Anda di halaman 1dari 52

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang Masalah

Pemanasan global (global warming) merupakan isu global, karena tidak

hanya dialami atau menimpa bangsa Indonesia saja, melainkan hampir seluruh

warga bumi merasakan dampak yang ditimbulkannya. Pemanasan global (global

warming) merupakan proses diserapnya panas matahari oleh lapisan atmosfer

bumi yang sangat tipis, untuk kemudian dipantulkan kembali ke luar angkasa

dalam bentuk sinar infra merah. Terjebaknya radiasi sinar infra merah kedalam

atmosfer bumi yang tipis tersebut menjadikan atmosfer semakin panas.

Pemanasan global (global warming) dapat diartikan juga sebagai peningkatan

rata-rata temperatur udara dan air di dekat permukaan tanah di planet bumi dalam

tahun-tahun terakhir ini dan diperkirakan akan terus berlangsung atau

berkelanjutan (Riyanto, 2007).

Permasalahan global warming merupakan salah satu permasalahan

lingkungan utama di dunia dan Indonesia. Dalam lingkungan dunia global ini,

sumber daya dan jumlah populasi adalah masalah utama. Lingkungan sangat

penting dengan dan perubahan iklim pada titik mana pun menyebabkan

ketidakseimbangan bumi. ISO telah mengusulkan sistem manajemen kualitas baru

untuk produk dan bahkan untuk sistem manajemen Lingkungan. Era utama adalah

1
untuk meminimalkan kerusakan lingkungan akibat industry (Paul, Bhole, &

Chaudhari, 2014). Ada kebutuhan proses manufaktur baru yaitu Green

Manufacturing yang cocok dengan strategi kegiatan berkelanjutan (Tana, F.Liu,

Cao, & H. Zhang, 2002). Biaya energi dan sumber daya terus meningkat karena

meningkatnya permintaan dan terbatasnya pasokan. Lebih jauh, tren harga hampir

tidak dapat diperkirakan, sehingga perusahaan bertujuan untuk berhasil

memproduksi dalam kisaran harga energi dan sumber daya yang besar. Salah satu

strategi untuk mengakomodasi fluktuasi harga terdiri dari pemberian mark up

kepada pelanggan. Namun, mark-up harga mungkin mengharuskan perbaikan

dilakukan pada produk. Atau, harga yang stabil dapat difasilitasi dengan

peningkatan efisiensi produksi, yang dapat dicapai dengan mengurangi konsumsi

sumber daya dan meningkatkan organisasi sistem manufaktur (Diaz-Elsayed,

Jondral, Greinacher, Dornfeld, & Lanza, 2013).

Sistem green manufacturing juga berkembang di industri pariwisata.

Perkembangan responsible tourism salah satunya diikuti dengan kecenderungan

wisatawan dalam memanfaatkan produk pariwisata yang bersifat ramah

lingkungan, hal ini mendorong terjadinya perubahan pola konsumsi wisatawan,

termasuk diantaranya dalam hal pemanfaatan amenitas khususnya hotel dan

restoran. Dewasa ini wisatawan semakin cerdas dan selektif untuk memilih hotel

dan restoran yang benar-benar secara konsisten menerapkan praktek ramah

2
lingkungan dengan memanfaatkan sumber daya hemat energi dan berbasis produk

lokal atau yang tergabung dalam green industry (Ecogreen Hotel, Eco Suites,

Green Hotel Association) (Sinangjoyo, 2013).

Industri kuliner memiliki peranan penting dalam investasi pembangunan

kepariwisataan secara nasional. Maka konsep green menjadi suatu “keharusan”

bagi para pengelola usaha kuliner dalam menjalankan bisnisnya karena konsep

green memiliki nilai investasi jangka panjang yang mampu menciptakan loyalitas

wisatawan, menciptakan reputasi manajemen, penghematan biaya operasional,

terjalinnya hubungan dengan komunitas lokal serta mampu menciptakan

manajemen yang sehat (Sinangjoyo, 2013).

Bertambahnya jumlah industri baru ini pula pada meningkatnya

permasalahan lingkungan utamanya pencemaran limbah cair (Hardjanto, 2016).

Limbah cair rumah makan adalah limbah dalam bentuk cair yang dihasilkan oleh

kegiatan rumah makan yang dibuang ke lingkungan dan diduga dapat menurunkan

kualitas lingkungan, kondisi tersebut disebabkan karena aktivitas yang ada di

rumah makan relatif sama dengan seperti pada pemukiman dan fasilitas tambahan

lainnya (Yuda & Purnomo, 2018).

Industri kuliner perlu menerapkan green manufacturing, hal ini dikarenakan

perusahaan perlu memenuhi peraturan perundang-undangan maupun peraturan

pemerintah yang berlaku, selain itu dengan menerapkan pengelolaan limbah

3
perusahaan akan mempunyai citra yang baik di mata pembeli, masyarakat dan

pemerintah. Green manufacturing harus dikelola sebagaimana dengan aspek

lainnya dalam perusahaan seperti operasi, produksi, logistik, sumber daya

manusia, keuangan dan pemasaran. Green manufacturing tidak akan bisa berjalan

seperti apa adanya tanpa adanya intervensi dari manajemen berupa upaya

terencana untuk mengelolanya.

Dalam perekonomian Indonesia UMKM merupakan kelompok usaha yang

memiliki jumlah paling besar dan terbukti tahan terhadap berbagai macam

goncangan krisis ekonomi. Kriteria usaha yang termasuk dalam Usaha Mikro

Kecil dan Menengah telah diatur dalam payung hukum. Berdasarkan Undang-

Undang Nomor 20 Tahun 2008 tentang Usaha Mikro, Kecil dan Menengah

(UMKM) ada beberapa kriteria yang dipergunakan untuk mendefinisikan

pengertian dan kriteria Usaha Mikro, Kecil dan Menengah.

Kriteria UMKM menurut UU Nomor 20 Tahun 2008. Definisi usaha mikro

di artikan sebagai usaha ekonomi produktif yang di miliki perorangan maupun

badan usaha sesuai dengan kriteria usaha mikro. Dan usaha yang termasuk kriteria

usaha mikro adalah usaha yang memiliki kekayaan bersih mencapai Rp

50.000.000,- dan tidak termasuk bangunan dan tanah tempat usaha. Mempunyai

hasil penjualan usaha mikro setiap tahunnnya paling banyak Rp 300.000.000,-.

4
UMKM di Indonesia memiliki peran yang sangat krusial dalam bidang

ekonomi nasional, baik dalam penyerapan tenaga kerja, penyedia berbagai produk

dan jasa yang dibutuhkan serta sebagai sumber pendapatan masyarakat. Meski

memiliki peran yang sangat besar dalam perekonomian, namun terkait dengan

masalah lingkungan, disinyalir UMKM memiliki kontribusi yang cukup

signifikan dalam penurunan kualitas lingkungan hidup yang disebabkan oleh

limbah yang dihasilkan dalam berbagai bentuknya, proses produksi yang belum

efisien baik dalam penggunaan bahan baku, energi, serta penggunaan bahan

penolong lainnya. Sehubungan dengan permasalahan di atas, pemerintah melalui

berbagai kementerian dan dinas terkait tengah berupaya mendorong agar UMKM

mulai memperhatikan kelestarian lingkungan. Untuk mengetahui upaya yang

dilakukan, serta kendala-kendala yang dihadapi dalam mendorong UMKM ramah

terhadap lingkungan, telah dilakukan Focus Group Discussion (FGD) yang

melibatkan berbagai kementerian terkait dan perbankan. Informasi yang

diharapkan dari perbankan berupa keberadaan ragam produk atau skim kredit

UMKM ramah lingkungan, serta rencana yang akan dilakukan pada waktu yang

akan datang dalam upaya mendorong UMKM menjadi ramah lingkungan.

UMKM sebagai pelaku usaha yang menghasilkan berbagai kebutuhan

hidup, tanpa disadari menjadi salah satu kontributor penyebab kerusakan

lingkungan hidup. Dampak negatif yang disebabkan oleh UMKM terjadi mulai

5
dari upaya memperoleh bahan baku, proses produksi, dan limbah yang dihasilkan

baik pada saat produksi atau setelahnya. Upaya yang dilakukan oleh berbagai

pihak termasuk pemerintah melalui kementerian, dinas terkait, maupun pemerhati

lingkungan baik lembaga maupun individu agaknya belum menghasilkan sesuatu

yang sangat signifikan untuk mengurangi laju kerusakan lingkungan.

Kalimantan selatan merupakan salah satu provinsi di Indonesia yang

mengalami peningkatan dalam sektor industri, berkembangnya kegiatan usaha di

Kalimantan Selatan banyak memiliki permasalahan dalam pengelolaan limbah.

Salah satu sumber penghasil air limbah di Kalimantan selatan adalah sumber

pencemar institusi yang terdiri dari kegiatan industri, perhotelan, rumah sakit,

rumah makan, mall, swalayan dan lainnya. Sampai sekarang besaran beban

pencemar, jenis sumber pencemar terhadap perairan yang terdapat di Kalimantan

selatan belum terinventarisasi dan teridentifikasi dengan baik.

Pertumbuhan pembangunan yang pesat ini memicu banyaknya masyarakat

pendatang yang kemudian menetap di Kalimantan Selatan menyebabkan

kepadatan penduduk di Kalimantan Selatan juga semakin meningkat. Berdasarkan

perkembangan penduduk yang semakin meningkat, pencemaran lingkungan

menjadi salah satu permasalahan yang banyak ditemui pada daerah dengan

kepadatan penduduk yang tinggi.

6
Dalam usaha kuliner dalam kategori mikro di Kalimantan Selatan banyak

memiliki permasalahan dalam pengelolaan limbah, contohnya adalah dengan

membuang limbah seperti tissue ke dalam selokan atau trotoar, begitu juga dengan

minyak dan hasil sisa sisa makanan yang sering kali di temui di selokan dan

trotoar yang dimana air di selokan berwarna hitam dan mengeluarkan bau yang

tidak sedap dan trotoar meninggalan bekas berwarna hitam akibat tumpahan

minyak goreng bekas yang tidak terkontrol saat melakukan proses produksi

seperti menggoreng atau mencuci wajan.

Di Indonesia peraturan limbah secara khusus di atur dalam Undang-Undang

Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan pada Pasal 163 tentang Kesehatan

Lingkungan : Upaya kesehatan lingkungan ditujukan untuk mewujudkan kualitas

lingkungan yang sehat, baik fisik, kimia, biologi, maupun sosial yang

memungkinkan setiap orang mencapai derajat kesehatan yang setinggi-tingginya.

Dan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2009 Tentang

Perlindungan Dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.

Akan tetapi dalam implementasinya Peraturan Daerah belum mendapatkan

hasil yang maksimal. Terbukti dengan masih ditemukannya pencemaran

lingkungan dalam hal ini pencemaran air sungai yang sebagian besar disebabkan

oleh limbah domesik yang berasal dari sisa-sisa pembuangan perhotelan, rumah

tangga dan restoran. Tercemarnya air sungai oleh limbah domestik ini tentu

7
menjadi permasalahan lingkungan yang serius mengingat visi pariwisata

Kalimantan Selatan yakni untuk menjadikan sungai Barito sebagai tujuan wisata

internasional. Kenyamanan pariwisata merupakan modal utama untuk

meningkatkan pariwisata di Kalimantan Selatan yang didukung dengan

pengembangan fasilitas dan sarana pariwisata yang bebas dari limbah dan

pencemaran lingkungan.

Dalam berbagai penelitian membuktikan bahwa terdapat banyak factor yang

mempengaruhi pelaku usaha untuk tidak melakukan green manufacturing. Faktor

penghambat implementasi GM menurut Dornfeld (2014) terbagi menjadi 3, yaitu

ekonomi, teknologi, dan manajerial. Mittal & Sangwan (2014a, 2014b),

menguraikan faktor pendorong dan penghambat GM di perusahaan dari perspektif

lingkungan, sosial, dan ekonomi kemudian mengurutkan faktor-faktor tersebut

sesuai tingkat kepentingannya. Faktor pendorong diantaranya undang-undang di

masa depan, tekanan publik, tekanan dari rekanan, dan komitmen manajemen

puncak adalah faktor yang paling penting dari perspektif lingkungan; tekanan

publik dan komitmen manajemen puncak adalah faktor yang paling penting dari

perspektif sosial; dan dari perspektif ekonomi ada faktor insentif, penghematan

biaya, daya saing, permintaan pelanggan, teknologi, dan sumber daya organisasi.

Faktor penghambat GM diantaranya kurangnya informasi (terbatasnya awareness

terhadap tren ‘green’, akses terbatas pada literatur mengenai GM; kelangkaan

8
informasi yang memadai); resiko teknologi (ancaman menerapkan teknologi

baru/teknologi yang kompleks; ketakutan timbulnya masalah dari teknologi yang

digunakan; masalah kompatibilitas dengan sistem yang ada); perundang-undangan

yang lemah (tidak adanya undang-undang lingkungan yang lengkap dan hukum

yang tidak efektif); penegakan hukum yang rendah; dan ‘trade off”.

Mittal & Sangwan (2014b, 2014a) dalam artikel yang lain juga membahas

mengenai faktor penghambat environmentally conscious manufacturing yang

sebagian orang menganggap sebagai istilah lain dari Green Manufacturing. Yang

menjadi faktor penghambat dibagi menjadi tiga bagian yaitu dari kebijakan

(penegakan hukum dan peraturan yang lemah, ketidakpastian aturan di masa yang

akan datang, dan kurangnya tekanan dari masyarakat), internal (rendahnya

komitmen manajemen, kekurangan sumber daya dan informasi, dan resiko

teknologi), dan ekonomi (biaya jangka pendek yang tinggi, rendahnya permintaan

konsumen, ketidakpastian manfaat yang akan diperoleh dan trade off). Hasil

penelitian menunjukkan bahwa faktor penghambat dari internal berpengaruh

terhadap penghambat dari kebijakan dan ekonomi. Ghazilla et al. (2015)

membahas mengenai faktor pendorong dan penghambat implementasi GM pada

perusahaan kecil dan menengah (studi kasus IKM di Malaysia). Faktor yang

menjadi penghambat diantaranya adalah struktur organisasi perusahaan yang

lemah dalam mendukung implementasi GM dan tidak memiliki manajemen

9
lingkungan yang terstruktur. Selain itu, pengetahuan pemilik perusahaan

mengenai praktek GM tidak direalisasikan menjadi praktek GM karena adanya

anggapan bahwa praktek GM hanya akan membutuhkan biaya besar tanpa

memberi manfaat yang signifikan bagi perusahaan.

Dalam penelitian yang dilakukan oleh (Ajay Singh, 2012). Faktor

penghambatan yang sangat sering terjadi berasal yang dihadapi oleh industri

adalah kurangnya alat yang diperlukan, keterampilan manajemen dan komitmen

dalam melakukan program green manufacturing, kurangnya kesadaran pelanggan

dan kurangnya kesadaran di perusahaan itu sendiri. Revelle, menjelaskan bahwa

ada kenaikan dalam biaya keseluruhan produksi, risiko dalam mengadopsi

langkah-langkah produksi ramah lingkungan dan berbagai biaya tersembunyi

adalah beberapa faktor yang paling menghambat yang mempengaruhi kinerja

perusahaan yang menyebabkan meningkatkan total biaya produk.

Walker (2008) juga meneliti berbagai faktor yang menghambat organisasi

untuk menerapkan praktik green manufakturing. Mengidentifikasi kategori utama

hambatan internal dan eksternal, di mana hambatan internal termasuk biaya dan

kurangnya kesadaran dan hambatan eksternal termasuk regulasi, komitmen

pemasok yang buruk, dan hambatan spesifik industri itu sendiri. K. Lee (2009)

menemukan masalah bahwa usaha kecil dan menengah (UKM) terhambat oleh

kurangnya informasi dan sumber daya untuk berinvestasi dalam green

10
manufacturing. Satu faktor lagi yang masuk ke kerangka kerja adalah persyaratan

program pelatihan khusus & kursus untuk keberhasilan penerapan berbagai

praktik green manufacturing. Tetapi secara keseluruhan di mata manajer keuangan

semua program ini berdampingan meningkatkan biaya produk secara keseluruhan.

Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Ariffin (2015) di Malaysia,

mengidentifikasi hambatan dikategorikan menjadi delapan kategori. Ariffin

(2015) memperoleh pandangan mengenai hambatan penerapkan green

manufacturing di UKM yang ada di Malaysia. Yang pertama kurangnya

pengetahuan dalam organisasi, Struktur organisasi yang lemah untuk mendukung

program green manufacturing dan sumber daya terbatas yang memengaruhi

kemampuan organisasi untuk mengadopsi praktik green manufacturing.

Pengetahuan lingkungan, kesulitan dalam memperoleh informasi green

manufacturing untuk potensi perbaikan lingkungan. Lingkungan bisnis,

kurangnya pengaruh pada kompetensi adaptasi strategis green manufacturing

terhadap perubahan dalam UKM. Pengaruh Sosial, kurangnya kesadaran tentang

produk atau proses produksi ramah lingkungan di antara pelanggan. Teknologi,

kurangnya teknologi, bahan, dan proses baru untuk mendukung green

manufacturing dan tidak tersedianya solusi alternatif berbasis green

manufacturing. Peraturan pemerintah, kurangnya dukungan serta bimbingan dari

pemerintah terhadap green manufacturing dan Kurangnya kursus dan konsultasi

11
pelatihan green manufacturing yang disediakan oleh pemerintah. Keuangan,

sumber daya keuangan terbatas dan biaya modal awal yang tinggi untuk

mengimplementasikan green manufacturing. Terakhir adalah pemasok, hambatan

pemasok yaitu kesulitan dalam mendapatkan informasi teknologi ramah

lingkungan, bahan baku dan keuangan terbatas.

Berdasarkan penelitan yang dilakukan oleh Rahman (2015) dari 29 hotel

sebagai sumber pencemar air yang berasal pada kegiatan perhotelan, hanya 17

hotel yang dapat terlaksana dengan adanya beberapa kendala, sehingga

pengambilan sampel pada beberapa titik terpaksa harus dibatalkan. Dari 17 hotel,

hanya 1 hotel yang parameter lingkungannya memenuhi baku mutu yang

ditetapkan oleh Peraturan Gubernur Kalimantan Selatan, sedangkan 16 lainnya

pada beberapa parameter telah melebihi ataupun berada di bawah baku mutu yang

ditetapkan. Untuk parameter derajat keasaman (pH) ada tiga hotel yang tidak

memenuhi baku mutu yang ditetapkkan. Ketiga hotel tersebut adalah Hotel

Fortuna, Hotel Kuripan dan Hotel Nasa, dimana ketiganya memiliki pH yang agak

sedikit asam yaitu 5.95, 5.73 dan 5.81. Jika dibandingkan dengan baku mutunya

yang berkisar 6 – 9, maka nilai ketiganya tentu berada di bawah standar baku

mutu yang ditetapkan. Dari total 6 rumah makan yang diambil sampel limbah

cairnya, semua rumah makan yang di ambil limbah cairnya memperlihatkan

parameter BOD dan COD yang melampaui ambang batas baku mutu yang

12
ditetapkan yaitu 25mg/l untuk BOD dan 50mg/l untuk COD. Tingginya kadar

BOD dan COD pada semua rumah makan ini tidak terlepas dari kandungan bahan

organik pada limbah cair dibuang setiap rumah makan. Kandungan bahan organik

akan distabilkan secara biologis oleh mikroba dimana tentunya akan

menimbulkan konsekwensi penurunan oksigen dan peningkatan kadar BOD. Hal

yang sama juga terjadi pada penguraian bahan organik yang melalui reaksi kimia,

dimana nantinya akan meningkatkan kadar COD pada limbah cair tersebut.

Tingginya kadar BOD dan COD pada setiap rumah makan yang ada, disebabkan

belum adanya sistem pengolahan limbah cair (IPAL) pada setiap rumah makan

tersebut. Meskipun pada beberapa rumah makan sudah melakukan pengolahan

terhadap limbah cair buangannya baik menggunakan system penyaringan maupun

sistem trapping namun hal tersebut masih terlalu sederhana sehingga belum

mampu menurunkan kada BOD dan COD pada limbah cair buangnya. Kadar

tertinggi untuk BOD dan COD terdapat pada rumah makan cepat saji Pizza Hut

yaitu 1650mg/l untuk BOD dan 3638.4mg/l untuk COD (Rahman, 2015).

Berdasarkan uraian di atas, maka penulis tertarik untuk mengambil judul

skripsi “Faktor Pengetahuan, Biaya, Teknologi Menjadi Penyebab Belum

Terlaksananya Program Green Manufakturing Pada Industri Kuliner Mikro

di Kalimantan Selatan”.

13
1.2. Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian tersebut, maka dijelaskan bahwa masih banyak yang

belum menerapkan atau rendahnya implementasi program green manufacturing

pada industri kuliner.

1.3 Pertanyaan Penelitian

Berdasarkan rumusan di atas, maka pertanyaan penelitian ini adalah:

1. Apakah faktor pengetahuan menyebabkan tidak terlaksananya program

green manufacturing pada industri kuliner mikro di Kalimantan Selatan?

2. Apakah faktor biaya menyebabkan tidak terlaksananya program green

manufacturing pada industri kuliner mikro di Kalimantan Selatan?

3. Apakah faktor teknologi menyebabkan tidak terlaksananya program green

manufacturing pada industri kuliner mikro di Kalimantan Selatan?

1.4 Tujuan Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah diatas, maka tujuan penelitian ini adalah:

1. Untuk mengetahui apakah faktor pengetahuan yang menyebabkan belum

terlaksananya program green manufacturing pada industri kuliner mikro di

Kalimantan Selatan.

14
2. Untuk mengetahui apakah faktor biaya yang menyebabkan belum

terlaksananya program green manufacturing pada industri kuliner mikro di

Kalimantan Selatan

3. Untuk mengetahui apakah faktor teknologi yang menyebabkan belum

terlaksananya program green manufacturing pada industri kuliner mikro di

Kalimantan Selatan

1.5 Manfaat Penelitian

Dalam penelitian ini ada beberapa manfaat yang ingin dicapai :

1. Manfaat Teoritis

Secara teoritis, hasil dari penelitian ini diharapkan dapat dijadikan

sebagai bahan kajian terutama dalam disiplin ilmu manajemen mengenai

green manufakturing dan juga dapat menjadi referensi untuk penelitian-

penelitian selanjutnya yang lebih relevan.

2. Manfaat Praktis

Secara praktis, hasil dari penelitian ini diharapkan dapat

memperluas pengetahuan penulis dalam masalah manajemen khususnya

green manufakturing atau sebagai bahan informasi dan kegunaan bagi

industri kuliner, sebagai salah satu pertimbangan bagi industri kuliner

untuk mencapai efektifitas program green manufacturing.


15
BAB II

KAJIAN PUSTAKA DAN LANDASAN TEORI

2.1 Kajian Pustaka

Tabel. 2.1

Penelitian terdahulu

No Nama Peneliti Variabel Populasi Hasil

Teori

1. Amaranti, Green Kajian Makalah ini akan

Irianto, & Manufacturing Literatur membahas kajian

Govindaraju terhadap beberapa

(2017) Meminimalisir makalah hasil penelitian

Green imbah dan mengenai Green

Manufacturing Polusi Melalui manufacturing dan

: Kajian Desain dan memberikan pemahaman

Literatur Proses lebih dalam mengenai

Green Manufacturing

bagi semua pihak terkait,

terutama bagi para

16
akademisi, peneliti, dan

praktisi di dunia industri

2. Aviasti, Berbagi Kawasan Aspek green yang terjadi

Amaranti, & Pengetahuan Industri di di kawasan industri hanya

Rukmana Green Karawang pada pengelolaan limbah

(2017) Manufacturing dan efiisiensi energi.

Berbagi Perusahaan pengelola

Pengetahuan kawasan industri tidak

Pada memiliki program khusus

Penerapan untuk berbagi

Green pengetahuan atau

Manufacturing knowledge sharing

Di Kawasan mengenai green

Industri pengetahuan di

lingkungan kawasan

Faktor organisasi diduga

menjadi faktor yang

memiliki pengaruh

dominan terhadap

17
knowledge sharing pada

implementasi green

manufacturing di

kawasan industri terutama

pada aspek budaya

organisasi, dukungan

manajemen, dan strauktur

organisasi.

3. Ghazilla Faktor UMKM di Berbagai faktor

(2015) pendorong Malaysia pendorong dan

Drivers and dan penghambat dalam

barriers penghambat memulai bisnis yang

analysis for ramah lingkungan di

green Malaysia.

manufacturing

practices in

Malaysian

SMEs: A

Preliminary

18
Findings

4 Ajay Faktor Industri di Berbagai faktor

(2012) pendorong India pendorong dan

Drivers and dan penghambat dalam

Barriers of penghambat memulai bisnis yang

Green ramah lingkungan di

Manufacturing India.

Practic

A Survey of

Indian

Industries

5 Verma & Sikap Top Hotel di Sikap pelanggan dan

Chandra Management India kepedulian lingkungan

(2017) Biaya secara signifikan dan

Intention to Konsolidasi positif mempengaruhi

Implement Legislasi niat manajerial untuk

Green Hotel Lingkungan menerapkan praktik hotel

Practices: Sikap hijau. Studi ini

Evidence from Konsumen menunjukkan bahwa

19
Indian Hotel Konsentrasi selain dari faktor

Industry Lingkungan ekonomi, faktor perilaku

seperti sikap pelanggan

dan kepedulian

lingkungan karyawan

juga penting dalam

menghijaukan proses

bisnis.

6 (Mittal 2014) Faktor Perusahaan Faktor penghambat

Prioritizing pendorong Manufaktur kurangnya kesadaran atau

Barriers to dan informasi yang tidak

Green penghambat cukup tentang pilihan

Manufacturing: teknologi yang tersedia

Environmental, dan akses terbatas ke

Social and program ramah

Economic lingkungan.

Perspectives

20
2.2 Landasan Teori

2.2.1 Manajemen Operasional

1. Pengertian

Manajemen Operasional (MO) merupakan suatu ilmu yang dapat diterapkan

pada berbagai jenis bidang usaha seperti rumah sakit, perguruan tinggi, pabrik,

dan lain-lain, ini dikarenakan jenis usaha seperti yang disebutkan diatas

menghasilkan produk yang bisa berupa barang maupun jasa, yang mana untuk

kegiatan proses produksinya efektif dan efisien memerlukan konsep, peralatan

serta berbagai cara untuk mengelola operasinya.

Ada beberapa pengertian dari manajemen operasional menurut para

ahli,antara lain:

a. Menurut Heizer & Render (2016), manajemen operasional adalah serangkaian

aktivitas yang menghasilkan nilai dalam bentuk barang dan jasa dengan

mengubah input menjadi output.

b. Menurut Herjanto (2007), manajemen operasional adalah suatu kegiatan yang

berhubungan dengan pembuatan barang, jasa dan kombinasinya, melalui proses

transformasi dari sumber daya produksi menjadi keluaran yang diinginkan.

c. Menurut Stevenson (2009), manajemen operasional adalah sistem manajemen

atau serangkaian proses dalam pembuatan produk atau penyediaan jasa.

Jadi, manajemen operasional adalah ilmu yang mempelajari serangkaian

21
proses pengubahan input menjadi output yang bernilai untuk memenuhi

kebutuhan konsumen.

2. Sepuluh Keputusan Strategis Manajemen Operasional

Menurut Render dan Heizer (2016), diferensiasi, biaya rendah dan respons

yang cepat dapat dicapai saat manajer membuat keputusan efektif dalam sepuluh

wilayah manajemen operasional.Keputusan ini dikenal sebagai keputusan operasi

(operations decisions). Berikut sepuluh keputusan manajemen operasional yang

mendukung misi dan menerapkan strategi:

a. Perancangan barang dan jasa. Perancangan barang dan jasa menetapkan

sebagian besar proses transformasi yang akan dilakukan. Keputusan biaya,

kualitas dan sumber daya manusia bergantung pada keputusan perancangan.

b. Kualitas. Ekspektasi pelanggan terhadap kualitas harus ditetapkan peraturan

dan prosedur dibakukan untuk mengidentifikasi serta mencapai standar kualitas

tersebut.

c. Perancangan proses dan kapasitas. Keputusan proses yang diambil membuat

manajemen mengambil komitmen dalam hal teknologi, kualitas, penggunaan

sumber daya manusia dan pemeliharaan yangspesifik. Komitmen pengeluaran

dan modal ini akan menentukan struktur biaya dasar suatu perusahaan.

d. Pemilihan lokasi. Keputusan lokasi organisasi manufaktur dan jasa

22
menentukan kesuksesan perusahaan.

e. Perancangan tata letak. Aliran bahan baku, kapasitas yang dibutuhkan, tingkat

karyawan, keputusan teknologi dan kebutuhan persediaan mempengaruhi tata

letak.

f. Sumber daya manusia dan rancangan pekerjaan. Manusia merupakan bagian

yang integral dan mahal dari keseluruhan rancang sistem. Karenanya, kualitas

lingkungan kerja diberikan, bakat dan keahlian yang dibutuhan, dan upah yang

harus ditentukan dengan jelas.

g. Manajemen rantai pasokan. Keputusan ini menjelaskan apa yang harus dibuat

dan apa yang harus dibeli.

h. Persediaan. Keputusan persediaan dapat dioptimalkan hanya jika kepuasan

pelanggan, pemasok, perencanaan produksi dan sumber daya manusia

dipertimbangkan.

i. Penjadwalan. Jadwal produksi yang dapat dikerjakan dan efisien harus

dikembangkan.

j. Pemeliharaan. Keputusan harus dibuat pada tingkat kehandalan dan stabilitas

yang diinginkan.

23
2.2.2 Definisi UMKM

Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) memiliki definisi yang

berbeda pada setiap literatur menurut beberapa instansi atau lembaga bahkan

undang-undang. Sesuai dengan Undang-Undang nomor 20 tahun 2008 tentang

Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah, UMKM didefinisikan sebagai berikut:

1. Usaha mikro adalah usaha produktif milik orang perorangan dan/atau

badan usaha perorangan yang memenuhi kriteria Usaha Mikro sebagaimana diatur

dalam Undang-Undang.

2. Usaha Kecil adalah usaha ekonomi produktif yang berdiri sendiri, yang

dilakukan oleh orang perorangan atau badan usaha yang bukan merupakan anak

perusahaan atau bukan cabang perusahaan yang dimiliki, dikuasai, atau menjadi

bagian baik langsung maupun tidak langsung dari Usaha Menengah atau Usaha

Besar yang memenuhi kriteria Usaha Kecil sebagaimana dimaksud dalam

Undang-Undang.

3. Usaha Menengah adalah usaha ekonomi produktif yang berdiri sendiri,

yang dilakukan oleh orang perorangan atau badan usaha yang bukan merupakan

anak perusahaan atau cabang perusahaan yang dimiliki, dikuasai, ataupun menjadi

bagian baik langsung maupun tidak. langsung dengan Usaha Kecil atau Usaha

Besar dengan jumlah kekayaan bersih atau hasil penjualan tahunan sebagaimana
24
diatur dalam Undang- Undang.

Berdasarkan kekayaan dan hasil penjualan, menurut Undang-Undang

Nomor 20 tahun 2008 pasal 6, kriteria usaha mikro yaitu:

1. Memiliki kekayaan bersih paling banyak Rp 50.000.000,00 (lima puluh juta

rupiah) tidak termasuk tanah dan bangunan tempat usaha; atau

2. Memiliki hasil penjualan tahunan paling banyak Rp 300.000.000,00 (tiga ratus

juta rupiah).

Kriteria usaha kecil adalah sebagai berikut:

1. Memiliki kekayaan bersih lebih dari Rp 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah)

sampai dengan paling banyak Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah) tidak

termasuk tanah dan bangunan tempat usaha; atau

2. Memiliki hasil penjualan tahunan lebih dari Rp 300.000.000,00 (tiga ratus juta

rupiah) sampai dengan paling banyak Rp 2.500.000.000,00 (dua milyar lima ratus

juta rupiah).

Sedangkan kriteria usaha menengah adalah sebagai berikut:

1. Memiliki kekayaan bersih lebih dari Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah)

sampai dengan paling banyak Rp 10.000.000.000,00 (sepuluh milyar rupiah) tidak

25
termasuk tanah dan bangunan tempat usaha; atau

2. Memiliki hasil penjualan tahunan lebih dari Rp 2.500.000.000,00 (dua milyar

lima ratus juta rupiah) sampai dengan paling banyak Rp 50.000.000.000,00 (lima

puluh milyar rupiah).

Di Negara lain atau tingkat dunia, terdapat berbagai definisi yang berbeda

mengenai UKM yang sesuai menurut karateristik masing – masing Negara, yaitu

sebagai berikut:

1. World Bank: UKM adalah usaha dengan jumlah tenaga kerja ± 30 orang,

pendapatan per tahun US$ 3 juta dan jumlah aset tidak melebihi US$ 3 juta.

2. Di Amerika: UKM adalah industri yang tidak dominan di sektornya dan

mempunyai pekerja kurang dari 500 orang.

3. Di Eropa: UKM adalah usaha dengan jumlah tenaga kerja 10-40 orang dan

pendapatan per tahun 1-2 juta Euro, atau jika kurang dari 10 orang, dikategorikan

usaha rumah tangga.

4. Di Jepang: UKM adalah industri yang bergerak di bidang manufakturing dan

retail/service dengan jumlah tenaga kerja 54-300 orang dan modal ¥ 50 juta-300

juta.

26
5. Di Korea Selatan: UKM adalah usaha dengan jumlah tenaga kerja ≤ 300 orang

dan aset ≤ US$ 60 juta.

6. Di beberapa Asia Tenggara: UKM adalah usaha dengan jumlah tenaga kerja 10-

15 orang (Thailand), atau 5–10 orang (Malaysia), atau 10-99 orang (Singapura),

dengan modal ± US$ 6 juta.

2.2.2.1 Karakteristik UMKM di Indonesia

Dalam karateristik disini ada empat alasan yang menjelaskan posisi

strategis UMKM di Indonesia. Pertama, UMKM tidak memerlukan modal yang

besar sebagaimana perusahaan besar sehingga pembentukan usaha ini tidak sesulit

usaha besar. Kedua, tenaga kerja yang diperlukan tidak menuntut pendidikan

formal tertentu. Ketiga, sebagian besar berlokasi di pedesaan dan tidak

memerlukan infrastruktur sebagaimana perusahaan besar. Keempat, UMKM

terbukti memiliki ketahanan yang kuat ketika Indonesia dilanda krisis ekonomi.

2.2.2.2 Peranan dan kontribusi UMKM di Indonesia

Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) di Indonesia memiliki

peranan penting dalam perekonomian nasional, terutama dalam kontribusinya

terhadap Produk Domestik Bruto (PDB). Mengingat pentingnya peranan UMKM

dibidang ekonomi, sosial dan politik, maka saat ini perkembangan UMKM diberi

27
perhatian cukup besar diberbagai belahan dunia.

Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) mempunyai peranan yang

strategis dalam pembangunan ekonomi nasional. Selain berperan dalam

pertumbuhan ekonomi dan penyerapan tenaga kerja, UMKM juga berperan dalam

pendistribusian hasil-hasil pembangunan. UMKM diharapkan mampu

memanfaatkan sumber daya nasional, termasuk pemanfaatan tenaga kerja yang

sesuai dengan kepentingan rakyat dan mencapai pertumbuhan ekonomi yang

maksimum. Rahmana (2009) menambahkan UMKM telah menunjukkan

peranannya dalam penciptaan kesempatan kerja dan sebagai salah satu sumber

penting bagi pertumbuhan Produk Domestik Bruto (PDB). Usaha kecil juga

memberikan kontribusi yang tinggi terhadap pertumbuhan ekonomi Indonesia di

sektor-sektor industri, perdagangan dan transportasi. Sektor ini mempunyai

peranan cukup penting dalam penghasilan devisa negara melalui usaha pakaian

jadi (garment), barang-barang kerajinan termasuk meubel dan pelayanan bagi

turis.

Peranan dalam bidang sosial bahwa UMKM disini mampu memberikan

manfaat sosial yaitu mereduksi ketimpangan pendapatan, terutama di negara-

negara berkembang. Peranan usaha kecil tidak hanya menyediakan barang-barang

dan jasa bagi konsumen yang berdaya beli rendah, tetapi juga bagi konsumen

28
perkotaan lain yang berdaya beli lebih tinggi. Selain itu, usaha kecil juga

menyediakan bahan baku atau jasa bagi usaha menengah dan besar, termasuk

pemerintah lokal. Tujuan sosial dari UMKM adalah untuk mencapai tingkat

kesejahteraan minimum, yaitu menjamin kebutuhan dasar rakyat.

2.2.3 Green Manufakturing

Green manufacturing merupakan suatu gerakan baru dalam dunia industri

untuk meminimalisir sampah atau gas buang yang dihasilkan dari proses produksi

atau sering disebut “zero emission strategy”, yang memiliki konsep dasar “we

borrow the earth from our descendants”. Green manufacturing berkaitan erat

dengan sustainable manufacturing (SM). Sedangkan sustainability dapat

diperoleh dengan melakukan konsep green itu sendiri (Dornfeld, 2014). Menurut

(Dam & Petkova, 2014), green manufacturing merupakan kosep produksi yang

sadar lingkungan, dengan tujuan meminimalkan dampak negatif lingkungannya

sepanjang siklus hidupnya, dan juga mempromosikan praktik operasi bisnis

ekologis yang positif, seperti mendaur ulang dan menggunakan kembali produk.

Manufaktur hijau mempertimbangkan dampak lingkungan di seluruh siklus hidup

produk, termasuk penjualan produk bekas, tidak terjual, atau produk kembali di

pasar sekunder (Hoek, 1999).

Menurut Giovanni (2012), green manufacturing selalu memperhatikan

dampak lingkungan pada setiap tahap siklus hidup produk, dalam upaya
29
meminimalkan dampak lingkungan dari proses pembuatan, menghasilkan limbah

minimum, dan mengurangi pencemaran lingkungan. Sedangkan menurut Zhu &

Sarkis (2007), green manufacturing membantu perusahaan menurunkan biaya

bahan baku mereka, mendapatkan efisiensi produksi, mengurangi biaya

keselamatan kerja dan lingkungan, dan memperbaiki citra perusahaan mereka.

Dengan demikian, green manufacturing merupakan proses produksi perusahaan

yang memperhatikan dampak lingkungan yang pada akhirnya membantu

perusahaan mencapai pertumbuhan laba dan meningkatkan pangsa pasar mereka.

2.2.3.1 Green Manufacturing di Industri Kuliner

Dalam sistem kepariwisataan atau industri hospitality, pembangunan dan

kegiatan operasional kuliner, membutuhkan energi dan sumber daya yang tidak

sedikit. Secara umum efisiensi energi dalam pembangunan fasilitas akomodasi

saat ini, rendah dan memberikan dampak lingkungan yang cukup besar. Dampak

negatif yang timbul lebih sering karena tingginya penggunaan sumberdaya yang

tidak terbaharui seperti air, bahan bakar minyak yang menimbulkan polusi bagi

udara, air dan tanah). Sementara itu wisatawan menginginkan banyak kemudahan

dan kepuasan dalam kegiatan wisatanya. Mereka memiliki ekspektasi yang tinggi

terhadap level kenyamanan dan pelayanan fasilitas akomodasinya (Rahmafitria,

2014).

30
Namun saat ini, dengan adanya perubahan tren kepariwisataan, wisatawan

sudah mulai memiliki pergeseran nilai dalam berwisata. Mereka menginginkan

kegiatan yang lebih bertanggung jawab secara lingkungan, pengalaman yang

dapat memberikan manfaat bagi dirinya maupun daerah yang mereka kunjungi.

Sebagian dari wisatawan bahkan sudah mulai menjadikan parameter konsep dan

manajemen yang ramah lingkungan sebagai salah satu tolak ukur dalam memilih

sarana akomodasinya. Khusus untuk wisatawan mancanegara, dalam

kunjungannya ke kawasan wisata alam, mereka menginginkan lokasi yang mereka

kunjungi melibatkan masyarakat lokal dalam pengelolaannya, memberikan

keuntungan ekonomi bagi daerah setempat dan membatu meningkatkan kualitas

lingkungan dan konservasi keanekaragaman hayati dengan aktivitas wisata yang

minim dampak (Fennell, 2010). Hasil survey ABTA (Assosiation of British

Travel Agent) Annual Travel Market (2002) menyatakan bahwa sebagian besar

wisatawan Inggris menyatakan bahwa wisata harus memberikan keuntungan bagi

masyarakat lokal, 85% menyatakan bahwa wisata tidak boleh merusak lingkungan

dan 77% menginginkan agar kegiatan wisatanya dapat memberikan pengkayaan

pengalaman terhadap budaya lokal dan kuliner.

Operasional rumah makan berwawasan ramah lingkungan dipicu oleh

timbulnya dampak-dampak negatif terhadap lingkungan yang berasal dari

operasional rumah makan sehari-hari ((Setiawati & Sitorus, 2016).

31
Menurut Ruiz-Molina, Gil-Saura, & Moliner-Vela´zquez (2009), resto yang

dikatakan berbasis ramah lingkungan adalah resto yang mensinergikan

operasional sehari-harinya dengan upaya mengurangi dampak lingkungan melalui

penyusunan toilet, sistem efisiensi energi, program daur ulang, pemanfaatan

sistem energi terbarukan, sistem pengairan, pemanfaatan produk daur ulang,

penggunaan produk organik pada makanan dan program yang bertujuan

mereduksi penggunaan air.

2.2.3.2 Undang-Undang tentang Green Manufacturing di Indonesia

Undang-undang mengenai pengelolaan green manufacturing di Indonesia

adalah sebagai berikut :

1. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2009 Tentang

Perlindungan Dan Pengelolaan Lingkungan Hidup

Undang-Undang ini mengenai Perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup

bahwa pembangunan ekonomi nasional sebagaimana diamanatkan oleh

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945

diselenggarakan berdasarkan prinsip pembangunan berkelanjutan dan

berwawasan lingkungan

2. Undang Undang Nomor 3 tahun 2014 tentang Perindustrian

32
Undang-Undang telah mengatur secara khusus mengenai Industri Hijau (pasal

77-83), dimana untuk mencapai Industri Hijau, Pemerintah melakukan

perumusan kebijakan, penguatan kelembagaan, standarisasi dan pemberian

insentif.

3. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 18 Tahun 2008 Tentang

Pengelolaan Sampah

Pengelolaan sampah selama ini belum sesuai dengan metode dan teknik

pengelolaan sampah yang berwawasan lingkungan sehingga menimbulkan

dampak negatif terhadap kesehatan masyarakat dan lingkungan; bahwa sampah

telah menjadi permasalahan nasional sehingga pengelolaannya perlu dilakukan

secara komprehensif dan terpadu dari hulu ke hilir agar memberikan manfaat

secara ekonomi, sehat bagi masyarakat, dan aman bagi lingkungan, serta dapat

mengubah perilaku masyarakat.

4. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 26 Tahun 2007 Tentang Penataan

Ruang

Ruang adalah wadah yang meliputi ruang darat, ruang laut, dan ruang udara,

termasuk ruang di dalam bumi sebagai satu kesatuan wilayah, tempat manusia

dan makhluk lain hidup, melakukan kegiatan, dan memelihara kelangsungan

hidupnya. Tata ruang adalah wujud struktur ruang dan pola ruang.

5. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 30 Tahun 2007 Tentang Energi

33
Peranan energi sangat penting artinya bagi peningkatan kegiatan ekonomi dan

ketahanan nasional, sehingga pengelolaan energi yang meliputi penyediaan,

pemanfaatan, dan pengusahaannya harus dilaksanakan secara berkeadilan,

berkelanjutan, optimal, dan terpadu.

2.2.3.3 Faktor-Faktor Yang Menghambat Program Green Manufacturing

Mittal & Sangwan (2014b, 2014a) dalam artikel yang lain juga membahas

mengenai penghambat environmentally conscious manufacturing yang sebagian

orang menganggap sebagai istilah lain dari Green Manufacturing adalah Aspek

Lingkungan, Aspek Sosial dan Aspek Ekonomis.

Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Ariffin (2015),

mengidentifikasi hambatan dikategorikan menjadi delapan kategori.

a. Kurangnya Pengetahuan.

Pengetahuan tentang program ramah lingkungan memang sangat penting

untuk memulai suatu bisnis yang memberikan dampak positif bagi lingkungan

sekitar namun kurangnya pengetahuan terhadap isu lingkungan menjadi sebab

utama pelaku usaha dengan bebas membuka dan melakukan kegiatan usaha tanpa

memikirkan dampak negatifnya. Struktur organisasi yang lemah untuk

mendukung green manufacturing dan sumber daya terbatas yang memengaruhi

kemampuan organisasi untuk mengadopsi praktik green manufacturing.

34
Kesulitan dalam memperoleh informasi green manufacturing untuk potensi

perbaikan atau pemulihan lingkungan menjadi sebab utama dalam kategori ini

sehingga dalam melakukan proses produksi pelaku usaha sering melupakan

lingkungan sekitar akan terkena dampak buruk yang dihasilkan.

b. Teknologi

Kurangnya teknologi, bahan, dan proses baru untuk mendukung green

manufacturing yang menyebabkan tidak efisiennya proses produksi berakibat

pada pencemaran lingkungan. Serta tidak tersedianya solusi alternatif berbasis

green manufacturing yang menjadi pilihan pelaku usaha dalam memulai bisnis

dengan basis ramah lingkungan. R&D, desain, dan pengujian yang tidak memadai

dalam organisasi untuk mendukung program green manufacturing, kurangnya

fleksibilitas untuk beralih ke sistem berbasis green manufacturing, serta

terbatasnya kompetensi teknologi ramah lingkungan di Indonesia.

c. Keuangan

Biaya modal awal yang tinggi untuk mengimplementasikan green

manufacturing menjadi masalah yang serius di hadapi oleh pelaku usaha, dengan

sumber daya keuangan terbatas serta kesulitan dalam memperoleh modal

keuangan untuk memulai bisnis berbasis ramah lingkungan yang menghambat

para pelaku usaha dalam melakukan program green manufacturing, yang menjadi

35
tolak ukurnya adalah tingginya harga alat dan bahan ramah lingkungan serta

tingginya pemeliharaan keperluan produksi yang dapat mengancam keuangan

organisasi.

Akan tetapi yang menjadi permasalahan bagi pelaku usaha untuk tidak melakukan

program green manufacturing yaitu kurangnya keuntungan finansial apabila

mereka berbisnis dengan cara green manufacturing.

36
BAB III

METODE PENELITIAN

3.1 Lokasi Penelitian

Lokasi penelitian ini adalah Kalimantan Selatan. Alasan melakukan

penelitian di wilayah ini karena untuk memudahkan penulis dalam melakukan

penelitian serta daerah ini memiliki jumlah usaha kuliner yang cukup banyak,

dinamis, cepat tanggap serta peka terhadap perubahan. Selain itu, informasi-

informasi baru dapat dengan cepat diakses dan diterima oleh industri kuliner

tersebut.

3.2 Populasi dan Sampel

3.2.1 Populasi

Populasi adalah keseluruhan subjek penelitian (Arikunto, 2010). Populasi

dari penelitian ini adalah industri Kuliner mikro yang telah beroperasi lebih dari 2

tahun di Kalimantan Selatan.

3.2.2 Sampel

Sampel adalah bagian dari populasi yang diambil atau ditentukan

berdasarkan karakteristik dan teknik tertentu. Untuk menarik sifat karakteristik

37
populasi, suatu sampel harus benar-benar dapat mewakili populasinya. Oleh

karena itu, diperlukan tata cara yang digunakan dalam memilih bagian sampel

sehingga dapat diperoleh sampel penelitian yang representatif seperti karakteristik

populasinya.

Sampel yang diambil pada penelitian ini adalah 40 usaha Kuliner mikro

yang telah beroperasi lebih dari 2 tahun di Kalimantan Selatan.

3.3 Definisi Operasional Variabel

Menurut (Dam & Petkova, 2014), green manufacturing merupakan konsep

produksi yang sadar lingkungan, dengan tujuan meminimalkan dampak negatif

lingkungannya sepanjang siklus hidupnya, dan juga mempromosikan praktik

operasi bisnis ekologis yang positif, seperti mendaur ulang dan menggunakan

kembali produk.

Variabel penelitian adalah suatu atribut atau sifat atau nilai dari orang,

obyek atau kegiatan yang mempunyai variasi tertentu yang ditetapkan oleh

peneliti untuk dipelajari dan kemudian ditarik kesimpulannya (Sugiyono, 2014).

Dimana beberapa faktor yang menjadi unsur belum terlaksananya green

manufacturing adalah :

38
a. Pengetahuan.

1. Kurangnya pengetahuan tentang program ramah lingkungan serta kesulitan

dalam memperoleh informasi untuk perbaikan lingkungan.

2. Struktur dan kemampuan organisasi yang lemah untuk mendukung green

manufacturing.

3. Kurangnya pengetahuan dampak negatif yang di timbulkan.

4. Kualitas bahan baku yang bersih, sehat dan ramah lingkungan.

5. Kualitas alat yang steril dan ramah lingkungan.

6. Proses pembuatan masakan dengan ramah lingkungan.

7. Proses penyajian masakan ramah lingkungan.

8. Proses pembuangan limbah secara baik dan benar.

9. Pengawasan bahan yang tidak terkontrol.

10. Pengelolaan limbah.

b. Teknologi.

1. Kurangnya teknologi alat, bahan, dan proses untuk program green

manufacturing.

2. Tidak tersedianya solusi alternatif berbasis green manufacturing.

3. R&D yang tidak memadai dalam organisasi untuk mendukung program

green manufacturing.

39
4. Kurangnya fleksibilitas untuk beralih ke sistem berbasis ramah lingkungan.

5. Terbatasnya kompetensi teknologi ramah lingkungan di Indonesia.

c. Biaya.

1. Biaya modal awal yang tinggi untuk mengimplementasikan green

manufacturing.

2. Sumber daya keuangan terbatas.

3. Kesulitan dalam memperoleh modal keuangan untuk memulai program

ramah lingkungan.

4. Tingginya harga Alat dan bahan ramah lingkungan.

5. Tingginya Pemeliharaan keperluan produksi.

6. Kurangnya keuntungan finansial melalui program green manufacturing.

Pengukuran variabel-variabel yang ada kedalam perhitungan data, maka

penulis menggunakan skala likert. Dalam hal ini penulis akan memberikan

pertanyaan dengan 4 alternatif jawaban yang harus dipilih salah satu jawaban saja.

Untuk mempermudah penilaian jawaban, penulis akan memberikan nilai dari

setiap pilihan jawaban pertanyaan yaitu nilai 4 untuk jawaban yang positif dan

40
nilai 1 untuk jawaban yang sangat negatif. Maka bentuk penilaiannya sebagai

berikut:

1. Jawaban SS (sangat setuju) diberi nilai 4

2. Jawaban S (setuju) diberi nilai 3

3. Jawaban TS (tidak setuju) diberi nilai 2

4. Jawaban STS (sangat tidak setuju) diberi nilai 1

3.4 Pengumpulan Data

3.4.1 Data Primer

Yaitu data atau informasi yang diperoleh secara langsung dari responden

atau obyek penelitian. Data primer yang diperoleh dengan Kuesioner. Kuesioner

ini berisi item-item pertanyaan sebagai penjabaran dari indikator-indikator

variabel. Kuisioner yang akan digunakan dan disajikan kepada responden terdiri

dari beberapa bagian, yaitu:

a. Bagian pertama mengungkapkan karakteristik responden. Berisi

mengenai data karakteristik responden.

b. Bagian kedua mengungkapkan pertanyaan variabel green

manufacturing.

3.4.2 Data Sekunder

Yaitu data yang diperoleh secara tidak langsung, yang di dapat dari

sumber-sumber lain yang berfungsi sebagai data pendukung, yang berkaitan


41
dengan penelitian. Data sekunder diperoleh dengan mencatat data yang telah

dikumpulkan dari perusahaan seperti sejarah berdirinya perusahaan, tujuan

perusahaan, visi dan misi perusahaan, struktur organisasi, manajemen personalia,

pemasaran produk dan catatan-catatan lainnya.

3.5 Metode Analisis Data

3.5.1 Analisis Regresi Berganda

Analisis regresi linear berganda digunakan untuk menaksir bagaimana

keadaan (naik turunya) variabel dependen, bila dua atau lebih variabel dependen

sebagai factor predictor (dinaika turunkannya nilainya)( Sugiyono,2010). Model

dalam analisis regresi berganda ialah :

Y = α+b1x1+b2x2+b3x3+e

Keterangan:

Y = Kinerja Operasional

b1, b2, b3 = Koefisien regresi dari variabel X1,X2,X3

X1 = Inovasi Produk

X2 = Kualitas Informasi

X3 = Desain Produk

E = Standar error

42
3.5.2 Uji Asumsi Klasik

Uji asumsi klasik dilakukan agar model yang diperoleh benar – benar telah

memenuhi asumsi - asumsi yang mendasari regresi. Model regresi yang diperoleh

dari metode kuadrat terkecil merupakan metode yang menghasilkan estimator

linier tidak bias yang terbaik. Kondisi ini akan terjadi jika dipenuhi beberapa

asumsi yang biasa disebut dengan asumsi klasik (Ghozali,2005). Pengujian

meliputi:

1. Uji Normalitas

Uji normalitas bertujuan untuk menguji apakah dalam model regresi, variabel

terikat dan variabel bebas keduanya memiliki distribusi normal ataukah tidak

(Ghozali, 2012). Model regrsi yang baik adalah memiliki distribusi data normal

atau mendekati normal (Ghozali, 2012). Uji normalitas dilakukan dengan melihat

grafik histogram yang membandingkan antara data observasi dengan distribusi

yang mendekati distribusi normal (Ghozali, 2012). Dalam melakukan peneliatan

ini menggunakan Kolmogrov Smirnov yang dimana berguna untuk mengetahui

kernomalan distribusi, jika nilai Asymp. Sig suatu variabel lebih besar dari Level

of Significant yaitu 5% maka variabel tersebut terdistrubi normal, sedangkan jika

43
nilai Asymp. Sig dalam variabel itu lebih kecil dari Level of Significant 5% maka

variabel tersebut tidak terdistrubusi dengan normal.

2.Uji Multikolirieritas

Uji multikolinieritas bertujuan untuk menguji apakah pada model regresi

ditemukan adanya korelasi antar variabel bebas/independent (Ghozali, 2012).

Pada model regresi yang baik seharusnya tidak terjadi korelasi di antara variabel

bebas (Ghozali, 2012). Ada tidaknya multikolinieritas di dalam model regresi

dapat dilihat dari (1) nilai tolerance dan lawannya (2) nilai variance inflation

factor (VIF) (Ghozali, 2012). Kedua ukuran ini menunjukkan setiap variabel

bebas manakah yang dijelaskan oleh variabel bebas lainnya. Dalam pengertian

sederhana setiap variabel bebas menjadi variabel terikat (dependent) dan diregres

terhadap variabel bebas lainnya. Tolerance mengukur variabilitas variabel bebas

yang terpilih yang tidak dapat dijelaskan oleh variabel bebas lainnya. Jadi nilai

tolerance yang rendah sama dengan nilai VIF tinggi (karena VIF = 1/tolerance)

dan menunjukkan adanya kolonieritas yang tinggi (Ghozali, 2012).

Prosedur pengujian Uji Multikolinieritas adalah sebagai berikut :

1. Menentukan hipotesis operasional :

Ho : Tidak ada pengaruh multikolinieritas pada model regresi

Ha : Ada pengaruh multikolinieritas pada model regresi

44
2. Menetapkan kriteria penerimaan dan penolakan hipotesis :

Ho diterima jika VIF ≤ 10 dan Tolerance ≥ 0,1

Ha diterima jika VIF > 10 dan Tolerance < 0,1

3. Menghitung nilai VIF dan Tolerance

Perhitungan nilai VIF dan Tolerance berdasarkan pada alat analisis yang

digunakan yaitu uji multikolinieritas dilakukan dengan menggunakan program

pengolah data SPSS

4. Pengambilan keputusan

Menarik kesimpulan sesuai dengan prosedur 2 dan 3.

3.Uji Heteroskedastisitas

Uji ini bertujuan untuk melihat apakah dalam model regresi terjadi

ketidaksamaan variance dari residual satu pengamatan ke pengamatan lain. Jika

variance dari residual satu pengamatan ke pengamatan lain tetap, maka disebut

homoskedastisitas. Model inilah yang diharapkan terjadi. Jika variance dari

residual satu pengamatan ke pengamatan lainnya berbeda, maka terjadi

heteroskedastisitas.

45
Daftar Pustaka

Amaranti, R., Irianto, D., & Govindaraju, R. (2017). Green Manufacturing :

Kajian Literatur. In Seminar dan Konferensi Nasional IDEC 2017 (pp. 8–9).

Arikunto, S. (2010). Prosedur Penelitian Suatu pendekatan praktik. Jakarta: PT

Rineka Cipta.

Aviasti, Amaranti, R., & Rukmana, O. (2017). BERBAGI PENGETAHUAN

PADA PENERAPAN GREEN MANUFACTURING DI KAWASAN

INDUSTRI. In Prosiding SNaPP2017 Sains dan Teknologi (pp. 363–371).

Dam, L., & Petkova, B. N. (2014). The impact of environmental supply chain

sustainability programs on shareholder wealth. International Journal of

Operations & Production Management, 34(5), 586–609.

https://doi.org/10.1108/IJOPM-10-2012-0482

Diaz-Elsayed, N., Jondral, A., Greinacher, S., Dornfeld, D., & Lanza, G. (2013).

Assessment of lean and green strategies by simulation of manufacturing

systems in discrete production environments. CIRP Annals - Manufacturing

46
Technology, 62(1), 475–478. https://doi.org/10.1016/j.cirp.2013.03.066

Dornfeld, D. A. (2014). Moving Towards Green and Sustainable Manufacturing.

INTERNATIONAL JOURNAL OF PRECISION ENGINEERING AND

MANUFACTURING-GREEN TECHNOLOGY, 1(1), 63–66.

https://doi.org/10.1007/s40684-014-0010-7

Fennell, D. A. (2010). Current Issues in Tourism A Content Analysis of

Ecotourism Definitions A Content Analysis of Ecotourism Definitions,

(February 2013), 37–41.

Fukey, L. N., & Issac, S. S. (2014). Connect among Green , Sustainability and

Hotel Industry : A Prospective Simulation Study. International Journal of

Economics and Management Engineering, 8(1), 296–312.

Ghazilla, R. A. R., Sakundarini, N., Abdul-Rashid, S. H., Ayub, N. S., Olugu, E.

U., & Musa, S. N. (2015). Drivers and barriers analysis for green

manufacturing practices in Malaysian SMEs : A Preliminary Findings.

Procedia CIRP, 658–663. https://doi.org/10.1016/j.procir.2015.02.085

47
Giovanni, P. De. (2012). Do internal and external environmental management

contribute to the triple. International Journal of Operations & Production

Management, 32(3), 265–290. https://doi.org/10.1108/01443571211212574

Heizer, J., & Render, B. (2016). Operations Management (7th ed.). New Jersey:

Prentice-Hall.

Herjanto, E. (2007). Manajemen Operasi. (Grasindo, Ed.). Jakarta.

Hoek, R. I. Van. (1999). From reversed logistics to green supply chains. Supply

Chain Management, 4(3), 129–134.

Maarif, S. (2015). Restoran dan Hotel di Pangandaran Masih Buang Limbah ke

Pantai. Retrieved from

https://daerah.sindonews.com/read/947272/21/restoran-dan-hotel-di-

pangandaran-masih-buang-limbah-ke-pantai-1420614583

Mittal, V. K., & Sangwan, K. S. (2014a). Development of a model of barriers to

environmentally conscious manufacturing implementation. International

Journal OfProduction Research, 52(2), 584–594.

48
https://doi.org/10.1080/00207543.2013.838649

Mittal, V. K., & Sangwan, K. S. (2014b). Modeling drivers for successful

adoption of environmentally conscious manufacturing. Journal of Modelling

Management, 9(2), 2014. https://doi.org/10.1108/JM2-03-2013-0011

Mittal, V. K., & Sangwan, K. S. (2014c). Prioritizing barriers to green

manufacturing: Environmental, social and economic perspectives. Procedia

CIRP, 17, 559–564. https://doi.org/10.1016/j.procir.2014.01.075

Mittal, V. K., & Sangwan, K. S. (2014d). Prioritizing barriers to green

manufacturing: Environmental, social and economic perspectives. Procedia

CIRP, 17, 559–564. https://doi.org/10.1016/j.procir.2014.01.075

Mónika, O. (2010). Eco-Labelling for Environmental Friendly Hotel Industry,

(July). https://doi.org/10.13140/2.1.1975.6487

Ogbeide, G. (2012). Perception of Green Hotels in the 21st Century. Journal of

Tourism Insights, 3(1), 1–10.

49
Olyvia, F. (2017). Hotel Pembuang Limbah Sembarangan di Jakarta Diberi

Sanksi. Retrieved from

https://www.cnnindonesia.com/nasional/20170316141930-12-200600/hotel-

pembuang-limbah-sembarangan-di-jakarta-diberi-sanksi

Paul, I. D., Bhole, G. P., & Chaudhari, J. R. (2014). A Review on Green

Manufacturing: It’s Important, Methodology and its Application. Procedia

Materials Science, 6(Icmpc), 1644–1649.

https://doi.org/10.1016/j.mspro.2014.07.149

Rahmafitria, F. (2014). ECO-RESORT DAN GREEN HOTEL DI INDONESIA :

MODEL SARANA AKOMODASI YANG BERKELANJUTAN ECO-

RESORT. Jurnal Manajemen Resort & Leisure, 11(2), 1–22.

Rahman, A. (2015). ANALISIS BEBAN PENCEMAR DAN IDENTIFIKASI

SUMBER PENCEMAR AIR DARI SUMBER INSTITUSI DI KOTA

BANJARMASIN. Biodidaktia, 10(2), 6–17.

Riyanto. (2007). STRATEGI MENGATASI PEMANASAN GLOBAL

(GLOBAL WARMING). Value Added, 3(2), 67–79.

50
Ruiz-Molina, M.-E., Gil-Saura, I., & Moliner-Vela´zquez, B. (2009). Good

environmental practices for hospitality and tourism. Management of

Environmental Quality:, 21(4), 464–476.

Setiawati, C. I., & Sitorus, P. (2016). Keberhasilan hotel berwawasan ramah

lingkungan di Asia-Pasifik: faktor pendorong apakah yang dominan? Jurnal

Siasat Bisnis, 18(1), 45–62. https://doi.org/10.20885/jsb.vol18.iss1.art5

Sinangjoyo, N. J. (2013). Green Hotel sebagai Daya Saing Suatu Destinasi. Green

Hotel Sebagai Daya Saing Suatu Destinasi, 5, 83–93.

Stevenson, W. J. (2009). Operations Management. New York: McGraw-Hill

Irwin.

Sugiyono. (2014). Metode Penelitian Bisnis. Bandung: Alfabeta.

Tana, X. C., F.Liu, Cao, H. J., & H. Zhang. (2002). a Decision-Making

Framework Model of Cutting Tool Selection for Green Manufacturing and

Its Application. Journal of Materials Processing Technology, 129, 467–470.

https://doi.org/10.1142/s0219686708001516

51
Verma, V., & Chandra, B. (2017). Intention to Implement Green Hotel Practices:

Evidence from Indian Hotel Industry. International Journal of Management

Practice, 11(1), 1–20. https://doi.org/10.1504/IJMP.2018.10008645

Yuda, O. O., & Purnomo, E. P. (2018). Implementasi Kebijakan Pengendalian

Pencemaran Limbah Cair Hotel di Kota Yogyakarta Tahun 2017. Jurnal

Administrasi Publik, 8(2), 163–171. https://doi.org/10.31289/jap.v8i2.1906

52

Anda mungkin juga menyukai