Anda di halaman 1dari 31

TUGAS KELOMPOK

MAHAR “UANG PANAI” BUGIS

Dibuat Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Ilmu Sosial dan Politik
Dosen : Dr. La Dupai, M. Kes

Oleh :

ARDITYA NOOR (G2U1 19 002)


HERLINA (G2U1 19 009)
ANDI IRDAM HIDAYAT (G2U1 19 013)
NIRMAWAN IDRUS (G2U1 19 028)
ASNIDAWATI (G2U1 19 023)
HASNIATI ANGGRAENI (G2U1 19 011)
RAMSI (G2U1 19 019)
SUNARSIH (G2U1 19 029)
DAHNIAR IDRUS (G2U1 19 037)
ZAENAB M. SYAHID (G2U1 19 010)
KELAS B
FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT
PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS HALU OLEO
KENDARI
2019
BAB 1
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Indonesia merupakan negara yang kaya akan keanekaragaman suku, adat,
budaya dan agama. Keberagaman suku bangsa tersebut berpengaruh terhadap
sistem perkawinan dalam masyarakat. Pelaksanaan perkawinan di Indonesia diatur
dalam Undang-Undang RI No. 1 tahun 1974 tentang perkawinan. Undang-undang
tidak mampu mencakup seluruh proses perkawinan yang berbeda-beda dan
beragam dari setiap masing-masing daerah. Aturan teknis perkawinan diserahkan
kepada masyarakat untuk melaksankannya sesuai dengan hukum adat yang
berlaku di daerah tersebut.
Dalam UU Perkawinan 1974, batas minimal usia nikah bagi perempuan
16 tahun dan bagi laki-laki 19 tahun. Sedangkan menurut Program Pendewasaan
Usia Kawin BKKBN, usia minimal untuk melakukan suatu pernikahan adalah 20
tahun bagi wanita dan 25 tahun bagi pria. Kenyataannya, menikah pada usia
belasan tahun masih terjadi pada zaman modern saat ini. Di Indonesia, prevalensi
perkawinan usia anak telah mengalami penurunan lebih dari dua kali lipat dalam
tiga dekade terakhir, tetapi masih merupakan salah satu yang tertinggi di kawasan
Asia Timur dan Pasifik (UNCF, 2014 dalam BPS, 2016).
Menurut United Nations Development Economic and Social Affairs
(UNDESA, 2010), Indonesia termasuk Negara ke 37 dengan persentase
pernikahan usia muda yang tinggi dan merupakan tertinggi kedua di ASEAN
setelah Kamboja. Pada tahun 2010 terdapat 158 negara dengan usia legal minimal
perempuan menikah adalah 18 tahun keatas, namun di Indonesia batas usia
minimal untuk perempuan adalah 16 tahun.
Hasil penelitian UNICEF di Indonesia (2002), menemukan angka kejadian
pernikahan anak berusia 15 tahun berkisar 11%, sedangkan yang menikah di saat
usia tepat 18 tahun sekitar 35%.8 Praktek pernikahan usia dini paling banyak
terjadi di Afrika dan Asia Tenggara. Di Asia Tenggara didapatkan data bahwa
sekitar 10 juta anak usia di bawah 18 tahun telah menikah, sedangkan di Afrika
diperkirakan 42% dari populasi anak, menikah sebelum mereka berusia 18 tahun.
Di Amerika Latin dan Karibia, 29% wanita muda menikah saat mereka berusia 18
tahun. Prevalensi tinggi kasus pernikahan usia dini tercatat di Nigeria (79%),
Kongo (74%), Afganistan (54%), dan Bangladesh (51%). Secara umum,
pernikahan anak lebih sering terjadi pada anak perempuan dibandingkan anak
laki-laki, sekitar 5% anak laki-laki menikah sebelum mereka berusia 19 tahun.
Selain itu didapatkan pula bahwa perempuan tiga kali lebih banyak menikah dini
dibandingkan laki-laki (UNFPA, 2016).
Pada tahun 2012 di Indonesia, angka perempuan menikah usia 10-14
sebesar 4,2 persen, sementara perempuan menikah usia 15-19 tahun sebesar 41,8
persen (survei BKKBN dalam Profil Kesehatan 2013). Pada tahun 2013 terjadi
peningkatan rasio pernikahan muda pada daerah perkotaan, dibandingkan dengan
daerah pedesaan. Adapun jumlah rasio kenaikan tersebut pada daerah perkotaan
pada tahun 2012 adalah 26 dari 1.000 perkawinan, rasio itu naik pada tahun 2013
menjadi 32 per 1.000 pernikahan. Sedangkan pada daerah pedesaan yang
menurun dari 72 per 1000 pernikahan menjadi 67 per 1000 pernikahan pada
tahun 2013 (Sutriyanto, 2014). Meskipun terjadi peningkatan jumlah rasio
pernikahan di perkotaan, tetapi rasio angka pernikahan dini di daerah pedesaan
masih lebih tinggi daripada perkotaan.
Permasalahan kesehatan reproduksi dimulai dengan adanya pernikahan
dini yang hasilnya yaitu pada perempuan usia 10-54 tahun terdapat 2,6 persen
menikah pada usia kurang dari 15 tahun kemudian 23,9 persen menikah pada
usia 15-19 tahun (RISKESDAS, 2013). Di Sulawesi Utara, usia menikah kurang
dari 14 tahun adalah 0,5 persen, sedangkan usia menikah antara 15 tahun sampai
19 tahun adalah 33,5 persen (Survei BKKBN dalam Profil Kesehatan, 2013).
Banyaknya kejadian pernikahan pada usia muda yaitu usia di bawah 19 tahun
yang merupakan salah satu permasalahan yang berkaitan dengan sistem
reproduksi pada remaja yang sangat memerlukan perhatian khusus.
Suatu studi literasi UNICEF menemukan bahwa interaksi berbagai faktor
menyebabkan anak berisiko menghadapi pernikahan di usia dini. Diketahui secara
luas bahwa pernikahan anak berkaitan dengan tradisi dan budaya, sehingga sulit
untuk mengubah (Eddy Fadlyana dan Shinta Larasaty, 2009).
Menurut Tang (2009), Pernikahan pada masyarakat Bugis sangat
menarik, khas dan kompleks, mempunyai rangkaian prosesi yang cukup panjang
serta syarat-syarat tertentu. Bagi masyarakat Bugis hubungan intim antara laki-
laki dan perempuan tanpa didahului oleh penyelenggaraan pesta pernikahan
adalah merupakan perbuatan yang sangat memalukan (mappakasiri’). Perbuatan
memalukan dalam konteks ini bagi orang Bugis bukan hanya dirasakan sebagai
beban moral keluarga inti yang bersangkutan, tetapi juga merupakan aib (siri’)
yang ditanggung oleh seluruh anggota kerabat dekat yang termasuk dalam
kelompok siassirikeng siapppessei (satu kelompok harga diri dan solidaritas
bersama).
Dalam budaya pernikahan masyarakat Bugis, dikenal adanya uang
panai’. Sejarah awal mulanya uang panai’ ini yaitu pada masa Kerajaan Bone dan
Gowa-Tallo, dimana jika seorang lelaki yang ingin meminang keluarga dari
kerajaan atau keturunan raja, maka dia harus membawa sesajian yang menunjukan
kemampuan mereka untuk memberikan kemakmuran dan kesejahteraan bagi istri
dan anaknya kelak. Isi sesajian itu berupa sompa/ sunrang doe’ menre’/ doe’
panai’ dan leko’ tau alu’/ kalu’ atau erang-erang/ tiwi’tiwi’, menjadi syarat yang
wajib dan mutlak untuk dipenuhi oleh pihak laki-laki. Doe’ menre’/ doe’panai’
inilah yang kita kenal dengan uang panai’. Pada saat ini dari Uang panai’
digunakan untuk keperluan mengadakan pesta pernikahan dan belanja pernikahan
lainnya
Jumlah uang panai' bergantung pada tingkat strata sosial dan pendidikan
calon mempelai wanita serta dilihat dari sisi peran keluarga calon mempelai
wanita. Wade, C. dan Travis, C. (2007) menjelaskan bahwa peran merupakan
kedudukan sosial yang diatur oleh seperangkat norma yang kemudian menunjukan
perilaku yang pantas. Hal ini menunjukan bahwa secara sadar atau tidak sadar,
mau tidak mau, masyarakat yang berada dimanapun memang dibagi berdasarkan
beberapa tingkatan sosial. Dengan peran yang dimiliki keluarga calon mempelai
wanita yang semakin tinggi, maka nilai uang panai' yang juga semakin tinggi
adalah perilaku yang dianggap pantas untuk kedudukan tersebut. Strata sosial ini
akan mempengaruhi sudut pandang dan cara hidup masyarakat.
Makna uang panai’ sebenarnya merupakan bentuk penghormatan kepada
wanita. Tetapi jika melihat realitas yang ada, arti uang panai’ ini sudah bergeser
dari maksud sebenarnya. Uang panai’ sudah menjadi ajang gengsi untuk
memperlihatkan kemampuan ekonomi secara berlebihan. Tidak jarang untuk
memenuhi permintaan uang panai’ calon mempelai pria harus rela berutang,
karena apabila prasyarat tersebut tidak terpenuhi akan dianggap sebagai malu atau
“siri’ ”. Terkadang, permintaan uang panai’ dianggap sebagai senjata penolakan
pihak perempuan bagi pihak laki-laki yang datang meminang, jika pihak laki-laki
tersebut tidak direstui oleh orang tua pihak perempuan. Tingginya uang panai’
membuat pihak laki-laki tidak sanggup memenuhinya.
Perubahan yang terjadi dalam masyarakat Bugis merupakan salah satu
dampak dari berubahnya struktur sosial dan pola budaya dalam suatu masyarakat,
sebagai gejala umum yang terjadi sepanjang masa dalam setiap masyarakat.
Perubahan itu terjadi sesuai dengan hakikat dan sifat dasar manusia yang selalu
ingin mengadakan perubahan.

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian dari latar belakang permasalahan tersebut dan untuk
membatasi pembahasan maka rumusan masalahan penelitiannya adalah,
bagaimana konsekuensi uang panai’ terhadap usia pernikahan pada masyarakat
Bugis?
C. Tujuan
1. Tujuan Umum
Untuk mengetahui dan memahami budaya pernikahan Suku Bugis dan
konsekuensinya dengan usia menikah.
2. Tujuan Khusus
a. Untuk menggali budaya uang panai’ dalam pernikahan Suku Bugis
b. Untuk menggali dampak uang panai terhadap usia pernikahan pada Suku
Bugis
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Hukum Perkawinan di Indonesia


1. Pengertian Perkawinan
Menurut Undang-undang RI No. 1 tahun 1974 tentang perkawinan,
perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang wanita
sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang
bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Sedangkan menurut
Kompilasi Hukum Islam No. 2, perkawinan adalah pernikahan, yaitu akad yang
sangat kuat atau untuk mentaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan
ibadah.
2. Syarat Perkawinan
Berdasarkan Undang-Undang Perkawinan, ada dua macam syarat-syarat
perkawinan yaitu syarat materiil dan syarat formal. Syarat materiil adalah syarat
yang melekat pada diri masing-masing pihak disebut juga syarat subjektif,
sedangkan syarat formal adalah mengenai tata cara atau prosedur melangsungkan
perkawinan menurut hukum agama dan undang-undang, yang disebut juga syarat
objektif (Abdulkadir, 2000).
1. Syarat materiil diatur dalam pasal 6 sampai dengan pasal 12, adalah sebagai
berikut:
a. Perkawinan harus didasarkan atas persetujuan kedua calon mempelai
(Pasal 6 ayat 1)
b. Pria sudah mencapai umur 19 (sembilan belas) tahun dan pihak wanita
sudah mencapai umur 16 (enam belas) tahun (Pasal 7 ayat 1)
c. Harus mendapat izin masing-masing dari kedua orang tua, kecuali dalam
hal-hal tertentu dan calon pengantin telah berusia 21 tahun atau lebih, atau
mendapat dispensasi dari Pengadilan Agama apabila umur para calon
kurang dari 19 dan 16 tahun (Pasal 6 ayat 2 dan Pasal 7 ayat 2)
d. Tidak melanggar larangan perkawinan sebagaimana yang diatur dalam
pasal 8 yaitu perkawinan antara dua orang yang :
1) Berhubungan darah dalam garis keturunan lurus ke bawah ataupun ke
atas.
2) Berhubungan darah dalam garis keturunan menyamping yaitu antara
saudara, antara seorang dengan saudara orang tua dan antara seorang
dengan saudara neneknya
3) Berhubungan semenda, yaitu mertua, anak tiri, menantu dan ibu/
bapak tiri.
4) Berhubungan susuan, yaitu orang tua susuan, anak susuan, saudara
susuan dan bibi/ paman susuan
5) Berhubungan saudara dengan isteri atau sebagai bibi atau kemenakan
dari isteri, dalam hal seorang suami beristeri lebih dari seorang
6) Mempunyai hubungan yang oleh agamanya atau peraturan lain yang
berlaku, dilarang kawin.
e. Seseorang yang masih terikat tali perkawinan dengan orang lain tidak
dapat kawin lagi, kecuali dalam hal yang tersebut dalam pasal 3 ayat (2)
dan pasal 4 undang-undang ini (Pasal 9)
f. Suami isteri yang telah cerai kawin lagi satu dengan yang lain dan bercerai
lagi untuk kedua kalinya, maka di antara mereka tidak boleh
dilangsungkan perkawinan lagi, sepanjang hukum masing-masing agama
dan kepercayaannya itu dari yang bersangkutan tidak menentukan lain
(Pasal 10)
g. Seorang wanita yang perkawinannya terputus untuk kawin lagi telah
lampau tenggang waktu tunggu. (Pasal 11)
2. Syarat formal dijelaskan dalam Peraturan Pemerintah Republik Indonesia
Nomor 9 tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Perkawinan Pasal
3 ayat (1) yang berbunyi: Setiap orang yang akan melangsungkan perkawinan
memberitahukan kehendaknya itu kepada Pegawai Pencatat di tempat
perkawinan akan dilangsungkan.
3. Syarat Sah Perkawinan
Sah artinya sesuatu yang memenuhi segala rukun dan syaratnya, di
samping tidak adanya halangan. Bila sebaliknya, maka dihukumi sebagai fasad
atau batal. Suatu perbuatan hukum yang sah memilki implikasi hukum berupa hak
dan kewajiban. Demikian pula halnya dengan perbuatan hukum perkawinan. Dari
perkawinan yang sah timbul hak untuk bergaul sebagai suami istri, hak saling
mewarisi, kewajiban menafkahi anak dan istri, dan lain-lain.
Syarat sahnya perkawinan menurut undang-undang perkawinan terdapat
dalam pasal 2 ayat (1) dan (2) yaitu :
1. Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing
agama dan kepercayaannya itu.
2. Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang
berlaku.
Berdasarkan ketentuan pasal 10 ayat (3) Peraturan Pemerintah Nomor 9
Tahun 1975 disebutkan bahwa “dengan mengindahkan tata cara perkawinan
menurut masing-masing hukum agamanya dan kepercayaannya itu, perkawinan
dilaksanakan di hadapan Pegawai Pencatat dan dihadiri oleh dua orang saksi”
Maka perkawinan dianggap sah apabila dilaksanakan menurut hukum agama dan
kepercayaannya masing-masing. Maksud dari ketentuan agama dan kepercayaan
masing-masing itu termasuk ketentuan perundang-undangan yang berlaku dalam
agamanya dan kepercayaannya sepanjang tidak bertentangan atau tidak ditentukan
lain dalam undang-undang ini. Suatu perkawinan yang dilaksanakan bertentangan
dengan ketentuan agama dengan sendirinya menurut undang-undang perkawinan
dianggap tidak sah dan tidak mempunyai akibat hukum sebagai ikatan perkawinan
(Hadikusuma, 1990).

B. Pernikahan Usia Muda


Pernikahan dini (early mariage) atau pernikahan usia muda merupakan
suatu pernikahan formal atau tidak formal yang dilakukan di bawah usia 18 tahun
(UNICEF, 2014). Suatu ikatan yang dilakukan oleh seseorang yang masih dalam
usia muda atau pubertas disebut pula pernikahan dini (Sarwono, 2007). Sedangkan
(Al-Gifari, 2002) berpendapat bahwa pernikahan muda adalah pernikahan yang
dilaksanakan di usia remaja. Dalam hal ini, yang dimaksud dengan remaja adalah
antara usia 10 – 19 tahun dan belum kawin.
Undang-undang RI No 35 tahun 2014 menyebutkan bahwa anak adalah
seseorang yang belum berusia 18 tahun, termasuk anak yang masih dalam
kandungan. Pernikahan anak didefinisikan sebagai pernikahan yang terjadi
sebelum anak mencapai usia 18 tahun, sebelum anak matang secara fisik,
fisiologis, dan psikologis untuk bertanggung jawab terhadap pernikahan dan anak
yang dihasilkan dari pernikahan tersebut (Pasal 54, 2014).
Syarat-syarat perkawinan menurut UU RI No 1 tahun 1974 pasal 7
menerangkan bahwa perkawinan hanya diizinkan bila pria mencapai umur 19
tahun dan pihak perempuan sudah mencapai usia 16 tahun, dengan ketentuan di
pasal 6 ayat 2 untuk melangsungkan perkawinan seorang yang belum mencapai
umur 21 tahun harus mendapat izin kedua orang tua. Sedangkan menurut Program
Pendewasaan Usia Kawin BKKBN, usia minimal untuk melakukan suatu
pernikahan adalah 20 tahun bagi wanita dan 25 tahun bagi pria.
Beberapa permasalahan dalam pernikahan anak meliputi faktor yang
mendorong maraknya penikahan anak, pengaruhnya terhadap pernikahan,
terjadinya kekerasan dalam rumah tangga, dampak terhadap kesehatan reproduksi,
anak yang dilahirkan dan kesehatan psikologis anak.
1. Faktor yang mendorong maraknya pernikahan anak
Di berbagai penjuru dunia, pernikahan anak merupakan masalah sosial
dan ekonomi, yang diperumit dengan tra disi dan budaya dalam kelompok
masyarakat. Stigma sosial mengenai pernikahan setelah melewati masa pubertas
yang dianggap aib pada kalangan tertentu, meningkatkan pula angka kejadian
pernikahan anak
Motif ekonomi, harapan tercapainya keamanansosial dan finansial setelah
menikah menyebabkan banyak orangtua menyetujui pernikahan usia dini. Alasan
orangtua menyetujui pernikahan anak ini seringkali dilandasi pula oleh ketakutan
akan terjadinya kehamilan di luar nikah akibat pergaulan bebas atau untuk
mempererat tali kekeluargaan.
Secara umum, pernikahan anak lebih sering dijumpai di kalangan
keluarga miskin, meskipun terjadi pula di kalangan keluarga ekonomi atas. Di
banyak negara, pernikahan anak seringkali terkait dengan kemiskinan. Negara
dengan kasus pernikahan anak, pada umumnya mempunyai produk domestik
bruto yang rendah. Pernikahan anak membuat keluarga, masyarakat, bahkan
negara mengalami kesulitan untuk melepaskan diri dari jerat kemiskinan dan hal
ini tentunya menyebabkan kualitas kesehatan dan kesejahteraan yang rendah baik
anak maupun keluarga dan lingkungannya.
2. Pernikahan anak dan derajat pendidikan,
Semakin muda usia menikah, maka semakin rendah tingkat pendidikan
yang dicapai oleh sang anak. Pernikahan anak seringkali menyebabkan anak tidak
lagi bersekolah, karena kini ia mempunyai tanggungjawab baru, yaitu sebagai istri
dan calon ibu, atau kepala keluarga dan calon ayah, yang diharapkan berperan
lebih banyak mengurus rumah tangga maupun menjadi tulang punggung keluarga
dan keharusan mencari nafkah. Pola lainnya yaitu karena biaya pendidikan yang
tak terjangkau, anak berhenti sekolah dan kemudian dinikahkan untuk
mengalihkan beban tanggungjawab orangtua menghidupi anak tersebut kepada
pasangannya.
Dari berbagai penelitian didapatkan bahwa terdapat korelasi antara
tingkat pendidikan dan usia saat menikah, semakin tinggi usia anak saat menikah
maka pendidikan anak relatif lebih tinggi dan demikian pula sebaliknya.
Pernikahan di usia dini menurut penelitian UNICEF tahun 2006 tampaknya
berhubungan pula dengan derajat pendidikan yang rendah. Menunda usia
pernikahan merupakan salah satu cara agar anak dapat mengenyam pendidikan
lebih tinggi.
3. Masalah domestik dalam pernikahan usia dini
Ketidaksetaraan gender merupakan konsekuensi dalam pernikahan anak.
Mempelai anak memiliki kapasitas yang terbatas untuk menyuarakan pendapat,
menegosiasikan keinginan berhubungan seksual, memakai alat kontrasepsi, dan
mengandung anak. Demikian pula dengan aspek domestic lainnya. Dominasi
pasangan seringkali menyebabkan anak rentan terhadap kekerasan dalam rumah
tangga. Perempuan yang menikah di usia yang lebih muda seringkali mengalami
kekerasan. Anak yang menghadapi kekerasan dalam rumah tangga cenderung
tidak melakukan perlawanan, sebagai akibatnya merekapun tidak mendapat
pemenuhan rasa aman baik di bidang social maupun finansial. Selain itu,
pernikahan dengan pasangan terpaut jauh usianya meningkatkan risiko keluarga
menjadi tidak lengkap akibat perceraian, atau menjanda karena pasangan
meninggal dunia.
4. Kesehatan reproduksi dan pernikahan usia muda
Penting untuk diketahui bahwa kehamilan pada usia kurang dari 17 tahun
meningkatkan risiko komplikasi medis, baik pada ibu maupun pada anak.
Kehamilan di usia yang sangat muda ini ternyata berkorelasi dengan angka
kematian dan kesakitan ibu. Disebutkan bahwa anak perempuan berusia 10-14
tahun berisiko lima kali lipat meninggal saat hamil maupun bersalin dibandingkan
kelompok usia 20-24 tahun, sementara risiko ini meningkat dua kali lipat pada
kelompok usia 15-19 tahun. Angka kematian ibu usia di bawah 16 tahun di
Kamerun, Etiopia, dan Nigeria, bahkan lebih tinggi hingga enam kali lipat.
Anatomi tubuh anak belum siap untuk proses mengandung maupun melahirkan,
sehingga dapat terjadi komplikasi berupa obstructed labour serta obstetric fistula .
Data dari UNPFA tahun 2003, memperlihatkan 15%-30% di antara persalinan di
usia dini disertai dengan komplikasi kronik, yaitu obstetric fistula. Fistula
merupakan kerusakan pada organ kewanitaan yang menyebabkan kebocoran urin
atau feses ke dalam vagina. Wanita berusia kurang dari 20 tahun sangat rentan
mengalami obstetric fistula. Obstetric fistula ini dapat terjadi pula akibat
hubungan seksual di usia dini. Pernikahan anak berhubungan erat dengan
fertilitas yang tinggi, kehamilan dengan jarak yang singkat, juga terjadinya
kehamilan yang tidak diinginkan (UNICEF, 2011).
Mudanya usia saat melakukan hubungan seksual pertamakali juga
meningkatkan risiko penyakit menular seksual dan penularan infeksi HIV.
Banyak remaja yang menikah dini berhenti sekolah saat mereka terikat dalam
lembaga pernikahan, mereka seringkali tidak memahami dasar kesehatan
reproduksi, termasuk di dalamnya risiko terkena infeksi HIV. Infeksi HIV terbesar
didapatkan sebagai penularan langsung dari partner seks yang telah terinfeksi
sebelumnya. Lebih jauh lagi, perbedaan usia yang terlampau jauh menyebabkan
anak hampir tidak mungkin meminta hubungan seks yang aman akibat dominasi
pasangan. Pernikahan usia muda juga merupakan faktor risiko untuk terjadinya
carsinoma cervix. Keterbatasan gerak sebagai istri dan kurangnya dukungan
untuk mendapatkan pelayanan kesehatan karena terbentur kondisi ijin suami,
keterbatasan ekonomi, maka penghalang ini tentunya berkontribusi terhadap
meningkatnya angka morbiditas dan mortalitas pada remaja yang hamil.
5. Anak yang dilahirkan dari pernikahan usia muda
Saat anak yang masih bertumbuh mengalami proses kehamilan, terjadi
persaingan nutrisi dengan janin yang dikandungnya, sehingga berat badan ibu
hamil seringkali sulit naik, dapat disertai dengan anemia karena defisiensi nutrisi,
serta berisiko melahirkan bayi dengan berat lahir rendah. Didapatkan bahwa
sekitar 14% bayi yang lahir dari ibu berusia remaja di bawah 17 tahun adalah
prematur. Anatomi panggul yang masih dalam pertumbuhan berisiko untuk
terjadinya persalinan lama sehingga meningkatkan angka kematian bayi dan
kematian neonatus. Depresi pada saat berlangsungnya kehamilan berisiko
terhadap kejadian keguguran, berat badan lahir rendah dan lainnya. Depresi juga
berhubungan dengan peningkatan tekanan darah, sehingga meningkatkan risiko
terjadinya eklampsi yang membahayakan janin maupun ibu yang mengandungnya.
Asuhan antenatal yang baik sebenarnya dapat mengurangi terjadinya
komplikasi kehamilan dan persalinan. Namun sayangnya karena keterbatasan
finansial, keterbatasan mobilitas dan berpendapat, maka para istri berusia muda
ini seringkali tidak mendapatkan layanan kesehatan yang dibutuhkannya, sehingga
meningkatkan risiko komplikasi maternal dan mortalitas.
Menjadi orangtua di usia dini disertai keterampilan yang kurang untuk
mengasuh anak sebagaimana yang dimiliki orang dewasa dapat menempatkan
anak yang dilahirkan berisiko mengalami perlakuan salah dan atau penelantaran.
Berbagai penelitian menunjukkan bahwa anak yang dilahirkan dari pernikahan
usia dini berisiko mengalami keterlambatan perkembangan, kesulitan belajar,
gangguan perilaku, dan cenderung menjadi orangtua pula di usia dini.
6. Komplikasi psikososial akibat pernikahan dan kehamilan di usia dini
Komplikasi psikososial akibat pernikahan dan kehamilan di usia dini
didukung oleh suatu penelitian yang menunjukkan bahwa keluaran negatif sosial
jangka panjang yang tak terhindarkan, ibu yang mengandung di usia dini akan
mengalami trauma berkepanjangan, selain juga mengalami krisis percaya diri.
Anak juga secara psikologis belum siap untuk bertanggungjawab dan berperan
sebagai istri, partner seks, ibu, sehingga jelas bahwa pernikahan anak
menyebabkan imbas negatif terhadap kesejahteraan psikologis serta
perkembangan kepribadian mereka.
7. Permasalahan Kesehatan pada Perempuan yang menikah di usia
lanjut
Tidak semua orang bisa menikah sesuai dengan batasan umur yang
dianjurkan, baik oleh aturan perundang-undangan, agama atau adat istiadat yang
ada di lingkungannya. Pernikahan bisa terjadi di usia dini dan bisa pula terjadi di
usia lanjut. Bagi pria tidak terlalu bermasalah dalam menjalani usia pernikahannya
yang bisa dikatakan sudah berumur, namun lain halnya dengan wanita. Usia
pernikahan seorang wanita sering dikaitkan dengan usia saat hamil pertama kali,
dalam kehamilan ada batasan umur yang termasuk golongan berisiko tinggi, yaitu
35 tahun.
Saat ini usia merupakan salah satu fenomena yang menarik, dimana
banyak terjadi kehamilan pada wanita diatas umur 35 tahun karena menikah di
usia lanjut. Dari segi medis hal ini tergolong wajar, karena selama seorang wanita
belum mencapai masa menopouse, maka kehamilan mungkin saja masih terjadi.
Faktor kesuburan saat hamil saat di atas usia 35 tahun sangat
mempengaruhi kondisi fisik dan kondisi rahim serta kualitas dari sel telur yang
dimiliki oleh wanita pada usia diatas 35 tahun, jelas berbeda dibandingkan dengan
kualitas fisik dan juga sel telur yang dimiliki oleh wanita pada usia 25 tahun.
Biasanya ada banyak hal yang dapat mempengaruhi, mengapa seorang wanita
masih hamil pada usia 35 tahun. Hamil diatas usia 35 tahun pada dasarnya
memiliki beberapa resiko, diantaranya meningkatnya kemungkinan keguguran,
bayi lahir pada kondisi prematur,berat badan bayi kurang, bayi mengalami cacat
dan kelainan kromosom, gangguan kesehatan pada ibu dan diabetes gestasional.
(Anonim, 2015)
C. Perkawinan Adat Suku Bugis
1. Hukum Perkawinan Adat Suku Bugis
Aturan-aturan hukum adat perkawinan setiap daerah di Indonesia
berbeda-beda dikarenakan sifat kemasyarakatan, adat istiadat, agama dan
kepercayaan masyarakat Indonesia yang berbeda-beda. Seiring adanya kemajuan
dan perkembangan jaman yang berdampak pada pergeseran nilai, sering terjadi
perkawinan campuran antar suku bangsa, antar adat, antar orang-orang yang
berbeda agama, bahkan perkawinan antar bangsa.
Sementara hukum perkawinan adat Suku Bugis dituangkan dalam bentuk
perkawinan JUJUR, yaitu bentuk perkawinan yang dilakukan dengan pembayaran
jujur, dimana pembayaran tersebut diberikan oleh pihak laki-laki kepada pihak
perempuan. Dengan diterimanya uang atau barang jujur oleh pihak perempuan,
berarti pihak perempuan akan mengalihkan kedudukannya ke dalam kekerabatan
suami selama ia mengikatkan dirinya dalam perkawinan itu. (Elvira R, 2014).
2. Proses Perkawinan Suku Bugis
Perkawinan Suku Bugis dipandang sebagai suatu hal yang sakral, relijius
dan sangat dihargai. Oleh sebab itu lembaga adat yang telah lama ada,
mengetahuinya dengan cermat. Sesuai dengan kenyataan dalam masyarakat Suku
Bugis yang menganut agama Islam, sehingga pernikahan bukan saja berarti ikatan
lahir batin antar seorang pria sebagai seorang suami dengan seorang wanita
sebagai calon istri, tetapi juga lebih dari itu.
Tata cara pernikahan Suku Bugis diatur sesuai dengan adat dan agama
sehingga merupakan rangkaian acara yang menarik. Penuh tatakrama dan sopan
santun serta saling menghargai. Pengaturan atau tata cara diatur mulai dari
pakaian atau busana yang digunakan sampai kepada tahapan-tahapan pelaksanaan
adat perkawinan. Adapun tahapan perkawinannya adalah:
1. Tahap peminangan
a. Mappese’-pese/mappuce-puce
Prosesi sebuah acara perkawinan mulai dari fase pendahuluan yang
dikenal dengan mappuce-puce. Pada fase ini dilakukan apabila seorang
laki-laki telah menaruh hati pada seorang perempuan, atau keduanya
telah sepakat untuk membangun sebuah rumah tangga. Keluarga laki-laki
akan mengirim utusan untuk mengetahui dari dekat, secara rahasia
tentang kelakuan dan perangai perempuan yang akan dilamar. Selain itu
pula untuk mengetahui tentang keadaan secara keseluruhan. Kegiatan
tersebut biasanya dilakukan oleh perempuan atau ibu dari laki-laki yang
akan menikah atau nenek atau keluarga dekat lainnya yang dipercayai.
Mulai penyelidikan ini akan diperhatikan segala gerak gerik perempuan
yang akan dilamar, baik hubungannya dengan orang tua, tamu maupun
dengan yang lainnya. Hasilnya akan dijadikan dasar untuk menentukan
apakah akan dilakukan pelamaran atau tidak. Bila mana disimpulkan
bahwa perempuan tersebut memiliki tingkah laku yang dianggap baik,
mempunyai keturunan yang jelas, berasal dari keluarga baik-baik maka
akan dilanjutkan. Jika hasil yang diperoleh tidak memenui kriteria yang
baik, maka lamaran akan diurungkan. Mappuce-puce bukanlah satu-
satunya dasar yang dipakai oleh pihak laki-laki untuk memutuskan
keinginannya, tetapi masih ada faktor lain yang ikut menentukan,
diantaranya adanya kesepakatan dari kerabat.
b. Mammanu’manu
Kegiatan ini dimaksudkan untuk mengetahui status perempuan yang akan
dilamar, apakah sudah dilamar atau belum. Kegiatan ini dilakukan oleh
utusan orang tua pihak laki-laki yang dipercayai, bila ternyata belum ada
yang melamar, maka akan dilakukan ma’duta.
c. Ma’duta
Perkawinan dilihat bagaimana cara perkawinan itu dilaksanakan, dapat
dibedakan menjadi: perkawinan pinang, perkawinan lari bersama dan
perkawinan bawa lari. Meminang kadang disebut dengan istilah
melamar, yang dalam bahasa bugis disebut ma’duta yaitu pertemuan
yang pertama kalinya untuk membicarakan kehendak mengadakan
perkawinan. Kegiatan ini adalah melamar atau meminang dari pihak laki-
laki atau pihak yang dipercayai menyampaikan secara resmi maksud
kedatangannya untuk sepakat mengadakan perkawinan di antara kedua
belah pihak. Pembicaraan itu dilakukan secara rahasia. Biasanya
pertemuan pertama ini belum mendapatkan keputusan yang pasti atas
lamaran itu diterima atau ditolak. Keputusan akan diberikan pada
kesempatan berikutnya pada hari yang telah disepakati bersama. Atas
dasar lamaran itu orang tua pihak perempuan akan menghubungkan pihak
kerabat yang dianggap berhak dalam mengambil keputusan. Mereka
adalah paman, nenek atau kakek bahkan kadang-kadang kerabat dari
kedua belah pihak ibu dan bapak dari laki-laki yang akan menikah.
Pemberitahuan orang tua perempuan yang akan dilamar kepada kerabat
mempunyai arti sangat besar dan merupakan penghormatan kepada
mereka. Penolakan atas lamaran biasanya dilakukan secara halus agar
tidak menyinggung perasaan pihak yang melamar, beberapa cara yang
bisa ditempuh untuk menolak suatu lamaran, misalnya selalu menunda
jawaban suatu lamaran tersebut dengan alasan belum menghubungi
keluarganya atau ada alasan lain yang dianggap sopan dan tepat, jika
lamaran diterima, maka dilanjutkan dengan tahap berikutnya.
d. Mappa’nessa
Tahap ini merupakan tahap pengukuhan atas pembicaraan yang telah
dilakukan dan disepakati bersama. Biasanya upacara ini dihadiri segenap
keluarga dari kedua belah pihak. Kedatangan pihak laki-laki ke rumah
pihak perempuan membawa leko caddi. Bersamaan dengan leko caddi
pihak laki-laki ini membawa sesaji dan uang belanja yang telah
disepakati sebelumnya, kue-kue tradisional, kain tiga lembar yang
masing-masing diletakkan di atas bosarak (baik kecil berkaki terbuat dari
kuningan dan diberi tutup kain berwarna merah kuning/hitam/biru tua
yang terbuat dari beludru yang dihias degan payet). Cincin emas sebagai
pengikat (passio). Upacara dilakukan secara formal, salah satu diantara
kerabat dari pihak laki-laki menyampaikan maksud dan tujuan dari
kedatangan dan sekaligus menyerahkan satu persatu sesaji yang
dibawanya. Penyerahan uang belanja dan lainnya itu diterima oleh pihak
perempuan dan selannjutnya uang pada saat itu juga dihitung dengan
disaksikan oleh mereka yang hadir untuk dicocokkan dengan jumlah
yang telah disepakati sebelumnya.
2. Tahap melangsungkan perkawinan
a. Ma’pacci/ tudang penni
Upacara ini secara simbolik menggunakan daun pacci atau daun paccar
ini kalau di tumbuk akan berwarna merah, dipakai sebagai sesaji dalam
pemberian doa-doa dari para sesepuh masyarakat kepada calon
mempelai. Upacara ini diselenggarakan pada malam hari, baik dirumah
mempelai laki-laki maupun dirumah mempelai perempuan. Kedua
mempelai mengenakan pakaian pengantin. Upacara seperti ini didominasi
oleh kaum bangsawan dan dilakukan serentak satu malam bersamaan
dengan acara-acara lainnya. Namun saat ini, upacara mappaci atau
korontigi sudah menjadi umum dan selalu diadakan pada setiap
perkawinan.
Para orangtua yang diserahi tugas untuk memberikan doa dalam acara ini
adalah terdiri dari tokoh masyarakat yang dipandang memiliki kelebihan
baik dalam ilmu maupun derajat sosial. Daun pacar yang dipakai sebagai
sesaji dalam pemberian doa kepada calon mempelai, sebelumnya diantar
ke rumah orang yang dituakan untuk dimintakan doa. Setelah
semuanya sudah siap, maka gendang mulai dibunyikan dan
bersamaan dengan itu pula salah seorang wakil tuan rumah
mempersilahkan seorang demi seorang untuk memberikan doa kepada
calon mempelai. Calon pengantin duduk dengan tenang sambil
meletakkan kedua buah tangannya di atas bantal yang ada
dihadapannya sambil menunggu doa-doa yang diberikan oaleh masing-
masing kerabat. Pada waktu kerabat memberikan doa lilin harus
menyala dan kemenyan harus dibakar. Seraya memberikan doa kepada
calon mempelai. Maksudnya kelak dalam kehidupannya selalu diwarnai
dengan kesucian. Anggota badan yang dioles dengan warna merah
yang berarti suci, melambangkan pikiran hati dan tangan sebagai
lambang perbuatan yang hendaknya selalu didasari dengan kesudian.
b. Mappaenre botting
Upacara ini mengantarkan calon mempelai laki-laki ke rumah calon
mempelai perempuan oleh segenap kerabat untuk melangsungkan akad
nikah. Pada upacara ini pihak mempelai laki-laki membawa leko lompo
yang terdiri atas berbagai macam buah-buahan seperti pisang, kelapa,
buah tala’ (siwalan), nanas, nangka, dan buah- buahan lainnya yang
ditempatkan dalam wala suji (sebuah kotak persegi yang terbuat dari
bambu yang diikat membentuk segi empat). Kue tradisional yang
biasanya 12 macam ditempatkan dalam bossarak (baki kecil berkaki
terbuat dari kuningan atau tembaga dan diberi tutup kain dari bahan
beludru berwarna merah), barang antaran untuk mempelai perempuan
mulai dari ujung kaki sampai pada ujung rambut. Selain itu adapula
kampu yang dibungkus dengan kain putih dan digendong oleh seorang
laki-laki yang berpakaian adat. Isi kampu ini disebut “Loro Sunrang”,
terdiri atas segenggam beras, kunyit, jahe, pala, kenari, kayu manis,
buah pinang, dan sepasang orang-orangan yang terbuat dari daun buah
tala’.
c. Akad Nikah
Pada tahap ini dilakukan ijab kabul yaitu penegasan kehendak
mengikatan diri dalam bentuk perkawinan yang dilakukan oleh calon
mempelai laki-laki ditujukan kepada calon mempelai perempuan. Pada
upacara akad nikah ini disebutkan mahar atau sompa/ sunrang yang
telah disepakati oleh kedua belah pihak sebelumnya, dan akan diberikan
oleh calon mempelai laki-laki kepada calon mempelai perempuan.
d. Tudang
Selepas acara akad nikah diadakan perayaan dalam bentuk resepsi. Pada
upacara resepsi ini mempelai perempuan dan mempelai laki-laki duduk
bersanding dihadiri oleh pihak kerabat kedua belah pihak. Pesta resepsi
ini biasanya diadakan terlebih dahulu di rumah mempelai perempuan
pada siang atau malam hari, setelah itu barulah di rumah mempelai laki-
laki.
e. Mapparola
Upacara ini adalah kebalikan dari acara mappenre’ botting/
simorong. Kalau pada upacara ini mengantar calon mempelai laki-
laki ketempat calon mempelai perempuan untuk melakukan akad
nikah, maka pada mapparola/ nilekka adalah sebaliknya. Pada hari
yang telah disepakati ( biasanya sehari setelah acara resepsi)
datanglah utusan dari pihak laki-laki untuk menjemput mempelai
perempuan ketempat mempelai laki-laki. Setibanya di tempat
mempelai laki-laki, sebelum memasuki halaman/ rumah, mempelai
perempuan akan menerima sesuatu dari mertua. Prosesi dalam
perkawinan tersebut di atas hingga saat ini masih dilaksankan di
kalangan masyarakat Bugis, baik yang bertempat tinggal di kota
maupun di desa. Hal yang tidak lazim dalam adat perkawinan
Suku Bugis adalah pada saat akad nikah calon mempelai laki-laki
duduk berdampingan. Calon mempelai perempuan berada dalam
kamar ditemani oleh sanak keluarganya dan indo botting (Elvira R,
2014).

D. Hukum Adat, Unsur Hukum Adat dan Masyarakat Hukum Adat


Hukum adalah seperangkat norma dan aturan adat atau kebiasaan
yang berlaku di suatu wilayah. Istilah “kebiasaan” adalah terjemahan dari
bahasa Belanda “gewoonte”, sedangkan istilah “adat” berasal dari istilah
Arab yaitu ”adah” yang berarti juga kebiasaan. Jadi istilah kebiasaan dan
istilah adat mempunyai arti yang sama yaitu kebiasaan. Menurut ilmu
hukum, kebiasaan dan adat itu dapat dibedakan pengertiannya. Perbedaan itu
dapat dilihat dari segi pemakaiannya sebagai perilaku atau tingkah laku
manusia atau dilihat dari segi sejarah pemakaian istilahnya dalam hukum
di Indonesia. Sejarah perundang-undangan di Indonesia membedakan
pemakaian istilah kebiasaan dan adat, yaitu adat kebiasaan di luar
perundangan dan adat kebiasaan yang diakui oleh perundangan. Sehingga
menyebabkan munculnya istilah hukum kebiasaan / adat yang merupakan
hukum tidak tertulis dan hukum yang tertulis. Istilah hukum adat sendiri
berasal dari istilah Arab “Huk’m” dan “Adah”. Kata huk’m (jamak: ahakam)
mengandung arti perintah atau suruhan, sedangkan kata adah berarti
kebiasaan. Jadi hukum adat adalah aturan kebiasaan.
Hukum a dat adalah wujud gagasan kebudayaan yang terdiri atas
nilai-nilai budaya, norma, hukum, dan aturan-aturan yang satu dengan lainnya
berkaitan menjadi suatu sistem dan memiliki sanksi riil yang sangat kuat.
Contohnya sejak jaman dulu, Suku Sasak di Pulau Lombok dikenal dengan
konsep Gumi Paer atau Paer. Paer adalah satu kesatuan sistem teritorial
hukum, politik, ekonomi, sosial budaya, kemanan dan kepemilikan yang
melekat kuat dalam masyarakat.
1. Istilah-istilah dalam pemahaman adat didasarkan atas level-level
antara lain:
a. Adat adalah hukum dan aturan yang berlaku di
masyarakat dibuat atas dasar kesepakatan.
b. Adat yang diadatkan yaitu komunitas yang mempunyai
ketentuan- ketentuan hukum telah ditetapkan.
c. Adat yang teradat yaitu jika produk hukum itu sudah menjadi
adat kebiasaan masih tetap diberlakukan di tengah
masyarakatnya.
d. Adat istiadat yaitu kebiasaan-kebiasaan secara turun temurun
yang didasarkan pada kebiasaan-kebiasaan leluhur (lebih
pada ketentuan- ketentuan tata cara ritual) yang kini perlu
mengalami perubahan untuk disesuaikan (transformasi)
pada era masa kini.
2. Dalam perkembangannya, hukum adat mengandung dua arti yaitu :
a. Hukum kebiasaan yang bersifat tradisional disebut juga hukum adat
adalah hukum yang dipertahankan dan berlaku di lingkungan masyarakat
hukum adat tertentu. Contoh: hukum adat Batak, hukum adat Jawa, dll.
b. Hukum kebiasaan adalah hukum yang berlaku dalam kehidupan
masyarakat, dalam hubungan pergaulan antara yang satu dan yang
lain, dalam lembaga-lembaga masyarakat dan dalam lembaga- lembaga
kenegaraan, kesemuanya yang tidak tertulis dalam bentuk
perundangan. Ciri-ciri hukum adat adalah:
1.) Tidak tertulis dalam bentuk perundangan dan tidak dikodifikasi.
2.) Tidak tersusun secara sistematis.
3.) Tidak dihimpun dalam bentuk kitab perundangan.
4.) Tidak tertatur.
5.) Keputusannya tidak memakai konsideran (pertimbangan).
6.) Pasal-pasal aturannya tidak sistematis dan tidak mempunyai penjelasan.
3. Tiga dimensi hukum adat yang mengatur gerak hidup manusia
dimuka bumi ini yaitu:
a. Dimensi Adat Tapsila (Akhlakul Qarimah) yaitu dimensi yang
mengatur norma-norma dan etika hubungannya dengan
lingkungan sosial budaya, pergaulan alam dan keamanan lahir
batin.
b. Dimensi Adat Krama yaitu dimensi yang mengatur hukum dalam
hubungan perluasan keluarga (perkawinan) yang sarat dengan
aturan-aturan hukum adat yang berlaku di masyarakat.
c. Dimensi Adat Pati / Gama yaitu dimensi yang mengatur tata cara
dan pelaksanaan upacara ritual kematian dan keagamaan
sehingga dimensi adat Pati kerap disebut sebagai dimensi adat
Gama (disesuaikan dengan ajaran agama masing-masing) (Elvira
R, 2014).

3.1. Makna siri’ na pacce di Masyarakat Bugis


Dalam budaya Sulawesi Selatan (Bugis, Makassar, Mandar dan Tana
Toraja) ada sebuah istilah atau semacam jargon yang mencerminkan
identititas serta watak orang Sulawesi Selatan, yaitu Siri’ Na Pacce.
Secara lafdzhiyah Siri’ berarti: Rasa Malu (harga diri), sedangkan Pacce atau
dalam bahasa Bugis disebut Pesse yang berarti : Pedih/Pedas (Keras, Kokoh
pendirian). Jadi Pacce berarti semacam kecerdasan emosional untuk turut
merasakan kepedihan atau kesusahan individu lain dalam komunitas
(solidaritas dan empati).
Struktur Siri’ dalam Budaya Bugis mempunyai empat kategori,
yaitu (1) Siri’ Ripakasiri’, (2) Siri’ Mappakasiri’siri’, (3) Teddeng Siri’, dan
(4) Siri’ Mate Siri’.
Kemudian, guna melengkapi keempat struktur Siri’ tersebut maka Pacce
atau Pesse menduduki satu tempat, sehingga membentuk suatu budaya
(karakter) yang dikenal dengan sebutan Siri’ Na Pacce.
3.1.1. Siri’ Ripakasiri’
Siri’ yang berhubungan dengan harga diri pribadi, serta harga diri atau
harkat dan martabat keluarga. Siri’ jenis ini adalah sesuatu yang tabu dan
pantang untuk dilanggar karena taruhannya adalah nyawa. Sebagai contoh
dalam hal ini adalah membawa lari seorang gadis (kawin lari). Maka, pelaku
kawin lari, baik laki-laki maupun perempuan, harus dibunuh, terutama oleh
pihak keluarga perempuan (gadis yang dibawa lari) karena telah membuat
malu keluarga.
3.1.2. Siri’ Mappakasiri’siri’
Siri’ jenis ini berhubungan dengan etos kerja. Dalam falsafah Bugis
disebutkan, “Narekko degaga siri’mu, inrengko siri’.” Artinya, kalau Anda
tidak punya malu maka pinjamlah kepada orang yang masih memiliki rasa
malu (Siri’). Hal yang terkait dengan Siri’ Mappakasiri’siri’ serta
hubungannya dengan etos kerja yang tinggi adalah cerita-cerita tentang
keberhasilan orang-orang Bugis di perantauan.
3.1.3. Siri’ Teddeng Siri’
Artinya rasa malu seseorang itu hilang “terusik” karena sesuatu
hal. Misalnya ketika seseorang memiliki utang dan telah berjanji untuk
membayarnya maka si pihak yang berutang berusaha sekuat tenaga untuk
menepati janjinya atau membayar utangnya sebagaimana waktu yang telah
ditentukan (disepakati). Ketika sampai waktu yang telah ditentukan, jika si
berutang ternyata tidak menepati janjinya, itu artinya dia telah
mempermalukan dirinya sendiri.
3.1.4. Siri’ Mate Siri’
Siri’ yang satu berhubungan dengan iman. Dalam pandangan orang
Bugis, orang yang mate siri’-nya adalah orang yang di dalam dirinya sudah
tidak ada rasa malu (iman) sedikit pun.
3.1.5. Pacce (Bugis: Pesse)
Pacce atau Pesse adalah suatu tata nilai yang lahir dan dianut
oleh masyarakat Bugis. Passe lahir dan dimotivasi oleh nilai budaya Siri’
(malu). Contoh, apabila seorang anak durhaka kepada orang tuanya (membuat
malu keluarga) maka si anak yang telah membuat malu (siri’) tersebut
dibuang dan dicoret dalam daftar keluarga. Namun jika suatu saat, manakala
orangtuanya mendengar, apalagi melihat anaknya menderita dan hidup
terlunta-lunta, si anak pun diambilnya kembali. Malu dan tidak tega melihat
anaknya menderita.
Antara siri’ dan pacce’ saling terjalin dalam hubungan
kehidupannya, saling mengisi, dan tidak dapat dipisahkan yang satu dari
lainnya. Dengan memahami makna dari siri’ dan pacce’, ada hal positif yang
dapat diambil sebagai konsep pembentukan hukum nasional, di mana dalam
falsafah ini betapa dijunjungnya nilai-nilai kemanusiaan berlaku adil pada
diri sendiri dan terhadap sesama bagaimana hidup dengan tetap
memperhatikan kepentingan orang lain.
Membandingkan konsep siri’ dan pacce’ ini dengan pandangan
keadilan Plato (428-348 SM) yang mengamati bahwa justice is but the
interest of the stronger (keadilan hanya merupakan kepentingan yang lebih
kuat). Nilai adalah hal yang sangat dibutuhkan dalam setiap aspek kehidupan
dan dalam konteks hukum, nilai ini merupakan sesuatu yang menjadi
landasan atau acuan dalam penegakan hukum, nilai ini hidup dalam suatu
masyarakat dan menjadi falsafah hidup dalam masyarakat tertentu.
Masyarkat Bugis mempunyai falsafah hidup yang sangat
dijunjungnya yaitu siri’ na pacce’. Siri’ na pacce’ dalam masyarakat Bugis
sangat dijunjung tinggi sebagai falsafah dalam segala aspek kehidupan,
dan hal ini juga berlaku dalam aspek ketaatan masyakarat terhadap
aturan tertentu (hukum), dengan pemahaman terhadap nilai (siri’ na pacce’)
ini sangat mempengaruhi masyakarat dalam kehidupan hukumnya. Siri’ yang
merupakan konsep kesadaran hukum dan falsafah masyarakat Bugis adalah
sesuatu yang dianggap sakral. Begitu sakralnya kata itu, sehingga apabila
seseorang kehilangan Siri’nya atau De’ni gaga Siri’na, maka tak ada lagi
artinya dia menempuh kehidupan sebagai manusia. Budaya Siri’ ini banyak
mempengaruhi sendi-sendi kehidupan sosial di Sulawesi-selatan bahkan
secara hirarki telah membentuk karakter serta mental masyarakat Sulawesi-
selatan itu sendiri, begitu pula pada sistem perkawinan Bugis sangat kental
dengan budaya Siri’ karena perjamuan perkawinan dianggap momen yang
tepat bagi rumpun keluarga untuk memperlihatkan harkat dan martabat
mereka.

3.2. Uang Panai’ Dalam Perkawinan Suku Bugis


Uang panai’ atau uang belanja merupakan sejumlah uang yang wajib
dibayarkan oleh calon mempelai laki-laki dimana jumlah atau nominalnya
sangat bervariasi tergantung pada kasta dan tingkat strata sosial seorang
wanita. Pemberian uang panai’ terlebih dahulu melalui kesepakatan antara
kedua belah pihak, dimana uang panai yang terbilang wajib dibayarkan dapat
dilakukan dua kali yaitu pada saat leko’ lompo dan sisanya dapat dibayarkan
pada saat akad nikah akan dilakukan.
Dalam setiap peristiwa perkawinan yang terjadi di berbagai suku
bangsa, hampir selalu ada pemberian dari pihak laki-laki kepada pihak
perempuan, begitu pula sebaliknya. Oleh karena itu, Koentjaraningrat
menyebutnya sebagai syarat untuk melaksanakan perkawinan. Pemberian itu
dimana-mana mempunyai corak setempat, yang disebutkan perbedaan
susunan jujur, pengaruh bedanya kelas, cara mengumpulkan dan membagi-
bagi jujur itu dan perbedaan dalam banyak keadaan-keadaan lain lagi.
pemberian dari pihak laki-laki kepada pihak perempuan dalam perkawinan
suku Bugis, disamping bentuk dan sifatnya yang berbeda-beda juga
mempunyai istilah yang berlainan. Adapun istilah-istilah tersebut adalah
mahar/ mas kawin (sompa), uang belanja (doi balanca), hadiah atau erang-
erang yang terdiri atas leko’ ca’di dan leko’ lompo, dan lain-lain.
Berbagai pendapat yang diberikan mengenai arti dasar dari mas
kawin atau istilah lain yang memiliki arti yang sama dengan mas kawin. Ada
pendapat yang mengatakan bahwa mas kawin adalah pengganti kerugian.
Mas kawin ialah sejumlah uang atau milik yang dibawa sang gadis pada
waktu menikah. Mahar ini diberikan oleh keluarganya, tetapi kepada siapa
hal diberikan berbeda-beda dari kebudayaan dengan yang lain. Berbeda
dengan pendapat yang diberikan oleh Daeng (2000) mengutip pendapat dari
Wilken bahwa mas kawin adalah keseluruhan prosedur penyerahan barang
yang oleh adat telah ditentukan untuk diserahkan oleh pihak laki-laki
kepada pihak perempuan sesuai dengan lapisan dan kedudukan sosialnya
masing-masing sebelum seorang laki-laki secara resmi mengambil perempuan
sebagai istri. Mas kawin atau bride-price adalah sejumlah harta yang
diberikan oleh pemuda kepada gadis dan kaum kerabat gadis. Arti dasar
dari mas kawin adalah mula-mula mungkin mengganti kerugian.
Dalam suatu kelompok manusia, terutama suatu kelompok yang
kecil, tiap warga di dalamnya merupakan tenaga potensi yang amat penting
bagi kehidupan kelompok itu. Dengan demikian bila seorang gadis dalam
kelompok tersebut kawin, maka kelompok secara keseluruhan akan
menderita kerugian dengan hilangnya salah satu tenaga kerja. Olehnya
mas kawin sebagai penggantinya. Menurut Muchtar, bahwa dizaman Arab
Jahiliyah dikenal perkataan “shadaq dan mahar”. Shadaq ialah pemberian
yang diberikan oleh suami kepada istrinya pada waktu pertama kali ke rumah
istrinya, sedang mahar ialah pemberian yang diberikan oleh calon suami
kepada orang tua calon istrinya. Pengertian shadaq ini hampir sama dengan
pemberian calon suami kepada calon istrinya dalam masa awal pertunangan
yang sekarang sering diwujudkan dalam bentuk cincin. Shadaq atau mahar
mempunyai arti yang sama, ialah pemberian dari calon suami kepada calon
isterinya sebagai tanda bahwa suami dengan pemberian tersebut menyatakan
persetujuannya dan kerelaannya lahir dan batin untuk hidup dalam suatu
keluarga sebagai suami dan istri. Begitu pula istri dengan diterimanya
mas kawin itu, berarti telah menyatakan persetujuan dan kesiapannya untuk
hidup dalam suatu rumah tangga yang baru. Dengan demikian mahar tidak
dapat dikatakan sebagai ganti rugi melainkan sebagai syarat sahnya suatu
perkawinan menurut Hukum Islam. Mahar dalam hukum perkawinan Islam
merupakan satu rukun perkawinan, perkawinan tidak sah bila laki-laki (calon
suami) tidak memberi mahar atau mas kawin.

3.3. Ketentuan dan Tahapan Pemberian Uang Panai dalam Perkawinan


Suku Bugis
Ketentuan nominal atau nilai Uang Panai’ atau Doi’ Balanca pada
perkawinan suku Bugis pada dasarnya tidak mengikuti aturan mahar secara
islam melainkan jumlah Uang Panai’ sangat dipengaruhi oleh strata sosial
dimana strata sosial tersebut meliputi derajat si mempelai wanitanya, misalnya
semakin tinggi tingkat pendidikannya maka semakin tinggi pula permintaan Uang
Panai’ yang akan menjadi prasyarat kepada calon mempelai prianya. Tidak
jarang akan semakin tinggi pula permintaan Uang Panai’ apabila si calon
mempelai wanita merupakan keturunan darah biru atau bangsawan, Sedangkan
tahapan pemberian dimulai diputuskan pada saat Mange Assuro dimana pada
tahapan ini delegasi bertanya atau meminta untuk menentukan waktu, yaitu untuk
appa’nassa (menentukan sesuatu yang berhubungan dengan pelaksanaan
perkawinan nanti). Pada waktu appa’nassa ini, yang menjadi bahan pembicaraan,
ialah segala sesuatu yang ada hubungannya dengan perkawinan antara lain:
1. Sunrang
2. Doe balanja/ongkos perkawinan
3. Penentuan hari perkawianan serta penentuan hari pemberian uang
belanja atau Uang panai’ tersebut.
Sedangkan tahapan pemberiannya yaitu pada saat Appanai’ leko’
caddi (hari dimana keluarga mempelai pria mengantarkan Uang Belanja
atau Uang Panai’ beserta seluruh assesoris perkawinan). Penyerahan Uang
Panai’ pun ada beberapa tahapan, ada yang dibayarkan dengan 1 kali, ada
pula yang dibayarkan dengan 2 kali pembayaran misalnya setengah pada saat
appanai’ Leko’ caddi dan setengahnya lagi dibayarkan pada saat appanai’
leko lompo (hari dimana mempelai pria diantar ke kediaman mempelai wanita
untuk melangsungkan akad nikah).
BAB III

KESIMPULAN

A. Kesimpulan

Budaya Panai’ bagi masyarakat Bugis perantauan


memahaminya sebagai bagian dari prosesi lamaran untuk membiayai pesta
perkawinan Penentuan uang nai’ umumnya ditentukan oleh status sosial
yang disandang oleh keluarga mempelai perempuan. Status sosial
tersebut antara lain: keturunan bangsawan, status pendidikan, status
pekerjaan, dan status ekonomi Semakin baik status sosial yang
dimiliki pihak keluarga mempelai perempuan, semakin tinggi uang
belanja yang harus ditanggung oleh pihak laki-laki Pertimbangan
besarnya uang belanja seba- gai syarat adat menjadi dominasi bagi kaum
muda Sebagian kaum muda menganggap adanya proses
transaksional dalam pro- sesi lamaran. Kepentingan dua muda mudi
yang saling mencintapun harus tunduk pada keputusan-keputusan
yang muncul dari adat istiadat warisan leluhur Keputu- san yang lebih
mengutamakan materialisme berupa gengsi dan prestise keluarga
menimbulkan resistensi muda-mudi terhadap budaya panai’
Materialisme menjadi dasar berkembangnya budaya komersial
Ukuran kemakmuran ditentukan oleh banyaknya kekayaan yang
dimiliki Dalam sistem ini, tidak ada ruang untuk melakukan dan
mengembangkan nilai-nilai sosial dan saling membantu. Kompromi
melalui komunikasi yang baik akan menghasilkan kesepakatan yang
melegakan kedua belah pihak dan ti dak juga akan memberatkan
B. Saran

Komunikasi dan kesepakatan sangat penting dilakukan dalam


interaksi sebelum pernikahan dilak- sanakan Melalui interaksi, akan terbangun
sebuah regulasi yang menata bagaimana seharusnya kehidupan relasi sosial
disepakati oleh orang tua sang penjaga adat dan kaum muda sang pelestari adat.
DAFTAR PUSTAKA

Abdulkadir Muhammad, Hukum Perdata Indonesia. Bandung: PT. Citra Aditya


Bakti, 2000
Al-Gifari, A. (2002). Pernikahan Dini Dilema Generasi Ekstravaganza. Bandung:
Mujahid Pres.
Anonim. (2015). 7 Resiko Hamil diatas usia 35 tahun. Diambil 23 April 2017,
dari http://hamil.co.id/kehamilan/resiko-hamil-diatas-usia-35-tahun
Desiyanti, I.W. (2015). Faktor-Faktor yang Berhubungan terhadap Pernikahan
Dini Pada Pasangan Usia Subur di Kecamatan Mapanget Kota Manado.
JIKMU, 5(3). Diambil 23 April 2017, dari
https://ejoural.unsrat.ac.it/index.php/jiku/article/view/7443
Elvira R. 2014. Ingkar Janji Atas Kesepakatan Uang Belanja (Uang Panai) Dalam
Perkawinan Suku Bugis. Skripsi BAgian Hukum Perdata Universitas
Hasanuddin Makassar.
Hilman Hadikusuma, Hukum Perkawinan Indonesia Menurut Perundangan
Hukum Adat Hukum Agama, Mandar Maju , Bandung, 1990
Kompilasi Hukum Islam
Repository.unhas.ac.id/bitstream/handle/123456789/12824/Skripsi/%20PDF.pdf;s
equence=1, di Unduh Tanggal 24 Maret, 2017 Pukul 06.40 WIB.
Riskesdas. (2013). Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Kementerian
RI tahun 2013. Diambil 23 April 2017, dari
http://www.depkes.go.id/resource/2013.pdf
Sarwono, S. (2007). Psikologis Remaja. Jakarta: PT. Rajagrafindo Persada
Sutriyanto, E. (2014). Pernikahan Dini Kembali Jadi Trend Remaja Perkotaan –
Tribunnews.com.diambil 23 April 2017, dari
http://www.tribunnews.com/kesehatan/2014/01/27/pernikahan-dini-
kembali-jadi-trend-remaja-perkotaan
Undang – Undang RI No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.
UNFPA. (2016). Ending Child Marriage. Diambil 23 April 2017, dari
https://www.unicef.org/evaluation/files/UNFPA_UNICEF_CM_Fact_Sheet
_10_March_2016.pdf
UNICEF. (2011). The Situation of Children and Woman in Indonesia 2000-2010
WORKING TOWARDS PROGRESS WITH EQUITY UNDER
DECENTRALISATION. Diambil 23 April 2017, dari
https://www.unicef.org/sitan/files/Indonesia_SitAn_2010.pdf
Kemenkes RI. (2013). Profil Kesehatan Indonesia Tahun 2013 Kementerian
Kesehatan Republik Indonesia. Jakarta:Kementerian Kesehatan Republik
Indonesia

Anda mungkin juga menyukai