Anda di halaman 1dari 56

BAB I

PENDAHULUAN

Acquired Immunodeficiency Syndrome (AIDS) adalah kumpulan


gejala atau penyakit yang diakibatkan karena penurunan kekebalan tubuh
akibat adanya infeksi oleh Human Imunodeficiency Virus (HIV) yang
termasuk famili retroviridae. AIDS merupakan tahap akhir dari infeksi HIV.1
Menurut UNAIDS di tahun 2009 jumlah odha mencapai 33,3 juta,
dengan kasus baru sebanyak 2,6 juta,dan per hari lebih dari 7000 orang telah
terinfeksi HIV, 97 % dari Negara berpenghasilan rendah dan menengah.
Penderitanya sebagian besar adalah wanita sekitar 51 %, usia produktif 41%
( 15-24 th) dan anak-anak. HIV dan AIDS menyebabkan krisis kesehatan,
krisis pembangunan Negara, krisis ekonomi, pendidikan, dan juga krisis
kemanusiaan.1,2
Di Indonesia sendiri, jumlah odha terus meningkat. Data terakhir pada
tahun 2008 menunjukkan bahwa jumlah odha di Indonesia telah mencapai
22.664 orang.3 Di Papua sudah memasuki tingkat epidemi meluas (generalized
epidemic).3 Berdasarkan laporan Departemen Kesehatan, terjadi laju
peningkatan kasus baru AIDS yang semakin cepat terutama dalam 3 tahun
terakhir dimana terjadi kenaikan tiga kali lipat dibanding jumlah yang pernah
dilaporkan pada 15 tahun pertama epidemi AIDS di Indonesia.2
Lima infeksi oportunistik terbanyak yang dilaporkan adalah TBC sebanyak
8.986 kasus, diare kronis 4.542 kasus, kandidiasis orofaringeal 4.479 kasus,
dermatitis generalisata 1.146 kasus, dan limfadenopati generalisata sebanyak
603 kasus.4 Tuberkulosis (TB) merupakan infeksi oportunistik terbanyak pada
odha di Indonesia.TB mempercepat progesivitas infeksi HIV dengan
meningkatkan replikasi HIV dan juga menjadi penyebab kematian tersering
pada pasien HIV. Berlatar belakang dari fakta tersebut maka penulis memilih
judul Seorang penderita HIV/AIDS dengan Infeksi Tuberkulosis Paru Relaps
sebagai laporan kasus.

BAB II

1
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 HIV-AIDS
2.2.1 Definisi1
Acquired Immunodeficiency Syndrome (AIDS) adalah kumpulan
gejala atau penyakit yang diakibatkan karena penurunan kekebalan tubuh
akibat adanya infeksi oleh Human Imunodeficiency Virus (HIV) yang
termasuk famili retroviridae. AIDS merupakan tahap akhir dari infeksi
HIV.1

2.2.2 Epidemiologi1,2
Laporan UNAIDS-WHO menunjukkan bahwa AIDS telah
merenggut lebih dari 25 juta jiwa sejak pertama kali dilaporkan pada tahun
1981. Pada tahun 2009, jumlah odha diperkirakan mencapai 33,3 juta
orang, dengan sebangian besar penderitanya adalah usia produktif , 15,9
juta penderita adalah perempuan dan 2,5 juta adalah anak-anak. Dengan
jumlah kasus baru HIV sebanyak 2.6 juta jiwa. Dari jumlah kasus baru
tersebut, sekitar 370 ribu di antaranya terjadi pada anakanak. Pada tahun
yang sama, lebih dari dua juta orang meninggal karena AIDS.2
Sebagian ODHA pada periode itu berasal dari kalangan
homoseksual. Kemudian jumlah kasus baru HIV/AIDS semakin meningkat
dan sejak pertengahan tahun 1999 mulai terlihat peningkatan tajam yang
terutama disebabkan akibat penularan melalui narkotika suntik.1
Saat ini, perkembangan epidemi HIV di Indonesia termasuk yang
tercepat di Asia. Sebagian besar infeksi baru diperkirakan terjadi pada
beberapa subpopulasi berisiko tinggi (dengan prevalensi > 5%) seperti
pengguna narkotika suntik (penasun), wanita penjaja seks (WPS), dan
waria. Di beberapa propinsi seperti DKI Jakarta, Riau, Bali, Jabar dan
Jawa Timur telah tergolong sebagai daerah dengan tingkat epidemi
terkonsentrasi (concentrated level of epidemic).3
Di Papua sudah memasuki tingkat epidemi meluas (generalized
epidemic).3 Berdasarkan laporan Departemen Kesehatan, terjadi laju
peningkatan kasus baru AIDS yang semakin cepat terutama dalam 3 tahun
terakhir dimana terjadi kenaikan tiga kali lipat dibanding jumlah yang

2
pernah dilaporkan pada 15 tahun pertama epidemi AIDS di Indonesia.
Dalam 10 tahun terakhir terjadi laju peningkatan jumlah kumulatif kasus
AIDS dimana pada tahun 1999 terdapat 352 kasus dan data tahun 2008
jumlah tersebut telah mencapai angka 16.110 kasus.3
Dari jumlah kumulatif 16.110 kasus AIDS yang dilaporkan pada
Desember 2008, sekitar 74,9% adalah laki-laki dan 24,6% adalah
perempuan. Berdasarkan cara penularan, dilaporkan 48% pada
heteroseksual; 42,3% pada pengguna narkotika suntik; 3,8% pada
homoseksual dan 2,2% pada transmisi perinatal. Hal ini menunjukkan
adanya pergeseran dari dominasi kelompok homoseksual ke kelompok
heteroseksual dan penasun. Jumlah kasus pada kelompok penasun hingga
akhir tahun 2008 mencapai 1.255 orang. Kumulatif kasus AIDS tertinggi
dilaporkan pada kelompok usia 20–29 tahun (50,82%), disusul kelompok
usia 30–39 tahun.4
Dari 33 propinsi seluruh Indonesia yang melaporkan, peringkat
pertama jumlah kumulatif kasus AIDS berasal dari propinsi Jawa Barat
sebesar 2.888 kasus, disusul DKI Jakarta dengan 2.781 kasus, kemudian
diikuti oleh Jawa Timur, Papua, dan Bali dengan masing-masing jumlah
kasus secara berurutan sebesar 2.591 kasus, 2.382 kasus, dan 1.177 kasus
AIDS.4
Rate kumulatif nasional kasus AIDS per 100.000 penduduk hingga
akhir Desember 2008 adalah sebesar 7,12 per 100.000 penduduk (dengan
jumlah penduduk Indonesia 227.132.350 jiwa berdasarkan data BPS tahun.
Proporsi kasus yang dilaporkan meninggal sebesar 20,89%. Lima infeksi
oportunistik terbanyak yang dilaporkan adalah TBC sebanyak 8.986 kasus,
diare kronis 4.542 kasus, kandidiasis orofaringeal 4.479 kasus, dermatitis
generalisata 1.146 kasus, dan limfadenopati generalisata sebanyak 603
kasus.4

2.2.3 Etiologi3
AIDS disebabkan oleh infeksi HIV. HIV adalah suatu virus RNA
berbentuk sferis yang termasuk retrovirus dari famili Lentivirus. (Gambar

3
1). Strukturnya tersusun atas beberapa lapisan dimana lapisan terluar
(envelop) berupa glikoprotein gp120 yang melekat pada glikoprotein gp41.
Selubung glikoprotein ini berafinitas tinggi terhadap molekul CD4 pada
permukaan T-helper lymphosit dan monosit atau makrofag. Lapisan kedua
di bagian dalam terdiri dari protein p17. Inti HIV dibentuk oleh protein
p24. Di dalam inti ini terdapat dua rantai RNA dan enzim transkriptase
reverse (reverse transcriptase enzyme).5

Gambar 1: struktur virus HIV-1

Sumber :
Fauci AS at al, 2005

Ada dua tipe HIV yang dikenal yakni HIV-1 dan HIV-2. Epidemi HIV
global terutama disebabkan oleh HIV-1 sedangkan tipe HIV-2 tidak terlalu
luas penyebarannya. Tipe yang terakhir ini hanya terdapat di Afrika Barat dan
beberapa negara Eropa yang berhubungan erat dengan Afrika Barat.5

2.2.4 Cara Penularan4


Infeksi HIV terjadi melalui tiga jalur transmisi utama yakni
transmisi melalui mukosa genital (hubungan seksual) transmisi langsung
ke peredaran darah melalui jarum suntik yang terkontaminasi atau melalui

4
komponen darah yang terkontaminasi, dan transmisi vertikal dari ibu ke
janin. CDC pernah melaporkan adanya penularan HIV pada petugas
kesehatan.

Tabel 1 : Risiko penularan HIV dari cairan tubuh


.
Risiko Risiko masih sulit Risiko rendah selama tidak
tinggi ditentukan terkontaminasi darah

Darah, Cairan amnion Cairan Mukosa seriks


serum serebrospinal Cairan Muntah
Semen pleura Feses
Sputum Cairan peritoneal Saliva
Sekresi Cairan perikardial Keringat
vagina Cairan synovial Air mata
Urin
Sumber : Djauzi S, 2012

Sebenarnya risiko penularan HIV melalui tusukan jarum maupun


percikan cairan darah sangat rendah. Risiko penularan melalui perlukaan
kulit (misal akibat tusukan jarum atau luka karena benda tajam yang
tercemar HIV) hanya sekitar 0,3% sedangkan risiko penularan akibat
terpercik cairan tubuh yang tercemar HIV pada mukosa sebesar 0,09%. 4

2.2.5 Patogenesis2,4
Limfosit CD4+ (sel T helper atau Th) merupakan target utama
infeksi HIV karena virus mempunyai afinitas terhadap molekul permukaan
CD4. Limfosit CD4+ berfungsi mengkoordinasikan sejumlah fungsi
imunologis yang penting sehingga bila terjadi kehilangan fungsi tersebut
maka dapat menyebabkan gangguan imun yang progresif.1
Namun beberapa sel lainnya yang dapat terinfeksi yang ditemukan
secara in vitro dan invivo adalah megakariosit, epidermal langerhans,
peripheral dendritik, folikular dendritik, mukosa rectal, mukosa saluran
cerna, sel serviks, mikrogilia, astrosit, sel trofoblast, limfosit CD8, sel
retina dan epitel ginjal.

5
Infeksi HIV terjadi melalui molekul CD4 yang merupakan reseptor
utama HIV dengan bantuan ko-reseptor kemokin pada sel T atau monosit,
atau melalui kompleks molekul adhesi pada sel dendrit. Kompleks molekul
adhesi ini dikenal sebagai dendritic-cell specific intercellular adhesion
molecule-grabbing nonintegrin (DC-SIGN). Akhir-akhir ini diketahui
bahwa selain molekul CD4 dan ko-reseptor kemokin, terdapat integrin
sebagai reseptor penting lainnya untuk HIV. Antigen gp120 yang berada
pada permukaan HIV akan berikatan dengan CD4 serta ko-reseptor
kemokin CXCR4 dan CCR5, dan dengan mediasi antigen gp41 virus, akan
terjadi fusi dan internalisasi HIV.3
Di dalam sel CD4, sampul HIV akan terbuka dan RNA yang
muncul akan membuat salinan DNA dengan bantuan enzim transkriptase
reversi. Selanjutnya salinan DNA ini akan berintegrasi dengan DNA
pejamu dengan bantuan enzim integrase. DNA virus yang terintegrasi ini
disebut sebagai provirus. Setelah terjadi integrasi, provirus ini akan
melakukan transkripsi dengan bantuan enzim polimerasi sel host menjadi
mRNA untuk selanjutnya mengadakan transkripsi dengan protein-protein
struktur sampai terbentuk protein. mRNA akan memproduksi semua
protein virus. Genomik RNA dan protein virus ini akan membentuk
partikel virus yang nantinya akan menempel pada bagian luar sel. Melalui
proses budding pada permukaan membran sel, virion akan dikeluarkan dari
sel inang dalam keadaan matang. Sebagian besar replikasi HIV terjadi di
kelenjar getah bening, bukan di peredaran darah tepi.3

6
Gambar 2 : Visualisasi siklus HIV

Pada pemeriksaan laboratorium yang umum dilakukan untuk


melihat defisiensi imun, akan terlihat gambaran penurunan hitung sel
CD4, inverse rasio CD4-CD8 dan hipergammaglobulinemia. Respon
imun humoral terhadap virus HIV dibentuk terhada berbagai antigen
HIV seperti antigen inti (p24) dan sampul virus (gp21, gp41).
Antibodi muncul di sirkulasi dalam beberapa minggu setelah infeksi.
Secara umum dapat dideteksi pertama kali sejak 2 minggu
hingga 3 bulan setelah terinfeksi HIV. Masa tersebut disebut masa
jendela. Antigen gp120 dan bagian eksternal gp21 akan dikenal oleh
sistem imun yang dapat membentuk antibodi netralisasi terhadap
HIV. Namun, aktivitas netralisasi antibodi tersebut tidak dapat
mematikan virus dan hanya berlangsung dalam masa yang pendek.
Sedangkan respon imun selular yang terjadi berupa reaksi cepat sel
CTL (sel T sitolitik yang sebagian besar adalah sel T CD8).
Walaupun jumlah dan aktivitas sel T CD8 ini tinggi tapi ternyata
tidak dapat menahan terus laju replikasi HIV.1
Perjalanan penyakit infeksi HIV disebabkan adanya gangguan
fungsi dan kerusakan progresif populasi sel T CD4. Hal ini
meyebabkan terjadinya deplesi sel T CD4. Selain itu, terjadi juga

7
disregulasi repsons imun sel T CD4 dan proliferasi CD4 jarang
terlihat pada pasien HIV yang tidak mendapat pengobatan
antiretrovirus.1

2.2.6 Perjalanan Penyakit1,2


Dalam tubuh odha, partikel virus bergabung dengan DNA sel
pasien, sehingga satu kali seseorang terinfeksi HIV, seumur hidup ia akan
tetap terinfeksi. Sebagian berkembang masuk tahap AIDS pada 3 tahun
pertama, 50% berkembang menjadi pasien AIDS sesudah 10 tahun, dan
sesudah 13 tahun hampir semua orang yang terinfeksi HIV menunjukkan
gejala AIDS, dan kemudian meninggal. Perjalanan penyakit tersebut
menunjukkan gambaran penyakit yang kronis, sesuai dengan perusakan
sistem kekebalan tubuh yang juga bertahap.1,2
Dari semua orang yang terinfeksi HIV, lebih dari separuh akan
menunjukkan gejala infeksi primer yang timbul beberapa hari setelah
infeksi dan berlangsung selama 2-6 minggu. Gejala yang terjadi adalah
demam, nyeri menelan, pembengkakan kelenjar getah bening, ruam, diare,
atau batuk dan gejala-gejala ini akan membaik dengan atau tanpa
pengobatan.1
Setelah infeksi akut, dimulailah infeksi HIV asimtomatik (tanpa
gejala) yang berlangsung selama 8-10 tahun. Tetapi ada sekelompok kecil
orang yang perjalanan penyakitnya amat cepat, dapat hanya sekitar 2
tahun, dan ada pula perjalanannya lambat (non-progessor). Sejalan dengan
memburuknya kekebalan tubuh, odha mulai menampakkan gejala-gejala
akibat infeksi oportunistik seperti berat badan menurun, demam lama, rasa
lemah, pembesaran kelenjar getah bening, diare, tuberkulosis, infeksi
jamur, herpes dan lain-lainnya.1,2

Table 2. Gejala klinis infeksi primer HIV

8
Kelompok Gejala Kekerapan (%)
Umum Demam 90
Nyeri otot 54
Nyeri sendi -
Rasa lemah -
Mukokutan Ruam kulit 70
Ulkus di mulut 12
Limfadenopati 74
Neurologi Nyeri kepala 32
Nyeri belakang mata -
Fotofobia -
Depresi -
Meningitis 12
Saluran cerna Anoreksia -
Nausea -
Diare 32
Jamur di mulut 12
Sumber : (Djauzi S, 2002)

Tanpa pengobatan ARV, sistem kekebalan tubuh orang yang terinfeksi


HIV akan memburuk bertahap meski selama beberapa tahun tidak bergejala.
Pada akhirnya, odha akan menunjukkan gejala klinik yang makin berat. Hal
ini berarti telah masuk ke tahap AIDS. Terjadinya gejala-gejala AIDS
biasanya didahului oleh akselerasi penurunan jumlah limfosit CD4.
Perubahan ini diikuti oleh gejala klinis menghilangnya gejala limfadenopati
generalisata yang disebabkan hilangnya kemampuan respon imun seluler
untuk melawan turnover HIV dalam kelenjar limfe.4
Pada waktu orang dengan infeksi HIV masih merasa sehat, klinis tidak
menunjukkan gejala, pada waktu itu terjadi replikasi HIV yang tinggi, 10
partikel setiap hari. Replikasi yang cepat ini disertai dengan mutasi HIV dan
seleksi, muncul HIV yang resisten. Bersamaan dengan replikasi HIV, terjadi
kehancuran limfosit CD4 yang tinggi, untungnya tubuh masih bisa
mengkompensasi dengan memproduksi limfosit CD4 sekitar 10 miliar sel
setiap hari.4

Pejalanan penyakit lebih progresif pada pengguna narkotika. Lebih


dari 80% pengguna narkotika terinfeksi virus hepatitis C. Infeksi pada katup

9
jantung juga adalah penyakit yang dijumpai pada ODHA pengguna narkotika
dan biasanya tidak ditemukan pada ODHA yang tertular dengan cara lain.
Lamanya pengguna jarum suntik berbanding lurus dengan infeksi pneumonia
dan tuberkulosis. Makin lama seseorang menggunkan narkotika suntikan,
makin mudah ia terkena pneumonia dan tuberkulosis. Infeksi secara
bersamaan ini akan menimbulkan efek yang buruk. Infeksi oleh kuman
penyakit lain akan menyebabkan virus HIV membelah dengan lebih cepat
sehingga jumlahnya akan meningkat pesat. Selain itu juga dapat menyebabkan
reaktivasi virus di dalam limfosit T. Akibatnya perjalanan penyakitnya
biasanya lebih progresif.

2.2.7 Diagnosis3,4

1. Anamnesis

Anamnesis yang lengkap termasuk risiko pajanan HIV , pemeriksaan


fisik, pemeriksaan laboratorium, dan konseling perlu dilakukan pada setiap
odha saat kunjungan pertama kali ke sarana kesehatan. Hal ini dimaksudkan
untuk menegakkan diagnosis, diperolehnya data dasar mengenai pemeriksaan
fisik dan laboratorium, memastikan pasien memahami tentang infeksi HIV,
dan untuk menentukan tata laksana selanjutnya. Dari Anamnesis, perlu digali
faktor resiko HIV AIDS, Berikut ini mencantumkan, daftar tilik riwayat
penyakit pasien dengan tersangaka ODHA (table 3 dan table 4).

Tabel 3. Faktor risiko infeksi HIV

- Penjaja seks laki-laki atau perempuan


- Pengguna napza suntik (dahulu atau sekarang)

10
- Laki-laki yang berhubungan seks dengan sesama laki-laki
(LSL) dan transgender (waria)
Pernah berhubungan seks tanpa pelindung dengan penjaja seks
-
komersial
Pernah atau sedang mengidap penyakit infeksi menular
-
seksual (IMS)
Pernah mendapatkan transfusi darah atau resipient produk
-
darah
- Suntikan, tato, tindik, dengan menggunakan alat non steril.

Sumber : Depkes RI 2007

2.7.2 Pemeriksaan fisik6,7

Gambaran klinis yang terjadi umumnya akibat adanya infeksi


oportunistik atau kanker yang terkait dengan AIDS seperti sarkoma Kaposi,
limfoma malignum dan karsinoma serviks invasif. Daftar tilik pemeriksaan
fisik pada pasien dengan kecurigaan infeksi HIV dapat dilihat pada tabel 6. Di
RS Dr. Cipto Mangkusumo (RSCM) Jakarta, gejala klinis yang sering
ditemukan pada odha umumnya berupa demam lama, batuk, adanya
penurunan berat badan, sariawan, dan diare, seperti pada tabel 5

Tabel 5. Gejala AIDS di RS. Dr. Cipto Mangunkusumo


Gejala Frekuensi
Demam lama 100 %
Batuk 90,3 %
Penurunan berat badan 80,7 %
Sariawan dan nyeri menelan 78,8 %
Diare 69,2 %
Sesak napas 40,4 %
Pembesaran kelenjar getah bening 28,8 %
Penurunan kesadaran 17,3 %
Gangguan penglihatan 15,3 %
Neuropati 3,8 %

2.7.3 Pemeriksaan penunjang7,8

Untuk memastikan diagnosis terinfeksi HIV, dilakukan dengan


pemeriksaan laboratorium yang tepat. Pemeriksaan dapat dilakukan antara lain
dengan pemeriksaan antibodi terhadap HIV, deteksi virus atau komponen virus

11
HIV (umumnya DNA atau RNA virus) di dalam tubuh yakni melalui
pemeriksaan PCR untuk menentukan viral load, dan tes hitung jumlah limfosit
Sedangkan untuk kepentingan surveilans, diagnosis HIV ditegakkan apabila
terdapat infeksi oportunistik atau limfosit CD4+ kurang dari 200 sel/mm3
Tabel 7. Anjuran pemeriksaan laboratorium yang perlu dilakukan pada odha

Tes antibodi terhadap HIV (AI);


Tes Hitung jumlah sel T CD4 T (AI);
HIV RNA plasma (viral load) (AI);
Pemeriksaan darah perifer lengkap, profil kimia, SGOT, SGPT, BUN dan
kreatinin, urinalisis, tes mantux, serologi hepatitis A, B, dan C, anti-
Toxoplasma gondii IgG, dan pemeriksaan Pap-smear pada perempuan (AIII);
Pemeriksaan kadar gula darah puasa dan profil lipid pada pasien dengan risiko
penyakit kardiovaskular dan sebagai penilaian awal sebelum inisasi kombinasi
terapi (AIII);

Pemeriksaan anti HIV dilakukan setelah dilakukan konseling pra-tes


dan biasanya dilakukan jika ada riwayat perilaku risiko (terutama hubungan
seks yang tidak aman atau penggunaan narkotika suntikan). Tes HIV juga
dapat ditawarkan pada mereka dengan infeksi menular seksual, hamil,
mengalami tuberkulosis aktif, serta gejala dan tanda yang mengarah adanya
infeksi HIV. Hasil pemeriksaan pada akhirnya akan diberitahukan, untuk itu,
konseling pasca tes juga diperlukan. Jadi, pemeriksaan HIV sebaiknya
dilakukan dengan memenuhi 3C yakni confidential (rahasia), disertai dengan
counselling (konseling), dan hanya dilakukan dengan informed consent.1

Tes penyaring standar anti-HIV menggunakan metode ELISA yang


memiliki sensitivitas tinggi (> 99%). Jika pemeriksaan penyaring ini
menyatakan hasil yang reaktif, maka pemeriksaan dapat dilanjutkan dengan
pemeriksaan konfirmasi untuk memastikan adanya infeksi oleh HIV. Uji
konfirmasi yang sering dilakukan saat ini adalah dengan teknik Western Blot
(WB). Hasil tes positif palsu dapat disebabkan adanya otoantibodi, penerima
vaksin HIV, dan kesalahan teknik pemeriksaan. Hasil tes positif pada bayi
yang lahir dari ibu HIV positif belum tentu berarti tertular mengingat adanya
IgG terhadap HIV yang berasal dari darah ibu. IgG ini dapat bertahan selama

12
18 bulan sehingga pada kondisi ini, tes perlu diulang pada usia anak > 18
bulan.1,2

Hasil tes dinyatakan positif bila tes penyaring dua kali positif
ditambah dengan tes konfirmasi dengan WB positif. Di negara-negara
berkembang termasuk Indonesia, pemeriksaan WB masih relatif mahal
sehingga tidak mungkin dilakukan secara rutin. WHO menganjurkan strategi
pemeriksaan dengan kombinasi dari pemeriksaan penyaring yang tidak
melibatkan pemeriksaan WB sebagai konfirmasi. Di Indonesia, kombinasi
yang digunakan adalah tiga kali positif pemeriksaan penyaring dengan
menggunakan strategi 3. Bila hasil tes tidak sama missal hasil tes pertama
reaktif, tes kedua reaktif, dan yang ketiga nonreaktif atau apabila hasil tes
pertama reaktif, kedua dan ketiga non-reaktif, maka keadaan ini disebut
sebagai indeterminate dengan catatan orang tersebut memiliki riwayat pajanan
atau berisiko tinggi tertular HIV. Bila orang tersebut tanpa riwayat pajanan
atau tidak memiliki risiko tertular, maka hasil pemeriksaan dilaporkan sebagai
non-reaktif.1,2

Table 8 : Alogaritma pemeriksaan HIV

13
2.7.4 Penilaian Klinis3

Penilaian klinis yang perlu dilakukan setelah diagnosis HIV


ditegakkan meliputi penentuan stadium klinis infeksi HIV, mengidentifikasi
penyakit yang berhubungan dengan HIV di masa lalu, mengidentifikasi
penyakit yang terkait dengan HIV saat ini yang membutuhkan pengobatan,
mengidentifikasi kebutuhan terapi ARV dan infeksi oportunistik, serta
mengidentifikasi pengobatan lain yang sedang dijalani yang dapat
mempengaruhi pemilihan terapi.3

14
2.7.5 Stadium Klinis7,8

WHO membagi HIV/AIDS menjadi empat stadium klinis yakni


stadium I (asimtomatik), stadium II (sakit ringan), stadium III (sakit sedang),
dan stadium IV (sakit berat atau AIDS), lihat table 9. Bersama dengan hasil
pemeriksaan jumlah sel T CD4, stadium klinis ini dapat dijadikan sebagai
panduan untuk memulai terapi profilaksis infeksi oportunistik dan memulai
atau mengubah terapi ARV.
AIDS merupakan manifestasi lanjutan HIV. Selama stadium individu
bisa saja merasa sehat dan tidak curiga bahwa mereka penderita penyakit.
Pada stadium lanjut, system imun individu tidak mampu lagi menghadapi
infeksi Opportunistik dan mereka terus menerus menderita penyakit minor dan
mayor Karen tubuhnya tidak mampu memberikan pelayanan.
Angka infeksi pada bayi sekitar 1 dalam 6 bayi. Pada awal terinfeksi,
memang tidak memperlihatkan gejala-gejala khusus. Namun beberapa minggu
kemudian orang tua yang terinfeksi HIV akan terserang penyakit ringan
seharihari seperti flu dan diare. Penderita AIDS dari luar tampak sehat. Pada
tahun ke 34 penderita tidak memperlihatkan gejala yang khas. Sesudah tahun
ke 5-6 mulai timbul diare berulang, penurunan berat badan secara mendadak,
sering sariawan di mulut dan terjadi pembengkakan didaerah kelenjar getah
bening. Jika diuraikan tanpa penanganan medis, gejala PMS akan berakibat
fatal.
Infeksi HIV memberikan gambaran klinik yang tidak spesifik dengan
spectrum yang lebar, mulai dari infeksi tanpa gejala (asimtomatif) pada
stadium awal sampai dengan gejala-gejala yang berat pada stadium yang lebih
lanjut. Perjalanan penyakit lambat dan gejala-gejala AIDS rata-rata baru
timbul 10 tahun sesudah infeksi, bahkan dapat lebih lama lagi.
Faktor-faktor yang mempengaruhi berkembangnya HIV menjadi
AIDS belum diketahui jelas. Diperkirakan infeksi HIV yang berulang – ulang
dan pemaparan terhadap infeksi-infeksi lain mempengaruhi perkembangan
kearah AIDS. Menurunnya hitungan sel CDA di bawah 200/ml menunjukkan
perkembangan yang semakin buruk. Keadaan yang buruk juga ditunjukkan
oleh peningkatan B2 mikro globulin dan juga peningkatan I9A.

15
Perjalan klinik infeksi HIV telah ditemukan beberapa klasifikasi yaitu :
a. Infeksi Akut : CD4 : 750 – 1000
Gejala infeksi akut biasanya timbul sedudah masa inkubasi selama 1-3
bulan. Gejala yang timbul umumnya seperti influenza, demam, atralgia,
anereksia, malaise, gejala kulit (bercak-bercak merah, urtikarta), gejala
syaraf (sakit kepada, nyeri retrobulber, gangguan kognitif danapektif),
gangguan gas trointestinal (nausea, diare). Pada fase ini penyakit tersebut
sangat menular karena terjadi viremia. Gejala tersebut diatas merupakan
reaksi tubuh terhadap masuknya unis yang berlangsung kira-kira 1-2
minggu.
b. Infeksi Kronis Asimtomatik : CD4 > 500/ml
Setelah infeksi akut berlalu maka selama bertahun-tahun kemudian,
umumnya sekitar 5 tahun, keadaan penderita tampak baik saja, meskipun
sebenarnya terjadi replikasi virus secara lambat di dalam tubuh. Beberapa
penderita mengalami pembengkakan kelenjar lomfe menyeluruh, disebut
limfa denopatio (LEP), meskipun ini bukanlah hal yang bersifat prognostic
dan tidak terpengaruh bagi hidup penderita. Saat ini sudah mulai terjadi
penurunan jumlah sel CD4 sebagai petunjuk menurunnya kekebalan tubuh
penderita, tetapi masih pada tingkat 500/ml.
c. Infeksi Kronis Simtomatik
Fase ini dimulai rata-rata sesudah 5 tahun terkena infeksi HIV. Berbagai
gejala penyakit ringan atau lebih berat timbul pada fase ini, tergantung
pada tingkat imunitas pemderita.
1) Penurunan Imunitas sedang : CD4 200 – 500
Pada awal sub-fase ini timbul penyakit-penyakit yang lebih ringan
misalnya reaktivasi dari herpes zoster atau herpes simpleks. Namun dapat
sembuh total atau hanya dengan pengobatan biasa. Keganasan juga dapat
timbul pada fase yang lebih lanjut dari sub-fase ini dan dapat berlanjut ke
sub fase berikutnya, demikian juga yang disebut AIDS-Related (ARC).
2) Penurunan Imunitas berat : CD4 < 200
Pada sub fase ini terjadi infeksi oportunistik berat yang sering mengancam
jiwa penderita. Keganasan juga timbul pada sub fase ini, meskipun sering

16
pada fase yang lebih awal. Viremia terjadi untuk kedua kalinya dan telah
dikatakan tubuh sudah dalam kehilangan kekebalannya.
Sindrom klinis stadium simptomatik yang utama:

• Limfadenopati Generalisata yang menetap


• Gejala konstutional: Demam yang menetap > 1 bulan, penurunan BB
involunter > 10% dari nilai basal, dan diare >1 bulan tanpa penyebab
jelas.
• Kelainan neurologis: Ensefalopati HIV, limfoma SSP primer,
meningitis aseptik, mielopati, neuropati perifer, miopati.
• Penyakit infeksiosa sekunder: pneumonia, Candida albicans, M.
Tuberculosis, Cryptococcus neoformans, Toxxoplasma gondii, Virus
Herpes simpleks
• Neoplasma Sekunder: Sarkoma Kaposi (kulit dan viseral), neoplasma
limfoid
• Kelainan lain: Sindrom spesifik organ sebagai manifestasi prmer
penderita TB atau komplikasi

Untuk memastikan apakah seseorang kemasukan virus HIV, ia harus


memeriksakan darahnya dengan tes khusus dan berkonsultasi dengan dokter.
Jika dia positif mengidap AIDS, maka akan timbul gejala-gejala yang disebut
degnan ARC (AIDS Relative Complex) Adapun gejala-gejala yang biasa
nampak pada penderita AIDS adalah:
a. Dicurigai AIDS pada orang dewasa bila ada paling sedikit dua gejala mayor
dan satu gejala minor dan tidak ada sebab-sebab imunosupresi yang lain
seperti kanker,malnutrisi berat atau pemakaian kortikosteroid yang lama.
1. Gejala Mayor
Penurunan berat badan lebih dari 10%
Diare kronik lebih dari satu bulan
Demam lebih dari satu bulan
2. Gejala Minor
Batuk lebih dari satu bulan
Dermatitis preuritik umum
Herpes zoster recurrens
Kandidias orofaring

17
Limfadenopati generalisata
Herpes simplek diseminata yang kronik progresif
b. Dicurigai AIDS pada anak. Bila terdapat paling sedikit dua gejala mayor
dan dua gejala minor, dan tidak terdapat sebab – sebab imunosupresi yang
lain seperti kanker, malnutrisi berat, pemakaian kortikosteroid yang lama atau
etiologi lain.
1. Gejala Mayor
Penurunan berat badan atau pertmbuhan yang lambat dan abnormal
Diare kronik lebih dari 1bulan
Demam lebih dari1bulan
2. Gejala minor
Limfadenopati generalisata
Kandidiasis oro-faring
Infeksi umum yang berulang
Batuk parsisten
Dermatitis

2.7.6 Penilaian Imunologi4,5


Tes hitung jumlah sel T CD4 merupakan cara yang terpercaya dalam
menilai status imunitas odha dan memudahkan kita untuk mengambil keputusan
dalam memberikan pengobatan ARV. Tes CD4 ini juga digunakan sebagai
pemantau respon terapi ARV. Namun yang penting diingat bahwa meski tes CD4
dianjurkan, bilamana tidak tersedia, hal ini tidak boleh menjadi penghalang atau
menunda pemberian terapi ARV. CD4 juga digunakan sebagai pemantau respon
terapi ARV. Pemeriksaan jumlah limfosit total (Total Lymphocyte Count – TLC)
dapat digunakan sebagai indikator fungsi imunitas jika tes CD4 tidak tersedia
namun TLC tidak dianjurkan untuk menilai respon terapi ARV atau sebagai dasar
menentukan kegagalan terapi ARV. 3

Tabel 9. Stadium klinis HIV3,8

Stadium 1 Asimptomatik

18
Tidak ada penurunan berat badan
Tidak ada gejala atau hanya : Limfadenopati Generalisata Persisten

Stadium 2 Sakit ringan


Penurunan BB 5-10%
ISPA berulang, misalnya sinusitis atau otitis
Herpes zoster dalam 5 tahun terakhir
Luka di sekitar bibir (keilitis angularis)
Ulkus mulut berulang
Ruam kulit yang gatal (seboroik atau prurigo -PPE)
Dermatitis seboroik
Infeksi jamur kuku
Stadium 3 Sakit sedang
Penurunan berat badan > 10%
Diare, Demam yang tidak diketahui penyebabnya, lebih dari 1 bulan
Kandidosis oral atau vaginal
Oral hairy leukoplakia
TB Paru dalam 1 tahun terakhir
Infeksi bakterial yang berat (pneumoni, piomiositis, dll)
TB limfadenopati
Gingivitis/Periodontitis ulseratif nekrotikan akut
Anemia (Hb <8 g%), netropenia (<5000/ml), trombositopeni kronis
(<50.000/ml)
Stadium 4 Sakit berat (AIDS)
Sindroma wasting HIV
Pneumonia pnemosistis*, Pnemoni bakterial yang berat berulang
Herpes Simpleks ulseratif lebih dari satu bulan.
Kandidosis esophageal
TB Extraparu*
Sarkoma kaposi
Retinitis CMV*
Abses otak Toksoplasmosis*
Encefalopati HIV
Meningitis Kriptokokus*
Infeksi mikobakteria non-TB meluas
Sumber : Depkes RI, 2007

2. 8 Penatalaksanaan3,6

HIV/AIDS sampai saat ini memang belum dapat disembuhkan secara


total. Namun data selam 8 tahun terakhir menunjukkan bukti yang amat
meyakinkan bahwa pegobatan dengan menggunakan kombinasi beberapa

19
obat anti HIV bermanfaat untuk menurunkan morbiditas dan mortalitas dini
akibat infeksi HIV.3 Secara umum, penatalaksanaan odha terdiri atas beberapa
jenis, yaitu:
a) Pengobatan untuk menekan replikasi virus HIV dengan obat
antiretroviral (ARV).
b) Pengobatan untuk mengatasi berbagai penyakit infeksi dan kanker yang
menyertai infeksi HIV/AIDS, seperti jamur, tuberkulosis, hepatitis,
toksoplasmosis, sarkoma kaposi, limfoma, kanker serviks.
• Pengobatan suportif, yaitu makanan yang mempunyai nilai gizi yang
Kelompok non-nucleoside reverse transcriptase inhibitors (NNRTI)
seperti evafirens dan nevirapin

• Kelompok protease inhibitors (PI) seperti sakuinavir, ritonavir,


nelvinavir, amprenavir.

2.8.1 Terapi Antiretroviral (ARV)

Secara umum, obat ARV dapat dibagi dalam 3 kelompok besar yakni
Kelompok nucleoside reverse transcriptase inhibitors (NRTI) seperti:
zidovudin, zalsitabin, stavudin, lamivudin, didanosin, abakavir. Waktu
memulai terapi ARV harus dipertimbangkan dengan seksama karena obat
antiretroviral akan diberikan dalam jangka panjang. Proses memulai terapi
ARV meliputi penilaian terhadap kesiapan pasien untuk memulai terapi ARV
dan pemahaman tentang tanggung jawab selanjutnya (terapi seumur hidup,
adherence, toksisitas). Jangkauan pada dukungan gizi dan psikososial,
dukungan keluarga atau sebaya juga menjadi hal penting yang tidak boleh
dilupakan ketika membuat keputusan untuk memulai terapi ARV3

Dalam hal tidak tersedia tes CD4, semua pasien dengan stadium 3 dan 4 harus
memulai terapi ARV. Pasien dengan stadium klinis 1 dan 2 harus dipantau
secara seksama, setidaknya setiap 3 bulan sekali untuk pemeriksaan medis
lengkap atau manakala timbul gejala atau tanda klinis yang baru.Adapun

20
terapi HIV-AIDS berdasarkan stadiumnya seperti pada tabel 10. (Depkes RI,
2007)

Tabel 10. Terapi pada ODHA dewasa


Stadium Jika tidak tersedia
Bila tersedia pemeriksaan CD4
Klinis pemeriksaan CD4
Terapi ARV tidak
1
Terapi antiretroviral dimulai bila CD4 diberikan
<200 Bila jumlah total limfosit
2
<1200
Jumlah CD4 200 – 350/mm3,
pertimbangkan terapi sebelum CD4
<200/mm3.
Pada kehamilan atau TB: Terapi ARV dimulai tanpa
3 • Mulai terapi ARV pada semua ibu memandang jumlah
hamil dengan CD4 350 limfosit total
• Mulai terapi ARV pada semua
ODHA dengan CD4 <350 dengan TB
paru atau infeksi bakterial berat
Terapi ARV dimulai tanpa memandang
4
jumlah CD4

1. CD4 dianjurkan digunakan untuk membantu menentukan mulainya terapi.


Contoh, TB paru dapat muncul kapan saja pada nilai CD4 berapapun dan
kondisi lain yang menyerupai penyakit yang bukan disebabkan oleh HIV
(misal, diare kronis, demam berkepanjangan).
2. Nilai yang tepat dari CD4 di atas 200/mm3 di mana terapi ARV harus dimulai
belum dapat ditentukan.
3. Jumlah limfosit total ≤1200/mm3 dapat dipakai sebagai pengganti bila
pemeriksaan CD4 tidak dapat dilaksanakan dan terdapat gejala yang berkaitan
dengan HIV (Stadium II atau III). Hal ini tidak dapat dimanfaatkan pada
ODHA asimtomatik. Maka, bila tidak ada pemeriksaan CD4, ODHA
asimtomatik (Stadium I) tidak boleh diterapi karena pada saat ini belum ada
petanda lain yang terpercaya di daerah dengan sumber daya terbatas.

Bila terdapat tes untuk hitung CD4, saat yang paling tepat untuk
memulai terapi ARV adalah sebelum pasien jatuh sakit atau munculnya IO
yang pertama. Perkembangan penyakit akan lebih cepat apabila terapi Arv

21
dimulai pada saat CD4 < 200/mm3 dibandingkan bila terapi dimulai pada CD4
di atas jumlah tersebut. Apabila tersedia sarana tes CD4 maka terapi ARV
sebaiknya dimulai sebelum CD4 kurang dari 200/mm3. Waktu yang paling
optimum untuk memulai terapi ARV pada tingkat CD4 antara 200- 350/mm3
masih belum diketahui, dan pasien dengan jumlah CD4 tersebut perlu
pemantauan teratur secara klinis maupun imunologis.3
Terapi ARV dianjurkan pada pasien dengan TB paru atau infeksi
bakterial berat dan CD4 < 350/mm3. Juga pada ibu hamil stadium klinis
manapun dengan CD4 < 350 / mm3. Keputusan untuk memulai terapi ARV
pada ODHA dewasa dan remaja didasarkan pada pemeriksaan klinis dan
imunologis. Namun Pada keadaan tertentu maka penilaian klinis saja dapat
memandu keputusan memulai terapi ARV. Mengukur kadar virus dalam darah
(viral load) tidak dianjurkan sebagai pemandu keputusan memulai terapi.3,4
Terapi ARV sebaiknya jangan dimulai bila terdapat keadaan infeksi
oportunistik yang aktif. Pada prinsipnya, IO harus diobati atau diredakan dulu.
Namun pada kondisi-kondisi dimana tidak ada lagi terapi yang efektif selain
perbaikan fungsi kekebalan dengan ARV maka pemberian ARV sebaiknya
diberikan sesegera mungkin (AIII). Contohnya pada kriptosporidiosis,
mikrosporidiosis, demensia terkait HIV. Keadaan lainnya, misal pada infeksi
M.tuberculosis, penundaan pemberian ARV 2 hingga 8 minggu setelah terapi
TB dianjurkan untuk menghindari bias dalam menilai efek samping obat dan
juga untuk mencegah atau meminimalisir sindrom restorasi imun atau IRIS.

2.8.2 Panduan Kombinasi Obat ARV

Kombinasi tiga obat antiretroviral merupakan regimen pengobatan


ARV yang dianjurkan oleh WHO, yang dikenal sebagai Highly Active
AntiRetroviral Therapy atau HAART. Kombinasi ini dinyatakan bermanfaat
dalam terapi infeksi HIV. Semula, terapi HIV menggunakan monoterapi
dengan AZT dan duo (AZT dan 3TC) namun hanya memberikan manfaat
sementara yang akan segera diikuti oleh resistensi.8,9

WHO merekomendasikan penggunaan obat ARV lini pertama berupa


kombinasi 2 NRTI dan 1 NNRTI. Obat ARV lini pertama di Indonesia yang

22
termasuk NRTI adalah AZT, lamivudin (3TC) dan stavudin (d4T). Sedangkan
yang termasuk NNRTI adalah nevirapin (NVP) dan efavirenz (EFZ). 3Adapun
terapi kombinasi untuk HIV/AIDS seperti pada tabel 11.

Tabel 11 : Terapi ARV

Di Indonesia, pilihan utama kombinasi obat ARV lini pertama adalah


AZT + 3TC + NVP. Pemantauan hemoglobin dianjurkan pada pemberian AZT
karena dapat menimbulkan anemia. Pada kondisi ini, kombinasi alternatif yang
bisa digunakan adalah d4T + 3TC + NVP. Namun AZT lebih disukai daripada
stavudin (d4T) oleh karena adanya efek toksik d4T seperti lipodistrofi,
asidosis laktat, dan neuropati perifer. Kombinasi AZT + 3TC + EFZ dapat
digunakan bila NVP tidak dapat digunakan. Namun, perlu kehati-hatian pada
perempuan hamil karena EFZ tidak boleh diberikan (Depkes RI, 2007).
Pemilihan ARV golongan NRTI tentunya dengan mempertimbangkan
keuntungan dan kekurangan masingmasing obat. Adapun kombinasi terapi
ARV yang tidak dianjurkan seperti pada tabel 12.
Tabel 12. Pilihan obat ARV golongan NR

23
2.2 TUBERKULOSIS PADA HIV8,9,10

24
TB paru merupakan jenis yang paling sering dijumpai dan muncul
pada infeksi HIV awal dengan jumlah median CD4 > 300 sel/dL sedangkan
TB ekstraparu atau diseminata dijumpai pada odha dengan jumlah CD4 yang
lebih rendah. 10
Gejala TB paru yang paling sering adalah batuk kronik lebih dari 3
minggu, demam, penurunan berat badan, penurunan nafsu makan, rasa letih,
berkeringat pada waktu malam, nyeri dada, dan batuk darah. Sedangkan pada
TB ekstra paru yang tersering adalah limfadenopati asimetris, perikarditis,
efusi pleura dan osteomielitis. Sayangnya, gambaran klinis TB pada odha
seringkali tidak khas dan sangat bervariasi sehingga menegakkan diagnosis
menjadi lebih sulit.
Cara penegakan diagnosis TB pada odha tidak berbeda dengan yang
bukan odha. Namun, sensitivitas untuk pemeriksaan sputum BTA pada odha
sekitar 50% dan tes tuberkulin hanya positif pada 30-50% odha. Pada foto
toraks, gambaran TB paru pada odha dengan CD4>200 sel/µL tidak berbeda
dengan non – HIV berupa infiltrat pada lobus atas, kavitas, atau efusi pleura.
Pada ODHA dengan CD < 200 sel/µL, gambaran yang lebih sering tampak
adalah limfadenopati mediastinum dan infiltrat di lobus bawah. Diagnosis
definitif TB pada odha adalah dengan ditemukannya M.tuberculosis pada
kultur jaringan atau specimen sedangkan diagnosis presumtifnya berdasarkan
ditemukannya BTA pada specimen dengan gejala sesuai TB atau perbaikan
gejala setelah terapi kombinasi
Regimen pengobatan TB tidak berbeda dengan regimen pengobatan
TB pada kasus non-HIV dengan lama pengobatan 6 bulan seperti tercantum
pada tabel 16. Terapi ARV direkomendasikan untuk semua odha yang
menderita TB dengan CD4 < 200/mm3, dan perlu dipertimbangkan bila CD4 >
350/mm3. Bila tidak tersedia pemeriksaan CD4, maka terapi ARV
direkomendasikan untuk semua odha dengan TB. Pemberian OAT sebaiknya
tidak dimulai bersama-sama dengan ARV dengan tujuan untuk mengurangi
kemungkinan interaksi obat, dan ketidakpatuhan minum obat.

Tabel 16. Obat yang dipakai dan lama pengobatan

25
Klasifikasi Regimen Obat
Kasus TB baru 2HRZE / 6 HE (DOTS)
TB kambuh/ pengobatan ulang 2SHRZE / HRZE / 5H3R3E3 (DOTS)

Beberapa hal yang perlu diperhatikan pada odha dengan terapi ARV
dan OAT adalah kemungkinan adanya efek samping dan resistensi OAT.
Tatacara terapi berdasarkan jumlah CD4 seperti tercantum pada tabel 17.
Untuk itu, perlu dilakukan tes resistensi BTA pada odha yang mengalami TB.9
Tabel 17. Terapi ARV untuk pasien koinfeksi TB-HIV

CD4 Paduan yang dianjurkan Keterangan


CD4 <200/ Mulai terapi TB. Mulai terapi ARV Saat mulai ART pada 2 – 8
mm3 segera setelah terapi TB dapat minggu setelah OAT
ditoleransi (antara 2 minggu hingga 2
bulan)
Paduan yang mengandung EFV (AZT
atau d4T) + 3TC + EFV (600 atau
800 mg/hari).
Setelah OAT selesai maka bila perlu
EFV dapat diganti dengan NVP.
Bila NVP terpaksa harus digunakan
disamping OAT, maka dapat
dilakukan dengan melakukan
pemantauan fungsi hati
(SGOT/SGPT) secara ketat
CD4 200-350/ Mulai terapi TB Setelah 8 minggu terapi TB
mm3
CD4 >350/ Mulai terapi TB Tunda terapi ARV , evaluai
mm3 kembali pada saat minggu
ke 8 terapi TB dan setelah
terapi TB lengkap
CD4 tidak Mulai terapi TB Pertimbangkan terapi ARV
mungkin mulai 2 – 8 minggu setelah
diperiksa terapi TB dimulai
Sumber : Depkes RI, 2007

2.3 TUBERKULOSIS PARU RELAPS

26
Tuberkulosis merupakan infeksi yang disebabkan oleh bakteri
Mycobacterium tuberculosis. Organisme ini disebut pula sebagai basil tahan
asam. Penularan terjadi melalui udara (airborne spreading) dari droplet infeksi.
Sumber infeksi adalah penderita TB paru yang membatukkan dahaknya,
dimana pada pemeriksaan hapusan dahaknya umumnya di temukan BTA
positif. Adapun Patofisiologi Tb Paru dapat terjadi melalui:
a) Tuberkulosis primer
Infeksi primer terjadi setelah seseorang menghirup mikrobakterium
tuberkulosis. Setelah melalui barier mukosilier saluran napas, basil
TB akan mencapai alveoli. Kuman akan mengalami multiplikasi di
paru, disebut fokus Ghon. Melalui aliran limfe, basil mencapai
kelenjar limfe hilus. Fokus Ghon dan limfadenopati hilus membentuk
kompleks primer. Melalui kompleks primer basil dapat menyebar ke
pembuluh darah dan ke seluruh tubuh. Respon imun
seluler/hipersensitiviti tipe lambat terjadi 4-6 minggu setelah infeksi
primer. Banyaknya basil TB serta kemampuan daya tahan tubuh host
akan menentukan perjalanan penyakit selanjutnya. Pada kebanyakan
kasus, respons imun tubuh dapat menghentikan multiplikasi kuman,
sebagian kecil menjadi kuman dorman. Pada penderita dengan daya
tahan tubuh yang buruk, respons imun tidak dapat menghentikan
multiplikasi kuman, sehingga akan menjadi sakit pada beberapa bulan
kemudian. Sehingga kompleks primer akan mengalami salah satu hal
sebagai berikut :
1. Penderita akan sembuh dengan tidak meninggalkan cacat
(restirution ad integrum)
2. Sembuh dengan meninggalkan bekas (seperti sarang Ghon,
fibrotik, perkapuran)
3. Menyebar dengan cara :
- Perkontinuitatum ke jaringan sekitarnya
Sebagai contoh adalah pembesaran kelenjar limfe di hilus,
sehingga menyebabkan penekanan bronkus lobus medius,
berakibat atelektasis. Kuman akan menjalar sepanjang bronkus

27
yang tersumbat menuju lobus yang atelektasis, menimbulkan
peradangan pada lobus yang atelektasis, hal ini disebut sebagai
epituberkulosis. Pembesaran kelenjar limfe di leher, dapat
menjadi abses disebut scrofuloderma. Penyebaran ke pleura
menyebabkan efusi pleura.
- Penyebaran bronkogen ke paru bersangkutan atau paru
sebelahnya. Atau tertelan bersama dahak sehingga terjadi
penyebaran di usus.
- Penyebaran secara hematogen dan limfogen ke organ lain
seperti tuberkulosis milier, meningitis, ke tulang, ginjal,
genetalia.
b) Tuberkulosis post primer
Terjadi setelah periode laten (beberapa bulan/ tahun) setelah infeksi
primer. Dapat terjadi karena reaktivasi atau reinfeksi. Reaktivasi
terjadi akibat kuman dorman yang berada pada jaringan selama
beberapa bulan/ tahun setelah infeksi primer, mengalami multiplikasi.
Hal ini dapat terjadi akibat daya tahan tubuh yang lemah. Reinfeksi
diartikan adanya infeksi ulang pada seseorang yang sebelumnya
pernah mengalami infeksi primer. TB post primer umumnya
menyerang paru, tetapi dapat pula di tempat lain di seluruh tubuh
umumnya pada usia dewasa. Karakteristik TB post primer adalah
adanya kerusakan paru yang luas dengan kavitas, hapusan dahak BTA
positif, pada lobus atas, umumnya tidak terdapat limfadenopati
intratoraks.
Bentuk tuberkulosis post primer dapat sebagai tuberkulosis paru
dan ekstra paru. Tuberkulosis post primer dimulai dari sarang dini
yang umumnya pada segmen apical lobus superior atau inferior.
Awalnya berbentuk sarang pneumonik kecil.
Sarang ini dapat mengalami salah satu keadaan sebagai berikut :
1. Diresorbsi dan sembuh dengan tidak meninggalkan cacat
2. Sarang meluas, tetap segera mengalami penyembuhan berupa
jaringan fibrosis dan perkapuran. Sarang dapat aktif kembali

28
membentuk jaringan keju dan bila dibatukkan menimbulkan
kaviti.
3. Sarang pneumonik meluas, membentuk jaringan keju yang bila
dibatukkan akan menimbulkan kaviti. Kaviti awalnya berdinding
tipis kemudian menjadi tebal (kaviti sklerotik). Kaviti akan
mengalami :
- Meluas dan menimbulkan sarang pneumonik baru
- Memadat dan membungkus diri disebut tuberkuloma.
Tuberkuloma dapat mengapur dan sembuh, tapi dapat aktif
kembali dan mencair menimbulkan kaviti kembali.
- Menyembuh dan disebut open heald cavity, atau menyembuh
dengan membungkus diri, akhirnya mengecil. Kaviti dapat
menciut dan tampak sebagai bintang (stellate shape).

A. PENATALAKSANAAN
Pengobatan tuberkulosis terbagi menjadi 2 fase yaitu fase intensif (2-
3 bulan) dan fase lanjutan 4 atau 7 bulan. Paduan obat yang digunakan
terdiri dari paduan obat utama dan tambahan. 8

OBAT ANTI TUBERKULOSIS (OAT)


Jenis obat utama (lini 1) yang digunakan adalah Isoniazid (INH),
Rifampisin, Pirazinamid, Streptomisin, dan Etambutol. Jenis obat
tambahan lainnya (lini 2) adalah Kanamisin, Amikasin, Kuinolon, obat
lain masih dalam penelitian yaitu makrolid dan amoksilin + asam
klavulanat. Beberapa obat berikut ini belum tersedia di Indonesia antara
lain Kapreomisin, Sikloserino, PAS (dulu tersedia), derivat rifampisin
dan INH, Thioamides (ethionamide dan prothionamide). 8

29
Obat Dosis Dosis yg Dosi Dosis (mg) / berat
(Mg/Kg dianjurkan s badan (kg)
BB/Hari) Haria Intermitten Mak < 40 40- >60
n (mg/ (mg/Kg/BB s 60
kgBB /kali) (mg)
/ hari)
6 3
R 8-12 10 10 0 0 450 600
0 0
3 1
H 4-6 5 10 0 5 300 450
0 0
7
20- 150
Z 25 35 5 1000
30 0
0
7
15- 150
E 15 30 5 1000
20 0
0
S
e
1
s
15- 0 100
S 15 15 u 750
18 0 0
ai
0
B
B

Tabel 5. Dosis OAT 8

Pengembangan pengobatan TB paru yang efektif merupakan hal


yang penting untuk menyembuhkan pasien dan menghindari MDR-TB
(Multidrug Resistant Tuberculosis). Pengembangan strategi DOTS untuk
mengontrol epidemi TB merupakan prioriti utama WHO. International
Union Against Tuberculosis and Lung Disease (IUALTD) dan WHO
menyarakan untuk menggantikan paduan obat tunggal dengan kombinasi
dosis tetap dalam pengobatan TB primer pada tahun 1998. Dosis obat
tuberkulosis kombinasi dosis tetap berdasarkan WHO seperti terlihat
pada tabel di bawah ini. Keuntungan kombinasi dosis tetap antara lain: 8

30
1. Penatalaksanaan sederhana dengan kesalahan pembuatan resep
minimal
2. Peningkatan kepatuhan dan penerimaan pasien dengan penurunan
kesalahan pengobatan yang tidak disengaja
3. Peningkatan kepatuhan tenaga kesehatan terhadap penatalaksanaan
yang benar dan standar
4. Perbaikan manajemen obat karena jenis obat lebih sedikit
5. Menurunkan risiko penyalahgunaan obat tunggal dan MDR akibat
penurunan penggunaan monoterapi

Fase intensif Fase lanjutan


2 4 bulan
bulan
BB Harian Harian 3x/min Ha 3x/minggu
ggu ria
n
RHZE RHZ RHZ RH RH
150/75/40 150/75 150/15 15 150/150
0/275 /400 0/500 0/7
5
30- 2 2 2 2 2
37 3 3 3 3 3
38- 4 4 4 4 4
54 5 5 5 5 5
55-
70
>71

Tabel 6. Dosis Obat Antituberkulosis Kombinasi Dosis Tetap 8

Penentuan dosis terapi kombinasi dosis tetap 4 obat berdasarkan


rentang dosis yang telah ditentukan oleh WHO merupakan dosis yang
efektif atau masih termasuk dalam batas dosis terapi dan non toksik.
Pada kasus yang mendapat obat kombinasi dosis tetap tersebut, bila

31
mengalami efek samping serius harus dirujuk ke rumah sakit / dokter
spesialis paru / fasiliti yang mampu menanganinya.

Kate Kasus Paduan Obat yang Keterangan


gori Dianjurkan
I TB paru BTA 2 RHZE / 4 RH atau
(+), 2 RHZE / 6 HE
atau *2RHZE / 4R3H3
BTA (-) dengan
lesi luas
II - Kambuh -RHZES / 1RHZE / Bila
- sesuai hasil uji streptomisin
Gag resistensi atau 2RHZES alergi, dapat
al / 1RHZE / 5 RHE diganti
peng -3-6 kanamisin, kanamisin
obat ofloksasin, etionamid,
an sikloserin / 15-18
ofloksasin, etionamid,
sikloserin atau
2RHZES / 1RHZE /
5RHE
II TB paru Sesuai lama
putus berobat pengobatan
sebelumnya, lama
berhenti minum obat
dan keadaan klinis,
bakteriologi dan
radiologi saat ini (lihat
uraiannya) atau
*2RHZES / 1RHZE /
5R3H3E3
III TB paru BTA 2 RHZE / 4 RH atau
(-) dengan 6 RHE atau

32
lesi minimal *2RHZE /4 R3H3

IV Kronik RHZES / sesuai hasil


uji resistensi (minimal
OAT yang sensitif) +
obat lini 2 (pengobatan
minimal 18 bulan)
No. DM MDR TB :
IV 46 76 26 uji resistensi +
Sesuai
Nama : Tn. OAT
T, Y lini 2 atau H

TTL, umur : seumur hidup


28-09-1958/ 60Tahun

Jenis Kelamin : Laki-laki

Alamat : Abepantai

Status : Sudah Menikah


Pernikahan
Pekerjaan : Pensiunan Karyawan PT. Freeport

Agama : Kristen Protestan

Suku / Bangsa : Biak/Papua

Tanggal MRS : 31-10-2018


Berat Badan : kg

BAB III

LAPORAN KASUS

3.1 Identitas

33
3.2 Anamnesa (Autoanamnesis)
 Keluhan Utama: Lemas sejak ±1 minggu.
 Riwayat Penyakit Sekarang:
Pasien dibawa keluarga ke IGD RSUD Abepura dengan keluhan lemas
sejak ±1 minggu SMRS. Pasien merasa tidak bertenaga dan sangat
lemas. Pasien juga mengeluh demam ± 3 bulan. Demam naik turun.
Demam tinggi saat sore hari. Keluhan lain BAB cair/ mencret sejak 1
bulan terus menerus. Dalam 1 hari sebelum MRS mencret sebanyak
15x dari malam sampai pagi. Kotoran berisi ampas makanan, encer,
berwarna coklat, tidak ada darah, tidak ada busa dalam kotorannya.
Keluhan ini juga dirasakan 3 bulan lalu disertai demam naik turun,
kemudian sembuh. Selain mencret, pasien juga merasa perut tidak
nyaman, ada mual dan muntah tiap kali makan sehingga nafsu makan
pasien menurun. Pasien juga mengeluh batuk sejak 2 minggu. Batuk
disertai sesak terutama saat berbaring dan malam hari, batuk berlendir
warna putih agak kental. Darah dalam dahak tidak ada. Keringat
malam hari ada kadang-kadang, demam tidak terlalu tinggi terutama
sore hari. Keluhan lain yang dialami pasien adalah nyeri pada luka di
paha kanan sejak 1 minggu, luka tersebut tidak sembuh sampai saat
ini. Luka tersebut awalnya benjolan kecil, yang kemudian
membengkang, merah, dan pecah mengeluarkan nanah.
Pasien mengaku pernah minum obat paru selama 6 bulan hingga
tuntas di tahun 2007.
 Riwayat Penyakit Dahulu

34
- Riwayat HIV : pengobatan dengan ARV tahun 2017 namun putus
obat.
- Riw. Tuberkulosis Paru pengobatan selama 6 bulan tuntas.
- Riw. Hipertensi (disangkal), diabetes melitus (disangkal)
- Riwayat Alergi makanan dan obat disangkal
 Riwayat Penyakit Keluarga: penyakit stroke, kelainan jantung,
diabetes melitus tidak ada.
 Riwayat Kebiasaan
Kebiasaan Minum Alkohol (+), Merokok (+)

3.3 Pemeriksaan Fisik


Status Generalis
a. Keadaan Umum : Tampak sakit sedang
b. Kesadaran : Kompos mentis
c. Tanda vital
 Tekanan darah : 100/70 mmHg
 Nadi : 100 x/menit
 Pernapasan : 21 x/menit
 Suhu : 36,4 0C

Kepala
 Mata : Conjungtiva anemis (+/+);Sklera ikterik (-/-)

 Hidung : Deformitas (-),sekret (-), pembauan normal.

 Telinga : Deformitas (-),sekret (-), pendengaran normal.

 Mulut : stomatitis (-), oral trush (-), karies (-),bau mulut (-).

Leher
 Pembengkakan KGB colli (-)

 Deviasi trakea (-)

35
 Kelainan kelenjar thyroid (-)

Thorax
 Inspeksi : simetris, ikut gerak napas, retraksi (-)

 Palpasi : ictus cordis tidak teraba, vocal fremitus D=S

 Perkusi : paru → sonor

jantung → pekak
 Auskultasi : suara napas vesikuler, rhonki (-/-),wheezing (-/-)

bunyi jantung I-II reguler.


Abdomen
 Inspeksi : Simetris, datar, jejas (-),

 Auskultasi : Bising usus (+) normal

 Palpasi : supel (+), nyeri tekan epigastrium (-), Hepar: tidak


teraba. Lien: tidak teraba

 Perkusi : Tympani

Ekstremitas
 Inspeksi : Ekstremitas atas edema(-) Ekstremitas bawah :
tampak nodus eritematosa, pus(+) diregio femoralis dextra.
edema(-)

 Palpasi : Akral hangat pada tungkai dan tangan.

3.4 Pemeriksaan penunjang


1. Darah Lengkap tanggal 13-09-2018

36
Pemeriksaan Hasil Nilai Pemeriksaa Hasil Nilai
rujukan n rujukan
WBC 6,700 5.000- MCH 22,5 28,0-36,0
3
10.000/mm
RBC 4,7 x LK:4.500.00 MCHC 32,6 32,0-36,0
10^6 0-
5.500.000/m
m3
PR:4000.000
-
5000.000/m
m3
HGB 10,6 LK: 14,0- RDW 16,3 11,5-14,5
17,4g/dl
Pr: 12,0-
16,0g/dl
HCT 32,2 LK:42-52 MPV 10,0 7,4-10,4
Pr:36-48
PLT 256.00 150.000- PDW 15,8 10,0-13,0
0 450.000
GDS 113 LYM 0,6 1.500-
mg/dL 4000/mm3
DDR Negatif 3000-
7000/mm3

2. Darah Lengkap Tanggal 21-09-2018

Pemeriksaan Hasil Nilai Pemeriksaa Hasil Nilai


rujukan n rujuka

37
n

WBC 7,960 5.000- MCH 21,7 28,0-


3
10.000/mm 36,0
RBC 3,5 x LK:4.500.00 MCHC 33,6 32,0-
10^6 0- 36,0
5.500.000/m
m3
PR:4000.000
-
5000.000/m
m3
HGB 7,6 LK: 14,0- RDW 38,8 11,5-
17,4g/dl 14,5
Pr: 12,0-
16,0g/dl
HCT 22,6 LK:42-52 MPV 11,6 7,4-
Pr:36-48 10,4
PLT 205.00 150.000- PDW 16,2 10,0-
0 450.000 13,0

3. Kimia Lengkap Tanggal (13/09/2018)


Pemeriksaan Hasil

SGOT 55

SGPT 35

Kalium 3,66

Natrium 136,70

Klorida 107,20

HBsAg Non Reaktif

PITC (antibody Reaktif

38
HIV)

ureum 27

Creatinin 1,1

3. Pemeriksaan Sputum (Gen Expert) tanggal 19-09-2018

Hasil : ditemukan MTB


Res. Rifampicin: tidak ditemukan

3.5. Resume
Pasien laki-laki (31 th), datang dengan keluhan lemas ±1 minggu SMRS,
tidak bertenaga, demam ± 1 minggu, naik turun. Demam tinggi saat sore hari.
BAB cair/ mencret sejak 1 bulan terus menerus. Dalam 1 hari sebelum MRS
mencret sebanyak 15x dari malam sampai pagi. Kotoran berisi ampas
makanan, encer, berwarna coklat. Perut tidak nyaman, mual (+), dan muntah
(+). Batuk (+) sejak 2 minggu, disertai sesak terutama saat berbaring dan
malam hari, berlendir (+), warna putih agak kental. Keringat malam hari (+),
demam tidak terlalu tinggi terutama sore hari. Nyeri pada luka di paha kanan
sejak 1 minggu, nanah (+).nanah. Riw. OAT selama 6 bulan hingga tuntas di
tahun 2007. Riw. ARV 2017, putus obat.

39
Dari Pemeiksaan fisik ditemukan konjungtiva anemis. Didapatkan jaringan
meradangan, pus (+) region femoralis dextra. Hasil pemeriksaan penunjang,
didapatkan anemia, Hemoglobin rendah (10,6g/dL ), pemeriksaan anti HIV
reaktif. Pemeriksaan sputum gen expet ditemukan kuman Mycobacterium
Tuberculosis dan pada foto radiologi thorax didapatkan gambaran TB paru
kanan.

3.6 Diagnosa Kerja


- HIV stadium III
- Tuberkulosis Paru Relaps
- Anemia
- Abses region Femoralis Dextra

3.7 Rencana Penatalaksanaan


- Rencana Pemeriksaan: Cek laboratorium darah lengkap, Pemeriksaan,
Sputum Gen Expert, Foto X-Ray Thorax

- Rencana Terapi:

1. IVFD Nacl 0,9% + Neurobion 1 amp drip (20 tpm)

2. Injeksi Ranitidine 50mg amp/12 jam

3. Injeksi Ceftriaxone 1gr vial/12 jam

4. Cotrimoxazole (Trimetoprim + Sulfametaxazole) 480mg tab 2x2 sehari


(p.o)

5. Ambroxol 3x1 tab sehari

X-ray Thorax :

40
3.8 Follow-up Ruangan

Tanggal Perjalanan Penyakit Instruksi Dokter


13/09/2018 S : Lemas (+), Demam (+) naik Planning :
turun, mual muntah (+), Batuk (+)  IVFD Nacl 0,9% +
dahak, Mencret 5x sehari cair, isi Neurobion 1 amp
drip (20 tpm)
ampas makanan
BAK : kesan lancar, warna seperti teh  Injeksi Ranitidine
O: 50mg amp/12 jam

KU: tampak sakit edang  Injeksi Ceftriaxone


Kes: composmentis, GCS: 15 1gr vial/12 jam
Tanda-tanda vital:
 Cotrimoxazole
 TD : 110/70 mmHg 480mg tab 2x2 sehari
 N : 98x/menit (p.o)

 P : 21x/menit  Ambroxol 3x1 tab


 S : 39,1 ⁰C sehari

 SpO2: 96%
Status Generalis:
Kepala/Leher: CA (+/+), SI (-/-),
OC(-), P> KGB (-), Peningkatan
JVP (-)
Thorax: simetris, ikut gerak
napas, regular, fremitus D=S, SN
vesikuler (+/+), Rhonki (+/-),
Wheezing (-)
Abdomen: datar, peristaltik (+)
kesan normal, supel, NT (-),
Hepar/Lien: ttb
Eks : Akral hangat, edema (-/-),
eritem Palmaris (-)
X-ray Thorax PA: tampak
bercak berawan pada apex dan
basal, kalsifikasi (+)

41
Laboratorium:
Leukosit 7960/mm3, eritrosit:3,5x
106, SGOT: 55 g/dL, SGPT: 35
g/dL, Hb 10,6/dL
HbsAg: negatif
Malaria: Negatif
Antibodi HIV: Reaktif
TCM sputum (Gen Expert):
ditemukan bakteri M.
Tuberculosis
A:
 Anemia
 HIV stadium III
 TB Paru relaps

14-09-2018 S : Lemas (+), Demam (+) naik Planning :


turun, mual muntah (+), Batuk (+)  IVFD Nacl 0,9% +
dahak, Mencret 5x sehari cair, isi Neurobion 1 amp
drip (20 tpm)
ampas makanan
BAK : kesan lancar, warna seperti teh  Injeksi Ranitidine
O: 50mg amp/12 jam

KU: tampak sakit edang  Injeksi Ceftriaxone


Kes: composmentis, GCS: 15 1gr vial/12 jam
Tanda-tanda vital:
 Cotrimoxazole
 TD : 100/70 mmHg 480mg tab 2x2 sehari
 N : 92x/menit (p.o)

 P : 20x/menit  Ambroxol 3x1 tab


 S : 38,1 ⁰C sehari

 SpO2: 96%
Status Generalis:
Kepala/Leher: CA (+/+), SI (-/-),
OC(-), P> KGB (-), Peningkatan
JVP (-)

42
Thorax: simetris, ikut gerak
napas, regular, fremitus D=S, SN
vesikuler (+/+), Rhonki (+/-),
Wheezing (-)
Abdomen: datar, peristaltik (+)
kesan normal, supel, NT (-),
Hepar?Lien: ttb
Eks : Akral hangat, edema (-/-),
eritem Palmaris (-)
A:
 Anemia
 HIV stadium III
 TB Paru relaps
15-09-2018 S : Lemas (+), Demam (+) naik Planning :
turun, mual muntah (+), Batuk (+)  IVFD Nacl 0,9% +
dahak, Mencret 5x sehari cair, isi Neurobion 1 amp
drip (20 tpm)
ampas makanan
BAK : kesan lancar, warna seperti teh  Injeksi Ranitidine
O: 50mg amp/12 jam

KU: tampak sakit edang  Injeksi Ceftriaxone


Kes: composmentis, GCS: 15 1gr vial/12 jam
Tanda-tanda vital:
 Cotrimoxazole
 TD : 110/70 mmHg 480mg tab 2x2 sehari
 N : 98x/menit (p.o)

 P : 21x/menit  Ambroxol 3x1 tab


 S : 39,1 ⁰C sehari

 SpO2: 96%
Status Generalis:
Kepala/Leher: CA (+/+), SI (-/-),
OC(-), P> KGB (-), Peningkatan
JVP (-)
Thorax: simetris, ikut gerak
napas, regular, fremitus D=S, SN
vesikuler (+/+), Rhonki (+/-),

43
Wheezing (-)
Abdomen: datar, peristaltik (+)
kesan normal, supel, NT (-),
Hepar?Lien: ttb
Eks : Akral hangat, edema (-/-),
eritem Palmaris (-)
A : AIDS stadium III dengan TB
Paru relaps

16-09-2018 S : Lemas (+), Demam (+) naik Planning :


turun, mual muntah berkurang, Batuk  IVFD Nacl 0,9% +
(+) dahak, Mencret 7x sehari cair, isi Neurobion 1 amp
drip (20 tpm)
ampas makanan
BAK : kesan lancar, warna seperti teh  Injeksi Ranitidine
O: 50mg amp/12 jam

KU: tampak sakit edang  Injeksi Ceftriaxone


Kes: composmentis, GCS: 15 1gr vial/12 jam
Tanda-tanda vital:
 Cotrimoxazole
 TD : 110/70 mmHg 480mg tab 2x2 sehari
 N : 98x/menit (p.o)

 P : 21x/menit  Ambroxol 3x1 tab


 S : 39,1 ⁰C sehari

 SpO2: 96%
 Activated Attapulgite
Status Generalis: 600mg tablet 3x 2
Kepala/Leher: CA (+/+), SI (-/-), Tab
OC(-), P> KGB (-), Peningkatan
 Aspar K 1x1tab
JVP (-)
Thorax: simetris, ikut gerak
napas, regular, fremitus D=S, SN
vesikuler (+/+), Rhonki (+/-),
Wheezing (-)
Abdomen: datar, peristaltik (+)
kesan normal, supel, NT (-),
Hepar/Lien: ttb
Eks : Akral hangat, edema (-/-),

44
eritem Palmaris (-)
A : AIDS stadium III dengan TB
Paru relaps
19-09-2018 S : Lemas (+), Demam (+) naik Planning :
turun, mual muntah (+), Batuk (+)  IVFD Nacl 0,9% +
dahak, Mencret 5x sehari cair, isi Neurobion 1 amp
drip (20 tpm)
ampas makanan
BAK : kesan lancar, warna seperti teh  Injeksi Ranitidine
O: 50mg amp/12 jam

KU: tampak sakit edang  Injeksi Ceftriaxone


Kes: composmentis, GCS: 15 1gr vial/12 jam
Tanda-tanda vital:
 Cotrimoxazole
 TD : 100/70 mmHg 480mg tab 2x2 sehari
 N : 86x/menit (p.o)

 P : 22x/menit  Ambroxol 3x1 tab


 S : 37,1 ⁰C sehari

 SpO2: 96%
 Activated Attapulgite
Status Generalis: 600mg tablet 3x 2
Kepala/Leher: CA (+/+), SI (-/-), Tab
OC(-), P> KGB (-), Peningkatan
 Aspar K 1x1tab
JVP (-)
Thorax: simetris, ikut gerak
napas, regular, fremitus D=S, SN
vesikuler (+/+), Rhonki (+/-),
Wheezing (-)
Abdomen: datar, peristaltik (+)
kesan normal, supel, NT (-),
Hepar/Lien: ttb
Eks : Akral hangat, edema (-/-),
eritem Palmaris (-)
A : AIDS stadium III dengan TB
Paru relaps
20-09-2018 S : Lemas (+), Demam (+) naik Planning :
turun, mual muntah (+), Batuk (+)  IVFD Nacl 0,9% +

45
dahak, Mencret 5x sehari cair, isi Neurobion 1 amp
ampas makanan drip (20 tpm)

BAK : kesan lancar, warna seperti teh  Injeksi Ranitidine


O: 50mg amp/12 jam
KU: tampak sakit edang
 Injeksi Ceftriaxone
Kes: composmentis, GCS: 15 1gr vial/12 jam
Tanda-tanda vital:
 Cotrimoxazole
 TD : 100/70 mmHg
480mg tab 2x2 sehari
 N : 86x/menit (p.o)
 P : 22x/menit
 Ambroxol 3x1 tab
 S : 37,1 ⁰C sehari
 SpO2: 96%
 Activated Attapulgite
Status Generalis: 600mg tablet 3x 2
Kepala/Leher: CA (+/+), SI (-/-),
Tab
OC(-), P> KGB (-), Peningkatan
JVP (-)  Aspar K 1x1tab
Thorax: simetris, ikut gerak
napas, regular, fremitus D=S, SN
vesikuler (+/+), Rhonki (+/-),
Wheezing (-)
Abdomen: datar, peristaltik (+)
kesan normal, supel, NT (-),
Hepar/Lien: ttb
Eks : Akral hangat, edema (-/-),
eritem Palmaris (-)
A : AIDS stadium III dengan TB
Paru relaps
21-09-2018 S : Lemas (+), Demam (+) naik Planning :
turun, mual muntah (+), Batuk (+)  IVFD Nacl 0,9% +
dahak, Mencret 5x sehari cair, isi Neurobion 1 amp
drip (20 tpm)
ampas makanan
BAK : kesan lancar, warna seperti teh  Injeksi Ranitidine
O: 50mg amp/12 jam

KU: tampak sakit edang  Injeksi Ceftriaxone

46
Kes: composmentis, GCS: 15 1gr vial/12 jam
Tanda-tanda vital:
 Cotrimoxazole
 TD : 100/70 mmHg 480mg tab 2x2 sehari
 N : 86x/menit (p.o)

 P : 22x/menit  Ambroxol 3x1 tab


 S : 37,1 ⁰C sehari
 SpO2: 96%
 Activated Attapulgite
Status Generalis: 600mg tablet 3x 2
Kepala/Leher: CA (+/+), SI (-/-), Tab
OC(-), P> KGB (-), Peningkatan
 Aspar K 1x1tab
JVP (-)
Thorax: simetris, ikut gerak
napas, regular, fremitus D=S, SN
vesikuler (+/+), Rhonki (+/-),
Wheezing (-)
Abdomen: datar, peristaltik (+)
kesan normal, supel, NT (-),
Hepar/Lien: ttb
Eks : Akral hangat, edema (-/-),
eritem Palmaris (-)
A : AIDS stadium III dengan TB
Paru relaps
22-09-2018 S : Lemas (+), Demam (+) naik Planning :
turun, mual muntah (+), Batuk (+)  IVFD Nacl 0,9% +
dahak, Mencret 5x sehari cair, isi Neurobion 1 amp
drip (20 tpm)
ampas makanan
BAK : kesan lancar, warna seperti teh  Injeksi Ranitidine
O: 50mg amp/12 jam

KU: tampak sakit edang  Injeksi Ceftriaxone


Kes: composmentis, GCS: 15 1gr vial/12 jam
Tanda-tanda vital:
 Cotrimoxazole
 TD : 100/70 mmHg 480mg tab 2x2 sehari
 N : 86x/menit (p.o)

 P : 22x/menit

47
 S : 37,1 ⁰C  Ambroxol 3x1 tab
sehari
 SpO2: 96%
Status Generalis:  Activated Attapulgite
Kepala/Leher: CA (+/+), SI (-/-), 600mg tablet 3x 2
OC(-), P> KGB (-), Peningkatan Tab
JVP (-)
Thorax: simetris, ikut gerak  Aspar K 1x1tab

napas, regular, fremitus D=S, SN


vesikuler (+/+), Rhonki (+/-),
Wheezing (-)
Abdomen: datar, peristaltik (+)
kesan normal, supel, NT (-),
Hepar/Lien: ttb
Eks : Akral hangat, edema (-/-),
eritem Palmaris (-)
A : AIDS stadium III dengan TB
Paru relaps
23-09-2018 S : Lemas (+), Demam (+) naik Planning :
turun, mual muntah (+), Batuk (+)  IVFD Nacl 0,9% +
dahak, Mencret 5x sehari cair, isi Neurobion 1 amp
drip (20 tpm)
ampas makanan
BAK : kesan lancar, warna seperti teh  Injeksi Ranitidine
O: 50mg amp/12 jam

KU: tampak sakit edang  Injeksi Ceftriaxone


Kes: composmentis, GCS: 15 1gr vial/12 jam
Tanda-tanda vital:
 Cotrimoxazole
 TD : 100/70 mmHg 480mg tab 2x2 sehari
 N : 86x/menit (p.o)

 P : 22x/menit  Ambroxol 3x1 tab


 S : 37,1 ⁰C sehari

 SpO2: 96%
 Activated Attapulgite
Status Generalis: 600mg tablet 3x 2
Kepala/Leher: CA (+/+), SI (-/-), Tab
OC(-), P> KGB (-), Peningkatan

48
JVP (-)  Aspar K 1x1tab
Thorax: simetris, ikut gerak
napas, regular, fremitus D=S, SN
vesikuler (+/+), Rhonki (+/-),
Wheezing (-)
Abdomen: datar, peristaltik (+)
kesan normal, supel, NT (-),
Hepar/Lien: ttb
Eks : Akral hangat, edema (-/-),
eritem Palmaris (-)
A : AIDS stadium III dengan TB
Paru relaps
24-09-2018 S : Lemas (+), Demam (+) naik Planning :
turun, mual muntah (+), Batuk (+)  IVFD Nacl 0,9% +
dahak, Mencret 5x sehari cair, isi Neurobion 1 amp
drip (20 tpm)
ampas makanan
BAK : kesan lancar, warna seperti teh  Injeksi Ranitidine
O: 50mg amp/12 jam

KU: tampak sakit edang  Injeksi Ceftriaxone


Kes: composmentis, GCS: 15 1gr vial/12 jam
Tanda-tanda vital:
 Cotrimoxazole
 TD : 100/70 mmHg 480mg tab 2x2 sehari
 N : 86x/menit (p.o)

 P : 22x/menit  Ambroxol 3x1 tab


 S : 37,1 ⁰C sehari

 SpO2: 96%
 Activated Attapulgite
Status Generalis: 600mg tablet 3x 2
Kepala/Leher: CA (+/+), SI (-/-), Tab
OC(-), P> KGB (-), Peningkatan
 Aspar K 1x1tab
JVP (-)
Thorax: simetris, ikut gerak
napas, regular, fremitus D=S, SN
vesikuler (+/+), Rhonki (+/-),
Wheezing (-)
Abdomen: datar, peristaltik (+)

49
kesan normal, supel, NT (-),
Hepar/Lien: ttb
Eks : Akral hangat, edema (-/-),
eritem Palmaris (-)
A : AIDS stadium III dengan
TB Paru relaps
Abses Femoralis (D)
BAB IV

PEMBAHASAN

4.1 Bagaimana mendiagnosis kasus tersebut?


Berdasarkan Teori, diagnosis infeksi HIV ditegakkan berdasarkan
anamnesis yang lengkap termasuk risiko pajanan HIV , pemeriksaan fisik,
pemeriksaan laboratorium, dan konseling perlu dilakukan pada setiap odha saat
kunjungan pertama kali ke sarana kesehatan. Gejala klinis yang sering
ditemukan pada odha umumnya berupa demam lama, batuk, adanya penurunan
berat badan, sariawan, dan diare. Dicurigai AIDS pada orang dewasa bila ada
paling sedikit dua gejala mayor dan satu gejala minor dan tidak ada sebab-
sebab imunosupresi yang lain seperti kanker,malnutrisi berat atau pemakaian
kortikosteroid yang lama.
1. Gejala Mayor: Penurunan berat badan lebih dari 10%, Diare kronik lebih
dari satu bulan, Demam lebih dari satu bulan
2. Gejala Minor: Batuk lebih dari satu bulan, Dermatitis preuritik umum,
Herpes zoster recurrens, Kandidias orofaring, Limfadenopati generalisata,
Herpes simplek diseminata yang kronik progresif
Pada pasien didapatkan keluhan lemas 1 minggu. tidak bertenaga dan
sangat lemas. Pasien juga mengeluh demam ± 1 minggu. Demam naik turun.
Demam tinggi saat sore hari selama ± 3 bulan. Keluhan lain BAB cair/ mencret
sejak 1 bulan terus menerus. Dalam 1 hari sebelum MRS mencret sebanyak
15x dari malam sampai pagi. Kotoran berisi ampas makanan, encer, berwarna
coklat, tidak ada darah, tidak ada busa dalam kotorannya. Keluhan ini juga
dirasakan 3 bulan lalu disertai demam naik turun, kemudian sembuh. Selain
mencret, pasien juga merasa perut tidak nyaman, ada mual dan muntah tiap
kali makan sehingga nafsu makan pasien menurun. Pasien juga mengeluh

50
batuk sejak 2 minggu. Batuk disertai sesak terutama saat berbaring dan malam
hari, batuk berlendir warna putih agak kental. Darah dalam dahak tidak ada.
Keringat malam hari ada kadang-kadang, demam tidak terlalu tinggi terutama
sore hari. Keluhan lain yang dialami pasien adalah nyeri pada luka di paha
kanan sejak 1 minggu, luka tersebut tidak sembuh sampai saat ini. Luka
tersebut awalnya benjolan kecil, yang kemudian membengkang, merah, dan
pecah mengeluarkan nanah.
Pasien mengaku pernah minum obat paru selama 6 bulan hingga tuntas di
tahun 2007.
Pada pemeriksaan fisik didapatkan konjungtiva anemis. Tidak
ditemukan oral candidiasis. Sedangkan dari pemeriksaan Laboratorium,
didapatkan kadar hemoglobin 10,6. Hasil pemeriksaan imunologi HIV reaktif.
Hasil sputum TCM/Gen Expert ditemukan bakteri M. Tuberculosis. Dan dari
pemeriksaan Foto thorax PA mendukung adanya infeksi Tb lama aktif
kembali.
Berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang
makan ditegakkan diagnosis pada pasien tersebut adalah Infeksi HIV atau
AIDS stadium III dengan infeksi TB paru Relaps. Hal ini sesuai teori Infeksi
HIV AIDS dengan infeksi uportunistik Tuberkulosis paru.

4.2 Bagaimana Mendiagnosis infeksi Tuberkulosis pada Pasien HIV AIDS?


TB paru merupakan jenis yang paling sering dijumpai dan muncul
pada infeksi HIV awal dengan jumlah median CD4 > 300 sel/dL sedangkan
TB ekstraparu atau diseminata dijumpai pada odha dengan jumlah CD4 yang
lebih rendah. Gejala TB paru yang paling sering adalah batuk kronik lebih dari
3 minggu, demam, penurunan berat badan, penurunan nafsu makan, rasa letih,
berkeringat pada waktu malam, nyeri dada, dan batuk darah. Sedangkan pada
TB ekstra paru yang tersering adalah limfadenopati asimetris, perikarditis,
efusi pleura dan osteomielitis.
Cara penegakan diagnosis TB pada odha tidak berbeda dengan yang
bukan odha. Namun, sensitivitas untuk pemeriksaan sputum BTA pada odha
sekitar 50% dan tes tuberkulin hanya positif pada 30-50% odha. Pada foto

51
toraks, gambaran TB paru pada odha dengan CD4>200 sel/µL tidak berbeda
dengan non – HIV berupa infiltrat pada lobus atas, kavitas, atau efusi
pleura. Pada ODHA dengan CD < 200 sel/µL, gambaran yang lebih sering
tampak adalah limfadenopati mediastinum dan infiltrat di lobus bawah.
Diagnosis definitif TB pada odha adalah dengan ditemukannya
M.tuberculosis pada kultur jaringan atau specimen sedangkan diagnosis
presumtifnya berdasarkan ditemukannya BTA pada specimen dengan gejala
sesuai TB atau perbaikan gejala setelah terapi kombinasi

4.3 Bagaimana terjadinya Infeksi Tuberkulosis Relaps pada pasien ?


Tuberkulosis post primer dapat terjadi setelah periode laten (beberapa
bulan/ tahun) setelah infeksi primer. Dapat terjadi karena reaktivasi atau
reinfeksi. Reaktivasi terjadi akibat kuman dorman yang berada pada jaringan
selama beberapa bulan/ tahun setelah infeksi primer, megalami multiplikasi.
Hal ini dapat terjadi akibat daya tahan tubuh yang lemah. Reinfeksi
diartikan adanya infeksi ulang pada seseorang yang sebelumnya pernah
mengalami infeksi primer. TB post primer umumnya menyerang paru, tetapi
dapat pula di tempat lain di seluruh tubuh umumnya pada usia dewasa.
Karakteristik TB post primer adalah adanya kerusakan paru yang luas dengan
kavitas, hapusan dahak BTA positif, pada lobus atas, umumnya tidak terdapat
limfadenopati intratoraks.
Pada kasus ini, terjadinya Tuberkulosis relaps dapat disebabkan
karena adanya penurunan sistem kekebalan tubuh pasien yang diakibatkan
karena infeksi HIV. Pasien sebelumnya sudah mendapatkan terapi OAT selama
6 bulan dan dinyatakan sembuh. Namun, saat ini pasien datang dengan
keluhan batuk > 2 minggu, batuk berdahak kental, demam naik turun dan
berkeringat malam hari. Dari pemeriksaan foto thoeax dan pemeriksaan
sputum ternyata didapatkan hasil positif infeksi Mycobacterium tuberculosis
sehingga pasien didiagnosis sebagai kasus relaps/kambuh.

4.4 Bagaimana Tatalaksana kasus tersebut?

52
Di Indonesia, pilihan utama kombinasi obat ARV lini pertama adalah
AZT + 3TC + NVP. Pemantauan hemoglobin dianjurkan pada pemberian AZT
karena dapat menimbulkan anemia. Pada kondisi ini, kombinasi alternatif
yang bisa digunakan adalah d4T + 3TC + NVP. Namun AZT lebih disukai
daripada stavudin (d4T) oleh karena adanya efek toksik d4T seperti
lipodistrofi, asidosis laktat, dan neuropati perifer. Kombinasi AZT + 3TC +
EFZ dapat digunakan bila NVP tidak dapat digunakan.
Regimen pengobatan TB tidak berbeda dengan regimen pengobatan TB
pada kasus non-HIV dengan lama pengobatan 6 bulan seperti tercantum pada
tabel 16. Terapi ARV direkomendasikan untuk semua odha yang menderita TB
dengan CD4 < 200/mm3, dan perlu dipertimbangkan bila CD4 > 350/mm3.
Bila tidak tersedia pemeriksaan CD4, maka terapi ARV direkomendasikan
untuk semua odha dengan TB. Pemberian OAT sebaiknya tidak dimulai
bersama-sama dengan ARV dengan tujuan untuk mengurangi kemungkinan
interaksi obat, dan ketidakpatuhan minum obat.
Pada pasien ini telah diberikan ARV (AZT+3TC+EFZ) sejak tahun
2017 tetapi putus obat dan diberikan FDC OAT selama 6 bulan. Saat ini
pasien diberikan pengobatan simptomatik dan profilaksis infeksi uportunistik.
Medikamentosa yang didapat pasien selama diruangan antara lain: IVFD
Nacl 0,9% + Neurobion 1 amp drip (20 tpm), Injeksi Ranitidine 50mg amp/12
jam, Injeksi Ceftriaxone 1gr vial/12 jam, Cotrimoxazole 480mg tab 2x2 sehari
(p.o) sebagai profilaksis dan pengobatan infeksi uportunistik, Ambroxol 3x1
tab sehari, Activated Attapulgite 600mg tablet 3x 2 Tab, Aspar K 1x1tab, FDC
OAT 1x 4 Tablet.

53
BAB V

KESIMPULAN

• AIDS adalah kumpulan gejala atau penyakit yang diakibatkan karena


penurunan kekebalan tubuh akibat adanya infeksi oleh Human
Imunodeficiency Virus (HIV) yang termasuk famili retroviridae.
• Diagnosis infeksi HIV ditegakkan berdasarkan anamnesis yang
lengkap termasuk risiko pajanan HIV , pemeriksaan fisik,
pemeriksaan laboratorium, dan konseling perlu dilakukan pada setiap
odha saat kunjungan pertama kali ke sarana kesehatan. Gejala klinis
yang sering ditemukan pada odha umumnya berupa demam lama,
batuk, adanya penurunan berat badan, sariawan, dan diare. Dicurigai
AIDS pada orang dewasa bila ada paling sedikit dua gejala mayor dan
satu gejala minor dan tidak ada sebab-sebab imunosupresi yang lain
seperti kanker,malnutrisi berat atau pemakaian kortikosteroid yang
lama.
• Regimen pengobatan TB tidak berbeda dengan regimen pengobatan
TB pada kasus non-HIV dengan lama pengobatan 6 bulan seperti
tercantum pada tabel 16. Terapi ARV direkomendasikan untuk semua
odha yang menderita TB dengan CD4 < 200/mm 3, dan perlu
dipertimbangkan bila CD4 > 350/mm3. Bila tidak tersedia pemeriksaan
CD4, maka terapi ARV direkomendasikan untuk semua odha dengan
TB.

54
DAFTAR PUSTAKA

1. Djoerban Z, Djauzi S. HIV/AIDS di Indonesia. In: Sudoyo AW,


Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata MK, Setiati S, eds. Buku ajar ilmu
penyakit dalam. 4th ed. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu
Penyakit Dalam FKUI 2010

2. UNAIDS-WHO. Report on the global HIV/AIDS epidemic 2010:


executive summary. Geneva. 2010.

3. Prodjosudjadi W. 2006. Sindrom Nefrotik dalam. Jilid III. Ed IV.


Jakarta : Pusat Penerbit Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI.

4. Pedoman Nasional Terapi Antiretroviral. “Panduan Tatalaksana Klinis


Infeksi HIV pada orang Dewasa dan Remaja” edisi ke-2, Departemen
Kesehatan Republik Indonesia Direktorat Jenderal Pengendalian
Penyakit dan Penyehatan Lingkungan 2007

5. Merati TP, Djauzi S. Respon imun infeksi HIV. In: Sudoyo AW,
Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata MK, Setiati S, eds. Buku ajar ilmu
penyakit dalam. 4th ed. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu
Penyakit Dalam FKUI 2006

6. Djauzi S, Djoerban Z. Penatalaksanaan HIV/AIDS di pelayanan


kesehatan dasar. Jakarta: Balai Penerbit FKUI 2002.

7. Fauci AS, Lane HC. Human Immunodeficiency Virus Disease: AIDS


and related disorders. In: Kasper DL, Fauci AS, Longo DL, Braunwald
E, Hause SL, Jameson JL. editors. Harrison’s Principles of Internal
Medicine. 17th ed. The United States of America: McGraw-Hill

8. Infodatin: Pusat Data Dan Informasi Kementrian Kesehatan RI;


Tubercuosis

55
9. Laporan statistik HIV/AIDS di Indonesia. 2009 [cited 2009 March 10].
Available at url: http:/ / www.aidsindonesia.or.id

10.Yayasan Spiritia. Sejarah HIV di Indonesia. 2009 [cited 2009 April 8];
Available from: http://spiritia.or.id/art/bacaart.php?artno=1040

56

Anda mungkin juga menyukai