Anda di halaman 1dari 12

Kerugian akibat kerusakan bahan pangan :

1. Nilai gizi
a. Pengaruh pengolahan terhadapa nilai gizi protein
Pengolahan bahan pangan berprotein yang tidak dikontrol dengan baik dapat
menyebabkan terjadinya penurunan nilai gizinya. Secara umum pengolahan bahan
pangan berprotein dapat dilakukan secara fiisik, kimia atau biologis. Secara fisik
biasanya dilakukan dengan penghancuran atau pemanasan, secara kimia dengan
penggunaan pelarut organik, pengoksidasi, alkali, asam atau belerang dioksida; dan
secara biologis dengan hidrolisa enzimatis atau fermentasi.
Diantara cara pengolahan tersebut, yang paling banyak dilakukan adalah
proses pengolahan menggunakan pemanasan seperti sterilisasi, pemasakan dan
pengeringan. Sementara itu kita ketahui bahwa protein merupakan senyawa reaktif
yang tersusun dari beberapa asam amino yang mempunyai gugus reaktif yang dapat
berikatan dengan komponen lain, misalnya gula pereduksi, polifenol, lemak dan
produk oksidasinya serta bahan tambahan kimia lainnya seperti alkali, belerang
dioksida atau hidrogen peroksida.
Perlakuan dengan alkali dapat menyebabkan terjadinya rasemisasi asam
amino, perubahan bentuk L menjadi bentuk D. Selain itu juga dapat terjadi reaksi
antara asam amino yang satu dengan yang lain, misalnya terbentuknya lisiolalanin
dari lisin dan alanin. Hal tersebut dapat menyebabkan menurunnya nilai gizi protein
akibat terjadinya penurunan daya cerna protein dan ketersediaan atau availabilitas
asam-asam amino esensial. Selain itu reaksi antara protein dengan gula pereduksi
yang dikenal dengan reaksi Maillard, juga merupakan penyebab utama terjadinya
kerusakan protein selama pengolahan dan penyimpanan.
a. Reaksi Maillard
Reaksi Maiilard terjadi antara gugus aldehid dari gula pereduksi dengan gugus
amina dari asam amino terutama epsilon-amino-lisin dan alfa-amino asam amino Nterminal. Raksi ini banyak terjadi pada pembakaran roti, pembuatan breakfast cereal,
pemanasan daging terutama apabila kontak dengan bahan nabati, serta pengolahan
susu bubuk. Yang terakhir merupakan hal yang paling penting karena susu bubuk
banyak digunakan untuk bayi dan anak-anak, dimana ketersediaan asam-asam
aminonya sangat penting artinya untuk pertumbuhan. Selain itu di dalam susu bubuk
juga mengandung gula pereduksi, sehingga
mudah bereaksi dengan asam-asam amino yangterkandung di dalam susu
tersebut.Pada umumnya reaksi Maillar terjadi dalam dua tahapan, yairu tahap reaksi
awal pada gambar dibawah :

dan reaksi lanjutan. Padatahap awal terjadi kondensasi antara gugus karbonil dari
gula pereduksi dengan gugus amino bebas dari asam amino dalam rangkaian protein.
Produk hasil kondensasi selanjutnya akan berubah menjadi basa Schiff karena
kehilangan molekul air (H2O) dan akhirnya tersiklisasi oleh Amadori rearangement
membentuk senyawa 1-amino-1-deoksi-2-ketosa (Gambar 8.1). Senyawa deoksiketosil atau senyawa Amadori yang terbentuk merupakan bentuk utama lisin yang
terikat pada bahan pangan setelah terjadinya reaksi Maillard awal. Pada tahap ini
secara visual bahan pangan masih berwarna seperti aslinya, belum berubah menjadi
berwarna coklat, namun demikian lisin dalam protein bahan pangan tersebut sudah
tidak tersedia lagi secara biologis (bioavailabilitasnya menurun).
Reaksi Maillard lanjutan dapat terjadi melalui tiga jalur (pathways), dua
diantaranya dimulai dari produk Amadori (senyawa deoksi-ketosil) dan yang ketiga
berasal dari degradasi Strecker. Reaksi tersebut berakhir dengan pembentukan
pigmen berwarna coklet yang disebut malanoidin.

b. reaksi dengan senyawa polifenol


Ini disebabkan oleh terjadinya reaksi dengan senyawa polifenol yang berasal
dari tanaman seperti fenolat, flavonoid dan tanin. Senyawa polifenol tersebut akan
mudah teroksidasi dengan adanya oksigen dalam suasana alkali atau terdapatnya
enzim polifenolase, membentuk senyawa radikal orto-kuinon. Senyawa orto-kuinon
ini sangat reaktif dan apbila bereaksi dengan protein akan membentuk senyawa
kompleks yang melibatkan asam amino lisin sehingga ketersediannya akan menurun.

c. Pembentukan Lisinoanalin
Pada umumnya pengolahan protein dengan alkali dillakukan untuk
memperbaiki sifat fungsional protein. Ada dua hal yang perlu mendapat perhatian
yaitu pembentukan lisinolalanin dan rasemisasi asam amino, yang keduanya dapat
berakibat pada penurunan nilai gizi protein tersebut. Lisinolalanin adalah senyawa Nepsilon-(DL-2-amino-karboksi-etil)-L-lisin yang disingkat dengan LAL. Senyawa
tersebut terdiri dari residu lisin yang gugus epsilon-aminonya terikat pada gugus
metil dari residu alanin.
Pembentukan lisinoalananin akan menurunkan daya cerna protein karena
terbentuknya ikatan silang (cross linkage). Selain itu lisinolalanin juga bersifat toksik
apabila termakan, yang dapat menyebabkan terjadinya kerusakan ginjal
(nephrocytomegaly), namun mekanismenya belum diketahui dengan jelas.
Ada 2 mekanisme reaksi :
Mekanisme pembentukan lisoalanin melalui reaksi beta-eliminasi

Mekanisme pembentukan lisoalanin melalui reaksi subtitusi

d. interaksi antara protein dan lipid teroksiadasi


Penurunan nilai gizi protein juga dapat disebabkan karena terjadinya interaski
antara protein dengan lipid teroksidasi, yang seringkali tidak diperhatikan dalam
proses pengolahan pangan. Oksidasi lipid yang mengandungasam lemak tidak jenuh
berlangsung melalui tiga tahap:

a)
b)

pembentukan produk primer seperti lipid hidroperoksida.


degradasi hidroperoksida melalui radikal bebas dan membentuk produkproduk sekunder .seperti aldehid, hidrokarbon dan lain-lain; serta
c) polimerisasi produk primer dan sekunder membentuk produk akhir yang
stabil.
Produk-produk yang terbentuk tersebut dapat bereaksi dengan protein,
terutama dengan asam amino lisin, membentuk protein modifikasi yang sulit dicerna
oleh enzim proteolitik. Disamping itu, asam amino triptofan dan asam amino lain
yang mengandung sulfur juga dapat rusak teroksidasi oleh adanya radikal bebas dan
hidroperoksida.
b. Pengaruh pengolahan terhadap nilai gizi karbohidrat
Ditinjau dari nilai gizinya, karbohidrat dalam bahan pangan dapat
dikelompokkan menjadi dua, yaitu: (1) karbohidrat yang dapat dicerna, yaitu
monosakarida (glukosa, fruktosa, galaktosa dsb); disakarida (sukrosa, maltosa,
laktosa) serta pati; dan (2) karbohidrat yang tidak dapat dicerna, seperti oligosakarida
penyebab flatulensi (stakiosa, rafinosa dan verbaskosa) serta serat pangan (dietary
fiber) yang terdiri dari selulosa, pektin, hemiselulosa, gum dan lignin.
Pengaruh pemanggangan terhadap karbohidrat umumnya terkait dengan
terjadinya hidrolisis. Sebagai contoh, pemanggangan akan menyebabkan gelatinisasi
pati yang akan meningkatkan nilai cernanya. Sebaliknya, peranan karbohidrat
sederhana dan kompleks dalam reaksi Maillard dapat menurunkan ketersediaan
karbohidrat dalam produk-produk hasil pemanggangan.Proses ekstrusi HTST (high
temperature, short time) diketahui dapat mempengaruhi struktur fisik granula pati
metah, membuatnya kurang kristalin, lebih larut air dan mudah terhidrolisis oleh
enzim. Proses tersebut dikenal dengan istilah pemasakan atau gelatinisasi. Karena
kondisi kelembaban rendah pada ektruder, gelatinisasi secara tradisional yang
melibatkan perobekan (swelling) dan hidrasi granula pati tidak terjadi.
c. Pengaruh pengolahan terhadap nilai gizi lemak
Pada umumnya setelah proses pengolahan bahan pangan, akan terjadi
kerusakan lemak yang terkandung di dalamnya. Tingkat kerusakannya sangat
bervariasi tergantung suhu yang digunakan serta lamanya waktu proses pengolahan.
Makin tinggi suhu yang digunakan, maka kerusakan lemak akan semakin intens.
Asam lemak esensial terisomerisasi ketika dipanaskan dalam larutan alkali dan
sensitif terhadap sinar, suhu dan oksigen. Proses oksidasi lemak dapat menyebabkan
inaktivasi fungsi biologisnya dan bahkan dapat bersifat toksik.
d. Pengaruh pengolahan terhadap nilai gizi vitamin
Stabilitas vitamin dibawah berbagai kondisi pengolahan relatif bervariasi.
Vitamin A akan stabil dalam kondisi ruang hampa udara, namun akan cepat rusak
ketika dipanaskan dengan adanya oksigen, terutama pada suhu yang tinggi. Vitamin
tersebut akan rusak seluruhnya apabila dioksidasi dan didehidrogenasi. Vitamin ini
juga akan lebih sensitif terhadap sinar ultra violet dibandingkan dengan sinar pada
panjang gelombang yang lain. Asam askorbat sedikit stabil dalam larutan asam dan

terdekomposisi oleh adanya cahaya. Proses dekomposisi sangat diakselerasi oleh


adanya alkali, oksigen, tembaga dan zat besi.
Asam lemak esensial terisomerisasi ketika dipanaskan dalam larutan alkalidan
sangat sensitif terhadap sinar, suhu dan oksigen. Apabila dioksidasi, akan menjadi
inaktif secara biologis dan kemungkinan bersifat toksik. Stabilitas vitamin D
dipengaruhi oleh pelarut pada saat vitamin tersebut dilarutkan, namun akan sdtabil
apabila dalam bentuk kristal disimpan dalam botol gelas tidak tembus pandang.
Pada umumnya vitamin D stabil terhadap panas, asam dan oksigen. Vitamin
ini akan rusak secara perlahan-lahan apabila suasana sedikit alkali, terutama dengan
adanya udara dan cahaya.Kelompok asam folat stabil dalam perebusan pada pH 8
selama 30 menit, namun akan banyak hilang apabila diautoklaf dalam larutan asam
dan alkali. Destruksi asam folat diakselerasi oleh adanya oksigen dan cahaya.
Vitamin K bersifat stabil terhadap panas dan senyawa pereduksi, namun
sangat labil terhadap alkohol, senyawa pengoksidasi, asam kuat dan
cahaya.Niasinamid akan terhidrolisis sebagian dalam asam dan alkali.namun masih
mempunyai nilai biologis yang sama. Pada umumnya niasin stabil terhadap udara,
cahaya, panas, asam dan alkali.
Vitamin B12 (kobalamin) murni bersifat stabil terhadap pemanasan dalam
larutan netral. Vitamin ini akan rusak ketika dipanaskan dalam larutan alkali atau
asam dalam bentuk kasar, misalnya dalam bahan pangan. Kolin sangat alkalis dan
sedikit tidak stabil dalam latutan yang mengandung oksigen.
Kelompok vitamin B6 meliputi piridoksin, piridoksal dan piridoksamin.
Piridoksin bersifatstabil terhadap pemanasan, alkali kuat atau asam, tetapi sensitif
terhadap sinar, terutama sinat ultra violet, ketika berada dalam larutan alkali.
Piridoksal dan piridoksamin secara cepat akan rusak ketika diekspos di udara, panas
dan sinar. Ketiganya sensitif terhadap sinar ultra violet ketika berada di dalam larutan
netral atau alkali. Piridoksamin dalam bahan pangan bersifatsensitif terhadap
pengolahan.
Riboflavin sangat sensitif terhadap sinar dan kecepatan destruksinya akan
meningkat seiring dengan meningkatnya Ph dan temperatur. Oleh karena itu,
riboflavin dalam susu akan hilang secara cepat (50% dalam 2 jam) ketika terekspos
dengan sinar matahari dan akan menghasilkan senyawa derivatif (lumiflavin) yang
juga akan merusak asam askorbat dalam susu. Vitamin ini akan stabil terhadap panas
dalam bentuk kering atau dalam larutan asam.
Tiamin tampak tidak akan terdestruksi ketika direbus dalam kondisi asam
untuk beberapa jam, namun akan terjadi kehilangan hingga 100% apabila direbus
dalam kondisi pH 9 selam 20 menit. Senyawa ini tidak stabil di uadara, terutama pada
nilai pH lebih tinggi dan akan rusak selama proses autoklaf, sulfitasi dan dalam
larutan alkali.
Tokoferol bersifat stabil pada proses perebusan asam tanpa adanya oksigen
dan juga akan stabil terhadap sinat tampak (visible light). Vitamin ini bersifat tidak
stabil pada suhu kamar dengan adanya oksigen, alkali, garam feri dan ketika
terekspos pada sinar ultra violet. Diduga kehilangan tokoferol terjadi ketika terjadi
oksidasi lemak dalam proses penggorengan terendam (deep-fat frying). Hal ini

terutama disebabkan karena terjadi destruksi tokoferol oleh derivat asam lemak yang
secara kimia aktif, yang terbentuk selama pemanasan dan oksidasi.
e. Pengaruh pengolahan terhadap nilai gizi mineral
Pada umumnya garam-garam mineral tidak terpengaruh secara sigifikan dengan
perlakuan kimia dan fisik selama pengolahan. Dengan adanya oksigen, beberapa
mineral kemungkinan teroksidasi menjadi mineral bervalensi lebih tinggi, namun
tidak mempengaruhi nilai gizinya.
Meskipun beberapa komponen pangan rusak dalam proses pemanggangan
bahan pangan, proses tersebut tidak mempengaruhi kandungan mineral dalam bahan
pangan. Sebaliknya, perlakuan panas akan sangat mempengaruhi absorpsi atau
penggunaan beberapa mineral, terutama melalui pemecahan ikatan, yang membuat
mineral-mineral tersebut kurang dapat diabsorpsi meskipun dibutuhkan secara
fisiologis. Fitat, fiber, protein dan mineral diduga merupakan komponen utama
sebagai penyusun kompleks tersebut.
Beberapa mineral seperti zat besi, kemungkinan akan teroksidasi (tereduksi)
selama proses pemanggangan dan akan mempengaruhi absorpsi dan nilai biologisnya.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa dua senyawa besi yang digunakan dalam
pengolahan krakers soda mempunyai nilai biologis yang berbeda jauh dan dapat
diamati pada table berikut :

2. Nilai Mutu
Kerusakan bahan makanan akan berpengaruh terhadap mutu dari bahan
makanan yang bersangkutan. Bila tingkat kerusakannya ringan akan menyebabkan
penurunan kelas mutunya, tetapi bila tingkat kerusakannya agak berat dapat
menyebabkan lewat mutu (off-grade).
Bahan makanan yang sudah off-grade menyebabkan bahan makanan tersebut
tidak layak dikonsumsi lagi. Untuk menentukan suatu bahan makanan sudah
mengalami off grade atau belum, ditetapkan batas mutu. Batas mutu tergantung pada
tingkat dan kondisi ekonomi-sosial konsumen.

3. Kesehatan
Kerusakan bahan makanan dapat mengakibatkan terganggunya kesehatan
manusia, terutama kerusakan yang disebabkan oleh mikro organisme yang bersifat
pathogen. Penyakit yang disebabkan oleh makanan disebut 'food borne diseases' atau
'food borne illnennen'. Beberapa penyakit yang dapat ditularkan melalui makanan /
minuman adalah : kolera, disentri, hepatitis, TBC dan thypus abdominalis.
Cara-cara Pencegahan Kerusakan Makanan
1. Pencegahan kerusakan mikrobiologis dapat ditempuh dengan jalan :
mencegah terjadinya kontaminasi dengan menjalankan Cara Produksi Pangan
yang Baik (CPPB);
mencegah pertumbuhan mikroba dengan kontrol suhu, kadar air, pH, kontrol
oksigen dan penggunaan BTP pengawet;
Eliminasi mikroba dengan sterilisasi uap panas, filtrasi mikroba, iradiasi.
Lima kunci keamanan pangan dari WHO (terlampir)
2. Pencegahan kerusakan mekanis Dapat ditempuh dengan jalan penerapan cara
pasca panen yang baik, sortasi, penggunaan cushioning atau bantalan serta
wadah yang tepat dan mampu memberi perlindungan yang baik selama distribusi
dan transportasi.
3. Pencegahan kerusakan fisik-kimia Dapat ditempuh dengan jalan penerapan CPPB
yang tepat agar proses pengawetan tidak merusak warna, cita rasa dan perubahan
tekstur pangan.
4. Pencegahan kerusakan biologis Dapat ditempuh dengan jalan penerapan cara
penyimpanan yang baik dan higienis, penggunaan fumigasi yang tepat, kontrol
atmosfer untuk memperlambat laju respirasi (pernafasan) produk pangan segar
dan penggunaan BTP antioksidan dan pengawet yang benar.
5. Perlakuan penurunan air (pengeringan)
Pengeringan merupakan pengawetan yang paling paling banyak dilakukan oleh
manusia
a. Pengeringan alami
Kerugian : - waktu tergantung cuaca
- Tempat yang dibutuhkan harus luas
- Suhu, pH , dan kecepatan aliran udara tak dapat dikontrol
- Terkontaminasi oleh debu
Keuntungan : murah dan tak memerlukan keahlian
b. Pengeringan buatan
Keuntungan :
- sanitasi terjamin
- Suhu, pH , dan kecepatan aliran udara dapat dikontrol
- Tidak memerlukan tempat yang luas.
Kerugian :
- Memerlukan dana banyak dan diperlukan keahlian
6. Perlakuan panas (pemanasan)
Pemanasan adalah pemberian energy panas dalam bentuk suhu lebih yang akan
merambat ke jaringan bahan yang dipanen.

Jenis-jenis pemanasan:
a. Boiling
b. Steaming
c. Baking
d. Frying
e. Pasteurisasi
f. sterilisasi
7. Perlakuan dengan suhu rendah (pendinginan/pembekuan)
Jenis-jenisnya:
a. Pendinginan / Chilling
Digunakan untuk menyimpan bahan dipanen yang mudah rusak untuk jangka
waktu beberapa hari / minggu.
b. Pembekuan / Freezing
Untuk penyimpanan BAHAN DIPANEN selama beberapa bulan / tahun
8. Perlakuan dengan bahan kimia (fermentasi dan pemberian additive)
Lampiran Kunci Keamanan Pangan WHO

Solusi supaya bahan pangan tidak rusak :


1.
2.
3.
4.

Gunakan bahan baku yang baik.


Bersihkan semua alat sebelum digunakan.
Cuci tangan sebelum dan sesudah bekerja.
Masaklah pangan secara seksama dan sempurna untuk membunuh
mikroorganisme yang ada di dalamnya.
5. Simpanlah pangan di tempat yang sesuai.
6. Diawetkan dengan tujuan :
a. Untuk mempertahankan konsistensi produk.
b. Untuk meningkatkan atau mempertahankan nilai gizi.
c. Untuk mempertahankan kelezatan dan kesehatan (wholesomeness)
pangan.
d. Mengembangkan atau mengatur keasaman/kebasaan pangan.
e. Untuk menguatkan rasa atau mendapatkan warna yang diinginkan.
f. menghambat pembusukan dan
g. menjamin mutu awal pangan agar tetap terjaga selama mungkin
Selain dengan cara seperti di atas, untuk menghindari/mencegah serta
menghambat pertumbuhan bakteri dalam pangan agar lrbih tahan lama dilakukan
proses pengawetan pada pangan.
Salah satu dari beberapa teknik pengawetan pangan adalah memberikan bahan
tambahan pangan (BTP) untuk pengawetan, hal ini dilakukan dengan menambahkan
suatu bahan kimia tertentu dengan jumlah tertentu yang diketahui memiliki efek
mengawetkan dan aman untuk dikonsumsi manusia. Jenis dan jumlah pengawet yang
diijinkan untuk digunakan telah dikaji keamanannya.
Pengawet makanan yang diijinkan
Pengawet yang diijinkan digunakan untuk pangan tercantum dalam Peraturan Menteri
Kesehatan Nomor : 722/Menkes/Per/IX/88 Tentang Bahan Tambahan Makanan,
mencakup :
1. Bahan kimia dengan kadar tertentu :
Asam Benzoat
Asam Propionat
Asam Sorbat
Belerang Oksida
Etil p-Hidroksida Benzoat
Kalium Benzoat
Kalium Bisulfit
Kalium Meta Bisulfit
Kalium Nitrat
Kalium Nitrit
Kalium Propionat
Kalium Sorbat
Kalium Sulfit 14. Kalsium benzoat
Kalsium Propionat

Kalsium Sorbat
Natrium Benzoat
Metil-p-hidroksi Benzoat
Natrium Bisulfit
Natrium Metabisulfit
Natrium Nitrat
Natrium Nitrit
Natrium Propionat
Natrium Sulfit
Nisin
Propil-p-hidroksi Benzoat
2. Menggunakan garam atau NaCl
Telah berabad lampau digunakan hingga saat ini sebagai bahan pengawet
terutama untuk daging dan ikan. Larutan garam yang masuk ke dalam jaringan
dan mengikat air bebasnya, sehingga menghambat pertumbuhan dan aktivitas
bakteri penyebab pembusukan, kapang, dan khamir. Produk pangan hasil
pengawetan dengan garam dapat memiliki daya simpan beberapa minggu hingga
bulan dibandingkan produk segarnya yang hanya tahan disimpan selama beberapa
jam atau hari pada kondisi lingkungan luar. Ikan pindang, ikan asin, telur asin dan
sebagainya merupakan contoh produk pangan yang diawetkan dengan garam.
3. Menggunakan Gula atau sukrosa
Gula atau sukrosa merupakan karbohidrat berasa manis yang sering pula
digunakan sebagai bahan pengawet khususnya komoditas yang telah mengalami
perlakuan panas. Perendaman dalam larutan gula secara bertahap pada
konsentrasi yang semakin tinggi merupakan salah satu cara pengawetan pangan
dengan gula. Gula seperti halnya garam juga menghambat pertumbuhan dan
aktivitas bakteri penyebab pembusukan, kapang, dan khamir. Dendeng, manisan
basah dan atau buah kering merupakan contoh produk awet yang banyak dijual di
pasaran bebas.
4. Menggunakan Cuka buah atau vinegar
Merupakan salah satu bahan yang dapat digunakan untuk mengawetkan daging,
asyuran maupun buah-buahan. Acar timun, acar bawang putih, acar kubis
(kimchee) merupakan produk pangan yang diawetkan dengan penambahan asam
atau cuka buah atau vinegar.

DAFTAR PUSTAKA
Harris RS and Karmas E. 1988. Nutritional Evaluation of Food Processing. Third
Edition, AVI Publ, Westport
Helferich W, Winter CK. 2001.Food Toxicology.CRC Press,Boca Raton
Hodgson E and Levi PE. 2000. Modern Toxicology. McGraw Hill, Singapore (2nd
ed)
Langseth L. 1996. Oxidants,Antioxidants, and Disease Prevention. ILSI Europe,
Brussels
Muchtadi, D. 1989. Aspek Biokimia dan Gizi dalam Keamanan Pangan. Pusat
Antar UniversitasPangan dan Gizi. IPB.
Muchtadi, D. 1989. Evaluasi Nilai Gizi Pangan. Pusat Antar UniversitasPangan
dan Gizi. IPB.
Omaye S. 2004. Food and Nutritional Toxicology. CRC Press, Boca Raton, USA

Anda mungkin juga menyukai