Acquired Immunodeficiency Syndrome (AIDS) Adalah Kumpulan Gejala
Acquired Immunodeficiency Syndrome (AIDS) Adalah Kumpulan Gejala
PENDAHULUAN
1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 HIV-AIDS
2.2.1 Definisi1
Acquired Immunodeficiency Syndrome (AIDS) adalah kumpulan
gejala atau penyakit yang diakibatkan karena penurunan kekebalan tubuh
akibat adanya infeksi oleh Human Imunodeficiency Virus (HIV) yang
termasuk famili retroviridae. AIDS merupakan tahap akhir dari infeksi
HIV.1
2.2.2 Epidemiologi1,2
Laporan UNAIDS-WHO menunjukkan bahwa AIDS telah
merenggut lebih dari 25 juta jiwa sejak pertama kali dilaporkan pada tahun
1981. Pada tahun 2009, jumlah odha diperkirakan mencapai 33,3 juta orang,
dengan sebangian besar penderitanya adalah usia produktif , 15,9 juta
penderita adalah perempuan dan 2,5 juta adalah anak-anak. Dengan jumlah
kasus baru HIV sebanyak 2.6 juta jiwa. Dari jumlah kasus baru tersebut,
sekitar 370 ribu di antaranya terjadi pada anakanak. Pada tahun yang sama,
lebih dari dua juta orang meninggal karena AIDS.2
Sebagian ODHA pada periode itu berasal dari kalangan
homoseksual. Kemudian jumlah kasus baru HIV/AIDS semakin meningkat
dan sejak pertengahan tahun 1999 mulai terlihat peningkatan tajam yang
terutama disebabkan akibat penularan melalui narkotika suntik.1
Saat ini, perkembangan epidemi HIV di Indonesia termasuk yang
tercepat di Asia. Sebagian besar infeksi baru diperkirakan terjadi pada
beberapa subpopulasi berisiko tinggi (dengan prevalensi > 5%) seperti
pengguna narkotika suntik (penasun), wanita penjaja seks (WPS), dan
waria. Di beberapa propinsi seperti DKI Jakarta, Riau, Bali, Jabar dan Jawa
Timur telah tergolong sebagai daerah dengan tingkat epidemi terkonsentrasi
(concentrated level of epidemic).3
Di Papua sudah memasuki tingkat epidemi meluas (generalized
epidemic).3 Berdasarkan laporan Departemen Kesehatan, terjadi laju
peningkatan kasus baru AIDS yang semakin cepat terutama dalam 3 tahun
2
terakhir dimana terjadi kenaikan tiga kali lipat dibanding jumlah yang
pernah dilaporkan pada 15 tahun pertama epidemi AIDS di Indonesia.
Dalam 10 tahun terakhir terjadi laju peningkatan jumlah kumulatif kasus
AIDS dimana pada tahun 1999 terdapat 352 kasus dan data tahun 2008
jumlah tersebut telah mencapai angka 16.110 kasus.3
Dari jumlah kumulatif 16.110 kasus AIDS yang dilaporkan pada
Desember 2008, sekitar 74,9% adalah laki-laki dan 24,6% adalah
perempuan. Berdasarkan cara penularan, dilaporkan 48% pada
heteroseksual; 42,3% pada pengguna narkotika suntik; 3,8% pada
homoseksual dan 2,2% pada transmisi perinatal. Hal ini menunjukkan
adanya pergeseran dari dominasi kelompok homoseksual ke kelompok
heteroseksual dan penasun. Jumlah kasus pada kelompok penasun hingga
akhir tahun 2008 mencapai 1.255 orang. Kumulatif kasus AIDS tertinggi
dilaporkan pada kelompok usia 20–29 tahun (50,82%), disusul kelompok
usia 30–39 tahun.4
Dari 33 propinsi seluruh Indonesia yang melaporkan, peringkat
pertama jumlah kumulatif kasus AIDS berasal dari propinsi Jawa Barat
sebesar 2.888 kasus, disusul DKI Jakarta dengan 2.781 kasus, kemudian
diikuti oleh Jawa Timur, Papua, dan Bali dengan masing-masing jumlah
kasus secara berurutan sebesar 2.591 kasus, 2.382 kasus, dan 1.177 kasus
AIDS.4
Rate kumulatif nasional kasus AIDS per 100.000 penduduk hingga
akhir Desember 2008 adalah sebesar 7,12 per 100.000 penduduk (dengan
jumlah penduduk Indonesia 227.132.350 jiwa berdasarkan data BPS tahun.
Proporsi kasus yang dilaporkan meninggal sebesar 20,89%. Lima infeksi
oportunistik terbanyak yang dilaporkan adalah TBC sebanyak 8.986 kasus,
diare kronis 4.542 kasus, kandidiasis orofaringeal 4.479 kasus, dermatitis
generalisata 1.146 kasus, dan limfadenopati generalisata sebanyak 603
kasus.4
3
2.2.3 Etiologi3
AIDS disebabkan oleh infeksi HIV. HIV adalah suatu virus RNA
berbentuk sferis yang termasuk retrovirus dari famili Lentivirus. (Gambar
1). Strukturnya tersusun atas beberapa lapisan dimana lapisan terluar
(envelop) berupa glikoprotein gp120 yang melekat pada glikoprotein gp41.
Selubung glikoprotein ini berafinitas tinggi terhadap molekul CD4 pada
permukaan T-helper lymphosit dan monosit atau makrofag. Lapisan kedua
di bagian dalam terdiri dari protein p17. Inti HIV dibentuk oleh protein p24.
Di dalam inti ini terdapat dua rantai RNA dan enzim transkriptase reverse
(reverse transcriptase enzyme).5
Gambar 1: struktur virus HIV-1
Ada dua tipe HIV yang dikenal yakni HIV-1 dan HIV-2. Epidemi
HIV global terutama disebabkan oleh HIV-1 sedangkan tipe HIV-2 tidak
terlalu luas penyebarannya. Tipe yang terakhir ini hanya terdapat di Afrika
Barat dan beberapa negara Eropa yang berhubungan erat dengan Afrika
Barat.5
4
2.2.4 Cara Penularan4
Infeksi HIV terjadi melalui tiga jalur transmisi utama yakni transmisi
melalui mukosa genital (hubungan seksual) transmisi langsung ke peredaran
darah melalui jarum suntik yang terkontaminasi atau melalui komponen
darah yang terkontaminasi, dan transmisi vertikal dari ibu ke janin. CDC
pernah melaporkan adanya penularan HIV pada petugas kesehatan.
2.2.5 Patogenesis2,4
Limfosit CD4+ (sel T helper atau Th) merupakan target utama
infeksi HIV karena virus mempunyai afinitas terhadap molekul permukaan
CD4. Limfosit CD4+ berfungsi mengkoordinasikan sejumlah fungsi
imunologis yang penting sehingga bila terjadi kehilangan fungsi tersebut
maka dapat menyebabkan gangguan imun yang progresif.1
Namun beberapa sel lainnya yang dapat terinfeksi yang ditemukan
secara in vitro dan invivo adalah megakariosit, epidermal langerhans,
peripheral dendritik, folikular dendritik, mukosa rectal, mukosa saluran
5
cerna, sel serviks, mikrogilia, astrosit, sel trofoblast, limfosit CD8, sel retina
dan epitel ginjal.
Infeksi HIV terjadi melalui molekul CD4 yang merupakan reseptor
utama HIV dengan bantuan ko-reseptor kemokin pada sel T atau monosit,
atau melalui kompleks molekul adhesi pada sel dendrit. Kompleks molekul
adhesi ini dikenal sebagai dendritic-cell specific intercellular adhesion
molecule-grabbing nonintegrin (DC-SIGN). Akhir-akhir ini diketahui
bahwa selain molekul CD4 dan ko-reseptor kemokin, terdapat integrin
sebagai reseptor penting lainnya untuk HIV. Antigen gp120 yang berada
pada permukaan HIV akan berikatan dengan CD4 serta ko-reseptor
kemokin CXCR4 dan CCR5, dan dengan mediasi antigen gp41 virus, akan
terjadi fusi dan internalisasi HIV.3
Di dalam sel CD4, sampul HIV akan terbuka dan RNA yang muncul
akan membuat salinan DNA dengan bantuan enzim transkriptase reversi.
Selanjutnya salinan DNA ini akan berintegrasi dengan DNA pejamu dengan
bantuan enzim integrase. DNA virus yang terintegrasi ini disebut sebagai
provirus. Setelah terjadi integrasi, provirus ini akan melakukan transkripsi
dengan bantuan enzim polimerasi sel host menjadi mRNA untuk
selanjutnya mengadakan transkripsi dengan protein-protein struktur sampai
terbentuk protein. mRNA akan memproduksi semua protein virus. Genomik
RNA dan protein virus ini akan membentuk partikel virus yang nantinya
akan menempel pada bagian luar sel. Melalui proses budding pada
permukaan membran sel, virion akan dikeluarkan dari sel inang dalam
keadaan matang. Sebagian besar replikasi HIV terjadi di kelenjar getah
bening, bukan di peredaran darah tepi.3
6
Gambar 2 : Visualisasi siklus HIV
7
terjadinya deplesi sel T CD4. Selain itu, terjadi juga disregulasi
repsons imun sel T CD4 dan proliferasi CD4 jarang terlihat pada
pasien HIV yang tidak mendapat pengobatan antiretrovirus.1
8
Table 2. Gejala klinis infeksi primer HIV
9
kehancuran limfosit CD4 yang tinggi, untungnya tubuh masih bisa
mengkompensasi dengan memproduksi limfosit CD4 sekitar 10 miliar sel
setiap hari.4
2.2.7 Diagnosis3,4
1. Anamnesis
10
Tabel 3. Faktor risiko infeksi HIV
11
2.7.3 Pemeriksaan penunjang7,8
12
konfirmasi yang sering dilakukan saat ini adalah dengan teknik Western Blot
(WB). Hasil tes positif palsu dapat disebabkan adanya otoantibodi, penerima
vaksin HIV, dan kesalahan teknik pemeriksaan. Hasil tes positif pada bayi yang
lahir dari ibu HIV positif belum tentu berarti tertular mengingat adanya IgG
terhadap HIV yang berasal dari darah ibu. IgG ini dapat bertahan selama 18
bulan sehingga pada kondisi ini, tes perlu diulang pada usia anak > 18 bulan.1,2
Hasil tes dinyatakan positif bila tes penyaring dua kali positif ditambah
dengan tes konfirmasi dengan WB positif. Di negara-negara berkembang
termasuk Indonesia, pemeriksaan WB masih relatif mahal sehingga tidak
mungkin dilakukan secara rutin. WHO menganjurkan strategi pemeriksaan
dengan kombinasi dari pemeriksaan penyaring yang tidak melibatkan
pemeriksaan WB sebagai konfirmasi. Di Indonesia, kombinasi yang digunakan
adalah tiga kali positif pemeriksaan penyaring dengan menggunakan strategi 3.
Bila hasil tes tidak sama missal hasil tes pertama reaktif, tes kedua reaktif, dan
yang ketiga nonreaktif atau apabila hasil tes pertama reaktif, kedua dan ketiga
non-reaktif, maka keadaan ini disebut sebagai indeterminate dengan catatan
orang tersebut memiliki riwayat pajanan atau berisiko tinggi tertular HIV. Bila
orang tersebut tanpa riwayat pajanan atau tidak memiliki risiko tertular, maka
hasil pemeriksaan dilaporkan sebagai non-reaktif.1,2
13
Table 8 : Alogaritma pemeriksaan HIV
14
2.7.5 Stadium Klinis7,8
15
Perjalan klinik infeksi HIV telah ditemukan beberapa klasifikasi yaitu :
a. Infeksi Akut : CD4 : 750 – 1000
Gejala infeksi akut biasanya timbul sedudah masa inkubasi selama 1-3
bulan. Gejala yang timbul umumnya seperti influenza, demam, atralgia,
anereksia, malaise, gejala kulit (bercak-bercak merah, urtikarta), gejala
syaraf (sakit kepada, nyeri retrobulber, gangguan kognitif danapektif),
gangguan gas trointestinal (nausea, diare). Pada fase ini penyakit tersebut
sangat menular karena terjadi viremia. Gejala tersebut diatas merupakan
reaksi tubuh terhadap masuknya unis yang berlangsung kira-kira 1-2
minggu.
b. Infeksi Kronis Asimtomatik : CD4 > 500/ml
Setelah infeksi akut berlalu maka selama bertahun-tahun kemudian,
umumnya sekitar 5 tahun, keadaan penderita tampak baik saja, meskipun
sebenarnya terjadi replikasi virus secara lambat di dalam tubuh. Beberapa
penderita mengalami pembengkakan kelenjar lomfe menyeluruh, disebut
limfa denopatio (LEP), meskipun ini bukanlah hal yang bersifat prognostic
dan tidak terpengaruh bagi hidup penderita. Saat ini sudah mulai terjadi
penurunan jumlah sel CD4 sebagai petunjuk menurunnya kekebalan tubuh
penderita, tetapi masih pada tingkat 500/ml.
c. Infeksi Kronis Simtomatik
Fase ini dimulai rata-rata sesudah 5 tahun terkena infeksi HIV. Berbagai
gejala penyakit ringan atau lebih berat timbul pada fase ini, tergantung pada
tingkat imunitas pemderita.
1) Penurunan Imunitas sedang : CD4 200 – 500
Pada awal sub-fase ini timbul penyakit-penyakit yang lebih ringan misalnya
reaktivasi dari herpes zoster atau herpes simpleks. Namun dapat sembuh
total atau hanya dengan pengobatan biasa. Keganasan juga dapat timbul
pada fase yang lebih lanjut dari sub-fase ini dan dapat berlanjut ke sub fase
berikutnya, demikian juga yang disebut AIDS-Related (ARC).
2) Penurunan Imunitas berat : CD4 < 200
Pada sub fase ini terjadi infeksi oportunistik berat yang sering mengancam
jiwa penderita. Keganasan juga timbul pada sub fase ini, meskipun sering
16
pada fase yang lebih awal. Viremia terjadi untuk kedua kalinya dan telah
dikatakan tubuh sudah dalam kehilangan kekebalannya.
Sindrom klinis stadium simptomatik yang utama:
17
Limfadenopati generalisata
Herpes simplek diseminata yang kronik progresif
b. Dicurigai AIDS pada anak. Bila terdapat paling sedikit dua gejala mayor dan
dua gejala minor, dan tidak terdapat sebab – sebab imunosupresi yang lain
seperti kanker, malnutrisi berat, pemakaian kortikosteroid yang lama atau
etiologi lain.
1. Gejala Mayor
Penurunan berat badan atau pertmbuhan yang lambat dan abnormal
Diare kronik lebih dari 1bulan
Demam lebih dari1bulan
2. Gejala minor
Limfadenopati generalisata
Kandidiasis oro-faring
Infeksi umum yang berulang
Batuk parsisten
Dermatitis
18
Tabel 9. Stadium klinis HIV3,8
Stadium 1 Asimptomatik
Tidak ada penurunan berat badan
Tidak ada gejala atau hanya : Limfadenopati Generalisata Persisten
19
2. 8 Penatalaksanaan3,6
20
Dalam hal tidak tersedia tes CD4, semua pasien dengan stadium 3 dan 4 harus
memulai terapi ARV. Pasien dengan stadium klinis 1 dan 2 harus dipantau
secara seksama, setidaknya setiap 3 bulan sekali untuk pemeriksaan medis
lengkap atau manakala timbul gejala atau tanda klinis yang baru.Adapun terapi
HIV-AIDS berdasarkan stadiumnya seperti pada tabel 10. (Depkes RI, 2007)
21
Bila terdapat tes untuk hitung CD4, saat yang paling tepat untuk
memulai terapi ARV adalah sebelum pasien jatuh sakit atau munculnya IO yang
pertama. Perkembangan penyakit akan lebih cepat apabila terapi Arv dimulai
pada saat CD4 < 200/mm3 dibandingkan bila terapi dimulai pada CD4 di atas
jumlah tersebut. Apabila tersedia sarana tes CD4 maka terapi ARV sebaiknya
dimulai sebelum CD4 kurang dari 200/mm3. Waktu yang paling optimum untuk
memulai terapi ARV pada tingkat CD4 antara 200- 350/mm3 masih belum
diketahui, dan pasien dengan jumlah CD4 tersebut perlu pemantauan teratur
secara klinis maupun imunologis.3
Terapi ARV dianjurkan pada pasien dengan TB paru atau infeksi
bakterial berat dan CD4 < 350/mm3. Juga pada ibu hamil stadium klinis
manapun dengan CD4 < 350 / mm3. Keputusan untuk memulai terapi ARV
pada ODHA dewasa dan remaja didasarkan pada pemeriksaan klinis dan
imunologis. Namun Pada keadaan tertentu maka penilaian klinis saja dapat
memandu keputusan memulai terapi ARV. Mengukur kadar virus dalam darah
(viral load) tidak dianjurkan sebagai pemandu keputusan memulai terapi.3,4
Terapi ARV sebaiknya jangan dimulai bila terdapat keadaan infeksi
oportunistik yang aktif. Pada prinsipnya, IO harus diobati atau diredakan dulu.
Namun pada kondisi-kondisi dimana tidak ada lagi terapi yang efektif selain
perbaikan fungsi kekebalan dengan ARV maka pemberian ARV sebaiknya
diberikan sesegera mungkin (AIII). Contohnya pada kriptosporidiosis,
mikrosporidiosis, demensia terkait HIV. Keadaan lainnya, misal pada infeksi
M.tuberculosis, penundaan pemberian ARV 2 hingga 8 minggu setelah terapi
TB dianjurkan untuk menghindari bias dalam menilai efek samping obat dan
juga untuk mencegah atau meminimalisir sindrom restorasi imun atau IRIS.
22
duo (AZT dan 3TC) namun hanya memberikan manfaat sementara yang akan
segera diikuti oleh resistensi.8,9
23
hamil karena EFZ tidak boleh diberikan (Depkes RI, 2007). Pemilihan ARV
golongan NRTI tentunya dengan mempertimbangkan keuntungan dan
kekurangan masingmasing obat. Adapun kombinasi terapi ARV yang tidak
dianjurkan seperti pada tabel 12.
Tabel 12. Pilihan obat ARV golongan NR
24
2.2 TUBERKULOSIS PADA HIV8,9,10
TB paru merupakan jenis yang paling sering dijumpai dan muncul pada
infeksi HIV awal dengan jumlah median CD4 > 300 sel/dL sedangkan TB
ekstraparu atau diseminata dijumpai pada odha dengan jumlah CD4 yang lebih
rendah. 10
Gejala TB paru yang paling sering adalah batuk kronik lebih dari 3
minggu, demam, penurunan berat badan, penurunan nafsu makan, rasa letih,
berkeringat pada waktu malam, nyeri dada, dan batuk darah. Sedangkan pada
TB ekstra paru yang tersering adalah limfadenopati asimetris, perikarditis, efusi
pleura dan osteomielitis. Sayangnya, gambaran klinis TB pada odha seringkali
tidak khas dan sangat bervariasi sehingga menegakkan diagnosis menjadi lebih
sulit.
Cara penegakan diagnosis TB pada odha tidak berbeda dengan yang
bukan odha. Namun, sensitivitas untuk pemeriksaan sputum BTA pada odha
sekitar 50% dan tes tuberkulin hanya positif pada 30-50% odha. Pada foto
toraks, gambaran TB paru pada odha dengan CD4>200 sel/µL tidak berbeda
dengan non – HIV berupa infiltrat pada lobus atas, kavitas, atau efusi pleura.
Pada ODHA dengan CD < 200 sel/µL, gambaran yang lebih sering tampak
adalah limfadenopati mediastinum dan infiltrat di lobus bawah. Diagnosis
definitif TB pada odha adalah dengan ditemukannya M.tuberculosis pada kultur
jaringan atau specimen sedangkan diagnosis presumtifnya berdasarkan
ditemukannya BTA pada specimen dengan gejala sesuai TB atau perbaikan
gejala setelah terapi kombinasi
Regimen pengobatan TB tidak berbeda dengan regimen pengobatan TB
pada kasus non-HIV dengan lama pengobatan 6 bulan seperti tercantum pada
tabel 16. Terapi ARV direkomendasikan untuk semua odha yang menderita TB
dengan CD4 < 200/mm3, dan perlu dipertimbangkan bila CD4 > 350/mm3. Bila
tidak tersedia pemeriksaan CD4, maka terapi ARV direkomendasikan untuk
semua odha dengan TB. Pemberian OAT sebaiknya tidak dimulai bersama-
sama dengan ARV dengan tujuan untuk mengurangi kemungkinan interaksi
obat, dan ketidakpatuhan minum obat.
25
Tabel 16. Obat yang dipakai dan lama pengobatan
Beberapa hal yang perlu diperhatikan pada odha dengan terapi ARV dan
OAT adalah kemungkinan adanya efek samping dan resistensi OAT. Tatacara
terapi berdasarkan jumlah CD4 seperti tercantum pada tabel 17. Untuk itu, perlu
dilakukan tes resistensi BTA pada odha yang mengalami TB.9
Tabel 17. Terapi ARV untuk pasien koinfeksi TB-HIV
26
2.3 TUBERKULOSIS PARU RELAPS
Tuberkulosis merupakan infeksi yang disebabkan oleh bakteri
Mycobacterium tuberculosis. Organisme ini disebut pula sebagai basil tahan
asam. Penularan terjadi melalui udara (airborne spreading) dari droplet infeksi.
Sumber infeksi adalah penderita TB paru yang membatukkan dahaknya, dimana
pada pemeriksaan hapusan dahaknya umumnya di temukan BTA positif.
Adapun Patofisiologi Tb Paru dapat terjadi melalui:
a) Tuberkulosis primer
Infeksi primer terjadi setelah seseorang menghirup mikrobakterium
tuberkulosis. Setelah melalui barier mukosilier saluran napas, basil TB
akan mencapai alveoli. Kuman akan mengalami multiplikasi di paru,
disebut fokus Ghon. Melalui aliran limfe, basil mencapai kelenjar limfe
hilus. Fokus Ghon dan limfadenopati hilus membentuk kompleks
primer. Melalui kompleks primer basil dapat menyebar ke pembuluh
darah dan ke seluruh tubuh. Respon imun seluler/hipersensitiviti tipe
lambat terjadi 4-6 minggu setelah infeksi primer. Banyaknya basil TB
serta kemampuan daya tahan tubuh host akan menentukan perjalanan
penyakit selanjutnya. Pada kebanyakan kasus, respons imun tubuh
dapat menghentikan multiplikasi kuman, sebagian kecil menjadi
kuman dorman. Pada penderita dengan daya tahan tubuh yang buruk,
respons imun tidak dapat menghentikan multiplikasi kuman, sehingga
akan menjadi sakit pada beberapa bulan kemudian. Sehingga kompleks
primer akan mengalami salah satu hal sebagai berikut :
1. Penderita akan sembuh dengan tidak meninggalkan cacat
(restirution ad integrum)
2. Sembuh dengan meninggalkan bekas (seperti sarang Ghon,
fibrotik, perkapuran)
3. Menyebar dengan cara :
- Perkontinuitatum ke jaringan sekitarnya
Sebagai contoh adalah pembesaran kelenjar limfe di hilus,
sehingga menyebabkan penekanan bronkus lobus medius,
berakibat atelektasis. Kuman akan menjalar sepanjang bronkus
27
yang tersumbat menuju lobus yang atelektasis, menimbulkan
peradangan pada lobus yang atelektasis, hal ini disebut sebagai
epituberkulosis. Pembesaran kelenjar limfe di leher, dapat
menjadi abses disebut scrofuloderma. Penyebaran ke pleura
menyebabkan efusi pleura.
- Penyebaran bronkogen ke paru bersangkutan atau paru
sebelahnya. Atau tertelan bersama dahak sehingga terjadi
penyebaran di usus.
- Penyebaran secara hematogen dan limfogen ke organ lain
seperti tuberkulosis milier, meningitis, ke tulang, ginjal,
genetalia.
b) Tuberkulosis post primer
Terjadi setelah periode laten (beberapa bulan/ tahun) setelah infeksi
primer. Dapat terjadi karena reaktivasi atau reinfeksi. Reaktivasi terjadi
akibat kuman dorman yang berada pada jaringan selama beberapa
bulan/ tahun setelah infeksi primer, mengalami multiplikasi. Hal ini
dapat terjadi akibat daya tahan tubuh yang lemah. Reinfeksi diartikan
adanya infeksi ulang pada seseorang yang sebelumnya pernah
mengalami infeksi primer. TB post primer umumnya menyerang paru,
tetapi dapat pula di tempat lain di seluruh tubuh umumnya pada usia
dewasa. Karakteristik TB post primer adalah adanya kerusakan paru
yang luas dengan kavitas, hapusan dahak BTA positif, pada lobus atas,
umumnya tidak terdapat limfadenopati intratoraks.
Bentuk tuberkulosis post primer dapat sebagai tuberkulosis paru
dan ekstra paru. Tuberkulosis post primer dimulai dari sarang dini yang
umumnya pada segmen apical lobus superior atau inferior. Awalnya
berbentuk sarang pneumonik kecil.
Sarang ini dapat mengalami salah satu keadaan sebagai berikut :
1. Diresorbsi dan sembuh dengan tidak meninggalkan cacat
2. Sarang meluas, tetap segera mengalami penyembuhan berupa
jaringan fibrosis dan perkapuran. Sarang dapat aktif kembali
membentuk jaringan keju dan bila dibatukkan menimbulkan kaviti.
28
3. Sarang pneumonik meluas, membentuk jaringan keju yang bila
dibatukkan akan menimbulkan kaviti. Kaviti awalnya berdinding
tipis kemudian menjadi tebal (kaviti sklerotik). Kaviti akan
mengalami :
- Meluas dan menimbulkan sarang pneumonik baru
- Memadat dan membungkus diri disebut tuberkuloma.
Tuberkuloma dapat mengapur dan sembuh, tapi dapat aktif
kembali dan mencair menimbulkan kaviti kembali.
- Menyembuh dan disebut open heald cavity, atau menyembuh
dengan membungkus diri, akhirnya mengecil. Kaviti dapat
menciut dan tampak sebagai bintang (stellate shape).
A. PENATALAKSANAAN
Pengobatan tuberkulosis terbagi menjadi 2 fase yaitu fase intensif (2-
3 bulan) dan fase lanjutan 4 atau 7 bulan. Paduan obat yang digunakan
terdiri dari paduan obat utama dan tambahan. 8
29
Obat Dosis Dosis yg dianjurkan Dosis Dosis (mg) / berat badan
(Mg/Kg Maks (kg)
BB/Hari) Harian ( Intermitten ( (mg) < 40 40-60 >60
mg/ mg/Kg/BB/kal
kgBB i)
/ hari)
60
R 8-12 10 10 300 450 600
0
30
H 4-6 5 10 150 300 450
0
Ses
10
S 15-18 15 15 uai 750 1000
00
BB
30
5. Menurunkan risiko penyalahgunaan obat tunggal dan MDR akibat
penurunan penggunaan monoterapi
31
-3-6 kanamisin, ofloksasin,
etionamid, sikloserin / 15-18
ofloksasin, etionamid, sikloserin
atau 2RHZES / 1RHZE / 5RHE
II TB paru putus Sesuai lama pengobatan
berobat sebelumnya, lama berhenti
minum obat dan keadaan klinis,
bakteriologi dan radiologi saat ini
(lihat uraiannya) atau
*2RHZES / 1RHZE / 5R3H3E3
III TB paru BTA (-) 2 RHZE / 4 RH atau
dengan lesi minimal 6 RHE atau
*2RHZE /4 R3H3
IV Kronik RHZES / sesuai hasil uji
resistensi (minimal OAT yang
sensitif) + obat lini 2 (pengobatan
minimal 18 bulan)
IV MDR TB Sesuai uji resistensi + OAT lini
2 atau H seumur hidup
32
BAB III
LAPORAN KASUS
3.1 Identitas
No. DM : 46 76 26
Nama : Tn. T, Y
Alamat : Abepantai
33
nyaman, ada mual dan muntah tiap kali makan sehingga nafsu makan
pasien menurun. Pasien juga mengeluh batuk sejak 2 minggu. Batuk
disertai sesak terutama saat berbaring dan malam hari, batuk berlendir
warna putih agak kental. Darah dalam dahak tidak ada. Keringat malam
hari ada kadang-kadang, demam tidak terlalu tinggi terutama sore hari.
Keluhan lain yang dialami pasien adalah nyeri pada luka di paha kanan
sejak 1 minggu, luka tersebut tidak sembuh sampai saat ini. Luka
tersebut awalnya benjolan kecil, yang kemudian membengkang, merah,
dan pecah mengeluarkan nanah.
Pasien mengaku pernah minum obat paru selama 6 bulan hingga tuntas
di tahun 2007.
Riwayat Penyakit Dahulu
- Riwayat HIV : pengobatan dengan ARV tahun 2017 namun putus
obat.
- Riw. Tuberkulosis Paru pengobatan selama 6 bulan tuntas.
- Riw. Hipertensi (disangkal), diabetes melitus (disangkal)
- Riwayat Alergi makanan dan obat disangkal
Riwayat Penyakit Keluarga: penyakit stroke, kelainan jantung, diabetes
melitus tidak ada.
Riwayat Kebiasaan
Kebiasaan Minum Alkohol (+), Merokok (+)
34
Kepala
Mata : Conjungtiva anemis (+/+);Sklera ikterik (-/-)
Hidung : Deformitas (-),sekret (-), pembauan normal.
Telinga : Deformitas (-),sekret (-), pendengaran normal.
Mulut : stomatitis (-), oral trush (-), karies (-),bau mulut (-).
Leher
Pembengkakan KGB colli (-)
Deviasi trakea (-)
Kelainan kelenjar thyroid (-)
Thorax
Inspeksi : simetris, ikut gerak napas, retraksi (-)
Palpasi : ictus cordis tidak teraba, vocal fremitus D=S
Perkusi : paru → sonor
jantung → pekak
Auskultasi : suara napas vesikuler, rhonki (-/-),wheezing (-/-)
bunyi jantung I-II reguler.
Abdomen
Inspeksi : Simetris, datar, jejas (-),
Auskultasi : Bising usus (+) normal
Palpasi : supel (+), nyeri tekan epigastrium (-), Hepar: tidak
teraba. Lien: tidak teraba
Perkusi : Tympani
Ekstremitas
Inspeksi : Ekstremitas atas edema(-) Ekstremitas bawah :
tampak nodus eritematosa, pus(+) diregio femoralis dextra.
edema(-)
Palpasi : Akral hangat pada tungkai dan tangan.
35
3.4 Pemeriksaan penunjang
1. Darah Lengkap tanggal 13-09-2018
36
2. Darah Lengkap Tanggal 21-09-2018
SGOT 55
SGPT 35
Kalium 3,66
37
Natrium 136,70
Klorida 107,20
Creatinin 1,1
3.5. Resume
Pasien laki-laki (31 th), datang dengan keluhan lemas ±1 minggu SMRS, tidak
bertenaga, demam ± 1 minggu, naik turun. Demam tinggi saat sore hari. BAB
cair/ mencret sejak 1 bulan terus menerus. Dalam 1 hari sebelum MRS mencret
sebanyak 15x dari malam sampai pagi. Kotoran berisi ampas makanan, encer,
berwarna coklat. Perut tidak nyaman, mual (+), dan muntah (+). Batuk (+)
38
sejak 2 minggu, disertai sesak terutama saat berbaring dan malam hari,
berlendir (+), warna putih agak kental. Keringat malam hari (+), demam tidak
terlalu tinggi terutama sore hari. Nyeri pada luka di paha kanan sejak 1 minggu,
nanah (+).nanah. Riw. OAT selama 6 bulan hingga tuntas di tahun 2007. Riw.
ARV 2017, putus obat.
Dari Pemeiksaan fisik ditemukan konjungtiva anemis. Didapatkan jaringan
meradangan, pus (+) region femoralis dextra. Hasil pemeriksaan penunjang,
didapatkan anemia, Hemoglobin rendah (10,6g/dL ), pemeriksaan anti HIV
reaktif. Pemeriksaan sputum gen expet ditemukan kuman Mycobacterium
Tuberculosis dan pada foto radiologi thorax didapatkan gambaran TB paru
kanan.
X-ray Thorax :
39
3.8 Follow-up Ruangan
40
Eks : Akral hangat, edema (-/-),
eritem Palmaris (-)
X-ray Thorax PA: tampak
bercak berawan pada apex dan
basal, kalsifikasi (+)
Laboratorium:
Leukosit 7960/mm3, eritrosit:3,5x
106, SGOT: 55 g/dL, SGPT: 35
g/dL, Hb 10,6/dL
HbsAg: negatif
Malaria: Negatif
Antibodi HIV: Reaktif
TCM sputum (Gen Expert):
ditemukan bakteri M.
Tuberculosis
A:
Anemia
HIV stadium III
TB Paru relaps
41
S : 38,1 ⁰C
SpO2: 96%
Status Generalis:
Kepala/Leher: CA (+/+), SI (-/-),
OC(-), P> KGB (-), Peningkatan
JVP (-)
Thorax: simetris, ikut gerak
napas, regular, fremitus D=S, SN
vesikuler (+/+), Rhonki (+/-),
Wheezing (-)
Abdomen: datar, peristaltik (+)
kesan normal, supel, NT (-),
Hepar?Lien: ttb
Eks : Akral hangat, edema (-/-),
eritem Palmaris (-)
A:
Anemia
HIV stadium III
TB Paru relaps
15-09-2018 S : Lemas (+), Demam (+) naik turun, Planning :
mual muntah (+), Batuk (+) dahak, IVFD Nacl 0,9% +
Mencret 5x sehari cair, isi ampas Neurobion 1 amp drip
(20 tpm)
makanan Injeksi Ranitidine
BAK : kesan lancar, warna seperti teh 50mg amp/12 jam
O: Injeksi Ceftriaxone
1gr vial/12 jam
KU: tampak sakit edang Cotrimoxazole
Kes: composmentis, GCS: 15 480mg tab 2x2 sehari
(p.o)
Tanda-tanda vital:
Ambroxol 3x1 tab
TD : 110/70 mmHg sehari
N : 98x/menit
P : 21x/menit
42
S : 39,1 ⁰C
SpO2: 96%
Status Generalis:
Kepala/Leher: CA (+/+), SI (-/-),
OC(-), P> KGB (-), Peningkatan
JVP (-)
Thorax: simetris, ikut gerak
napas, regular, fremitus D=S, SN
vesikuler (+/+), Rhonki (+/-),
Wheezing (-)
Abdomen: datar, peristaltik (+)
kesan normal, supel, NT (-),
Hepar?Lien: ttb
Eks : Akral hangat, edema (-/-),
eritem Palmaris (-)
A : AIDS stadium III dengan TB
Paru relaps
SpO2: 96%
43
Status Generalis:
Kepala/Leher: CA (+/+), SI (-/-),
OC(-), P> KGB (-), Peningkatan
JVP (-)
Thorax: simetris, ikut gerak
napas, regular, fremitus D=S, SN
vesikuler (+/+), Rhonki (+/-),
Wheezing (-)
Abdomen: datar, peristaltik (+)
kesan normal, supel, NT (-),
Hepar/Lien: ttb
Eks : Akral hangat, edema (-/-),
eritem Palmaris (-)
A : AIDS stadium III dengan TB
Paru relaps
19-09-2018 S : Lemas (+), Demam (+) naik turun, Planning :
mual muntah (+), Batuk (+) dahak, IVFD Nacl 0,9% +
Mencret 5x sehari cair, isi ampas Neurobion 1 amp drip
(20 tpm)
makanan Injeksi Ranitidine
BAK : kesan lancar, warna seperti teh 50mg amp/12 jam
O: Injeksi Ceftriaxone
1gr vial/12 jam
KU: tampak sakit edang Cotrimoxazole
Kes: composmentis, GCS: 15 480mg tab 2x2 sehari
(p.o)
Tanda-tanda vital:
Ambroxol 3x1 tab
TD : 100/70 mmHg sehari
N : 86x/menit Activated Attapulgite
600mg tablet 3x 2
P : 22x/menit Tab
S : 37,1 ⁰C Aspar K 1x1tab
SpO2: 96%
Status Generalis:
44
Kepala/Leher: CA (+/+), SI (-/-),
OC(-), P> KGB (-), Peningkatan
JVP (-)
Thorax: simetris, ikut gerak
napas, regular, fremitus D=S, SN
vesikuler (+/+), Rhonki (+/-),
Wheezing (-)
Abdomen: datar, peristaltik (+)
kesan normal, supel, NT (-),
Hepar/Lien: ttb
Eks : Akral hangat, edema (-/-),
eritem Palmaris (-)
A : AIDS stadium III dengan TB
Paru relaps
20-09-2018 S : Lemas (+), Demam (+) naik turun, Planning :
mual muntah (+), Batuk (+) dahak, IVFD Nacl 0,9% +
Mencret 5x sehari cair, isi ampas Neurobion 1 amp drip
(20 tpm)
makanan Injeksi Ranitidine
BAK : kesan lancar, warna seperti teh 50mg amp/12 jam
Injeksi Ceftriaxone
O:
1gr vial/12 jam
KU: tampak sakit edang Cotrimoxazole
Kes: composmentis, GCS: 15 480mg tab 2x2 sehari
(p.o)
Tanda-tanda vital:
Ambroxol 3x1 tab
TD : 100/70 mmHg sehari
N : 86x/menit Activated Attapulgite
600mg tablet 3x 2
P : 22x/menit Tab
S : 37,1 ⁰C Aspar K 1x1tab
SpO2: 96%
Status Generalis:
Kepala/Leher: CA (+/+), SI (-/-),
OC(-), P> KGB (-), Peningkatan
JVP (-)
45
Thorax: simetris, ikut gerak
napas, regular, fremitus D=S, SN
vesikuler (+/+), Rhonki (+/-),
Wheezing (-)
Abdomen: datar, peristaltik (+)
kesan normal, supel, NT (-),
Hepar/Lien: ttb
Eks : Akral hangat, edema (-/-),
eritem Palmaris (-)
A : AIDS stadium III dengan TB
Paru relaps
21-09-2018 S : Lemas (+), Demam (+) naik turun, Planning :
mual muntah (+), Batuk (+) dahak, IVFD Nacl 0,9% +
Mencret 5x sehari cair, isi ampas Neurobion 1 amp drip
(20 tpm)
makanan Injeksi Ranitidine
BAK : kesan lancar, warna seperti teh 50mg amp/12 jam
O: Injeksi Ceftriaxone
1gr vial/12 jam
KU: tampak sakit edang Cotrimoxazole
Kes: composmentis, GCS: 15 480mg tab 2x2 sehari
(p.o)
Tanda-tanda vital:
Ambroxol 3x1 tab
TD : 100/70 mmHg sehari
N : 86x/menit Activated Attapulgite
600mg tablet 3x 2
P : 22x/menit Tab
S : 37,1 ⁰C Aspar K 1x1tab
SpO2: 96%
Status Generalis:
Kepala/Leher: CA (+/+), SI (-/-),
OC(-), P> KGB (-), Peningkatan
JVP (-)
Thorax: simetris, ikut gerak
napas, regular, fremitus D=S, SN
46
vesikuler (+/+), Rhonki (+/-),
Wheezing (-)
Abdomen: datar, peristaltik (+)
kesan normal, supel, NT (-),
Hepar/Lien: ttb
Eks : Akral hangat, edema (-/-),
eritem Palmaris (-)
A : AIDS stadium III dengan TB
Paru relaps
22-09-2018 S : Lemas (+), Demam (+) naik turun, Planning :
mual muntah (+), Batuk (+) dahak, IVFD Nacl 0,9% +
Mencret 5x sehari cair, isi ampas Neurobion 1 amp drip
(20 tpm)
makanan Injeksi Ranitidine
BAK : kesan lancar, warna seperti teh 50mg amp/12 jam
O: Injeksi Ceftriaxone
1gr vial/12 jam
KU: tampak sakit edang Cotrimoxazole
Kes: composmentis, GCS: 15 480mg tab 2x2 sehari
(p.o)
Tanda-tanda vital:
Ambroxol 3x1 tab
TD : 100/70 mmHg sehari
N : 86x/menit Activated Attapulgite
600mg tablet 3x 2
P : 22x/menit Tab
S : 37,1 ⁰C Aspar K 1x1tab
SpO2: 96%
Status Generalis:
Kepala/Leher: CA (+/+), SI (-/-),
OC(-), P> KGB (-), Peningkatan
JVP (-)
Thorax: simetris, ikut gerak
napas, regular, fremitus D=S, SN
vesikuler (+/+), Rhonki (+/-),
Wheezing (-)
47
Abdomen: datar, peristaltik (+)
kesan normal, supel, NT (-),
Hepar/Lien: ttb
Eks : Akral hangat, edema (-/-),
eritem Palmaris (-)
A : AIDS stadium III dengan TB
Paru relaps
23-09-2018 S : Lemas (+), Demam (+) naik turun, Planning :
mual muntah (+), Batuk (+) dahak, IVFD Nacl 0,9% +
Mencret 5x sehari cair, isi ampas Neurobion 1 amp drip
(20 tpm)
makanan Injeksi Ranitidine
BAK : kesan lancar, warna seperti teh 50mg amp/12 jam
O: Injeksi Ceftriaxone
1gr vial/12 jam
KU: tampak sakit edang Cotrimoxazole
Kes: composmentis, GCS: 15 480mg tab 2x2 sehari
(p.o)
Tanda-tanda vital:
Ambroxol 3x1 tab
TD : 100/70 mmHg sehari
N : 86x/menit Activated Attapulgite
600mg tablet 3x 2
P : 22x/menit Tab
S : 37,1 ⁰C Aspar K 1x1tab
SpO2: 96%
Status Generalis:
Kepala/Leher: CA (+/+), SI (-/-),
OC(-), P> KGB (-), Peningkatan
JVP (-)
Thorax: simetris, ikut gerak
napas, regular, fremitus D=S, SN
vesikuler (+/+), Rhonki (+/-),
Wheezing (-)
Abdomen: datar, peristaltik (+)
kesan normal, supel, NT (-),
Hepar/Lien: ttb
48
Eks : Akral hangat, edema (-/-),
eritem Palmaris (-)
A : AIDS stadium III dengan TB
Paru relaps
24-09-2018 S : Lemas (+), Demam (+) naik turun, Planning :
mual muntah (+), Batuk (+) dahak, IVFD Nacl 0,9% +
Mencret 5x sehari cair, isi ampas Neurobion 1 amp drip
(20 tpm)
makanan Injeksi Ranitidine
BAK : kesan lancar, warna seperti teh 50mg amp/12 jam
O: Injeksi Ceftriaxone
1gr vial/12 jam
KU: tampak sakit edang Cotrimoxazole
Kes: composmentis, GCS: 15 480mg tab 2x2 sehari
(p.o)
Tanda-tanda vital:
Ambroxol 3x1 tab
TD : 100/70 mmHg sehari
N : 86x/menit Activated Attapulgite
600mg tablet 3x 2
P : 22x/menit Tab
S : 37,1 ⁰C Aspar K 1x1tab
SpO2: 96%
Status Generalis:
Kepala/Leher: CA (+/+), SI (-/-),
OC(-), P> KGB (-), Peningkatan
JVP (-)
Thorax: simetris, ikut gerak
napas, regular, fremitus D=S, SN
vesikuler (+/+), Rhonki (+/-),
Wheezing (-)
Abdomen: datar, peristaltik (+)
kesan normal, supel, NT (-),
Hepar/Lien: ttb
Eks : Akral hangat, edema (-/-),
eritem Palmaris (-)
49
A : AIDS stadium III dengan TB
Paru relaps
Abses Femoralis (D)
BAB IV
PEMBAHASAN
50
kadang-kadang, demam tidak terlalu tinggi terutama sore hari. Keluhan lain
yang dialami pasien adalah nyeri pada luka di paha kanan sejak 1 minggu, luka
tersebut tidak sembuh sampai saat ini. Luka tersebut awalnya benjolan kecil,
yang kemudian membengkang, merah, dan pecah mengeluarkan nanah.
Pasien mengaku pernah minum obat paru selama 6 bulan hingga tuntas di tahun
2007.
Pada pemeriksaan fisik didapatkan konjungtiva anemis. Tidak
ditemukan oral candidiasis. Sedangkan dari pemeriksaan Laboratorium,
didapatkan kadar hemoglobin 10,6. Hasil pemeriksaan imunologi HIV reaktif.
Hasil sputum TCM/Gen Expert ditemukan bakteri M. Tuberculosis. Dan dari
pemeriksaan Foto thorax PA mendukung adanya infeksi Tb lama aktif
kembali.
Berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang
makan ditegakkan diagnosis pada pasien tersebut adalah Infeksi HIV atau AIDS
stadium III dengan infeksi TB paru Relaps. Hal ini sesuai teori Infeksi HIV
AIDS dengan infeksi uportunistik Tuberkulosis paru.
51
adalah limfadenopati mediastinum dan infiltrat di lobus bawah. Diagnosis
definitif TB pada odha adalah dengan ditemukannya M.tuberculosis pada
kultur jaringan atau specimen sedangkan diagnosis presumtifnya berdasarkan
ditemukannya BTA pada specimen dengan gejala sesuai TB atau perbaikan
gejala setelah terapi kombinasi
52
laktat, dan neuropati perifer. Kombinasi AZT + 3TC + EFZ dapat digunakan
bila NVP tidak dapat digunakan.
Regimen pengobatan TB tidak berbeda dengan regimen pengobatan TB
pada kasus non-HIV dengan lama pengobatan 6 bulan seperti tercantum pada
tabel 16. Terapi ARV direkomendasikan untuk semua odha yang menderita TB
dengan CD4 < 200/mm3, dan perlu dipertimbangkan bila CD4 > 350/mm3. Bila
tidak tersedia pemeriksaan CD4, maka terapi ARV direkomendasikan untuk
semua odha dengan TB. Pemberian OAT sebaiknya tidak dimulai bersama-
sama dengan ARV dengan tujuan untuk mengurangi kemungkinan interaksi
obat, dan ketidakpatuhan minum obat.
Pada pasien ini telah diberikan ARV (AZT+3TC+EFZ) sejak tahun 2017
tetapi putus obat dan diberikan FDC OAT selama 6 bulan. Saat ini pasien
diberikan pengobatan simptomatik dan profilaksis infeksi uportunistik.
Medikamentosa yang didapat pasien selama diruangan antara lain: IVFD Nacl
0,9% + Neurobion 1 amp drip (20 tpm), Injeksi Ranitidine 50mg amp/12 jam,
Injeksi Ceftriaxone 1gr vial/12 jam, Cotrimoxazole 480mg tab 2x2 sehari (p.o)
sebagai profilaksis dan pengobatan infeksi uportunistik, Ambroxol 3x1 tab
sehari, Activated Attapulgite 600mg tablet 3x 2 Tab, Aspar K 1x1tab, FDC OAT
1x 4 Tablet.
53
BAB V
KESIMPULAN
54
DAFTAR PUSTAKA
5. Merati TP, Djauzi S. Respon imun infeksi HIV. In: Sudoyo AW,
Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata MK, Setiati S, eds. Buku ajar ilmu
penyakit dalam. 4th ed. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu
Penyakit Dalam FKUI 2006
10.Yayasan Spiritia. Sejarah HIV di Indonesia. 2009 [cited 2009 April 8];
Available from: http://spiritia.or.id/art/bacaart.php?artno=1040
55