Anda di halaman 1dari 13

Referat 1

AVOIDANT/RESTRICTIVE FOOD INTAKE DISORDER


(ARFID)

Oleh:
dr. Emy Pramita Utami / C175172003

Pembimbing:
dr. Agussalim Bukhari, M.Med, Ph.D, Sp.GK (K)

PROGRAM PENDIDIKAN DOKTER SPESIALIS


BAGIAN ILMU GIZI KLINIK
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR
2019
BAB I
PENDAHULUAN

Avoidant/Restrictive Food Intake Disorder (ARFID) sebelumnya dikenal


sebagai selective eating disorder (SED), merupakan suatu diagnosis baru dalam
DSM-5 yang baru dipublikasikan, literatur yang membahas pasien-pasien dengan
ARFID masih sangat sedikit. Berdasarkan versi DSM-4 (Diagnostic and Statistical
Manual of Mental Disorders) yang sebelumnya, anak-anak dan remaja tidak mudah
didiagnosis dengan eating disorders (ED).1
Lebih dari 50% pasien ARFID dikategorikan dalam Eating Disorder Not
Otherwise specified (EDNOS), hal ini menimbulkan suatu misdiagnosis dan
ketidaktepatan terapi. Feeding disorder atau gangguan makan pada masa bayi dan
awal kanak-kanak sampai usia 6 tahun, didefinisikan sebagai gangguan makan yang
permanen (persistent eating dysfunction) yang menyebabkan menurunnya berat
badan atau kegagalan bertambahnya berat badan.1
Pelaporan kasus-kasus pasien dengan ARFID sangat sedikit yang
dipublikasikan. Data yang terbaru dari sebuah penelitian multisenter yang
melibatkan anak-anak dan remaja dengan program terapi gangguan makan,
ditemukan hasilnya 14 % dari responder dikategorikan sebagai ARFID dengan
karakteristik klinis yang beragam, diantaranya ditemukan usia yang sangat dini dan
sebagian besarnya adalah laki-laki.2,3
Sebuah review retrospektif selama 11 tahun pada orang dewasa dengan
gangguan makan di Kanada melaporkan prevalensi ARFID sebanyak 5 %.4
Beberapa kebiasaan dan gejala yang khas pada kelompok ARFID diantaranya
menghindari makanan tertentu, selera makan yang menurun, nyeri perut dan
emetophobia (fobia terhadap muntah). Kedua penelitian tersebut diatas termasuk
didalamnya kasus-kasus yang baru terdiagnosis dan mengikuti program terapi
gangguan makan.1
Sebagian besar pasien ARFID berusia di atas 6 tahun pada saat awal
evaluasi ED, walaupun beberapa diantaranya memiliki gejala sejak usia dini dan

1
sudah terdiagnosis EDNOS sebelumnya. Gangguan makan pada bayi atau anak usia
dini juga mengeksklusi anak-anak dengan pola makan abnormal atau kekurangan
gizi atau asupan yang terbatas, tetapi yang proses pertumbuhannya dapat berjalan
secara normal bisa disebabkan karena asupan kalori yang masih tercukupi atau
mungkin karena penggunaan suplementasi gizi.5
Gangguan makan yang mirip dengan karakteristik ARFID sangat umum
terjadi pada orang dewasa. Penghindaran dan pembatasan makanan karena persepsi
alergi makanan dan intoleransi adalah alasan spesifik untuk pola asupan yang
terbatas seperti itu.6
Pada tinjauan pustaka ini akan dibahas tentang ARFID dan kaitannya
dengan edukasi gizi. Diharapkan tinjauan pustaka ini dapat memperkaya wawasan
tentang karakteristik gangguan makan, khususnya ARFID dan edukasi gizi yang
dapat dilakukan.

2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi
Avoidant/Restrictive Food Intake Disorder (ARFID) sebelumnya dikenal
sebagai selective eating disorder (SED), merupakan suatu diagnosis baru dalam
DSM-5 yang baru dipublikasikan,1 gangguan makan tipe ini sama seriusnya dengan
Anorexia dan Bulimia. Meskipun gejala ARFID bisa jadi terlihat seperti fussy
eating, ARFID sebenarnya adalah fobia makanan dengan derajat yang berat.
ARFID umumnya dimulai pada anak usia dini dan dapat bertahan seumur hidup
jika tidak ditangani dengan baik.7
Penderita ARFID memiliki daftar 'makanan aman' yang sangat sedikit dan
membatasi asupan gizi mereka. Hal itu dapat menyebabkan masalah kesehatan
jangka panjang yang merugikan. Jika penderita ARFID dipaksa atau dibujuk untuk
mencoba makanan 'tidak aman' tersebut, biasanya akan mengakibatkan kecemasan,
stress, kemarahan, menangis, tersedak atau muntah. Penderita ARFID tidak
membatasi pilihan makanan mereka secara sadar. ARFID didefinisikan juga
sebagai fobia makanan dengan derajat yang berat, dengan mekanisme yang sama
seperti seseorang yang fobia laba-laba dan kehilangan kendali sadar atas reaksi
mereka ketika muncul laba-laba dihadapannya, sehingga penderita ARFID
memiliki respon rasa takut yang sama ketika dihadapkan dengan makanan yang
dianggap tidak aman.7

2.2 Kriteria Diagnosis8


Berdasarkan Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders edisi
ke-5, ARFID dapat didiagnosis melalui beberapa tanda dan gejala berikut :
1. Gangguan makan (misal, tampak tidak berselera terhadap makanan,
menghindari jenis makanan tertentu berdasarkan karakteristik sensorisnya, fokus
pada timbulnya gejala aversif) yang disertai penghindaran yang bersifat
persisten sehingga gagal dalam memenuhi kebutuhan nutrisi yang dibutuhkan

3
dan/atau kebutuhan energi yang berhubungan dengan satu atau lebih manifestasi
klinik berikut :
a. Penurunan berat badan yang signifikan (atau kegagalan dalam mencapai
berat badan yang diharapkan atau gagal tumbuh pada anak-anak)
b. Defisiensi zat gizi yang tampak secara fisik
c. Ketergantungan pada feeding tube atau Oral Nutritional Supplements
d. Terdapat tanda gangguan fungsi psikososial.
2. Gangguan makan tidak dicetuskan oleh keterbatasan persediaan pangan atau
preferensi berdasarkan kultur tertentu.
3. Tidak terjadi berdasarkan citra tubuh atau keinginan memiliki postur tubuh kurus
seperti pada Anorexia Nervosa (AN) atau Bulimia Nervosa (BN).
4. Gangguan makan yang terjadi tidak berhubungan secara langsung dengan
kondisi medis tertentu atau suatu gangguan mental, derajat keparahannya
berhubungan dengan kebutuhan penatalaksanaan secara khusus.

Tabel 1. Kriteria diagnosis untuk Avoidant/Restrictive Food Intake Disorder

4
Penderita ARFID memiliki ketidakmampuan untuk mengkonsumsi suatu
makanan, "makanan yang dianggap aman" terbatas pada jenis makanan tertentu,
bahkan dengan spesifik merek tertentu. Pada beberapa kasus, para penderita ARFID
mengeksklusi sejumlah besar jenis makanan seperti sayur dan buah. Bahkan
penolakan terhadap suatu jenis makanan juga dapat terjadi hanya berdasarkan
pemilihan warna, suhu makanan saat dihidangkan, tekstur dan ada tidaknya kuah
pada makanan.9
Penderita ARFID seringkali mengalami gejala-gejala pada gastrointestinal
seperti memaksakan diri untuk muntah sampai dengan benar-benar muntah dan
tersedak. Beberapa penelitian menyebutkan, penderita ARFID juga mengalami
gejala-gejala antisosial akibat dari kebiasaan makannya. Sebagian besar penderita
sebenarnya dapat mengubah kebiasaan makannya, jika mau.9
Pada anak-anak yang memilih-milih makanan dapat dibujuk dan disuap
untuk makan, atau dapat juga dijanjikan es krim dan perjalanan ke tempat-tempat
yang menyenangkan. Tetapi pada penderita ARFID bujukan dan janji-jani tidak
akan berhasil membuat mereka makan makanan yang tidak diinginkan, bahkan jika
kelaparan, otak mereka tidak akan membiarkan mereka makan dan menelan
makanan tersebut. Penderita ARFID akan sering muntah atau dengan sengaja
memuntahkan jika dipaksa untuk makan makanan yang tidak dianggap aman oleh
persepsi mereka.9
Alasan paling umum yang dikemukakan oleh pasien-pasien ARFID secara
keseluruhan dikaitkan dengan kekhawatiran akan gejala aversif, seperti merasa
memiliki gejala intoleransi, alergi makanan dan merasa benci dengan makanan.
Penghindaran berdasarkan karakteristik sensorik makanan seperti rasa, bau atau
tekstur, dilaporkan relatif lebih jarang. Masalah dengan disfagia fungsional secara
spesifik, seperti tersangkut di tenggorokan dan pengalaman masa lalu yang buruk,
jarang dilaporkan.6

2.3 Penatalaksanaan
Seiring waktu, gejala-gejala ARFID dapat berkurang dan pada akhirnya
menghilang tanpa pengobatan. Tetapi untuk beberapa kasus, pengobatan akan

5
diperlukan karena gejalanya berlanjut hingga dewasa. Jenis terapi yang paling
umum untuk ARFID adalah beberapa bentuk terapi perilaku-kognitif.
Berkonsultasi dengan dokter dapat membantu perubahan perilaku lebih cepat
daripada tanpa terapi. Dapat juga berkumpul dengan kelompok-kelompok
dukungan untuk orang dewasa dengan ARFID.7

Gambar 1. Protokol Rehabilitasi Nutrisi bagi pasien Eating Disorder10

Pemantauan Kualitas Hidup


ARFID dikaitkan dengan defisiensi nutrisi, yang dapat termanifestasi
sebagai fatigue atau gejala fisik lainnya. Health Related Quality of Life (HRQoL)
relatif tidak terganggu untuk EDNOS dan Unspecified Feeding or Eating Disorder
(UFED) termasuk ARFID yang berada dalam kategori tersebut.11

2.4 Edukasi Gizi12


Faktor kunci dalam perubahan perilaku makan adalah kesiapan dan
motivasi seseorang untuk berubah. Edukasi gizi dan tahapan konselingnya
membutuhkan informasi dan motivasi yang kasuistik, dapat diselenggarakan secara

6
individual atau berkelompok. Strategi semacam ini lebih berkesan karena ada
transmisi pengetahuan dan wawasan baru bagi pasien dan menjadi prioritas sebagai
usaha preventif dibandingkan terapeutik.
Dalam hal konseling secara individual, perlu dipahamkan bahwa tujuan dari
edukasi gizi adalah untuk membantu pasien membuat suatu perubahan yang
bermakna dalam perilaku makan yang mereka lakukan.
Perubahan perilaku membutuhkan fokus pencapaian yang tampak nyata
dilihat dari preferensi pasien dalam memilih makanan dan minuman saat mereka
sudah berada kembali dilingkungan tinggal atau komunitasnya sehari-hari. Setiap
perubahan perilaku yang terjadi pada pasien berimplikasi pada penggunaan metode
dalam mempengaruhi perilaku selanjutnya sembari terus dilakukan evaluasi pada
setiap reaksi positif ataupun negatif terhadap lingkungan pasien. Dalam konteks
nutrisi, edukasi dan konseling dapat membantu pasien untuk mencapai tujuan sehat,
baik jangka pendek maupun jangka panjang.

Faktor-faktor yang mempengaruhi kemampuan untuk berubah


Multi faktor yang mempengaruhi kemampuan pasien ED untuk dapat
melakukan perbaikan perilaku makan, selain dari kemampuan pemberi edukasi
dalam menyampaikan informasi-informasi terkait nutrisi, juga kemampuan untuk
menstimulasi dan mendukung sekecil apapun perubahan yang dilakukan oleh
pasien. Beberapa faktor yang juga turut berperan dalam hambatan pemenuhan
asupan yang sehat diantaranya terbatasnya finansial, lingkungan sekitar yang tidak
kondusif, kurangnya dukungan keluarga dan kurangnya pengetahuan/wawasan
mengenai gizi seimbang. Kemampuan merubah perilaku pada pasien juga sangat
dipengaruhi budaya dan kebiasaan di lingkungan keluarga.
Faktor fisik dan psikis menjadi penyulit bagi perubahan perilaku khususnya
untuk pasien-pasien lansia. Mereka membutuhkan program edukasi dan konseling
yang sesuai dengan keterbatasan penglihatan, pendengaran, mobilisasi dan fungsi
kognitifnya (Kamp et al, 2010). Untuk pasien anak-anak, hambatan dalam
perubahan perilaku makan berhubungan dengan rasa, tekstur dan tampilan makanan
menarik atau tidaknya (Nicklas et al, 2013).

7
Strategi perubahan perilaku
Perubahan perilaku adalah tujuan utama dari edukasi dan konseling gizi.
Segala modalitas yang dapat menguatkan informasi yang diberikan harus disertakan
seperti pamflet, leaflet, food models dan sebagainya, walaupun biasanya modalitas
tersebut kecil pengaruhnya terhadap perubahan perilaku makan. Klinisi yang
profesional dapat memberi dukungan bagi pasien dalam memutuskan apa dan
kapan perilaku dapat berubah dengan mempelajari beberapa teori perubahan
perilaku sehat, beberapa diantaranya adalah sebagai berikut:

Health Belief Model


Health belief model (HBM) fokus pada kondisi pasien dan penyakit yang
mendasari yang dapat mempengaruhi perilaku yang terkait penyakitnya
(Rosenstock, 1974). Metode HBM telah lama digunakan terutama pada perilaku
pasien dengan Diabetes dan Osteoporosis, titik tekannya pada penyelesaian
masalah dan manfaat perubahan perilaku (James et al, 2012; Plawecki and
Chapman-Novakofski, 2013).

Social Cognitive Theory


Social cognitive theory (SCT) merepresentasikan hubungan dan interaksi dari
faktor-faktor personal, perilaku dan lingkungan (Bandura, 1977, 1986). Teori ini
secara luas meliputi berbagai variabel diantaranya efikasi diri, tujuan akhir dan
pencegahan kekambuhan (Poddar et al, 2012).

Theory of Planned Behavior


The theory of planned behavior (TPB) dan tindakan pendekatan didasarkan pada
konsep bahwa niat dapat memprediksi perilaku (Ajzen, 1991; Fishbein dan Ajzen,
2010). Niatan diprediksi oleh sikap, norma subyektif (orang lain yang bermakna
penting), dan kontrol yang dirasakan. Teori ini paling berhasil ketika perilaku
diskrit telah ditargetkan (misal, asupan sayuran) karena telah diyakini manfaatnya
untuk konsumsi makanan sehat (Sheats et al, 2013).

8
Transtheoretical Model of Change
The transtheoretical model (TTM) atau tahapan model perubahan, telah digunakan
selama bertahun-tahun untuk mengubah perilaku adiktif dan sering digambarkan
sebagai "tailored education." TTM menggambarkan perubahan perilaku sebagai
proses di mana individu berkembang melalui serangkaian tahapan perubahan yang
berbeda (Prochaska dan Norcross, 2001). Nilai TTM adalah dalam menentukan
tahap individu saat ini, kemudian menggunakan proses perubahan yang cocok
dengan tahap itu (Mochari-Greenberger et al, 2010).

Strategi dalam konseling


Cognitive behavioral therapy (CBT) adalah suatu psikoterapi yang
berorientasi pada kombinasi antara prinsip perilaku dan fungsi kognitif, fokus pada
identifikasi dan strategi meluruskan pemikiran yang salah terhadap persepsi diri,
lingkungan dan konsekuensi perilaku. Secara langsung CBT mengarahkan pasien
untuk memodulasi disfungsi persepsi dan perilakunya. Metode seperti ini cukup
efektif diterapkan pada orang dewasa dengan eating disorder, walaupun ada
metode-metode lain yang juga menunjukkan efektivitas yang tidak kalah dari CBT
(Kass et al, 2013). Seorang konselor CBT mampu membantu pasien
mengeksplorasi permasalahan mendasar, menguatkan keterampilan coping
(mengendalikan dan menerima diri dengan segala permasalahannya) dan
berkonsentrasi dengan kemampuan dan kelebihan-kelebihannya (Beck, 2011).
Penilaian self-report dapat digunakan untuk tujuan skrining, dimana
wawancara terstruktur seringkali digunakan untuk mengkonfirmasi diagnosis atau
menilai respon terhadap terapi. Instrumen yang biasa digunakan diantaranya Eating
Attitudes Test (Eat-26), Eating Disorder Inventory, Eating Disorder Examination,
Eating Disorders Questionnaire dan The Yale-Brown-Cornell Eating Disorder
Scale (APA, 2006).

9
Tabel 1. Counseling Strategies Using the Stages of Change Model in Eating
Disorders

10
DAFTAR PUSTAKA

1. Nicely TA, et al. Prevalence and characteristics of avoidant/restrictive food


intake disorder in a cohort of young patients in day treatment for eating
disorders. J Eat Disord 2014, 2:21.

2. Ornstein RM, et al. Distribution of eating disorders in children and


adolescents using the proposed DSM-5 criteria for feeding and eating
disorders. J Adolesc Health 2013, 53(2):303–305.
(doi.org/101016/j.jadohealth.2013.03.025)

3. Fisher MM, et al. Characteristics of avoidant/restrictive food intake disorder in


children and adolescents: a “new disorder” in DSM-5. J Adolesc Health 2014,
55(1):49–52.

4. Norris ML, et al. Exploring avoidant/restrictive food intake disorder in eating


disordered patients: a descriptive study. Int J Eat Disord 2013, 47(5):495–499.

5. Nicholls D, Bryant-Waugh R. Eating disorders of infancy and childhood:


definition, symptomatology, epidemiology, and comorbidity. Child Adolesc
Psychiatr Clin N Am 2009, 18(1):17–30.

6. Fitzgerald M, Frankum B. Food avoidance and restriction in adults: a cross-


sectional pilot study comparing patients from an immunology clinic to a general
practice. Journal of Eating Disorders 2017, 5:30. (DOI 10.1186/s40337-017-
0160-4)

7. Nicholls D, et al. Selective Eating: Symptom, Disorder or Normal Variant.


Clinical Child Psychology and Psychiatry 2001, 6(2): 257–270.

11
8. APA. Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders. 5th edition.
American Psychiatric Association; 2013.

9. Bryant-Waugh R. Avoidant restrictive food intake disorder: An illustrative case


example. International Journal of Eating Disorders 2013, 46(5): 420– 423. (DOI:
10.1002/eat.22093)

10. Peebles R et al. Outcomes of an inpatient medical nutritional rehabilitation


protocol in children and adolescents with eating disorders. Journal of Eating
Disorders (2017) 5:7. (DOI 10.1186/s40337-017-0134-6)

11. Hay P, et al. Burden and health-related quality of life of eating disorders,
including Avoidant/ Restrictive Food Intake Disorder (ARFID), in the Australian
population. Journal of Eating Disorders 2017, 5:21. (DOI 10.1186/s40337-017-
0149-z)

12. Mahan LK, Raymond JL. Krause’s Food & The Nutrition Care Process. 14th
edition: St. Louis, Missouri. Elsevier 2017, 227-236, 407-424.

12

Anda mungkin juga menyukai