Dibuat Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Ilmu Sosial dan Politik
Dosen : Dr. La Dupai, M. Kes
Oleh :
A. Latar Belakang
Indonesia merupakan negara yang kaya akan keanekaragaman suku, adat,
budaya dan agama. Keberagaman suku bangsa tersebut berpengaruh terhadap
sistem perkawinan dalam masyarakat. Pelaksanaan perkawinan di Indonesia diatur
dalam Undang-Undang RI No. 1 tahun 1974 tentang perkawinan. Undang-undang
tidak mampu mencakup seluruh proses perkawinan yang berbeda-beda dan
beragam dari setiap masing-masing daerah. Aturan teknis perkawinan diserahkan
kepada masyarakat untuk melaksankannya sesuai dengan hukum adat yang
berlaku di daerah tersebut.
Dalam UU Perkawinan 1974, batas minimal usia nikah bagi perempuan
16 tahun dan bagi laki-laki 19 tahun. Sedangkan menurut Program Pendewasaan
Usia Kawin BKKBN, usia minimal untuk melakukan suatu pernikahan adalah 20
tahun bagi wanita dan 25 tahun bagi pria. Kenyataannya, menikah pada usia
belasan tahun masih terjadi pada zaman modern saat ini. Di Indonesia, prevalensi
perkawinan usia anak telah mengalami penurunan lebih dari dua kali lipat dalam
tiga dekade terakhir, tetapi masih merupakan salah satu yang tertinggi di kawasan
Asia Timur dan Pasifik (UNCF, 2014 dalam BPS, 2016).
Menurut United Nations Development Economic and Social Affairs
(UNDESA, 2010), Indonesia termasuk Negara ke 37 dengan persentase
pernikahan usia muda yang tinggi dan merupakan tertinggi kedua di ASEAN
setelah Kamboja. Pada tahun 2010 terdapat 158 negara dengan usia legal minimal
perempuan menikah adalah 18 tahun keatas, namun di Indonesia batas usia
minimal untuk perempuan adalah 16 tahun.
Hasil penelitian UNICEF di Indonesia (2002), menemukan angka kejadian
pernikahan anak berusia 15 tahun berkisar 11%, sedangkan yang menikah di saat
usia tepat 18 tahun sekitar 35%.8 Praktek pernikahan usia dini paling banyak
terjadi di Afrika dan Asia Tenggara. Di Asia Tenggara didapatkan data bahwa
sekitar 10 juta anak usia di bawah 18 tahun telah menikah, sedangkan di Afrika
diperkirakan 42% dari populasi anak, menikah sebelum mereka berusia 18 tahun.
Di Amerika Latin dan Karibia, 29% wanita muda menikah saat mereka berusia 18
tahun. Prevalensi tinggi kasus pernikahan usia dini tercatat di Nigeria (79%),
Kongo (74%), Afganistan (54%), dan Bangladesh (51%). Secara umum,
pernikahan anak lebih sering terjadi pada anak perempuan dibandingkan anak
laki-laki, sekitar 5% anak laki-laki menikah sebelum mereka berusia 19 tahun.
Selain itu didapatkan pula bahwa perempuan tiga kali lebih banyak menikah dini
dibandingkan laki-laki (UNFPA, 2016).
Pada tahun 2012 di Indonesia, angka perempuan menikah usia 10-14
sebesar 4,2 persen, sementara perempuan menikah usia 15-19 tahun sebesar 41,8
persen (survei BKKBN dalam Profil Kesehatan 2013). Pada tahun 2013 terjadi
peningkatan rasio pernikahan muda pada daerah perkotaan, dibandingkan dengan
daerah pedesaan. Adapun jumlah rasio kenaikan tersebut pada daerah perkotaan
pada tahun 2012 adalah 26 dari 1.000 perkawinan, rasio itu naik pada tahun 2013
menjadi 32 per 1.000 pernikahan. Sedangkan pada daerah pedesaan yang
menurun dari 72 per 1000 pernikahan menjadi 67 per 1000 pernikahan pada
tahun 2013 (Sutriyanto, 2014). Meskipun terjadi peningkatan jumlah rasio
pernikahan di perkotaan, tetapi rasio angka pernikahan dini di daerah pedesaan
masih lebih tinggi daripada perkotaan.
Permasalahan kesehatan reproduksi dimulai dengan adanya pernikahan
dini yang hasilnya yaitu pada perempuan usia 10-54 tahun terdapat 2,6 persen
menikah pada usia kurang dari 15 tahun kemudian 23,9 persen menikah pada
usia 15-19 tahun (RISKESDAS, 2013). Di Sulawesi Utara, usia menikah kurang
dari 14 tahun adalah 0,5 persen, sedangkan usia menikah antara 15 tahun sampai
19 tahun adalah 33,5 persen (Survei BKKBN dalam Profil Kesehatan, 2013).
Banyaknya kejadian pernikahan pada usia muda yaitu usia di bawah 19 tahun
yang merupakan salah satu permasalahan yang berkaitan dengan sistem
reproduksi pada remaja yang sangat memerlukan perhatian khusus.
Suatu studi literasi UNICEF menemukan bahwa interaksi berbagai faktor
menyebabkan anak berisiko menghadapi pernikahan di usia dini. Diketahui secara
luas bahwa pernikahan anak berkaitan dengan tradisi dan budaya, sehingga sulit
untuk mengubah (Eddy Fadlyana dan Shinta Larasaty, 2009).
Menurut Tang (2009), Pernikahan pada masyarakat Bugis sangat
menarik, khas dan kompleks, mempunyai rangkaian prosesi yang cukup panjang
serta syarat-syarat tertentu. Bagi masyarakat Bugis hubungan intim antara laki-
laki dan perempuan tanpa didahului oleh penyelenggaraan pesta pernikahan
adalah merupakan perbuatan yang sangat memalukan (mappakasiri’). Perbuatan
memalukan dalam konteks ini bagi orang Bugis bukan hanya dirasakan sebagai
beban moral keluarga inti yang bersangkutan, tetapi juga merupakan aib (siri’)
yang ditanggung oleh seluruh anggota kerabat dekat yang termasuk dalam
kelompok siassirikeng siapppessei (satu kelompok harga diri dan solidaritas
bersama).
Dalam budaya pernikahan masyarakat Bugis, dikenal adanya uang
panai’. Sejarah awal mulanya uang panai’ ini yaitu pada masa Kerajaan Bone dan
Gowa-Tallo, dimana jika seorang lelaki yang ingin meminang keluarga dari
kerajaan atau keturunan raja, maka dia harus membawa sesajian yang menunjukan
kemampuan mereka untuk memberikan kemakmuran dan kesejahteraan bagi istri
dan anaknya kelak. Isi sesajian itu berupa sompa/ sunrang doe’ menre’/ doe’
panai’ dan leko’ tau alu’/ kalu’ atau erang-erang/ tiwi’tiwi’, menjadi syarat yang
wajib dan mutlak untuk dipenuhi oleh pihak laki-laki. Doe’ menre’/ doe’panai’
inilah yang kita kenal dengan uang panai’. Pada saat ini dari Uang panai’
digunakan untuk keperluan mengadakan pesta pernikahan dan belanja pernikahan
lainnya
Jumlah uang panai' bergantung pada tingkat strata sosial dan pendidikan
calon mempelai wanita serta dilihat dari sisi peran keluarga calon mempelai
wanita. Wade, C. dan Travis, C. (2007) menjelaskan bahwa peran merupakan
kedudukan sosial yang diatur oleh seperangkat norma yang kemudian menunjukan
perilaku yang pantas. Hal ini menunjukan bahwa secara sadar atau tidak sadar,
mau tidak mau, masyarakat yang berada dimanapun memang dibagi berdasarkan
beberapa tingkatan sosial. Dengan peran yang dimiliki keluarga calon mempelai
wanita yang semakin tinggi, maka nilai uang panai' yang juga semakin tinggi
adalah perilaku yang dianggap pantas untuk kedudukan tersebut. Strata sosial ini
akan mempengaruhi sudut pandang dan cara hidup masyarakat.
Makna uang panai’ sebenarnya merupakan bentuk penghormatan kepada
wanita. Tetapi jika melihat realitas yang ada, arti uang panai’ ini sudah bergeser
dari maksud sebenarnya. Uang panai’ sudah menjadi ajang gengsi untuk
memperlihatkan kemampuan ekonomi secara berlebihan. Tidak jarang untuk
memenuhi permintaan uang panai’ calon mempelai pria harus rela berutang,
karena apabila prasyarat tersebut tidak terpenuhi akan dianggap sebagai malu atau
“siri’ ”. Terkadang, permintaan uang panai’ dianggap sebagai senjata penolakan
pihak perempuan bagi pihak laki-laki yang datang meminang, jika pihak laki-laki
tersebut tidak direstui oleh orang tua pihak perempuan. Tingginya uang panai’
membuat pihak laki-laki tidak sanggup memenuhinya.
Perubahan yang terjadi dalam masyarakat Bugis merupakan salah satu
dampak dari berubahnya struktur sosial dan pola budaya dalam suatu masyarakat,
sebagai gejala umum yang terjadi sepanjang masa dalam setiap masyarakat.
Perubahan itu terjadi sesuai dengan hakikat dan sifat dasar manusia yang selalu
ingin mengadakan perubahan.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian dari latar belakang permasalahan tersebut dan untuk
membatasi pembahasan maka rumusan masalahan penelitiannya adalah,
bagaimana konsekuensi uang panai’ terhadap usia pernikahan pada masyarakat
Bugis?
C. Tujuan
1. Tujuan Umum
Untuk mengetahui dan memahami budaya pernikahan Suku Bugis dan
konsekuensinya dengan usia menikah.
2. Tujuan Khusus
a. Untuk menggali budaya uang panai’ dalam pernikahan Suku Bugis
b. Untuk menggali dampak uang panai terhadap usia pernikahan pada Suku
Bugis
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
KESIMPULAN
A. Kesimpulan