Anda di halaman 1dari 11

Pengertian Economic Value Added (EVA).

Pendekatan yang lebih baru dalam penilaian


saham adalah dengan menghitung Economic Value Added (EVA) suatu perusahaan. EVA
merupakan salah satu ukuran kinerja operasional yang dikembangkan pertama kali
oleh G. Bennet Stewart Dan Joel M. Stren yaitu seoarang analis keuangan dari perusahaan
Sten Stewart Dan Co pada tahun 1993.

Di Indonesia metode tersebut dikenal dengan metode NITAMI (Nilai Tambah Ekonomi).
EVA/NITAMI adalah metode manajemen keuangan untuk mengukur laba ekonomi dalam
suatu perusahaan yang menyatakan bahwa kesejahteraan hanya dapat tercipta
manakala perusahaan mampu memenuhi semua biaya operasi dan biaya modal
(Tunggal,2001).

Definisi Economic Value Added (EVA).


Menurut Iramani Dan Febrian (2005), Economic Value Added adalah metode manajemen
keuangan untuk mengukur laba ekonomi dalam suatu perusahaan yang menyatakan
bahwa kesejahteraan hanya dapat tercipta manakala perusahaan mampu memenuhi
semua biaya operasi dan biaya modal.

Menurut Warsono, Economic Value Added adalah perbedaan antara laba operasi setelah
pajak dengan biaya modalnya. EVA merupakan suatu estimasi laba estimasi laba
ekonomis yang benar atas suatu bisnis selama tahun tertentu.

Menurut Tandelilin, Economic Value Added adalah ukuran keberhasilan manajemen


perusahaan dalam meningkatkan nilai tambah (value added) bagi perusahaan.
Asumsinya adalah bahwa jika kinerja manajemen baik/ efektif (dilihat dari besarnya nilai
tambah yang diberikan), maka akan tercermin pada peningkatan harga saham
perusahaan.

Menurut Brigham Dan Houstan (2006:68), EVA adalah nilai yang ditambahkan oleh
manajemen kepada pemegang saham selama satu tahun tertentu. EVA mencerminkan
laba residu yang tersisa setelah biaya dari seluruh modal termasuk modal ekuitas
dikurangkan.

Tujuan dan Perhitungan Economic Value Added (EVA)


EVA memberikan pengukuran yang lebih baik atas nilai tambah yang diberikan
perusahaan kepada pemegang saham. Oleh karena itu manajer yang menitikberatkan
pada EVA dapat diartikan telah beroperasi pada cara-cara yang konsisten untukm
memaksimalkan kemakmuran pemegang saham.

Perhitungan Economic Value Added (EVA) yang diharapkan dapat mendukung


penyajian laporan keuangan sehingga akan mempermudah para pemekai laporan
keuangan diantaranya para investor, kreditur, karyawan, pelanggan, dan pihak-pihak
yang berkepentingan lainnya. Ada beberapa pendekatan yang dapat digunakan untuk
mengukur EVA, tergantung dari struktur modal dari perusahaan. Apabila dalam struktur
modalnya perusahaan hanya menggunakan modal sendiri.

Pengertian Rasio Perputaran Total Aset (Total Asset Turnover Ratio) dan Rumusnya – Rasio
perputaran Total Aset atau Total Asset Turnover Ratio adalah rasio aktivitas (rasio efisiensi) yang
mengukur kemampuan perusahaan untuk menghasilkan penjualan dari total asetnya dengan
membandingkan penjualan bersih dengan total aset rata-rata. Sedangkan pengertian Perputaran
Aset menurut Kamus Bank Indonesia adalah rasio untuk mengukur kemampuan aset perusahaan
untuk memperoleh pendapatan; makin cepat aset perusahaan berputar makin besar pendapatan
perusahaan tersebut. Dengan kata lain, rasio ini menunjukkan seberapa efisien perusahaan dapat
menggunakan asetnya untuk menghasilkan penjualan. Perputaran Total Aset ini juga sering disebut
juga dengan Perputaran Total Aktiva (Total Activa Turnover) atau hanya disebut dengan Perputaran
Aset (Asset Turnover).

Rumus

Total Rasio Perputaran Aset = Penjualan Bersih / Rata-Rata Total Aset


Semakin tinggi rasio, semakin baik pemanfaatan total aset di perusahaan. Ini menunjukkan
bahwa perusahaan mampu menghasilkan pendapatan dengan jumlah minimum total aset tanpa
meningkatkan modal tambahan.

Pengertian Debt to Equity Ratio (DER) dan Rumus DER – Debt to Equity Ratio atau dalam bahasa
Indonesia disebut dengan Rasio Hutang terhadap Ekuitas atau Rasio Hutang Modal adalah suatu
rasio keuangan yang menunjukan proporsi relatif antara Ekuitas dan Hutang yang digunakan untuk
membiayai aset perusahaan. Rasio Debt to Equity ini juga dikenal sebagai Rasio Leverage (rasio
pengungkit) yaitu rasio yang digunakan untuk mengukur seberapa baik struktur investasi suatu
perusahaan.

Debt to Equity Ratio atau DER adalah rasio keuangan utama dan digunakan untuk menilai posisi
keuangan suatu perusahaan. Rasio ini juga merupakan ukuran kemampuan perusahaan untuk
melunasi kewajibannya. Rasio Debt to Equity ini merupakan rasio penting untuk diperhatikan pada
saat memeriksa kesehatan keuangan perusahaan. Jika rasionya meningkat, ini artinya perusahaan
dibiayai oleh kreditor (pemberi hutang) dan bukan dari sumber keuangannya sendiri yang mungkin
merupakan trend yang cukup berbahaya. Pemberi pinjaman dan Investor biasanya memilih Debt to
Equity Ratio yang rendah karena kepentingan mereka lebih terlindungi jika terjadi penurunan bisnis
pada perusahaan yang bersangkutan. Dengan demikian, perusahaan yang memiliki Debt to Equity
Ratio atau Rasio Hutang terhadap Ekuitas yang tinggi mungkin tidak dapat menarik tambahan
modal dengan pinjaman dari pihak lain.

Rumus Debt to Equity Ratio (DER)

Rasio Hutang Terhadap Ekuitas atau Debt to Equity Ratio (DER) dihitung dengan cara mengambil
total kewajiban hutang (Liabilities) dan membaginya dengan Ekuitas (Equity). Berikut dibawah ini
adalah Rumus Debt to Equity Ratio (DER).
Debt to Equity Ratio (DER) = Total Hutang / Ekuitas

Catatan :

 Hutang atau Kewajiban (Liabilities) adalah kewajiban yang harus dibayarkan secara tunai ke
pihak lain dalam jangka waktu tertentu. Berdasarkan jangka waktu pelunasannya, Kewajiban
atau hutang ini biasanya diklasifikasikan menjadi Kewajiban lancar, kewajiban jangka
panjang dan kewajiban lain-lain.
 Ekuitas (Equity) adalah hak pemilik atas aset atau aktiva perusahaan yang merupakan
kekayaan bersih (jumlah aktiva dikurangi dengan kewajiban). Ekuitas dapat terdiri dari
setoran pemilik perusahaan dan sisa laba yang ditahan (retained earning).
Contoh Kasus Perhitungan Debt to Equity Ratio (Rasio Hutang terhadap Ekuitas)

Berdasarkan Laporan keuangan kuartal II per tanggal 30 Juni 2017, PT. Sri Rejeki Isman Tbk yang
berkode emiten SRIL ini memiliki Kewajiban atau Liability sebanyak US$700,68 juta dan Ekuitas
(Equity) sebanyak US$359,51 juta. Berapakah Debt to Equity Ratio atau DER PT. Sri Rejeki Isman
Tbk ini ?

Diketahui :

Total Kewajiban (liability) = US$700,68 juta


Total Ekuitas (Equity) = US$359,51 juta
Debt to Equity Ratio (DER) = ?

Jawaban :

Debt to Equity Ratio (DER) = Total Kewajiban / Total Ekuitas


Debt to Equity Ratio (DER) = US$700,68 juta / US$359,51 juta
Debt to Equity Ratio (DER) = 1,94 kali

Jadi Rasio Hutang terhadap Ekuitas atau Debt to Equity Ratio PT. Tiga Pilar Sejahtera Food Tbk per
laporan keuangan kuartal II tanggal 30 Juni 2017 adalah sebesar 1,18 kali.

Penilaian Debt to Equity Ratio (Rasio Hutang Terhadap Ekuitas)

Pada umumnya, Debt to Equity Ratio atau Rasio Hutang terhadap Ekuitas yang optimal pada suatu
perusahaan adalah sekitar 1 kali, dimana Jumlah Hutang adalah sama dengan Jumlah Ekuitas.
Namun rasio ini berbeda antara satu jenis industri dengan jenis industri lainnya karena tergantung
pada proporsi aktiva lancar dan aktiva tidak lancar. Semakin banyak aktiva atau aset tidak lancar
(seperti pada industri padat modal), semakin banyak ekuitas yang dibutuhkan untuk membiayai
investasi jangka panjang.

Banyak kebanyakan perusahaan, Rasio Hutang terhadap Ekuitas (Debt to Equity Ratio) yang dapat
diterima adalah berkisar diantara 1,5 kali hingga 2 kali. Bagi perusahaan besar yang sudah go publik
(perusahaan terbuka), Debt to Equity Ratio bisa mencapai 2 kali atau lebih dan masih dianggap
“bisa diterima”. Namun bagi perusahan kecil menengah, angka tersebut tidak dapat diterima.

Secara umum, Rasio Hutang terhadap Ekuitas yang tinggi menunjukan bahwa perusahaan mungkin
tidak dapat menghasilkan uang yang cukup untuk memenuhi kewajiban hutangnya. Akan tetapi,
Rasio Hutang terhadap Ekuitas yang rendah juga dapat menandakan bahwa perusahaan tidak
memanfaatkan peningkatan profit/labanya secara maksimal.

Debt to Equity Ratio (DER) atau Rasio Hutang terhadap Ekuitas merupakan salah satu analisis
fundamental saham.

Pengertian EPS (Earning per Share atau Laba per Saham) dan Rumus EPS – Laba per Saham atau
dalam bahasa Inggris disebut dengan Earning per Share yang disingkat dengan EPS adalah bagian
dari laba perusahaan yang dialokasikan ke setiap saham yang beredar. Laba per saham atau
Earning per Share ini merupakan indikator yang paling banyak digunakan untuk menilai profitabilitas
suatu perusahaan.

Laba per saham adalah ukuran profitabilitas yang sangat berguna dan apabila dibandingkan dengan
Laba per Saham pada perusahaan sejenisnya, Laba per Saham ini akan memberikan suatu
gambaran yang sangat jelas tentang kekuatan profitabilitas antara perusahaan yang bersangkutan
dengan perusahaan pembandingnya. Perlu diketahui bahwa perusahaan pembandingnya harus
merupakan perusahaan yang bergerak di jenis industri yang sama. Earning per Share atau EPS ini
apabila dihitung selama beberapa tahun, maka akan menunjukan apakah profitabilitas perusahaan
tersebut semakin membaik atau malah semakin memburuk. Investor biasanya akan
menginvestasikan dananya pada perusahaan yang Laba per Sahamnya yang terus meningkat.

Pertumbuhan EPS (Earning per Share) merupakan ukuran penting kinerja perusahaan karena
menunjukan berapa banyak uang yang dihasilkan perusahaan untuk pemegang sahamnya. Tidak
hanya karena perubahan keuntungan namun juga setelah semua dampak penerbitan saham baru.

Rumus EPS (Earning per Share atau Laba per Saham)

EPS (Earning per Share atau Lembar per Saham) dihitung dengan membagi laba bersih setelah
pajak dan dividen yang dibagikan dengan jumlah saham yang beredar. Earning per Share ini dapat
dinyatakan dengan rumus EPS dibawah ini :

Laba per Saham (EPS) = (Laba Bersih setelah Pajak – Dividen) / Jumlah Saham yang Beredar

Jika terjadi perubahan struktur modal (contohnya perubahan jumlah saham) selama perioda
pelaporan, maka saham yang beredar harus dihitung berdasarkan rata-rata tertimbang saham
(weighted average share) yang beredar selama tahun berjalan.

Contoh Kasus Perhitungan Laba per Saham (Earning per Share atau EPS)

Berikut ini adalah contoh perhitungan Laba per lembar saham dengan menggunakan Rumus EPS
yang disebutkan diatas.

Contoh 1
Perusahaan XXZZ mempunyai saham yang beredar sebanyak 1 juta lembar pada tahun 2016, Laba
bersih setelah pajak adalah Rp. 1 miliar. Perusahaan A kemudian memutuskan untuk membagikan
10% dividen atau sekitar Rp. 100 juta kepada pemegang sahamnya. Berapakah Earning Per Share
(EPS) atau Laba per lembar sahamnya ?
Diketahui :

Jumlah Saham yang beredar = 1.000.000 lembar saham


Laba bersih setelah Pajak = Rp. 1.000.000.000,-
Dividen yang dibagikan = Rp. 100.000.000,-
Laba per Saham = ?

Jawaban :

Laba per Saham (EPS) = (Laba Bersih setelah Pajak – Dividen) / Jumlah Saham yang Beredar
Laba per Saham (EPS) = (Rp. 1.000.000.000 – Rp. 100.000.000) / 1.000.000
Laba per Saham (EPS) = Rp. 900.000.000 / 1.000.000
Laba per Saham (EPS) = Rp. 900,-

Jadi Laba per Saham atau Earning per Share (EPS) PT. XXZZ adalah sebesar Rp. 900,-

Contoh 2
PT. AABB mempunyai saham yang beredar sebanyak 1.500.000 lembar dengan perincian sebagai
berikut :

01 Januari 2016, Saham yang beredar sebanyak 1.000.000 lembar


01 Juli 2016, penambahan saham baru sebanyak 500.000 lembar

Laba bersih setelah Pajak PT. AABB adalah sebesar Rp. 1 miliar. Dividen saham yang akan
diberikan kepada pemegang sahamnya adalah sebesar 10% atau Rp. 100 juta dari laba bersih
setelah pajak. Berapakah Earning per Share atau Laba per lembar Sahamnya ?

Diketahui :

Laba bersih setelah Pajak = Rp. 1.000.000.000,-


Dividen yang dibagikan = Rp. 100.000.000,-
Jumlah Saham yang beredar = 1.250.000 lembar, dihitung dengan cara rata-rata tertimbang seperti
dibawah ini :

Lama peredaran Rata-rata


Jumlah Saham (bulan) Bobot (Weight) Tertimbang

1.000.000 6 6/12 = 0,5 500.000

1.500.000 6 6/12 = 0,5 750.000

Jumlah Rata-rata Tertimbang 1.250.000

Jawaban :
Laba per Saham (EPS) = (Laba Bersih setelah Pajak – Dividen) / Jumlah Saham yang Beredar
Laba per Saham (EPS) = (Rp. 1.000.000.000 – Rp. 100.000.000) / 1.250.000
Laba per Saham (EPS) = Rp. 900.000.000 / 1.250.000
Laba per Saham (EPS) = Rp. 720,-

Jadi Laba per lembar Saham atau Earning per Share (EPS) PT. XXZZ adalah sebesar Rp. 720,-

Penilaian EPS (Earning per Share atau Laba per Saham)

Umumnya, Laba per Saham yang tinggi menandakan profitabilitas yang lebih baik dibandingkan
dengan Laba per Saham yang rendah. Artinya, perusahaan dapat menghasilkan laba yang lebih
tinggi untuk dibagikan ke pemegang sahamnya. Meskipun demikian, investor tidak hanya
memperhatikan nilai dari Laba per lembar saham ini saja untuk membuat keputusan membeli atau
tidak membeli saham pada perusahaan yang bersangkutan, karena pada dasarnya EPS ini dapat
berubah menjadi tinggi apabila jumlah saham yang beredar dikurangi.

Pengertian PER (Price to Earning Ratio atau Rasio Harga terhadap Pendapatan) dan Rumus
PER – Price to Earning Ratio atau biasanya disingkat dengan singkatan PER (P/E Ratio) adalah rasio
harga pasar per saham terhadap laba bersih per saham. Rasio Price to Earning ini adalah rasio
valuasi harga per saham perusahaan saat ini dibandingkan dengan laba bersih per sahamnya. Price
to Earning Ratio ini merupakan rasio yang sering digunakan untuk mengevaluasi investasi prospektif.
Rasio ini juga digunakan untuk membantu investor dalam pengambilan keputusan apakah akan
membeli saham perusahaan tertentu. Umumnya, para trader atau investor akan memperhitungkan
PER atau P/E Ratio untuk memperkirakan nilai pasar pada suatu saham.

Rumus PER (Price to Earning Ratio atau Rasio Harga terhadap


Pendapatan)
Price to Earning Ratio (P/E Ratio) ini dihitung dengan cara membagikan “Nilai Pasar per saham
(Market Value per Share)” dengan “Laba per lembar Saham (Earning per Share/EPS)”. Data Nilai pasar
per saham dapat diambil dari pasar saham atau bursa efek, sedangkan Earning per Share dapat
dihitung dengan cara membagikan Labar Bersih terhadap jumlah saham yang beredar di pasar.
Baca juga : Pengertian EPS (Earning per Share atau Laba per lembar Saham).

Berikut ini adalah Rumua PER atau rasio Harga terhadap pendapatan :

Price to Earnings Ratio (PER) = Harga Saham / Laba per Saham

 arga terhadap Pendapatan dalam bahasa Inggris disebut dengan Price to Earnings
Ratio (PER).
 Harga Saham dalam bahasa Inggris sering disebut dengan Market Price per Share.
 Laba per Saham dalam bahasa Inggris disebut dengan Earnings per Share (EPS).

Dengan menghitung Rasio P/E atau Price Earning Ratio, kita dapat mengetahui seberapa besar
harga yang ingin dibayar oleh pasar terhadap pendapatan atau laba suatu perusahaan.
Rasio PER-nya yang lebih tinggi menunjukan bahwa pasar bersedia membayar lebih terhadap
pendapatan atau laba suatu perusahaan, serta memiliki harapan yang tinggi terhadap masa depan
perusahaan tersebut sehingga bersedia untuk menghargainya dengan harga yang lebih tinggi. Di
sisi lain, Rasio Harga Terhadap Pendapatan (Price Earning Rasio) yang lebih rendah
mengindikasikan bahwa pasar tidak memiliki kepercayaan yang cukup terhadap masa depan saham
perusahaan yang bersangkutan.

Rata-rata Rasio P/E atau PER suatu saham biasanya adalah 12 hingga 15, namun nilai tersebut
tergantung pada pasar dan kondisi ekonomi. Penilaian Rasio PER juga bervariasi tergantung pada
industri yang dijalankannya. Setiap Industri memiliki penilaian yang berbeda terhadap rasio Rasio
P/E-nya.

Contoh Perhitungan PER (Price to Earning Ratio atau Rasio Harga


terhadap Pendapatan)
Sebagai contoh, jika harga per lembar saham perusahaan A adalah Rp. 500,- dengan rasio EPS
sebesar Rp. 20. Maka Rasio P/E adalah Rp. 500/Rp. 20 = Rp. 25,-. Ini menandakan bahwa Investor
bersedia untuk membayar Rp. 25,- untuk setiap Rp. 1 pendapatan perusahaan. Bagi perusahaan
yang mengalami kerugian atau pendapatan yang bernilai negatif, rasio P/E biasanya dinyatakan
dengan “tidak ada” atau biasanya ditulis dengan “N/A” atau “Not Applicable”.

Penilaian PER (Price to Earning Ratio atau Rasio Harga terhadap


Pendapatan)
Rasio Harga terhadap Pendapatan (Price Earning Ratio) yang tinggi mungkin tidak selalu menjadi
indikator Positif karena rasio PER yang tinggi bisa diakibatkan oleh “Overpricing” pada saham
tersebut. Pada sisi lain, Price Earning Ratio yang rendah belum tentu merupakan indikator negatif,
bisa jadi saham tersebut sedang diabaikan oleh pasar atau belum aktif didagangkan.

Oleh karena itu, Price Earning Ratio ini harus digunakan dengan hati-hati. Keputusan investasi tidak
boleh hanya didasarkan pada rasio P/E ini saja, para investor harus mempertimbangkan rasio-rasio
lain untuk mengambil keputusan apakah membeli atau tidak membeli saham-saham tertentu.

Masalah yang paling sering dibahas mengenai rasio P/E ini adalah perhitungan penyebutnya yang
juga memasukan barang-barang non tunai sehingga angka pendapatannya dapat dimanipulasi
dengan mudah, misalnya dengan memasukan depresiasi atau amortisasi. Meskipun tidak
dimanipulasi dengan sengaja, angka pendapatan masih juga dapat dipengaruhi oleh item-item non
tunai. Oleh sebab itu, kebanyakan investor menggunakan “Price to Cash Flow Ratio” atau “Rasio
Harga terhadap aliran Tunai” untuk perhitungan yang menghilangkan item-item non tunai dan hanya
memperhatikan Kas atau uang tunainya saja.

Pengertian ROE (Return on Equity) dan Rumus ROE – Return on Equity Ratio yang biasanya disingkat
dengan ROE adalah rasio profitabilitas yang mengukur kemampuan perusahaan untuk
menghasilkan laba dari investasi pemegang saham di perusahaan tersebut. Dengan kata lain, ROE
ini menunjukkan seberapa banyak keuntungan yang dapat dihasilkan oleh perusahaan dari setiap
satu rupiah yang diinvestasikan oleh para pemegang saham. ROE biasanya dinyatakan dengan
persentase (%).
Jadi, ROE dengan rasio 100% berarti bahwa setiap 1 rupiah dari ekuitas pemegang saham dapat
menghasilkan 1 rupiah dari laba bersih. Return on Equity atau ROE ini merupakan pengukuran
penting bagi calon investor karena dapat mengetahui seberapa efisien sebuah perusahaan akan
menggunakan uang yang mereka investasikan tersebut untuk menghasilkan laba bersih. ROE juga
dapat dijadikan sebagai indikator untuk menilai efektifitas manajemen dalam menggunakan
pembiayaan ekuitas untuk mendanai operasi dan menumbuhkan perusahaannya.

Cara Menghitung ROE (Return on Equity atau Rasio Pengembalian Ekuitas)

Berikut ini adalah rumus dan cara untuk menghitung Return on Equity yang dalam bahasa Indonesia
sering disebut dengan Rasio Pengembalian Ekuitas beserta contoh kasus perhitungan ROE ini.

Rumus ROE (Return on Equity)


Rasio Return on Equity (ROE) dihitung dengan membagi laba bersih dengan ekuitas pemegang
saham. Berikut ini adalah Rumus ROE :

ROE = Laba bersih setelah Pajak / Ekuitas Pemegang Saham

Pada umumnya, Return on Equity atau ROE ini dihitung untuk pemegang saham biasa (common
shareholders). Dalam hal ini, dividen preferen tidak termasuk dalam perhitungan karena jenis
dividen ini tidak tersedia untuk para pemegang saham biasa. Dividen Preferen biasanya dikeluarkan
dari perhitungan Laba Bersih (Net Income).

Contoh perhitungan ROE (Return on Equity)


Berdasarkan laporan keuangan yang diterbitkan per tanggal 31 Desember 2017, PT. AABB yang
bergerak di sektor konstruksi memiliki laba bersih setelah pajak sebesar Rp. 500 juta, total ekuitas
para pemegang saham adalah sebanyak Rp. 800 juta. Berapakah rasio pengembalian ekuitas atau
Return of Equity (ROE) PT. AABB ?

ROE = Laba bersih setelah Pajak / Ekuitas Pemegang Saham


ROE = Rp. 500.000.000 / Rp. 800.000.000
ROE = 62,5%

Jadi ROE PT. AABB pada tahun 2016 adalah sebesar 62,5%.

Analisis dan Penilaian ROE (Return on Equity)

Return on equity atau ROE mengukur seberapa efisien sebuah perusahaan menggunakan uang
dari pemegang saham untuk menghasilkan keuntungan dan menumbuhkan perusahaannya. Tidak
seperti rasio pengembalian investasi lainnya, ROE adalah rasio profitabilitas dari sudut pandang
investor, bukan dari sudut pandang perusahaan. Dengan kata lain, rasio ini menghitung berapa
banyak uang yang dapat dihasil oleh perusahaan bersangkutan berdasarkan uang yang
diinvestasikan pemegang saham, bukan investasi perusahaan dalam bentuk aset atau sesuatu yang
lainnya.
Baca juga : Pengertian Rasio Profitabilitas dan Jensi-jenisnya.

Tentunya, setiap investor atau pemegang saham menginginkan tingkat pengembalian ekuitas yang
tinggi karena rasio pengembalian Ekuitas (ROE) yang tinggi mengindikasikan bahwa perusahaan
menggunakan dana investor secara efektif. Pada umumnya, semakin tinggi rasio Return on Equity
(ROE) ini, semakin baik. Namun perlu diketahui bahwa rasio ROE ini akan berbeda diantara satu
jenis industri dengan jenis industri lainnya. Jadi sebaiknya ROE ini tidak dibandingkan dengan
industri yang berbeda karena setiap jenis industri memiliki investasi dan pendapatan yang berbeda-
beda.

Jika tidak membandingkan dengan perusahaan lainnya, ROE ini sebenarnya dapat digunakan untuk
membandingkan antara satu periode dengan periode lainnya. Sebagian besar Investor akan
menghitung dan membandingkannya pada awal periode dengan akhir periode untuk melihat
perubahaan pada pengembalian ekuitasnya. Dengan perbandingan per periode ini, investor dapat
melacak dan mengetahui perkembangan dan kemampuan perusahaan untuk mempertahankan tren
pendapatan yang positif.

Pengertian ROI (Return on Investment) dan Rumus ROI – Return on Investment yang sering disingkat
dengan ROI adalah rasio profitabilitas yang mengukur efisiensi sebuah investasi dengan
membandingkan laba bersih dengan total biaya atau modal yang diinvestasikan. Dengan kata
lain, Return on Investment atau ROI ini mengukur keuntungan atau kerugian yang dihasilkan dari
investasi terhadap jumlah uang yang diinvestasikan. Dalam bahasa Indonesia, Return on
Investment (ROI) ini sering disebut dengan Laba atas Investasi atau Tingkat Pengembalian Investasi.
Baca juga : Pengertian Rasio Profitabilitas dan Jenis-jenisnya.

Return on Investment atau ROI merupakan salah satu pendekatan yang paling umum digunakan untuk
mengevaluasi konsekuensi keuangan dari suatu keputusan dan tindakan investasi bisnis. ROI ini
dapat digunakan untuk keputusan keuangan pribadi, membandingkan profitabilitas perusahaan
ataupun untuk membandingkan efisiensi investasi. Jika hasil perhitungan Return on Investment atau
ROI ini pada suatu rencana investasi adalah positif dan tidak ada lagi peluang untuk memperoleh
hasil ROI yang lebih tinggi lagi maka investasi tersebut dapat dilakukan.

Pada dasarnya, Return on Investment atau ROI ini adalah rasio keuangan yang penting untuk :

1. Membuat keputusan pembelian aset (gedung, komputer, kendaraan dan mesin produksi)
2. Membuat keputusan pendanaan untuk proyek dan berbagai jenis program (contohnya
program pengrekrutan, program pelatihan dan program pemasaran)
3. Membuat keputusan investasi saham atau investasi pada modal ventura (venture capital)
Cara Menghitung Return on Investment (ROI) atau Laba atas Investasi

Berikut ini adalah cara untuk menghitung Return on Investment (ROI) beserta rumus dan contoh
kasusnya.

Rumus ROI (Return on Investment)


Return on Investment (ROI) atau Laba atas Investasi dihitung dengan cara mengurangi biaya investasi
dari Total Pendapatan dan membaginya dengan total biaya investasi. Hasil dari perhitungan ROI ini
dapat berupa persentase ataupun Rasio. Berikut ini adalah persamaan atau rumus Return on
Investment (ROI) atau Laba atas Investasi :

ROI = (Pendapatan dari Investasi – Biaya Investasi) / Biaya Investasi


Perlu diketahui bahwa defini dan rumus tingkat pengembalian investasi atau laba atas Investasi atau
ROI ini dapat dimodifikasi agar sesuai dengan keadaan dan pada dasarnya adalah tergantung pada
apa yang dimasukan sebagai pengembalian (return) dan biaya (cost). Sebagai contoh, seorang
manajer produksi mungkin akan menggunakan rumus ROI ini untuk menghitung tingkat
pengembalian suatu mesin produksi yang akan dibelinya sedangkan seorang investor mungkin akan
menggunakan rumus ROI ini untuk menghitung Laba atas Investasi Sahamnya. Jadi dengan kata
lain, rumus ROI dapat sangat fleksibel tergantung pada apa yang ingin diukur atau apa yang ingin
ditunjukan ke penggunanya.

Contoh Perhitungan Return on Investment (ROI) atau Laba atas Investasi


Berikut ini adalah dua contoh perhitungan Return on Investment atau ROI.

Contoh 1

Seorang Investor membeli saham sebanyak 50.000 lembar saham dengan harga Rp. 1.000,- per
lembar saham. Setahun kemudian Investor tersebut menjual sahamnya senilai Rp. 2.500,- per
lembar saham. Berapakah ROI pada saham tersebut?

Diketahui :

Pendapatan dari Investasi = Rp. 125.000.000,- (dari perhitungan 50.000 x Rp, 2.500,-)
Biaya Investasi = Rp. 50.000.000,- (dari perhitungan 50.000 x Rp. 1.000,-)
ROI = ?

Penyelesaian :

ROI = (125.000.000 – 50.000.000) / 50.000.000


ROI = 75.000.000 / 50.000.000
ROI = 1,5 atau 150%

Return on Investment atau ROI pada saham yang dibeli Investor tersebut adalah sebesar 1.5 kali
atau 150%.

Contoh 2

Seorang Manajer Produksi ingin membeli mesin packing seharga Rp. 160 juta. Dengan mesin
packing tersebut, produksi dapat menghemat penggunaan tenaga kerja sebanyak 9 orang. Gaji
setiap tenaga kerja adalah sebesar Rp. 3 juta. Berapakah ROI untuk mesin packing tersebut selama
setahun ?

Diketahui :

Pendapatan dari Investasi = Rp. 324.000.000,- (dari perhitungan 3 juta x 9 orang x 12 bulan)
Biaya Investasi = Rp. 160.000.000,-
ROI = ?

ROI = (324.000.000 – 160.000.000) / 160.000.000


ROI = (164.000.000) / 160.000.000
ROI = 1,025 atau 102,5%
Jadi ROI atau tingkat pengembalian investasi Mesin Packing tersebut adalah sebesar 1,025 kali
atau 102,5%.

Analisis dan Penilaian Return on Investment (Laba atas Investasi) atau ROI

Umumnya, setiap Investasi yang bernilai ROI positif dapat dianggap sebagai investasi yang
memberikan pengembalian yang baik. ROI positif menandakan bahwa total biaya investasi dapat
dikembalikan dan juga dapat memperoleh laba dari sisa biaya investasi tersebut. Sedangkan ROI
negatif menunjukan Pendapatan yang didapatnya tidak dapat menutupi total biaya investasi yang
dikeluarkannya. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa tingkat pengembalian atau ROI yang
lebih tinggi akan lebih baik dari tingkat pengembalian atau ROI yang bernilai rendah.

Perhitungan ROI ini sangat fleksibel dan dapat digunakan untuk investasi apapun. Manajemen
perusahaan dapat menggunakan ROI ini untuk mengukur laba atas modal yang diinvestasikan,
Investor dapat menggunakannya untuk mengukur kinerja saham yang mereka investasikan
sedangkan Individu dapat menggunakan Return on Investment ini untuk mengukur laba atas aset
mereka.

Anda mungkin juga menyukai