Anda di halaman 1dari 10

KELOMPOK 1.

TEORI ADOPSI DALAM PENYULUHAN PERTANIAN


Pengertian Adopsi

Adopsi, dalam proses penyuluhan (pertanian), pada hakekatnya dapat diartikan


sebagai proses penerimaan inovasi dan atau perubahan perilaku baik yang berupa:
pengetahuan (cognitive), sikap (affective), maupun ketrampilan (psycho-motoric)
pada diri seseorang setelah menerima "inovasi" yang disampaikan penyuluh oleh
masyarakat sasarannya.

Penerimaan di sini mengandung arti tidak sekadar "tahu", tetapi sampai benar-
benar dapat melaksanakan atau menerap-kannya dengan benar serta
menghayatinya dalam kehidupan dan usahataninya. Penerimaan inovasi tersebut,
biasanya dapat diamati secara langsung maupun tidak langsung oleh orang lain,
sebagai cerminan dari adanya perubahan: sikap, pengeta-huan, dan atau
ketrampilannya.
Pengertian adopsi sering rancu dengan "adaptasi" yang berarti penyesuaian. Di
dalam proses adopsi, dapat juga berlangsung proses penyesuaian, tetapi adaptasi
itu sendiri lebih merupakan proses yang berlangsung secara alami untuk
melakukan penyesuaian terhadap kondisi lingkungan. Sedang adopsi, benar-benar
merupakan proses penerimaan sesuatu yang "baru" (inovasi), yaitu menerima
sesuatu yang "baru" yang ditawarkan dan diupayakan oleh pihak lain (penyuluh).

Tahapan-tahapan Adopsi
Dalam proses adopsi atau penerimaan, kita dapat melihat adanya lima
tahap, yaitu :
1. Tahap kesadaran atau penghayatan (awareness stage
Pada tahap ini sasaran sudah maklum atau menghayati sesuatu hal yang
baru yang aneh tidak biasa (kebiasaan atau cara yang mereka lakukan kurang baik
atau mengandung kekeliruan, cara baru dapat meningkatkan hasil usaha dan
pendapatannya, cara baru dapat mengatasi kesulitan yang sering dihadapi
2. Tahap Minat atau tertarik (interest stage). [ Mencari informasi lebih lanjut ]
Pada tahap ini sasaran mulai ingin mengetahui lebih banyak perihal yang
baru tersebut. Ia menginginkan keterangan-keterangan yang lebih terinci
lagi. Sasaran mulai bertanya-tanya.
3. Tahap Penilaian (Evaluation stage). [ Menimbang manfaat dan kekurangan
penggunaan inovasi ]
Pada tahap ini sasaran mulai berpikir-pikir dan menilai keterangan-keterangan
perihal yang baru itu. Juga ia menghubungkan hal baru itu dengan keadaan
sendiri (kesanggupan, resiko, modal, dll.).
4. Tahap Percobaan ( Trial stage) [ Menguji sendiri inovasi pada skala kecil ]
Sasaran sudah mulai mencoba-coba dalam luas dan jumlah yang sedikit
saja. Sering juga terjadi bahwa usaha mencoba ini tidak dilakukan sendiri, tetapi
sasaran mengikuti (dalam pikiran dan percakapan-percakapan), sepak terjang
tetangga atau instansi mencoba hal baru itu (dalam pertanaman percobaan atau
demosntrasi).
5. Tahap Penerimaan (Adoption)
[ Menerapkan inovasi pada skala besar setelah membandingkannya dengan
metoda lama ]
Sasaran sudah yakin akan kebenaran atau keunggulan hal baru itu, maka ia
mengetrapkan anjuran secara luas dan kontinu. Ia juga akan mengajurkannya
kepada tetangga atau teman-temannya.
Kategori Adopter
1. inovator (innovators),
2. pengadopsi awal (early adopters),
3. mayoritas awal (early majority),
4. mayoritas lambat (late majority), dan
5. kelompok lamban (laggars).
1. Inovator (innovators)
Inovator merupakan individu-individu yang selalu ingin mencoba sesuatu
yang baru. Kemampuan finansialnya harus cukup mendukung keinginan tersebut,
karena belum tentu inovasi yang dicobanya menghasilkan sesuatu yang
menguntungkan secara finansial.
2. Pengadopsi awal (early adopters)
Pengadopsi awal dengan demikian harus mampu menerima resiko
ketidakpastian, dan sekaligus evaluasi subyektifnya mengenai suatu inovasi
kepada mereka di lingkungannya.
3. Mayoritas awal
Mayoritas awal mengadopsi suatu ide baru lebih awal dari pada
kebanyakan anggota suatu sistem sosial. Mereka sering berhubungan dengan
lingkungannya, tetapi jarang dipandang sebagai pembentuk opini. Kehati-hatian
merupakan kata kunci bagi mereka sehingga jarang diangkat sebagai pemimpin.
mayoritas akhir memandang inovasi dengan skeptisme yang berlebihan,
mereka baru mengadopsi suatu inovasi setelah sebagian besar anggota sistem
sosial mengadopsi.
4. Kelompok lamban (laggars)
Kelompok akhir adalah kelompok yang paling bersifat lokalit di dalam
memandang suatu inovasi. Kebanyakan mereka terisolasi dari lingkungannya,
sementara orientasi mereka kebanyakan adalah pada masa lalu. Keputusan-
keputusan diwarnai dengan pertimbangan apa yang telah dilakukan pada masa
lampau, sedangkan interaksi mereka kebanyakan hanya dengan sesamanya yang
mempercayainya tradisi lebih dari yang lain.
Dengan pengetahuan tentang kategorisasi adopter ini dapatlah kemudian
disusun strategi difusi inovasi yang mengacu pada kelima kategori adopter,
sehingga dapat diperoleh hasil yang optimal, sesuai dengan kondisi dan keadaan
masingmasing kelompok adopter. Hal ini penting untuk menghindari pemborosan
sumberdaya hanya karena strategi difusi yang tidak tepat. Strategi untuk
menghadapi adopter awal misalnya, haruslah berbeda dengan strategi bagi
mayoritas akhir, mengingat gambaran ciri-ciri mereka masing-masing (Rogers,
1983)
Cepat lambatnya adopsi inovasi dipengaruhi oleh beberapa hal, yaitu:
a. Sifat sifat atau karekteristik inovasi
b. Sifat-sifat atau karekteristik calon pengguna
c. Pengambilan keputusan adopsi
d. Saluran media yang digunakan
e. Kualitas Penyuluh.

KELOMPOK 2
TEORI DIFUSI DALAM PENYULUHAN PERTANIAN
Difusi Inovasi Dalam Penyuluhan Pertanian :
Proses Difusi Inovasi adalah pembesaran adopsi inovasi dari satu individu
yang telah mengadopsi ke individu lain dalam sistem social masyarakat sasaran
yang sama. Seperti yang telah dikemukakan, kecepatan adopsi dan difusi juga
tergantung kepada aktivitas yang dilakukan oleh penyuluhnya sendiri.
Sehubungan dengan hal itu, percakapan tentang kekuatan – kekuatan yang
mendorong penyuluhan dan percakapan tentang peran penyuluh, setiap penyuluh
diharapkan dapat mempercepat proses adopsi dan difusi inovasi, melalui :
1. Melakukan diagnose terhadap masalah masyarakatnya, serta kebutuhan –
kebutuhan nyata (real need) yang belum dirasakan masyarakatnya.
2. Adanya kebutuhan baru yang mendorong masyarakat untuk siap melakukan
perubahan – perubahan sedemikian rupa sehingga dengan kesadarannya sendiri
mereka termotivasi untuk melakukan perubhan – perubahan.
3. Menjalin hubungan erat dengan masyarakat sasaran, membuat mereka yakin
bahwa mereka mampu memecahkan masalahnya serta mewujudkan
terpenuhinya kebutuhan – kebutuhan yang baru.
4. Mendukung dan membantu masyarakat sasaran, agar keinginannya dapat
menjadi nyata untuk melakukan perubahan.
5. Memantabkan hubungan dengan masyarakat sasaran, pada akhirnya
melepaskan mereka untuk berswakarsa dan berswadaya melakukan perubahan
tanpa harus selalu menggantungkan bantuan guna melakukan perubahan yang
dapat mereka laksanakan sendiri.
Berkaitan dengan proses adopsi dan difusi inovasi, perlu dicermati tentang
peran kelompok perintis dan pelopor serta pemuka – pendapat (opinion
leader).Disamping itu, kelompok pemuka – pendapat yang sering dinilai
memegang peran penting dalam proses “Komunikasi dua tahap” ternyata juga
tidak selalu dapat dijadikn panutan atau acuan masyarakatnya. Hal itu disebabkan
karena seringkali mereka hanya menyalurkan pendapatnya atau inovasinya yang
lebih menguntungkan statusnya sebagai “Pemuka” masyarakatnya.sedangkan
inovasi yang berupa ide – ide yang akan “membahayakan” kedudukan atau
bisnisnya tidak akan disampaikan kepada masyarakatnya.

KELOMPOK 3
KEDUDUKAN PENYULUHAN PERTANIAN DAN PETERNAKAN DALAM
PEMBANGUNAN PERTANIAN DAN PETERNAKAN

Berbicara tentang kedudukan penyuluhan, Timmer (1983) dengan tepat


menyebutnya sebagai “perantara” atau jembatan penghubung, yaitu penguhubung
antara:
 Teori dan praktik, terutama bagi kelompok sasaran (penerima manfaat) yang
belum memahami “bahasa ilmu pengetahuan/tek-nologi”.
 Pengalaman dan kebutuhan, yaitu antar dua kelompok yang setara seperti
sesama praktisi, sesama tokoh masyarakat, dll.
 Penguasa dan masyarakat, terutama yang menyangkut pemecahan masalah dan
atau kebijakan-kebijakan pembangunan.
 Produsen dan pelanggan, terutama menyangkut produk-produk (sarana
produksi, mesin/peralatan, dll.
 Sumber informasi dan penggunannya, terutama terhadap masyarakat yang
relatif masih tertutup atau kurang memiliki aksesibilitas terhadap informasi.
 Antar sesama stakeholder agribisnis, dalam pengembangan jejaring dan
kemitraan-kerja, terutama dalam pertukaran informasi.
 Antara masyarakat (di dalam) dan “pihak luar”, kaitannya dengan kegiatan
agribisnis dan atau pengembangan masyarakat dalam arti yang lebih luas.
Berkaitan dengan pemahaman tersebut, Lionberger (1983, 1991) meletakkan
penyuluhan sebagai “variabel antara” (interviening variable), dalam
pembangunan (pertanian) yang bertujuan untuk memperbaiki kesejahteraan petani
dan masyarakatnya. Dalam posisi seperti itu, kegagalan pembangunan pertanian
untuk memperbaiki kesejahteraan petani bukan semata-mata disebabkan oleh
lemah atau rendahnya mutu/kinerja penyuluhan.
Sebaliknya, keberhasilan pembangunan pertanian dalam memperbaiki
kesejahteraan petani, tidak dapat dikatakan bahwa hal itu disebabkan “hanya” oleh
baik atau tingginya mutu/kinerja penyuluhan. Sebagai “variabel antara”
(Lionberger, 1983), kegiatan penyuluhan berperan sebagai jembatan dalam
proses:

 Distribusi informasi/inovasi, baik dari sumber (peneliti, pusat informasi,


penentu kebijakan, produsen/pemasar, dll) kepada masyarakat yang
membutuhkan dan akan menggunakannya, maupun sebaliknya, dari
masyarakat/praktisi kepada pakar, produsen, pengambil keputusan kebijakan,
dll. umpan balik terhadap informasi/ inovasi yang telah disampaikan
penyuluhnya.
 Pemecahan masalah, yaitu sebagai fasilitator pemecahan masalah dan atau
perantara informasi yang menyangkut masalah-masalah yang dihadapi oleh
masyarakat, praktisi, pengguna dan pelanggan produk tertentu, kepada sumber
informasi/inovasi/produk mau-pun para penentu kebijakan pembangunan.
 Pengambilan keputusan, yaitu sebagai fasilitator dan atau peran-tara informasi
tentang kebijakan pembangunan dari pengambil keputusan (penguasa) kepada
masyarakat dan atau perantara informasi dari masyarakat tentang kebijakan
yang harus diputus-kan oleh pihak luar (bukan oleh masyarakat sendiri).
Dalam pembangunan pertanian, kedudukan penyuluhan sebagai “perantara”
perannya dilaksanakan oleh penyuluh pertanian. Terkait, “kedudukan penyuluh
(pertanian)”, maka kedudukan tidak berada di atas atau lebih tinggi dibanding
petaninya, melainkan dalam “posisi yang sejajar”. Kedudukan sebagai mitra-
sejajar tersebut, tidak hanya terletak pada proses sharing selama berlangsungnya
kegiatan penyuluhan, tetapi harus dimulai dari: sikap pribadi dalam
berkomunikasi, tempat duduk, bahasa yang digunakan, sikap saling menghargai,
saling menghormati, dan saling mempedulikan karena merasa saling
membutuhkan dan memiliki kepentingan bersama.
Legalitas jabatan dan kedudukan penyuluh pertanian ditetapkan dalam Undang-
undang Nomor 16 Tahun 2006 tentang Sistem Penyuluhan Pertanian, Perikanan
dan Kehutanan. Disebutkan bahwa penyuluh adalah perorangan warga Negara
Indonesia yang melakukan penyuluhan, sedangkan penyuluh pegawai negeri sipil
(PPNS) adalah pegawai negeri sipir yang diberi tugas, tanggung jawab,
wewenang, dan hak secara penuh oleh pejabat yang berwenang pada satuan
organisasi lingkup pertanian, perikanan, atau kehutanan untuk melakukan
penyuluhan.

Pada Undang-undang Nomor 16 Tahun 2006 tentang Undang-undang Sistem


Penyuluhan Pertanian, Perikanan dan Kehutanan, menyatakan bahwa penyuluhan
dilakukan oleh Penyuluh Pertanian Pegawai Negeri Sipil (PNS), Penyuluh
Pertanian Swadaya dan/atau Penyuluh Pertanian Swasta. Sesuai dengan Peraturan
Menteri Pertanian Nomor: 61/Permentan/OT.140/11/2008, kedudukan Penyuluh
Pertanian Swadaya dan Penyuluh Pertanian Swasta adalah sebagai mitra Penyuluh
Pertanian PNS dalam melakukan kegiatan penyuluhan pertanian, baik sendiri-
sendiri maupun kerjasama yang terintegrasi dalam program penyuluh penyuluhan
pertanian, sesuai dengan tingkat administrasi pemerintahan dimana kegiatan
penyuluhan diselenggarakan. Keberadaan Penyuluh Pertanian Swadaya dan
Penyuluh Pertanian Swasta bersifat mandiri dan independen untuk memenuhi
kebutuhan pelaku utama dan pelaku usaha.

KELOMPOK 4.
PERANAN PENYULUHAN PERTANIAN DAN PETERNAKAN DALAM
PENBANGUNAN PERTANIAN DAN PETERNAKAN

Yang dimaksud peranan disini adalah peranan penyuluh selain tugas pokoknya
melaksanakan penyuluhan. Mengapa demikian, karena dalam melaksanakan tugas
pokoknya (menyuluh) tidak akan berhasil dengan baik bila penyuluh tidak mampu
memerankan peran-peran tambahan/lainnya yang akan diuraikan ini.

Banyak ahli menjelaskan peran-peran tambahan/lainnya penyuluh ini (selain


menyuluh/memberikan inovasi), yang apabila dirangkum antara lain menyebutkan
:

1. Penyuluh sebagai inisiator, yang senantiasa selalu memberikan gagasan/ide-ide


baru.

2. Penyuluh sebagai fasilitator, yang senantiasa memberikan jalan keluar/


kemudahan-kemudahan, baik dalam menyuluh/proses belajar mengajar, maupun
fasilitas dalam memajukan usahataninya. Dalam hal menyuluh penyuluh
memfasilitasi dalam hal : kemitraan usaha, berakses ke pasar, permodalan dan
sebagainya.

3. Penyuluh sebagai motivator, penyuluh senantiasa membuat petani tahu, mau dan
mampu.

4. Penyuluh sebagai penghubung

a. Penghubung dengan pemerintah, dalam hal ini :

b. Penyuluh sebagai penyampai aspirasi masyarakat tani (sebagai contoh dalam


bentuk programa penyuluhan pertanian)

c. Penyuluh sebagai penyampai kebijakan dan peraturan-peraturan yang


menyangkut kebijakan dan peraturan bidang pertanian.

5. Penghubung dengan peneliti, dalam hal ini penyuluh senantiasa membawa


inovasi baru hasil-hasil penelitiaan untuk dapat memajukan usaha tani.

6. Penyuluh sebagai guru, pembimbing petani, yang senantiasa mengajar, melatih


petani sebagai orang dewasa.

7. Penyuluh sebagai organisator dan dinamisator, yang selalu menumbuhkan dan


mengembangkan kelompok tani agar mampu berfungsi sebagai kelas belajar-
mengajar, wahana kerjasama dan sebagai unit produksi.
8. Penyuluh sebagai penganalisa, penyuluh dituntut untuk mampu menganalisa
masalah, sebab yang ada di usahatani dan di keluarga tani mampu menganalisa
kebutuhan petani yang selanjutnya merupakan masukan dalam membuat
programa penyuluhan pertanian.

9. Penyuluh sebagai agen perubahan, penyuluh senantiasa harus dapat


mempengaruhi sasarannya agar dapat merubah dirinya ke arah kemajuan. Dalam
hal ini penyuluh berperan sebagai katalis, pembantu memecahkan masalah
(solution gives), pembantu proses (process helper), dan sebagai sumber
penghubung (resources linker).
DAFTAR PUSTAKA
Margono Slamet, 1979, Kumpulan Bacaan Penyuluhan Pertanian, IPB, Bogor.

Mardikanto T., 1988, Komunikasi Pembangunan, UNS Press Surakarta.

___________, 1996, Penyuluhan Pembangunan Kehutanan, Departemen


Kehutanan, Jakarta.

___________, 2002, Redefinisi dan Revitalisasi Penyuluhan Pertanian, Pasca


Sarjana UNS, Surakarta.

___________, 2006, Prosedur Penelitian untuk Kegiatan Penyuluhan


Pembangunan dan Pemberdayaan Masyarakat, Prima Theresia Pressindo,
Surakarta

Musyafak A. da. Tatang M. Ibrahim, 2005. Strategi Percepatan Adopsi dan Difusi
Inovasi Pertanian Mendukung Prima Tani. Analisis Kebijakan Pertanian.
Vol. 3 No.1, Maret 2005. Pontianak

Alwi. 2010. Kebijakan Penyuluhan Pertanian dalam Pembangunan, (online),


(http://catatankuliahs2ku.blogspot.com/). Diakses pada hari Minggu
tanggal 1 Maret 2015.

Anonim. 2011. Peranan Penyuluhan Pertanian, (online),


(http://bp3kairdikit.blogspot.com/). Diakses pada hari Minggu tanggal 1
Maret 2015.

_______. 2012. Penyuluh Pertanian, (online), (http://www.bangazul.com/).


Diakses pada hari Minggu tanggal 1 Maret 2015.

Arifin, M. 2013. Kedudukan Penyuluhan Pertanian dalam Pembangunan


Pertanian, (online), (http://agro-sosial.blogspot.com/). Diakses pada hari
Minggu tanggal 1 Maret 2015.

Mardikanto, T. 2009. Sistem Penyuluhan Pertanian. Surakarta: Sebelas Maret


University Press.

Timmer, W.J. 1983. The Human Side of Agriculture. New York: Vantage Press.

Anda mungkin juga menyukai