyeri memperparah nyeri
bedah penurunan nyeri pada b. Nyeri menurun sampai dengan manipulasi 2. Mengurangi nyeri
tingkat yang dapat diterima tingkat yang dapat lingkungan (misal 3. Meminimalkan nyeri
diterima ruangan tenang, batasi 4. Mengurangi rasa nyeri
pengunjung). yang dirasakan pasien
2. Memberikan analgesia
sesuai ketentuan
3. Mencegah adanya
gerakan yang
mengejutkan seperti
membentur tempat tidur
4. Mencegah peningkatan
TIK
2 Resiko tinggi NOC : Pengendalian Resiko Kriteria hasil : NIC : Positioning 1. Menerikan posisi yang
cedera Tujuan : Pasien mengalami a. Stress minimal pada sisi 1. Berkonsultasidengan ahli tepat sehingga
berhubungan stress minimal pada sisi operasi bedah mengenai mengurangi risiko
dengan trauma operasi b. Pasien tetap pada posisi pemberian posisi, cedera
15

intrakranial yang diinginkan termasuk derajat fleksi 2. Mengurangi


leher. peningkatan TIK
2. Memposisikan pasien 3. Mencegah terjadinya
datar dan mirirng, bukan cedera
terlentang atau tinggikan 4. Mencegah peningkatan
kepala TIK
3. Membalikkan pasien
dengan hati-hati
4. Menghindari posisi
trendelenburg
3 Resiko infeksi NOC : Pengenalian Resiko Kriteria hasil : NIC : Pengendalian Infeksi 1. Mencegah terjadinya
berhubungan Tujuan : Pasien tidak Tidak menunjukkan tanda- 1. Memantau tanda / gejala infeksi
dengan luka post mengalami infeksi atau tanda infeksi infeksi 2. Mencegah invasi
operasi tidak terdapat tanda-tanda 2. Merawat luka operasi mikroorganisme
infeksi pada pasien. dengan teknik steril 3. Mencegah inos
3. Memelihara teknik 4. Mencegah inos
isolasi, batasi jumlah
pengunjung
4. Mengganti peralatan
perawatan pasien sesuai
dengan protap
16

E. Evaluasi
1. Setelah dilakukan tindakan keperawatan diharapkan kecemasan hilang atau
berkurang.
2. Pasien tidak mengalami infeksi atau tidak terdapat tanda-tanda infeksi pada pasien.
3. Pasien tidak mengalami dehidrasi atau cairan tubuh pasien adekuat.
4. Pasien tidak mengalami nyeri, antara lain penurunan nyeri pada tingkat yang dapat
diterima
5. Pasien mengalami stress minimal pada sisi operasi
17

BAB 4
INSTRUMENT TEKNIK DAN OPERATING TEKNIK CRANIOPLASTY

4.1 Prosedur Cranioplasty Autograft


Tindakan medis cranioplasty memiliki tahapan-tahapan prosedur medis yang sudah ada
sejak jaman kuno dan beberapa cranioplasties diyakini telah dilakukan oleh ahli bedah Inka
menggunakan bahan seperti labu, kerang, dan piring emas dan perak selama 3000-2000 SM
(Asenjo, 1963). Saat ini prosedur cranioplasty untuk menutup lubang yang terjadi pada
penanganan cranial bone defects menggunakan beberapa jenis material (Fusseti et al., 2011),
yaitu:
4.1.1 Autograft dan allograft. Autograft adalah tulang yang dikeluarkan dari tubuh pasien
sendiri, sedangkan allograft adalah tulang yang dipindah dari spesies yang sama; yakni
manusia lainnya (Steven et al., 2008) dan xenograft yaitu dari spesies mamalia yang lain
(Kappe et al., 2010). Untuk allograft dan xenograft sudah jarang sekali digunakan. Prosedur
pemanenan tulang dari situs donor, dengan autograft sebagai pilihan utama, akan menambah
waktu dan potensi terjadinya kondisi yang akan menyebabkan sakit yang baru. Beberapa ahli
bedah telah menggunakan perpecahan rib karena kelengkungan alami dan kemampuan untuk
membentuknya. Ketika tulang digunakan dalam cranioplasty, harus tetap kaku untuk me-
minimalkan terjadinya resorpsi (Steven et al., 2008). Pada tulang, resorpsi mengacu pada
pemecahan tulang oleh osteoklas yang mengakibatkan pelepasan kalsium dan fosfat (mineral
tulang) ke dalam darah (Teitelbaum, 2000). Bisa dilihat pada Gambar 2.1. adalah salah
contoh teknik cranioplasty yang menggunakan material autograft atau allograft.

Gambar 2.1 Cranioplasty dengan autograft atau allograft (Fusseti et al., 2011)

4.1.2 Penggunaan berbagai macam material sintesis dan bentuk prefabricated/pracetak atau
custom made implants seperti titanium, porous high density polyethylene (PHDPE) dan
18

PMMA. Sebelumnya desain implan didapatkan dari pembuatan cetakan negatif dari
tengkorak orang normal, kemudian di fabrikasi dan dalam perkembangan berikutnya desain
implan didapatkan dari pembuatan cetakan negatif dari data CTScan tengkorak pasien
(Steven et al., 2008). Implan dihasilkan dengan metode subtraksi berbasis mesin computer
numerical control (CNC), seperti yang bisa dilihat pada Gambar 2.2. Saat ini dengan
berkembangnya teknologi printer 3D berbasis additive manufacturing, yaitu istilah industri
resmi standar (ASTM F2792) untuk semua aplikasi teknologi yang berhubungan dengan
proses bergabung bahan untuk membuat benda-benda dari data 3D model, biasanya lapisan
demi lapisan, sebagai lawan/kebalikan dari proses dalam metode manufaktur subtraktif/CNC
(Wohlers Associates, 2013) makin membuka kemungkinan yang lebih luas untuk tindakan
cranioplasty. Hal ini dikarenakan metode AM bisa dikembangkan dari material padat, cair
dan serbuk.

Gambar 2.2 Cranioplasty dengan prefabricated (Fusseti et al., 2011)

4.2 TEAM OPERASI


Operator :
dr. Fathul Sp.BS
Asisten :
Yahya
Instrument :
Ika Sri
Sirkulator Nurse :
1. Deddy
2. Resa
19

4.3 SET RUANGAN


SET RUANGAN JUMLAH
Meja mayo 1
Meja operasi 1
Meja besar/ back table 1
Suhu ruangan 18-220 c
Kelembapan ruangan 60%
Suction 1
ESU 1
Mesin Anastesi 1
Lampu operasi 1
Tempat sampah medis dan non medis 1
Tempat dekontaminasi 1

4.4 DESINFEKSI
DESINFEKSI JUMLAH
Povidone Iodine 30 cc

4.5 DRAPPING
DRAPPING JUMLAH/LEMBAR
Doek Steril :
1. Doek kecil 4
2. Doek besar 2
3. Opsite 1

4.6 GOWNING
BAHAN JUMLAH
Gowning 4

4.7 GLOVING
JENIS DAN UKURAN JUMLAH
1. Doble Glove 7/7,5 2/2
20

4.8 SET INSTRUMEN


NO JENIS INSTRUMEN JUMLAH
1 Towel klem 4
2 Krom klem bengkok 2
3 Scalpel handle no 3 dan 4 1/1
4 Dissecting chirugische forceps 14 cm 1
5 Dissecting chirugische forceps 20 cm 1
6 Dissecting anatomis forceps 14 cm 1
7 Dissecting anatomis forceps 20 cm 1
8 Dissecting scissors metzemboum 1
9 Gunting kasar lurus/bengkok 1/1
10 Nald fouder 2
11 Kocker 1
12 Langen back 1
13 Cucing 2
14 Bengkok 1
15 Kanul saction 1
16 Retraktor pir 2

Gambar 1.1 Set Instrument Cranioplasty Autograft


21

4.9 BAHAN HABIS PAKAI


NO JENIS/ UKURAN JUMLAH
1 R/ hand scoon 7/ 7,5 2/2
2 Mess no. 10/20/11 1/1/1
3 Under pad 2
4 NaCl 0.9% 1 liter 1
5 Spongestan 1
6 Spuit 10cc 3
7 Pehacain 4
8 Water for injection 25 ml 2
9 Jarum no. 23 1
10 Op site 45cm x 55cm 1
11 Safil 2/0, 3/0 3/3
12 Side 3/0 HR 17 1
13 Dermalon 2/0, 3/0 2/2
14 Bone wax 1
15 Drain polivac 1
16 Selang connecting 1
17 Sufratul 2
18 Hipavic 1
19 Kresek 2
20 Betadine/alkohol 1/1
21 Anti/ ceftriaxone 2 gr
22 Elestomul 1
23 Lina pen 1
24 Apron 3
22

Gambar 1.2 Kebutuhan Alkes pada pasien Cranioplasty Autograft


TEKNIK INSTRUMEN DAN OPERATOR
1. Membantu posisi pasien setelah dilakukan pembiusan
2. Setelah posisi supine, skiren area yang akan di lakukan incici (dengan klipper
potong rambut)
3. Mencuci daerah yang akan dioperasi dengan menggunakan saflon 10 %, untuk
menghilangkan kotoran didaerah insisi
4. Perawat instrumen melakukan surgical scrub, gowning, gloving
5. Perawat instrumen memakaikan scrot dan handscoon kepada tim operasi lain
6. Antiseptic area operasi, perawat instrumen memberikan disinfektan klem, depers
dalam kom berisi betadine 10% pada operator, jumlah depers minimal 3 buah,
kemudian berikan depers alkohol dan disinfeksi klem kemudian depers kering
7. Draping area operasi, perawat instrumen memberikan 2 lapis duk kecil serta
dialasi underpad, untk draping area bawah kepala duk kecil 3 buah pada bawah
dan kakan kiri, dug besar 2 buah, fiksasi dengan duklem.
8. Pasang opsite pada daerah operasi 1 underpet digulung.
9. Perawat instrumen memasang couter bipolar dan suction, fiksasi dengan duklem.
10. Perawat instrumen mendekatakan meja mayo dan meja instrumen kedekat pasien
23

11. Berikan sepuit 10 cc yang berisi oplosan phcain pada operator lalu injeksikan
pada daerah yang akan di insisi dan tunggu selama kurang lebih 2 menit
12. Berikan mes nomer 1(20) untuk insisi kulit
13. Berikan mes 2 (10) untuk insisi galea, berikan dandiklem untuk klem perdarahan
pada galea, rawat perdarahan dengan kasa kering dan suction daerah yang
menggenang
14. Insisi diperlebar dengan mes 2 (10) dan rawat perdarahan dengan bipolar sambil
semprot dengan NS
15. Setelah insisi terlihat fasi yang menempel pada dura, berikan 2 kasa basah untk
menutup flap bagian dalam berikan sringhak untuk mempertahankan flap.
16. Rawat perdarahan dengan couter bipolar serta sepuling dengan NS
17. Berikan double pinset anatomis pada operator dan asisten serta gunting
metzenboung pada operator untuk menggakat fasia pada dura
18. Terlihat dura rawat perdarahan dengan couter bipolar dan spuling dengan NS
19. Berikan woces serta surgicel pada operator pada perdarahan pada tepi-tepi dura
yang disisipkan pada tepi-tepi antara dura dengan tulang
20. Berikan hacting set yaitu needle holder sertavikkril 3.0 untuk headster/gunting
dura.
21. Berikan kocker untuk mengambil tulang yang tertanam pada galea, tulang
tersebut dicocokan pada daerah yang akan dipasang plate.
22. Berikan mini screw dan mini plate pada operator serta screw driver dan croem
klem.
23. Pasang plate dan secrew pada tulang pada 3 bagian diluar.
24. Pada bagian yang ditentukan letakkan mini plate dan pasangkan mini secrew
pada tulang dengan secrew driver dan gantung dura dengan vikkri 3.0
25. Berikan bone max pada tulang cuci dengan NS sampai bersih dan suction.
26. Pasang redown drain dan fiksasi dengan menggunakan mersilik 2.0
27. Jahit lapis demi lapis vikkri 3.0 galea, dermalon 2.0
28. Bersihkan luka dengan kasa basah kemudian kasa kering
29. Tutup luka dengan sufratule, kasa, hipavik, dan tensocrap rapikan pasien dan alat
hitung kelengkapannya.
24

30. Alat direndam menggunakan dekon perpandingan 5 liter : 50 ml angios,


bersihkan darah yang menempel di alat kemudian bilas dengan menggunakan air
bersih dan keringkan.
25

BAB 5
PENUTUP
5.1 KESIMPULAN
Skull defect merupakan suatu kelainan pada kepala ketika tidak adanya tulang
cranium/tulang tengkorak, tanda dan gejala skull defect diantaranya kepala asimetris,
bagian kepala terasa lembek dan terdapat pulsasi atau denyut pada daerah tersebut.
Pembedahan yang dilakukan untuk pasien cedera kepala adalah pelaksanaan operasi
trepanasi atau cranioplasty. Trepanasi/kraniotomi adalah suatu tindakan membuka
tulang kepala yang bertujuan untuk mencapai otak untuk tindakan pembedahan
definitive (seperti adanya SDH (subdural hematoma) atau EDH (epidural hematoma)
dan kondisi lain pada kepala yang memerlukan tindakan kraniotomi). Cranioplasty
adalah memperbaiki kerusakan tulang kepala dengan menggunakan bahan plastic atau
metal plate.Epidural Hematoa (EDH) adalah suatu pendarahan yang terjadi diantara
tulang dang dan lapisan duramater; Subdural Hematoa (SDH) atau pendarahan yang
terjadi pada rongga diantara lapisan duramater dan dengan araknoidea.
Tindakan cranioplasty juga dapat menyebabkan komplikasi seperti perdarahan
bahkan syok. Agar tidak timbul komplikasi lebih lanjut ada perwatan yang diberikan
saat pre, intra dan post operasi. Dari tanda dan gejala yang ditimbulkan banyak
diagnose keperawatan yang muncul dalam kasus asuhan keperwatan Cranioplasty,
yakni cemas, resiko perdarahan dan resiko aspirasi
5.2 SARAN
Dengan memahami pembahasan dengan Cranioplasty kita dapat memberikan asuhan
keperawatan yang benar dan berfikir kritis dalam menghadapi kasus skull defect. Dan
bagi Instansi Rumah Sakit diharapkan mampu memberikan asuhan keperawatan
perioperatif yang optimal bagi klien.

DAFTAR PUSTAKA
26

Bulecheck, et all. 2013. Nursing Interventions Classification (NIC) Sixth Edition. Mosby:
Elsevier.

Barbara C. Long. 1996. Perawatan Medikal Bedah (Suatu Pendekatan Proses Keperawatan).
Alih bahasa : Yayasan Ikatan alumsi Pendidikan Keperawatan Pajajaran Bandung.
Cetakan I.

Burgener, Francis A & Kormano, Martti. 1997. Bone And Joint Disorder. New York:
Thieme.

Carpenito, L.J. 2003.Buku Saku Diagnosis Keperawatan. Jakarta: EGC.

Corwin, Elizabeth J. 2009. Patofisiologi: Buku Saku. Jakarta: EGC.

Doengoes E.Marilyn. 2002. Rencana Asuhan Keperawatan. Jakarta: EGC

Dorland. 1998. Kamus Saku Kedokteran. Jakarta: EGC.

Herdman, T. Heather. 2012. Diagnosa Keperawatan: Definisi dan Klasifikasi 2012-2014.


Jakarta: EGC

Mansjoer, Arif dkk. 2001. Kapita Selekta Kedokteran. Edisi 3.Jilid 1. Jakarta: Media
Aesculapius.

Moorhead, et all. 2013. Nursing Outcomes Classification (NOC) Fifth Edition. Mosby:
Elsevier.

Muttaqin, Arif. 2008. Buku Ajar Asuhan Keperawatan dengan Gangguan


SistemPersyarafan. Jakarta: SalembaMedika.

NANDA. 2014. Diagnosis Keperawatan. Jakarta: EGC.

Price, Sylvia A. 2006. Patofisiologi: Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit. Jakarta: EGC.

Ramamurthi, Ravi, et al. 2007. Textbook of Operative Neurosurgery. New Delhi: BI


Publications.

Smeltzer, Suzanne C. 2002. Buku Ajar Keperawatan Medikal-Bedah edisi 3 volume 8.


Jakarta: EGC.

Wilkinson, Judith M. 2006. Buku Saku Diagnosis Keperawatan dengan Intervensi NIC dan
Kriteria Hasil NOC. Jakarta: EGC.

Judul diperbaiki
Asuhan keperawatan pada tn BK dengan SKULL Defect dengan tindakan cranioplasty
autograf
27

Fokus ke cranioplasty

Anda mungkin juga menyukai