Anda di halaman 1dari 15

REAKSI MAILARD

Reaksi anatara protein dengan gula merupakan sumber utama nilai gizi protein pangan
selama pengolahan dan penyimpanan. Reaksi mailard ini dapat terjadipada waktu pembuatan
roti, produksi “breakfest sereal” dan pemanasan daging terutama bila terdapat bahan pangan
nabati; tetapi yang paling penting adalah selama pengolahan susu (sapi)dengna pemanasan,
karena susu merupakan bahan pangan protein tinggi yang juga mengandung gula produksi
(laktosa) dalam jumlah tinggi.

Pada masa kini reaksi yang diketahui menyangkut aldehid, keton dan gula-gula reduksi
dengan amin, asam-asam amino, peptida dan protein. Dalam bahan pangan, reaksi ini biasanya
berlangsung anatara gula-gula pereduksi dengan grup lisin dan grup alfa-amino dari asam
amino (N-Terminal).

1. Jalur Reaksi
Reaksi mailard bersifat sangat kompleks dan reaksinya dapat dibagi menjadi dua
bagian, yaiutu reaksi mailard Gambar 1.1. dan reaksi mailard lanjutan.

Gambar 1.1. Reaksi Malard Awal (Hurrel,1984)

Langkah awaldari reaksi terebut menyagkut reaksi kondensasi anatara grup karbonil
gula pereduksi dengan grup amino bebas asam amino atau protein. Produk hasil kondensasi
secara cepat kehilangan molekul air dan berubah menjadi “schiff’s base”. Selanjutnya akan
terjadi siklisasi yang diikuti oleh perubahan menjadi senyawa 1-amino1-deoksi-2-ketosa oleh
“Amadori rerrangement”. Reaksi mailard awal ini merupakan sisi dari gula aldosa menjadi
turunan gula ketosa. Produk amadori (Turunan deoksiketosil-lisin) merupakan bentuk lisisin
terikat yang paling banyak terjadi reaksi Mailar awal. Secara biologis produk ini tidak tersedia,
meskipun produk masih berwarna seperti asalya.

Pembentukan turunan deoksiketosil tersebut akan diikuti oleh reaksi pembentukan


pigmen coklat atau melanoidin yang belum sepenuhnya diketahui (Gambar 1.2)

Reaksi mailard lanjutan bertanggung jawab atas timbulnya flavor dan bau pangan yang
diolah, dan juga atas menurunnya nilai gizi protein melalui dekstrusi beberapamacam asam
amino dan menurunnya daya cerna.

Dalam reaksi Mailard lanjutan, diduga teradapat tiga jalur reaksi (Gambar 1.2), dua
diantaranya dimulai dengan produk Amadori, sedangkan yang ketiga adalah degradasi
Strecker. Pada jalur reaksi yang pertama, pemecahan senyawa anata metil dikarbonil (dari
degradasi gula) akan menghasilkan aldehid, piruvaldehid, dikarbonil dan redukton. Beberapa
macam flavor seperti asetaldehid, piruvaldehid, diasetil dan asam asetat, dibentuk melalui jalur
reaksi ini. Dalam jalur reaksi kedua, dehidrasi 3-deoksiheksosa akan membentu hidroksimetil
furaldehid. Reaksi-reaksi yang mengikuti pembentukan senyawa anatara ini berupa reaksi
kompleks yang akhirnya menghasilkan pembentukam pigmen coklat yang mengandung
nitrogen dan juga senyawa N-heterosiklis seperti misalnya pirazin dan pirol yang bertanggung
jawab atas flavor terpanggang (roasted), roti (breadyy) dan flavor kacang (nutty) pada bahan
pangan yang diolah dengan pemanasan.
Gambar 1.2. skema reaski mailard lanjutan antara gula pereduksi dengan senyawa amino
(hurrel,1984)

Jalur reaksi yang ketiga adalah degradasi srecker, yang menyangkat degradasi asam-
asam amino bebas oleh senyawa dikarbonil yang terbentuk pada jalur reaksi pertama. Asam-
asam amino didegredasi mejadi aldehid dengan jumah atom karbon yang berkurang satu karena
hilang menjadi CO2 reaksi-reaksi trnsminasi tersebut diduga penting untuk memasukan
nitrogen kedalam melanoidin. Aldehi srecker sendiri mungkin hanya merupakan senyawa
flavor pembantu, meskipun dapat juga berkondensasi dengna produk reaksi lain untuk
membentuk melanoidin.

2. Pengaruh Fisiologis dan Gizi


Dalam reaksi Mailard lanjutan tersebut asam amino lisin dakan rusak, demikian
pula residu asam-asam amino lainnya seperi sistin, yang mungkin disebabkan karena
terjadinya reaksi dengan senyawa antara seperti dikarbonildan aldehid. Secara
umumakan terjadi penurunan keetersediaan semua asam-asam amino yang tahan
terhadap enzim. Ikatan silang tersebut akan memngurangi kecepaan pencernaan
protein, yang mungkin dengan cara mencegah penetrasi enzim atau dengan cara
menutupi sisi yang dapat diserang oleh enzim
Epilson-deoksifruktosil-lisin bebas, suatu produk amadori, dapat diabsorsi
dengan baik oleh tikus. Akan tetapi senyawa ini tidak dapat digunakan semuanya oleh
tubuh tikus, dan sebagian besar dieksresikan melalui urin. Epilson-deoksifruktosil-
lisin yang terikat protein tidak dapat dicerna dengan baik oleh tius, sehingga dari
sejulah yang diserap hanya sekita11% yang dieksresikan kembali tanpa adanya
perubahan melalui urin. Bagian-bagian yang tidak hancur dihancurkan oleh
mikoflorra usus
Produk reaksi mailard lanjutan (melamoidin dna premelanoidin) diisolasi dari
campuran kasein dan 14c-glukosa yang dipanaskan dengan menggunakan diltrasi gel
dan hidrolisis enzimatik. Produk melanoidin berwarna coklat gelap sedangkan
premalanoidin warnanya lebih terang dan berat molekulnya lebih rendah. Kedua
produk tersebut dicampurkan kedalam ransum dan diberikan kepada tikus.
3. Reaksi Milard dalam Bahan Pangan
Pemasakan dirumah-rumah tangga dan prosedur pengalengan makanan secara
komersil hanya memberikan sedikit pengaruh terhadap nilai gizi protein bahan
pangan. Akantetapi proses industri lainnya, yang menyangkut penggunaan panas pada
kaadar air yang rendah, misalnya selama pengeringan dan pembakaran (roti) serta
penyimpanan selanjutnya dari produk yang dihasilkan, dapat mengakibatkan
penurunan nilai gizi yang cukup besar. Reaksi Millard dapat terjadi, ,isalnya selama
produksi pembakaran roti, biskuit dan “breakfast cereals”. Suatu penelitian
melaporkan bahwa sebanyak 10-15 persen lisin akan hilang selama pembakaran roti.
Kehilangan tersebut terjadi pada bagian yang berwarna coklat (crust), yang mungkin
diesbabkan karena terjadinya reaksi dengna gula pereduksi yang dibentuk selama
proses fermentasi tetapi tidak habis digunakan oleh khamir. Meskipun gula-ggula non-
reduksi (sukrosa misalnya) tidak beraksi dengan proein menimbulkan reaksi Mailard,
yang mungkin disebabkan pada suhu tinggi terjadi pemecahan ikatan glikosidik dari
sukrosa dan menghasilkan glukosa dan fruktosa.
Reaksi pada Mailard pada produk-produk olahan susu(sapi) umumnya hanya
sampai pembentukan senyawa Aamadori, hanya seidikit ditemkan lisisn terblokir
dalam produk-profuk susu yang dikering bekukan, dipasteurisasi, disterilisasi UHT
atau dikering-semprotkan. Akan tetapi pengeringan semprot terhadap susu formlua
untuk bayi (yang mengandug lebih banyak laktosa), menyebabkan 5-10 persen lisin
terblokir, seperti halnya yang terjadi pada susu cair dalam kaleng mengakibatkan 10-
15 persen lisin terblokir, dan dengan proses pengeringan drum, lisin terblokir dalam
bentuk susu kering yang dihasilkan dapat mencapai sekitar 20-50 persen.
Susu formula bagi bai, misalnya “lactose hydrolyzed milks” atau formula yang
mengandung glukosa( bayi rebtab terhadap lactosa), menimbulkan masalah yang
paling besar selama pengeringanya, karena glukosa dan glaktosa lebih raktif
dibandingkan dengan lactosa. Pengeringan semprot dari produk susu spesial ini dapat
mengakibatkan lisin terblokir sebnyak 70 persen. Meskipun dengan pengontrolan
yang ketat selama pengeringannya, kehilangan lisin mecapai 15 persen.
Reaksi Mailard dapat berlangsung lebih lanjut selama penyimpanan produk-
produk susu bubuk.hal ini dapat diminimumkan dengan cara memperkecil kadar air
produk, pegepakan secara hermitis , dan suhu serta kelembaban ruang penyimpanan
tidak banyak menimbulkan masalah didaerah yang beriklim sedang. Akan tetapidi
negara-negara tropis, dimana jaringan distribusi belum berkembang dedngan baik,
kadamh-kadang susu bubuk akan terkena suhu tinggi selama transportasi dan
penyimpanan.

Gambar 1.3. dan 1.4. Memperihatkan hasil penelitian penyimpangan pada suhu 60 0c
dan 700C dsusu bubuk yang mempunyai kadar air sekitar 2,5 persen serta
pengaruhnya terhadap lisin, metionin dan triptofan dan vitamin-vitamin B.

Penyimpanan pada suhu 60 0C merupakan contoh terjadinya kerusakan Maillaard awal.


Setelah penyimpanan selama 9 minggu, produk susu bubuk masih memperlihatkan warna
aslinya meskipun sekitar 40 persen lisin terblokir sebagai epilson-deoksilaktulosilisin. Dalam
hal ini mentionin dan triptofan masih stabil.

Pada suhu sekitar 700C, sekitar 50 persen lisin dapat terblokir sebagai epsilon-
deoksilaktulosil-lisin hanya setelah 2 minggu penyimapanan, meskipun produk susu bubuk
masih menampakan warna aslinya. Dari mulai penyimpanan 3 minggu dan seterusnya, produk
susu menjadi berwarna merah kecoklatan akibat degradasi laktulosil-lisin dan berlangsungnya
reaksi Maillard lanjutan. Mentionin dan triptofan yang tersedi(available) yang ditetapkan
dengan menggunakan bakteri Streptococus zymogens, secara progresif menurun jumlahnya,
yang mungkin disebabkan karena pengaruh menurunnya daya cerna protein.
GAMBAR

Gambar 1.3. Kehilangan asam-asam amino selama penyimpanan susu bubuk penuh

pada suhu tinggi (Hurrel,184)

Dari Gambar 1.4. Dapat dilihat bahwa kerusakan beberapa macam vitamin B dalam
susu bubuk pada penyimpanan 700C adalah paralel dengan degradasi laktulosil-lisin dan
terbentuknya hasil reaksi Maillard lanjutan. Nampak bahwa antara waktu penyimpanan 2 dan
4 minggu, tiamin(Vitamin B1), vitamin B6, vitamin B12 dan asam pantotenat secara ekstensif
rusak, karena bereaksi dengan produk reaksi Maillard lanjutan. Pada suhu 60 C nampak bahwa
vitamin-vitamin B tersebut relatif stabil.

Kehilangan vitamin-vitamin B selama penyimpanan susu bubuk penuh pada suhu tingggi
(Hurrel,1984)

Vitamin A, Vitamin C dan asal folat dalam susu bubuk juga dapat hilang (rusak) selama
penyimpanan. Namun kerusakan tersebut lebih banyak disebabkan oleh oksigen yang terdapat
daripada oleh reaksi Maillard.

INTERAKSI PROTEIN DAN POLIFENOL

Senyawa polifenol yang terdapat dalam tanaman termasuk asal fenolat, flavonoid dan
tanin. Senyawa tersebut terdistribusi secara luas dan dalam daun, batang, akar, bunga, buah
dan biji, serta secara universil terdapat dalam makanan hewan dan manusia yang berasal dari
tanaman. Senyawa polifenol dari kelas yang berbeda mempunyai pengaruh fisiologis dan gizi
yang agak berbeda. Misalnya tanin dapat menurunkan daya cerna protein dan mungkin bio-
availabilitas nutrien lain (mineral). Flavonoid seringsekali diteliti sehubungan
denganpengaruhnya terhadap metabolisme vitamin C, tetapi juga dilaporkan senyawa ini
mempunyai aktivitas farmakologis dan gizi. Dalam hal itu reaksi antara asam fenolat dengan
protein dilaporkan dapat menurunkan mutu konsentrat protein tanaman.

Asam-asamm fenolat terutama meripakan turunan dari asam sinamat dan tersebar luas
dalam tanaman pangan, dimana senyawa ini mungkin merupakan alat mempertahankan diri
terhadap serangan infeksi, predator dan parasit. Senyawa ini juga ditemukan tersangkut dalam
sintetis lignin. Salah satu sifat kimianya yang penting adalah kemudahan untuk teroksidasi.
Dengan adanya oksigen, asam klorogenat, asam kafeat dan senyawa orto-difeno lainnya dapat
teroksidasi dalam larutas alkalis atau karena aksi enzim polifenol oksidase. Produk pertama
hasil oksidasi tersebut adalah radikal ortosemikuinon atau molekul orto-kuinon yang bersifat
sangat reaktif, dan biasanya bereaksi lebih lanjut untuk menghasilkan produk berwarna coklat
dengan beat molekul tinggi. Jenis reaksi pencoklatan enzimatis ini akan segera terjadi bila
hancuran atau irisan sayuran dan buah-buhan terkena udara.

Biji bunga matahari merupakan salah satu hasil tanaman sumber minyak dan protein yang
penting. Akan tetapi penggunaan proteinnya sangat terbatas, karena terdapatnya orto-difenol
yang dapat menyebabkan perubahan warna produk selama proses ekstraksi pada pH alkalis.
Asam klorogenat adalah asam fenolat utama dalam biji bunga matahari, kadarna sekitar 1,5 –
2,- persen berat kering kernel, dan merupakan sekitar 6 persen dari total senyawa fenolik yan
terdapat Isolat protein yang tidak bewarna dari biji bunga matahari hanya dapat diperoleh
apabila terlebih dahulu dilakukan ekstraksi pendahuluan terhadap polofenolnya.

Daun muda tanaman “lucerne” (Medicago sativa) mengandung beberapa jenis polifenol
termasuk asam fenolat dan flavonid. Suatu penilitian menunjukan bahwa konsentrat protein
daun yang diperoleh dari daun “lucerne” tersebut nilai gizinya rendah, akiat terjadinya reaksi
antara protein dengan kuinon yang merupakan produk hasil oksidasi polifenol. Selain itu, akan
terjadi juga perubahan warna pdouk menjadi kecoklatan.

Beberapa peneliti menunjukan bahwa grup sulfhidril dari sistem dan grup epsilon-amino dari
lisin serta grup alfa-amino terminal dapat mudah bereaksi dengan kuinon. Mentionin dan
triptofan dapat juga bereaksi, dan selain itu, metionin, sistein dan triptofan dapat juga terosidasi
oleh kuinon. Denmikian juga ditemukan terbentuknya mentionin sulfoksida selama ekstraksi
protein daun.

Bukti pertama mengenai pengaruh reaksi-reaksi tersebut terhadap mutu protein


ditunjukan oleh Horigome dan Kandatsu (1968). Mereka mereaksikan larutan kasein dengan
asam kafeat yang telah dioksidasi secara enzimatis, asam isoklorogenat dan polifenol lain.
Mereka melaporkan bahwa protein berwarna coklat yang diperoleh mempunyai nilai biologis,
daa cerna dan lisin tersedia (available lysine) yang lebih rendah dibandingkan dengan kasein
asal.

Hurrel et al. (1982) yang bekerja dengan sistem model cairan yang mengandung kasein
(5persen) dan asam kafeat (0,2 – 1,5 persen), menemukan baahareaksi lisin tergantung pada
PH, oksigen, waktu dan suhu reaksi serta konsentrasi asam f. Dengan adanya tirosinase,
kehilangan lisin yang maksimum terjadi pada Ph 7,0. Pada Ph 6,8 dan 7,5 kehilangan lisin
reaktif hanya setengah dari jumlah yang terjadi pada pH 7,0. Dengan tidak adanya tirosinase,
hannya terjadi pada sistem yang mengalami pemberian oksigen dengan disertai pengadukan.

Sebagian besar lisin reaktif yang hilang pada pH 10,0 terjadi selama 30 menit pertama.
Reaksi pada pH 7,0 dengan adanya tirosinase terjadi lebih lambat, yang mungkin disebabkan
karena kecepatan oksidasi asam kafeat yang rendah, sehingga lisin pada jam-jam pertama
sangat minimal (Hurrel et al, 1982). Jelaslah bahwa dalam pembuatan isolat protein dari bahan
nabati misalnya biji bunga matahari dan daun-daunan, yang mengandung asam fenolat dalam
jumlah tinggi, harus diupayakan agar penggunaan alkali sama sekali dihindarkan. Mekskipun
enzim fenolase terdapat secara alami pada bahan-bahan tersebut, kelihatannya akan kecil
kemungkinan terjadinya kehilangan lisin yang cukup banyak, terutama bila pH sistem diatur
antara 8,0 dan 9,0 atau lebih kecil dari 6,0.

Dalam penelitian selanjutnya Hurrel et al, (1982) memberikan ransum pada tikus yang
berasal dari reaksi larutan kasein (5 persen) dengan asam kafeat (0,5 persen) selama 3 jam pada
suhu 20 C, kemudian senyawa kompleks kasein-asam kafeat yang terbentuk dikering-bekukan.
Mereka menemukan bahwa kehilangan lisin tersedia, mentionin dan triptofan adalah sebesar
44,26 dan 13 persen pada pH 10; dan sebesar 19,13 dan 8 persen pada Ph 7,0 dengan adanya
tirosinase. Hilangnya triptofan tersedia mungkin disebabkan karena menurunnya daya cerna
protein. Sedangkan hilangnya metionin tersedia mungkin terutama disebabkan oleh oksidasi
asam amino tersebut membentuk metionin-sulfoksida, yang pada kondisi tertenu berlangsung
sempurna.

GAMBAR
Gambar 1.5. Persentase asam-asam amino dan daya cerna nitrogen produk kasein yang
direaksikan dengan asam kafeat (Hurrel et al, 1982)

Hurrelet al. (1982) menemukan jumlah metionin sulfoksida yang diukur setelah
hidrolisis alkalis, adalah 1,4; 2,1; dan 2,2 g/ 16g N beturut-turut dalam sistem yang berisi
larutan kasein (5persen) pada Ph 10,0 serta mengandung asam kafeat sebanyak 0,2; 0,5 dan 1,5
persen. Nilai-nilai yang hampir sama ditemukan juga dalam sistem PH 7,0 dengan adanya
Kasein yang tidak direaksikan mengandung 2,7 g/ 16 g N metionin dan tidak mengandung
senyawa sulfoksida.

Lisin ditemukan dapat membentuk senyawa kompleks berikatan kovalen dengan


kafeokuinon. Hasil metabolik membuktikan bahwa kompleks tersebut tidak dapat diserap oleh
tikus, tetapi dikeluarkan secara langsung dalam feses.

Reaksi-reaksi yang mungkin terjadi pada lisin yang terikat dalam protein dengan asam
kafeat diperlihatkan pada Gambar 2.7. Tahap pertama dalam reaksi tersebut adalah konversi
asam polifenolat menjadi kuinon. Hal ini dapat terjadi dibawah kondisi alkalis atau karena
pengaruh enzim. Reaksi berikutnya antara kuinon dan lisin adalah merupakan reaksi kovalen
non-enzimatis. Skema pada Gambar 2.7 juga memberi petunjuk bahwa senyawa kompleks
yang terjadi dibawah kondisi alkalis atau enzimatis adalah berbeda, dan tiap-tiap unit lisin
terkait dapat berisolasi dengan beberapa unit kuinon.

Pada skema (Gambar 2.7) dilukiskan dua jalur reaksi. Jalur pertama dapat terjadi baik
dalam kondisi netral atau alkalis, dan dalam jalur ini pertama-tama lisin akan di distribusikan
ke dalam cincin kuinon. Diduga bahwa titik utama pensubstitusian lisin adalah pada posisi 6
cincin kuinon, meskipun dapat pula terjadi pada posisi 5. Pada langkah berikutnya terbentuk
senyawa kompleks antara lisin dengan polimer kafeokuinon. Ikatan silang (cross linkage) dapat
pula terjadi bila unit lisin yang terkait pada rantai protein bersubstitusi pada posisi 2 cincin
kuinon.

Jalur kedua hanya terjadi dalam kondisi alkalis. Pada jalur ini grup lisin beraksi (reaksi
bolak-balik) dengan grup kuinon membentuk kuinonimin. Seperti pada jalur pertama, reaksi-
reaksi selanjutnya mengarah ke pembentukan senyawa kompleks antara lisin dan polimer
kionon, dan pembentuk ikatan silang juga mungkin terjadi.
Dapat disimpulkan bahwa selama ekstraksi protein (nabati) menggunakan alkali,
kafekuinon dan klorogenokuinon yang terbentuk karena oksidasi senyawa fenolatnya, dapat
bereaksi dengan residu lisin dalam protein, sehingga membuat menjadi tidak dapat digunakan
lagi secara biologis oleh tubuh.
RASEMISASI ASAM AMINO

Rasemisasi asam-asam amino selama pengolahan merupakan fenomena lain yang


mempengaruhi nilai gizi protein. Hal ini terjadi terutama setelah perlakuan dengan alkali,
meskipun dapat juga terjadi dalam suasan asam. Resemisasi asam amino ini dapat pula terjadi
selama proses penyangrayan (roasting) bahan-bahan berprotein, terutama bila terdapat lipid
atau gula pereduksi.

Penelitian-penelitian terdahulu mengenai resemisasi asam amino dari suatu bahan


pangan berprotein hanya terbatas pada sejumlah kecil asam amino D yang dapat di deteksi, dan
umumnya tidak mengikut-sertakan asam-asam amino esensial. Resemisasi ditentukan stelah
dilakukan hidrolisis asam, sehingga terdapat kemungkinan data yang diperoleh termasuk hasil
resemisasi selama proses hidrolisis tersebut.

Baru-baru ini dikembangkan suatu metode untuk menentukan asam amino D dalam
sampel protein. Dengan cara memberi label menggunakan deuterium molekul isomer D yang
terbentuk selama hidrolisis protein dapat dibedakan dari yang terdapat mula-mula dalam
sampel. Metode tersebut menyangku pemisahan asam amino enantiomer dalam suatu fase yang
optis aktif menggunakan gas kromatografi, yang kemudian di deteksi dengan “ion mass
spectrometry”.

Pada table 2.3 diperlihatkan pengaruh pemanasan dan penggunaan alkali terhadap
terbentuknya asam-asam amino D dalam beberapa bahan berprotein.

Dari table diatas dapat dilihat bahwa dalam daging ayam beku yang dipanaskan pada
suhu 121C selama 2 jam, hanya asam aspartat yang mengalami resemisasi dalam jumlah
tinggi. Demikian pula dalam susu bubuk yang dipanaskan, hanya asam aspartate yang
mengalami resemisasi dalam jumlah tinggi. Resemisasi yang terjadi dalam susu bubuk tersebut
mungkin pengaruhnya sangat kecil terhadap nilai gizi produk ini bila dibandingkan dengan
hilangnya lisin tersedia secara keseluruhan pada kondisi perlakuan yang ekstrim ini. Tidak
ditemukan adanya resemisasi dalam susu bubuk yang disimpan atau dipanaskan pada suhu
yang lebih rendah. Sebaliknya, perlakuan dengan alkali efektif dalam menimbulkan resemisasi,
dan dalam larutan kasein yang dipanaskan pada suhu 180C selama 1 jam dalam NaOH 1 M,
semua asam amino mengalami resemisasi hamper secara keseluruhan (mendekati 50%).
Resemisasi asam amino yang terjadi selama pemanasan bahan pangan berprotein
nampaknya tidak berpengaruh terhadap nilai gizi bahan. Akan tetapi, resemisasi yang terjadi
selama perlakuan menggunakan alkali akan sangat mempengaruhi nilai gizi bahan pangan
berprotein.

Menurun daya cerna protein sebagian disebabkan karena terbentuknya ikatan


menyilang,, misalnya seperti yang terjadi dalam lisonolalanin dan lantionin, dan sebagian lagi
disebabkan oleh hilangnya sisi yang dapat doserang oleh enzim akibat terjadinya dekstruksi
asam amino. Tetapi yang paling penting adalah karena asam-asam amino D yang terbentuk
tidak dapat diserang oleh enzim. Dengan kata lain, pembentukan ikatan peptide L-D, D-L, atau
D-D akan tahan terhadap serangan enzim proteolitik,

Penyerapann asam amino D juga berlangsung lebih lambat dibandingkan dengan


bentuk L-nya, dan meskipun dapat dicerna dan diserap, sebagian besar asam amino esensial
bentuk D tidak dapat digunakan oleh tubuh manusia. Pada manusia, D-Lisin, D-treonin, D-
triptofan, D-leusin, D-isoleusin dan D-valin tidak dapat digunakan sama sekali.. diantara asam-
asam amino esesnsial, hanya D-metionin yang dapat digunakan sama baiknya seperti L-
metionin dalam mempertahankan keseimbangan nitrogen tubuh.

Penggunaan asam-asam amino D dapat diterngkan dengan adanya deaminasi oksidatif


di dalam hati atau ginjal membentuk asam alfa-keto yang diikuti oleh suatu reaminasi L yang
spesifik. Rendahnya penggunaan asam amino D pada manusia mungkin disebabkan karena
tidak terdapatnya enzim untuk asam amino D.

LISINOLALANIN

Lisinolalanin (LAL) adalah nama yang diberikan kepada senyawa Ne. (DL-2-amino-
karboksietil)-L-lisin, pertama kali dilaporkan oleh Bohak pada tahun 1964, dalam suatu
hidrolisar asam suatu ribonuclease yang diberi perlakuan dalam medium alkalis. Setelah itu
senyawa ini juga dideteksi dalam bahan pangan berprotein yang diberi perlakuan dengan alkali,
seperti isolate protein nabati; serta juga dalam bahan pangan yang diberi perlakuan pemanasan
dalam waktu yang lama/ lisinolalanin ditemukan dapat menyebabkan kerusakan ginjal pada
tikus yang dikenal dengan sebutan “cytomegaly” (sitomegali).
1. Mekanisme Reaksi.

LAL terdiri dari residu lisin yang grup epsilon aminonya terikat pada grup metil residu
alanine. Bila kedua residu tersebut terdapat dalam rantai protein, maka akan terbentuk ikatan
menyilang intra-molekuler atau antar molekul protein. Terdapat empat stereoisomer yang
mungkin terjadi yaitu, LL, LD, Dl dan DD.

Ada dua mekanisme reaksi yang diusulkan dalam pembentukan LAL seperti pada gambar2.8

Dibawah kondisi alkalis, lisin akan bergabung dengan residu dehidroalaninyang dibentuk
melalui reaksi beta eliminasi dari sistein, fosforilserin atau glikosil serin.

Mekanisme lain yang diusulkan secara teoritis untuk pembentukan LAL adalah melalui
reaksi substitusi, dimana lisin bergabung secara langsung dengan fosforilserin tanpa melalui
dehidroalanin. Hal ini akan menghasilkan isomer LL yang kurang aktif, dan mungkin
merupakan jalur pembentukan LAL dalam susu.

2. Pembentukan LAL dalam Protein Makanan

Karena terbentuk LAL diperngaruhi oleh proses pengolahan, banyak sekali perhatian
ditunjukkan untuk meneliti parameter fisik dan kimia yang mempengaruhi pembentuknya, dan
tujuannya adalah untuk mengurangi kadarnya atau menghilangkannya dari bahan pangan
berprotein yang mendapat perlakuan dengan alkali.

Meskipun penurunan pH atau suhu merupakan cara yang paling mudah untuk mengurangi
terbentuknya LAL, hal ini akan menghasilkan protein dengan sifat fungsional yang kurang
dikehendaki. Beberapa alternatif telak diusulkan, misalnya menutupi grup epsilon-amino lisin
dengan bahan pengasilasi (acylating agents) atau gula, oksidasi sitein menjadi asam sistein
sulfonate, dan penambahan peraksi seperti sistein dan glutation supaya bersaing dengan lisin
untuk berkaitan dengan residu dehidroalanin.

Tabel 2.4 diperlihatkan konsentrasi LAL yang dilaporkan terdapat dalam beberapa bahan
pangan.
3. Pengaruh Fisiologis dan Gizi

Pembentukan lisinolalanin dapat berperan dalam penurunnan daya cerna protein, tetapi
pengaruhnya kecil sekali terhadap bioavailabilitas lisin atau sistein karena konsentrasi asam-
asam amino yang tersangkut umunya kecil.

LAL bebas dapat lebih mudah diserap oleh tikus dibadingkan LAL yang terikat dalam
molekul protein (sekitar 50-60%), sedangkan sisanya akan dikeluarkan dalam feses. Sebagian
besar LAL yang terserap, secara langsung dikeluarkan melalui urin, terutama dalam bentuk
terikat.

LAL merupakan masalah toksik, bukan masalah gizi. Kerusakan ginjal yang dikenal
dengan sebutan “nephrocytomegaly” terjadi pada tikus yang diberi ransum yang mengandung
antara 20-20% protein-alfa, yaitu protein kedelai yang diberi perlakuan dengan alkali.
INTERAKSI PROTEIN DAN LIPID TEROKSIDASI

Oksidasi lipid (asam lemak) tidak jenuh diketahui melalui tahapan sebagai berikut:

1) Pembentukan produk primer, yang di duga terutama adalah lipid hidroperoksida,


2) Degradasi hidroperoksida melalui radikal bebas, membentuk berbagai macam produk
sekunder seperti aldehid, hidrokarbon serta senyawa-senyawa yang mempunyai dua
atau tiga gugus fungsional,
3) Polimerisasi produk-produk primer dan sekunder membentuk prooduk yang lebih
stabil.

Lipid teroksidasi atau produk-produk hasil rekasinya dapat bereaksi dengan protein.
Triptofan dengan asam-asam amino belerang dapat teroksidasi oleh radikal bebas atau
hidroperoksida. Produk-produk sekunder lebih mudah bereaksi dengan lisin, meskipun dapat
juga bereaksi dengan asam-asam amino lain.

Seperti halnya produk-produk sekunder, radikal bebas yang terbentuk dari lemak tidak
jenuh dapat berkombinasi secara langsung dengan protein, yang mengakibatkan terbentuknya
ikatan menyilang (cross linkage) dalam rantai protein.

Anda mungkin juga menyukai