Acquired Immunodeficiency Syndrome (AIDS) Adalah Kumpulan
Acquired Immunodeficiency Syndrome (AIDS) Adalah Kumpulan
PENDAHULUAN
BAB II
1
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 HIV-AIDS
2.2.1 Definisi1
Acquired Immunodeficiency Syndrome (AIDS) adalah kumpulan
gejala atau penyakit yang diakibatkan karena penurunan kekebalan tubuh
akibat adanya infeksi oleh Human Imunodeficiency Virus (HIV) yang
termasuk famili retroviridae. AIDS merupakan tahap akhir dari infeksi
HIV.1
2.2.2 Epidemiologi1,2
Laporan UNAIDS-WHO menunjukkan bahwa AIDS telah
merenggut lebih dari 25 juta jiwa sejak pertama kali dilaporkan pada tahun
1981. Pada tahun 2009, jumlah odha diperkirakan mencapai 33,3 juta
orang, dengan sebangian besar penderitanya adalah usia produktif , 15,9
juta penderita adalah perempuan dan 2,5 juta adalah anak-anak. Dengan
jumlah kasus baru HIV sebanyak 2.6 juta jiwa. Dari jumlah kasus baru
tersebut, sekitar 370 ribu di antaranya terjadi pada anakanak. Pada tahun
yang sama, lebih dari dua juta orang meninggal karena AIDS.2
Sebagian ODHA pada periode itu berasal dari kalangan
homoseksual. Kemudian jumlah kasus baru HIV/AIDS semakin meningkat
dan sejak pertengahan tahun 1999 mulai terlihat peningkatan tajam yang
terutama disebabkan akibat penularan melalui narkotika suntik.1
Saat ini, perkembangan epidemi HIV di Indonesia termasuk yang
tercepat di Asia. Sebagian besar infeksi baru diperkirakan terjadi pada
beberapa subpopulasi berisiko tinggi (dengan prevalensi > 5%) seperti
pengguna narkotika suntik (penasun), wanita penjaja seks (WPS), dan
waria. Di beberapa propinsi seperti DKI Jakarta, Riau, Bali, Jabar dan
Jawa Timur telah tergolong sebagai daerah dengan tingkat epidemi
terkonsentrasi (concentrated level of epidemic).3
Di Papua sudah memasuki tingkat epidemi meluas (generalized
epidemic).3 Berdasarkan laporan Departemen Kesehatan, terjadi laju
peningkatan kasus baru AIDS yang semakin cepat terutama dalam 3 tahun
terakhir dimana terjadi kenaikan tiga kali lipat dibanding jumlah yang
2
pernah dilaporkan pada 15 tahun pertama epidemi AIDS di Indonesia.
Dalam 10 tahun terakhir terjadi laju peningkatan jumlah kumulatif kasus
AIDS dimana pada tahun 1999 terdapat 352 kasus dan data tahun 2008
jumlah tersebut telah mencapai angka 16.110 kasus.3
Dari jumlah kumulatif 16.110 kasus AIDS yang dilaporkan pada
Desember 2008, sekitar 74,9% adalah laki-laki dan 24,6% adalah
perempuan. Berdasarkan cara penularan, dilaporkan 48% pada
heteroseksual; 42,3% pada pengguna narkotika suntik; 3,8% pada
homoseksual dan 2,2% pada transmisi perinatal. Hal ini menunjukkan
adanya pergeseran dari dominasi kelompok homoseksual ke kelompok
heteroseksual dan penasun. Jumlah kasus pada kelompok penasun hingga
akhir tahun 2008 mencapai 1.255 orang. Kumulatif kasus AIDS tertinggi
dilaporkan pada kelompok usia 20–29 tahun (50,82%), disusul kelompok
usia 30–39 tahun.4
Dari 33 propinsi seluruh Indonesia yang melaporkan, peringkat
pertama jumlah kumulatif kasus AIDS berasal dari propinsi Jawa Barat
sebesar 2.888 kasus, disusul DKI Jakarta dengan 2.781 kasus, kemudian
diikuti oleh Jawa Timur, Papua, dan Bali dengan masing-masing jumlah
kasus secara berurutan sebesar 2.591 kasus, 2.382 kasus, dan 1.177 kasus
AIDS.4
Rate kumulatif nasional kasus AIDS per 100.000 penduduk hingga
akhir Desember 2008 adalah sebesar 7,12 per 100.000 penduduk (dengan
jumlah penduduk Indonesia 227.132.350 jiwa berdasarkan data BPS tahun.
Proporsi kasus yang dilaporkan meninggal sebesar 20,89%. Lima infeksi
oportunistik terbanyak yang dilaporkan adalah TBC sebanyak 8.986 kasus,
diare kronis 4.542 kasus, kandidiasis orofaringeal 4.479 kasus, dermatitis
generalisata 1.146 kasus, dan limfadenopati generalisata sebanyak 603
kasus.4
2.2.3 Etiologi3
AIDS disebabkan oleh infeksi HIV. HIV adalah suatu virus RNA
berbentuk sferis yang termasuk retrovirus dari famili Lentivirus. (Gambar
3
1). Strukturnya tersusun atas beberapa lapisan dimana lapisan terluar
(envelop) berupa glikoprotein gp120 yang melekat pada glikoprotein gp41.
Selubung glikoprotein ini berafinitas tinggi terhadap molekul CD4 pada
permukaan T-helper lymphosit dan monosit atau makrofag. Lapisan kedua
di bagian dalam terdiri dari protein p17. Inti HIV dibentuk oleh protein
p24. Di dalam inti ini terdapat dua rantai RNA dan enzim transkriptase
reverse (reverse transcriptase enzyme).5
Sumber :
Fauci AS at al, 2005
Ada dua tipe HIV yang dikenal yakni HIV-1 dan HIV-2. Epidemi HIV
global terutama disebabkan oleh HIV-1 sedangkan tipe HIV-2 tidak terlalu
luas penyebarannya. Tipe yang terakhir ini hanya terdapat di Afrika Barat dan
beberapa negara Eropa yang berhubungan erat dengan Afrika Barat.5
4
komponen darah yang terkontaminasi, dan transmisi vertikal dari ibu ke
janin. CDC pernah melaporkan adanya penularan HIV pada petugas
kesehatan.
2.2.5 Patogenesis2,4
Limfosit CD4+ (sel T helper atau Th) merupakan target utama
infeksi HIV karena virus mempunyai afinitas terhadap molekul permukaan
CD4. Limfosit CD4+ berfungsi mengkoordinasikan sejumlah fungsi
imunologis yang penting sehingga bila terjadi kehilangan fungsi tersebut
maka dapat menyebabkan gangguan imun yang progresif.1
Namun beberapa sel lainnya yang dapat terinfeksi yang ditemukan
secara in vitro dan invivo adalah megakariosit, epidermal langerhans,
peripheral dendritik, folikular dendritik, mukosa rectal, mukosa saluran
cerna, sel serviks, mikrogilia, astrosit, sel trofoblast, limfosit CD8, sel
retina dan epitel ginjal.
5
Infeksi HIV terjadi melalui molekul CD4 yang merupakan reseptor
utama HIV dengan bantuan ko-reseptor kemokin pada sel T atau monosit,
atau melalui kompleks molekul adhesi pada sel dendrit. Kompleks molekul
adhesi ini dikenal sebagai dendritic-cell specific intercellular adhesion
molecule-grabbing nonintegrin (DC-SIGN). Akhir-akhir ini diketahui
bahwa selain molekul CD4 dan ko-reseptor kemokin, terdapat integrin
sebagai reseptor penting lainnya untuk HIV. Antigen gp120 yang berada
pada permukaan HIV akan berikatan dengan CD4 serta ko-reseptor
kemokin CXCR4 dan CCR5, dan dengan mediasi antigen gp41 virus, akan
terjadi fusi dan internalisasi HIV.3
Di dalam sel CD4, sampul HIV akan terbuka dan RNA yang
muncul akan membuat salinan DNA dengan bantuan enzim transkriptase
reversi. Selanjutnya salinan DNA ini akan berintegrasi dengan DNA
pejamu dengan bantuan enzim integrase. DNA virus yang terintegrasi ini
disebut sebagai provirus. Setelah terjadi integrasi, provirus ini akan
melakukan transkripsi dengan bantuan enzim polimerasi sel host menjadi
mRNA untuk selanjutnya mengadakan transkripsi dengan protein-protein
struktur sampai terbentuk protein. mRNA akan memproduksi semua
protein virus. Genomik RNA dan protein virus ini akan membentuk
partikel virus yang nantinya akan menempel pada bagian luar sel. Melalui
proses budding pada permukaan membran sel, virion akan dikeluarkan dari
sel inang dalam keadaan matang. Sebagian besar replikasi HIV terjadi di
kelenjar getah bening, bukan di peredaran darah tepi.3
6
Gambar 2 : Visualisasi siklus HIV
7
disregulasi repsons imun sel T CD4 dan proliferasi CD4 jarang
terlihat pada pasien HIV yang tidak mendapat pengobatan
antiretrovirus.1
8
Kelompok Gejala Kekerapan (%)
Umum Demam 90
Nyeri otot 54
Nyeri sendi -
Rasa lemah -
Mukokutan Ruam kulit 70
Ulkus di mulut 12
Limfadenopati 74
Neurologi Nyeri kepala 32
Nyeri belakang mata -
Fotofobia -
Depresi -
Meningitis 12
Saluran cerna Anoreksia -
Nausea -
Diare 32
Jamur di mulut 12
Sumber : (Djauzi S, 2002)
9
jantung juga adalah penyakit yang dijumpai pada ODHA pengguna narkotika
dan biasanya tidak ditemukan pada ODHA yang tertular dengan cara lain.
Lamanya pengguna jarum suntik berbanding lurus dengan infeksi pneumonia
dan tuberkulosis. Makin lama seseorang menggunkan narkotika suntikan,
makin mudah ia terkena pneumonia dan tuberkulosis. Infeksi secara
bersamaan ini akan menimbulkan efek yang buruk. Infeksi oleh kuman
penyakit lain akan menyebabkan virus HIV membelah dengan lebih cepat
sehingga jumlahnya akan meningkat pesat. Selain itu juga dapat menyebabkan
reaktivasi virus di dalam limfosit T. Akibatnya perjalanan penyakitnya
biasanya lebih progresif.
2.2.7 Diagnosis3,4
1. Anamnesis
10
- Laki-laki yang berhubungan seks dengan sesama laki-laki
(LSL) dan transgender (waria)
Pernah berhubungan seks tanpa pelindung dengan penjaja seks
-
komersial
Pernah atau sedang mengidap penyakit infeksi menular
-
seksual (IMS)
Pernah mendapatkan transfusi darah atau resipient produk
-
darah
- Suntikan, tato, tindik, dengan menggunakan alat non steril.
11
HIV (umumnya DNA atau RNA virus) di dalam tubuh yakni melalui
pemeriksaan PCR untuk menentukan viral load, dan tes hitung jumlah limfosit
Sedangkan untuk kepentingan surveilans, diagnosis HIV ditegakkan apabila
terdapat infeksi oportunistik atau limfosit CD4+ kurang dari 200 sel/mm3
Tabel 7. Anjuran pemeriksaan laboratorium yang perlu dilakukan pada odha
12
18 bulan sehingga pada kondisi ini, tes perlu diulang pada usia anak > 18
bulan.1,2
Hasil tes dinyatakan positif bila tes penyaring dua kali positif
ditambah dengan tes konfirmasi dengan WB positif. Di negara-negara
berkembang termasuk Indonesia, pemeriksaan WB masih relatif mahal
sehingga tidak mungkin dilakukan secara rutin. WHO menganjurkan strategi
pemeriksaan dengan kombinasi dari pemeriksaan penyaring yang tidak
melibatkan pemeriksaan WB sebagai konfirmasi. Di Indonesia, kombinasi
yang digunakan adalah tiga kali positif pemeriksaan penyaring dengan
menggunakan strategi 3. Bila hasil tes tidak sama missal hasil tes pertama
reaktif, tes kedua reaktif, dan yang ketiga nonreaktif atau apabila hasil tes
pertama reaktif, kedua dan ketiga non-reaktif, maka keadaan ini disebut
sebagai indeterminate dengan catatan orang tersebut memiliki riwayat pajanan
atau berisiko tinggi tertular HIV. Bila orang tersebut tanpa riwayat pajanan
atau tidak memiliki risiko tertular, maka hasil pemeriksaan dilaporkan sebagai
non-reaktif.1,2
13
2.7.4 Penilaian Klinis3
14
2.7.5 Stadium Klinis7,8
15
Perjalan klinik infeksi HIV telah ditemukan beberapa klasifikasi yaitu :
a. Infeksi Akut : CD4 : 750 – 1000
Gejala infeksi akut biasanya timbul sedudah masa inkubasi selama 1-3
bulan. Gejala yang timbul umumnya seperti influenza, demam, atralgia,
anereksia, malaise, gejala kulit (bercak-bercak merah, urtikarta), gejala
syaraf (sakit kepada, nyeri retrobulber, gangguan kognitif danapektif),
gangguan gas trointestinal (nausea, diare). Pada fase ini penyakit tersebut
sangat menular karena terjadi viremia. Gejala tersebut diatas merupakan
reaksi tubuh terhadap masuknya unis yang berlangsung kira-kira 1-2
minggu.
b. Infeksi Kronis Asimtomatik : CD4 > 500/ml
Setelah infeksi akut berlalu maka selama bertahun-tahun kemudian,
umumnya sekitar 5 tahun, keadaan penderita tampak baik saja, meskipun
sebenarnya terjadi replikasi virus secara lambat di dalam tubuh. Beberapa
penderita mengalami pembengkakan kelenjar lomfe menyeluruh, disebut
limfa denopatio (LEP), meskipun ini bukanlah hal yang bersifat prognostic
dan tidak terpengaruh bagi hidup penderita. Saat ini sudah mulai terjadi
penurunan jumlah sel CD4 sebagai petunjuk menurunnya kekebalan tubuh
penderita, tetapi masih pada tingkat 500/ml.
c. Infeksi Kronis Simtomatik
Fase ini dimulai rata-rata sesudah 5 tahun terkena infeksi HIV. Berbagai
gejala penyakit ringan atau lebih berat timbul pada fase ini, tergantung
pada tingkat imunitas pemderita.
1) Penurunan Imunitas sedang : CD4 200 – 500
Pada awal sub-fase ini timbul penyakit-penyakit yang lebih ringan
misalnya reaktivasi dari herpes zoster atau herpes simpleks. Namun dapat
sembuh total atau hanya dengan pengobatan biasa. Keganasan juga dapat
timbul pada fase yang lebih lanjut dari sub-fase ini dan dapat berlanjut ke
sub fase berikutnya, demikian juga yang disebut AIDS-Related (ARC).
2) Penurunan Imunitas berat : CD4 < 200
Pada sub fase ini terjadi infeksi oportunistik berat yang sering mengancam
jiwa penderita. Keganasan juga timbul pada sub fase ini, meskipun sering
16
pada fase yang lebih awal. Viremia terjadi untuk kedua kalinya dan telah
dikatakan tubuh sudah dalam kehilangan kekebalannya.
Sindrom klinis stadium simptomatik yang utama:
17
Limfadenopati generalisata
Herpes simplek diseminata yang kronik progresif
b. Dicurigai AIDS pada anak. Bila terdapat paling sedikit dua gejala mayor
dan dua gejala minor, dan tidak terdapat sebab – sebab imunosupresi yang
lain seperti kanker, malnutrisi berat, pemakaian kortikosteroid yang lama atau
etiologi lain.
1. Gejala Mayor
Penurunan berat badan atau pertmbuhan yang lambat dan abnormal
Diare kronik lebih dari 1bulan
Demam lebih dari1bulan
2. Gejala minor
Limfadenopati generalisata
Kandidiasis oro-faring
Infeksi umum yang berulang
Batuk parsisten
Dermatitis
Stadium 1 Asimptomatik
18
Tidak ada penurunan berat badan
Tidak ada gejala atau hanya : Limfadenopati Generalisata Persisten
2. 8 Penatalaksanaan3,6
19
obat anti HIV bermanfaat untuk menurunkan morbiditas dan mortalitas dini
akibat infeksi HIV.3 Secara umum, penatalaksanaan odha terdiri atas beberapa
jenis, yaitu:
a) Pengobatan untuk menekan replikasi virus HIV dengan obat
antiretroviral (ARV).
b) Pengobatan untuk mengatasi berbagai penyakit infeksi dan kanker yang
menyertai infeksi HIV/AIDS, seperti jamur, tuberkulosis, hepatitis,
toksoplasmosis, sarkoma kaposi, limfoma, kanker serviks.
• Pengobatan suportif, yaitu makanan yang mempunyai nilai gizi yang
Kelompok non-nucleoside reverse transcriptase inhibitors (NNRTI)
seperti evafirens dan nevirapin
Secara umum, obat ARV dapat dibagi dalam 3 kelompok besar yakni
Kelompok nucleoside reverse transcriptase inhibitors (NRTI) seperti:
zidovudin, zalsitabin, stavudin, lamivudin, didanosin, abakavir. Waktu
memulai terapi ARV harus dipertimbangkan dengan seksama karena obat
antiretroviral akan diberikan dalam jangka panjang. Proses memulai terapi
ARV meliputi penilaian terhadap kesiapan pasien untuk memulai terapi ARV
dan pemahaman tentang tanggung jawab selanjutnya (terapi seumur hidup,
adherence, toksisitas). Jangkauan pada dukungan gizi dan psikososial,
dukungan keluarga atau sebaya juga menjadi hal penting yang tidak boleh
dilupakan ketika membuat keputusan untuk memulai terapi ARV3
Dalam hal tidak tersedia tes CD4, semua pasien dengan stadium 3 dan 4 harus
memulai terapi ARV. Pasien dengan stadium klinis 1 dan 2 harus dipantau
secara seksama, setidaknya setiap 3 bulan sekali untuk pemeriksaan medis
lengkap atau manakala timbul gejala atau tanda klinis yang baru.Adapun
20
terapi HIV-AIDS berdasarkan stadiumnya seperti pada tabel 10. (Depkes RI,
2007)
Bila terdapat tes untuk hitung CD4, saat yang paling tepat untuk
memulai terapi ARV adalah sebelum pasien jatuh sakit atau munculnya IO
yang pertama. Perkembangan penyakit akan lebih cepat apabila terapi Arv
21
dimulai pada saat CD4 < 200/mm3 dibandingkan bila terapi dimulai pada CD4
di atas jumlah tersebut. Apabila tersedia sarana tes CD4 maka terapi ARV
sebaiknya dimulai sebelum CD4 kurang dari 200/mm3. Waktu yang paling
optimum untuk memulai terapi ARV pada tingkat CD4 antara 200- 350/mm3
masih belum diketahui, dan pasien dengan jumlah CD4 tersebut perlu
pemantauan teratur secara klinis maupun imunologis.3
Terapi ARV dianjurkan pada pasien dengan TB paru atau infeksi
bakterial berat dan CD4 < 350/mm3. Juga pada ibu hamil stadium klinis
manapun dengan CD4 < 350 / mm3. Keputusan untuk memulai terapi ARV
pada ODHA dewasa dan remaja didasarkan pada pemeriksaan klinis dan
imunologis. Namun Pada keadaan tertentu maka penilaian klinis saja dapat
memandu keputusan memulai terapi ARV. Mengukur kadar virus dalam darah
(viral load) tidak dianjurkan sebagai pemandu keputusan memulai terapi.3,4
Terapi ARV sebaiknya jangan dimulai bila terdapat keadaan infeksi
oportunistik yang aktif. Pada prinsipnya, IO harus diobati atau diredakan dulu.
Namun pada kondisi-kondisi dimana tidak ada lagi terapi yang efektif selain
perbaikan fungsi kekebalan dengan ARV maka pemberian ARV sebaiknya
diberikan sesegera mungkin (AIII). Contohnya pada kriptosporidiosis,
mikrosporidiosis, demensia terkait HIV. Keadaan lainnya, misal pada infeksi
M.tuberculosis, penundaan pemberian ARV 2 hingga 8 minggu setelah terapi
TB dianjurkan untuk menghindari bias dalam menilai efek samping obat dan
juga untuk mencegah atau meminimalisir sindrom restorasi imun atau IRIS.
22
termasuk NRTI adalah AZT, lamivudin (3TC) dan stavudin (d4T). Sedangkan
yang termasuk NNRTI adalah nevirapin (NVP) dan efavirenz (EFZ). 3Adapun
terapi kombinasi untuk HIV/AIDS seperti pada tabel 11.
23
2.2 TUBERKULOSIS PADA HIV8,9,10
24
TB paru merupakan jenis yang paling sering dijumpai dan muncul
pada infeksi HIV awal dengan jumlah median CD4 > 300 sel/dL sedangkan
TB ekstraparu atau diseminata dijumpai pada odha dengan jumlah CD4 yang
lebih rendah. 10
Gejala TB paru yang paling sering adalah batuk kronik lebih dari 3
minggu, demam, penurunan berat badan, penurunan nafsu makan, rasa letih,
berkeringat pada waktu malam, nyeri dada, dan batuk darah. Sedangkan pada
TB ekstra paru yang tersering adalah limfadenopati asimetris, perikarditis,
efusi pleura dan osteomielitis. Sayangnya, gambaran klinis TB pada odha
seringkali tidak khas dan sangat bervariasi sehingga menegakkan diagnosis
menjadi lebih sulit.
Cara penegakan diagnosis TB pada odha tidak berbeda dengan yang
bukan odha. Namun, sensitivitas untuk pemeriksaan sputum BTA pada odha
sekitar 50% dan tes tuberkulin hanya positif pada 30-50% odha. Pada foto
toraks, gambaran TB paru pada odha dengan CD4>200 sel/µL tidak berbeda
dengan non – HIV berupa infiltrat pada lobus atas, kavitas, atau efusi pleura.
Pada ODHA dengan CD < 200 sel/µL, gambaran yang lebih sering tampak
adalah limfadenopati mediastinum dan infiltrat di lobus bawah. Diagnosis
definitif TB pada odha adalah dengan ditemukannya M.tuberculosis pada
kultur jaringan atau specimen sedangkan diagnosis presumtifnya berdasarkan
ditemukannya BTA pada specimen dengan gejala sesuai TB atau perbaikan
gejala setelah terapi kombinasi
Regimen pengobatan TB tidak berbeda dengan regimen pengobatan
TB pada kasus non-HIV dengan lama pengobatan 6 bulan seperti tercantum
pada tabel 16. Terapi ARV direkomendasikan untuk semua odha yang
menderita TB dengan CD4 < 200/mm3, dan perlu dipertimbangkan bila CD4 >
350/mm3. Bila tidak tersedia pemeriksaan CD4, maka terapi ARV
direkomendasikan untuk semua odha dengan TB. Pemberian OAT sebaiknya
tidak dimulai bersama-sama dengan ARV dengan tujuan untuk mengurangi
kemungkinan interaksi obat, dan ketidakpatuhan minum obat.
25
Klasifikasi Regimen Obat
Kasus TB baru 2HRZE / 6 HE (DOTS)
TB kambuh/ pengobatan ulang 2SHRZE / HRZE / 5H3R3E3 (DOTS)
Beberapa hal yang perlu diperhatikan pada odha dengan terapi ARV
dan OAT adalah kemungkinan adanya efek samping dan resistensi OAT.
Tatacara terapi berdasarkan jumlah CD4 seperti tercantum pada tabel 17.
Untuk itu, perlu dilakukan tes resistensi BTA pada odha yang mengalami TB.9
Tabel 17. Terapi ARV untuk pasien koinfeksi TB-HIV
26
Tuberkulosis merupakan infeksi yang disebabkan oleh bakteri
Mycobacterium tuberculosis. Organisme ini disebut pula sebagai basil tahan
asam. Penularan terjadi melalui udara (airborne spreading) dari droplet infeksi.
Sumber infeksi adalah penderita TB paru yang membatukkan dahaknya,
dimana pada pemeriksaan hapusan dahaknya umumnya di temukan BTA
positif. Adapun Patofisiologi Tb Paru dapat terjadi melalui:
a) Tuberkulosis primer
Infeksi primer terjadi setelah seseorang menghirup mikrobakterium
tuberkulosis. Setelah melalui barier mukosilier saluran napas, basil
TB akan mencapai alveoli. Kuman akan mengalami multiplikasi di
paru, disebut fokus Ghon. Melalui aliran limfe, basil mencapai
kelenjar limfe hilus. Fokus Ghon dan limfadenopati hilus membentuk
kompleks primer. Melalui kompleks primer basil dapat menyebar ke
pembuluh darah dan ke seluruh tubuh. Respon imun
seluler/hipersensitiviti tipe lambat terjadi 4-6 minggu setelah infeksi
primer. Banyaknya basil TB serta kemampuan daya tahan tubuh host
akan menentukan perjalanan penyakit selanjutnya. Pada kebanyakan
kasus, respons imun tubuh dapat menghentikan multiplikasi kuman,
sebagian kecil menjadi kuman dorman. Pada penderita dengan daya
tahan tubuh yang buruk, respons imun tidak dapat menghentikan
multiplikasi kuman, sehingga akan menjadi sakit pada beberapa bulan
kemudian. Sehingga kompleks primer akan mengalami salah satu hal
sebagai berikut :
1. Penderita akan sembuh dengan tidak meninggalkan cacat
(restirution ad integrum)
2. Sembuh dengan meninggalkan bekas (seperti sarang Ghon,
fibrotik, perkapuran)
3. Menyebar dengan cara :
- Perkontinuitatum ke jaringan sekitarnya
Sebagai contoh adalah pembesaran kelenjar limfe di hilus,
sehingga menyebabkan penekanan bronkus lobus medius,
berakibat atelektasis. Kuman akan menjalar sepanjang bronkus
27
yang tersumbat menuju lobus yang atelektasis, menimbulkan
peradangan pada lobus yang atelektasis, hal ini disebut sebagai
epituberkulosis. Pembesaran kelenjar limfe di leher, dapat
menjadi abses disebut scrofuloderma. Penyebaran ke pleura
menyebabkan efusi pleura.
- Penyebaran bronkogen ke paru bersangkutan atau paru
sebelahnya. Atau tertelan bersama dahak sehingga terjadi
penyebaran di usus.
- Penyebaran secara hematogen dan limfogen ke organ lain
seperti tuberkulosis milier, meningitis, ke tulang, ginjal,
genetalia.
b) Tuberkulosis post primer
Terjadi setelah periode laten (beberapa bulan/ tahun) setelah infeksi
primer. Dapat terjadi karena reaktivasi atau reinfeksi. Reaktivasi
terjadi akibat kuman dorman yang berada pada jaringan selama
beberapa bulan/ tahun setelah infeksi primer, mengalami multiplikasi.
Hal ini dapat terjadi akibat daya tahan tubuh yang lemah. Reinfeksi
diartikan adanya infeksi ulang pada seseorang yang sebelumnya
pernah mengalami infeksi primer. TB post primer umumnya
menyerang paru, tetapi dapat pula di tempat lain di seluruh tubuh
umumnya pada usia dewasa. Karakteristik TB post primer adalah
adanya kerusakan paru yang luas dengan kavitas, hapusan dahak BTA
positif, pada lobus atas, umumnya tidak terdapat limfadenopati
intratoraks.
Bentuk tuberkulosis post primer dapat sebagai tuberkulosis paru
dan ekstra paru. Tuberkulosis post primer dimulai dari sarang dini
yang umumnya pada segmen apical lobus superior atau inferior.
Awalnya berbentuk sarang pneumonik kecil.
Sarang ini dapat mengalami salah satu keadaan sebagai berikut :
1. Diresorbsi dan sembuh dengan tidak meninggalkan cacat
2. Sarang meluas, tetap segera mengalami penyembuhan berupa
jaringan fibrosis dan perkapuran. Sarang dapat aktif kembali
28
membentuk jaringan keju dan bila dibatukkan menimbulkan
kaviti.
3. Sarang pneumonik meluas, membentuk jaringan keju yang bila
dibatukkan akan menimbulkan kaviti. Kaviti awalnya berdinding
tipis kemudian menjadi tebal (kaviti sklerotik). Kaviti akan
mengalami :
- Meluas dan menimbulkan sarang pneumonik baru
- Memadat dan membungkus diri disebut tuberkuloma.
Tuberkuloma dapat mengapur dan sembuh, tapi dapat aktif
kembali dan mencair menimbulkan kaviti kembali.
- Menyembuh dan disebut open heald cavity, atau menyembuh
dengan membungkus diri, akhirnya mengecil. Kaviti dapat
menciut dan tampak sebagai bintang (stellate shape).
A. PENATALAKSANAAN
Pengobatan tuberkulosis terbagi menjadi 2 fase yaitu fase intensif (2-
3 bulan) dan fase lanjutan 4 atau 7 bulan. Paduan obat yang digunakan
terdiri dari paduan obat utama dan tambahan. 8
29
Obat Dosis Dosis yg Dosi Dosis (mg) / berat
(Mg/Kg dianjurkan s badan (kg)
BB/Hari) Haria Intermitten Mak < 40 40- >60
n (mg/ (mg/Kg/BB s 60
kgBB /kali) (mg)
/ hari)
6 3
R 8-12 10 10 0 0 450 600
0 0
3 1
H 4-6 5 10 0 5 300 450
0 0
7
20- 150
Z 25 35 5 1000
30 0
0
7
15- 150
E 15 30 5 1000
20 0
0
S
e
1
s
15- 0 100
S 15 15 u 750
18 0 0
ai
0
B
B
30
1. Penatalaksanaan sederhana dengan kesalahan pembuatan resep
minimal
2. Peningkatan kepatuhan dan penerimaan pasien dengan penurunan
kesalahan pengobatan yang tidak disengaja
3. Peningkatan kepatuhan tenaga kesehatan terhadap penatalaksanaan
yang benar dan standar
4. Perbaikan manajemen obat karena jenis obat lebih sedikit
5. Menurunkan risiko penyalahgunaan obat tunggal dan MDR akibat
penurunan penggunaan monoterapi
31
mengalami efek samping serius harus dirujuk ke rumah sakit / dokter
spesialis paru / fasiliti yang mampu menanganinya.
32
lesi minimal *2RHZE /4 R3H3
Alamat : Abepantai
BAB III
LAPORAN KASUS
3.1 Identitas
33
3.2 Anamnesa (Autoanamnesis)
Keluhan Utama: Lemas sejak ±1 minggu.
Riwayat Penyakit Sekarang:
Pasien dibawa keluarga ke IGD RSUD Abepura dengan keluhan lemas
sejak ±1 minggu SMRS. Pasien merasa tidak bertenaga dan sangat
lemas. Pasien juga mengeluh demam ± 3 bulan. Demam naik turun.
Demam tinggi saat sore hari. Keluhan lain BAB cair/ mencret sejak 1
bulan terus menerus. Dalam 1 hari sebelum MRS mencret sebanyak
15x dari malam sampai pagi. Kotoran berisi ampas makanan, encer,
berwarna coklat, tidak ada darah, tidak ada busa dalam kotorannya.
Keluhan ini juga dirasakan 3 bulan lalu disertai demam naik turun,
kemudian sembuh. Selain mencret, pasien juga merasa perut tidak
nyaman, ada mual dan muntah tiap kali makan sehingga nafsu makan
pasien menurun. Pasien juga mengeluh batuk sejak 2 minggu. Batuk
disertai sesak terutama saat berbaring dan malam hari, batuk berlendir
warna putih agak kental. Darah dalam dahak tidak ada. Keringat
malam hari ada kadang-kadang, demam tidak terlalu tinggi terutama
sore hari. Keluhan lain yang dialami pasien adalah nyeri pada luka di
paha kanan sejak 1 minggu, luka tersebut tidak sembuh sampai saat
ini. Luka tersebut awalnya benjolan kecil, yang kemudian
membengkang, merah, dan pecah mengeluarkan nanah.
Pasien mengaku pernah minum obat paru selama 6 bulan hingga
tuntas di tahun 2007.
Riwayat Penyakit Dahulu
34
- Riwayat HIV : pengobatan dengan ARV tahun 2017 namun putus
obat.
- Riw. Tuberkulosis Paru pengobatan selama 6 bulan tuntas.
- Riw. Hipertensi (disangkal), diabetes melitus (disangkal)
- Riwayat Alergi makanan dan obat disangkal
Riwayat Penyakit Keluarga: penyakit stroke, kelainan jantung,
diabetes melitus tidak ada.
Riwayat Kebiasaan
Kebiasaan Minum Alkohol (+), Merokok (+)
Kepala
Mata : Conjungtiva anemis (+/+);Sklera ikterik (-/-)
Mulut : stomatitis (-), oral trush (-), karies (-),bau mulut (-).
Leher
Pembengkakan KGB colli (-)
35
Kelainan kelenjar thyroid (-)
Thorax
Inspeksi : simetris, ikut gerak napas, retraksi (-)
jantung → pekak
Auskultasi : suara napas vesikuler, rhonki (-/-),wheezing (-/-)
Perkusi : Tympani
Ekstremitas
Inspeksi : Ekstremitas atas edema(-) Ekstremitas bawah :
tampak nodus eritematosa, pus(+) diregio femoralis dextra.
edema(-)
36
Pemeriksaan Hasil Nilai Pemeriksaa Hasil Nilai
rujukan n rujukan
WBC 6,700 5.000- MCH 22,5 28,0-36,0
3
10.000/mm
RBC 4,7 x LK:4.500.00 MCHC 32,6 32,0-36,0
10^6 0-
5.500.000/m
m3
PR:4000.000
-
5000.000/m
m3
HGB 10,6 LK: 14,0- RDW 16,3 11,5-14,5
17,4g/dl
Pr: 12,0-
16,0g/dl
HCT 32,2 LK:42-52 MPV 10,0 7,4-10,4
Pr:36-48
PLT 256.00 150.000- PDW 15,8 10,0-13,0
0 450.000
GDS 113 LYM 0,6 1.500-
mg/dL 4000/mm3
DDR Negatif 3000-
7000/mm3
37
n
SGOT 55
SGPT 35
Kalium 3,66
Natrium 136,70
Klorida 107,20
38
HIV)
ureum 27
Creatinin 1,1
3.5. Resume
Pasien laki-laki (31 th), datang dengan keluhan lemas ±1 minggu SMRS,
tidak bertenaga, demam ± 1 minggu, naik turun. Demam tinggi saat sore hari.
BAB cair/ mencret sejak 1 bulan terus menerus. Dalam 1 hari sebelum MRS
mencret sebanyak 15x dari malam sampai pagi. Kotoran berisi ampas
makanan, encer, berwarna coklat. Perut tidak nyaman, mual (+), dan muntah
(+). Batuk (+) sejak 2 minggu, disertai sesak terutama saat berbaring dan
malam hari, berlendir (+), warna putih agak kental. Keringat malam hari (+),
demam tidak terlalu tinggi terutama sore hari. Nyeri pada luka di paha kanan
sejak 1 minggu, nanah (+).nanah. Riw. OAT selama 6 bulan hingga tuntas di
tahun 2007. Riw. ARV 2017, putus obat.
39
Dari Pemeiksaan fisik ditemukan konjungtiva anemis. Didapatkan jaringan
meradangan, pus (+) region femoralis dextra. Hasil pemeriksaan penunjang,
didapatkan anemia, Hemoglobin rendah (10,6g/dL ), pemeriksaan anti HIV
reaktif. Pemeriksaan sputum gen expet ditemukan kuman Mycobacterium
Tuberculosis dan pada foto radiologi thorax didapatkan gambaran TB paru
kanan.
- Rencana Terapi:
X-ray Thorax :
40
3.8 Follow-up Ruangan
SpO2: 96%
Status Generalis:
Kepala/Leher: CA (+/+), SI (-/-),
OC(-), P> KGB (-), Peningkatan
JVP (-)
Thorax: simetris, ikut gerak
napas, regular, fremitus D=S, SN
vesikuler (+/+), Rhonki (+/-),
Wheezing (-)
Abdomen: datar, peristaltik (+)
kesan normal, supel, NT (-),
Hepar/Lien: ttb
Eks : Akral hangat, edema (-/-),
eritem Palmaris (-)
X-ray Thorax PA: tampak
bercak berawan pada apex dan
basal, kalsifikasi (+)
41
Laboratorium:
Leukosit 7960/mm3, eritrosit:3,5x
106, SGOT: 55 g/dL, SGPT: 35
g/dL, Hb 10,6/dL
HbsAg: negatif
Malaria: Negatif
Antibodi HIV: Reaktif
TCM sputum (Gen Expert):
ditemukan bakteri M.
Tuberculosis
A:
Anemia
HIV stadium III
TB Paru relaps
SpO2: 96%
Status Generalis:
Kepala/Leher: CA (+/+), SI (-/-),
OC(-), P> KGB (-), Peningkatan
JVP (-)
42
Thorax: simetris, ikut gerak
napas, regular, fremitus D=S, SN
vesikuler (+/+), Rhonki (+/-),
Wheezing (-)
Abdomen: datar, peristaltik (+)
kesan normal, supel, NT (-),
Hepar?Lien: ttb
Eks : Akral hangat, edema (-/-),
eritem Palmaris (-)
A:
Anemia
HIV stadium III
TB Paru relaps
15-09-2018 S : Lemas (+), Demam (+) naik Planning :
turun, mual muntah (+), Batuk (+) IVFD Nacl 0,9% +
dahak, Mencret 5x sehari cair, isi Neurobion 1 amp
drip (20 tpm)
ampas makanan
BAK : kesan lancar, warna seperti teh Injeksi Ranitidine
O: 50mg amp/12 jam
SpO2: 96%
Status Generalis:
Kepala/Leher: CA (+/+), SI (-/-),
OC(-), P> KGB (-), Peningkatan
JVP (-)
Thorax: simetris, ikut gerak
napas, regular, fremitus D=S, SN
vesikuler (+/+), Rhonki (+/-),
43
Wheezing (-)
Abdomen: datar, peristaltik (+)
kesan normal, supel, NT (-),
Hepar?Lien: ttb
Eks : Akral hangat, edema (-/-),
eritem Palmaris (-)
A : AIDS stadium III dengan TB
Paru relaps
SpO2: 96%
Activated Attapulgite
Status Generalis: 600mg tablet 3x 2
Kepala/Leher: CA (+/+), SI (-/-), Tab
OC(-), P> KGB (-), Peningkatan
Aspar K 1x1tab
JVP (-)
Thorax: simetris, ikut gerak
napas, regular, fremitus D=S, SN
vesikuler (+/+), Rhonki (+/-),
Wheezing (-)
Abdomen: datar, peristaltik (+)
kesan normal, supel, NT (-),
Hepar/Lien: ttb
Eks : Akral hangat, edema (-/-),
44
eritem Palmaris (-)
A : AIDS stadium III dengan TB
Paru relaps
19-09-2018 S : Lemas (+), Demam (+) naik Planning :
turun, mual muntah (+), Batuk (+) IVFD Nacl 0,9% +
dahak, Mencret 5x sehari cair, isi Neurobion 1 amp
drip (20 tpm)
ampas makanan
BAK : kesan lancar, warna seperti teh Injeksi Ranitidine
O: 50mg amp/12 jam
SpO2: 96%
Activated Attapulgite
Status Generalis: 600mg tablet 3x 2
Kepala/Leher: CA (+/+), SI (-/-), Tab
OC(-), P> KGB (-), Peningkatan
Aspar K 1x1tab
JVP (-)
Thorax: simetris, ikut gerak
napas, regular, fremitus D=S, SN
vesikuler (+/+), Rhonki (+/-),
Wheezing (-)
Abdomen: datar, peristaltik (+)
kesan normal, supel, NT (-),
Hepar/Lien: ttb
Eks : Akral hangat, edema (-/-),
eritem Palmaris (-)
A : AIDS stadium III dengan TB
Paru relaps
20-09-2018 S : Lemas (+), Demam (+) naik Planning :
turun, mual muntah (+), Batuk (+) IVFD Nacl 0,9% +
45
dahak, Mencret 5x sehari cair, isi Neurobion 1 amp
ampas makanan drip (20 tpm)
46
Kes: composmentis, GCS: 15 1gr vial/12 jam
Tanda-tanda vital:
Cotrimoxazole
TD : 100/70 mmHg 480mg tab 2x2 sehari
N : 86x/menit (p.o)
P : 22x/menit
47
S : 37,1 ⁰C Ambroxol 3x1 tab
sehari
SpO2: 96%
Status Generalis: Activated Attapulgite
Kepala/Leher: CA (+/+), SI (-/-), 600mg tablet 3x 2
OC(-), P> KGB (-), Peningkatan Tab
JVP (-)
Thorax: simetris, ikut gerak Aspar K 1x1tab
SpO2: 96%
Activated Attapulgite
Status Generalis: 600mg tablet 3x 2
Kepala/Leher: CA (+/+), SI (-/-), Tab
OC(-), P> KGB (-), Peningkatan
48
JVP (-) Aspar K 1x1tab
Thorax: simetris, ikut gerak
napas, regular, fremitus D=S, SN
vesikuler (+/+), Rhonki (+/-),
Wheezing (-)
Abdomen: datar, peristaltik (+)
kesan normal, supel, NT (-),
Hepar/Lien: ttb
Eks : Akral hangat, edema (-/-),
eritem Palmaris (-)
A : AIDS stadium III dengan TB
Paru relaps
24-09-2018 S : Lemas (+), Demam (+) naik Planning :
turun, mual muntah (+), Batuk (+) IVFD Nacl 0,9% +
dahak, Mencret 5x sehari cair, isi Neurobion 1 amp
drip (20 tpm)
ampas makanan
BAK : kesan lancar, warna seperti teh Injeksi Ranitidine
O: 50mg amp/12 jam
SpO2: 96%
Activated Attapulgite
Status Generalis: 600mg tablet 3x 2
Kepala/Leher: CA (+/+), SI (-/-), Tab
OC(-), P> KGB (-), Peningkatan
Aspar K 1x1tab
JVP (-)
Thorax: simetris, ikut gerak
napas, regular, fremitus D=S, SN
vesikuler (+/+), Rhonki (+/-),
Wheezing (-)
Abdomen: datar, peristaltik (+)
49
kesan normal, supel, NT (-),
Hepar/Lien: ttb
Eks : Akral hangat, edema (-/-),
eritem Palmaris (-)
A : AIDS stadium III dengan
TB Paru relaps
Abses Femoralis (D)
BAB IV
PEMBAHASAN
50
batuk sejak 2 minggu. Batuk disertai sesak terutama saat berbaring dan malam
hari, batuk berlendir warna putih agak kental. Darah dalam dahak tidak ada.
Keringat malam hari ada kadang-kadang, demam tidak terlalu tinggi terutama
sore hari. Keluhan lain yang dialami pasien adalah nyeri pada luka di paha
kanan sejak 1 minggu, luka tersebut tidak sembuh sampai saat ini. Luka
tersebut awalnya benjolan kecil, yang kemudian membengkang, merah, dan
pecah mengeluarkan nanah.
Pasien mengaku pernah minum obat paru selama 6 bulan hingga tuntas di
tahun 2007.
Pada pemeriksaan fisik didapatkan konjungtiva anemis. Tidak
ditemukan oral candidiasis. Sedangkan dari pemeriksaan Laboratorium,
didapatkan kadar hemoglobin 10,6. Hasil pemeriksaan imunologi HIV reaktif.
Hasil sputum TCM/Gen Expert ditemukan bakteri M. Tuberculosis. Dan dari
pemeriksaan Foto thorax PA mendukung adanya infeksi Tb lama aktif
kembali.
Berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang
makan ditegakkan diagnosis pada pasien tersebut adalah Infeksi HIV atau
AIDS stadium III dengan infeksi TB paru Relaps. Hal ini sesuai teori Infeksi
HIV AIDS dengan infeksi uportunistik Tuberkulosis paru.
51
toraks, gambaran TB paru pada odha dengan CD4>200 sel/µL tidak berbeda
dengan non – HIV berupa infiltrat pada lobus atas, kavitas, atau efusi
pleura. Pada ODHA dengan CD < 200 sel/µL, gambaran yang lebih sering
tampak adalah limfadenopati mediastinum dan infiltrat di lobus bawah.
Diagnosis definitif TB pada odha adalah dengan ditemukannya
M.tuberculosis pada kultur jaringan atau specimen sedangkan diagnosis
presumtifnya berdasarkan ditemukannya BTA pada specimen dengan gejala
sesuai TB atau perbaikan gejala setelah terapi kombinasi
52
Di Indonesia, pilihan utama kombinasi obat ARV lini pertama adalah
AZT + 3TC + NVP. Pemantauan hemoglobin dianjurkan pada pemberian AZT
karena dapat menimbulkan anemia. Pada kondisi ini, kombinasi alternatif
yang bisa digunakan adalah d4T + 3TC + NVP. Namun AZT lebih disukai
daripada stavudin (d4T) oleh karena adanya efek toksik d4T seperti
lipodistrofi, asidosis laktat, dan neuropati perifer. Kombinasi AZT + 3TC +
EFZ dapat digunakan bila NVP tidak dapat digunakan.
Regimen pengobatan TB tidak berbeda dengan regimen pengobatan TB
pada kasus non-HIV dengan lama pengobatan 6 bulan seperti tercantum pada
tabel 16. Terapi ARV direkomendasikan untuk semua odha yang menderita TB
dengan CD4 < 200/mm3, dan perlu dipertimbangkan bila CD4 > 350/mm3.
Bila tidak tersedia pemeriksaan CD4, maka terapi ARV direkomendasikan
untuk semua odha dengan TB. Pemberian OAT sebaiknya tidak dimulai
bersama-sama dengan ARV dengan tujuan untuk mengurangi kemungkinan
interaksi obat, dan ketidakpatuhan minum obat.
Pada pasien ini telah diberikan ARV (AZT+3TC+EFZ) sejak tahun
2017 tetapi putus obat dan diberikan FDC OAT selama 6 bulan. Saat ini
pasien diberikan pengobatan simptomatik dan profilaksis infeksi uportunistik.
Medikamentosa yang didapat pasien selama diruangan antara lain: IVFD
Nacl 0,9% + Neurobion 1 amp drip (20 tpm), Injeksi Ranitidine 50mg amp/12
jam, Injeksi Ceftriaxone 1gr vial/12 jam, Cotrimoxazole 480mg tab 2x2 sehari
(p.o) sebagai profilaksis dan pengobatan infeksi uportunistik, Ambroxol 3x1
tab sehari, Activated Attapulgite 600mg tablet 3x 2 Tab, Aspar K 1x1tab, FDC
OAT 1x 4 Tablet.
53
BAB V
KESIMPULAN
54
DAFTAR PUSTAKA
5. Merati TP, Djauzi S. Respon imun infeksi HIV. In: Sudoyo AW,
Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata MK, Setiati S, eds. Buku ajar ilmu
penyakit dalam. 4th ed. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu
Penyakit Dalam FKUI 2006
55
9. Laporan statistik HIV/AIDS di Indonesia. 2009 [cited 2009 March 10].
Available at url: http:/ / www.aidsindonesia.or.id
10.Yayasan Spiritia. Sejarah HIV di Indonesia. 2009 [cited 2009 April 8];
Available from: http://spiritia.or.id/art/bacaart.php?artno=1040
56