Anda di halaman 1dari 6

PENGARUH PENGOLAHAN TERHADAP NILAI GIZI PROTEIN

Pengolahan bahan pangan berprotein yang tidak dikontrol dengan baik dapat menyebabkan
terjadinya penurunan nilai gizinya. Secara umum pengolahan bahan pangan berprotein dapat
dilakukan secara fiisik, kimia atau biologis. Secara fisik biasanya dilakukan dengan penghancuran atau
pemanasan, secara kimia dengan penggunaan pelarut organik, pengoksidasi, alkali, asam atau
belerang dioksida; dan secara biologis dengan hidrolisa enzimatis atau fermentasi.

Diantara cara pengolahan tersebut, yang paling banyak dilakukan adalah proses pengolahan
menggunakan pemanasan seperti sterilisasi, pemasakan dan pengeringan. Sementara itu kita ketahui
bahwa protein merupakan senyawa reaktif yang tersusun dari beberapa asam amino yang
mempunyai gugus reaktif yang dapat berikatan dengan komponen lain, misalnya gula pereduksi,
polifenol, lemak dan produk oksidasinya serta bahan tambahan kimia lainnya seperti alkali, belerang
dioksida atau hidrogen peroksida.

Perlakuan dengan alkali dapat menyebabkan terjadinya rasemisasi asam amino, perubahan
bentuk L menjadi bentuk D. Selain itu juga dapat terjadi reaksi antara asam amino yang satu dengan
yang lain, misalnya terbentuknya lisiolalanin dari lisin dan alanin. Hal tersebut dapat menyebabkan
menurunnya nilai gizi protein akibat terjadinya penurunan daya cerna protein dan ketersediaan atau
availabilitas asam-asam amino esensial. Selain itu reaksi antara protein dengan gula pereduksi yang
dikenal dengan reaksi Maillard, juga merupakan penyebab utama terjadinya kerusakan protein
selama pengolahan dan penyimpanan.

Sumber: NS Palupi, FR Zakaria dan E Prangdimurti. Pengaruh Pengolahan terhadap Nilai Gizi Pangan.
Topik 8. Modul e-Learning ENBP, Departemen Ilmu & Teknologi Pangan-Fateta-IPB 2007

Pemanasan protein dapat menyebabkan terjadinya reaksi-reaksi baik yang diharapkan maupun yang
tidak diharapkan. Reaksi-reaksi tersebut diantaranya denaturasi, kehilangan aktivitas enzim,
perubahan kelarutan dan hidrasi, perubahan warna, derivatisasi residu asam amino, cross-linking,
pemutusan ikatan peptida, dan pembentukan senyawa yang secara sensori aktif. Reaksi ini
dipengaruhi oleh suhu dan lama pemanasan, pH, adanya oksidator, antioksidan, radikal, dan senyawa
aktif lainnya khususnya senyawa karbonil. Beberapa reaksi yang tidak diinginkan dapat dikurangi.
Penstabil seperti polifosfat dan sitrat akan mengikat Ca2+, dan ini akan meningkatkan stabilitas panas
protein whey pada pH netral. Laktosa yang terdapat pada whey pada konsentrasi yang cukup dapat
melindungi protein dari denaturasi selama pengeringan semprot (spray drying).

Kebanyakan protein pangan terdenaturasi jika dipanasakan pada suhu yang moderat (60-90oC)
selama satu jam atau kurang. Denaturasi adalah perubahan struktur protein dimana pada keadaan
terdenaturasi penuh, hanya struktur primer protein saja yang tersisa, protein tidak lagi memiliki
struktur sekunder, tersier dan quarterner. Akan tetapi, belum terjadi pemutusan ikatan peptida pada
kondisi terdenaturasi penuh ini. Denaturasi protein yang berlebihan dapat menyebabkan
insolubilisasi yang dapat mempengaruhi sifat-sifat fungsional protein yang tergantung pada
kelarutannya.
Dari segi gizi, denaturasi parsial protein sering meningkatkan daya cerna dan ketersediaan
biologisnya. Pemanasan yang moderat dengan demikian dapat meningkatkan daya cerna protein
tanpa menghasilkan senyawa toksik. Disamping itu, dengan pemanasan yang moderat dapat
menginaktivasi beberapa enzim seperti protease, lipase, lipoksigenase, amilase, polifenoloksidase
dan enzim oksidatif dan hidrolotik lainnya. Jika gagal menginaktivasi enzim-enzim ini maka akan
mengakibatkan off-flavour, ketengikan, perubahan tekstur, dan perubahan warna bahan pangan
selama penyimpanan. Sebagai contoh, kacang-kacangan kaya enzim lipoksigenase. Selama
penghancuran bahan, untuk mengisolasi protein atau lipidnya, dengan adanya oksigen enzim ini
bekerja sehingga dihasilkan senyawa hasil oksidasi lipid yang menyebabkan off-flavour. Oleh karena
itu, sering dilakukan inaktivasi enzim dengan menggunakan pemanasan sebelum penghancuran.
Sebagai tambahan, perlakuan panas yang moderat juga berguna untuk menginaktivasi beberapa
faktor aninutrisi seperti enzim antitripsin dan lektin.

1. Reaksi Maillard (interaksi protein dan gula pereduksi)


Reaksi antara protein dengan gula-gula pereduksi merupakan sumber utama menurunnya
nilai gizi protein pangan selama pengolahan dan penyimpanan. Reaksi Maillard ini dapat
terjadi pada waktu pembuatan (pembakaran) roti, produksi “breakfast cereals” (serpihan
jagung, beras, gandum, dll) dan pemanasan daging terutama bila terdapat bahan pangan
nabati ; tetapi yang paling penting adalah selama pengolahan susu (sapi) dengan
pemanasan, karena susu merupakan bahan pangan berprotein tinggi yang juga mengandung
gula pereduksi (laktosa) dalam jumlah tinggi.
2. Reaksi Maillard Dalam Produk Bahan Pangan
Pemasakan dirumah-rumah tangga dan pengalengan makanan secara komersil hanya
memberi sedikit pengaruh terhadap nilai gizi protein bahan pangan. Akan tetapi proses
industri lainnya, yang menyangkut penggunaan panas pada kadar air yang rendah, misalnya
selama pengeringan dan pembakaran (roti), serta proses penyimpanan selanjutnya dari
produk yang dihasilkan, dapat mengakibatkan penurunan gizi yang cukup besar. Reaksi
Maillard dapat terjadi, misalnya selama produksi pembakaan roti. Kehilangan tersebut
terutama terjadi pada bagian yang berwarna coklat (crust), yang mungkin karena terjadinya
reaksi dengan gula pereduksi yang dibentuk selama proses fermentasi tetapi tidak habis
digunakan oleh khamir (dari ragi roti). Meskipun gulagula nonreduksi (misalnya sukrosa)
tidak bereaksi dengan protein pada suhu rendah, tetapi pada suhu tinggi ternyata dapat
menimbulkan reaksi Maillard, yang pada suhu tinggi terjadi pemecahan ikatan glikosidik dari
sukrosa dan menghasilkan glukosa dan fruktosa.

Sumber: Ichda Chayati, M.P. Bahan Ajar Pengujian Bahan Pangan BAB I Efek Pengolahan Terhadap Zat
Gizi Pangan. UNY. http://staffnew.uny.ac.id/upload/132300107/pendidikan/bab-01-pengujian-bahan-
pangan.pdf

a. Nilai cerna dan nilai biologis protein

Nilai gizi protein dapat diartikan sebagai kemampuan suatu protein untuk dapat dimanfaatkan oleh
tubuh sebagai sumber nitrogen untuk sintesis protein tubuh. Terdapat dua faktor yang menentukan
nilai gizi suatu protein, yaitu (1) daya cerna dan (2) kandungan asam amino esensial. Protein yang
mudah dicerna (dihidrolisis) oleh enzim-enzim pencernaan, serta mengandung asam-asam amino
esensial yang lengkap serta dalam jumlah yang seimbang merupakan protein yang bernilai gizi tinggi.

Umumnya protein hewani (daging, ikan, susu, telur) merupakan protein yang bernilai gizi tinggi,
kecuali gelatin. Protein nabati umumnya daya cernanya lebih rendah dan kekurangan salah satu
(sering juga kekurangan dua macam) asam amino esensial. Sebagai contoh, protein serealia (beras,
terigu) kekurangan asam amino lisin, sedangkan protein kacang-kacangan (kedelai) kekurangan asam
amino belerang (metionin).

Pada umumnya proses pemasakan di rumah tangga dapat meningkatkan daya cerna suatu protein,
akibat terjadinya denaturasi protein dan inaktivasi senyawa-senyawa anti-nutrisi (anti-protease,
hemaglutinin, dan sebagainya). Akan tetapi pengolahan bahan pangan di suatu industri, apabila tidak
terkontrol dengan baik, kadang-kadang dapat menurunkan nilai gizi protein akibat terjadinya reaksi-
reaksi kimia, misalnya reaksi pencoklatan nonenzimatis.

Terdapat bermacam-macam cara atau metode evaluasi nilai gizi protein, tetapi pada garis besarnya
dapat digolongkan menjadi dua macam, yaitumetode in vitro (secara kimia, enzimatis atau
mikrobiologis) dan in vivo (secara biologis menggunakan hewan percobaan, termasuk manusia).
Beberapa metode in vitro mengevaluasi komposisi asam amino esensial suatu protein (metode skor
kimia), ketersediaan (bio-availabilitas) asam amino (metode lisin tersedia), daya cerna suatu protein
(metode enzimatis), serta nilai PER yang dihitung berdasarkan nilai cerna dan komposisi asam amino
suatu protein (PER hitung, C-PER, calculated protein efficiency ratio).

Sumber: Prof. Dr. Ir. Deddy Muchtadi, M.S. Nutrifikasi Protein (Bagian 1). PANG4311/MODUL 1

b. Ketersediaan asam amino

Pada pengolahan dengan menggunakan panas yang tinggi, protein akan mengalami beberapa
perubahan. Perubahan-perubahan ini termasuk rasemisasi, hidrolisis, desulfurasi, dan deamidasi.
Kebanyakan perubahan kimia ini bersifat ireversibel, dan beberapa reaksi dapat menghasilkan
senyawa toksik.

Pengolahan panas pada pH alkali seperti pada pembuatan texturized foods dapat mengakibatkan
rasemisasi parsial dari residu L-asam amino menjadi D-asam amino. Laju rasemisasi residu
dipengaruhi oleh daya penarikan elektron dari sisi samping. Dengan demikian, residu seperti Asp,
Ser, Cys, Glu, Phe, Asn, dan Thr akan terasemisasi lebih cepat dari residu asam amino lainnya. Laju
rasemisasi juga dipengaruhi oleh konsentrasi ion hidroksil, tetapi tidak tergantung pada konsentrasi
protein itu sendiri. Sebagai tambahan, karbanion yang terbentuk pada suhu alkali dapat mengalami
reaksi â-eliminasi menghasilkan dehidroalanin.

Rasemisasi residu asam amino dapat mengakibatkan penurunan daya cerna protein karena kurang
mampu dicerna oleh tubuh. Kerugian akan semakin besar apabila yang terasemisasi adalah asam
amino esensial. Pemanasan protein pada pH alkali dapat merusak beberapa residu asam amino
seperti Arg, Ser, Thr dan Lys. Arg terdekomposisi menjadi ornithine. Jika protein dipanaskan pada
suhu sekitar 200oC, seperti yang terjadi pada permukaan bahan pangan yang mengalami
pemanggangan, broiling, grilling, residu asam aminonya akan mengalami dekomposisi dan pirolisis.
Beberapa hasil pirolisis yang diisolasi dari daging panggang ternyata bersifat sangat mutagenik. Yang
paling bersifat mutagenik adalah dari pirolisis residu Trp dan Glu. Satu kelas komponen yaitu imodazo
quinoline (IQ) merupakan hasil kondensasi kreatinin, gula dan beberapa asam amino tertentu seperti
Gly, Thr, Al dan Lys, komponen ini juga toksik. Senyawa-senyawa toksik ini akan jauh berkurang
apabila pengolahan tidak dilakukan secara berlebihan (suhu lebih rendah dan waktu yang lebih
pendek).

Sumber: Ichda Chayati, M.P. Bahan Ajar Pengujian Bahan Pangan BAB I Efek Pengolahan Terhadap Zat
Gizi Pangan. UNY. http://staffnew.uny.ac.id/upload/132300107/pendidikan/bab-01-pengujian-bahan-
pangan.pdf
EVALUASI NILAI GIZI PROTEIN
a. Skor kimia
Metode ini didasari oleh kenyataan bahwa nilai biologis suatu protein dibatasi oleh proporsi
relatif asam-asam amino esensial yang terkandung di dalamnya. Dalam menilai mutu gizi
suatu protein, Block dan Mitchell pada tahun 1946-1947, membandingkan masing-masing
asam amino yang terkandung dalam protein tersebut dengan yang terkandung dalam protein
telur sebagai standar. Selanjutnya nilai (skor) mutu gizi protein tersebut dinyatakan olah
asam amino esensial (AAE) yang paling defisien dibandingkan dengan standar.

Perhitungan untuk masing-masing asam amino esensial adalah sebagai berikut.

Metode ”skor kimia yang disederhanakan” didasarkan atas kenyataan bahwa asam amino
pembatas (limiting) dalam sebagian besar bahan pangan adalah lisin, metionin (metionin dan
sistin) dan kadang-kadang triptofan. Oleh karena itu, perhitungan skor kimia hanya dilakukan
terhadap asam-asam amino tersebut.
b. Protein Effiency Ratio (PER)
Protein efficiency ratio (PER) pada dasarnya menghitung efisiensi suatu protein makanan
yang digunakan untuk sintesis protein di dalam tubuh. Apabila didefinisikan maka PER adalah
perbandingan antara pertambahan berat badan dengan jumlah protein yang dikonsumsi.

Sumber: Prof. Dr. Ir. Deddy Muchtadi, M.S. Nutrifikasi Protein (Bagian 1). PANG4311/MODUL 1

 PER sampel = perub BB / jumlah protein konsumsi


 PER kasein terkoreksi = 2.5 / PER kasein teranalisis
 PER terkoreksi = PER sampel / PER kasein terkoreksi
Sumber: Jaya Mahar Maligan. FOOD CHEMISTRY PROTEIN ANALYSIS. Laboratorium Nutrisi Pangan
dan Hasil Pertanian Program Studi Ilmu dan Teknologi Pangan Jurusan Teknologi Hasil Pertanian FTP -
UB 2014.

c. Nilai cerna
Nilai cerna atau daya cerna suatu protein adalah perbandingan antara jumlah asam-asam
amino yang dapat diserap oleh usus halus dengan jumlah protein yang dikonsumsi.
d. Nilai biologis
Nilai biologis adalah perbandingan antara jumlah asam-asam amino yang dapat ditahan
(retensi) oleh tubuh (untuk sintesis protein tubuh) dengan jumlah asam-asam amino yang
dapat diserap oleh usus halus.
e. Net protein utilization (NPU)
Net protein utilization (NPU) adalah perbandingan antara jumlah asam-asam amino yang
dapat ditahan oleh tubuh dengan jumlah protein yang dikonsumsi.

Sumber: Prof. Dr. Ir. Deddy Muchtadi, M.S. Nutrifikasi Protein (Bagian 1). PANG4311/MODUL 1

NPU perbandingan antara jumlah nitrogen yang diretensi dalam tubuh dengan jumlah
nitrogen yang dikonsumsi.

Sumber: Jaya Mahar Maligan. FOOD CHEMISTRY PROTEIN ANALYSIS. Laboratorium Nutrisi Pangan
dan Hasil Pertanian Program Studi Ilmu dan Teknologi Pangan Jurusan Teknologi Hasil Pertanian FTP -
UB 2014.

Anda mungkin juga menyukai