Anda di halaman 1dari 17

TUGAS BIOKIMIA PANGAN

NAMA : HARSIDA

NIM : Q1A118091

KELAS : ITP _B 2018

JURUSAN ILMU DAN TEKNOLOGI PANGAN

FAKULTAS PERTANIAN

UNIVERSITAS HALUOLEO

KENDARI

2019
A. Reaksi-reaksi yang terjadi pada protein

Dari semua proses pengolahan bahan pangan, yang paling sering

digunakan adalah pemanasan. Pemanasan protein dapat menyebabkan terjadinya

reaksi-reaksi baik yang diharapkan maupun yang tidak diharapkan. Reaksi-reaksi

tersebut diantaranya denaturasi, kehilangan aktivitas enzim, perubahan kelarutan

dan hidrasi, perubahan warna, derivatisasi residu asam amino, cross-linking,

pemutusan ikatan peptida, dan pembentukan senyawa yang secara sensori aktif.

Reaksi ini dipengaruhi oleh suhu dan lama pemanasan, pH, adanya oksidator,

antioksidan, radikal, dan senyawa aktif lainnya khususnya senyawa karbonil.

Beberapa reaksi yang tidak diinginkan dapat dikurangi. Penstabil seperti polifosfat

dan sitrat akan mengikat Ca2+, dan ini akan meningkatkan stabilitas panas protein

whey pada pH netral. Laktosa yang terdapat pada whey pada konsentrasi yang

cukup dapat melindungi protein dari denaturasi selama pengeringan semprot

(spray drying).

1. Denaturasi protein

Denaturasi protein merupakan suatu proses perubahan struktur molekul


tanpa adanya pemutusan ikatan kovalen. Dalam proses ini, terjadi pemecahan
ikatan hidrogen, interaksi hidrofobik, ikatan garam dan terbukanya lipatan
molekul protein. Ada dua macam denaturasi, yaitu pengembangan rantai peptida
dan pemecahan protein menjadi unit yang lebih kecil tanpa disertai
pengembangan molekul ikatan. Ikatan yang dipengaruhi oleh proses denaturasi
adalah:
1.   Ikatan Hidrogen
2.   Ikatan Hidrofobik
3.   Ikatan Ionik 
4.   Ikatan Intramolekuler
Denaturasi protein mengakibatkan turunnya kelarutan, peningkatan
viskositas, hilangnya aktifitas biologi dan protein mudah diserang enzim
proteolitik. Peningkatan vikositas pada protein yang terdenaturasi akan
berpengaruh pada penurunan kelarutan di dalam cairan yang menyebabkan protein
menjdi mudah mengendap. Denaturasi juga menyebabkan protein kehilangan
karakteristik struktural dan beberapa kandungan senyawa di dalamnya, namun
struktur utama protein seperti C, H, O dan N tidak akan berubah. Namun hal
tersebut hanya terjadi pada sebagian kecil jenis protein.
Bila susunan ruang atau rantai polipeptida suatu molekuk protein berubah,
maka dapat dikatakan protein tersebut terdenaturasi. Sebagian protein globular
mudah mengalami denaturasi. Jika ikatan – ikatan yang membentuk konfigurasi
molekul tersebut rusak, molekul akan mengembang. Kadang – kadang perubahan
ini memang dikehendaki dalam pengolahan makanan, tetapi sering pula dianggap
merugikan sehingga perlu dicegah.
Sisi merugikan dari denaturasi :
1.   Protein kehilangan aktivitas biologi
2.   Pengendapan protein
3.   Protein kehilangan beberapa sifat fungsional
Sisi menguntungkan dari denaturasi:
1.  Denaturasi panas pada inhibitor tripsin dalam legum dapat meningkatkan
tingkat Ketercernaan dan ketersediaan biologis protein legume
2.   Protein yang terdenaturasi sebagian lebih mudah dicerna, sifat pembentuk
buih dan emulsi lebih baik daripada protein asli
3.   Denaturasi oleh panas merupakan prasyarat pembuatan gel protein yang
dipicu panas
Terdapat beberapa faktor yang menyebabkan suatu protein mengalami
denaturasi antara lain :
1.   pH
2.   Suhu Lingkungan
3.   Alkohol
4.   Aliran Listrik
5.   Agen Pereduksi
6.   Tekanan

7.   Senyawa Kimia

1. Denaturasi Karena Asam Basa

Denaturasi protein dengan penambahan asam basa ditandai dengan

peningkatan kekeruhan hingga terbentuk gumpalan pada saat mencapai pH

isoelektris. pH isoelektris adalah keadaan saat protein memiliki muatan positif dan

negatif yang sama (Anna, P., 1994). Dengan adanya muatan ionik maka asam dan

basa akan merusak jembatan garam didalam protein tersebut. Denaturasi akibat

asam / basa terjadi ketika adanya penambahan kadar asam atau basa pada garam

protein yang dapat memutus kandungan struktur dari protein tersebut karena

terjadi subtitusi ion negatif dan positif pada garam dengan ion positif dan negatif

pada asam atau basa. Reaksi ini terjadi di dalam sistem pencernaan, saat asam

lambung mengkoagulasi susu yang dikonsumsi.

2. Denaturasi Karena Logam Berat

Garam logam berat mendenaturasi protein sama dengan halnya dengan

asam dan basa. Garam logam berat umumnya mengandung Hg +2, Pb+2, Ag+1Tl+1,

Cd+2 dan logam lainnya dengan berat atom yang besar. Reaksi yang terjadi antara

garam logam berat akan mengakibatkan terbentuknya garam protein – logam yang

tidak larut). Protein akan mengalami presipitasi bila bereaksi dengan ion logam.

Pengendapan oleh ion positif (logam) diperlukan pH larutan di atas pI karena

protein bermuatan negatif, pengendapan oleh ion negatif diperlukan pH larutan di

bawah pI karena protein bermuatan positif. Ion-ion positif yang dapat


mengendapkan protein adalah; Ag+, Ca++, Zn++, Hg++, Fe++, Cu++ dan Pb++,

sedangkan ion-ion negatif yang dapat mengendapkan protein adalah; ion salisilat,

triklorasetat, piktrat, tanat dan sulfosalisilat. Denaturasi akibat campuran logam

berat pada protein, hal ini terjadi karena ikatan sulfur pada protein tertarik oleh

ikatan logam berat sehingga proses denaturasi terjadi dengan adanya perubahan

struktur kandungan senyawa pada protein tersebut saat ion pada protein bereaksi

dengan ion logam berat yang tercampur didalamnya.

3. Denaturasi karena Panas

Denaturasi akibat panas menyebabkan molekul – molekul yang menyusun

protein bergerak dengan sangat cepat sehingga sifat protein yaitu hidrofobik

menjadi terbuka. Akibatnya, semakin panas, molekul akan bergerak semakin

cepat dan memutus ikatan hidrogen di dalamnya (Vladimir, 2007). Panas dapat

digunakan untuk mengacaukan ikatan hidrogen dan interaksi hidrofobik non

polar. Hal ini terjadi karena suhu tinggi dapat meningkatkan energi kinetik dan

menyebabkan molekul penyusun protein bergerak atau bergetar sangat cepat

sehingga mengacaukan ikatan molekul tersebut. Denaturasi dengan suhu panas

yang dilakukan pada buah-buahan akan mengakibatkan berkurangnya kadar air

dan bertambahnya viskositas atau kekentalan kadar protein yang tertanam pada

buah yang mengalami denaturasi akibat suhu panas. Pemanasan akan membuat

protein bahan terdenaturasi sehingga kemampuan mengikat airnya menurun. Hal

ini terjadi karena energi panas akan mengakibatkan terputusnya interaksi non-

kovalen yang ada pada struktur alami protein tapi tidak memutuskan ikatan
kovalennya yang berupa ikatan peptida. Proses ini biasanya berlangsung pada

kisaran suhu yang sempit.

4. Denatursi karena alkohol

Alkohol juga dapat mendenaturasi protein. Alkohol seperti kita ketahui

umumnya terdapat kadar 70% dan 95%. Alkohol 70% bisa masuk ke dinding sel

dan dapat mendenaturasi protein di dalam sel. Sedangkan alkohol 95%

mengkoagulasikan protein di luar dinding sel dan mencegah alkohol lain masuk

ke dalam sel melalui dinding sel. Sehingga yang digunakan sebagai disinfektan

adalah alkohol 70%. Alkohol mendenaturasi protein dengan memutuskan ikatan

hidrogen intramolekul pada rantai samping protein. Ikatan hidrogen yang baru

dapat terbentuk antara alkohol dan rantai samping protein tersebut.

5. Agen pereduksi merusak ikatan disulfida

Ikatan disulfida terbentuk dengan adanya oksidasi gugus sulfhidril pada

sistein. Antara rantai protein yang berbeda yang sama-sama memiliki gugus

sulfhidril akan membentuk ikatan disulfida kovalen yang sangat kuat. Agen

pereduksi dapat memutuskan ikatan disulfida, dimana penambahan atom hidrogen

sehingga membentuk gugus tiol; -SH.

B.   Reaksi Maillard

Reaksi antara protein dengan gula pereduksi merupakan sumber utama

menurunnya nilai gizi protein pangan selama pengolahan dan penyimpanan.

Reaksi maillard ini dapat terjadi pada waktu pembuatan (pembakaran) roti,

produksi breakfast cereals (serpihan jagung, beras, gandum, dll), dan pemanasan

daging terutama bila terdapat bahan pangan nabati. Pada pembakaran roti,
kehilangan zat gizi yang cukup besar tersebut terutama terjadi pada bagian yang

berwarna coklat (crust) karena terjadinya reaksi dengan gula pereduksi yang

dibentuk selama proses fermentasi tetapi tidak habis digunakan oleh khamir dari

ragi roti. Meskipun gula-gula nonreduksi (misalnya sukrosa) tidak bereaksi

dengan protein pada suhu rendah, tetapi pada suhu tinggi ternyata dapat

menimbulkan reaksi maillard, yang pada suhu tinggi terjadi pemecahan ikatan

glikosidik dari sukrosa dan menghasilkan glukosa dan fruktosa. Contoh lain

adalah pada pengolahan susu sapi dengan pemanasan karena susu merupakan

bahan pangan berprotein tinggi yang juga mengandung gula pereduksi (laktosa)

dalam jumlah tinggi.

C.    Pengolahan panas yang tinggi

Pada pengolahan dengan menggunakan panas yang tinggi, protein akan

mengalami beberapa perubahan. Perubahan-perubahan ini termasuk rasemisasi,

hidrolisis, desulfurasi, dan deamidasi. Kebanyakan perubahan kimia ini bersifat

ireversibel, dan beberapa reaksi dapat menghasilkan senyawa toksik.

1.   Rasemisasi

Rasemisasi residu asam amino dapat mengakibatkan penurunan daya cerna

protein karena kurang mampu dicerna oleh tubuh. Kerugian akan semakin besar

apabila yang terasemisasi adalah asam amino esensial. Pemanasan protein pada

pH alkali dapat merusak beberapa residu asam amino seperti Arg, Ser, Thr dan

Lys. Arg terdekomposisi menjadi ornithine. Jika protein dipanaskan pada suhu

sekitar 200oC, seperti yang terjadi pada permukaan bahan pangan yang mengalami

pemanggangan, broiling, grilling, residu asam aminonya akan mengalami


dekomposisi dan pirolisis. Beberapa hasil pirolisis yang diisolasi dari daging

panggang ternyata bersifat sangat mutagenik. Yang paling bersifat mutagenik

adalah dari pirolisis residu Trp dan Glu. Satu kelas komponen yaitu imodazo

quinoline (IQ) merupakan hasil kondensasi kreatinin, gula dan beberapa asam

amino tertentu seperti Gly, Thr, Al dan Lys, komponen ini juga toksik. Senyawa-

senyawa toksik ini akan jauh berkurang apabila pengolahan tidak dilakukan secara

berlebihan (suhu lebih rendah dan waktu yang lebih pendek).

2.   Hidrolisis protein

Hidrolisis protein merupakan proses pemutusan ikatan peptida dari protein

menjadi komponen-komponen yang lebih kecil seperti pepton, peptida dan asam

amino. Hidrolisis ikatan peptida akan menyebabkan beberapa perubahan pada

protein, yaitu meningkatkan kelarutan karena bertambahnya kandungan NH 3+ dan

COO- dan berkurangnya berat molekul protein atau polipeptida, serta rusaknya

struktur globular protein.

Waktu yang digunakan untuk hidrolisis pada ikatan peptida bergantung

pada asam amino. Biasanya, ikatan peptida antara asam amino alifatik

membutuhkan waktu yang sangat lama untuk diuraikan. Hidrolisis yang memakan

waktu 24 jam pada suhu 110oC kurang mampu memecahkan ikatan peptida.

Sedangkan hidrolisis yang memakan waktu 2-3 hari mampu menguraikan dengan

sempurna isoleusin dan ikatan valin.

Cara untuk menghidrolisis protein:

1.   Hidrolisis Asam


Hidrolisis dengan menggunakan asam kuat anorganik, seperti HCl atau

H2SO4 pekat (4-8 normal), lalu dipanaskan pada suhu mendidih atau dapat

dilakukan dengan tekanan di atas satu atmosfer, selama beberapa jam. Akibat

samping yang terjadi dengan hidrolisis asam ialah rusaknya beberapa asam amino

(triptofan, sebagian serin dan threonin).

Cara lama: Protein dipanaskan dengan 6 N HCL selama 24 jam dengan

suhu 110C

Cara cepat: Sampel protein diletakkan di tabung pada wadah tertutup yang

berisi 6 N HCL dgn ruang kosong yang diisi oleh nitrogen. Wadah tersebut lalu

diletakkan di oven selama 5-30 menit dengan suhu lebih dari 200C. Asam HCl

akan terevaporasi dan dihidrolisasi oleh nitrogen.

2.   Hidrolisis Basa

Hidrolisis protein menggunakan basa merupakan proses pemecahan

polipeptida dengan menggunakan basa / alkali kuat, seperti NaOH dan KOH pada

suhu tinggi, selama beberapa jam, dengan tekanan di atas satu atmosfer. Namun

serin dan threonin rusak dengan basa.

3.   Hidrolisis Enzimatik

Hidrolisis enzimatik dilakukan dengan mempergunakan enzim. Dapat

digunakan satu jenis enzim saja, atau beberapa jenis enzim yang berbeda.

Penambahan enzim perlu dilakukan pengaturan pada kondisi pH dan suhu

optimum.

Dibandingkan dengan hidrolisis secara kimia (menggunakan asam atau

basa), hidrolisis enzimatik lebih menguntungkan karena tidak mengakibatkan


kerusakan asam amino dan asam-asam amino bebas serta peptida dengan rantai

pendek yang dihasilkan lebih bervariasi, reaksi dapat dipercepat kira-kira 1012

sampai 1020, tingkat kehilangan asam amino esensial lebih rendah, biaya produksi

relatif lebih murah dan menghasilkan komposisi asam amino tertentu terutama

peptida rantai pendek (dipeptida dan tripeptida) yang mudah diabsorbsi oleh

tubuh.

Salah satu cara lain untuk menghidrolisis kandungan protein dalam suatu

bahan dapat menggunakan enzim proteolitik baik yang berasal dari bahan itu

sendiri atau dengan penambahan enzim dari luar bahan. Enzim proteolitik yang

ditambahkan dapat berasal dari hewan maupun dari tumbuhan. Menurut Reed

(1975) enzim proteolitik atau enzim protease adalah enzim yang dapat memecah

molekul-molekul protein dengan cara menghidrolisis ikatan peptida menjadi

senyawa-senyawa yang lebih sederhana seperti proteosa, pepton, polipeptida,

dipeptida dan sejumlah asam-asam amino.

4.   Cross-Linking

Beberapa protein pangan mengandung cross-link intra- dan antarmolekul,

contohnya adalah ikatan disulfida pada protein globular, di- dan trityrosine type

cross-link pada protein serat seperti keratin, elastin dan kolagen.  Salah satu fungsi

cross-link pada protein alami adalah supaya tidak mudah dipecah oleh proteolisis. 

Pengolahan pangan, khususnya pada pH alkali, dapat menyebabkan pembentukan

cross-link pada protein.  Pembentukan ikatan kovalen antara rantai polipeptida ini

dapat menurunkan daya cerna dan ketersediaan biologisnya, khususnya yang

melibatkan asam amino esensial. Lisinoalanin adalah cross-link utama yang


umum ditemukan pada protein yang diperlakukan pada kondisi alkali, hal ini

terjadi karena ketersediaan residu lisil yang banyak terdapat dalam bahan pangan. 

Pada kondisi pengolahan yang normal, pembentukan lisinoalanin hanya sedikit,

jadi tidak terlalu merugikan.

5.   Oksidasi  

Keberadaan senyawa pengoksidasi dalam bahan pangan dapat berasal dari

aditif seperti hidrogen peroksida dan benzoil peroksida yang ditambahkan sebagai

bakterisidal pada susu atau pemutih pada tepung, dapat pula berasal dari radikal

bebas yang terbentuk selama pengolahan (peroksidasi lipid, fotooksidasi

riboflavin, reaksi Maillard). Selain itu, polifenol yang banyak terdapat pada bahan

yang berasal dari tanaman dapat dioksidasi oleh oksigen pada pH netral atau alkali

membentuk quinon sehingga terbentuk peroksida. Senyawa-senyawa

pengoksidasi ini dapat menyebabkan oksidasi beberapa residu asam amino dan

menyebabkan polimerisasi protein.  Residu asam amino yang rentan terhadap

reaksi oksidasi adalah Met, Cys/cystine, Trp dan His, dan yang agak rentan yaitu

Tyr. Oksidasi lipid tidak jenuh menghasilkan radikal alkoksi dan peroksi. 

Radikal-radikal yang terbentuk ini dapat bereaksi dengan protein, membentuk

radikal bebas lipidprotein. Radikal bebas lipid-protein terkonyugasi ini

selanjutnya dapat mengalami polimerisasi cross-linking protein.  Sebagai

tambahan, radikal bebas lipid dapat menginduksi pembentukan radikal bebas pada

rantai samping sistein dan histidin yang kemudian akan mengalami reaksi cross-

linking dan polimerisasi. Peroksida lipid dalam bahan pangan akan

terdekomposisi menghasilkan aldehid, keton dan khususnya malonaldehid. 


Senyawa-senyawa karbonil ini akan bereaksi dengan gugus amino protein melalui

reaksi amino-karbonil dan pembentukan basa Schiff. Reaksi malonaldehid dengan

rantai samping lisil akan mengakibatkan crosslinking dan polimerisasi protein.

Reaksi ini berakibat pada turunnya nilai gizi protein dan dapat menimbulkan off-

flavour.  

6.   Reaksi Dengan Nitrit  

Reaksi nitrit dengan amin sekunder, dan pada beberapa kasus dengan amin

primer dan tersier, dapat membentuk N-nitrosoamin, senyawa yang bersifat

karsinogenik.  Nitrit biasanya ditambahkan pada produk daging untuk

mempertahankan warna dan mencegah pertumbuhan bakteri.  Asam amino (atau

residu) yang terlibat dalam reaksi ini terutama Pro, His, Trp.  Arg dan Cys juga

dapat bereaksi dengan nitrit.  Reaksi ini terutama terjadi pada suasana asam dan

suhu tinggi.  Amin sekunder yang dihasilkan dari reaksi Maillard, seperti produk

Amadori dan Heyns, juga dapat bereaksi dengan nitrit. Pembentukan N-

nitrosoamin pada pemasakan, grilling dan broiling daging telah menjadi perhatian

karena dampaknya yang dapat menghasilkan senyawa karsinogenik.  Usaha untuk

mengurangi pembentukan senyawa karsinogenik ini dapat dilakukan dengan

penambahan aditif lain seperti asam askorbat dan eritorbat. 

Metode Analisa Protein secara kuantitatif :

1.   Metode Lowry

Metode Lowry merupakan pengembangan dari metode Biuret. Dalam

metode ini terlibat 2 reaksi. Awalnya, kompleks Cu(II)-protein akan terbentuk

sebagaimana metode biuret, yang dalam suasana alkalis Cu(II) akan tereduksi
menjadi Cu(I). Ion Cu+ kemudian akan mereduksi reagen Folin-Ciocalteu,

kompleks phosphomolibdat - phosphotungstat, menghasilkan heteropoly

-molybdenum blue akibat reaksi oksidasi gugus aromatik (rantai samping asam

amino) terkatalis Cu, yang memberikan warna biru intensif yang dapat dideteksi

secara kolorimetri. Kekuatan warna biru terutama bergantung pada kandungan

residu tryptophan dan tyrosine-nya. Keuntungan metode Lowry adalah lebih

sensitif (100 kali) daripada metode Biuret sehingga memerlukan sampel protein

yang lebih sedikit. Batas deteksinya berkisar pada konsentrasi 0.01 mg/mL.

Namun metode Lowry lebih banyak interferensinya akibat kesensitifannya

Metode Lowry-Folin hanya dapat mengukur molekul peptida pendek dan tidak

dapat mengukur molekul peptida panjang. Prinsip kerja metode Lowry adalah

reduksi Cu2+ (reagen Lowry B) menjadi Cu+ oleh tirosin, triptofan, dan sistein

yang terdapat dalam protein. Ion Cu+ bersama dengan fosfotungstat dan

fosfomolibdat (reagen Lowry E) membentuk warna biru, sehingga dapat

menyerap cahaya.

2.   Spektrofotometri

Spektrofotometer adalah alat untuk mengukur transmitan atau absorban

suatu sampel sebagai fungsi panjang gelombang. Sedangkan pengukuran

menggunakan spektrofotometer ini, metoda yang digunakan sering disebut dengan

spektrofotometri. Spektrofotometer dapat mengukur serapan di daerah tampak,

UV (200-380 nm) maupun IR (> 750 nm) dan menggunakan sumber sinar yang

berbeda pada masing-masing daerah (sinar tampak, UV, IR). Monokromator pada


spektrofotometer menggunakan kisi atau prisma yang daya resolusinya lebih baik

sedangkan detektornya menggunakan tabung penggandaan foton atau fototube.

Komponen utama dari spektrofotometer, yaitu sumber cahaya, pengatur

Intensitas, monokromator, kuvet, detektor, penguat (amplifier), dan

indikator.Spektrofotometri dapat dianggap sebagai perluasan suatu pemeriksaan

visual dengan studi yang lebih mendalam dari absorbsi energi. Absorbsi radiasi

oleh suatu sampel diukur pada berbagai panjang gelombangdan dialirkan oleh

suatu perkam untuk menghasilkan spektrum tertentu yang khas untuk komponen

yang berbeda.

3.   Metode Kjeldahl

  Metode Kjeldahl merupakan salah satu dari uji kadar protein yang

memiliki tingkat kepercayaan lebih tinggi dalam menentukan kandungan nirogen

(N) dalam susu. Kelebihan metode ini adalah sederhana, akurat, dan universal

juga mempunyai kebolehulangan (Reproducibility) yang cukup baik, akan tetapi

metode ini bukannya tidak memiliki kekurangan. Kekurangan metode ini adalah

memakan waktu lama (Time Consuming), membutuhkan biaya besar dan

ketermpilan tekhnis tinggi (Juiati dan Sumardi, 1981)

4.   Metode Turbodimetri

Turbidimetri merupakan sifat optik akibat dispersi sinar dan dapat

dinyatakan sebagai perbandingan cahaya yang dipantulkan terhadap cahaya yang

tiba. Intensitas cahaya yang dipantulkan oleh suatu suspensi adalah fungsi

konsentrasi jika kondisi-kondisi lainnya konstan. Metode pengukuran turbiditas

dapat dikelompokkan dalam tiga golongan. Yaitu pengukuran perbandingan


intensitas cahaya yang dihamburkan terhadap intensitas yang datang; pengukuran

efek ekstingsi, yaitu kedalaman di mana cahaya yang mulai tidak tampak di dalam

lappisan medium yang keruh. Instrumen pengukuran perbandingan tyndall disebut

sebagai tyndall meter. Dalam instrumen ini intensitas diukur secara langsung.

Sedangkan pada nefelometer, intensitas cahaya diukur dengan larutan standar.

Turbidineter mliputi pengukuran cahaya yang diteruskan. Turbiditas

berbandinglurus terhadap konsentrasi dan ketebalan, tetapi turbiditas tergantung

juga pada warna. Untuk partikel yang lebih kecil, rasio tyndall sebanding dengan

pangkat tiga dari ukuran partikel dan berbanding terbalik terhadap pangkat empat

panjang gelombang (Khopkhar,2003 : 7)

5.   Metode Titrasi Formol

Larutan protein dinetralkan dengan basa (NaOH) lalu ditambahkan

formalin akan membentuk dimethilol. Dengan terbentuknya dimethilol ini berarti

gugus aminonya sudah terikat dan tidak akan mempengaruhi reaksi antara asam

dengan basa NaOH sehingga akhir titrasi dapat diakhiri dengan tepat. Indikator

yang digunakan adalah p.p., akhir titrasi bila tepat terjadi perubahan warna

menjadi merah muda yang tidak hilang dalam 30 detik.

Terimakasih  semoga blog kami bermanfaat :)

Ikan merupakan salah satu sumber protein yang sangat di butuhkan oleh

manusia, karena kandungan proteinya tinggi, mengandung asam amino esensial

yang diperlukan oleh tubuh, disamping itu nilai biologisnya mencapai

90%,dengan jaringan pengikat sedikit sehingga mudah di cerna (Natsir dan Latifa,

2018).
DAFTAR PUSTAKA

Natsir NA dan Latifa S., 2018. Analisis Kandungan Protein Total Ikan Kakap
Merah dan Ikan Kerapuh Bebek. Jurnal Biologi. 7 (1) : 49-50.

Anda mungkin juga menyukai