FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS UNIVERSITAS BRAWIJAYA 2016 Review Buku
Bab 1- Indonesia Di “Ruang” Dunia Menjelang 2024
Banyak masyarakat di Indonesia yang mengeluhkan soal ketidakbecusan pemerintah kota/ kabupaten dalam menangani masalah sosial, ekonomi, pendidikan, kesejahteraan masyarakat, salah urus program, tidak sinkronnya antar dinas, dan korupsi aparat negara dalam menangani pembangunan. Tidak terjadi kesamaan “karep”/ keinginan antara masyarakat dan pemerintahan. Ukuran kemakmuran hanya dipandang dari sudut pandang ekonomi. Pemerintah memandang kota yang baik adalah kota yang modern dimana terdapat semakin banyak mall menggantikan pasar tradisional, berdirinya hotel mewah bintang tiga sampai lima, dan pemerintah daerah yang berlomba- lomba membangun kantor yang megah padahal rakyat sebenarnya tidak peduli mengenai hal tersebut karena bukan itu yang mereka inginkan. Semua negara tentunya ingin menjadi negara yang makmur. Proses menjadi negara makmur bukan dicapai dengan proses yang cepat melainkan harus melalui instutional drift dalam institusi ekonomi dan politik yang inkusif. System inkusif melindungi kekayaan rakyat, menciptakan area kompetisi yang adil, mendorong investasi teknologi baru, peningkatan sumber daya manusia sehingga menciptakan iklim kondusif bagi pertumbuhan ekonomi. Dengan pola demikian terbukti Negara- negara seperti Inggris, Amerika Serikat, Jepang, Autraly, Korea Selatan menjadi makmur hal ini dibuktikan dengan tingginya tingkat pendapatan perkapita, usia harapan hidup yang tinggi, dan tingkat pendidikan yang tinggi. Sementara itu, negara penganut Institusi politik dan Ekonomi ekstraktif berada dalam kehancuran. Hal itu dikarnakan pada system ini, kekuasaan cenderung dipusatkan pada sekelompok elit tertentu yang bergerak demi keuntungan mereka sendiri serta memanfaatkan sumber daya demi mempertahankan kekuasaannya. Berkembangnya institusi ekonomi dan politik yang inkusif mendorong penggunaan sumber daya alam secara besar-besaran dan keinginan untuk memperoleh profit yang setinggi-tigginya melalui aktivitas bisnis. Karna terbatasnya sumber daya dan ingin mengejar keuntungan dari banyak sumber tanpa kehilangan pendapatan dari daerah asal muncullah suatu bisnis internasional. Jika dimataforakan, akan dimetaforakan dalam pertandingan sepakbola di mana para pemainnya adalah para perusahaan multi nasional. Institusi internasional/ pembuat peraturan adalah WTO, IMF, World Bank, dll. Sedangkan wasitnya adalah GATT, dan AFTA. Jika dilihat indonsia tentunya meliki perusahaan bersekala besar juga, sebut saja PERTAMINA, PGN, BNI, Bank Mandiri, dan banyak perusahaan lainnya, namun posisi perusahaan-perusahaan tersebut adalah berada pada liga kecil, dan kalau mau ikut final dan menang mereka harus mengikuti model FIFA. Dan agar bisa ikut bertanding di kelas dunia mereka harus menjual dirinya kepada pihak asing. Bab II- Melihat Dunia Dari Kacamata (Kritis) Alternatif Sistem ekonomi dan politik yang inkusif terbukti dapat memakmurkan bangsa penganutnya jika ditinjau dari sudut pandang kemapanan materi, kecukupan sandang pangan papan, kesehatan diri dan keluarga, serta kreatifitas aktivitas bisnis yang menjamin kebebasan akses ladang-ladang ekonomi masyarakat namun tanpa dibatasi aspek moralitas dan kaidah kebaikan serta agama. Pada saat ini “Tuhan” telah tersisihkan dalam dunia keilmuan. Nilai-nilai relius dan jiwa (subjektif) manusia yang menjadi pusat dari pertemuan nilai-nilai Tuhan dan kesadaran akan kebenaran mutlak kitab suci tidak lagi diperbolehkan masuk dalam ranah semesta dan realitas kemasyarakatan secara ilmiah. Terdapat perbedaaan antar pandangan Barat dan Timur mengenai agama dan Tuhan. Hal tersebut tentunya berpengaruh terhadap pola gaya hidup keseharian yang bisa kita toleransi. Pada bab 1, kita sangat mengagung-agungkan system institusi ekonomi dan politik yang inkusif yang bisa menciptakan kemakmuran dengan pendapatan perkapita yang tinggi, tingkat pendidikan yang timggi, dan lain sebagainya. Akan tetapi pendidikan yang tinggi tidak menjamin moralitas yang baik pada suatu negara hal ini terbukti dengan adanya pelegalan pernikahan sesame jenis, penggunaan mariyuana, aborsi, kebebasan tidak beragama, minuman keras. Agama-agama maju malah dinilai sebagai negara dengan tingkat cyber-crime tertinggi serta angka kejahatan yang tinggi. Selain itu, negara-negara maju yang berorientasi Eropasentris Barat yang mengedepankan liberalisasi, demokrasi, pertumbuhan ekonomi yang luar biasa berdampak pada moralitas yang rentan, sifat egois, dan mengesampingkan agama. Sementara itu, pada negara yang dilihat sebagau negara tradisional dan tertinggal yang notabene negara dengan tingkat muslim tertinggi seperti Turki, Pakistan, dan Mesir justru memiliki tingkat memiliki tingkat kejahatan yang rendah dikarnakakan karena mereka percaya akan adanya surge dan neraka. Islam yang benar adalah islam yang tidak terjebak pada realita sekulaitas dan materialitas seperti yang negara Barat lakukan. Adanya surga membuat manusia bertakwa, hidup dengan cinta kasih dan tidak membiarkan sesuatu yang ia cinta dalam keadaan lapar, bodoh, sakit, dan teraniaya.
Bab III- Melampaui Kemakmuran Materi Mendorong Religiositas Berkebudayaan
Terdapat jarak yang lebar antara agama dan Politik. Tanpa agama, negara tidak dapat mengembangkan kebajikan (baik dalam hal mengkonsolidasikan kekuatan politik maupun solidaritas sosial) karena atas dasar agama suatu institusi yang baik dapat dibentuk yang kemudian menahan egoisme individual dan dengan demikian menjamin supremasi hokum. Bagi Ibn Khaldun sebuah perdapan yang mapan berasal dari kata kemenangan, solidaritas, dan tangan Tuhan. Baginya kemenangan terdapat pada pihak yang mempunyai solidaritas yang lebih kuat dan anggota yang sanggup berjuang dan bersedia mati demi kepentingan bersama. Singkatnya kemunculan, kemapanan, dan hancurnya peradaban ditentukan pada sebuah kemampuan peradaban mendasarkan dirinya kepada ruh ketuhanan. Tanpa adanya ruh ketuhanan muncullah kerusakan di muka bumi karna egoisme manusia. Lambang peradaban islam bukanlah sungai yang mengalir melainkan Ka’bah yang menggambarkan watak permanen dan tidak berubah. Oleh karena itu, islam dianggap sebagai ganjalan bagi barat. Suatu pengembangan peradaban tidak perlu terjebak pada gagasan seperti pembangunan di bawah maupun participatory development saja. Model pembangunan di Indonesia perlu mengembangkan manajemen pembangunan sosial dan lembaga pedesaan di mana masyarakat banyak yang berinteraksi di sana untuk melakukan sosial learning dan bukan menekankan pada ranah politik dan ekonomi. Suatu pembangunan negeri harus bergeser dari paradigma politik dan ekonomi menjadi pembangunan kebudayaan dengan tetap mengedepankan tradisi tanpa mengedepankan modernitas dengan cara pandang yang baru misalnya gotong royong berdasakan rasa kekeluargaan bukan dalam mekanisme masyarakat tertutup, bukan melalui koperasi yang berakar pada susunan agraris feodal.