Prospek Dan Potensi Pengembangan Industri Kakao Di Indonesia PDF
Prospek Dan Potensi Pengembangan Industri Kakao Di Indonesia PDF
ABSTRAK
Pada saat ini Indonesia merupakan pemasok ketiga kakao dunia setelah Pantai Gading dan Ghana karena komoditas yang
dominan perkebunan rakyat ini masih menghadapi permasalahan produktivitas dan mutu produk. Indonesia berpotensi untuk
menjadi produsen utama kakao dunia apabila permasalahan utama pada kakao seperti rendahnya produktivitas dan mutu
produk dapat segera diatasi serta agribisnis kakao berkembang dan dikelola secara baik. Indonesia juga masih memiliki
lahan potensial jutaan hektar yang belum di manfaatkan secara optimal. Kakao Indonesia banyak diminati negara-negara
Eropa dan Amerika karena memiliki keunggulan tidak mudah meleleh dibandingkan dengan negara lain. Sebagai salah satu
produsen kakao terbesar dunia Indonesia seharusnya mampu menjadi sentra industri kakao dunia namun realitanya hanya
menempati peringkat ke 8. Setelah ada kebijakan pemerintah untuk mengembangkan industri kakao serta adanya peraturan
bea keluar untuk ekspor biji kakao berdampak positif bagi pertumbuhan industri kakao di Indonesia. Untuk memenuhi
kebutuhan bahan baku industri kakao, Indonesia masih perlu mengimpor biji kakao berkualitas tinggi karena produksi biji
kakao nasional tidak mencukupi dan yang dihasilkan petani umumnya tidak difermentasi. Selain impor dalam bentuk biji,
Indonesia juga cukup banyak mengimpor bentuk jadi. Untuk itu perlu ditingkatkan mutu biji kakao petani dengan fermentasi
dan dikembangkan lebih banyak industri pengolah produk turunan kakao di dalam negeri serta ditingkatkan promosi
produknya.
ABSTRACT
Indonesia is the third supplier of world cocoa bean after Ivory Coast and Ghana. Cocoa plantations dominanate by
smallholders which still faces productivity and product quality problems. Indonesia can reach the highest cocoa producer in
the world if the major problems such as low productivity and cocoa quality of the product can be immediately addressed and
cocoa agribusiness growing and managed well. Indonesia also has the potential of millions acres of land that has not been
utilized optimally. Indonesian cocoa was attracted by European countries and the United States because it had advantage
where it is not easily melt compare with other countries product. As one of the world's largest cocoa producer, Indonesia
should be able to become a center of world cocoa industry, but in reality only in eighth rank. After the government of
Indonesia made a policy to develop the cocoa industry such as export tax policy, it gives positive impact on the growth of the
cocoa industry. To meet the needs of industrial raw materials cocoa, Indonesia still needs to import high-quality cocoa beans
because of insufficient cocoa beans supply. In addition, to imports in the form of cocoa bean, Indonesia is also quite a lot of
importing final products. So, we need to improve quality cocoa beans by fermentation process and to develope more products
derived cocoa processing industry including the promotion.
merupakan satu dari sepuluh komoditi unggulan posisinya di tingkat dunia serta potensi
sektor non-migas. Pada semester I tahun 2011 pengembangannya.
komoditi kakao (biji kering) memberikan
sumbangan devisa terbesar ke tiga di subsektor KONDISI KOMODITI KAKAO
perkebunan setelah karet dan minyak sawit
dengan nilai sebesar US$ 655 juta dolar AS Luas areal dan produksi kakao di Indonesia
dengan ekspor 237,2 ton (Republika Online, Perkembangan industri kakao di
2012). Pada tahun 2012 tercatat luas areal Indonesia tidak terlepas dari potensi bahan baku
pertanaman kakao 1.774.463 Ha, berdasarkan yang ketersediaannya antara lain dipengaruhi
pengusahaannya komoditas ini 95,42% oleh luas areal dan produksi. Luas areal
didominasi oleh perkebunan rakyat. Selebihnya pertanaman dan produksi kakao Indonesia
2,15% dikelola oleh perkebunan besar negara meningkat cukup signifikan dalam beberapa
dan 2,42% oleh perkebunan besar swasta tahun terakhir. Pada tahun 1998 luas areal
(Ditjenbun, 2013). kakao Indonesia hanya sebesar 572.553 ha
Menurut Pipitone (2012), kebutuhan dengan produksi 448.927 ton (Tabel 1). Jumlah
industri untuk kakao akan semakin meningkat ini pada tahun 2012 meningkat 3 kali lipat
dilihat dari tren produksi dan kebutuhan di menjadi 1.774.463 ha dengan produksi 740.513
tahun sebelumnya. Indonesia saat ini posisinya ton dan tahun 2013 luasnya (angka sementara)
sebagai produsen ketiga dunia setelah Pantai mencapai 1.852.944 ha (Ditjenbun, 2013). Dari
Gading dan Ghana karena komoditas yang data yang ada menunjukkan peningkatan luas
dominan perkebunan rakyat ini masih areal hanya pada perkebunan rakyat (PR)
menghadapi permasalahan produktivitas dan dengan laju pertumbuhan 9,81% per tahun dan
mutu produk. Indonesia mempunyai potensi laju pertumbuhan produksi 8,80% per tahun.
untuk menjadi produsen utama kakao dunia, Sedangkan pada perkebunan besar negara
apabila berbagai permasalahan utama yang (PBN) justru mengalami penurunan luas areal -
dihadapi perkebunan kakao dapat diatasi dan 2,27% per tahun dan swasta (PBS) -4,02% per
agribisnis kakao dikembangkan dan dikelola tahun. Demikian pula produksinya mengalami
secara baik. Indonesia masih memiliki lahan penurunan berturut-turut pada PBN -0,73% dan
potensial seluas 30,7 juta hektar yang dapat PBS -0,43% per tahun (Pusdatin, 2014).
digunakan namun belum dimanfaatkan secara Dari 740.513 ton biji kakao yang
optimal (Badan Litbang, 2005). dihasilkan pada tahun 2012, proporsi yang
Potensi tersebut tidak diikuti oleh terbesar dihasilkan oleh perkebunan rakyat
perkembangan dan pertumbuhan industri yaitu sebanyak 687.247 ton, perkebunan besar
pengolahan yang dapat dilihat dari ekspor negara 23.837 ton, dan 29.429 ton perkebunan
komoditi kakao selama bertahun-tahun masih besar swasta. Pengusahaan kakao pada
berbentuk biji kakao kering. Hal ini perkebunan rakyat melibatkan 1.662.272
membuktikan bahwa industri pengolahan kakao keluarga petani. Sedangkan perkebunan negara
di Indonesia belum berkembang. Padahal yang memproduksi kakao adalah PTPN II,
industrialisasi komoditas kakao yang berpotensi PTPN IV, PTPN VIII, PTPN IX, PTPN XII,
ekspor sudah selayaknya dijadikan sebagai dan PTPN XIV.
motor untuk meningkatkan daya saing dan nilai
tambah dalam memacu pertumbuhan ekonomi
nasional serta meningkatkan pendapatan petani.
Untuk mengembangkan industri kakao perlu
keterkaitan antara pemerintah, petani produsen
dan pabrik pengolahan. Tulisan ini mencoba
mengulas kondisi kakao Indonesia dan
Tabel 1. Perkembangan luas areal kakao Indonesia berdasarkan status pengusahaannya, 1998 – 2013
Dilihat dari perkembangan luas areal terjadi pada subsistem hulu seperti penyediaan
dan produksi kakao Indonesia, dapat diketahui benih unggul dan sarana produksi. Data statistik
bahwa peningkatan luas areal kakao dan menunjukkan pada tahun 2010, jumlah tanaman
produksi kakao dominan ditentukan oleh kakao yang rusak dan tua sehingga tidak dapat
perkebunan rakyat. Produktivitas kakao menghasilkan mencapai 209.553 ha, atau
nasional mencapai 850 kg/ha/th pada tahun sebesar 12,7% dari total perkebunan kakao
2012, masih rendah karena pada perkebunan nasional (Ditjenbun, 2011). Kemudian tahun
rakyat rata-rata produktivitasnya baru mencapai 2012 secara nasional tanaman kakao yang tua
845 kg/ha/tahun, sedangkan pada perkebunan dan rusak meningkat menjadi 284.931 ha, yang
besar nasional dan perkebunan besar swasta sebagian besar di perkebunan rakyat yaitu
sedikit lebih baik dengan produktivitas masing seluas 278.757 ha (Ditjenbun, 2013).
masing-masing 907 kg/ha/thn dan 914 kg/ha/ Pulau Sulawesi merupakan sentra
thn (Ditjenbun, 2013). Tingkat produktivitas produksi kakao di Indonesia dan menyumbang
tersebut jauh dibawah potensi produksi klon 57,24% produksi nasional, wilayah tersebut
unggul kakao yang mencapai 2 ton/ha/tahun. terbagi menjadi 6 propinsi. Sulawesi Selatan
Rendahnya produktivitas kakao merupakan penghasil kakao terbesar baik
nasional tidak terlepas dari belum berdasarkan luas areal maupun produksi, yaitu
diterapkannya teknologi budidaya anjuran dan sebesar 269.628 Ha dan menghasilkan 146.840
penggunaan klon unggul, terutama oleh ton. Kemudian diikuti Sulawesi Tengah
perkebunan rakyat. Disamping itu, perkebunan (144.358 ton), Sulawesi Tenggara (122.960
kakao banyak terserang hama dan penyakit ton), Sulawesi Barat (76.158 ton), Sulawesi
khususnya hama penggerek buah kakao (PBK) Utara (4.231 ton) dan Gorontalo (3.705 ton).
Conopomorpha cramerella (Snellen) (Lepidop- Rata-rata produktivitas tanaman kakao di
tera: Gracillariidae) dan penyakit busuk buah wilayah Sulawesi 886 kg/ha/tahun. Dari seluruh
kakao (BBK) yang disebabkan oleh wilayah tersebut yang mempunyai produktivitas
Phytophthora palmivora (Sudjud et al., 2013; tertinggi adalah propinsi Sulawesi Selatan
Goenadi et al., 2005). Kerugian akibat penyakit dengan produktivitas 944 kg/ha/th dan
penggerek buah kakao mencapai 40% (Moriarty produktivitas tanaman kakao di Sulawesi lebih
et al., 2014). tinggi dibandingkan rata-rata nasional 850
Masalah pada usaha tani (on farm) kg/ha/tahun.
tersebut, tidak terlepas dari permasalahan yang
800
600
400 Produksi
200 Grinding
0
500.000
450.000
400.000
350.000
Ton 300.000
250.000
Kapasitas Produksi
200.000
150.000 Realisasi produksi
100.000
50.000
-
2007 2008 2009 2010 2011
Tahun
Indonesia juga mengekspor dalam impor dalam bentuk biji, ini menunjukkan
bentuk kulit kakao dan limbah lainnya sebesar konsumen di Indonesia sangat menyukai
US$ 5.331, pasta kakao sebesar US$ produk olahan dari luar negeri. Oleh karena itu
12.382.410, cocoa butter dan lemak kakao perlu dikembangkan produk turunan dan
sebesar US$ 147.586, kakao bubuk sebesar promosinya sehingga konsumen dalam negeri
US$ 56.000.770, dan produk jadi sebesar US$ dapat menyukai produk dalam negeri
45.379.793 (Tabel 3). Bentuk impor dalam dibandingkan dengan produk olahan luar negeri
bentuk jadi menempati peringkat ke 3 setelah yang sudah terkenal.
disebabkan adanya konflik di Negara Pantai tren pergerakan harga yang ada di pasar dunia.
Gading yang menjadi produsen utama kakao Dari Gambar 4 dapat dilihat pola pergerakan
(Bappebti, 2011a). Sedangkan awal tahun 2011 harga biji kakao fermentasi menunjukkan tren
hingga kuartal pertama tahun 2013 terjadi tren yang menurun. Bahkan pada tahun 2012, terjadi
penurunan harga (Gambar 3), ini disebabkan penurunan harga yang cukup drastis
karena adanya penurunan permintaan di negara dibandingkan tahun 2011. Selain menunjukkan
konsumen khususnya di kawasan Eropa dan tren menurun, pergerakan harga biji kakao
Amerika serta meningkatnya kembali ekspor fermentasi juga cenderung fluktuatif. Faktor
biji kakao dari Pantai Gading dan Ghana yang mempengaruhi pergerakan harga biji
(Bappebti, 2013). kakao fermentasi domestik merupakan imbas
Perkembangan harga biji kakao langsung dari pergerakan harga kakao
fermentasi di pasar domestik juga mengikuti internasional.
Biji kakao fermentasi merupakan biji fermentasi dan non fermentasi tidak memiliki
kakao yang memiliki mutu yang lebih baik perbedaan yang signifikan. Hal tersebut
dibandingkan dengan biji kakao yang tidak menyebabkan keengganan petani karena untuk
difermentasi. Oleh karena itu sudah selayaknya melakukan proses fermentasi biji kakao petani
biji kakao fermentasi mendapatkan harga yang harus menyimpannya dalam peti selama 4-6
lebih tinggi dibandingkan dengan biji non hari serta tetap memperhatikan kandungan
fermentasi. Namun, kondisi di tingkat petani airnya. Komisi Pengawas Persaingan Usaha
menunjukkan harga biji kakao yang di (2009) menduga kondisi tersebut terjadi akibat
fermentasi dan tidak difermentasi tidak permainan pedagang yang terlibat dalam jalur
memiliki perbedaan yang signifikan. Gambar 5 tata niaga biji kakao.
menunjukkan tingkat harga biji kakao
Gambar 4. Harga harian biji kakao fermentasi dalam negeri, periode Januari 2011 - April 2012
(Sumber: Bappebti, 2012)
Gambar 5. Harga biji kakao fermentasi dan nonfermentasi di tingkat petani dan
harga spot Makassar.
(Sumber: Ditjen PPHP, 2011b)
Jaya. Lahan yang tersedia dan sesuai untuk sekitar 6,23 juta ha yang tersebar di 10 propinsi
pengembangan kakao masih sangat besar yaitu (Tabel 4).
Aspek Kualitas Bahan baku dibandingkan dengan Pantai Gading, Haiti, dan
Kualitas bahan baku kakao Indonesia Ekuador, kakao Indonesia memiliki kandungan
yang diproduksi petani pada umumnya tidak anti oksidan tertinggi (Harrington, 2011).
difermentasi. Namun demikian kakao Indonesia Namun hasil tersebut dipengaruhi oleh kondisi
unggul dalam hal tingkat kekerasan kakao (hard tanaman dan proses pasca panennya.
butter) tidak mudah meleleh dan karakteristik Daya saing biji kakao Indonesia masih
warna (light breaking effect). Selain itu juga baik sehingga berpeluang untuk meningkatkan
Deperin. 2007. Gambaran sekilas Industri Haiti, Indonesia, and Ivory Coast. Master
Kakao. Sekretariat Jendral-Departemen Thesis. University of Tennessee,
Perindustrian : Jakarta Knoxville : USA
Direktorat Jendral Industri Agro. 2011. Statistik ICCO. 2012. ICCO Quarterly Bulletin of Cocoa
Indagro 2011. Kementerian Perindustrian Statistics, Vol. XXXVIII no.4.
: Jakarta International Cocoa Organization :
London
Direktorat Jenderal Industri Agrokimia [Ditjen
Agrokim]. 2009. Statistik 2009 Agrokim. Kementerian perdagangan. 2010. Rencana
Direktorat Jenderal Industri Agrokimia, strategis kementerian perdagangan
Departemen Perindustrian, Jakarta. periode 2010-2014. Kementerian
perdagangan : Jakarta
Ditjenbun. 2011. Stastik Perkebunan Indonesia:
Komoditas Kakao tahun 2010-2012. KPPU. 2009. Background Paper Kajian Industri
Sekretariat Jendral Perkebunan : Jakarta Dan Perdagangan Kakao. http://www.
kppu.go.id/docs/Positioning_Paper/positi
Ditjen PPHP. 2011a. Keragaan Database oning_paper_kakao.pdf Diakses tanggal
Kinerja : Pengolahan dan Pemasaran 08 Maret 2013.
Hasil Pertanian 2011. Direktorat Jendral
Pengolahan dan Pemasaran Hasil Moriarty, K., Elchinger, M., Hill, G., Katz, J.,
Pertanian – Kementerian Pertanian : & Barnett, J. 2014. Cacao Intensification
Jakarta in Sulawesi: A Green Prosperity Model
Project. USA : National Renewable
Ditjen PPHP. 2011b. Statistik Pengolahan dan Energy Laboratory. Diakses dari
Pemasaran Hasil Pertanian 2011. http://www.nrel.gov/docs/fy14osti/62434
Direktorat Jendral Pengolahan dan .pdf
Pemasaran Hasil Pertanian –
Kementerian Pertanian : Jakarta. Muttaqin, Z. 2011b. Opportunity Loss
Pengusaha Kakao Capai US$260 Juta per
Ditjenbun. 2013. Statistik Perkebunan Tahun.
Indonesia: Komoditas Kakao tahun 2012- http://www.indonesiafinancetoday.com/r
2014. Sekretariat Jendral Perkebunan : ead/2993/Opportunity -Loss-Pengusaha-
Jakarta Kakao-Capai-US260-Juta-per-Tahun-.
Diakses tanggal 08 Maret 2013.
Drajat, B., & Wahyudi, T. 2008. Prospek dan
Strategi Pengembangan Industri Hilir. In Pipitone, L. 2012. Situation and prospects for
T. Wahyudi, T. R. Panggabean, & cocoa supply & demand. Presentasi :
Pujiyanto (Eds.), Kakao : Manajemen
World cocoa conference 2012.19-23 Nov
Agribisnis dari Hulu hingga Hilir (p. 2012 : Abidjan-Pantai Gading
364). Depok: Penerbit Swadaya.
Republika Online. 2012. Pencapaian Sektor
Firdaus, M. dan Ariyoso. 2010. Keterpaduan Perkebunan Naik 50%. http://www.
pasar dan faktor-faktor yang republika.co.id/ 06 Maret 2013
mempengaruhi harga kakao Indonesia.
Jurnal Ekonomi dan Kebijakan Sudjud, S., Sastrahidayat, I. R., Mudjiono, G.,
Pembangunan, 3(1): 69-79. & Muhibuddin, A. 2013. The Intensity
Distribution of Cacao Pod Rot Disease
Goenadi, D.H., J.B. Baon, Herman dan (Phytophthora palmivora Butl.) in
Purwoto, A. 2005. Prospek dan arah Smallholder Plantation in North Maluku
pengembangan agribisnis kakao di Indonesia. Journal of Biology,
Indonesia. Badan Penelitian dan Agriculture and Healthcare, 3(7), 131-
Pengembangan Pertanian, Departemen 138.
Pertanian. 27 hal.
Susilo, A. W. dan I. A. Sari. Pemuliaan
Harrington, W. L. 2011. The Effects of tanaman kakao Ketahanan PBK.
Roasting Time and Temperature on the Presentasi Pelatihan Pemuliaan,
Antioxidant Capacity of Cocoa Beans Agronomi, Perlindungan Tanaman dan
from Dominican Republic, Ecuador, pasca Panen Komoditas Kopi dan Kakao
di Jember, 19-30 Desember 2012. World Bank. 2013. World Bank Commodity
Puslitkoka : Jember Price Data (The Pink Sheet).
http://siteresources.worldbank.org/INTP
USAID. 2006. Indonesia Cocoa Bean Value ROSPECTS/Resources/334934-
Chain Case Study: microREPORT #65. 1304428586133/pink_data_m.xlsx.
U.S. Agency for International Diakses tanggal 08 Maret 2013.
Development : Washington DC