Oleh:
dr. Emy Pramita Utami / C175172003
Pembimbing:
dr. Agussalim Bukhari, M.Med, Ph.D, Sp.GK (K)
1
sudah terdiagnosis EDNOS sebelumnya. Gangguan makan pada bayi atau anak usia
dini juga mengeksklusi anak-anak dengan pola makan abnormal atau kekurangan
gizi atau asupan yang terbatas, tetapi yang proses pertumbuhannya dapat berjalan
secara normal bisa disebabkan karena asupan kalori yang masih tercukupi atau
mungkin karena penggunaan suplementasi gizi.5
Gangguan makan yang mirip dengan karakteristik ARFID sangat umum
terjadi pada orang dewasa. Penghindaran dan pembatasan makanan karena persepsi
alergi makanan dan intoleransi adalah alasan spesifik untuk pola asupan yang
terbatas seperti itu.6
Pada tinjauan pustaka ini akan dibahas tentang ARFID dan kaitannya
dengan edukasi gizi. Diharapkan tinjauan pustaka ini dapat memperkaya wawasan
tentang karakteristik gangguan makan, khususnya ARFID dan edukasi gizi yang
dapat dilakukan.
2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi
Avoidant/Restrictive Food Intake Disorder (ARFID) sebelumnya dikenal
sebagai selective eating disorder (SED), merupakan suatu diagnosis baru dalam
DSM-5 yang baru dipublikasikan,1 gangguan makan tipe ini sama seriusnya dengan
Anorexia dan Bulimia. Meskipun gejala ARFID bisa jadi terlihat seperti fussy
eating, ARFID sebenarnya adalah fobia makanan dengan derajat yang berat.
ARFID umumnya dimulai pada anak usia dini dan dapat bertahan seumur hidup
jika tidak ditangani dengan baik.7
Penderita ARFID memiliki daftar 'makanan aman' yang sangat sedikit dan
membatasi asupan gizi mereka. Hal itu dapat menyebabkan masalah kesehatan
jangka panjang yang merugikan. Jika penderita ARFID dipaksa atau dibujuk untuk
mencoba makanan 'tidak aman' tersebut, biasanya akan mengakibatkan kecemasan,
stress, kemarahan, menangis, tersedak atau muntah. Penderita ARFID tidak
membatasi pilihan makanan mereka secara sadar. ARFID didefinisikan juga
sebagai fobia makanan dengan derajat yang berat, dengan mekanisme yang sama
seperti seseorang yang fobia laba-laba dan kehilangan kendali sadar atas reaksi
mereka ketika muncul laba-laba dihadapannya, sehingga penderita ARFID
memiliki respon rasa takut yang sama ketika dihadapkan dengan makanan yang
dianggap tidak aman.7
3
dan/atau kebutuhan energi yang berhubungan dengan satu atau lebih manifestasi
klinik berikut :
a. Penurunan berat badan yang signifikan (atau kegagalan dalam mencapai
berat badan yang diharapkan atau gagal tumbuh pada anak-anak)
b. Defisiensi zat gizi yang tampak secara fisik
c. Ketergantungan pada feeding tube atau Oral Nutritional Supplements
d. Terdapat tanda gangguan fungsi psikososial.
2. Gangguan makan tidak dicetuskan oleh keterbatasan persediaan pangan atau
preferensi berdasarkan kultur tertentu.
3. Tidak terjadi berdasarkan citra tubuh atau keinginan memiliki postur tubuh kurus
seperti pada Anorexia Nervosa (AN) atau Bulimia Nervosa (BN).
4. Gangguan makan yang terjadi tidak berhubungan secara langsung dengan
kondisi medis tertentu atau suatu gangguan mental, derajat keparahannya
berhubungan dengan kebutuhan penatalaksanaan secara khusus.
4
Penderita ARFID memiliki ketidakmampuan untuk mengkonsumsi suatu
makanan, "makanan yang dianggap aman" terbatas pada jenis makanan tertentu,
bahkan dengan spesifik merek tertentu. Pada beberapa kasus, para penderita ARFID
mengeksklusi sejumlah besar jenis makanan seperti sayur dan buah. Bahkan
penolakan terhadap suatu jenis makanan juga dapat terjadi hanya berdasarkan
pemilihan warna, suhu makanan saat dihidangkan, tekstur dan ada tidaknya kuah
pada makanan.9
Penderita ARFID seringkali mengalami gejala-gejala pada gastrointestinal
seperti memaksakan diri untuk muntah sampai dengan benar-benar muntah dan
tersedak. Beberapa penelitian menyebutkan, penderita ARFID juga mengalami
gejala-gejala antisosial akibat dari kebiasaan makannya. Sebagian besar penderita
sebenarnya dapat mengubah kebiasaan makannya, jika mau.9
Pada anak-anak yang memilih-milih makanan dapat dibujuk dan disuap
untuk makan, atau dapat juga dijanjikan es krim dan perjalanan ke tempat-tempat
yang menyenangkan. Tetapi pada penderita ARFID bujukan dan janji-jani tidak
akan berhasil membuat mereka makan makanan yang tidak diinginkan, bahkan jika
kelaparan, otak mereka tidak akan membiarkan mereka makan dan menelan
makanan tersebut. Penderita ARFID akan sering muntah atau dengan sengaja
memuntahkan jika dipaksa untuk makan makanan yang tidak dianggap aman oleh
persepsi mereka.9
Alasan paling umum yang dikemukakan oleh pasien-pasien ARFID secara
keseluruhan dikaitkan dengan kekhawatiran akan gejala aversif, seperti merasa
memiliki gejala intoleransi, alergi makanan dan merasa benci dengan makanan.
Penghindaran berdasarkan karakteristik sensorik makanan seperti rasa, bau atau
tekstur, dilaporkan relatif lebih jarang. Masalah dengan disfagia fungsional secara
spesifik, seperti tersangkut di tenggorokan dan pengalaman masa lalu yang buruk,
jarang dilaporkan.6
2.3 Penatalaksanaan
Seiring waktu, gejala-gejala ARFID dapat berkurang dan pada akhirnya
menghilang tanpa pengobatan. Tetapi untuk beberapa kasus, pengobatan akan
5
diperlukan karena gejalanya berlanjut hingga dewasa. Jenis terapi yang paling
umum untuk ARFID adalah beberapa bentuk terapi perilaku-kognitif.
Berkonsultasi dengan dokter dapat membantu perubahan perilaku lebih cepat
daripada tanpa terapi. Dapat juga berkumpul dengan kelompok-kelompok
dukungan untuk orang dewasa dengan ARFID.7
6
individual atau berkelompok. Strategi semacam ini lebih berkesan karena ada
transmisi pengetahuan dan wawasan baru bagi pasien dan menjadi prioritas sebagai
usaha preventif dibandingkan terapeutik.
Dalam hal konseling secara individual, perlu dipahamkan bahwa tujuan dari
edukasi gizi adalah untuk membantu pasien membuat suatu perubahan yang
bermakna dalam perilaku makan yang mereka lakukan.
Perubahan perilaku membutuhkan fokus pencapaian yang tampak nyata
dilihat dari preferensi pasien dalam memilih makanan dan minuman saat mereka
sudah berada kembali dilingkungan tinggal atau komunitasnya sehari-hari. Setiap
perubahan perilaku yang terjadi pada pasien berimplikasi pada penggunaan metode
dalam mempengaruhi perilaku selanjutnya sembari terus dilakukan evaluasi pada
setiap reaksi positif ataupun negatif terhadap lingkungan pasien. Dalam konteks
nutrisi, edukasi dan konseling dapat membantu pasien untuk mencapai tujuan sehat,
baik jangka pendek maupun jangka panjang.
7
Strategi perubahan perilaku
Perubahan perilaku adalah tujuan utama dari edukasi dan konseling gizi.
Segala modalitas yang dapat menguatkan informasi yang diberikan harus disertakan
seperti pamflet, leaflet, food models dan sebagainya, walaupun biasanya modalitas
tersebut kecil pengaruhnya terhadap perubahan perilaku makan. Klinisi yang
profesional dapat memberi dukungan bagi pasien dalam memutuskan apa dan
kapan perilaku dapat berubah dengan mempelajari beberapa teori perubahan
perilaku sehat, beberapa diantaranya adalah sebagai berikut:
8
Transtheoretical Model of Change
The transtheoretical model (TTM) atau tahapan model perubahan, telah digunakan
selama bertahun-tahun untuk mengubah perilaku adiktif dan sering digambarkan
sebagai "tailored education." TTM menggambarkan perubahan perilaku sebagai
proses di mana individu berkembang melalui serangkaian tahapan perubahan yang
berbeda (Prochaska dan Norcross, 2001). Nilai TTM adalah dalam menentukan
tahap individu saat ini, kemudian menggunakan proses perubahan yang cocok
dengan tahap itu (Mochari-Greenberger et al, 2010).
9
Tabel 1. Counseling Strategies Using the Stages of Change Model in Eating
Disorders
10
DAFTAR PUSTAKA
11
8. APA. Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders. 5th edition.
American Psychiatric Association; 2013.
11. Hay P, et al. Burden and health-related quality of life of eating disorders,
including Avoidant/ Restrictive Food Intake Disorder (ARFID), in the Australian
population. Journal of Eating Disorders 2017, 5:21. (DOI 10.1186/s40337-017-
0149-z)
12. Mahan LK, Raymond JL. Krause’s Food & The Nutrition Care Process. 14th
edition: St. Louis, Missouri. Elsevier 2017, 227-236, 407-424.
12