EVAPRO - Program Screening HIV Bumil - Ade Triajayanti - Revisi Fix
EVAPRO - Program Screening HIV Bumil - Ade Triajayanti - Revisi Fix
Disusun Oleh :
Ade Triajayanti
1718012043
Pembimbing :
dr. Reni Zuraida, M.Si
NPM : 1718012043
ii
KATA PENGANTAR
Pada kesempatan ini penulis mengucapkan banyak terima kasih kepada dr. Reni
Zuraida, M.Si sebagai pembimbingan lapangan di Puskesmas Rawat Inap Tanjung
Sari yang telah memberikan bantuan, saran, serta kerja sama sehingga makalah ini
dapat terselesaikan.
Penulis menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari sempurna sehingga setiap
kritik dan saran untuk pengembangan makalah ini sangat diharapkan demi
kesempurnaan laporan ini dan sebagai bekal penulis di masa yang akan datang.
Akhir kata penulis juga berharap kiranya laporan evaluasi program ini dapat
berguna dan bermanfaat bagi Puskesmas Rawat Inap Tanjung Sari, mahasiswa, dan
semua pihak yang membutuhkannya.
Penulis
iii
DAFTAR ISI
iv
BAB III METODE EVALUASI .................................................................................. 27
3.1 Kerangka Konsep Evaluasi ............................................................................ 27
3.2 Bahan ............................................................................................................. 27
3.3 Waktu dan Tempat ......................................................................................... 28
3.4 Cara Pengumpulan Data ................................................................................ 28
3.5.1 Penetapan Tolak Ukur ..................................................................... 28
3.4.2 Cara Analisis ................................................................................... 29
3.3 Diagram Fishbone .......................................................................................... 32
v
DAFTAR TABEL
vi
DAFTAR GAMBAR
vii
BAB I
PENDAHULUAN
Di Indonesia sendiri, angka infeksi HIV terus meningkat. Data terakhir pada
tahun 2017 menunjukkan bahwa jumlah infeksi HIV di Indonesia telah
mencapai 48.300 orang, meningkat dari tahun sebelumnya 41.250 orang.
Pada infeksi HIV kelompok usia yang paling banyak terkena adalah
kelompok umur 25-49 tahun (Kementrian Kesehatan RI, 2018).
2
Lebih dari 90% bayi terinfeksi HIV tertular dari ibu HIV positif. Penularan
tersebut dapat terjadi pada masa kehamilan, saat persalinan dan selama
menyusui. Tanpa pengobatan yang tepat dan dini, separuh dari anak yang
terinfeksi HIV akan meninggal sebelum ulang tahun kedua. Pencegahan
penularan HIV dari ibu ke anak (PPIA) atau Prevention of Mother to Child
HIV Transmission (PMTCT) merupakan intervensi yang sangat efektif untuk
mencegah penularan tersebut. Oleh karena itu, salah satu bentuk kegiatan
PPIA adalah pendeteksian dini (screening) terhadap ibu hamil terhadap
infeksi HIV (Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, 2015).
3
1.3 Tujuan Penulisan
Berikut adalah tujuan dari penulisan makalah ini yang terbagi ke dalam
tujuan umum dan tujuan khusus.
a. Tujuan Umum
Tujuan umum penulisan makalah ini adalah untuk mengetahui program
screening HIV pada ibu hamil di Puskesmas Rawat Inap Tanjung Sari
Tahun 2019.
b. Tujuan Khusus
Adapun tujuan khusus dari penulisan makalah ini adalah sebagai
berikut:
1. Mengetahui dan menentukan permasalahan dari pelaksanaan
program screening HIV pada ibu hamil di Puskesmas Rawat Inap
Tanjung Sari
2. Mengetahui kemungkinan penyebab masalah tidak tercapainya
target dari program screening HIV pada ibu hamil di Puskesmas
Rawat Inap Tanjung Sari
3. Menentukan alternatif pemecahan masalah dalam pelaksanaan
program screening HIV pada ibu hamil di Puskesmas Rawat Inap
Tanjung Sari.
4
3. Memperoleh pengalaman dan pengetahuan tentang evaluasi
program pencegahan HIV terutama pada ibu hamil.
b. Bagi puskesmas yang dievaluasi
1. Mengetahui besarnya masalah yang timbul dalam pelayanan
kesehatan lingkungan di wilayah kerja Puskesmas Rawat Inap
Tanjung Sari
2. Memperoleh masukan sebagai umpan balik positif untuk
meningkatkan angka keberhasilan program Screening HIV pada ibu
hamil di Puskesmas Rawat Inap Tanjung Sari.
c. Bagi masyarakat
1. Terciptanya perbaikan kesehatan masyarakat melalui deteksi HIV
bagi Ibu Hamil yang tepat
2. Terciptanya pelayanan kesehatan yang bermutu khususnya bagi
masyarakat di wilayah kerja Puskesmas Rawat Inap Tanjung Sari.
5
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi
AIDS (Acquired Immunodeficiency Syndrome) adalah sekumpulan gejala/
tanda klinis pada pengidap HIV akibat infeksi tumpangan (oportunistik)
karena penurunan sistem imun. Penderita HIV mudah terinfeksi berbagai
penyakit karena imunitas tubuh yang sangat lemah, sehingga tubuh gagal
melawan kuman yang biasanya tidak menimbulkan penyakit. Infeksi
oportunistik ini dapat disebabkan oleh berbagai virus, jamur, bakteri dan
parasit serta dapat menyerang berbagai organ, antara lain kulit, saluran
cerna/usus, paru-paru dan otak. Berbagai jenis keganasan juga mungkin
timbul (Djoerban Z dan Djazi S, 2014).
2.2 Epidemiologi
World Health Organization (WHO) pada tahun 2018 melaporkan jumlah
kasus orang hidup dengan HIV mencapai angka 37,1 juta jiwa dengan temuan
kasus baru pada tahun 2018 sebesar 1,7 juta jiwa. Afrika merupakan daerah
dengan temuan kasus HIV/AIDS terbanyak, yaitu 25,7 juta jiwa (WHO,
2018).
Di Indonesia sendiri, angka infeksi HIV terus meningkat. Data terakhir pada
tahun 2017 menunjukkan bahwa jumlah infeksi HIV di Indonesia telah
mencapai 48.300 orang, meningkat dari tahun sebelumnya 41.250 orang.
Pada infeksi HIV kelompok usia yang paling banyak terkena adalah
kelompok umur 25-49 tahun (Kementrian Kesehatan RI, 2018).
2.3 Etiologi
AIDS disebabkan oleh infeksi HIV, suatu virus RNA berbentuk sferis yang
termasuk retrovirus dari famili Lentivirus. Strukturnya tersusun atas beberapa
7
lapisan di mana lapisan terluar (envelop) berupa glikoprotein gp120 yang
melekat pada glikoprotein gp41. Selubung glikoprotein ini berafinitas tinggi
terhadap molekul CD4 pada permukaan T-helper lymphosit dan monosit atau
makrofag. Lapisan kedua di bagian dalam terdiri dari protein p17. Inti HIV
dibentuk oleh protein p24. Di dalam inti ini terdapat dua rantai RNA dan
enzim transkriptase reverse (reverse transcriptase enzyme). Struktur virus
HIV digambarkan pada gambar satu (Merati TP dan Djauzi S, 2014).
Ada dua tipe HIV yang dikenal yakni HIV-1 dan HIV-2. Epidemi HIV global
terutama disebabkan oleh HIV-1 sedangkan tipe HIV-2 tidak terlalu luas
penyebarannya. Tipe yang terakhir ini hanya terdapat di Afrika Barat dan
beberapa negara Eropa yang berhubungan erat dengan Afrika Barat (Merati
TP dan Djauzi S, 2014).
2.4 Penularan
Penularan terjadi melalui cairan tubuh yang mengandung HIV. Cairan tubuh
yang dapat menularkan infeksi HIV memiliki resiko yang berbeda beda.
Resiko tersebut dijelaskan ada tabel satu. Penularan utama HIV melalui
empat jalur yang melibatkan cairan tubuh tersebut, yakni hubungan seksual,
jalur pemindahan darah (alat suntik, tato, tindik, alat bedah, alat cukur dan
8
melalui luka kecil di kulit), transplantasi organ, dan dari ibu yang terinfeksi
ke bayi yang dilahirkannya (Murtiastutik, 2008).
2.5 Patogenesis
Limfosit CD4+ (sel T helper atau Th) merupakan target utama infeksi HIV
karena virus mempunyai afinitas terhadap molekul permukaan CD4. Limfosit
CD4+ berfungsi mengkoordinasikan sejumlah fungsi imunologis yang
penting sehingga bila terjadi kehilangan fungsi tersebut maka dapat
menyebabkan gangguan imun yang progresif (Djoerban Z dan Djauzi S,
2014).
Namun beberapa sel lainnya yang dapat terinfeksi yang ditemukan secara
invitro dan invivo adalah megakariosit, epidermal langerhans, peripheral
dendritik, folikular dendritik, mukosa rectal, mukosa saluran cerna, sel
serviks, mikrogilia, astrosit, sel trofoblast, limfosit CD8, sel retina dan epitel
ginjal (Merati TP dan Djauzi S, 2014).
Infeksi HIV terjadi melalui molekul CD4 yang merupakan reseptor utama
HIV dengan bantuan ko-reseptor kemokin pada sel T atau monosit, atau
melalui kompleks molekul adhesi pada sel dendrit. Kompleks molekul adhesi
ini dikenal sebagai dendritic-cell specific intercellular adhesion molecule-
grabbing nonintegrin (DC-SIGN). Antigen gp120 yang berada pada
permukaan HIV akan berikatan dengan CD4 serta ko-reseptor kemokin
CXCR4 dan CCR5, dan dengan mediasi antigen gp41 virus, akan terjadi fusi
9
dan internalisasi HIV. Di dalam sel CD4, sampul HIV akan terbuka dan RNA
yang muncul akan membuat salinan DNA dengan bantuan enzim
transkriptase reversi. Selanjutnya salinan DNA ini akan berintegrasi dengan
DNA pejamu dengan bantuan enzim integrase. DNA virus yang terintegrasi
ini disebut sebagai provirus. Setelah terjadi integrasi, provirus ini akan
melakukan transkripsi dengan bantuan enzim polimerasi sel host menjadi
mRNA untuk selanjutnya mengadakan transkripsi dengan protein-protein
struktur sampai terbentuk protein. mRNA akan memproduksi semua protein
virus. Genomik RNA dan protein virus ini akan membentuk partikel virus
yang nantinya akan menempel pada bagian luar sel. Melalui proses budding
pada permukaan membran sel, virion akan dikeluarkan dari sel inang dalam
keadaan matang. Sebagian besar replikasi HIV terjadi di kelenjar getah
bening, bukan di peredaran darah tepi (Djoerban Z dan Djauzi S, 2014).
Siklus replikasi virus HIV digambarkan secara ringkas melalui gambar dua.
10
rasio CD4-CD8 dan hipergammaglobulinemia. Respon imun humoral
terhadap virus HIV dibentuk terhadap berbagai antigen HIV seperti antigen
inti (p24) dan sampul virus (gp21, gp41). Antibodi muncul di sirkulasi dalam
beberapa minggu setelah infeksi. Secara umum dapat dideteksi pertama kali
sejak dua minggu hingga tiga bulan setelah terinfeksi HIV. Masa tersebut
disebut masa jendela. Antigen gp120 dan bagian eksternal gp21 akan dikenal
oleh sistem imun yang dapat membentuk antibodi netralisasi terhadap HIV.
Namun, aktivitas netralisasi antibodi tersebut tidak dapat mematikan virus
dan hanya berlangsung dalam masa yang pendek. Sedangkan respon imun
selular yang terjadi berupa reaksi cepat sel CTL (sel T sitolitik yang sebagian
besar adalah sel T CD8). Walaupun jumlah dan aktivitas sel T CD8 ini tinggi
tapi ternyata tidak dapat menahan terus laju replikasi HIV (Djoerban Z dan
Djauzi S, 2014).
Setelah infeksi akut, dimulailah infeksi HIV asimtomatik (tanpa gejala) yang
berlangsung selama delapan sampai sepuluh tahun. Tetapi ada sekelompok
kecil orang yang perjalanan penyakitnya amat cepat, dapat hanya sekitar dua
tahun, dan ada pula perjalanannya lambat (non-progessor). Sejalan dengan
11
memburuknya kekebalan tubuh, ODHA mulai menampakkan gejala-gejala
akibat infeksi oportunistik seperti berat badan menurun, demam lama, rasa
lemah, pembesaran kelenjar getah bening, diare, tuberkulosis, infeksi jamur,
herpes dan lain-lainnya (Djoerban Z dan Djauzi S, 2014).
12
Tabel 3. Stadium klinis HIV
Stadium 1 Asimptomatik
Tidak ada penurunan berat badan
Tidak ada gejala atau hanya : Limfadenopati Generalisata Persisten
Stadium 2 Sakit ringan
Penurunan BB 5-10%
ISPA berulang, misalnya sinusitis atau otitis
Herpes zoster dalam 5 tahun terakhir
Luka di sekitar bibir (keilitis angularis)
Ulkus mulut berulang
Ruam kulit yang gatal (seboroik atau prurigo -PPE)
Dermatitis seboroik
Infeksi jamur kuku
Stadium 3 Sakit sedang
Penurunan berat badan > 10%
Diare, Demam yang tidak diketahui penyebabnya, lebih dari 1 bulan
Kandidosis oral atau vaginal
Oral hairy leukoplakia
TB Paru dalam 1 tahun terakhir
Infeksi bakterial yang berat (pneumoni, piomiositis, dll)
TB limfadenopati
Gingivitis/Periodontitis ulseratif nekrotikan akut
Anemia (Hb <8 g%), netropenia (<5000/ml), trombositopeni kronis (<50.000/ml)
Stadium 4 Sakit berat (AIDS)
Sindroma wasting HIV
Pneumonia pnemosistis*, Pnemoni bakterial yang berat berulang
Herpes Simpleks ulseratif lebih dari satu bulan.
Kandidosis esophageal
TB Extraparu*
Sarkoma kaposi
Retinitis CMV*
Abses otak Toksoplasmosis*
Encefalopati HIV
Meningitis Kriptokokus*
Infeksi mikobakteria non-TB meluas
Sumber: (Djoerban Z dan Djauzi S, 2014)
2.7 Klasifikasi
Klasifikasi HIV/AIDS pada orang dewasa menurut CDC (Centers for Disease
Control) dibagi atas empat tahap, yakni:
a. Infeksi HIV akut
Tahap ini disebut juga sebagai infeksi primer HIV. Keluhan muncul
setelah dua sampai empat minggu terinfeksi. Keluhan yang muncul
berupa demam, ruam merah pada kulit, nyeri telan, badan lesu, dan
limfadenopati. Pada tahap ini, diagnosis jarang dapat ditegakkan karena
keluhan menyerupai banyak penyakit lainnya dan hasil tes serologi
standar masih negatif (Murtiastutik, 2008).
13
b. Infeksi Seropositif HIV Asimtomatis
Pada tahap ini, tes serologi sudah menunjukkan hasil positif tetapi
gejala asimtomatis. Pada orang dewasa, fase ini berlangsung lama dan
penderita bisa tidak mengalami keluhan apapun selama sepuluh tahun
atau lebih. Berbeda dengan anak- anak, fase ini lebih cepat dilalui
(Murtiastutik, 2008).
c. Persisten Generalized Lymphadenopathy (PGL)
Pada fase ini ditemukan pembesaran kelenjar limfe sedikitnya di dua
tempat selain limfonodi inguinal. Pembesaran ini terjadi karena
jaringan limfe berfungsi sebagai tempat penampungan utama HIV.
PGL terjadi pada sepertiga orang yang terinfeksi HIV asimtomatis.
Pembesaran menetap, menyeluruh, simetri, dan tidak nyeri tekan
(Murtiastutik, 2008).
d. AIDS (Acquired Immunodeficiency Syndrome)
Hampir semua orang yang terinfeksi HIV, yang tidak mendapat
pengobatan, akan berkembang menjadi AIDS. Progresivitas infeksi
HIV bergantung pada karakteristik virus dan hospes. Usia kurang dari
lima tahun atau lebih dari 40 tahun, infeksi yang menyertai, dan faktor
genetik merupakan faktor penyebab peningkatan progresivitas.
Bersamaan dengan progresifitas dan penurunan sistem imun, penderita
HIV lebih rentan terhadap infeksi. Beberapa penderita mengalami
gejala konstitusional, seperti demam dan penurunan berat badan, yang
tidak jelas penyebabnya. Beberapa penderita lain mengalami diare
kronis dengan penurunan berat badan. Penderita yang mengalami
infeksi oportunistik dan tidak mendapat pengobatan anti retrovirus
biasanya akan meninggal kurang dari dua tahun kemudian
(Murtiastutik, 2008).
14
(umumnya DNA atau RNA virus) di dalam tubuh yakni melalui pemeriksaan
PCR untuk menentukan viral load, dan tes hitung jumlah limfosit. Sedangkan
untuk kepentingan surveilans, diagnosis HIV ditegakkan apabila terdapat
infeksi oportunistik atau limfosit CD4+ kurang dari 200 sel/mm3. Berikut ini
adalah beberapa pemeriksaan penunjang yang dianjurkan untuk dilakukan
pemeriksaan pada pasien HIV adalah; (Departemen Kesehatan RI, 2007)
a. Tes antibodi terhadap HIV (AI);
b. Tes Hitung jumlah sel T CD4 T (AI);
c. HIV RNA plasma (viral load) (AI);
d. Pemeriksaan darah perifer lengkap, profil kimia, SGOT, SGPT, BUN
dan kreatinin, urinalisis, tes mantux, serologi hepatitis A, B, dan C, anti-
Toxoplasma gondii IgG, dan pemeriksaan Pap-smear pada perempuan
(AIII);
e. Pemeriksaan kadar gula darah puasa dan profil lipid pada pasien dengan
risiko penyakit kardiovaskular dan sebagai penilaian awal sebelum
inisasi kombinasi terapi (AIII).
15
sering dilakukan saat ini adalah dengan teknik Western Blot (WB). Hasil tes
positif palsu dapat disebabkan adanya otoantibodi, penerima vaksin HIV, dan
kesalahan teknik pemeriksaan. Hasil tes positif pada bayi yang lahir dari ibu
HIV positif belum tentu berarti tertular mengingat adanya IgG terhadap HIV
yang berasal dari darah ibu. IgG ini dapat bertahan selama 18 bulan sehingga
pada kondisi ini, tes perlu diulang pada usia anak > 18 bulan (Djoerban Z dan
Djauzi S, 2014).
Hasil tes dinyatakan positif bila tes penyaring dua kali positif ditambah
dengan tes konfirmasi dengan WB positif. Di negara-negara berkembang
termasuk Indonesia, pemeriksaan WB masih relatif mahal sehingga tidak
mungkin dilakukan secara rutin. WHO menganjurkan strategi pemeriksaan
dengan kombinasi dari pemeriksaan penyaring yang tidak melibatkan
pemeriksaan WB sebagai konfirmasi. Di Indonesia, kombinasi yang
digunakan adalah tiga kali positif pemeriksaan penyaring dengan
menggunakan strategi 3. Bila hasil tes tidak sama missal hasil tes pertama
reaktif, tes kedua reaktif, dan yang ketiga non-reaktif atau apabila hasil tes
pertama reaktif, kedua dan ketiga non-reaktif, maka keadaan ini disebut
sebagai indeterminate dengan catatan orang tersebut memiliki riwayat
pajanan atau berisiko tinggi tertular HIV. Bila orang tersebut tanpa riwayat
pajanan atau tidak memiliki risiko tertular, maka hasil pemeriksaan
dilaporkan sebagai non-reaktif (Djoerban Z dan Djauzi S, 2014).
2.9 Tatalaksana
Antiretrovirus (ARV) yang ditemukan pada tahun 1996, mendorong suatu
revolusi dalam perawatan penderia HIV/AIDS. Meskipun belum mampu
menyembuhkan penyakit dan menambah tantangan dalam hal efek samping
dan resistensi, obat ini secara dramatis menunjukkan penurunan angka
mortalitas dan morbiditas akibat HIV/AIDS (Murtiastutik, 2008).
16
antiretrovirus yang digolongkan berdasarkan cara kerjanya, yang dijelaskan
pada tabel empat.
17
beberapa hari sebelum persalinan, dan pada saat plasenta mulai
terpisah dari dinding uterus pada waktu melahirkan. Penularan
diperkirakan terjadi karena bayi terpapar oleh darah dan sekresi
saluran genital ibu. Namun, kebanyakan penularan terjadi saat
persalinan (waktu bayinya lahir). Selain itu, bayi yang disusui oleh
ibu terinfeksi HIV dapat juga tertular HIV (Green, 2009).
18
ibu tentang resiko penularan terhadap pasangan seks, bayi, serta cara
pencegahannya (Setiawan, 2009).
19
Tabel 5. Pemberian profilaksis terhadap ibu dengan HIV
Jenis Obat Dosis Saat Pemberian Cara
Pemberian
Untuk Ibu
Zidovudine 10 mg 5 kali/ hari Masa gestasi 14 minggu Per Oral
(retrovir) hingga menjelang
kelahiran
2 mg/ kg BB Dilanjutkan pada saat Intravena
melahirkan selama 1
jam
I mg/ kgBB/ jam Dilanjutkan sampai Intravena
lahir
Untuk Neonatus
Zidovudine 2 mg/kg/dosis, 4 Dimulai pada usia 8 jam Per Oral
(retrovir) masa kali/hari sampai 6 minggu
gestasi > 35
minggu
Zidovudine 2 mg/kg/dosis, 2 Dimulai pada usia 8 jam Per Oral
(retrovir) masa kali/hari (2minggu sampai 6 minggu
gestasi 30 – 35 pertama)
minggu selanjutnya 2
mg/kg/dosis, 3
kali/hari
Zidovudine 2 mg/kg/dosis, 2 Dimulai pada usia 8 jam Per Oral
(retrovir) masa kali/hari (4 sampai 6 minggu
gestasi < 30 minggu pertama)
minggu selanjutnya 2
mg/kg/dosis, 3
kali/hari
Sumber: (Setiawan, 2009)
20
2. Meningkatkan kelangsungan hidup ibu dan anak akibat HIV/AIDS
serendah mungkin, khususnya di daerah dengan epidemi HIV meluas dan
terkonsentrasi
3. Meningkatkan kualitas hidup ibu hamil dan anak dengan HIV.
Program screening HIV pada ibu hamil adalah pemeriksaan HIV yang wajib
dilakukan oleh seluruh ibu hamil dalam pelayanan antenatal (ANC). Program
ini dititik beratkan pada pelayanan kesehatan tingkat pertama, yaitu
puskesmas, walaupun pada tingkat pelayanan lainnya program ini tetap dapat
dilakukan. Program screening HIV pada ibu hamil di puskesmas termasuk ke
dalam program KIA dan dilakukan komunikasi serta kerja sama dengan
jejaring puskesmas, sepeti bidan desa, bidan praktek mandiri serta kader.
Usaha yang dilakukan untuk meningkatkan pengetahuan ibu hamil akan HIV
baik dari penyebab hingga komplikasi yang dapat terjadi sehingga kesadaran
ibu hamil akan pentingnya screening HIV menjadi meningkat. Screening
yang dilakukan dalam PPIA wajib dilakukan oleh seluruh ibu hamil dalam
pelayanan antenatal, sejak kunjungan pertama hingga menjelang persalinan.
Pada daerah dengan epidemi rendah serta kekurangan dalam prasarananya,
maka ibu hamil dengan infeksi menular seksual dan tuberkulosis lebih
diprioritaskan (Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, 2015).
21
Pada ibu hamil dengan HIV yang tidak mendapatkan upaya pencegahan
penularan kepada janin atau bayinya, maka risiko penularan berkisar antara
20-50%. Bila dilakukan upaya pencegahan, maka risiko penularan dapat
diturunkan menjadi kurang dari 2%. Dengan pengobatan ARV yang teratur
dan perawatan yang baik, ibu hamil dengan HIV dapat melahirkan anak yang
terbebas dari HIV melalui persalinan pervaginam dan menyusui bayinya.
Pencegahan penularan HIV dan sifilis pada ibu hamil yang terinfeksi HIV ke
janin/ bayi yang dikandungnya mencakup langkah-langkah sebagai berikut:
(Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, 2015)
1. Layanan antenatal terpadu termasuk tes HIV
2. Menegakkan diagnosis HIV
3. Pemberian terapi antiretroviral (untuk HIV)
4. Konseling persalinan dan KB pasca persalinan.
5. Konseling menyusui dan pemberian makanan bagi bayi dan anak, serta
KB.
6. Konseling pemberian profilaksis ARV dan kotrimoksazol pada anak.
7. Persalinan yang aman dan pelayanan KB pasca persalinan.
8. Pemberian profilaksis ARV pada bayi.
9. Memberikan dukungan psikologis, sosial dan keperawatan bagi ibu selama
hamil, bersalin dan bayinya.
22
puskesmas adalah sebagai berikut: (Kementerian Kesehatan Republik
Indonesia, 2015)
1. Merencanakan pengembangan layanan PPIA di Puskesmas dan
jaringannya (Pustu, bidan di desa dan Puskesmas keliling) untuk
menjangkau ibu hamil yang belum terjangkau
2. Merencanakan pembahasan PPIA dalam mini lokakarya Puskesmas serta
anggaran BOK dan sumber lainnya untuk kegiatan PPIA
3. Merencanakan kebutuhan logistik, antara lain: alat, reagen HIV, reagen
sifilis, ARV, obat sifilis dan bahan habis pakai
4. Merencanakan jejaring dengan LSM/KDS/kader terkait PPIA
5. Merencanakan jejaring rujukan antara puskesmas dengan fasilitas
pelayanan kesehatan lainnya dalam LKB
6. Merencanakan kegiatan pemantauan dan evaluasi upaya PPIA di
Puskesmas dan jaringannya.
23
4. Melaksanakan kerja sama dengan kader peduli HIV, KDS ODHA, LSM
terkait PPIA dalam jejaring LKB
5. Melaksanakan rujukan kasus ke RS dan antar Puskesmas, serta melakukan
kerja sama dengan fasilitas pelayanan kesehatan lainnya di wilayah kerja
6. Memasukkan pembahasan tentang PPIA dalam kegiatan mini lokakarya
Puskesmas
7. Melakukan peningkatan kapasitas staf (orientasi, sosialisasi, pelatihan di
Puskesmas) tentang PPIA:
a. Petugas terkait di Puskesmas (petugas KIA, KB, BP, konselor,
konseling remaja dan Promkes);
b. Petugas kesehatan di Pustu/Polindes/Poskesdes/BPM;
c. Kader kesehatan, PLKB dan pihak terkait lainnya
8. Memberikan pelayanan/konseling:
a. Konseling KB dalam konteks PPIA, di samping pelayanan KB rutin
b. Tes HIV pada ibu hamil pada layanan antenatal
c. Menyusui dan persalinan aman pada ibu hamil dengan HIV
d. Pengobatan bagi ibu hamil dengan HIV bagi puskesmas yang memiliki
layanan ARV dan rujukan ke RS bila layanan pengobatan ARV tidak
tersedia
e. Pengobatan bagi ibu hamil dengan sifilis
f. Persalinan pervaginam pada ibu hamil dengan HIV yang telah
mendapatkan pengobatan ARV sesuai dengan standar
g. Pemeriksaan HIV dan pemberian ARV profilaksis pada bayi dari ibu
HIV atau merujuk jika layanan tidak tersedia
h. Pemantauan pengobatan bagi bayi, serta tumbuh kembang bayi dan
balita yang lahir dari ibu dengan HIV
i. Rujukan balik ke puskesmas atau Pustu/Polindes/Poskesdes/BPM
9. Melakukan KIE terkait kesehatan reproduksi, termasuk HIV dan AIDS, di
layanan KIA, KB, konseling remaja dan di masyarakat
10. Melakukan sinkronisasi pencatatan dan pelaporan pelayanan PPIA di
tingkat Puskesmas dengan fasilitas pelayanan kesehatan di wilayah kerja
24
11. Bekerjasama dengan LSM/kader/KDS untuk mendapatkan dukungan
psikologis kepada pasien dan keluarganya
12. Melaksanakan pemantapan mutu laboratorium dan membuat jejaring
dengan perawat dan bidan di Pustu, Polindes/ Poskesdes dan petugas di
FKTP terkait lainnya untuk pemantauan mutu pemeriksaan laboratorium
HIV.
25
8. Cakupan pengobatan profilaksis ARV pada bayi: adalah jumlah bayi lahir
dari ibu dengan HIV mendapatkan ARV profilaksis dibagi dengan jumlah
bayi lahir hidup dari ibu HIV, dikalikan 100%.
9. Cakupan pengobatan profilaksis kotrimoksasol pada bayi: adalah jumlah
bayi lahir dari ibu dengan HIV mendapatkan kotrimoksasol profilaksis
dibagi dengan jumlah bayi lahir hidup dari ibu dengan HIV, dikalikan
100%.
10. Proporsi bayi yang didiagnosis HIV: adalah jumlah bayi lahir dari ibu
dengan HIV dengan hasil tes HIV positif dibagi dengan jumlah bayi lahir
hidup dari ibu dengan HIV, dikalikan 100%.
26
BAB III
METODE EVALUASI
3.2 Bahan
Bahan evaluasi didapatkan dari laporan Program screening HIV pada ibu
hamil di Wilayah Kerja Puskesmas Rawat Inap Tanjung Sari bulan Januari
s.d Juli tahun 2019. Selain itu, data didapatkan dari hasil wawancara dengan
petugas Puskesmas yang terkait dengan Program screening HIV pada ibu
hamil di Wilayah Kerja Puskesmas Rawat Inap Tanjung Sari yaitu, pemegang
program, petugas laboratorium, bidan koordinator dan bidan desa.
3.3 Waktu dan Tempat
Pengambilan data dilakukan mulai tanggal 25 Juli – 12 Agustus 2019 di
Puskesmas Rawat Inap Tanjung Sari.
28
3.4.2 Cara Analisis
Evaluasi program pengendalian penyakit menular di Puskesmas
Rawat Inap Tanjung Sari dilakukan dengan cara sebagai berikut:
a. Menetapkan tolak ukur dan pencapaian dari unsur keluaran
Menetapkan tolak ukur atau standar yang ingin dicapai dan
menetapkan pencapaian hasil keluaran dari program merupakan
langkah pertama untuk menentukan adanya suatu masalah dari
pencapaian hasil.
b. Membandingkan pencapaian keluaran program dengan tolak ukur
Langkah selanjutnya adalah membandingkan hasil pencapaian
program dengan tolak ukurnya. Jika terdapat kesenjangan antara
tolak ukur dengan hasil pencapaian pada unsur keluaran maka
disebut sebagai masalah.
c. Membuat kerangka konsep dari masalah
Untuk menentukan penyebab masalah, gambarkan terlebih dahulu
proses terjadinya masalah atau kerangka konsep masalah, sehingga
diharapkan semua faktor penyebab masalah dapat diketahui dan
diidentifikasi.
d. Mengidentifikasi penyebab masalah dengan menggunakan
diagram fishbone
Masalah yang telah ditetapkan perlu dilakukan identifikasi untuk
menilai berbagai hal yang mungkin dapat menjadi penyebab
masalah. Proses identifikasi masalah dapat dilakukan dengan
menggunakan diagram fishbone dengan fokus pada lima hal pokok,
yaitu Man, Material, Method, Money dan Mechine.
e. Menetapkan prioritas penyebab masalah
Penyebab masalah bisa lebih dari satu, sehingga perlu dibuat
prioritas penyebab masalah. Tujuan menetapkan prioritas
penyebab masalah adalah menetapkan hal yang paling utama dapat
menyebabkan timbulnya. Jika penyebab masalah lebih dari satu,
maka penetapan prioritas penyebab masalah dilakukan dengan
29
teknik kriteria matriks. Kriteria ini dibedakan atas tiga macam,
yaitu:
1. Pentingnya masalah (importancy/ I), makin penting masalah
tersebut, makin diprioritaskan penyelesaiannya. Ukuran
pentingnya masalah yaitu :
a) Besarnya masalah (prevalence/ P)
b) Akibat yang ditimbulkan oleh masalah (severity/ S)
c) Kenaikan besarnya masalah (rate of increase/ RI)
d) Derajat keinginan masyarakat yang tidak terpenuhi (degree
of unmeet need/ DU)
e) Keuntungan sosial karena selesainya masalah (social
benefit/ SB)
f) Rasa prihatin masyarakat terhadap masalah (public
concern/ PB)
g) Suasana politik (political climate/ PC)
2. Kelayakan teknologi (technical feasibility/ T), makin layak
teknologi yang tersedia dan yang dapat dipakai untuk mengatasi
masalah, makin diprioritaskan masalah tersebut. Kelayakan
teknologi yang dimaksud adalah menunjuk penguasaan ilmu
dan teknologi yang sesuai.
3. Sumber daya yang tersedia (resources availability/ R), makin
tersedia sumber daya yang dapat dipakai untuk mengatasi
masalah makin diprioritaskan masalah tersebut. Sumber daya
yang dimaksud adalah yang menunjuk pada tenaga (man), dana
(money) dan sarana (material).
Beri nilai antara satu (tidak penting) sampai dengan lima (sangat
penting) untuk setiap kriteria yang sesuai. Perhitungan prioritas
masalah dilakukan dengan rumus “I x T x R”. Masalah yang
dipilih sebagai prioritas adalah yang memiliki nilai tertinggi.
30
f. Membuat alternatif pemecahan masalah
Sesuai dengan penyebab masalah yang ditemukan, maka dibuat
alternatif pemecahan masalah. Alternatif pemecahan masalah
dibuat dengan melihat kerangka konsep prioritas masalah,
sehingga tersusun daftar alternatif pemecahan masalah, dengan
melihat kondisi dan situasi fasilitas kesehatan di puskesmas.
g. Menentukan prioritas cara pemecahan masalah
Setelah membuat alternatif pemecahan masalah yang dianggap
paling baik dan memungkinkan, langkah selanjutnya adalah
menentukan prioritas cara pemecahan masalah. Pemilihan prioritas
cara pemecahan masalah ini dengan memakai teknik kriteria
matriks. Dua kriteria yang lazim digunakan adalah:
1. Efektivitas jalan keluar (effectifity/ E), menetapkan nilai
efektivitas untuk setiap alternatif jalan keluar, yakni dengan
memberikan angka satu (paling tidak efektif) sampai dengan
angka lima (paling efektif). Prioritas jalan keluar adalah yang
nilai efektivitasnya paling tinggi. Untuk menentukan efektivitas
jalan keluar, dipergunakan kriteria tambahan sebagai berikut:
a) Besarnya masalah yang dapat diselesaikan (magnitude/ M)
Makin besar masalah yang dapat di atasi, makin tinggi
prioritas jalan keluar tersebut.
b) Pentingnya jalan keluar (importancy/I) Pentingnya jalan
keluar dikaitkan dengan kelanggengan masalah. Makin
langgeng selesai masalahnya, makin penting jalan keluar
tersebut.
c) Sensitivitas jalan keluar (vuneberality/V) Sensitivitas
dikaitkan dengan kecepatan jalan keluar mengatasi
masalah. Makin cepat masalah teratasi, makin sensitif jalan
keluar tersebut.
2. Efisiensi Jalan Keluar (efficiency/ C), menetapkan nilai efisiensi
untuk setiap alternatif jalan keluar, yakni dengan memberikan
angka satu (paling tidak efisien) sampai dengan angka lima
31
(paling efisien). Nilai efisien ini biasanya dikaitkan dengan
biaya (cost) yang diperlukan untuk melaksanakan jalan keluar.
Makin besar biaya yang diperlukan, makin tidak efisien jalan
keluar tersebut.
Diagram fishbone ini dapat digunakan untuk beberapa hal, antara lain:
a. Mengenali akar penyebab masalah atau sebab mendasar dari akibat,
masalah, atau kondisi tertentu
32
b. Memilah dan menguraikan pengaruh timbal balik antara berbagai faktor
yang mempengaruhi akibat atau proses tertentu
c. Menganalisa masalah yang ada sehingga tindakan yang tepat dapat
diambil.
33
4. Kita bisa menggunakan diagram pareto untuk membantu menentukan
hasil atau akibat yang akan dianalisis.
b. Gambar garis panah horizontal ke kanan yang akan menjadi tulang
belakang
1. Di sebelah kanan garis panah, tulis deskripsi singkat hasil atau akibat
yang dihasilkan oleh proses yang akan dianalisis
2. Buat kotak yang mengelilingi hasil atau akibat tersebut.
c. Identifikasi penyebab‐penyebab utama yang mempengaruhi hasil atau
akibat
1. Penyebab Ini akan menjadi label cabang utama diagram dan menjadi
kategori yang akan berisi berbagai penyebab yang menyebabkan
penyebab utama
2. Untuk menentukan penyebab utama sering kali merupakan pekerjaan
yang tidak mudah. Untuk itu kita dapat mencoba memulai dengan
menulis daftar seluruh penyebab yang mungkin. Kemudian penyebab‐
penyebab tersebut dikelompokkan berdasarkan hubungannya satu sama
lain. Tentukan penyebab berdasarkan urutan proses yang digunakan.
Jadi, pada garis horizontal “tulang punggung ikan”, tuliskan semua
proses utama dari kiri ke kanan
3. Tulis penyebab utama tersebut di sebelah kiri kotak hasil atau akibat,
beberapa tulis di atas garis horizontal, selebihnya di bawah garis
4. Buat kotak untuk masing - masing penyebab utama tersebut.
d. Untuk setiap penyebab utama, identifikasi faktor‐faktor yang menjadi
penyebab dari penyebab utama
1. Identifikasi sebanyak mungkin faktor penyebab dan tulis sebagai sub-
cabang utama
2. Jika penyebab‐penyebab minor menjadi penyebab dari lebih dari satu
penyebab utama, tuliskan pada semua penyebab utama tersebut.
e. Identifikasi lebih detail lagi secara bertingkat berbagai penyebab dan
lanjutkan mengorganisasikannya di bawah kategori atau penyebab yang
berhubungan.
34
f. Menganalisis diagram analisis membantu kita mengidentifikasi penyebab
yang menjamin pemeriksaan lebih lanjut. Diagram fishbone ini hanya
mengidentifikasi kemungkinan penyebab, seperti:
1. Lihat keseimbangan diagram: Jika ada kelompok dengan banyak item
pada suatu area dapat mengindikasikan perlunya pengkajian lebih
lanjut. Jika ada kategori utama dengan sedikit penyebab minor dapat
mengindikasikan perlunya indentifikasi lagi penyebab minornya. Jika
ada beberapa cabang kategori utama hanya memiliki sedikit sub
cabang, mungkin kita perlu mengombinasikannya dalam satu kategori
2. Cari penyebab yang muncul berulang, mungkin penyebab ini adalah
penyebab akar
3. Cari apa yang bisa diukur dari setiap penyebab sehingga kita dapat
menguantitaskan hasil atau akibat dari setiap perubahan yang kita
lakukan dan yang terpenting, identifikasi penyebab‐penyebab yang
dapat diambil tindakan.
35
BAB IV
GAMBARAN WILAYAH KERJA
PUSKESMAS RAWAT INAP TANJUNG SARI
Puskesmas Rawat Inap Tanjung Sari adalah salah satu puskesmas yang
terletak di Kabupaten Lampung Selatan, terletak di Wilayah Kecamatan
Natar, Desa Tanjung Sari (105°BT dan 6°LS). Wilayah kerja Puskesmas
Rawat Inap Tanjung Sari terdiri dari lima desa, yaitu Muara Putih, Tanjung
Sari, Krawang Sari, Way Sari dan Bumi Sari. Lima desa yang ada di wilayah
kerja puskesmas, terdiri atas 27 dusun, desa yang memiliki dusun terbanyak
adalah Desa Tanjung Sari sebanyak 7 dusun dan desa dengan dusun terkecil
adalah Desa Bumi Sari sebanyak 4 dusun. Luas wilayah kerja secara
keluruhan dari Puskesmas Rawat Inap Tanjung Sari mencapai 4.771 km.
Gambaran wilayah kerja Puskesmas Rawat Inap Tanjung Sari dijelaskan pada
gambar tiga.
Sumber : PRI Tanjung Sari, 2017
Gambar 3. Peta Wilayah Kerja Puskesmas Rawat Inap Tanjung Sari
Jarak Puskesmas Rawat Inap Tanjung Sari Natar ke Ibu kota Kabupaten ±95
KM. Sedangkan ke Ibu Kota Provinsi ±20 KM. Wilayah kerja Puskesmas
Rawat Inap Tanjung Sari Natar merupakan daerah dataran rendah dengan
ketinggian rata-rata 400 M di atas permukaan laut. Batas-batas wilayah kerja
Puskesmas Rawat Inap Tanjung Sari Natar adalah sebagai berikut :
a. Sebelah utara dengan Desa Candimas Puskesmas Branti Raya
b. Sebelah timur dengan Desa Pancasila Puskesmas Sukadamai
c. Sebelah selatan dengan Desa Merak Batin Puskesmas Natar
d. Sebelah barat dengan Desa Negara ratu Puskesmas Natar.
37
wilayah kerjanya. Fungsi dari Puskesmas Rawat Inap Tanjung Sari tersebut
adalah sebagai pusat pembangunan berwawasan kesehatan, pusat
pemberdayaan masyarakat dan keluarga menuju masyarakat yang mandiri
dan sehat serta pusat pelayanan strata satu (pelayanan tingkat dasar).
Tabel 7. Sumber Daya Kesehatan Puskesmas Rawat Inap Tanjung Sari Natar
JUMLAH
NO JENIS KETENAGAAN
PNS PTT TKS
1 Dokter spesialis 0 0 0
2 Dokter umum 3 0 0
3 Dokter gigi 1 0 0
4 Bidan D1 2 0 0
5 Bidan D3 9 4 6
6 Perawat DIII/DIV/S.kep 8 0 6
7 Perawat gigi 1 0 0
8 Apoteker atau sarjana farmasi 1 0 0
9 DIII farmasi atau asisten apoteker 2 0 0
10 DIV/sarjana gizi 0 0 0
11 DI/III gizi 2 0 0
12 Sarjana kesmas 3 0 0
13 Tenaga sanitasi 3 0 0
14 Analis Lab 2 0 0
15 Non kesehatan struktural 1 0 0
16 SMA 0 0 1
17 SMP 0 0 1
38
Kepala Puskesmas
Bahren
Nortajulu,S.Kep
Kasubag TU.
Evi Marlina,S.St
Kepegawaian
Bendahara
Harudin S.Farm,
Anita Kurnia, S.St
Apt.
SIP RT
Sutanto Nurdin
PJ UKM Esensial & PJ UKM PJ UKP Farmasi & PJ Jaringan YAN PKM
Perkesmas Pengembangan Laboratorium dan Jejaring Fayankes
Habil, SKM Habil, SKM dr. Farida, M.KM Anita Kurnia, S.St
39
Tanjung Sari Natar. Beberapa upaya pengembangan yang diselenggarakan
yaitu:
1) Upaya Kesehatan Sekolah dan Upaya Kesehatan Gigi Sekolah
2) Upaya Perawatan Kesehatan Masyarakat
3) Upaya Kesehatan Usia Lanjut
4) Klinik IMS
4.5 Program Screening HIV pada Ibu Hamil di Puskesmas Rawat Inap
Tanjung Sari
Program screening HIV pada ibu hamil termasuk ke dalam upaya kesehatan
ibu dan anak di Puskesmas Rawat Inap Tanjung Sari. Program ini berdasarkan
akan peraturan Mentri Kesehatan Republik Indonesia nomor 52 tahun 2017
untuk mengurangi angka penularan HIV dari ibu ke anak. Program ini
diturunkan oleh pemerintah pusat ke berbagai pelayanan kesehatan, salah
satunya puskesmas. Peralatan ataupun kebutuhan yang dibutuhkan
disediakan oleh pemerintah. Program ini dilakukan di seluruh Indonesia
dengan sasaran adalah seluruh ibu hamil. Pendataan ibu hamil yang ada di
Puskesmas Rawat Inap Tanjung Sari dilakukan dengan cara pelaporan oleh
bidan desa di wilayah kerja puskesmas.
Program ini dapat dilakukan pada seluruh ibu hamil pada usia kandungan
berapapun. Program screening HIV pada ibu hamil digabungkan dengan
program screening HBsAg dan Sifilis, sehingga dalam pelaksanaannya ibu
hamil selalu diperiksakan ketiga pemeriksaan tersebut. Ketiga pemeriksaan
tersebut sering disebut dengan ‘triple eliminasi’. Pelaksanaan program ini
dilakukan di puskesmas yang memiliki fasilitas laboratorium.
40
melakukan pemeriksaan HBsAg dan sifilis. Ibu hamil yang telah menyetujui
pemeriksaan akan dilakukan pemeriksaan berkas untuk melengkapi data
pemeriksaan. Ibu hamil yang tinggal di wilayah kerja Puskesmas Rawat Inap
Tanjung Sari tidak akan dikenakan biaya dalam pemeriksaan dengan
menunjukkan fotokopi kartu keluarga.
41
BAB V
HASIL EVALUASI DAN PEMBAHASAN
Pada program screening HIV pada ibu hamil di Puskesmas Rawat Inap
Tanjung Sari, didapatkan hasil capaian pada periode Januari – Juli 2019
sebesar 61,4%. Analisis antara tolak ukur program dengan pencapaian
program dijelaskan pada tabel delapan.
Tabel 8. Analisis masalah program screening HIV pada ibu hamil di Puskesmas
Rawat Inap Tanjung Sari periode Januari – Juli 2019
Jumlah Tolak Ukur screening Pencapaian screening Target yang belum
Ibu HIV HIV tercapai
hamil n % n % n %
456 456 100 280 61,4 176 38,6
Pencapaian program screening HIV pada ibu hamil tersebar dalam lima desa
di wilayah kerja Puskesmas Rawat Inap Tanjung Sari. Persebaran pencapaian
program tersebut digambarkan pada gambar lima.
Muara Putih
100
80 61
60
40 98
Bumi Sari Tanjung Sari
41 20
0
30
50
Krawang Sari Way Sari
43
Berdasarkan data persebaran terlaksananya program screening HIV pada
kelima desa belum tersebar merata. Pencapaian tertinggi terletak di Desa
Tanjung Sari (98 orang) dan terendah di Desa Way Sari (30 orang).
44
METHOD MATERIAL MAN
Gambar 7. Diagram Fishbone Program Screening HIV pada Ibu Hamil di Puskesmas Rawat Inap Tanjung Sari 45
5.5 Penetapan Prioritas Penyebab Masalah
Berdasarkan diagram fishbone pada gambar tujuh, perlu dicari penyebab
masalah yang memiliki peranan paling penting dalam mencapai keberhasilan
program. Teknik kriteria matriks pemilihan prioritas dapat digunakan untuk
memilih penyebab masalah yang paling dominan. Analisis penentuan
prioritas penyebab masalah pada program screening HIV pada ibu hamil di
Puskesmas Rawat Inap Tanjung Sari dijelaskan pada tabel sembilan.
Tabel 9. Penentuan Prioritas Penyebab Masalah pada Program Screening HIV pada
Ibu Hamil di Puskesmas Rawat Inap Tanjung Sari
No. Daftar Penyebab I Jumlah
T R
Masalah P S RI DU SC PB PC IxTxR
1. Man
Kurangnya
optimalisasi kinerja
4 3 3 4 3 2 2 3 3 189
petugas dalam
pelaksanaan program
Kurangnya
pengetahuan kader
4 4 3 3 2 3 3 2 2 88
akan pentingnya
pemeriksaan HIV
Kurangnya inisiatif ibu
hamil untuk
4 5 3 3 5 2 2 3 2 144
melakukan screening
HIV di Puskesmas
Ketidaktahuan pasien
terhadap penyakit HIV
yang dapat menular
dari ibu ke janin yang 4 5 3 3 5 3 2 3 2 150
dapat menyebabkan
gangguan kesehatan
yang fatal
2. Method
Kurangnya
optimalisasi dalam
pelaksanaan kegiatan
3 3 3 2 3 3 2 2 2 76
yang dilakukan oleh
puskesmas dengan
jejaringnya
Kurangnya promosi
pelaksanaan kegiatan
4 3 3 4 3 3 2 2 3 132
pemeriksaan HIV
terhadap masyarakat
3. Material
Jumlah laboratorium
yang dapat melakukan
3 3 3 2 3 2 2 3 2 108
pemeriksaan HIV
kurang
4. Money
Kurangnya
4 3 3 2 2 2 2 2 2 72
pengetahuan
46
masyarakat akan
pembiayaan
pemeriksaan HIV
dengan tingkat sosial
ekonomi masyarakat
yang rendah membuat
masyarakat
mendahulukan
kebutuhan primer
Pendapatan yang
didapatkan oleh tenaga
kesehatan tidak
3 3 2 2 2 1 3 2 2 64
sebanding dengan
pekerjaan yang
dilakukan
5. Machine
Ibu hamil yang sulit
datang ke puskesmas
karena lokasi yang 4 5 4 3 4 4 3 3 2 162
jauh dan tidak ada
yang mengantar
Tidak adanya pelayan
kesehatan lain yang
dapat melakukan 4 3 3 3 4 3 2 3 2 132
pemeriksaan HIV
selain puskesmas
Kurangnya
optimalisasi kerja
sama pelaksanaan
4 3 3 3 4 3 3 2 3 138
program dengan
struktur atau perangkat
desa
Keterangan :
- I : Importancy (pentingnya masalah)
- P : Prevalence (besarnya masalah)
- S : Severity (akibat yang ditimbulkan masalah)
- RI : Rate of Increase (kenaikannya besarnya masalah)
- DU : Degree of Unmeet Need (derajat keinginan masyarakat yg telah terpenuhi
- SC : Social Benefit (keuntungan sosial karena selesainya masalah)
- PB : Public Concern (rasa prihatin masyarakat tentang masalah)
- PC : Political Climate (suasana politik)
- T : Technical feasibility (kelayakan tekhnologi)
- R : Resources availibility (sumber daya yang tersedia)
47
Dokter dalam program ini berperan untuk meningkatkan ibu hamil dalam
pemahaman terhadap HIV, baik dari penyebab hingga komplikasi yang dapat
terjadi. Pada ibu hamil, kejadian yang dapat dihindari adalah penularan HIV
dari ibu ke anak, sehingga ibu hamil perlu diberikan pemahaman yang baik
agar mau untuk melakukan pemeriksaan dan dapat ditindaklanjuti. Maka dari
itu, dokter seharusnya dapat memberikan pengertian serta mengajak
masyarakat terutama ibu hamil.
Kegiatan yang dapat dijadikan fokus utama dapat dijalankannya program ini
adalah upaya dalam KIA dan dapat diaplikasikan dalam kegiatan posyandu
48
yang rutin dilakukan setiap bulannya. Pada kenyataannya, posyandu yang ada
belum maksimal, hanya bidan desa dan kader yang melaksanakan kegiatan
tersebut. Padahal, banyak kegiatan yang dapat dilakukan dalam waktu tersebut.
49
BAB VI
ALTERNATIF PEMECAHAN MASALAH
Belum tercapainya target cakupan program screening HIV pada ibu hamil di
Puskemas Rawat Inap Tanjung Sari disebabkan oleh beberapa faktor. Setelah
dilakukan pencarian masalah utama pada bab sebelumnya, telah diperoleh masalah
utama yaitu kurangnya optimalisasi kinerja petugas dalam pelaksanaan program.
Berdasarkan faktor penyebab masalah yang dapat diidentifikasi, maka dibuat
beberapa alternatif pemecahan masalah (jalan keluar) tersebut.
51
Permasalahan utama yang terjadi karena petugas yang ada belum
dioptimalisasi kinerjanya untuk meningkatkan pencapaian program. Petugas
yang ada sudah cukup untuk pelaksanaan, dapat diberikan perubahan dalam
pelaksanaan kegiatan dalam meningkatkan pencapaian. Salah satu yang dapat
dilakukan dan sudah diperhitungkan prioritasnya adalah dilakukan
pengambilan sampel oleh bidan untuk pemeriksaan.
Seperti pilihan pemecahan jalan keluar dengan cara mengambil sampel pada
ibu hamil di setiap daerah akan memudahkan ibu hamil itu sendiri dalam
melakukan pemeriksaan. Hal ini juga lebih mudah dilakukan bagi puskesmas
karena tidak membutuhkan petugas baru dalam pelaksanaan kegiatan.
Pelaksanaan kegiatan ini memerlukan pelatihan bagi bidan yang nantinya
akan diamanahkan untuk pengambilan sampel ibu hamil. Hal ini juga
memudahkan petugas laboratorium. Mereka hanya tinggal melakukan
prosedur pemeriksaan tanpa harus mengambil sampel terlebih dahulu.
52
BAB VII
KESIMPULAN DAN SARAN
7.1 Kesimpulan
1. Terdapat masalah pada program screening HIV pada ibu hamil di
Puskesmas Rawat Inap Tanjung Sari pada periode Januari – Juli tahun
2019 dengan capaian 61,4% dari target 100%
2. Penyebab utama dari masalah program screening HIV pada ibu hamil di
Puskesmas Rawat Inap Tanjung Sari adalah kurangnya optimalisasi
kinerja petugas dalam pelaksanaan program
3. Alternatif pemecahan masalah yang paling mungkin dapat dilakukan
untuk mengatasi permasalahan pada program screening HIV pada ibu
hamil di Puskesmas Rawat Inap Tanjung Sari adalah melakukan
pengambilan sampel secara langsung pada titik lokasi pencapaian yang
rendah oleh bidan.
7.2 Saran
Alternatif pemecahan masalah dari program screening HIV pada ibu hamil di
Puskesmas Rawat Inap Tanjung Sari yang paling mungkin dapat dilakukan
adalah melakukan pengambilan sampel secara langsung pada titik lokasi
pencapaian yang rendah oleh bidan. Hal yang sekiranya dapat dilakukan oleh
pihak puskesmas adalah sebagai berikut:
1. Memberikan pelatihan pada bidan desa untuk melakukan pengambilan
darah vena dan penyimpanan sampel
2. Melakukan kegiatan pengambilan sampel yang teratur setiap kali adanya
posyandu di setiap desa
3. Memberikan fasilitas berupa alat pengambilan dan penyimpanan sampel
di bidan koordinator yang berpraktek di desa sebagai jejaring puskesmas
4. Memberikan tambahan uang transport bagi bidan desa dalam pelaksanaan
program
5. Memberikan sosialaisai kepada masyarakat bahwa sampel dapat diambil
pada saat posyandu.
54
DAFTAR PUSTAKA
World Health Organization (WHO). 2018. HIV/AIDS: Data and statistics [internet]
[diunduh pada 1 agustus 2019]. Tersedia dari:
https://www.who.int/hiv/data/en/
Merati TP, Djauzi S. 2014. Respon imun infeksi HIV. Dalam: Sudoyo AW,
Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata MK, Setiati S. Buku ajar ilmu penyakit
dalam. Edisi ke-6. Jakarta: InternaPublishing.
Fauci AS, Lane HC. 2005. Human Immunodeficiency Virus Disease: AIDS and
related disorders. Dalam: Kasper DL, Fauci AS, Longo DL, Braunwald E,
Hause SL, Jameson JL. Harrison’s Principles of Internal Medicine. Edisi ke-
17. The United States of America: McGraw-Hill.
Departemen Kesehatan RI. 2007. Panduan tatalaksana klinis infeksi HIV pada
orang dewasa dan remaja: Pedoman nasional terapi antiretroviral. Edisi ke-2.
Jakarta: Departemen Kesehatan RI.
Prawirohardjo S. 2009. Ilmu Kandungan. Jakarta : Yayasan Bina Pustaka Sarwono
Prawirohardjo.
Cunningham FG, Leveno, Bloom, Hauth, Rouse, Spong. 2009. Obstetri Williams
Volume I. Edisi ke-23. Jakarta : EGC.
Setiawan IM. 2009. Tatalaksana pencegahan penularan vertikal dari ibu terinfeksi
hiv ke bayi yang dilahirkan [internet] [diunduh pada 1 agustus 2019].
Tersedia dari:
http://indonesia.digitaljournals.org/index.php/idnmed/article/viewFile/690/6
90
Green CW. 2009. HIV: Kehamilan dan kesehatan perempuan. Jakarta: Yayasan
Spiritia.
PRI Tanjung Sari. 2017. Gambaran Umum Puskesmas [internet] [diunduh pada 1
agustus 2019]. Tersedia dari : http://pritanjungsarinatar.com/wp/?page_id=43
56