Anda di halaman 1dari 15

BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Menurut Thompson (1981) Dilema Etik merupakan suatu masalah yang sulit dimana
tidak ada alternatif yang memuaskan atau situasi dimana alternatif yang memuaskan atau
tidak memuaskan sebanding. Dilema etik merupakan suatu masalah yang sulit dimana tidak
ada alternatif yang memuaskan atau suatu situasi dimana alternatif yang memuaskan dan
tidak memuaskan sebanding. Masalah etika keperawatan pada dasarnya merupakan masalah
etika kesehatan, yang lebih dikenal dengan istilah etika biomedis atau bioetis (Suhaemi,
2002). Dalam dilema etik tidak ada yang benar atau salah. Untuk membuat keputusan yang
etis, seseorang harus tergantung pada pemikiran yang rasional dan bukan emosional. Dilema
etika adalah situasi yang dihadapi seseorang dimana keputusan mengenai perilaku yang layak
harus di buat. (Arens dan Loebbecke, 1991: 77). Untuk itu diperlukan pengambilan
keputusan untuk menghadapi dilema etika tersebut.
Menurut Thompson dan Thompson (1985). dilema etik merupakan suatu masalah yang
sulit untuk diputuskan, dimana tidak ada alternative yang memuaskan atau suatu situasi
dimana alternative yang memuaskan dan tidak memuaskan sebanding. Dalam dilema etik
tidak ada yang benar atau salah. Dan untuk membuat keputusan etis,seseorang harus
bergantung pada pemikiran yang rasional dan bukan emosional. Kerangka pemecahan dilema
etik banyak diutarakan oleh beberapa ahli yang pada dasarnya menggunakan kerangka proses
keperawatan dengan pemecahan masalah secara ilmiah.(sigman, 1986; lih. Kozier, erb,
1991).

B. TUJUAN

Tujuan umum dibuatnya penulisan ini yaitu :


1. Untuk mengenal lebih jelas tentang dilema etik
2. Untuk mengenal lebih jelas tentang dilema etik pengambilan keputusan

Tujuan khusus :

Untuk memenuhi tugas mata kuliah etika keperawatan

1
BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian Dilema Etik

Etik adalah norma-norma yang menentukan baik-buruknya tingkah laku manusia, baik
secara sendirian maupun bersama-sama dan mengatur hidup ke arah tujuannya ( Pastur scalia,
1971 ). Etika juga berasal dari bahasa yunani, yaitu Ethos, yang menurut Araskar dan David
(1978) berarti ” kebiasaaan ”. ”model prilaku” atau standar yang diharapkan dan kriteria
tertentu untuk suatu tindakan. Penggunaan istilah etika sekarang ini banyak diartikan sebagai
motif atau dorongan yang mempengaruhi prilaku. (Mimin. 2002). Pada dilema etik ini sukar
untuk menentukan yang benar atau salah dan dapat menimbulkan stress pada perawat karena
dia tahu apa yang harus dilakukan, tetapi banyak rintangan untuk melakukannya. Dilema etik
biasa timbul akibat nilai-nilai perawat, klien atau lingkungan tidak lagi menjadi kohesif
sehingga timbul pertentangan dalam mengambil keputusan.
Enam pendekatan dapat dilakukan orang yang sedang menghadapi dilema tersebut, yaitu:
1. Mendapatkan fakta-fakta yang relevan.
2. Menentukan isu-isu etika dari fakta-fakta.
3. Menentukan siap dan bagaimana orang atau kelompok yang dipengaruhi dilema.
4. Menentukan alternatif yang tersedia dalam memecahkan dilema.
5. Menentukan konsekwensi yang mungkin dari setiap alternative.
6. Menetapkan tindakan yang tepat.
Dengan menerapkan enam pendekatan tersebut maka dapat meminimalisasi atau menghindari
rasionalisasi perilaku etis yang meliputi: (1) semua orang melakukannya, (2) jika legal maka
disana terdapat keetisan dan (3) kemungkinan ketahuan dan konsekuensinya.

B. Prinsip Moral dalam Menyelesaikan Masalah Etik


Dalam dilema etik tidak ada yang benar atau salah. Untuk membuat keputusan yang
etis, seseorang harus tergantung pada pemikiran yang rasional dan bukan emosional.
Prinsip-prinsip moral yang harus diterapkan oleh perawat dalam pendekatan penyelesaian
masalah / dilema etis adalah :
1. Otonomi

2
Suatu bentuk hak individu dalam mengatur kegiatan/prilaku dan tujuan hidup individu.
Kebebasan dalam memilih atau menerima suatu tanggung jawab terhadap pilihannya sendiri.
Prinsip otonomi menegaskan bahwa seseorang mempunyai kemerdekaan untuk menentukan
keputusan dirinya menurut rencana pilihannya sendiri. Bagian dari apa yang didiperlukan
dalam ide terhadap respect terhadap seseorang, menurut prinsip ini adalah menerima pilihan
individu tanpa memperhatikan apakah pilihan seperti itu adalah kepentingannya. (Curtin,
2002).
Permasalahan dari penerapan prinsip ini adalah adanya variasi kemampuan otonomi
pasien yang dipengaruhi oleh banyak hal, seperti tingkat kesadaran, usia, penyakit,
lingkungan Rumah Sakit, ekonomi, tersedianya informsi dan lain-lain (Priharjo, 1995).
Contoh: Kebebasan pasien untuk memilih pengobatan dan siapa yang berhak mengobatinya
sesuai dengan yang diinginkan .
2. Benefisiensi
Benefisiensi berarti hanya mengerjakan sesuatu yang baik. Kebaikan juga memerlukan
pencegahan dari kesalahan atau kejahatan, penghapusan kesalahan atau kejahatan dan
peningkatan kebaikan oleh diri dan orang lain. Kadang-kadang dalam situasi pelayanan
kesehatan kebaikan menjadi konflik dengan otonomi.
3. Keadilan (justice)
Hak setiap orang untuk diperlakukan sama (facione et all, 1991). Merupakan suatu prinsip
moral untuk berlaku adil bagi semua individu. Artinya individu mendapat tindakan yang
sama mempunyai kontribusi yang relative sama untuk kebaikan kehidupan seseorang. Prinsip
dari keadilan menurut beauchamp dan childress adalah mereka uang sederajat harus
diperlakukan sederajat, sedangkan yang tidak sederajat diperlakukan secara tidak sederajat,
sesuai dengan kebutuhan mereka.

4. Non malefisien
Prinsip ini berarti tidak menimbulkan bahaya atau cedera secara fisik dan psikologik.
Segala tindakan yang dilakukan pada klien.
5. Veracity (kejujuran)
Prinsip veracity berarti penuh dengan kebenaran. Nilai ini diperlukan oleh pemberi
layanan kesehatan untuk menyampaikan kebenaran pada setiap pasien dan untuk meyakinkan
bahwa pasien sangat mengerti. Prinsip veracity berhubungan dengan kemampuan seseorang
untuk mengatakan kebenaran. Informasi harus ada agar menjadi akurat, komprehensif dan
objektif untuk memfasilitasi pemahaman dan penerimaan materi yang ada, dan mengatakan

3
yang sebenarnya kepada pasien tentang segala sesuatu yang berhubungan dengan keadaan
dirinya salama menjalani perawatan.
Walaupun demikian terdapat beberapa argument mengatakan adanya batasan untuk
kejujuran seperti jika kebenaran akan kesalahan prognosis pasien untuk pemulihan, atau
adanya hubungan paternalistik bahwa “doctor knows best” sebab individu memiliki otonomi,
mereka memiliki hak untuk mendapatkan informasi penuh tentang kondisinya. Kebenaran
adalah dasar dalam membangun hubungan saling percaya.
6. Fidelity
Prinsip fidelity dibutuhkan individu untuk menghargai janji dan komitmennya
terhadap orang lain. Perawat setia pada komitmennya dan menepati janji serta menyimpan
rahasia pasien. Ketaatan, kesetiaan adalah kewajiban seeorang untuk mempertahankan
komitmen yang dibuatnya. Kesetiaan itu menggambarkan kepatuhan perawat terhadap kode
etik yang menyatakan bahwa tanggung jawab dasar dari perawat adalah untuk meningkatkan
kesehatan, mencegah penyakit, memulihkan kesehatan dan meminimalkan penderitaan.
7. Kerahasiaan (confidentiality).
Aturan dalam prinsip kerahasiaan ini adalah bahwa informasi tentang klien harus dijaga
privasi-nya. Apa yang terdapat dalam dokumen catatan kesehatan klien hanya boleh dibaca
dalam rangka pengobatan klien. Tak ada satu orangpun dapat memperoleh informasi tersebut
kecuali jika diijin kan oleh klien dengan bukti persetujuannya. Diskusi tentang klien diluar
area pelayanan, menyampaikannya pada teman atau keluarga tentang klien dengan tenaga
kesehatan lain harus dicegah.
8. Akuntabilitas (accountability)
Prinsip ini berhubungan erat dengan fidelity yang berarti bahwa tanggung jawab pasti
pada setiap tindakan dan dapat digunakan untuk menilai orang lain. Akuntabilitas merupakan
Standar yang pasti yang mana tindakan seorang professional dapat dinilai dalam
situasi yang tidak jelas atau tanpa terkecuali.
Langkah penyelesaian dilema etik menurut Tappen (2005) adalah :
1. Pengkajian.
Hal pertama yang perlu diketahui perawat adalah “adakah saya terlibat langsung dalam
dilema?”. Perawat perlu mendengar kedua sisi dengan menjadi pendengar yang berempati.
Target tahap ini adalah terkumpulnya data dari seluruh pengambil keputusan, dengan bantuan
pertanyaan yaitu:
a) Apa yang menjadi fakta medik?
b) Apa yang menjadi fakta psikososial?

4
c) Apa yang menjadi keinginan klien?
d) Apa nilai yang menjadi konflik?
2. Perencanaan.
Untuk merencanakan dengan tepat dan berhasil, setiap orang yang terlibat dalam
pengambilan keputusan harus masuk dalam proses. Thomson and Thomson (1985)
mendaftarkan 3 (tiga) hal yang sangat spesifik namun terintegrasi dalam perencanaan, yaitu :
a) Tentukan tujuan dari treatment.
b) Identifikasi pembuat keputusan
c) Daftarkan dan beri bobot seluruh opsi atau pilihan.

3. Implementasi
Selama implementasi, klien/keluarganya yang menjadi pengambil keputusan beserta
anggota tim kesehatan terlibat mencari kesepakatan putusan yang dapat diterima dan saling
menguntungkan. Harus terjadi komunikasi terbuka dan kadang diperlukan bernegosiasi.
Peran perawat selama implementasi adalah menjaga agar komunikasi tak memburuk, karena
dilema etis seringkali menimbulkan efek emosional seperti rasa bersalah, sedih atau berduka,
marah, dan emosi kuat yang lain. Pengaruh perasaan ini dapat menyebabkan kegagalan
komunikasi pada para pengambil keputusan. Perawat harus ingat “Saya disini untuk
melakukan yang terbaik bagi klien”.
Perawat harus menyadari bahwa dalam dilema etik tak selalu ada 2 (dua) alternatif yang
menarik, tetapi kadang terdapat alternatif tak menarik, bahkan tak mengenakkan. Sekali
tercapai kesepakatan, pengambil keputusan harus menjalankannya. Kadangkala kesepakatan
tak tercapai karena semua pihak tak dapat didamaikan dari konflik sistem dan nilai. Atau lain
waktu, perawat tak dapat menangkap perhatian utama klien. Seringkali klien atau keluarga
mengajukan permintaan yang sulit dipenuhi, dan di dalam situasi lain permintaan klien dapat
dihormati.

4. Evaluasi
Tujuan dari evaluasi adalah terselesaikannya dilema etis seperti yang ditentukan sebagai
outcome-nya. Perubahan status klien, kemungkinan treatment medik, dan fakta sosial dapat
dipakai untuk mengevaluasi ulang situasi dan akibat treatment perlu untuk dirubah.
Komunikasi diantara para pengambil keputusan masih harus dipelihara.

5
C. Dilema etik dalam pengambilan keputusan
1). Teori dasar pembuatan keputusan Etis

a. Teleologi

Teleologi (berasal dari bahasa Yunani telos, berarti akhir). Istilah teleo-logi dan
utilitarianisme sering digunakan saling bergantian. Teleologi me-rupakan suatu doktrin
yang menjelaskan fenomena berdasarkan akibat yang dihasilkan atau konsekuensi yang
dapat terjadi. Pendekatan ini sering disebut dengan ungkapan The end justifies the means
atau makna dari suatu tindakan ditentukan oleh hasil akhir yang terjadi. Teori ini
menekankan pada pencapaian hasil dengan kebaikan maksimal dan ketidakbaikan
sekecil mungkin bagi manusia (Kelly, 1987). Teori teleologi atau utilitarianisme dapat
dibedakan menjadi rule utili-tarianisme dan act utilitarianisme. Rule utilitarianisme
berprinsip bahwa manfaat atau nilai suatu tindakan tergantung pada sejauh mana
tindakan tersebut memberikan kebaikan atau kebahagiaan pada manusia. Act
utilita-rianisme bersifat lebih terbatas; tidak melibatkan aturan umum tetapi berupaya
menjelaskan pada suatu situasi tertentu, dengan pertimbangan terhadap tindakan apa
yang dapat memberikan kebaikan sebanyak-banyaknya atau ketidakbaikan sekecil-
kecilnya pada individu. Contoh penerapan teori ini misalny a bayi-bayi yang lahir cacat
lebih baik diizinkan meninggal daripada nantinya menjadi beban di masyarakat.

b. Deontologi (Formalisme)

Deontologi (berasal dari bahasa Yunani deon, berarti tugas) berprinsip pada aksi atau
tindakan. Menurut Kant, benar atau salah bukan ditentukan oleh hasil akhir atau
konsekuensi dari suatu tindakan, melainkan oleh nilai moralnya. Dalam konteknya di
sini perhatian difokuskan pada tindakan melakukan tanggung jawab moral yang dapat
memberikan penentu apakah tindakan tersebut secara moral benar atau salah. Kant
berpendapat prinsip-prinsip moral atau yang terkait dengan tugas harus bersifat
universal, tidak kondisional, dan imperatif. Kant percaya bahwa tindakan manusia secara
rasional tidak konsisten, kecuali bila aturan-aturan yang ditaati bersifat universal, tidak
kondisional, dan imperatif. Dua aturan yang diformulasi oleh Kant meliputi: pertama,
manusia harus selalu bertindak sehingga aturan yang merupakan dasar berperilaku dapat
menjadi suatu hukum moral universal. Kedua, manusia harus tidak memperlakukan

6
orang lain secara sederhana sebagai suatu makna, tetapi selalu sebagai hasil akhir
terhadap dirinya sendiri. Contoh penerapan deontologi adalah seorang perawat yang
yakin bahwa pasien harus diberitahu tentang apa yang sebenarnya terjadi walaupun
kenyataan tersebut sangat menyakitkan. Contoh lain misalnya seorang perawat menolak
membantu pelaksanaan abortus karena keyakinan agamanya yang melarang tindakan
membunuh.

Dalam menggunakan pendekatan teori ini, perawat tidak menggunakan


pertimbangan, misalnya seperti tindakan abortus dilakukan untuk menyela-matkan
nyawa ibu, karena setiap tindakan yang mengakhiri hidup (dalam hal ini calon bayi)
merupakan tindakan yang secara moral buruk. Secara lebih luas, teori deontologi
dikembangkan menjadi lima prinsip penting; kemurahan hati, keadilan, otonomi,
kejujuran, dan ketaatan.

2). Kerangka dan strategi pembuatan keputusan etis.

Kemampuan membuat keputusan masalah etis merupakan salah satu persyaratan bagi
perawat untuk menjalankan praktek keperawatan professional dan dalam membuat keputusan
etis perlu memperhatikan beberapa nilai dan kepercayaan pribadi, kode etik keperawatan,
konsep moral perawatan dan prinsip-prinsip etis

Pembuatan keputusan/pemecahan dilema etik menurut, Kozier, erb (1989), adalah sebagai
berikut:

1. Mengembangkan data dasar; untuk melakukan ini perawat memerlukan pengumpulan


informasi sebanyak mungkin, dan informasi tersebut meliputi: Orang yang terlibat,
Tindakan yang diusulkan, Maksud dari tindakan, dan konsekuensi dari tindakan yang
diusulkan.

2. Mengidentifikasi konflik yang terjadi berdasarkan situasi tersebut

3. Membuat tindakan alternative tentang rangkaian tindakan yang direncanakan dan


mempertimbangkan hasil akhir atau konsekuensi tindakan tersebut

4. Menentukan siapa yang terlibat dalam masalah tersebut dan siapa pengambil keputusan
yang tepat

7
5. Mendefinisikan kewajiban perawat

6. Membuat keputusan.

Disamping beberapa bentuk kerangka pembuatan keputusan dilema etik yang terdapat diatas,
penting juga diperhatikan faktor-faktor yang mempengaruhi pembuatan keputusan etik.
Diantaranya adalah factor agama dan adat istiadat, social, ilmu pengetahuan/tehnologi,
legislasi/keputusan yuridis, dana/keuangan, pekerjaan/posisi pasien maupun perawat, kode
etik keperawatan dan hak-hak pasien (Priharjo, 1995).

Beberapa kerangka pembuatan dan pengambilan keputusan dilema etik diatas dapat diambil
suatu garis besar langkah-langkah kunci dalam pengambilan keputusan, yaitu:

a. Klarifikasi dilema etik, baik pertanyaan fakta dan komponen nilai etik yang seharusnya

b. Dapatkan informasi yang lengkap dan terinci, kumpulkan data tambahan dari berbagai
sumber, bila perlu ada saksi ahli berhubungan dengan pertanyaan etik dan apakah ada
pelanggaran hukum/legal

c. Buatlah beberapa alternatif keputusan dan identifikasi beberapa alternative tersebut dan
diskusikan dalam suatu tim (komite etik).

d. Pilih dari beberapa alternative dan paling diterima oleh masing-masing pihak dan buat
suatu keputusan atas alternative yang dipilih

e. Laksanakan keputusan yang telah dipilih bila perlu kerjasama dalam tim dan tentukan
siapa yang harus melaksanakan putusan.

f. Observasi dan lakukan penilain atas tindakan/keputusan yang dibuat serta dampak yang
timbul dari keputusan tersebut, bila perlu tinjau kembali beberapa alternative keputusan
dan bila mungkin dapat dijalankan.

g.

3). Contoh Kasus Penderitaan Klien dan Euthanasia Pasif :

Seorang wanita berumur 50 tahun menderita penyakit kanker payudara terminal dengan
metastase yang telah resisten terhadap tindakan kemoterapi dan radiasi. Wanita tersebut
mengalami nyeri tulang yang hebat dimana sudah tidak dapat lagi diatasi dengan pemberian
dosis morphin intravena. Hal itu ditunjukkan dengan adanya rintihan ketika istirahat dan

8
nyeri bertambah hebat saat wanita itu mengubah posisinya. Walapun klien tampak bisa tidur
namun ia sering meminta diberikan obat analgesik, dan keluarganya pun meminta untuk
dilakukan penambahan dosis pemberian obat analgesik. Saat dilakukan diskusi perawat
disimpulkan bahwa penambahan obat analgesik dapat mempercepat kematian klien.

Kasus di atas merupakan salah satu contoh masalah dilema etik (ethical dilemma).
Dilema etik merupakan suatu masalah yang sulit dimana tidak ada alternatif yang memuaskan
atau suatu situasi dimana alternatif yang memuaskan dan tidak memuaskan sebanding. Dalam
dilema etik tidak ada yang benar atau salah. Untuk membuat keputusan yang etis, seseorang
harus tergantung pada pemikiran yang rasional dan bukan emosional. Kerangkan pemecahan
dilema etik banyak diutarakan dan pada dasarnya menggunakan kerangka proses keperawatan
atau pemecahan masalah secara ilmiah (Thompson & Thompson, 1985).

Kozier et. al (2004) menjelaskan kerangka pemecahan dilema etik sebagai berikut :

1. Mengembangkan data dasar

2. Mengidentifikasi konflik

3. Membuat tindakan alternatif tentang rangkaian tindakan yang direncanakan dan


mempertimbangkan hasil akhir atau konsekuensi tindakan tersebut

4. Menentukan siapa pengambil keputusan yang tepat

5. Mendefinisikan kewajiban perawat

6. Membuat keputusan

4). PEMECAHAN KASUS DILEMA ETIK

1. Mengembangkan data dasar :

a. Orang yang terlibat : Klien, keluarga klien, dokter, dan perawat

b. Tindakan yang diusulkan : tidak menuruti keinginan klien untuk memberikan


penambahan dosis morphin.

c. Maksud dari tindakan tersebut : agar tidak membahayakan diri klien

9
d. Konsekuensi tindakan yang diusulkan, bila tidak diberikan penambahan dosis
morphin, klien dan keluarganya menyalahkan perawat dan apabila keluarga klien
kecewa terhadap pelayanan di bangsal mereka bisa menuntut ke rumah sakit.

2. Mengidentifikasi konflik akibat situasi tersebut :

Penderitaan klien dengan kanker payudara yang sudah mengalami metastase


mengeluh nyeri yang tidak berkurang dengan dosis morphin yang telah ditetapkan. Klien
meminta penambahan dosis pemberian morphin untuk mengurangi keluhan nyerinya.
Keluarga mendukung keinginan klien agar terbebas dari keluhan nyeri. Konflik yang
terjadi adalah :

a. Penambahan dosis pemberian morphin dapat mempercepat kematian klien.

b. Tidak memenuhi keinginan klien terkait dengan pelanggaran hak klien.

3. Tindakan alternatif tentang rangkaian tindakan yang direncanakan dan konsekuensi


tindakan tersebut

a. Tidak menuruti keinginan pasien tentang penambahan dosis obat pengurang nyeri.

Konsekuensi :

1) Tidak mempercepat kematian klien

2) Keluhan nyeri pada klien akan tetap berlangsung

3) Pelanggaran terhadap hak pasien untuk menentukan nasibnya sendiri

4) Keluarga dan pasien cemas dengan situasi tersebut

b. Tidak menuruti keinginan klien, dan perawat membantu untuk manajemen nyeri.

Konsekuensi :

1) Tidak mempercepat kematian pasien

2) Klien dibawa pada kondisi untuk beradaptasi pada nyerinya (meningkatkan


ambang nyeri)

3) Keinginan klien untuk menentukan nasibnya sendiri tidak terpenuhi

10
c. Menuruti keinginan klien untuk menambah dosis morphin namun tidak sering dan
apabila diperlukan. Artinya penambahan diberikan kadang-kadang pada saat tertentu
misalnya pada malam hari agar klien bisa tidur cukup.

Konsekuensi :

1) Risiko mempercepat kematian klien sedikit dapat dikurangi

2) Klien pada saat tertentu bisa merasakan terbebas dari nyeri sehingga ia dapat
cukup beristirahat.

3) Hak klien sebagian dapat terpenuhi.

4) Kecemasan pada klien dan keluarganya dapat sedikit dikurangi.

4. Menentukan siapa pengambil keputusan yang tepat :

Pada kasus di atas dokter adalah pihak yang membuat keputusan, karena dokterlah
yang secara legal dapat memberikan ijin penambahan dosis morphin. Namun hal ini
perlu didiskusikan dengan klien dan keluarganya mengenai efek samping yang dapat
ditimbulkan dari penambahan dosis tersebut. Perawat membantu klien dan keluarga klien
dalam membuat keputusan bagi dirinya. Perawat selalu mendampingi pasien dan terlibat
langsung dalam asuhan keperawatan yang dapat mengobservasi mengenai respon nyeri,
kontrol emosi dan mekanisme koping klien, mengajarkan manajemen nyeri, sistem
dukungan dari keluarga, dan lain-lain.

5. Mendefinisikan kewajiban perawat

a. Memfasilitasi klien dalam manajemen nyeri

b. Membantu proses adaptasi klien terhadap nyeri / meningkatkan ambang nyeri

c. Mengoptimalkan sistem dukungan

d. Membantu klien untuk menemukan mekanisme koping yang adaptif terhadap


masalah yang sedang dihadapi

e. Membantu klien untuk lebih mendekatkan diri kepada Tuhan Yang Maha Esa sesuai
dengan keyakinannya

6. Membuat keputusan

11
Dalam kasus di atas terdapat dua tindakan yang memiliki risiko dan konsekuensi
masing-masing terhadap klien. Perawat dan dokter perlu mempertimbangkan pendekatan
yang paling menguntungkan / paling tepat untuk klien. Namun upaya alternatif tindakan
lain perlu dilakukan terlebih dahulu misalnya manajemen nyeri (relaksasi, pengalihan
perhatian, atau meditasi) dan kemudian dievaluasi efektifitasnya. Apabila terbukti efektif
diteruskan namun apabila alternatif tindakan tidak efektif maka keputusan yang sudah
ditetapkan antara petugas kesehatan dan klien/ keluarganya akan dilaksanakan.

5). DISKUSI

Suatu intervensi medis yang bertujuan untuk mengurangi penderitaan klien namun
dapat mengakibatkan kematian klien atau membantu pasien bunuh diri disebut sebagai
euthanasia aktif. Di Indonesia hal ini tidak dibenarkan menurut undang-undang, karena
tujuan dari euthanasia aktif adalah mempermudah kematian klien. Sedangkan euthanasia
pasif bertujuan untuk mengurangi rasa sakit dan penderitaan klien namun membiarkannya
dapat berdampak pada kondisi klien yang lebih berat bahkan memiliki konsekuensi untuk
mempercepat kematian klien. Walaupun sebagian besar nyeri pada kanker dapat
ditatalaksanakan oleh petugas kesehatan profesional yang telah dilatih dengan manajemen
nyeri, namun hal tersebut tidak dapat membantu sepenuhnya pada penderitaan klien tertentu.
Upaya untuk mengurangi penderitaan nyeri klien mungkin akan mempercepat kematiannya,
namun tujuan utama dari tindakan adalah untuk mengurangi nyeri dan penderitaan klien.

6). PRINSIP LEGAL DAN ETIK

Euthanasia (Yunani : kematian yang baik) dapat diklasifikasikan menjadi aktif atau
pasif. Euthanasia aktif merupakan tindakan yang disengaja untuk menyebabkan kematian
seseorang. Euthanasia pasif merupakan tindakan mengurangi ketetapan dosis pengobatan,
penghilangan pengobatan sama sekali atau tindakan pendukung kehidupan lainnya yang
dapat mempercepat kematian seseorang. Batas kedua tindakan tersebut kabur bahkan
seringkali merupakan yang tidak relevan.

Menurut teori mengenai tindakan yang mengakibatkan dua efek yang berbeda,
diperbolehkan untuk menaikkan derajat/dosis pengobatan untuk mengurangi penderitaan
nyeri klien sekalipun hal tersebut memiliki efek sekunder untuk mempercepat kematiannya.

12
Prinsip kemanfaatan (beneficence) dan tidak merugikan orang lain (non maleficence)
dapat dipertimbangkan dalam kasus ini. Mengurangi rasa nyeri klien merupakan tindakan
yang bermanfaat, namun peningkatan dosis yang mempercepat kematian klien dapat
dipandang sebagai tindakan yang berbahaya. Tidak melakukan tindakan adekuat untuk
mengurangi rasa nyeri yang dapat membahayakan klien, dan tidak mempercepat kematian
klien merupakan tindakan yang tepat (doing good).

13
BAB III

PENUTUP

A. KESIMPULAN

Setiap perawat harus dapat mengintegrasikan dasar-dasar yang dimilikinya dalam


membuat keputusan termasuk agama, kepercayaan atau falsafah moral tertentu yang
menyatakan hubungan kebenaran atau kebaikan dengan keburukan. Beberapa orang membuat
keputusan dengan mempertimbangkan segi baik dan buruk dari keputusannya, ada pula yang
membuat keputusan berdasarkan pengalamannya (Ellis, Hartley, 1980).

Perawat harus menyadari bahwa dalam dilema etik tak selalu ada 2 (dua) alternatif yang
menarik, tetapi kadang terdapat alternatif tak menarik, bahkan tak mengenakkan. Sekali
tercapai kesepakatan, pengambil keputusan harus menjalankannya. Kadangkala kesepakatan
tak tercapai karena semua pihak tak dapat didamaikan dari konflik sistem dan nilai. Atau lain
waktu, perawat tak dapat menangkap perhatian utama klien. Seringkali klien atau keluarga
mengajukan permintaan yang sulit dipenuhi, dan di dalam situasi lain permintaan klien dapat
dihormati.

14
DAFTAR PUSTAKA

Kozier B., Erb G., Berman A., & Snyder S.J, (2004), Fundamentals of Nursing Concepts,
Process and Practice 7th Ed., New Jersey: Pearson Education Line

Taylor C., Lilies C., & Lemone P. (1997), Fundamentals of Nursing, Philadelphia :
Lippincott

http://cahyadiblogsan.blogspot.co.id/2012/03/model-mengambil-keputusan-etik.html?m=1

http://nersdody.blogspot.co.id/2012/03/etik-dilema-etik-dan-contoh-kasus.html
http://karyatanganzaenalmibrahim.blogspot.co.id/2015/06/makalah-dilema-etik-
keperawatan.html

15

Anda mungkin juga menyukai