DIFUSI INOVASI
Teori mengenai difusi inovasi pertama kali dicetuskan oleh Everett
Rogers melalui publikasinya pada tahun 1960 dengan mendefinisikan sebagai
proses dimana inovasi dikomunikasikan melalui saluran tertentu pada kurun
waktu tertentu kepada anggota sistem sosial. Sedangkan inovasi diartikan
sebagai ide, praktek atau obyek yang dianggap baru oleh individu, kelompok
atau bahkan organisasi. Proses individu mengadopsi inovasi secara bertahap
meliputi
fase
pengetahuan,
persuasi,
keputusan,
implementasi
dan
konfirmasi. Pengenalan obat baru juga mengikuti fase tersebut. Dokter akan
menggunakan obat baru setelah menerima berbagai informasi melalui berbagai
saluran komersial dan divalidasi oleh saluran profesional.
Akan tetapi, penerapan konsep inovasi dan difusi bagi adopsi teknologi
informasi tidaklah sederhana. Keputusan mengadopsi teknologi informasi tidak
hanya terletak pada aspek individu, tetapi juga pada tingkatan organisasional.
Inovasi penggunaan surat elektronik (e-mail) lebih tergantung kepada keputusan
individu bukan organisasi. Di sisi lain, dalam suatu organisasi, berbagai jenis
perangkat lunak (yang baru dan lama) dapat digunakan secara bersama-sama.
Faktor lain yang mempengaruhi inovasi adalah saluran komunikasi di
organisasi yang memperkuat jaringan sosial. Komunikasi yang mendukung
pertukaran wacana (diskusi), membawa pengetahuan dan informasi dari luar
organisasi akan mempercepat proses difusi. Selain itu, faktor lain yang
berpengaruh adalah proses pengambilan keputusan dan komitmen manajemen
puncak. Komitmen pucuk pimpinan dapat ditunjukkan dengan pemberian
kesempatan serta sumber daya. Gaya kepemimpinan juga sangat berpengaruh.
Pada fase identifikasi kebutuhan gaya kepemimpinan partisipatif akan sangat
mendukung. Tetapi ketika sudah fase implementasi, model kepemimpinan yang
hirarkis disebut-sebut lebih menentukan tingkat keberhasilannya. Yang terakhir
adalah kesiapan terhadap perubahan. Zaltman et al.mengatakan bahwa pada fase
implementasi, struktur organisasi yang mendukung pengendalian serta
manajemen proyek yang berhati-hari sangat mempengaruhi keberhasilan proses
inovasi. Oleh karena itu, perencanaan merupakan salah satu variable penting
dalam penerapan.
yang
bisa
dijadikan
rujuakan
adalah
pengelompokan
berdasarkan kurva adopsi, yang telah diuji oleh Rogers (1961). Gambaran
tentang pengelompokan adopter dapat dilihat sebagai berikut:
1. Inovator, Seseorang yang menyukai hal-hal baru Senang bereksperimen,
biasanya inovator memiliki kedudukan penting dalam masyarakat atau
biasanya seorang pemimpin yang memiliki pengaruh terhadap masyarakat.
Sekitar 2,5% individu yang pertama kali mengadopsi inovasi. Cirinya:
petualang, berani mengambil resiko, mobile, cerdas, kemampuan ekonomi
tinggi.
2. Early adopters, Seseorang yang cepat menerima suatu Inovasi, Cerdas. Ia
merupakan seseorang yang selalu mempertimbangkan sebuah keputusannya
berfikir kritis setelah ia telah memutuskan suatu keputusannya maka
keputusan tersebut sudah benar-benar diyakini dan
untuk segera
hal-hal baru. 34% yang menjadi pera pengikut awal. Cirinya: penuh
pertimbangan, interaksi internal tinggi
4. Late Majority, Seseorang yang selalu diikuti dengan rasa curiga/ skeptics,
terlalu memikirkan kesulitankesulitan sesuatu inovasi, mereka tergolong
orang-orang yang telat terhadap munculnya suatu inovasi, jika sudah
banyak masyarakat menggunaan inovasi tersebut dan terbukti baik dan
aman untuk digunakan maka akhirnya ia baru ikut menggunakan inovasi
tersebut. 34% yang menjadi pengikut akhir dalam penerimaan inovasi.
Cirinya: skeptis, menerima karena pertimbangan ekonomi atau tekanan
social, terlalu hati-hati.
5. Laggards/ avoiders, Sesorang yang bersikap tertutup terhadap hal-hal yang
baru. Dapat dikatakan seseorang yang fanatik terhadap cara-cara yang sudah
ada sebelumnya (cara lama) senang dengan cara-cara lama, terlalu kriktis
terhadap hal-hal baru, tidak antusias menggunakan teknologi yang baru, dan
ia akan menggunakan/ mengikuti sebuah inovasi jika adanya suatu tekanan
dan semua orang sudah lama menggunakannya. 16% terakhir adalah kaum
kolot/ tradisional. Cirinya: tradisional, terisolasi, wawasan terbatas, bukan
opinion leaders, sumberdaya terbatas. Difusi inovasi sebenarnya didasarkan
atas teori di abad ke 19 dari seorang ilmuwan Perancis, Gabriel Tarde.
Dalam bukunya yang berjudul The Laws of Imitation (1930), Tarde
mengemukakan teori kurva S dari adopsi inovasi, dan pentingnya
komunikasi interpersonal. Tarde juga memperkenalkan gagasan mengenai
opinion leadership , yakni ide yang menjadi penting di antara para peneliti
efek media beberapa dekade kemudian. Tarde melihat bahwa beberapa
orang dalam komunitas tertentu merupakan orang yang memiliki
ketertarikan lebih terhadap ide baru, dan dan hal-hal teranyar, sehingga
mereka lebih berpengetahuan dibanding yang lainnya. Orang-orang ini
dinilai bisa memengaruhi komunitasnya untuk mengadopsi sebuah inovasi.
dan
norma-norma
sosial
yang
dimiliki
Praktik sebelumnya
Perasaan akan kebutuhan
Keinovatifan
Norma dalam sistem sosial
Proses keputusan inovasi memiliki beberapa tipe yakni:
a. Otoritas adalah keputusan yang dipaksakan kepada seseorang oleh
individu yang berada dalam posisi atasan
b. Individual adalah keputusan dimana individu yang bersangkutan
mengambil peranan dalam pembuatannya. Keputusan individual terbagi
menjadi dua macam, yakni:
1) Keputusan opsional adalah keputusan yang dibuat oleh seseorang,
terlepas dari keputusan yang dibuat oleh anggota sistem.
2) Keputusan kolektif adalah keputusan dibuat oleh individu melalui
konsesnsus dari sebuah sistem sosial
3) Kontingen adalah keputusan untuk menerima atau menolak inovasi
setelah ada keputusan yang mendahuluinya.
Konsekuensi adalah perubahan yang terjadi pada individu atau suatu sistem
sosial sebagai akibat dari adopsi atau penolakan terhadap inovasi .
Tahap
terakhir
ini
adalah
tahapan
dimana
individu
akan
disebut
discontinuance.
ketidakpuasan
disenchantment
discontinuance
Disenchantment
individu
dan
discontinuance
terhadap
atau
replacement
disebabkan
inovasi
oleh
tersebut
dan
cepat.
Disamping
itu,
teknologi
memiliki
karakteristik
perkembangan yang sangat cepat. Setiap dua tahun, akan muncul produk baru
dengan kemampuan pengolahan yang dua kali lebih cepat dan kapasitas
penyimpanan dua kali lebih besar serta berbagai aplikasi inovatif terbaru.
Dengan berbagai potensinya ini, adalah naif apabila manajemen
informasi kesehatan di rumah sakit tidak memberikan perhatian istimewa.
makalah ini secara khusus akan membahas perkembangan teknologi informasi
untuk mendukung manajemen rekam medis secara lebih efektif dan efisien.
Tulisan ini akan dimulai dengan berbagai contoh aplikasi teknologi informasi,
faktor yang mempengaruhi keberhasilan serta refleksi bagi komunitas rekam
medis.
E. APLIKASI
TEKNOLOGI
INFORMASI
UNTUK
MENDUKUNG
keras
ini
bertujuan
untuk
menerima
masukan
untuk
mengolah
serta
mengelola
sistem
komputer
dengan
dikendalikan oleh sistem operasi komputer. Selain itu, terdapat juga perangkat
keras penyimpan data baik yang bersifat tetap (hard disk) maupun portabel
(removable disk). Perangkat keras berikutnya adalah perangkat outuput yang
menampilkan hasil olahan komputer kepada pengguna melalui monitor, printer,
speaker, LCD maupun bentuk respon lainnya.
Perangkat keras (baik input, pemroses, penyimpan, maupun output),
perangkat lunak serta infrastruktur, ketiga-tiganya memiliki potensi besar untuk
klinisi
dapat
mematuhi
protokol
klinik.
identitas
melalui
radio
frekuensi.
Jika
Pemanfaatan
jaringan
computer
dalam
dunia
medis
sebenarnya sudah dirintis sejak hampir 40 tahun yang lalu. Pada tahun
1976/1977, University of Vermon Hospital dan Walter Reed Army
Hospital
mengembangkan
local
area
network
(LAN)
yang
Kota
Bandung
dan
sejumlah
puskesmas,
dengan
aplikasi
melalui
peningkatan
pelayanan
dan
pendidikan
kesehatan
unit
(medical
stations)
berbasis
mikrokontroller
b. Infrastruktur telekomunikasi yang tersedia
komputer
(PC)
atau
c.
d.
e.
f.