Anda di halaman 1dari 51

1

BAB I

PENDAHULUAN

I.1 Latar Belakang

Indonesia disebut sebagai Negara kepulauan. Pulau – pulau di Indonesia terbentang

dari Sabang sampai Merauke. Dengan banyaknya pulau – pulau di Indonesia, maka lahirlah

berbagai kebudayaan yang berbeda pula. “Bhineka tunggal ika” sudah menjadi slogan

Negara Indonesia, yang artinya berbeda tapi tetap satu. Slogan ini didasari oleh beragamnya

suku dan kebudayaan di Indonesia. Ada puluhan, bahkan ratusan daerah yang memiliki

kebudayaan berbeda tersebar di seluruh Indonesia. Sudah sepantasnya lah kita sebagai warga

negara Indonesia memelihara kekayaan dan keragaman budaya di negeri sendiri, karena

kalau bukan kita sendiri yang melestarikannya, maka lama kelamaan kebudayaan itu akan

terhapus dan tergantikan dengan budaya glogalisasi. Bila hal itu terjadi, maka tidak ada lagi

yang membedakan negara Indonesia dengan negara-negara lain di dunia.

Jawa Barat merupakan salah satu propinsi terbesar di Indonesia. Di dalamnya terdapat

banyak daerah dengan kebudayaan berbeda. Cianjur merupakan salah satu wilayah terluas di

Jawa Barat. Kebudayaan pokoknya dalah kebudayaan Sunda, sama seperti kebanyakan

daerah di Jawa Barat. Namun ada yang membedakan budaya Sunda Cianjur dengan budaya
2

Sunda Jawa Barat. Ideologi dan kehidupan para leluhur di Cianjur sedikit banyak telah

melahirkan kebudayaan Sunda yang khas, yang hanya berlaku di daerah Cianjur. Melalui

I.2 Rumusan Masalah

Bagaimana penerapan unsur-unsur kebudayaan pada kebudayaan Cianjur?

I.3 Tujuan Penulisan

1.1.1.Untuk mengetahui dan menganalisis unsur bahasa pada kebudayaan Cianjur.

1.1.2. Untuk mengetahui dan menganalisis unsur sistem teknologi dan alat produksi pada

kebudayaan Cianjur.

1.1.3. Untuk mengetahui dan menganalisis unsur sistem mata pencaharian pada kebudayaan

Cianjur.

1.1.4. Untuk mengetahui dan menganalisis unsur sistem kemasyarakatan pada kebudayaan

Cianjur.

1.1.5. Untuk mengetahui dan menganalisis unsur sistem pengetahuan pada kebudayaan

Cianjur.

1.1.6. Untuk mengetahui dan menganalisis unsur sistem religi pada kebudayaan Cianjur.

1.1.7. Untuk mengetahui dan menganalisis unsur kesenian pada kebudayaan Cianjur
3

BAB II

ANALISIS DAN PEMBAHASAN

Cianjur merupakan salah satu kabupaten di wilayah Propinsi Jawa Barat yang

berpenduduk 1.931.840 jiwa pada tahun 2003 dengan laju pertumbuhan penduduk 1,48%. Letak

Cianjur sangat strategis karena dilintasi jalur jalan negara antara Jakarta-Bandung. Luas wilayah

350.148 Ha dan secara administrative Pemerintahan terdiri dari 26 kecamatan, 388 desa dan 6

kelurahan.

Sebelah utara wilayah Cianjur berbatasan dengan wilayah kabupaten Bogor dan

Purwakarta, sebelah barat berbatasan dengan wilayah Sukabumi, sebelah timur berbatasan

dengan wilayah kabupaten Bandung dan Garut, sebelah selatan berbatasan dengan samudra

Indonesia.

Lambang daerah Cianjur


4

Simbol daerah Cianjur, memiliki arti sebagai berikut.

 Perisai, melambangkan ketangguhan fisik dan mental.

 Warna dasar kuning emas, melambangkan kehidupan yang abadi.

 Gunung segitiga berwarna hijau, melambangkan kesuburan.

 Hamparan warna biru menunjukkan air yang melambangkan kesetiaan dan ketaatan.

 Dua tangkai padi bersilang masing-masing berbutir 17 melambangkan keentraman dan

dinamika kehidupan masyarakat yang dijiwai semangat Proklamasi Kemerdekaan RI 17

Agustus 1945.

 Simpul pita berwarna kuning emas, melambangkan sufat persatuan dan kesatuan.

 Motto Sugih Mukti, melambangkan kesejahteraan.

Secara geografis , Kabupaten Cianjur dapat dibedakan dalam tiga wilayah pembangunan

yakni wilayah utara, tengah dan wilayah selatan.

1. Wilayah Utara

Meliputi 16 Kecamatan : Cianjur, Cilaku, Warungkondang,Gekbrong, Cibeber,

Karangtengah, Sukaluyu, Ciranjang, Bojongpicung, Mande, Cikalongkulon, Cugenang ,

Sukaresmi, Cipanas, Pacet dan Haurwangi.

2. Wilayah Tengah

Meliputi 9 Kecamatan : Sukanagara, Takokak, Campaka, Campaka Mulya,

Tanggeung, Pagelaran, Leles, Cijati dan Kadupandak.


5

3. Wilayah Selatan

Meliputi 7 Kecamatan : Cibinong, Agrabinta, Sindangbarang, Cidaun , Naringgul,

Cikadu dan Pasirkuda.

Peta Daerah Cianjur

Kabupaten Cianjur merupakan salah satu daerah di Jawa Barat yang memeliki keindahan

alam yang mempesona, hawa sejuk pegunungan kawasan Puncak dan hamparan indah pantai di

Cianjur selatan yang lestari dan alami, serta keanekaragaman seni budaya tradisional yang unik.

Keindahan serta keunikan budayanya bisa dilihat dari uraian tujuh unsur budayanya, yaitu unsur

sistem teknologi dan alat produksi, unsur sistem bahasa, unsur sistem agama, unsur sistem

pengetahuan, unsur sistem mata pencaharian, unsur sistem kemasyarakatan, serta unsur kesenian
6

1. Sistem teknologi dan alat produksi

Kota Cianjur mempunyai berbagai macam peralatan hidup yang diturunkan sebagai

warisan budaya sejak zaman dulu. Alat-alat yang digunakan untuk kelangsungan hidup

masyarakat Cianjur banyak macamnya, diantaranya berupa senjata, peralatan rumah tangga

seperti alat penyimpanan padi, lentera, dan juga kursi bambu. Selain itu, Cianjur juga

memproduksi makanan khas yang berasal dari berbagai daerah di Cianjur, seperti beras

pandan wangi, tauco, dan manisan.

 Beras Pandanwangi

Beras Pandan Wangi yaitu beras asli Cianjur merupakan satu-satunya beras

terbaik yang tidak ditmukan di daerah lain dan sudah menjadi trademark Cianjur dari

masa ke masa. Beras ini berasal daripadi bulu varietas local. Karena nasinya yang

beraroma pandan, maka padi dan beras ini sejak tahun 1973 terkenal dengan sebutan

“Pandanwangi”.

Keunggulan Spesifiknya adalah jenis padi varietas lokal Cianjur yang

menghasilkan beras Cianjur Asli Pandanwangi termasuk varietas Javonica atau biasa

dikenal padi bulu, mempunyai keunggulan rasa sangat enak, pulen dan beraroma

wangi pandan. Karena rasanya sangat khas tersebut maka harga berasnya cukup

mahal bisa mencapai dua kali lipat harga beras biasa.


7

Di Cianjur sendiri pesawahan yang menghasilkan beras asli Cianjur ini hanya

di sekitar Warungkondang, Cugenang, dan sebagian daerah Cianjur dengan

ketinggian 700 meter diatas permukaan air laut. .

Beras Pandan Wangi

 Tauco dan Manisan Cianjur

Makanan Cianjur yang sangat khas adalah tauco, yang dibuat dari bahan

kacang kedele, diolah sedemikian rupa sehingga setelah dimasak dan dicampur

dengan cabe rawit menjadi teman makan yang enak dilengkapi dengan lalaban,

makanan khas Sunda. Di Cianjur juga tersedia aneka ragam manisan yakni jenis

makanan olahan dari berbagai jenis buah-buahan dengan bermacam rasa, manis,

asam, dan pedas.


8

Manisan Cianjur

Tauco Cianjur

 Lentera Gentur

Lentera gentur dibuat dari kuningan dan bahan kaca berwarna dengan desain

yang artistik merupakan salah satu kerajinan rakyat Cianjur yang sudah terkenal,

berlokasi di Kecamatan Warungkondang.


9

Lentera Gentur Cianjur

 Kerajinan Bambu dan Keramik

Kursi dan meja yang dibuat dari bambu merupakan hasil karya pengrajin

Cianjur yang terkenal ke seluruh daerah di Indonesia. Kerajinan keramik yang

berlokasi di kecamatan Ciranjang.

Kerajinan Bambu Cianjur


10

Kerajinan Keramik Cianjur

 Kecapi dan Suling

Kacapi Suling merupakan perangkat waditra Sunda yang terdapat hampir di

setiap daerah di Tatar Sunda. Waditranya terdiri dari Kacapi dan Suling. Kacapinya

terdiri dari Kacapi Indung atau Kacapi Parahu atau Kacapi Gelung. Selain disajikan

secara instrumentalia, Kacapi Suling juga dapat digunakan untuk mengiringi Juru

Sekar yang melantunkan lagu secara Anggana Sekar atau Rampak Sekar. Lagu yang

di sajikannya di antaranya : Sinom Degung, Kaleon, Talutur dan lain sebagainya.

Laras yang di pergunakannya adalah laras Salendro, Pelog atau Sorog.

Berbeda dengan sebutan Kacapi Suling atau Kacapian bila menggunakan Kacapi

Siter. Sudah lazim selain Kacapi Siter dan Suling di tambah pula 1 set Kendang dan 1

set Goong. Laras yang di pergunakannya sama seperti laras yang biasa di pergunakan
11

pertunjukan Kacapi Suling yang mempergunakan Kacapi Parahu yaitu" laras

Salendro, Pelog, Sorog. Kecapi Suling yang mempergunakan Kecapi Siter, selain

menyajikan instrumentalia juga di pergunakan untuk mengiringi nyanyian (kawih)

baik secara Anggana Sekar maupun secara Rampak Sekar.

Lagu-lagu yang disajikan secara Anggana Sekar yaitu seperti : Malati di

Gunung Guntur, Sagagang Kembang Ros dan lain sebagainya. Sedangkan untuk

Rampak Sekar di antaranya Seuneu Bandung, Lemah Cai dan lain sebagainya.

Dalam perkembangannya baik Kacapi Suling yang menggunakan Kacapi

Parahu maupun Kacapi Sitter, sering di pergunakan untuk mengiringi Narasi Sunda

dalam acara Ngaras dan Siraman Panganten Sunda, Siraman Budak Sunatan, Siraman

Tingkeban. Selain instrumentalia disajikan pula lagu-lagu yang rumpakanya

disesuaikan dengan kebutuhan acara yang akan di laksanakan. Lagu yang disajikan

diambil dari lagu-lagu Tembang Sunda

Seperti diantaranya Candrawulan, Jemplang Karang, Kapati-pati atau Kaleon

dan lain sebagainya. Ada pula yang mengambil lagu-lagu kawih atau lagu Panambih

pada Tembang Sunda seperti di antaranya Senggot Pangemat, Pupunden Ati dan lain

sebagainya.

Disamping perangkat Kecapi dan Suling ada pula perangkat Kecapi Biola dan

Kecapi Rebab yang membawakan lagu-lagu yang sama. Dalam penyajiannya, Kecapi

memainkan bagian kerangka iramanya sedangkan bagian lagunya di mainkan oleh

Suling, Biola atau Rebab. Adapun tangga nada atau laras yang dalam Karawitan
12

Sunda di sebut dengan Surupan, ada pula yang di sebut dengan Salendro, Pelog dan

Sorog.

Kacapi Suling kini banyak di gemari para Kawula Muda, baik di pedesaan

mau pun di perkotaan. Karena untuk mempelajarinya bisa meniru dari kaset rekaman

Kacapi Suling yang banyak beredar di masyarakat.

Kecapi dan suling adalah alat musik utama yang digunakan dalam mengiringi

tambang khas Cianjuran. Kacapi terbuat dari kayu yang keras dan kawat tembaga.

Bagian-bagiannya terdiri atas: papalayu, yaitu papan bagian atas; pureut yaitu alat

untuk menyetem (nyurupkeun) yang dipasang di bagian depan; dan inang yaitu alat

yang berbentuk kerucut atau limas yang ditempatkan pada papalayu. Alat ini gunanya

untuk merentangkan kawat (dawai) dengan bagian tumpangsari yang berfungsi untuk

menyetem (melaras). Sedangkan, suling terbuat dari bambu tamiang. Bagian-

bagiannya terdiri atas: sumber (lubang suling bagian atas); suliwer (sutas tali yang

dilitkan pada bagian atas suling); lubang nada (lubang untuk menghasilkan nada).

Sedangkan suling merupakan alat tiup yang terbuat dari bambu.


13

Kecapi Cianjur

Suling Cianjur
14

 Kujang, senjata tradisional.

Kujang adalah warisan budaya Sunda pra-modern dan merupakan senjata,

ajimat, perkakas atau multifungsi lainnya. Kujang diakui sebagai senjata tradisional

masyarakat Jawa Barat (Sunda) dan mempunyai kekuatan magis. Beberapa peneliti

menyatakan bahwa istilah Kujang berasal dari kata Kudihyang dengan akar kata Kudi

dan Hyang. Kudi diambil dari bahasa Sunda Kuno yang artinya senjata yang

mempunyai kekuatan gaib sakti, sebagai jimat, sebagai penolak bala. Sedangkan

Hyang dapat disejajarkan dengan pengertian Dewa dalam beberapa mitologi, namun

bagi masyarakat Sunda Hyang mempunyai arti dan kedudukan diatas Dewa. Secara

umum, Kujang mempunyai pengertian sebagai pusaka yang mempunyai kekuatan

tertentu yang berasal dari para Dewa.

Dengan perkembangan kemajuan, teknologi, budaya, sosial, dan ekonomi

masyarakat Sunda, kujang pun mengalami perkembangan dan pergeseran bentuk,

fungsi dan makna. Dari sebuah peralatan pertanian, kujang berkembang menjadi

sebuah benda yang memilik karakter tersendiri dan cenderung menjadi senjata yang

bernilai simbolik dan sakral. Kujang memiliki beragam fungsi dan bentuk.

Berdasarkan fungsi, kujang terbagi empat antara lain : kujang pusaka (lambang

keagungan dan pelindung keselamatan), kujang pakarang (untuk berperang), kujang

pangarak (sebagai alat upacara), dan kujang pamangkas (sebagai alat berladang).

Sedangkan berdasarkan bentuk bilah ada yang disebut kujang jago (menyerupai

bentuk ayam jantan), kujang ciung (menyerupai burung ciung), kujang kuntul
15

(menyerupai burung kuntul/bango), kujang badak (menyerupai badak), kujang naga

(menyerupai binatang mitologi naga), dan kujang bangkong (menyerupai katak).

Disamping itu terdapat pula tipologi bilah kujang berbentuk wayang kulit dengan

tokoh wanita sebagai simbol kesuburan. Secara historis, kujang dibuat sebagai alat

pertanian, namun seiring dengan perkembangan zaman kujang menjadi simbolisasi

dalam pranata sosial masyarakat etnis Sunda lama.

Kujang Cianjur

 Rumah adat Sunda

Indonesia yang terdiri atas berbagai suku, tentunya mempunyai bentuk dan

nama rumah adat sendiri. Masing-masing rumah adat mempunyai fungsi dan manfaat

yang hampir sama, yaitu sebagai tempat tinggal, namun ada pula yang dijadikan
16

tempat keramat. Bahan bangunan yang digunakan untuk membuat rumah adat, baik di

Jawa Barat maupun di daerah lainnya, umumnya terdiri atas bahan alami, seperti

kayu, bambu, ijuk, daun kepala, sirap, batu maupun tanah. Selain itu, bangunan rumah

adat pun biasanya jarang langsung menempel ke tanah (berlantai tanah). Hal ini untuk

sirkulasi angin, juga menghindari binatang (binatang buas maupun melata). Khusus di

tanah Parahyangan, rumah adat biasanya dibangun di atas tanah sekitar 40-60 cm

dengan menggunakan batu.

Bentuk suhunan rumah Sunda sangat disesuaikan dengan keadaan alam serta

kebutuhan masyarakat urang Sunda. Di tanah Parahyangan banyak bentuk gaya

rumah, yang umumnya diperlihatkan dari bentuk atapnya (suhunan atau hateup). Ada

beberapa susuhunan yang dikenal masyarakat Sunda, seperti suhunan jolopong atau

regol, suhunan tago/jogog anjing, suhunan badak heuay, suhunan perahu

kumureb/nangkub, suhunan capit gunting, suhunan julang ngapak, suhunan buka

palayu, dan buka pongpok.

Suhunan jolopong (pelana), merupakan bentuk rumah yang atapnya

memanjang. Atap rumah jolopong ini biasa juga disebut suhunan panjang, gagajahan,

dan regol. Sedangkan atap rumah jogog atau tagog anjing, bentuknya seperti anjing

yang sedang duduk. Bagian depan mirip mulut anjing, menjulur menutupi teras rumah

(ngiuhan emper imah).


17

Atap rumah bentuk badak heuay, biasanya bentuk atapnya mirip bentuk atap

rumah tagog anjing, tapi di bagian atas suhunan-nya ada tambahan atau atap belakang

dan depan yang menyerupai badak menguap.

Atap rumah parahu kumureb/nangkub, yakni potongan bentuk atap yang mirip

perahu terbalik (seperti gunung tangkubanperahu). Sedangkan atap rumah bentuk

capit gunting, yakni atap rumah yang setiap ujungnya dihiasi kayu mirip gunting yang

siap nyapit. Bentuk ini sering juga disebut srigunting. Sementara atap julang ngapak,

dilihat dari depan, suhunan kiri kanannya mirip sayap burung yang terentang.

Sedangkan julang-suhunanna sebanyak empat penjuru menyambung dari sisi turun ke

bawah. Sambungan bagian tengah menggunakan tambahan mirip gunting muka di

bagian puncaknya. Julang ngapak bentuknya mirip burung yang sedang terbang.

Atap rumah bentuk buka palayu, yakni atap rumah yang suhunan-nya mirip

suhunan rumah adat Betawi dan di bagian depannya ada teras yang panjang.

Sedangkan buka pongpok, bentuknya mirip buka palayu, namun bagian pintunya

diubah dan diarahkan langsung ke bagian jalan.

Masyarakat sunda pada zaman dulu memberi nama-nama untuk bentuk atap

itu sebagai salah satu bentuk penghormatan kepada alam sekelilingnya. Hampir di

setiap rumah adat yang masih asli jarang ditemukan paku atau besi maupun alat

bangunan modern lainnya. Untuk penguat antartiang digunakan paseuk (dari bambu)

atau tali dari ijuk ataupun sabut kelapa. Sedangkan bagian atap sebagai penutup rumah
18

menggunakan ijuk, daun kepala atau duan rumia. Sangat jarang menggunakan

genting.

Rumah Adat Cianjur

Rumah Adat Jawa Barat


19

2. Sistem Pengetahuan

Kearifan para leluhur Tatar Cianjur sangat mewarnai pandangan hidup dan memberi

arah perjalanan peradaban masyarakat Tatar Sunda pada umumnya, serta masyarakat Cianjur

khususnya. Sehingga sejak dulu masyarakat Cianjur mempunyai filosofi yang melambangkan

aspek keparipurnaan, yaitu

 Maos (membaca)

 Ngaos (mengaji Al-Qur’an)

 Mamaos (menembang, bersenandung tembang Sunda/Cianjuran)

 Maenpo (silat)

 Ngibing (menari tradisional)

Namun yang lebih dikenal masyarakat pada umumnya hanyalah tiga yaitu Ngaos,

Mamaos, dan Maenpo.

 MAOS : bisa dijabarkan dalam tiga kategori MACA (membaca untuk mengetahui,

memaknai, mengarifi dan mengaktualisasikannya dalam perilaku keseharian), dalam

wacana Sunda ada tiga kemampuan MACA, yaitu:

 Maca Uga dina Waruga = mampu memahami kualitas diri sendiri, kontemplasi,

instropeksi diri.

 Maca Uga Waruga Jagat = mampu memahami keadaan lingkungan hidup makro.

Menafakuri aya-ayat Kauniah.


20

 Maca Uga dina Aksara = mampu memahami ilmu pengetahuan yang tertulis dalam

aksara/bahasa.

 NGAOS : dalam idiomatika Sunda NGAOS selalu diartikan dengan membaca Al-Qur’an

atau mengaji. Setelah mampu “Ngaos” maka akan tumbuh “Ngartos” (mengerti) dan

insya-Alloh akan berujung pada “Rumaos” (sadar diri).

Adat Ngaos

 MAMAOS : diartikan sebagai berkemampuan untuk bersenandung dalam wanda tembang

Sunda/Cianjuran. Bila dikaji dengan cermat, ternyata Tembang Sunda/Cianjuran

mengandung falsafah hidup yang sangat tinggi baik dalam irama, ornamen lagunya

maupun lirik susastranya. Tembang Sunda Cianjuran telah menjadi karya seni klasik

bernilai falsafah teramat tinggi.


21

Mamaos Cianjur

 MAEN PO : disebut pula kemampuan untuk bersilat, pencak silat, ameng. Po berasal dari

bahasa Cina poo = balas, membalas, saling balas; sebab dalam bersilat akan “saling balas”

yaitu menyerang dan mempertahankan “tangtungan”. Salah satu peninggalan budaya

luhur dari masyarakat Cianjur adalah Maenpo atau pencak silat. Ilmu pencak silat sudah

diwariskan turun temurun sejak sekitar akhir abad ke 19. Sampai saat ini, ada 4 tempat

utama yang merupakan tempat terpenting dalam penyebaran aliran maenpo yang ada di

Cianjur. Tempat itu adalah: Pasar Baru yang merupakan tempat dimana aliran Cikalong

banyak dipelajari dan dikembangkan, Bojong Herang di mana Sabandar banyak

dikembangkan dan dipelajari dan di antara kedua tempat ini ada daerah kaum yang

merupakan tempat tokoh tokoh yang belajar kedua aliran ini baik Cikalong maupun

Sabandar. Tempat lain adalah Cikaret yang merupakan tempat di mana aliran Kari
22

berkembang. Kemampuan bersilat menjadi tanda kemampuan diri dalam menghadapi

bahaya serta melatih kesabaran, kesadaran dan keberanian.

Adat Maenpo Cianjur

 NGIBING : atau ngigel, atau berarti menari. Kemampuan untuk memperlihatkan

keselarasan etika, melatih keindahan bahasa tubuh (kinestetika) dengan harmoni

kehidupan. Dikenal idiomatik Sunda yaitu NGIGELAN JEUNG NGIGELKEUN

JAMAN, yaitu mampu menyelaraskan diri dengan kehidupan global-mondial tanpa

kehilangan jati diri. Tidak hanya menjadi obyek tetapi juga bisa berperan menjadi subyek

dalam percaturan kehidupan manusia lokal, nasional maupun internasional.

Apabila filosofi tersebut diresapi, pada hakekatnya merupakan symbol rasa keber-

agama-an, kebudayaan dan kerja keras. Dengan keber-agama-an sasaran yang ingin dicapai

adalah terciptanya keimanan dan ketaqwaan masyarakat melalui pembangunan akhlak yang
23

mulia. Dengan kebudayaan, masyarakat cianjur ingin mempertahankan keberadaannya

sebagai masyarakat yang berbudaya, memiliki adab, tatakrama dan sopan santun dalam tata

pergaulan hidup. Dengan kerja keras sebagai implementasi dari filosofi maenpo, masyarakat

Cianjur selalu menunjukan semangat keberdayaan yang tinggi dalam meningkatkan mutu

kehidupan. Liliwatan, tidak semata-mata permainan beladiri dalam pencak silat, tetapi juga

ditafsirkan sebagai sikap untuk menghindarkan diri dari perbuatan yang maksiat. Sedangkan

peupeuhan atau pukulan ditafsirkan sebagai kekuatan didalam menghadapi berbagai

tantangan dalam hidup.

Pancak Silat Ngibing


24

3. Mata Pencaharian

Kabupaten Cianjur beiklim tropis dengan curah hujan per tahun rata-rata 1000 sampai

4000 mm dan jumlah hari hujan rata-rata 150 per tahun. Dengan iklim tropis tersebut

menjadikan kondisi alam Kabupaten Cianjur subur dan mengandung keanekaragaman

kekayaan sumber daya alam yang ptensial sebagai modal dasar pembangunan dan investasi

yang menjanjikan. Lahan-lahan pertanian tanaman pangan dan holtikultura, peternakan,

perikanan dan perkebunan merupakan sumber kehidupan bagi masyarakat. Keadaan itu

ditunjang dengan banyaknaya sungai kecil yang dapat dimanfaatkan sebagai sumber daya

pengairan tanaman pertanian.

Lapangan pekerjaan utama penduduk Kabupaten Cianjur di sektor pertanian yaitu

sekitar 52,00 %. Sektor lainnya yang cukup banyak menyerap tenaga kerja adalah sektor

perdagangan yaitu sekitar 23,00 %. Sektor pertanian merupakan penyumbang terbesar

terhadap PDRB Kabupaten Cianjur yaitu sekitar 42,80 % disusul sektor perdagangan sekitar

24,62%.

Sebagaimana daerah beriklim tropis, maka di wilayah Cianjur utara tumbuh subur

tanaman sayuran, teh dan tanaman hias. Di wilayah Cianjur Tengah tumbuh dengan baik

tanaman padi, kelapa dan buah-buahan. Sedangkan di wilayah Cianjur Selatan tumbuh

tanaman palawija, perkebunan teh, karet, aren, cokelat, kelapa serta tanaman buah-buahan.

Potensi lain di wilayah Cianjur Selatan antara lain obyek wisata pantai yang masih alami dan

menantang investasi.
25

Sebagai daerah agraris yang pembangunananya bertumpu pada sektor pertanian,

kabupaten Cianjur merupakan salah satu daerah swa-sembada padi. Produksi padi pertahun

sekitar 625.000 ton dan dari jumlah sebesar itu telah dikurangi kebutuhan konsumsi lokal dan

benih, masih memperoleh surplus padi sekitar 40 %. Produksi pertanian padi terdapat hampir

di seluruh wilayah Cianjur.

Sektor Pertanian

Padi Cianjur
26

Kecuali di Kecamatan Pacet dan Sukanagara. Di kedua Kecamatan ini, didominasi

oleh tanaman sayuran dan tanaman hias. Dari wilayah ini pula setiap hari belasan ton sayur

mayur dipasok ke Jabotabek.

Macam Sayuran Di Cianjur

Peratnian Sayur DiCianjur


27

Cianjur memiliki fauna khas yaitu ayam pelung. Ke-khas-an ayam pelung ini adalah

suara kokoknya yang berirama, lebih merdu dan lebih panjang dibanding ayam jenis lainnya.

Secara genetika ayam pelung mempunyai beberapa perbedaan, yaitu

Ayam Pelung

 Badan: Besar dab kokoh (jauh lebih berat / besar dibanding ayam lokal biasa)

 Cakar: Panjang dan besar, berwarna hitam, hijau, kuning atau putih

 Pial: Besar, bulat dan memerah

 Jengger: Besar, tebal dan tegak, sebagian miring dan miring, berwarna merah dan

berbentuk tunggal

 Warna bulu: Tidak memiliki pola khas, tapi umumnya campuran merah dan hitam ;

kuning dan putih ; dan atau campuran warna hijau mengkilat.


28

Di Cianjur terdapat dua peternakan dan pembibitan ayam pelung yang cukup besar,

yaitu di daerah kecamatan Warungkondang dan di Bojongherang.

Pengembangan usaha perikanan air tawar dan laut di Kabupaten Cianjur cukup

potensial. Baik untuk usaha berskala kecil maupun besar. Beberapa faktor pendukungnya

adalah : jumlah penduduk yang relatif besar serta tersedianya lahan budi daya ikan air tawar

dan ikan laut. Usaha pertambakan ikan dan penangkapan ikan laut memiliki peluang besar di

wilayah Cianjur selatan, khususnya di sepanjang pantai Cidaun hingga Agrabinta. Di wilayah

ini, mulai dirintis dan di kembangkan pertambakan budi daya udang. Sedangkan budi daya

ikan tawar terbuka luas di cianjur utara dan cianjur tengah. Di wilayah ini terdapat budi daya

ikan hias, pembenihan ikan, mina padi, kolam air deras dan keramba serta usaha jaring

terapung di danau Cirata, yang sekaligus merupakan salah satu obyek wisata yang mulai

berkembang.

Perkembang biakan Ikan


29

Sementara itu , potensi perkebunan di Kabupaten Cianjur cukup besar dimana sekitar

19,4 % dari seluruh luas merupakan areal perkebunan . Selama in dikelola oleh Perkebunan

Besar Negara (PBN) seluas 10.709 hektar, Perkebunan Besar Swasta (PBS) sekitar 20.174

hektar dan Perkebunan Rakyat (PR) seluas 37.167 hektar. Peningkatan produksi perkebunan,

terutama komoditi teh cukup baik. Produktivitas teh rakyat mampu mencapai antara 1.400 -

1.500 kg teh kering per hektar. Sedangkan yang di kelola oleh perkebunan besar rata-rata

mencapai di atas 2.000 kg per hektar.

Perkebunan The Di Cianjur

Selain dari sektor pertanian, perkebunan, peternakan dan perikanan, masyarakat di

daerah tertentu juga menggantungkan hidupnya pada sektor pariwisata. Daerah Pacet sebagai

primadona Pariwisata Cianjur memiliki objek-objek wisata yang menarik antara lain objek

wisata Pendakian Gunung Gede, Kebun Raya Cibodas, Taman Mandala Kitri untuk kegiatan
30

perkemahan Pramuka dan Remaja, Kota Bunga, serta Taman Bunga Nusantara. Di kecamatan

Cikalongkulon terdapat objek wisata Ziarah Makam Dalem Cikundul, yakni makan Bupati

perama sekitar abad 17. Di kecamatan Mande terdapat objek wisata Danau Cirata yang juga

kawasan perikanan Sistem Jaringan Terapung. Cianjur juga memiliki kawasan pantai di

Cianjur Selatan yang jaraknya sekita 120 km dari ibukota Cianjur.

4. Sistem Religi

Masyarakat Cianjur sebagian besar berpenduduk muslim yang sangat agamis dan

memegang teguh norma-norma agama, ini dibuktikan dengan lahirnya program Gerbang

Marhamah yang merupakan kependekan dari Gerakan Pembangunan Masyarakat Berakhlakul

Karimah. Program ini lahir pada tanggal 1 Muharam 1422 atau tanggal 26 Maret 2001 dalam

rangka meningkatkan pembangunan akhlak sebagai tolak ukur utama yang akan menentukan

baik buruknya kehidupan uma manusia. Lahirnya Gerbang Marhamah dilatarbelakangi oleh

komitmen yang mulia dari segenap jajaran aparat dan masyarakat umat Islam di Kabupaten

Cianjur atas potensi umat Islam yang demikian besar ditunjang oleh keberadaan berbagai

prasarana/sarana peribadatan yang tersebar sampai ke pelosok desa.


31

5. Sistem Kemasyarakatan

 Perkawinan Adat Pengantin Sunda

Perkawinan adat Sunda

Adat Sunda merupakan salah satu pilihan calon mempelai yang ingin merayakan

pesta pernikahannya. Khususnya mempelai yang berasal dari Sunda. Adapun rangkaian

acaranya dapat dilihat berikut ini.

1. Nendeun Omong, yaitu pembicaraan orang tua atau utusan pihak pria yang berminat

mempersunting seorang gadis.


32

2. Lamaran. Dilaksanakan orang tua calon pengantin beserta keluarga dekat. Disertai

seseorang berusia lanjut sebagai pemimpin upacara. Bawa lamareun atau sirih pinang

komplit, uang, seperangkat pakaian wanita sebagai pameungkeut (pengikat). Cincin

tidak mutlak harus dibawa. Jika dibawa, bisanya berupa cincing meneng,

melambangkan kemantapan dan keabadian.

3. Tunangan. Dilakukan ‘patuker beubeur tameuh’, yaitu penyerahan ikat pinggang

warna pelangi atau polos kepada si gadis.

4. Seserahan (3 - 7 hari sebelum pernikahan). Calon pengantin pria membawa uang,

pakaian, perabot rumah tangga, perabot dapur, makanan, dan lain-lain.

5. Ngeuyeuk seureuh (opsional, Jika ngeuyeuk seureuh tidak dilakukan, maka

seserahan dilaksanakan sesaat sebelum akad nikah.)

o Dipimpin pengeuyeuk.

o Pengeuyek mewejang kedua calon pengantin agar meminta ijin dan doa restu

kepada kedua orang tua serta memberikan nasehat melalui lambang-lambang atau

benda yang disediakan berupa parawanten, pangradinan dan sebagainya.

o Diiringi lagu kidung oleh pangeuyeuk

o Disawer beras, agar hidup sejahtera.

o dikeprak dengan sapu lidi disertai nasehat agar memupuk kasih sayang dan giat

bekerja.

o Membuka kain putih penutup pengeuyeuk. Melambangkan rumah tangga yang

akan dibina masih bersih dan belum ternoda.


33

o Membelah mayang jambe dan buah pinang (oleh calon pengantin pria).

Bermakna agar keduanya saling mengasihi dan dapat menyesuaikan diri.

o Menumbukkan alu ke dalam lumpang sebanyak tiga kali (oleh calon pengantin

pria).

2. Membuat lungkun. Dua lembar sirih bertangkai saling dihadapkan. Digulung menjadi

satu memanjang. Diikat dengan benang kanteh. Diikuti kedua orang tua dan para tamu

yang hadir. Maknanya, agar kelak rejeki yang diperoleh bila berlebihan dapat dibagikan

kepada saudara dan handai taulan.

3. Berebut uang di bawah tikar sambil disawer. Melambangkan berlomba mencari rejeki

dan disayang keluarga.

4. Upacara Prosesi Pernikahan

Penjemputan calon pengantin pria. Sebelum acara akad nikah dimulai, terlebih

dahulu diadakan upacara penjemputan calon pengantin pria. Hal ini adalah sebagai adat

sopan santun atau tatakrama yang telah menjadi kebiasaan umum, yaitu adanya saling

menghargai. Untuk persiapan penjemputan, orang tua calon pengantin wanita membentuk

panitia yang terdiri dari dua kelompok, yaitu:

Kelompok I terdiri dari: 1. Seorang membawa payung dan lengser; 2. Seorang

membawa baki berisi mangle atau rangkaian bunga melati sebagai kalung. 3. Dua mojang

membawa tempat lilin. 4. Dua mojang membawa bokor berisi perlengkapan upacara

sawer dan nincak endog. 5. Dua bujang sebagai pengawal (gulang-gulang)/ jagasatru.

Kelompok II terdiri dari:


34

1. Para mojang (dara atau gadis) dan bujang remaja berbaris di sisi kanan kiri pintu

halaman yang akan dilalui oleh rombongan calon pengantin pria sampai ke depan

pintu rumah.

2. Rombongan calon pengantin pria tiba, kemudian mereka dijemput di luar halaman

oleh rombongan yang dipimpin lengser.

Pembawa payung segera memayungi calon pengantin pria dengan didampingi oleh

dua gulang-gulang. Di sebelah depannya lagi seorang dayang berjalan membawa

baki yang berisi kalungan bunga. Paling depan ialah lengser yang biasanya

berjalan sambil menari dengan diiringi oleh alunan gamelan degung.

Mereka berjalan bersama-sama menurut irama gamelan menuju pintu halaman

rumah. Di pintu gerbang halaman rumah, rombongan berhenti sebentar. Orang tua

calon pengantin wanita telah siap berada di sana. Setelah calon pengantin pria

datang, ibu calon pengantin wanita mengalungkan bunga kepada caIon

menantunya. Selanjutnya rombongan bergerak lagi sambil di-taburi aneka ragam

bunga oleh para mojang dan bujang yang berderet di kedua sisi jalan.

Dengan didampingi oleh calon mertuanya, pengantin pria dibawa masuk ke

ruangan akad nikah dan dipersilakan duduk di kursi yang telah disiapkan.

Selanjutnya pembawa acara mempersilakan kedua orang tua calon pengantin,

saksi, petugas dari Kantor Urusan Agama serta beberapa orang tua dari kedua

belah pihak yang dianggap perlu, untuk duduk di tempat yang telah disediakan.
35

Calon pengantin wanita dipersilakan duduk di samping calon suaminya yang

selanjutnya segera dilanjutkan upacara Akad Nikah.

o Ngabageakeun, ibu calon pengantin wanita menyambut dengan pengalungan

bunga melati kepada calon pengantin pria, kemudian diapit oleh kedua orang tua

calon pengantin wanita untuk masuk menuju pelaminan.

o Akad nikah, petugas KUA, para saksi, pengantin pria sudah berada di tempat

nikah. Kedua orang tua menjemput pengantin wanita dari kamar, lalu didudukkan

di sebelah kiri pengantin pria dan dikerudungi dengan tiung panjang, yang berarti

penyatuan dua insan yang masih murni. Kerudung baru dibuka saat kedua

mempelai akan menandatangani surat nikah.

o Sungkeman,

o Wejangan, oleh ayah pengantin wanita atau keluarganya.

o Saweran, kedua pengantin didudukkan di kursi. Sambil penyaweran, pantun

sawer dinyanyikan. Pantun berisi petuah utusan orang tua pengantin wanita.

Kedua pengantin dipayungi payung besar diselingi taburan beras kuning atau

kunyit ke atas payung.

o Meuleum harupat, pengantin wanita menyalakan harupat dengan lilin. Harupat

disiram pengantin wanita dengan kendi air. Lantas harupat dipatahkan pengantin

pria.

o Nincak endog, pengantin pria menginjak telur dan elekan sampai pecah. Lantas

kakinya dicuci dengan air bunga dan dilap pengantin wanita.


36

o Buka pintu. Diawali mengetuk pintu tiga kali. Diadakan tanya jawab dengan

pantun bersahutan dari dalam dan luar pintu rumah. Setelah kalimat syahadat

dibacakan, pintu dibuka. Pengantin masuk menuju pelaminan.

6. Sistem Bahasa

Bahasa sehari-hari yang digunakan masyarakat Cianjur adalah Basa Sunda Lemes, atau

bahasa sunda yang halus. Masyarakat Cianjur dikenal sangat santun berbahasa, dari semua

tingkatan bahasa sunda atau yang dikenal sebagai undak usuk basa dalam bahasa sunda,

masyarakat menggunakan tingkat bahasa yang paling halus dan sopan. Dalam bahasa sunda,

tidak lah sama untuk berbicara kepada yang lebih tua, lebih muda, sebaya, lebih rendah

maupun tinggi status sosialnya, juga kepada binatang. Berbicara kepada binatang merupakan

tingkatan bahasa yang paling kasar.

Dengan arus globalisasi seperti saat ini berbagai upaya dilakukan untuk tetap

melestarikan bahasa sunda yang merupakan warisan para leluhur Jawa Barat, salah satunya

adalah dengan dimasukannya mata pelajaran bahasa sunda menjadi muatan lokal (mulok),

tidak menjadi pelajaran tambahan seperti yang terjadi sekarang ini. Begitu pun jam

pelajarannya ditambah. Upaya lainnya dalam bentuk pagelaran lomba sastra sajak sunda,

ngadongeng, presenter berbahasa sunda, dan lainnya. Dan setiap tanggal 21 Juli, yang

merupakan Hari Jadi Cianjur, masyarakat Cianjur diharuskan menggunakan bahasa ibu, yaitu

bahasa sunda demi mempertahankan keseragaman bahasa.


37

7. Sistem Kesenian

 Tembang Cianjuran

Di tempat kelahirannya, Cianjur, sebenarnya nama kesenian ini adalah mamaos.

Dinamakan tembang Sunda Cianjuran sejak tahun 1930-an dan dikukuhkan tahun

1962 ketika diadakan Musyawarah Tembang Sunda sa-Pasundan di Bandung. Seni

mamaos merupakan seni vokal Sunda dengan alat musik kacapi indung, kacapi rincik,

suling, dan atau rebab.

Kesenian Tembang Cianjur

 Sejarah

Mamaos terbentuk pada masa pemerintahan bupati Cianjur RAA. Kusumaningrat

(1834—1864). Bupati Kusumaningrat dalam membuat lagu sering bertempat di sebuah

bangunan bernama Pancaniti. Oleh karena itulah dia terkenal dengan nama Kangjeng
38

Pancaniti. Pada mulanya mamaos dinyanyikan oleh kaum pria. Baru pada perempat

pertama abad ke-20 mamaos bisa dipelajari oleh kaum wanita. Hal ituTerbukti dengan

munculnya para juru mamaos wanita, seperti Rd. Siti Sarah, Rd. Anah Ruhanah, Ibu

Imong, Ibu O’oh, Ibu Resna, dan Nyi Mas Saodah.

Bahan mamaos berasal dari berbagai seni suara Sunda, seperti pantun, beluk

(mamaca), degung, serta tembang macapat Jawa, yaitu pupuh. Lagu-lagu mamaos yang

diambil dari vokal seni pantun dinamakan lagu pantun atau papantunan, atau disebut

pula lagu Pajajaran, diambil dari nama keraton Sunda pada masa lampau. Sedangkan

lagu-lagu yang berasal dari bahan pupuh disebut tembang. Keduanya menunjukan

kepada peraturan rumpaka (teks). Sedangkan teknik vokal keduanya menggunakan

bahan-bahan olahan vokal Sunda. Namun demikian pada akhirnya kedua teknik

pembuatan rumpaka ini ada yang digabungkan. Lagu-lagu papantunan pun banyak yang

dibuat dengan aturan pupuh.

Pada masa awal penciptaannya, Cianjuran merupakan revitalisasi dari seni

Pantun. Kacapi dan teknik memainkannya masih jelas dari seni Pantun. Begitu pula

lagu-lagunya hampir semuanya dari sajian seni Pantun. Rumpaka lagunya pun

mengambil dari cerita Pantun Mundinglaya Dikusumah.

Pada masa pemerintahan bupati RAA. Prawiradiredja II (1864—1910) kesenian

mamaos mulai menyebar ke daerah lain. Rd. Etje Madjid Natawiredja (1853—1928)

adalah di antara tokoh mamaos yang berperan dalam penyebaran ini. Dia sering

diundang untuk mengajarkan mamaos ke kabupaten-kabupaten di Priangan, di antaranya


39

oleh bupati Bandung RAA. Martanagara (1893—1918) dan RAA. Wiranatakoesoemah

(1920—1931 & 1935—1942). Ketika mamaos menyebar ke daerah lain dan lagu-lagu

yang menggunakan pola pupuh telah banyak, maka masyarakat di luar Cianjur (dan

beberapa perkumpulan di Cianjur) menyebut mamaos dengan nama tembang Sunda atau

Cianjuran, karena kesenian ini khas dan berasal dari Cianjur. Demikian pula ketika radio

NIROM Bandung tahun 1930-an menyiarkan kesenian ini menyebutnya dengan

tembang Cianjuran.

Seni Mamaos

 Peralatan

Peralatan musik yang digunakan dalam mamaos cianjuran adalah: kacapi, suling

dan rebab. Kacapi terbuat dari kayu yang keras dan kawat tembaga. Bagian-bagiannya

terdiri atas: papalayu, yaitu papan bagian atas; pureut yaitu alat untuk menyetem
40

(nyurupkeun) yang dipasang di bagian depan; dan inang yaitu alat yang berbentuk

kerucut atau limas yang ditempatkan pada papalayu. Alat ini gunanya untuk

merentangkan kawat (dawai) dengan bagian tumpangsari yang berfungsi untuk

menyetem (melaras). Sedangkan, suling terbuat dari bambu tamiang. Bagian-bagiannya

terdiri atas: sumber (lubang suling bagian atas); suliwer (sutas tali yang dilitkan pada

bagian atas suling); lubang nada (lubang untuk menghasilkan nada). Sementara, bagian-

bagian rebab yang terbuat dari kayu dan kawat terdiri atas: pucuk (bagian paling atas

rebab); pureut (alat untuk menyetem yang juga terdapat di bagian atas rebab); wangkis

yang berfungsi sebagai resonater; beuti cariang (bagian bawah wangkis); soko 9bagian

paling bawah rebab; dan tumpangsari (alat yang diikatkan pada dua buah kawat yang

direntengkan). Kemudian, bagian penggesek terdiri atas pucuk, gandar, dan bulu-bulu

pengesat.

Kecapi Cianjur
41

Suling Cianjur

Rebab Cianjur

 Pemain dan Busana

Pemain kesenian yang disebut sebagai mamaos cianjuran terdiri atas: seorang

pemain kacapi indung yang tugasnya adalah memberi pasieup, narangtang, pangkat lagu,
42

dan memngiri lagu baik mamaos mamupun panambih; satu atau dua orang pemain kacapi

rincik yang bertugas membuat hiasan pada iringan kacapi indung ketika penembang

membawakan wanda panambih; sementara yang satunya lagi bertugas sebagai anggeran

wilatan (memberi batasan-batasan ketukan); seorang pemain suling yang bertugas

membuat hiasan-hiasan lagu di sela-sela kekosongan sekaran (vokal) dan memberi

lelemah sore (dasar nada); dan penembang yang membawakan berbagai jenis lagu

mamaos cianjuran. Sebagai catatan, lagu panambih hanya dilantunkan oleh penembang

wanita. Adapun busana yang dikenakan oleh pemain laki-laki adalah baju taqwa, sinjang

(dodot), dengan benggol sebagai aksesorisnya. Sedangkan, pakaian yang dikenakan oleh

para pemain wanitanya adalah: kebaya, sinjang, dan selendang.

Pertunjukan

Sebenarnya istilah mamaos hanya menunjukkan pada lagu-lagu yang berpolakan pupuh

(tembang), karena istilah mamaos merupakan penghalusan dari kata mamaca, yaitu seni

membaca buku cerita wawacan dengan cara dinyanyikan. Buku wawacan yang menggunakan

aturan pupuh ini ada yang dilagukan dengan teknik nyanyian rancag dan teknik beluk. Lagu-

lagu mamaos berlaras pelog (degung), sorog (nyorog; madenda), salendro, serta

mandalungan. Berdasarkan bahan asal dan sifat lagunya mamaos dikelompokkan dalam

beberapa wanda, yaitu: papantunan, jejemplangan, dedegungan, dan rarancagan. Sekarang

ditambahkan pula jenis kakawen dan panambih sebagai wanda tersendiri. Lagu-lagu mamaos

dari jenis tembang banyak menggunakan pola pupuh Kinanti, Sinom, Asmarandana, dan

Dangdanggula, serta ada di antaranya lagu dari pupuh lainnya.


43

Lagu-lagu dalam wanda papantunan di antaranya Papatat, Rajamantri, Mupu Kembang,

Randegan, Randegan Kendor, Kaleon, Manyeuseup, Balagenyat, Putri Layar, Pangapungan,

Rajah, Gelang Gading, Candrawulan, dsb. Sementara dalam wanda jejemplangan di

antaranya terdiri dari Jemplang Panganten, Jemplang, Cidadap, Jemplang Leumpang,

Jemplang Titi, Jemplang Pamirig, dsb. Wanda dedegungan di antaranya Sinom Degung,

Asmarandana Degung, Durma Degung, Dangdanggula Degung, Rumangsang Degung,

Panangis Degung dan sebagainya. Wanda rarancagan di antaranya; Manangis, Bayubud,

Sinom Polos, Kentar Cisaat, Kentar Ajun, Sinom Liwung, Asmarandana Rancag, Setra,

Satria, Kulu-kulu Barat, Udan Mas, Udan Iris, Dangdanggula Pancaniti, Garutan,

Porbalinggo, Erang Barong dan sebagainya. Wanda kakawen di antaranya: Sebrakan

Sapuratina, Sebrakan Pelog, Toya Mijil, Kayu Agung, dan sebagainya. Wanda panambih di

antaranya: Budak Ceurik, Toropongan, Kulu-kulu Gandrung Gunung, Renggong Gede,

Panyileukan, Selabintana, Soropongan, dsb.

Fungsi dan Nilai Budaya

Fungsi kesenian yang disebut sebagai mamaos cianjuran adalah sebagai hiburan.

Sedangkan, nilai yang terkandung di dalamnya tidak hanya sekedar estetika semata, tetapi

juga kerjasama dan kreativitas. Nilai kerjasama tercermin dalam suatu pementasan. Dalam hal

ini jika penembang laki-laki beristirahat, maka penembang perempuan tampil mengisinya.

Dengan demikian, suasana tidak vakum tetapi berkesinambungan. Nilai kreativitas tidak

hanya tercermin dari keterampilan para pemainnya dalam sisindiran, tetapi juga dalam

pengadopsian jenis-jenis kesenian lain (degung) tanpa menghilangkan rohnya (jatidiri

kesenian mamaos cianjuran).


44

Pada mulanya mamaos berfungsi sebagai musik hiburan alat silaturahmi di antara kaum

menak. Tetapi mamaos sekarang, di samping masih seperti fungsi semula, juga telah menjadi

seni hiburan yang bersifat profit oleh para senimannya seperti kesenian. Mamaos sekarang

sering dipakai dalam hiburan hajatan perkawinan, khitanan, dan berbagai keperluan hiburan

atau acara adat.

 Seni Rengkong

Rengkong merupakan salah satu kesenian tradisional yang diwariskan oleh leluhur

masyarakat Sunda. Kesenian ini muncul sekitar tahun 1964 di Kabupaten Cianjur. Orang

yang pertama kali memperkenalkannya adalah H. Sopjan. Bentuk kesenian ini dikenal

dari tata cara masyarakat Sunda dahulu, ketika menanam padi sampai dengan menuainya.

Pada saat itu, belum ada alat transportasi untuk mengangkut padi ke lumbung. Para petani

menggunakan bambu sebagai alat pikul padi. Pikulan yang membawa berat beban kurang

lebih 10-20 kg ini diikat dengan tali ijuk. Setiap berjalan, pikulan ini menghasilkan bunyi,

yang dihasilkan dari pergesekan tali ijuk dengan pikulan. Dari sini kesenian rengkong

bermula. Istilah rengkong sendiri diambil dari alat untuk memikul padi dari sawah ke

lumbung.

Peralatan untuk memainkan seni rengkong terbilang sederhana. Terdiri dari bambu

gombong, tali ijuk, minyak tanah, dan satu himpitan tangkai padi. Bambu gombong

berfungsi sebagai pikulan. Tali ijuk berfungsi sebagai pengikat padi yang digantung pada

pikulan. Padi, yang kisaran beratnya 10-20 kg sebagai beban pikul. Sedangkan minyak
45

tanah fungsinya sebagai pengesat gesekan antara tali dan pikulan untuk menghasilkan

suara yang keras. Dogdog dan angklung buncis merupakan peralatan lainnya sebagai

pengiring. Hatong juga lazim digunakan sebagai instrumen pembantu. Hatong merupakan

alat tiup yang terbuat dari bambu. Suara yang dihasilkan rengkong sangat khas,

menyerupai suara katak. Pemain rengkong biasanya menggunakan celana pangsi, baju

kampret, ikat kepala, dan tanpa alas kaki. Pemainnya berjumlah 5 atau 6 orang dengan

durasi bermain selama satu jam. Pertunjukan rengkong selalu dilakukan di alam terbuka.

Cara memainkannya, pikulan yang berisi padi diletakkan di bahu kanan. Si pemikul

mengayun-ayunkan ke kiri dan ke kanan dengan teratur. Tali ijuk dengan beban padi yang

menggantung pada badan bambu rengkong pun bergerak-gerak, gesekan tali ijuk yang

keras inilah yang menimbulkan suara. Jika diamati, kesenian ini memang sangat khas

keseharian petani desa.

Awalnya, rengkong digunakan sebagai “alat transportasi” untuk mengangkut padi dari

sawah ke lumbung, sekaligus sebagai “pengalihan perhatian” para petani yang lelah

karena mengangkat berat beban padi yang dibawanya. Perlahan-lahan rengkong menjelma

menjadi kesenian tradisional masyarakat Sunda, yang lazimnya dipertunjukkan saat hari

besar nasional, upacara keagamaan, upacara perkawinan, bahkan menyambut tamu

istimewa. Di sini berarti rengkong memiliki fungsi estetika dan sekaligus hiburan.

Di luar fungsi-fungsi tersebut ternyata rengkong juga mempunyai fungsi religius.

Rengkong digunakan sebagai ungkapan rasa syukur kepada Tuhan dan Dewi Sri Pohaci

(Dewi Kesuburan). Masyarakat Sunda memang lekat dengan kepercayaan kepada Dewi
46

Sri Pohaci. Di beberapa daerah, seperti Banten, Sukabumi, Sumedang, dan Bogor, kadang

kala setelah panen tiba, diadakan pesta adat yang menyertakan seni rengkong di

dalamnya. Ini adalah wujud rasa syukur kepada Tuhan karena telah diberikan hasil panen

yang melimpah. Di daerah-daerah tersebut memiliki nama pesta adat yang berbeda. Di

Bogor, Banten, dan Sukabumi masyarakat menyebut upacara pesta adat dengan nama

upacara Seren Taun, sedangkan di Sumedang masyarakat menyebutnya upacara Ngalaksa.

Ternyata selain dikenal oleh masyarakat di Jawa Barat, seni rengkong juga dikenal

masyarakat Banyumas, Jawa Tengah. Seni rengkong ini dikenal masyarakat Banyumas

melalui kontak/interaksi dengan kebudayaan Sunda, yang telah mengenal rengkong

terlebih dahulu. Tidak jauh berbeda dengan fungsi rengkong di beberapa daerah di Jawa

Barat, di Banyumas rengkong juga digunakan sebagai media ekspresi rasa syukur kepada

Tuhan terhadap hasil panen yang melimpah. Nilai yang ingin “ditularkan” dan yang dapat

kita teladani dari kesenian rengkong adalah nilai kerja keras. Nilai ini jelas terlihat dari

kesungguhan mengangkat beban padi, asal mula kesenian ini.

Kesenian Rengkong Cianjur


47

 Kuda Kosong sebagai simbol keperkasaan

Pawai “kuda kosong” yang sejak dulu digelar pada setiap upacara kenegaraan

Cianjur, punya maksud untuk mengenang sejarah perjuangan para Bupati Cianjur tempo

dulu. Saat Cianjur dijabat Bupati R.A. Wira Tanu seorang Dalem Pamoyanan R.A.A.

Wiratanudatar II, bupati diwajibkan menyerahkan upeti hasil palawija kepada Sunan

Mataram di Jawa Tengah.

Dalem Pamoyanan R.A.A. Wiratanudatar II yang dianggap sakti mandragunalah

yang rutin ditugaskan untuk menyerahkan upeti tadi. Jenis upeti adalah sebutir beras, lada,

dan sebutir cabai. Sambil menyerahkan tiga butir hasil palawija itu, Kangjeng Dalem

Pamoyanan selalu menyatakan bahwa rakyat Cianjur miskin hasil pertaniannya. Biar

miskin, rakyat Cianjur punya keberanian besar dalam perjuangan bangsa, sama seperti

pedasnya rasa cabai dan lada.

Karena pandai diplomasi, Kangjeng Sunan Mataram memberikan hadiah seekor

kuda kepada Dalem Pamoyanan. Seekor kuda jantan diberikan untuk sarana angkutan

pulang dari Mataram ke Cianjur. Penghargaan besar Sunan Mataram terhadap Kangjeng

Dalem Pamoyanan membuat kebanggan tersendiri bagi rahayat Cianjur waktu itu.

Jiwa pemberani rakyat Cianjur seperti yang pernah disampaikan Kangjeng Dalem

Pamoyanan kepada Sunan Mataram membuahkan kenyataan. Sekira 50 tahun setelah

peristiwa seba itu, ribuan rakyat Cianjur ramai-ramai mengadakan perlawanan perang

gerilya terhadap penjajah Belanda. Dengan kepemimpinan Dalem Cianjur Rd. Alith
48

Prawatasari, barisan perjuang di setiap desa gencar mlawan musuh, sampai-sampai Pasukan

Belanda sempat ngacir ke Batavia (sekarang Jakarta).

Untuk mengenang perjuangan Kangjeng Dalem Pamoyanan yang pandai diplomasi

itu, setiap diadakan upacara kenegaraan di Cianjur selalu digelar upacara ‘kuda kosong’.

Maksud seni warisan leluhur itu untuk mengenang perjuangan pendahulu kepada

masyarakat Cianjur sekarang.

Namun seni kuda kosong ini terancam punah sekarang, karena dianggap

menyimpang dan mengandung unsur mistis. Tak sedikit seni budaya Cianjur hilang dan

terancam mati. Seperti seni bangkong reang di Kec. Pagelaran, seni tanjidor di Kec.

Cilakong, goong renteng di Kec. Agrabinta, seni rudat di Kec. Kadupandak, dan seni reak

di Kec. Cibeber. Bahkan, seni tembang cianjuran sebagai warisan budaya ciptaan Kangjeng

Raden Aria Adipati Kusumaningrat atau Dalem Pancaniti Bupati Cianjur (1834-1861)

benar-benar hampir terancam kepunahan.

Kesenian Kuda Kosong


49

BAB V

PENUTUP

5.1 Kesimpulan

Kebudayaan di Cianjur memiliki tujuh unsur. Unsur pertama yaitu unsur bahasa, dimana
masyarakat Cianjur menggunakan bahasa sunda yang halus dalam kesehariannya. Unsur
yang kedua yaitu teknologi dan alat produksi. Misalnya senjata tradisional kujang yang
sekarang sudah beralih fungsi menjadi pajangan dan benda pusaka. Selain itu Cianjur juga
memiliki makanan khas seperti beras Pandan Wangi, manisan Cianjur dan tauco. Unsur
yang ketiga yaitu sistem mata pencaharian, yang di dominasi oleh sektor pertanian.

Unsur yang keempat yaitu sistem kemasyarakatan. Di Cianjur masyarakat masih


menganut sistem-sistem adat seperti sistem perkawinannya. Unsur yang kelima yaitu
sistem pengetahuan, dimana masyarakat Cianjur telah mewarisi pandangan hidup para
leluhurnya, yaitu Ngaos, Maos, Mamaos, Maenpo, dan Ngibing. Unsur Keenam yaitu
sistem religi yang masih dijunjung tinggi oleh masyarakat Cianjur.

Unsur Ketujuh yaitu kesenian. Kota Cianjur memiliki banyak kesenian dan tradisi yang
masih sering dijumpai pada zaman modern ini.

5.2 Saran

Menurut pendapat saya, kebudayaan yang dimiliki Cianjur sangatlah beragam dan
potensial. Sudah selayaknya generasi muda mulai mencintai dan melestarikan segala
50

kekayaan dan potensi yang tersedia di Cianjur. Karena kebudayaan tersebut merupakan
warisan dari para leluhur yang tidak boleh dihilangkan. Oleh sebab itu, masyarakat serta
pemerintah harus turut berperan serta dalam melestarikan kebudayaan Cianjur. Saat ini
pemerintah Cianjur sudah melakukan upaya yang cukup untuk melestarikan budaya
Cianjur, hanya seharusnya lebih ditingkatkan lagi intensitasnya, sehingga rasa cinta
generasi muda pada daerahnya tidak akan mudah luntur.
51

DAFTAR PUSTAKA

 Kurrnia, Ganjar. Deskripsi kesenian Jawa Barat. Bandung : Dinas Kebudayaan &
Pariwisata Jawa Barat. 2003.
 Drs.Ade Nendang R.J.A. Babad Menak-menak Sunda - Sajarah Bopati-bopati Cianjur.
M.Hum. UNPAS, 1995.
 Galba, Sindu. Kesenian Tradisional Masyarakat Cianjur. 2007.
 Tim Seksi Kebudayaan. Deskripsi Seni Tradisional Reak. Dinas Pendidikan dan
Kebudayaan Kabupaten Cianjur. 2002.
 Wiratmadja, Abung S. Mengenal Seni Tembang Sunda. Dinas Pendidikan dan
Kebudayaan Propinsi Daerah TKI Jawa Barat. 1998.

Anda mungkin juga menyukai