Anda di halaman 1dari 16

PENGUJIAN SIFAT FISIK KIMIAWI PROTEIN

Ayunani Agustina, 230110140095


Kelas B, Kelompok 4

ABSTRAK

Protein adalah senyawa organik kompleks berbobot molekul tinggi yang merupakan polimer
dari monomer-monomer asam amino yang dihubungkan satu sama lain dengan ikatan
peptida. Adanya gugus asam amino bebas pada protein dapat diuji dengan menggunakan uji
ninhidrin. Pada praktikum ini protein diuji melalui uji ninhidrin yang hasilnya ditandai
dengan larutan berwarna biru apabila reaksi ninhidrin positif. Praktikum dilaksanakan pada
hari Selasa, 3 November 2015 dan bertempat di Laboratorium Akuakultur, Gedung Dekanat
Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Padjadjaran, Jatinangor, Sumedang, Jawa
Barat. Tujuan praktikum kali ini adalah agar mahasiswa mampu memahami perubahan sifat-
sifat protein karena berbagai perlakuan dengan penambahan asam, basa dan pemanasan.
Selain itu juga agar mahasiswa memahami ikatan peptida pada protein, sifat koagulan protein
baik yang amfoter maupun reversible. Dalam praktikum ini digunakan beberapa alat seperti
beaker glass, hot plate, indikator universal, mortar, cawan petri, dan tabung reaksi. Adapun
bahan-bahan yang digunakan adalah NH3, NaOH, H2SO4, CH3COOH, telur ayam mentah,
ikan (daging, tulang dan kulit), dan pereaksi ninhidrin. Cara kerja praktikum kali ini adalah
bahan makanan yang mengandung protein diberi beberapa perlakuan yaitu asam, basa, dan
pemanasan kemudian diuji dengan larutan ninhidrin sehingga dihasilkan perubahan pada
bahan makanan tersebut berupa perubahan tekstur, warna, dan bau.

Kata kunci : Praktikum, Protein, Asam Amino, dan Uji Ninhidrin.

PENDAHULUAN

Istilah protein berasal dari kata Yunani Proteos, yang berarti yang utama atau yang
didahulukan. Kata ini diperkenalkan oleh seorang ahli kimia belanda, Gerardus Mulder
(1982), karena ia berpendapat bahwa protein adalah zat yang paling penting dalam setiap
organisme. Menurut Murray (2009), Protein bersifat amfoter, yaitu dapat bereaksi dengan
larutan asam dan basa. Daya larut protein berbeda di dalam air, asam, dan basa; ada yang
mudah larut dan ada yang sukar larut. Namun, semua protein tidak larut dalam pelarut lemak
seperti eter dan kloroform.

Protein merupakan molekul yang esensial dalam penyusunan struktur maupun proses
fungsional tubuh pada seluruh makhluk hidup. Protein secara kimia lebih kompleks lagi,
tetapi seperti karbohidrat dan lipid, protein juga tersusun dari senyawa gabungan yang
sederhana, semua protein mengandung sulfur dan fosfat (Ethel Sloane 2003: 24). Protein
terdiri atas rantai asam amino yang dihubungkan dengan ikatan peptida sehingga membentuk
beragam struktur yang kompleks. Ikatan peptida adalah ikatan yang terbentuk antara atom C
karboksilat asam amino dengan atom N amina dari asam amino lainnya.

Asam amino merupakan satuan penyusun protein, berdasarkan rumus bangunnya


asam amino dapat dipandang sebagai turunan asam karboksilat, yang satu atom hidrogennya
digantikan oleh gugus amino (Anwar M 1998). Asam amino mempunyai sifat asam-basa
karena senyawa tersebut mengandung gugus karboksil (Anwar 2001). Menurut Devi (2010),
asam amino diklasifikasikan menjadi dua kelompok yaitu asam amino esensial dan asam
amino non esensial. Asam amino esensial adalah asam amino yang diperoleh hanya dari
makanan sehari-hari karena tidak dapat disintesis tubuh. Jenis-jenis asam amino ini yaitu
arginine, histidine, isoleusin, leusin, metionin, fenilalanin, treonin, triptofan, dan valin.
Sedangkan asam amino non esensial adalah asam amino yang dapat disintesis di dalam tubuh
melalui perombakan senyawa lain. Jenis-jenis asam amino non esensial yaitu alanine,
asparagin, asam aspartate, sistein, asam glutamate, glisin, prolin, serin, dan tirosin.

Protein terdiri atas beberapa unsur dan unsur yang utama adalah nitrogen, karena
terdapat di dalam semua protein akan tetapi tidak terdapat pada karbohidrat dan lemak.
Protein dapat bersumber dari berbagai makanan baik hewani maupun nabati. Sumber protein
hewani seperti telur, susu, ikan, dan unggas. Sumber protein nabati yaitu kacang kedelai dan
hasilnya seperti tempe dan tahu, sert kacang-kacangan lainnya.
Protein dapat mempertahankan kesesuaian bentuknya asalkan lingkungan fisik dan
kimianya dipertahankan. Jika lingkungan berubah maka protein dapat kehilangan sifat-sifat
struktur lebih tinggi oleh terkacaunya ikatan hidrogen dan gaya-gaya sekunder lain yang
memutuskan molekul protein. Pada keadaan tersebut berari protein telah mengalami
denaturasi. Menurut Winarno (2002), denaturasi diartikan sebagai suatu proses terpecahnya
ikatan hidrogen, ikatan garam, dan terbukanya lipatan molekul. Denaturasi protein adalah
modifikasi konformasi struktur, sekunder, tersier, dan kuartener. Akibat dari suatu denaturasi
adalah hilangnya banyak sifat-sifat biologis suatu protein (Fessenden 1989). Ada dua macam
denaturasi yaitu pengembangan polipeptida dan pemecahan protein menjadi unit yang lebih
kecil tanpa disertai pengembangan molekul. Terjadinya kedua jenis denaturasi ini tergantung
pada keadaan molekul. Yang pertama terjadi pada rantai polipeptida, sedangkan yang kedua
terjadi pada bagian-bagian molekul yang tergabung dalam ikatan sekunder. Ikatan-ikatan
yang dipengaruhi oleh proses denaturasi ini adalah (a) ikatan hidrogen, (b) ikatan hidrofobik
misalnya pada leusin, valin, fenilalanin, triptofan yang saling berdekatan membentuk suatu
micelle dan tidak larut dalam air, (c) ikatan ionik antara gugus bermuatan (+) dan (-), (d)
ikatan intramolukuler seperti yang tedapat pada gugus disulfida dalam sistin.
Penyebab denaturasi protein adalah perubahan temperatur dan juga perubahan pH.
Panas dapat digunakan untuk mengacaukan ikatan hidrogen dan interaksi hidrofobik non
polar. Hal ini terjadi karena suhu tinggi dapat meningkatkan energi kinetik dan menyebabkan
molekul penyusun protein bergerak atau bergetar sangat cepat sehingga mengacaukan ikatan
molekul tersebut. Selain itu, protein akan mengalami kekeruhan terbesar pada saat mencapai
pH isoelektris yaitu pH dimana protein memiliki muatan positif dan negatif yang sama. Pada
saat inilah protein mengalami denaturasi yang ditandai kekeruhan meningkat dan timbulnya
gumpalan (Anna 1994). Asam dan basa dapat mengacaukan jembatan garam dengan adanya
muatan ionik.
Denaturasi dapat bersifat reversibel, jika suatu protein hanya dikenai kondisi
denaturasi yang lembut seperti perubahan pH. Jika protein dikembalikan kelingkungan
alamnya, maka protein akan memperoleh kembali struktur lebih tingginya yang alamiah.
Selain akibat denaturasi, kerusakan protein juga dapat disebabkan karena koagulasi.
Koagulasi merupakan proses lanjutan yang terjadi ketika molekul protein yang didenaturasi
membentuk suatu massa yang solid. Koagulasi dapat ditimbulkan dengan pemanasan,
penambahan asam, dan perlakuan alkali. Proses pemanasan menyebabkan protein telur
terdenaturasi sehingga serabut ovomucin terurai menjadi struktur yang lebih sederhana.
Interaksi antara protein dan panas mengakibatkan terjadinya koagulasi protein (Alais dan
Linden 1991). Umumnya protein mengalami denaturasi dan koagulasi pada rentang suhu
sekitar 55-75oC (De man, 1997). Apabila protein dipanaskan atau ditambah alkohol maka
protein akan menggumpal, yang disebabkan karena terjadinya penarikan mantel air dari
molekul-molekul protein. Cairan telur (sol) diubah menjadi padat atau setengah padat (gel)
dengan proses air yang keluar dari struktur membentuk spiral-spiral yang membuka dan
melekat satu sama lain. Kekentalan hasil campuran telur mempengaruhi keinginan untuk
menyusut atau menjadi lebih kuat (Vickie dan Elizabeth 2008).
Menurut Abbas (2000), semua asam amino atau peptida yang mengandung asam
amino bebas akan bereaksi dengan ninhidrin membentuk senyawa kompleks berwarna biru-
ungu. Uji ninhidrin adalah uji umum untuk protein dan asam amino (Novita 2009). Uji ini
ditandai dengan terjadinya larutan berwarna biru yang menunjukkan reaksi positif terhadap
adanya asam amino bebas (Apriandi 2011).
Mengingat betapa pentingnya pengetahuan mengenai sifat fisik kimiawi protein, maka
praktikum pengujian sifat fisik kimiawi ini dilakukan agar mahasiswa mampu memahami
perubahan sifat-sifat protein karena berbagai perlakuan dengan penambahan asam, basa, dan
pemanasan. Selain itu agar mahasiswa memahami ikatan peptida protein, sifat koagulan
protein baik yang amfoter maupun reversible.

METODOLOGI
Praktikum ini dilaksanakan pada hari Selasa, 3 November 2015 pukul 08.00 WIB s.d
selesai, bertempat di Laboratorium Akuakultur, Gedung Dekanat Fakultas Perikanan dan
Ilmu Kelautan Universitas Padjadjaran, Jatinangor, Sumedang, Jawa Barat. Pada praktikum
sifat fisik kimiawi protein ini digunakan beberapa alat dan bahan. Alat-alat yang digunakan
dalam praktikum ini yaitu beaker glass sebagai tempat menaruh sampel, hot plate dan water
bath sebagai alat pemanas, indikator universal untuk mengukur pH sampel, mortar sebagai
alat untuk menghaluskan sampel hingga halus atau hancur, cawan petri yang digunakan untuk
meletakkan sampel, dan tabung reaksi sebagai tempat untuk menaruh sampel yang akan diuji.
Sedangkan bahan-bahan yang digunakan dalam praktikum ini adalah NH 3 sebagai basa
lemah, NaOH sebagai basa kuat, CH 3COOH sebagai asam lemah, H2SO4 sebagai asam kuat,
telur ayam mentah dan ikan (daging, kulit, dan tulang) yang digunakan sebagai sampel yang
diuji, serta pereaksi ninhidrin sebagai pereaksi yang digunakan untuk menguji kandungan
asam amino bebas di dalam sampel. Adapun prosedur kerja yang dilakukan adalah sebagai
berikut :

Sampel (tulang ikan)

Disiapkan 3 gr di dalam cawan


petri

Diukur pH sampel

Ditambahkan 3 ml basa pada


sampel

Dipanaskan pada water bath

Ditambahkan pereaksi ninhidrin

Diamati perubahan-perubahan
yang tampak

Hasil pengamatan
HASIL DAN PEMBAHASAN
Pengamatan
pH
Kel Perlakua pH Pengamatan Akhir
Sampel Akhi
. n Awal Awal Sebelum Setelah Uji
r
Pemanasan Pemanasan Ninhidrin
Tekstur Tekstur
lunak, padat,
warna putih warna putih,
Aquadestt 6
kemerahan, dan tidak
dan bau terlalu bau
amis amis
Tekstur Tekstur
lunak, warna Warna putih kenyal, ber-
Daging Asam
3 putih dan bau warna putih Tidak ada
1 Ikan lemah 6
kemerahan, menyengat bening, dan perubahan
3 gr
dan berbau bau asam
Keras,ber-
amis ikan
warna putih
Berwarna
dan agak
ungu pekat
Asam kuat 2 ungu pekat
dan bau
dari H2SO4,
menyengat
dan bau
asam pekat
2 Daging 6 Tekstur Tidak ada Kenyal dan Ungu,
Aquadestt 7
Ikan lunak, warna perubahan warna pucat endapan
Basa 7 Bau Daging Warna
3 gr putih pucat,
lemah menyengat, meng- merah
dan bau amis
daging dan gumpal muda dan
ikan
basa dibawah, lebih me-
tercampur warna nyengat
coklat
muda, dan
menyengat
Daging
meng-
gumpal di
Tidak
Tidak ada atas, warna
Basa kuat 12 terjadi
perubahan kuning
reaksi
kecoklatan,
bau
menyengat.
Bening,
Tidak ada
Aquadestt 6 lembek, bau
perubahan
amis
Bening,
Asam Tekstur Tidak ada
3 lembek, bau
Tulang lemah keras, warna perubahan Tidak ada
3 6 asam
ikan putih, bau Ungu, Semakin perubahan
amis ikan makin kental,
Asam kuat 1 lembek, dan makin ungu,
bau bau
menyengat menyengat
Putih keruh,
Tidak ada meng-
Aquadestt 6
perubahan gumpal, bau
amis
Kuning
Bau
Tekstur keruh, bau
Basa ammonia,
Tulang 12 keras, warna ammonia Tidak ada
4 lemah 6 warna
ikan putih, bau makin me- perubahan
pucat, keruh
amis ikan nyengat
Air
Air menjadi
berwarna
keruh, bau
Basa kuat 14 coklat
amis agak
muda, amis,
lunak
agak lunak
5 Kulit Aquadestt 6 6 Tekstur alot, Alot, warna Bagian atas Tidak
abu-abu, agak putih,
dan bau kulit agak
amis lunak, amis
Bagian atas
Alot, warna
warna
Asam abu-abu,
4 warna abu- kemerahan,
ikan lemah dan bau terjadi
abu, dan bau kulit agak
3 gr amis perubahan
amis lunak, amis
Kulit pecah,
Alot, warna
warna hitam
abu-abu,
Asam kuat 1 keunguan,
dan bau
amis
amis
berkurang
Kenyal, ada
Alot, abu-
Aquadestt 6 gumpalan
abu, amis
putih, amis
Tekstur kulit
masih
terlihat,
abu-abu,
Basa Alot, abu-
8 larutan
lemah Tekstur alot, abu, amis
Kulit kuning
warna abu- Tidak ada
6 ikan 6 bening, bau
abu, bau perubahan
3 gr amis agak
amis
menyengat
Ada dua
lapisan,
hitam di
Alot, abu-
Basa kuat 11 atas dan
abu, amis
kuning di
bawah di
bawah
7 Telur Aquadestt 10 10 Tekstur agak Cair, ada 2 Bening di Tidak
3 ml kenyal, lapisan, atas bagian atas, terjadi
warna bening, ada endapan perubahan
bawah putih
putih,
kekuninga,
kenyal, amis
amis
Cair, amis,
Bagian atas
bagian atas
putih padat,
putih
Asam bagian
3 kekuninga,
lemah bening bawah cair
bagian
kekuningan, bening,
bawah
bau amis amis
bening
Cair, Ungu pekat,
menyengat, bau
ada lapisan menyengat,
Asam kuat 2
ungu pekat, ada
putih, dan gumpalan
bening putih
Ada
Warna putih endapan
Aquadestt 10
kekuningan putih dan

Tekstur agak kenyal


Warna
kenyal, Warna
Basa bening, ada Tidak
Telur 12 warna bening dan
8 lemah 10 endapan terjadi
3 ml bening cair
putih perubahan
kekuningan, Ada
Warna
bau amis endapan
kuning,
Basa kuat 14 kuning di
tekstur agak
atas, cairan
cair
tetap kuning

Berdasarkan tabel hasil pengamatan di atas, diketahui bahwa jika suatu protein diberi
perlakuan asam, basa, dan pemanasan maka akan mengalami perubahan secara fisik dan
kimiawi karena mengalami denaturasi. Kelompok empat mendapatkan sampel tulang ikan
dengan perlakuan pemberian basa lemah, basa kuat, dan pemanasan. Pada penagamatan awal,
pH sampel adalah 6. Penambahan basa pada sampel baik basa lemah maupun kuat membuat
perubahn pH pada sampel dari asam ke basa yaitu pH 12 (penambahan basa lemah) dan pH
14 (penambahan basa kuat). Sedangkan penambahan aquadest tidak membuat sampel
berubah pHnya karena ion-ion yang terdapat di dalamnya tetap dalam jumlah yang seimbang.
Tulang ikan memiliki tekstur yang keras, berwarna putih, dan bau amis. Penambahan
aquadest tidak menyebabkan perubahan pada sampel. Penambahan basa lemah menyebabkan
larutan menjadi keruh dan bau ammonia karena sampel tulang telah bercampur dengan basa
lemah (NH3). Kemudian tekstur berubah menjadi agak lunak setelah ditambahkan basa kuat
dan larutan pun menjadi keruh. Warna larutan berubah menjadi kuning keruh, karena
pecahan-pecahan struktur sekunder, tersier, dan kuarterner pada protein bercampur dengan
larutan basanya. Perubahan tekstur yang menjadi lunak setelah penambahan basa kuat
diakibatkan sampel tulang tersebut terdenaturasi. Denaturasi akibat basa terjadi ketika adanya
penambahan kadar basa pada protein yang dapat memutus kandungan struktur dari protein
tersebut karena terjadi subtitusi ion positif pada protein dengan ion negatif pada basa
(Vladimir 2007).
Setelah pemanasan, sampel yang dicampur aquadest mengalami penggumpalan
karena disebabkan terjadinya penarikan mantel air dari molekul-molekul. Sedangkan sampel
yang ditambahkan basa kuat kemudian dipanaskan, teksturnya menjadi semakin lunak. Hal
ini dikarenakan panas menyebabkan molekul-molekul yang menyusun protein bergerak
dengan sangat cepat sehingga sifat protein yaitu hidrofobik menjadi terbuka. Akibatnya,
semakin panas, molekul akan bergerak semakin cepat dan memutus ikatan hidrogen di
dalamnya (Vladimir 2007). Dari hasil penambahan ninhidrin, tidak terjadi perubahan warna
menjadi biru ungu, namun tetap berwana kuning bening pada basa lemah dan coklat muda
pada basa kuat. Tidak adanya perubahan tersebut karena protein sudah terdenaturasi terlebih
dahulu pada saat pemanasan.
Sampe tulang juga digunakan oleh kelompok tiga, namun dengan perlakuan
penambahan asam dan pemanasan. pH awal sama dengan kelompok empat yaitu 6. Namun,
setelah penambahan asam pHnya berubah menjadi semakin asam yaitu 3 (asam lemah) dan 1
(asam kuat). Penambahan asam baik asam lemah maupun asam kuat membuat tekstur tulang
ikan menjdi lembek. Tulang ikan tersebut telah terdenaturasi. Denaturasi akibat asam terjadi
ketika adanya penambahan kadar asam protein yang dapat memutus kandungan struktur dari
protein tersebut karena terjadi subtitusi ion negatif dengan ion positif pada asam (Vladimir
2007). Warna larutan menjadi ungu akibat penambahan asam kuat karena tulang ikan telah
bereaksi dengan H2SO4. Setelah pemanasan, tidak terjadi perubahan pada sampel tulang ikan
yang dicampur dengan aquadest dan asam lemah. Namun, sampel tulang ikan yang dicampur
dengan asam kuat larutannya menjadi semakin kental dan berwarna ungu pekat. Kemudian
untuk penambahan ninhidrin, sama seperti kelompok empat tidak terjadi perubahan karena
protein telah rusak strukturnya pada saat pemanasan.
Selain tulang ikan, terdapat tiga sampel lainnya yaitu daging, kulit, dan telur mentah.
Sampel daging ikan diamati oleh kelompok satu dan dua. Pada kelompok satu perlakuan yang
diberikan adalah penambahan asam dan pemanasan. Terjadi perubahan pH yang semakin
asam akibat pengaruh penambahan CH3COOH dan H2SO4. Penambahan asam lemah dan kuat
belum memberikan perubahan pada tekstur daging, hanya memberikan perubahan warna
yaitu berwarna putih (asam lemah) dan berwarna ungu pekat (asam kuat). Namun setelah
pemanasan, terjadi perubahan tekstur daging yang awalnya lunak menjadi padat baik
perlakuan berupa penambahan aquadest, asam lemah, maupun asam kuat. Hal ini terjadi
karena protein pada daging ikan terdenaturasi. Berdasarkan penelitian Purnomo (1997),
pengolahan daging dengan menggunakan suhu tinggi akan menyebabkan denaturasi protein
sehingga terjadi koagulasi dan menurunkan solubilitas atau daya kemampuan larutnya akan
menurun. Proses pemanasan cepat akan membuat daging menjadi liat karena selama
pemanasan terjadi denaturasi protein dan denaturasi kolagen, yang diikuti dengan penyusutan
dan penegangan jaringan ikat, sehingga daging menjadi liat. Untuk uji ninhidrin pada
kelompok satu juga tidak menunjukkan perubahan karena protein terlanjur rusak saat
pemanasan.
Pada kelompok dua, penambahan aquadest dan basa kuat tidak membuat perubahan
pada daging ikan, sedangkan penambahan basa lemah membuat larutan menjadi bau
menyengat dan daging bercampur dengan basa. Untuk hasil pemanasan sama seperti
kelompok satu, tekstur daging dari lunak berubah menjadi kenyal. Namun, pada uji ninhidrin
terdapat perubahan. Pada sampel daging ikan yang ditambahkan aquadest dan basa lemah
serta reagent ninhidrin, larutan berubah menjadi warna ungu. Dengan demikian pada protein
daging ikan tersebut belum mengalami kerusakan pada saat pemanasan dan terdapat asam
amino bebas. Hal ini sesuai dengan pendapat Santoso (2008) yang menyatakan bahwa ninhidrin
bereaksi dengan asam amino bebas dan protein menghasilkan warna biru keunguan. Sedangkan uji
ninhidrin pada basa kuat tidak menunjukkan adanya perubahan, karena protein telah rusak
pada saat pemanasan.
Selanjutnya, pada kelompok lima dan enam yang menggunakan sampel kulit ikan.
Setelah kulit ikan ditambahkan asam kuat, maka pH berubah menjadi 1. Hal ini terjadi karena
ion H+ pada asam kuat berikatan dengan gugus COO- pada protein sehingga terbentuk
senyawa asam pada sampel. Hal ini menyebabkan pH sampel menjadi turun drastis.
Kemudian pada penambahan asam lemah, pH sampel turun juga namun tidak drastis (pH 4).
Selanjutnya, baik pada penambahan asam kuat maupun asam lemah, tekstur kulit ikan tidak
mengalami perubahan, hal ini dapat diartikan bahwa proses denaturasi pada protein di kulit
ikan berlangsung lambat. Pada perlakuan sampel dengan pemanasan saja, kulit menjadi agak
lunak yang menandakan bahwa pada saat pemanasan terjadi perubahan pada struktur protein
di kulit ikan tersebut. Pada penambahan basa lemah dan basa kuat, tidak terjadi perubahan
juga secara fisik. Hal ini dapat diartikan bahwa proses denaturasi pada protein dengan
penambahan basa juga berlangsung lambat. Ini dibuktikan dengan tekstur kulit yang masih
utuh. Meskipun tidak terjadi perubahan fisik pada sampel, tetapi terjadi perubahan pH.
setelah ditambahkan basa lemah, pH sampel naik menjadi 8 dan setelah ditambahkan basa
kuat, pH sampel naik drastis menjadi 13. Hal ini disebabkan karena ion OH - pada basa
berikatan dengan molekul NH2 pada molekul protein yang akan membentuk molekul amonia
yang bersifat basa pada sampel sehingga pH menjadi naik. Untuk uji ninhidrin, baik dengan
perlakuan asam maupun basa tidak menunjukkan adanya perubahan.
Dan sampel yang terakhir adalah sampel telur ayam mentah yang digunakan oleh
kelompok tujuh dan delapan. pH pada sampel turun drastis setelah penambahan asam dan
juga naik secara drastis setelah penambahan basa. Sampel telur yang diberi asam, setelah
dipanaskan menjadi menggumpal. Penggumpalan atau koagulasi memang dapat ditimbulkan
dengan pemanasan. Proses pemanasan menyebabkan protein telur terdenaturasi sehingga
serabut ovomucin terurai menjadi struktur yang lebih sederhana. Interaksi antara protein dan
panas mengakibatkan terjadinya koagulasi protein (Alais dan Linden, 1991). Namun,
koagulasi tersebut tidak terjadi pada sampel dengan perlakuan basa. Sampel telur dengan
penambahan basa tidak menggumpal setelah pemanasan tetapi justru terdapat endapan. Hal
itu terjadi karena protein pada telur dengan perlakuan basa mengalami penurunan aktifitas
biologis dan berkurangnya kelarutan akibat terdenaturasi, sehingga mudah mengendap
(Sirajuddin, 2009). Namun, uji ninhidrin pada sampel telur ini juga menunjukkan reaksi
negatif.

KESIMPULAN
Jadi, kesimpulan dari praktikum ini adalah bahwa struktur protein dapat berubah atau
terdenaturasi karena adanya faktor reaksi kimia yang dihasilkan dari reaksi dengan larutan
asam, basa, dan adanya proses pemanasan. Berubahnya struktur protein terjadi pada struktur
sekunder, tersier, dan kuarterner. Selain akibat denaturasi, kerusakan protein juga dapat
disebabkan karena koagulasi. Koagulasi merupakan proses lanjutan yang terjadi akibat
denaturasi. Ada tidaknya asam amino bebas pada suatu bahan makanan yang mengandung
protein dapat diuji dengan uji ninhidrin. Uji ninhidrin ditandai dengan terjadinya larutan
berwarna biru keunguan yang menunjukkan reaksi positif terhadap adanya asam amino
bebas. Namun pada pengamatan yang telah dilakukan, reaksi positif terhadap uji ninhidrin
hanya terjadi pada kelompok dua yang mendapat sampel daging ikan dengan perlakuan basa.
Kelompok lainnya menunjukkan reaksi negatif, tidak ada perubahan dikarenakan protein
pada sampel telah terdenaturasi pada saat pemanasan.

DAFTAR PUSTAKA
Abbas, A. K, A. H. Litchman and Pober. 2000. Cellular and Mollecular Immunologi. 4th ed.
Philadelphia: Saunders Company.

Apriandi, A. 2011. Aktivitas Antioksidan dan Komponen Bioaktif Keong Ipong-Ipong


(Faschiolana salmo). Institut Pertanian Bogor.

Alais, C. dan Linden G. 1991. Food Biochemistry. London: Ellis Horwood.

Anna, P. 1994. Dasar-dasar Biokimia. Jakarta: Universitas Indonesia.

Anwar, E. 2001. Usaha Peningkatan Mutu Pati Singkong Dan Pembuatan Derivatnya
Sebagai Bahan Pendukung Dalam Industri Farmasi : Karakterisasi Pregelatinized
Amylum. Badan Litbang Kesehatan.

Deman, J.M. 1997. Kimia Makanan. Bandung: Penerbit ITB.

Nirmala, Devi. 2010. Nutrition and Food Gizi untuk Keluarga. Jakarta: PT Kompas Media
Nusantara.

Fessenden, Ralp J. dan Fessenden, Joan S.1989. Kimia Organik Jilid 2. Jakarta: Erlangga.

Muhammad, Anwar. 1998. Tekhnik Laboratorium Untuk Bidang Biologi dan Konsep Kimia.
Bandung: Departemen Pendidikan.

Mulder, Gerardus. 1982. Origins of Clinical Chemistry: The Evolution of Protein Analysis.
London: Academic Press Inc.

Murray, Robert, dkk. 2009. Biokimia Harper. Jakarta: EGC.


Oktavia, E. 2006. Studi Pendahuluan Polimerisasi Emulsi Opal (Colorant Emulsion)
Polistirena-Ko-Polibutil Akrilat. Depok: Program Magister Departemen Kimia FMipa
UI.

Purnomo, H. 1997. Studi tentang stabilitas protein daging dan dendeng selama proses
penyimpanan. [Laporan Penelitian]. Fakultas Peternakan. Malang: Universitas
Brawijaya.

Santoso, H.B. 2008. Ragam dan Khasiat Tanaman Obat. Jakarta: Agromedia Pustaka.
Cetakan I.

Sirajuddin, Saifuddin. 2012. Penuntun Praktikum Biokimia. Makassar:


Universitas Hasanuddin.

Sloane, Ethel. 2004. Anatomi dan Fisiologi untuk Pemula. Jakarta: EGC Guyton dan Hall.

Uversky, Vladimir. N. 2007. Conformational Stability, Size, Shape and Surface of Protein
Molecules. New York: Nova Science.

Vaclavik, Vickie. A dan Elizabeth W. Cristian. 2008. Essential of Food Science Third Edition.
New York : Springer Science + Business Media.

Winarno, F.G. 2002. Kimia Pangan dan Gizi. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

LAMPIRAN
Lampiran 1. Alat yang digunakan praktikum

Water Bath Mortar


Cawan petri Indikator universal

Tabung reaksi Pipet tetes

Pisau

Lampiran 2. Bahan yang digunakan praktikum

Basa lemah (NH3) Basa kuat (NaOH)

Asam lemah (CH3COOH) Asam kuat (H2SO4)


Reagent ninhidrin Tulang ikan

Lampiran 3. Kegiatan praktikum

Penumbukan tulang ikan


Pengambilan sampel tulang ikan

Memasukkan sampel ke dalam masing-masing


tabung reaksi untuk diberi perlakuan yang Pengukuran pH awal
berbeda

Pengukuran larutan basa kuat ke dalam gelas Pengukuran pH setelah ditambahkan


ukur basa lemah
Pengukuran pH setelah ditambahkan basa kuat Pemanasan

Pendinginan setelah pemanasan Penambahan ninhidrin pada sampel


setelah pemanasan

Anda mungkin juga menyukai