Anda di halaman 1dari 11

PENGUJIAN SIFAT FISIK KIMIAWI PROTEIN

Suci Febnikayani, 230110130045

ABSTRAK
Protein adalah polimer dari asam amino yang dihubungkan dengan ikatan peptida.
Denaturasi protein adalah hilangnya sifat-sifat struktur lebih tinggi oleh terkacaunya ikatan
hidrogen dan gaya-gaya sekunder lain yang memutuskan molekul protein. Praktikum Sifat
Fisik Kimiawi Protein ini bertujuan untuk memahami perubahan sifat-sifat protein karena
berbagai perlakuan dengan penambahan asam, basa, dan pemanasan. Selain itu agar
memahami ikatan peptida pada protein, sifat koagulan protein baik amfoter maupun
reversible. Adapun cara pengerjaannya meliputi proses menyiapkan 2mL sampel di tabung
reaksi, yang kemudian ditambahkan 1mL asam atau basa pada sampel. Sampel yang telah
diberi asam atau basa kemudian dipanaskan, setelah itu diukur pHnya. Kemudian diberi
ninhidrin, dan dipanaskan kembali. Hasil pengamatan yang diperoleh adalah terjadinya
denaturasi dan koagulasi (gumpalan) yang bersifat amfoter. Berdasarkan hasil pengamatan
tersebut, dapat disimpulkan bahwa protein dapat terputus ikatan peptidanya karena
penambahan asam dan basa, dan dapat terjadi denaturasi dan koagulasi karena suhu
pemanasan yang tinggi.
Kata kunci: protein, koagulasi, denaturasi, perubahan pH.
PENDAHULUAN
Protein sangat penting bagi tubuh. Ia mengandung unsur semacam C, O, H dan N yang
tidak dipunyai oleh karbohidrat juga lemak. Protein merupakan salah satu dari biomolekul
raksasa, selain polisakarida, lipid, dan polinukleotida, yang merupakan penyusun utama
makhluk hidup. Selain itu, protein merupakan salah satu molekul yang paling banyak diteliti
dalam biokimia. Protein ditemukan oleh Jons Jakob Berzelius pada tahun 1838. Secara kimia
dapat dibedakan antara protein sederhana yang terdiri dari polipeptida dan protein kompleks
yang mengandung zat-zat makanan tambahan seperti hern, karbohidrat, lipid atau asam
nukleat. Untuk protein kompleks, bagian polipeptida dinamakan aproprotein dan
keseluruhannya dinamakan haloprotein. Secara fungsional protein juga menunjukkan banyak
perbedaan. Dalam sel mereka berfungsi sebagai enzim, bahan

bangunan, pelumas dan

molekul pengemban. Tapi sebenarnya protein merupakan polimer alam yang tersusun dari
berbagai asam amino melalui ikatan peptida (Hart, 1987). Sifat-sifat protein beraneka ragam,
dituangkan dalam berbagai sifatnya saat bereaksi dengan air, beberapa reagen dengan
pemanasan serta beberapa perlakuan lainnya. Semua molekul dengan jenis protein tertentu
mempunyai komposisi dan deret asam amino dan panjang rantai polipeptida yang sama.
Protein memiliki fungsi sebagai berikut (Lehninger, 1996): Enzim, merupakan katalis

biokimia; Pengukur pergerakan; Alat pengangkut dan penyimpan; Penunjang mekanisme


tubuh; Pertahanan tubuh (imune atau anti-bodi); Media perambatan impuls saraf; dan
Pengendali pertumbuhan.
Denaturasi protein dapat diartikan suatu perubahan atau modifikasi terhadap struktur
sekunder, tertier dan kuartener molekul protein tanpa terjadinya pemecahan ikatan-ikatan
kovalen. Karena itu, denaturasi dapat diartikan suatu proses terpecahnya ikatan hidrogen,
interaksi hidrofobik, ikatan garam dan terbukanya lipatan molekul protein. Denaturasi protein
meliputi gangguan dan kerusakan yang mungkin terjadi pada struktur sekunder dan tersier
protein. Sejak diketahui reaksi denaturasi tidak cukup kuat untuk memutuskan ikatan peptida,
dimana struktur primer protein tetap sama setelah proses denaturasi. Denaturasi terjadi karena
adanya gangguan pada struktur sekunder dan tersier protein. Pada struktur protein tersier
terdapat empat jenis interaksi yang membentuk ikatan pada rantai samping seperti; ikatan
hidrogen,

jembatan garam, ikatan disulfida dan interaksi hidrofobik non polar, yang

kemungkinan mengalami gangguan. Denaturasi yang umum ditemui adalah proses presipitasi
dan koagulasi protein.
Denaturasi, koagulasi dan redenaturasi dapat dibedakan sebagai berikut. Denaturasi
protein adalah suatu keadaan telah terjadinya perubahan struktur protein yang mencakup
perubahan bentuk dan lipatan molekul, tanpa menyebabkan pemutusan atau kerusakan lipatan
antar asam amino dan struktur primer protein. Koagulasi adalah denaturasi protein akibat
panas dan alkohol. Redenaturasi adalah denaturasi protein yang berlangsung secara
reveresibel. Panas dapat digunakan untuk mengacaukan ikatan hidrogen dan interaksi
hidrofobik non polar. Hal ini terjadi karena suhu tinggi dapat meningkatkan energi kinetik dan
menyebabkan molekul

penyusun protein bergerak atau bergetar sangat cepat sehingga

mengacaukan ikatan molekul tersebut. Protein telur mengalami denaturasi dan terkoagulasi
selama pemasakan. Beberapa makanan dimasak untuk mendenaturasi protein yang dikandung
supaya memudahkan enzim pencernaan dalam mencerna protein tersebut.
Pemanasan akan membuat protein bahan terdenaturasi sehingga kemampuan mengikat
airnya menurun. Hal ini terjadi karena energi panas akan mengakibatkan terputusnya interaksi
non-kovalen yang ada pada struktur alami protein tapi tidak memutuskan ikatan kovalennya
yang berupa ikatan peptida. Proses ini biasanya berlangsung pada kisaran suhu yang sempit.
Seperti asam amino, protein yang larut dalam air akan membentuk ion yang
mempunyai muatan positif dan negatif. Dalam suasana asam molekul protein akan
membentuk ion positif, sedangkan dalam suasana basa akan membentuk ion negatif. Pada
titik isolistrik protein mempunyai muatan positif dan negatif yang sama, sehingga tidak

bergerak ke arah elektroda positif maupun negatif apabila ditempatkan di antara kedua
elektroda tersebut. Protein mempunyai titik isolistrik yang berbeda-beda. Titik isolistrik
protein mempunyai arti penting karena pada umumnya sifat fisika dan kimia erat
hubungannya dengan pH isolistrik ini. Pada pH di atas titik isolistrik protein bermuatan
negatif, sedangkan di bawah titik isolistrik, protein bermuatan positif. Titik isolistrik pada
albumin adalah pada pH 4,55-4,90.
Ketika konsentrasi garam meningkat, sebagian dari molekul-molekul air akan tertarik
oleh ion garam, yang kemudian akan mengurangi jumlah molekul air yang dapat berinteraksi
dengan bagian hidrofobik protein. Sebagai akibat dari meningkatnya permintaan molekul
solven , interaksi antar protein menjadi lebih kuat daripada interaksi antara pelarut dan zat
terlarut, Hal ini akan menyebabkan molekul-molekul protein mengental dengan membentuk
interaksi hidrofobik dengan satu sama lain. Proses ini dikenal sebagai salting-out.
Dalam pembahasan lain disebutkan bahwa salting out terjadi ketika pada konsentrasi
garam yang tinggi, garam akan lebih cenderung mengikat air dan menyebabkan agregasi.
Sehingga molekul protein mengalami presipitasi.
Biasanya dalam air murni, protein sukar larut. Dengan adanya penambahan garam,
kelarutan protein akan meningkat. Hal ini disebabkan oleh ion anorganik yang terhidrasi
sempurna akan mengikat permukaan protein dan mencegah penggabungan (agregasi) molekul
protein. Hal ini disebut salting in.
Kelarutan protein akan berkurang bila ke dalam larutan protein ditambahkan garamgaram anorganik, akibatnya protein akan terpisah sebagai endapan. Peristiwa pemisahan
protein ini disebut salting out. Bila garam netral yang ditambahkan berkonsentrasi tinggi,
maka protein akan mengendap. Pengendapan terus terjadi karena kemampuan ion garam
untuk menghidrasi, sehingga terjadi kompetisi antara garam anorganik dengan molekul
protein untuk mengikat air. Karena garam anorganik lebih menarik air maka jumlah air yang
tersedia untuk molekul protein akan berkurang. Larutan albumin dalam air dapat diendapkan
dengan penambahan amoniumsulfat ((NH4)2SO4) hingga jenuh. Setelah larutan albumin
dijenuhkan dengan (NH4)2SO4, uji kelarutan endapan yang terjadi dengan air menunjukkan
hasil positif (endapan larut membentuk butiran). Kemudian butiran direaksikan dengan
pereaksi milon, dan bereaksi positif dengan ditandai endapan berwarna kemerahan. Uji filtrat
dengan pereaksi biuret juga menunjukkan hasil poisitif yang ditandai larutan berwarna ungu
violet. Pengujian endapan yang dihasilkan dengan pereaksi milon bertujuan untuk mengetahui
ada tidaknya kandungan tirosin, sedangkan pengujian filtrat dengan pereaksi biuret bertujuan
untuk mengetahui ada tidaknya gugus amida pada filtrat yang dihasilkan.

METODELOGI
Praktikum dilaksanakan pada hari Kamis, 30 Oktober 2014 pukul 10.15 WIB selesai
bertempat di Laboratorium Bioteknologi, Gedung 4 Fakultas Pertanian dan Perikanan,
Universitas Padjadjaran.
Alat-alat yang digunakan antara lain: beaker glass digunakan untuk wadah atau tempat
sampel; hot plate digunakan untuk menghomogenkan sampel; pH meter digunakan untuk
mengukur pH awal maupun pH akhir setelah perlakuan; mortar digunakan untuk
menghaluskan atau menumbuk sampel hingga halus dan hancur; cawan petri digunakan untuk
wadah sampel; tabung reaksi digunakan untuk tempat mereaksikan sampel dengan larutan
lain.
Bahan-bahan yang digunakan antara lain: NH3, NaOH, H2SO4, CH3COOH yang
digunakan untuk ditambahkan dengan sampel sesuai perlakuan; telur ayam mentah, ikan
(daging, tulang dan kulit) digunakan sebagai sampel yang akan diuji; pereaksi ninhidrin
digunakan sebagai pereaksi pada sampel sesuai perlakuan.
Prosedur kerja yang digunakan dalam praktikum kali ini adalah sebagai berikut :
Menyiapkan 2ml atau 2 gr sampel didalam tabung reaksi.
Ukur pH sampel.

Menambahkan 1 ml asam atau basa pada sampel.

Memanaskan sampel diatas hot plate.

Mengukur pH sampel setelah perlakuan.

Menambahkan pereaksi ninhidrin sebanyak 2


tetes.

Memanaskan kembali sampel.

Mengamati perubahan - perubahan yang tampak.

HASIL DAN PEMBAHASAN


Tabel 1. Hasil Pengamatan Data Kelompok 15.
Sampel

Perlakuan

pH
Awal

pH
Akhir

Pengamatan Perubahan

Diberi
Basa Kuat

13

Telur
Diberi As.
Kuat

Tanpa
Perlakuan

Setelah ditetesi Bs. Kuat: berwana putih


keruh/kecoklatan muda dan bentuknya agak
lebih cair.
Setelah dipanaskan: teksturnya lebih mengeras
dan terdapat endapan.
Setelah ditetesi ninhidrin: warna menjadi
kekuningan dan cair tetapi terdapat endapan
ditengah.
Setelah ditetesi As. Kuat: berwarna putih pekat
dan ditengahnya berwarna kekuningan sampai
keatas terdapat gumpalan.
Setelah dipanaskan: menjadi agak padat dan
bau lebih menyengat dan agak amis.
Setelah diberi ninhidrin: menjadi berwarna
putih dan terdapat endapan dibawah.
Tidak ditetesi apapun: tidak berubah.
Setelah dipanaskan: menjadi mengeras (telur
matang) dan tidak menggumpal serta bau amis.
Setelah ditetesi ninhidrin: menjadi kental dan
tidak menggumpal.

Tabel 2. Hasil Data Pengamatan Lab. Biotek


Ke
l.

Sampel

pH
Awal

Daging

10

Daging

As. Kuat

As. Lemah

Berwarn
a
menjadi
lebih
putih &
lunak.
pH: 13

Bs. Kuat

Bs. Lemah

As. Kuat: lebih


lunak.
Bs. Kuat: kental
& ada endapan.

Warna
menjadi
kecoklat
an &
mengera
s. pH: 1
Warna
cream, ada

Pemanasan

Warna
pekat &

As. Lemah: ada


gelembung

gelembun
g. pH: 1

11

12

13

14

15

16

Tulang

Tulang

Kulit
Ikan

Kulit
Ikan

Telur

Telur

Warna
lebih
putih &
bau
amis.
pH: 3
Warna
pucat &
bau
menyengat
. pH: 2

Kulit
pecah,
ada
endapan.
pH: 3

Ada
minyak.
pH: 0
Warna
merah
kekuninga
n, keruh,
bau amis.
pH: 2

Lunak &
hancur.
pH: 14

Putih
pekat
kekuning
an. pH: 0

amis
Bs. Lemah:
menyengat Menggumpal &
. pH: 13 ada gelembung
As. Kuat: putih
pekat, endapan.
Bs. Kuat: tulang
hancur.

Warna
Warna tetap
pucat &
pucat, keras, &
bau tdk
tdk menyengat
menyengat
. pH: 8
As. Kuat: kulit
hancur.
Bs. Kuat: kulit
pecah, cairan
warna merah.
As. Lemah:
Warna
kuning & tdk
bening & lunak.
keruh. pH: Bs. Lemah: tdk
6
lunak, keruh.

Putih
kecoklat
an. pH:
13
Putih
kekuninga
n ada
endapan.
pH: 3

Putih
kekuninga
n agak
cair. pH:
11

As. Kuat: padat


& bau
menyengat
Bs. Kuat:
Mengeras & ada
endapan.
Menggumpal
dan berwarna
putih pekat.

Berdasarkan hasil pengamatan yang telah dilakukan, sampel yang digunakan untuk
diuji adalah daging, tulang, kulit, dan telur. Setiap kelompok ganjil menguji sampel dengan
menambahkan asam kuat dan basa kuat, sedangkan kelompok genap menguji sampel dengan
menambahkan asam lemah dan asam lemah. Asam kuat yang digunakan adalah H 2SO4, asam

lemah yang digunakan adalah CH3COOH, basa kuat yang digunakan adalah NaOH,
sedangkan basa lemah yang digunakan adalah NH3.
Putih telur atau albumin merupakan cairan yang tidak berwarna, mengandung kurang
lebih 78% air. Beberapa karakteristik protein putih telur mentah antara lain bersifat racun baik
untuk hewan maupun manusia seperti avidin, flavoprotein dan sebagainya. Oleh karena itu
sebaiknya dilakukan pemanasan supaya daya racunnya sirna (S. Emma, 2005).
Berdasarkan hasil yang diperoleh, telah diketahui mengenai sifat-sifat protein setelah
diberikan beberapa perlakuan. Perlakuan tersebut diantaranya adalah ditambahkan asam kuat,
ditambahkan basa kuat, dan dipanaskan.
Pada tabel, menunjukkan hasil tentang sifat amfoter pada protein yang ada pada putih
telur. Putih telur mempunyai pH awal 9 dengan tekstur kental dan bening. Pemberian 1 ml
H2SO4 mengakibatkan pH putih telur menurun, gumpalannya bertambah dan warnanya
semakin putih pekat. Setelah diberi perlakuan pemanasan, sifat telur tersebut berubah menjadi
warna putih dan padat serta baunya lebih menyengat. Ini mengakibatkan terjadinya denaturasi
protein yang menyebabkan protein mengalami sifat koagulasi (menggumpal).
Sedangkan pemberian 1 ml NaOH mengakibatkan pH putih telur meningkat, NaOH
yang bersifat basa dilakukan mengakibatkan terbuktikannya adanya ikatan peptida pada
protein karena larutan tersebut akan bereaksi dengan polipeptida. Selain itu larutan NaOH
mengakibatkan terjadinya koagulasi dan larut, ini terjadi karena NaOH memiliki sifat panas
dan merupakan zat kimia yang memiliki konstanta di elektrolit yang tinggi yang
mengakibatkan kerusakan pada protein putih telur. Kelarutan protein akan berkurang bila ke
dalam larutan protein ditambahkan garam-garam anorganik seperti oksida, sulfat, karbonat,
dan para halida, akibatnya protein akan terpisah sebagai endapan. Peristiwa pemisahan protein
ini disebut salting out. Setelah dipanaskan sampel terjadi denaturasi yang mengakibatkan
ikatan peptida rusak yang ditandai dengan adanya endapan menjadi koagulasi (menggumpal)
dan bau lebih menyengat.
Setelah dipanaskan sampel kemudian diberi ninhidrin. Reagen ninhidrin berguna
untuk mendeteksi asam amino dan menetapkan konsentrasinya dalam larutan. Sampel yang
ditambahkan ninhidrin membentuk senyawa aldehid yang disertai pembebasan CO2 dan
NH3. Dalam perlakuan akan terlihat adanya perubahan saat ditambahkan larutan asam, basa,
ataupun ninhidrin akan terjadinya sifat denaturasi dan koagulasi.
Berdasarkan data kelompok yang lainnya dengan sampel yang sama. Perlakuan
praktikum tersebut adalah ditambahkan asam lemah, ditambahkan basa lemah, dan
dipanaskan. Pada penambahan asam lemah mengakibatkan pH putih telur menurun,

bergumpal dan terdapat endapan. asam yang sedikit Karena asam lemah menghasilkan ion
yang ada dalam larutannya (hanya terionisasi sebagian), karena sampel masih ada sedikit
cairan didalamnya. Hal ini terjadi karena sifat protein yang koagulan amfoter. Setelah
dipanaskan warna menjadi putih pekat dan menggumpal, ini akan merusak struktur primer
protein karena terdenaturasi. Sedangkan, pada penambahan basa lemah. pH putih telur
menjadi meningkat, berwarna putih kekuningan dan agak encer. Ini dikarenakan karena basa
menghasilkan ion OH. Setelah dipanaskan sampel terjadi koagulasi dan bau menyengat.
Kelompok 9 dan kelompok 10 menggunakan sampel daging. Sampel daging yang
ditambahkan asam lemah, asam kuat dan basa lemah, basa kuat akan mengalami perubahan
menjadi lunak dan putih memucat. Setelah dipanaskan akan ada gumpalan. Hal ini
menandakan bahwa daging yang dipanaskan mengalami koagulasi dan denaturasi dimana
daging menjadi yang lunak dan ada gumpalan. Koagulasi timbul karena adanya penarikan
mantel air dari molekul-molekul protein, dan dapat terjadi karena enzim yang dapat
menghidrolisis protein tersebut. Denaturasi ini ditandai dengan adanya perubahan tekstur
daging yang sebelumnya keras menjadi lunak dan pH berubah. Saat ditambahkan dengan
ninhidrin, daging mengalami penggumpalan (koagulasi).
Kelompok 11 dan kelompok 12 menggunakan sampel tulang. Tulang yang sudah
ditumbuk ditambahkan asam dan basa kuat, serta asam dan basa lemah. Tulang menjadi pucat
dan bau amis. Hal ini mendakan terjadinya denaturasi protein. Setelah diberi ninhidrin, tulang
menjadi lunak. Itupun menandakan terjadinya denaturasi protein yang ditandai dengan
perubahan tekstur dan struktur tulang, tetapi tidak terjadi koagulasi. Pada perubahan pH, itu
sangat jelas terlihat yang sebelumnya pH netral sesudah perlakuan menjadi asam dan basa itu
menunjukkan denaturasi protein.
Kelompok 13 dan kelompok 14 menggunakan sampel kulit ikan. Kulit ikan
ditambahkan dengan asam dan basa kuat, serta asam dan basa lemah mengalami perubahan
menjadi warna kekuningan, hal ini karena pengaruh dari sifat asam dan basa terhadap kulit.
Setelah dipanaskan, kulit menjadi hancur karena terjadi proses denaturasi. Selain itu, tidak
terjadi koagulasi tetapi hanya saja ada pemisahan antara cairan dan sampel kulit ikan. Setelah
itu ditambahkan ninhidrin, kulit menjadi hancur dan cairan berubah warna menjadi agak
kemerahan.
Kelompok 15 dan kelompok 16 menggunakan sampel telur yang berupa putih telur.
Putih telur yang ditambahkan asam basa kuat dan asam basa lemah mengalami denaturasi dan
koagulasi dengan baik. Saat ditambahkan asam dan basa sampel mengalami perubahan warna
menjadi putih pucat dan terjadi endapan, setelah itu dipanaskan terjadi gumpalan. Proses

pemanasan menyebabkan putih telur menjadi terdenaturasi sehingga serabut ovomucin terurai
menjadi struktur yang lebih sederhana. Adanya pemanasan juga akan mengakibatkan
koagulasi protein, karena senyawa protein bersifat amfoter yaitu dapat bereaksi dengan asam
ataupun basa. Kemudian sampel ditambahkan ninhidrin, dalam perlakuan akan terlihat adanya
perubahan saat ditambahkan larutan asam, basa, ataupun ninhidrin akan terjadinya sifat
denaturasi dan koagulasi.
KESIMPULAN
Berdasarkan praktikum yang telah dilaksanakan dapat disimpulkan bahwa, protein
dapat terdenaturasi dan terkoagulasi karena penambahan asam dan basa ataupun karena
dipanaskan. Denaturasi terjadi akibat perubahan struktur protein yang menyebabkan
pemutusan lipatan antara asam amino dan struktur primer protein. Selain itu penambahan basa
pada protein membuktikan adanya ikatan peptida pada protein karena larutan tersebut akan
bereaksi dengan polipeptida. Koagulasi adalah perubahan struktur protein akibat adanya
pemanasan dengan suhu yang tinggi. Koagulasi ada yang bersifat amfoter dan reversible,
contohnya saja amfoter pada sampel putih telur. Konfigurasi protein dapat berubah dengan
mengalami degrasi dimana dapat menghasilkan molekul yang lebih sederhana dan hasil
sampingan. Pada semua sampel yang diuji protein mengalami denaturasi dan koagulasi,
namun pada prosesnya ada yang berlangsung secara cepat dan ada yang berlangsung secara
lambat.
DAFTAR PUSTAKA
Lehninger (1996). Dasar-dasar Biokimia. Jakarta: Erlangga.
Hart, H (1987). Kimia Organik. alih bahasa: Sumanir Ahmadi, Erlangga, Jakarta.
S, Emma Wirakusumah (2005). Menikmati Telur Bergizi, Lezat, dan Ekonomis. Jakarta: PT
Gramedia Pustaka Utama.
Putra,

Surya

Dicky

(2013).

Sifat

Fisik

Kimiawi

Protein.

Dari:

https://www.academia.edu/6417381/perubahan_protein_secara_fisik_maupun_kimiaw
i (diakses pada tanggal 04 November 2014, pada pukul 21.00 WIB).

Fuad (2014). Sifat Protein. Dari: http://info.fuadshifu.com/laporan-sifat-sifat-protein/ (diakses


pada tanggal 04 November 2014, pada pukul 20.30 WIB).
Niam (2013). Sifat Kimia Protein. Dari: http://niamts.blogspot.com/2013/06/sifat-kimiaprotein-laporan-praktikum.html (diakses pada tanggal 05 November 2014, pada pukul
20.40 WIB).
Purba,

Imfrantoni

(2012).

Protein

dan

Asam

Amino.

Dari:

http://imfran-

imfranpurba.blogspot.com/2013/01/protein.html (diakses pada tanggal 05 November


2014, pada pukul 21.00 WIB).
LAMPIRAN

Sampel tanpa perlakuan

Sampel yang ditambahkan NaOH

Sampel yang telah ditambahkan larutan

Sampel yang dipanaskan pada hot plate

Anda mungkin juga menyukai