Anda di halaman 1dari 10

TUGAS MALPRAKTEK

STUDI KASUS: MALPRAKTIK PERAWAT DALAM


ASPEK HUKUM PIDANA

Oleh:

Cecep Triwibowo
09/294038/PMU/06363
DEPARTEMEN PENDIDIKAN NASIONAL
MAGISTER HUKUM KESEHATAN
UNIVERSITAS GADJAH MADA
YOGYAKARTA

2010
Studi Kasus : Malpraktik Perawat dalam Aspek Hukum Pidana

A. Kasus
Seorang perawat yang juga Kepala Puskesmas Pembantu di Kuala Samboja, Kutai
Kertanegara, Kalimantan Timur, Misran, dipidana 3 bulan penjara oleh hakim karena
memberikan resep obat kepada masyarakat. Peristiwa tersebut bermula ketika paroh waktu Maret
2009 dia memberikan obat penyembuh rasa sakit kepada pasiennya. Tapi tanpa pemberitahuan,
tiba-tiba polisi dari Direktorat Reserse dan Narkoba (Direskoba) menggelandangnya ke Mapolda
Kaltim dengan tuduhan memberikan resep tanpa keahlian.
Tapi aparat penegak hukum, yaitu polisi dan jaksa terus memroses Misran dan berakhir di
meja hijau. Dalam putusannya tertanggal 19 November 2009, hakim PN Tengarong yang
diketuai oleh Bahuri dengan hakim anggota Nugraheni Maenasti dan Agus Nardiansyah
memutus hukuman 3 bulan penjara, denda Rp 2 juta rupiah subsider 1 bulan penjara. Hakim
menjatuhkan hukuman berdasarkan UU 36/ 2009 tentang Kesehatan pasal 82 (1) huruf D jo
Pasal 63 (1) UU No 32/1992 tentang Kesehatan.
Sumber : Triwibowo (2010)

B. Tinjauan Pustaka
Malpraktik terdiri dari dua suku kata mal dan praktik. Mal berasal dari kata Yunani yang
berarti buruk. Sedangkan praktik menurut Kamus Umum Bahasa Indonesia berarti menjalankan
perbuatan yang tersebut dalam teori atau menjalankan pekerjaan atau profesi. Jadi, malpraktik
berarti menjalankan pekerjaan yang buruk kualitasnya (Hanafiah dan Amir, 2008).
Berdasarkan Coughlin’s Law Dictionary dalam Guwandi (2004), malpraktik adalah
sikap-tindak profesional yang salah dari seseorang yang berprofesi, seperti dokter, ahli hukum,
akuntan, dokter gigi, dokter hewan dll. Malpraktik bisa diakibatkan karena sikap tindak yang
bersifat tidak peduli, kelalaian, atau kekurang-ketrampilan atau kehati-hatian dalam pelaksanaan
kewajiban profesionalnya, tindakan salah yang sengaja atau praktek yang bersifat tidak etis.
Berdasarkan pengertian tersebut, malpraktik bisa terjadi pada semua profesi baik perawat,
dokter, atau profesi yang lain. Keperawatan merupakan bentuk pelayanan profesional kepada
sistem pasien yang diberikan secara manusiawi, komprehensif, dan individualistik,
berkesinambungan sejak pasien membutuhkan pelayanan sampai saat dimana pasien mempu
melakukan kegiatan sehari-hari secara produktif untuk diri sendiri, dan orang lain.
Lebih lanjut Guwandi (2004) menyebutkan bahwa di dalam kasus Valentin v. Society se
Bienfaisance de Los Angelos California 1956 dirumuskan, malpraktik adalah kelalaian dari
seorang dokter atau perawat untuk menerapkan tingkat ketrampilan dan pengetahuannya didalam
memberikan pelayanan pengobatan dan perawatan terhadap seorang pasien yang lazimnya
diterapkan dalam mengobati dan merawat orang sakit atau terluka di lingkungan wilayah yang
sama. Sedangkan, menurut The Oxford Illustrated Dictionary (1975) cit Guwandi (2004),
malpraktik yaitu sikap-tindak yang salah, (hukum) pemberian pelayanan terhadap pasien yang
tidak benar oleh profesi medis, tindakan yang ilegal untuk memperoleh keuntungan sendiri
sewaktu dalam posisi kepercayaan,
Dapat ditarik kesimpulan bahwa yang dimaksud dengan malpraktik adalah:
1. Melakukan sesuatu yang seharusnya tidak boleh dilakukan oleh seseorang tenaga kesehatan.
2. Tidak melalukan apa yang seharusnya dilakukan atau melalaikan kewajiban (negligence)
3. Melanggar suatu ketentuan menurut atau berdasarkan Peraturan perundang-undangan.
Malpraktik Pidana
Perbuatan seseorang dapat dimasukkan dalam kategori criminal malpractice
manakala perbuatan tersebut memenuhi rumusan delik pidana yakni: (1) sikap batin, (2)
perlakuan medis, (3) mengenai hal akibat. Pada dasarnya perlakuan medis adalah
perlakuan medis yang menyimpang. Mengenai sikap batin adalah kesengajaan atau culpa.
Mengenai hal akibat adalah mengenai timbulnya kerugian bagi kesehatan atau nyawa
pasien.
a. Perlakuan salah
Perlakuan atau perbuatan adalah wujud-wujud konkret sebagai bagian dari perlakuan
atau pelayanan kesehatan. Semua perbuatan dalam pelayanan kesehatan dapat mengalami
kesalahan (sengaja atau lalai) yang pada ujungnya menimbulkan malpraktik, apabila
dilakukan secara menyimpang.
Perlakuan tidak selalu bersifat aktif (berupa wujud perbuatan tertentu) tetapi juga
termasuk tidak berbuat sebagaimana seharusnya berbuat, karena dengan tidak berbuat
melanggar suatu kewajiban hukum. Tidak berbuat sebagaimana dituntut untuk berbuat
merupakan bagian dari perlakuan yang dapat menjadi objek lapangan malpraktik.
b. Sikap batin
Sikap batin adalah sesuatu yang ada di dalam batin sebelum seseorang berbuat. Sesuatu
yang ada dalam alam batin ini dapat berupa kehendak, pengetahuan, pikiran, perasaan, dan
apa pun yang melukiskan keadaan batin seseorang sebelum berbuat. Setiap orang normal
memiliki sikap batin seperti itu. Dalam keadaan normal, setiap orang memiliki kemampuan,
mengarahkan, dan mewujudkan sikap batinnya ke dalam perbuatan-perbuatan. Apabila
kemampuan mengarahkan dan mewujudkan alam batin ke dalam perbuatan-perbuatan
tertentu dilarang, hal itu disebut kesengajaan. Namun, apabila kemampuan berpikir,
berperasaan, dan berkehendak itu tidak digunakan sebagaimana mestinya dalam hal
melakukan suatu perbuatan yang pada kenyataannya di larang, maka sikap batin tersebut
dinamakan kelalaian (culpa). Sebelum perbuatan diwujudkan, ada tiga arah sikap batin,
yaitu:
- Sikap batin mengenai wujud perbuatan (terapi)
- Sikap batin mengenai sifat melawan hukum perbuatan
- Sikap batin mengenai akibat dari wujud perbuatan.
Sikap batin dalam pelayanan kesehatan pada umumnya adalah sikap batin kealpaan
yang dalam doktrin dilawanka dengan kesengajaan (dolus atau opset) yang dalam rumusan
undang-undang selalu ditulis dengan kesalahan.

Ajaran culpa subjektif


Pandangan ajaran culpa subjektif dalam usahanya menerangkan tentang culpa yang
bertitik tolak pada syarat-syarat subjektif pada diri si pembuat. Untuk mengukur adanya
culpa, menilai sikap batin seseotang sebagai lalai dapat dilihat pada beberapa unsur
mengenai perbuatan, yakni dapat dalam hal ini:
- Apa wujud perbuatan, cara perbuatan, dan alat untuk melakukan perbuatan
- Sifat tercelanya perbuatan
- Objek perbuatan
- Akibat yang timbul dari wujud perbuatan
Sikap batin culpa dalam hubungannnya dengan wujud dan cara perbuatan adalah
sikap batin yang tidak atau kurang mengindahkan atau kurang bersikap hati-hati mengenai
wujud dan cara perbuatan atau alat yang digunakan dalam perbuatan. Sikap batin dalam
hubungannya melawan hukum perbuatan adalah sikap batin yang seharusnya ada pada diri si
pembuat sebelum berbuat, yakni perbuatan yang hendak dilakukannya adalah terlarang. Jika
karena keteledora dan kekurangpengetahuannya ia tidak menyadari bahwa perbuatannya
adalah terlarang, padahal karena kedudukannya sebagai seorang profesional ia memikul
kewajiban untuk mengetahuinya. Dengan demikian, telah terjadi kelalaian mengenai sifat
melawan hukumnya perbuatan.
Sikap batin dalam hubungannya dengan objek perbuatan dan hal-hal lain disekitar
objek perbuatan adalah sikap batin yang tidak mengindahkan segala sesuatu mengenai objek
yang akan dilakukan oleh perbuatan. Sikap batin lalai dalam hubungannya dengan akibat
terlarang dari suatu perbuatan dapat terletak diantara satu atau tiga hal berikut:
- Terletak pada ketiadaan pikir sama sekali terhadap akibat yang dapat timbul dari suatu
perbuatan
- Terletak pada pemikiran tentang akibat yang diyakini tidak akan terjadi pada suatu
perbuatan. Berdasarkan pertimbangan dari kepintaran, pengalaman, dan alat yang
digunakan, ia yakin akibat tidak akan terjadi, tetapi ternyata setelah perbuatan tersebut
dilakukan akibat benar-benar terjadi.
- Terletak pada pemikiran bahwa akibat bisa terjadi. Namun, berdasarkan kepintarannya
dengan telah menguasai cara-cara secara maksimal akan berusaha menghindari akibat
tersebut. Ternyata setelah dilakukan akibat tersebut benar-benar terjadi.
Ajaran Culpa Objektif
Pandangan objektif yang meletakkan syarat lalai atas suatu perbuatan adalah pada
kewajaran atau kebiasaan yang berlaku secara umum. Apabila dalam kondisi atau situasi
tertentu, dengan syarat-syarat tertentu yang sama, seseorang mengambil pilihan untuk
perbuatan tertentu sebagaimana juga bagi orang lain pada umumnya yang berada dalam
kondisi dan situasi seperti itu juga mengambil pilihan yang sama, maka disini tidak ada
kelalaian. Sebaliknya, apabila dalam kondisi dan situasi dan dengan syarat-syarat yang bagi
orang lain pada umumnya, tidak memilih perbuata yang telah menjadi pilihan orang itu,
maka dalam mengambil pilihan perbuatan ini mengandung kelalaian.
Jadi pandangan culpa objektif dalam menilai sikap batin lalai pada diri seseorang
dengan membandingkan antara perbuatan pelaku pada perbuatan yang dilakukan orang lain
yang berkualitas sama dalam keadaan-keadaan yang sama pula.
Pada dasarnya, mengenai kesalahan dalam arti luas maupun sempit (culpa) adalah
mengenai keadaan batin seseorang dalam hubungannya dengan perbuatan dan akibat
perbuatan maupun dengan segala keadaan disekitar perbuatan, objek perbuatan, dan akibat
perbuatan. Oleh karena itu, culpa malpraktik ditujukan setidak-tidaknya dalam 4 hal, yakni:
- Pada wujud perbuatan
- Pada sifat melawan hukumnya perbuatan
- Pada objek perbuatan
- Pada akibat perbuatan, beserta unsur-unsur yang menyertainya.

c. Adanya akibat kerugian


Sifat akibat dan letak hukum pengaturannya menentukan kategori malpraktek, antara
malpraktek perdata atau pidana. Dari sudut hukum pidana, akibat yang merugikan masuk
dalam lapangan pidana. Apabila jenis kerugian disebut dalam rumusan kejahatan menjadi
unsur tidak pidana akibat kematian atau luka merupakan unsur kejahatan Pasal 359 dan 360
maka bila kelalaian/culpa perlakuan medis terjadi dan mengakibatkan kematian atau luka
sesuai jenis yang ditentukan dalam pasal ini maka perlakuan medis masuk kategori
malpraktik pidana. Perlakuan medis yang melanggar Pasal 359 dan 360 berarti melanggar
Pasal 310 KUHAP sebagai malpraktik pidana, menurut Pasal 1365 BW, juga onrechtmatige
daad sekaligus malpraktik perdata yang dapat pula dituntut penggantian kerugian.
Antara perlakuan dengan akibat haruslah ada hubungan causal (causaal verband).
Akibat terlarang yang tidak dikehendaki harus merupakan akibat langsung oleh adanya
perbuatan. Penyebab langsung menimbulkan akibat berupa penyebab secara layak dan masuk
akal paling kuat pengaruhnya terhadap timbulnya akibat. Apabila ada faktor-faktor lain yang
berpengaruh terhadap timbulnya akibat atau mempercepat timbulnya akibat tidak mudah
menghapuskan sifat melawan hukum perbuatan terhadap akibat terlatang oleh suatu
perlakuan yang dijalankan.
C. Pembahasan
Mengacu pada UU No. 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran, yang dilakukan
oleh perawat Misran dalam hal ini yaitu memberikan resep obat dan obat adalah suatu
malpraktek. Pada Pasal 73 ayat (1) UU No. 29 Tahun 2004 dijelaskan bahwa
“Setiap orang dilarang menggunakan identitas berupa gelar atau bentuk lain yang menimbulkan
kesan bagi masyarakat seolah-olah yang bersangkutan adalah dokter atau dokter gigi yang telah
memiliki surat tanda registrasi dan/atau surat izin praktik”.

Memberikan resep dan obat merupakan kewenangan medis dan bukan


kewenangan perawat. Perbuatan memberikan resep dan obat yang dilakukan oleh perawat
adalah perbuatan yang melawan undang-undang dan termasuk dalam tindakan
malpraktik yang masuk dalam ranah hukum pidana. Perbuatan melawan undang-undang
merupakan perbuatan yang melawan hukum. Pada dasarnya, malpraktik dalam ranah
hukum pidana, apabila perbuatan melawan hukum tersebut terdapat indikasi syarat sikap
batin perawat (dolus atau culpoos) dan akibat kerugian dari perlakuan medis yang
menyimpang menjadi unsur kejahatan.
Pada pasal 77 UU No. 29 Tahun 2004 dijelaskan bahwa perbuatan yang dilakukan pada
Pasal 73 merupakan tindak pidana. Secara terperinci yaitu:
”Setiap orang yang dengan sengaja menggunakan identitas berupa gelar atau bentuk lain yang
menimbulkan kesan bagi masyarakat seolah-olah yang bersangkutan adalah dokter atau dokter gigi yang
telah memiliki surat tanda registrasi dokter atau surat tanda registrasi dokter gigi dan/atau surat izin praktik
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 73 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun
atau denda paling banyak Rp150.000.000,00 (seratus lima puluh juta rupiah).

Tindak pidana tersebut adalah tindak pidana materiil yang dirumuskan secara
formil. Perbuatan yang dilarang adalah menggunakan gelar atau bentuk lain dengan
memberi petunjuk perumusannya dengan cara formil. Akan tetapi, dengan
dicantumkannya unsur akibat in casu “menimbulkan kesan” (seolah-olah yang
bersangkutan adalah dokter) menunjukkan tindak pidana materiil.
Tindak pidana ini dirumuskan dengan mencamtumkan unsur kesengajaan (dengan
sengaja). Itulah unsur kesalahan dalam bentuk kesengajaan. Berdasarkan apa yang
dikatakan Moeljatno dengan kata kunci Modderman ialah semua unsur-unsur yang
diletakkan sesudah kata sengaja dikuasai olehnya. Maksudnya adalah semua unsur dalam
rumusan tindak pidana yang diletakkan setelah kata sengaja, unsur-unsur tersebut diliputi
oleh unsur sengaja. Dengan sengaja (menghendaki dan mengetahui) dalam tindak pidana
Pasal 77 ini ditujukan pada (1) unsur perbuatan menggunakan identitas gelar atau bentuk
lain, 2) unsur menimbulkan kesan seolah-olah yang bersangkutan dokter atau dokter gigi
yang memiliki STR dan SIP.
Dalam kasus, yang dilakukan oleh Misran, dapat dikategorikan bahwa pebuatan
Misran dapat menimbulkan kesan bahwa ia adalah seorang dokter karena telah
melakukan praktik pengobatan yang merupakan diluar kewenangannya.
Pengobatan medis yang dilakukan oleh perawat khususnya di daerah pedalaman
dimana fasilitas kesehatan sangat minimal atau bahkan tidak ada merupakan permasalaha
yang sangat pelik. Penyelamatan terhadap nyawa manusia adalah mutlak diberikan.
Namun karena tidak ada tenaga medis di suatu wilayah, maka perawat yang berada
diwilayah tersebut memiliki beban moral sebagai bentuk penyelamatan terhadap nyawa
manusia. Namun, disisi lain hal ini berlawanan dengan UU No. 29 tentang Praktik
Kedokteran.
Kasus tersebut cukup menyita perhatian khususnya dikalangan perawat, hingga
muncullah peraturan menteri kesehatan No. 148 Tahun 2010 tentang Izin dan
Penyelenggaraan Praktik Perawat. Dalam Permenkes No. 148 Tahun 2010, lebih diatur
kewenangan perawat secara terperinci khususnya mengenai kewenangan dalam
melakukan pengobatan medis. Permenkes No. 148 Tahun 2010 merupakan peraturan
perundangan yang diamanatkan oleh Undang-Undang No. 29 Tahun 2004. Pada Pasal 73
ayat (3) disebutkan bahwa “Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) tidak
berlaku bagi tenaga kesehatan yang diberi kewenangan oleh peraturan perundang-undangan”.
Hal ini berarti, Perrmenkes tersebut memiliki kedudukan hukum yang kuat karena diamanatkan
oleh Undang-Undang.
Setelah keluarnya Permenkes No. 148 Tahun 2010, maka tindakan perawat diluar
kewenangannya adalah legal (dengan syarat dan ketentuan pada Permenkes No. 148 Tahun
2010). Hal ini dapat digunakan sebagai acuan, apabila ke depannya, terjadi kasus-kasus perawat
yang berkaitan dengan pengobatan medis yang dilakukannya.
Praktik keperawatan dilaksanakan melalui kegiatan: 1) pelaksanaan asuhan
keperawatan, 2) pelaksanaan upaya promotif, preventif, pemulihan, dan pemberdayaan
masyarakat, 3) pelaksanaan tindakan keperawatan komplementer. Asuhan keperawatan
meliputi pengkajian, penetapan diagnosa keperawatan, perencanaan, implementasi, dan
evaluasi keperawatan. Implementasi keperawatan meliputi penerapan perencanaan dan
pelaksanaan tindakan keperawatan. Tindakan keperawatan meliputi pelaksanaan
prosedur keperawatan, observasi keperawatan, pendididkan dan konseling kesehatan.
Pada Permenkes No. 148/2010 Pasal 2 disebutkan perawat dapat membuka praktik
mandiri. Lebih lanjut, perawat yang menjalankan praktik mandiri berpendidikan minimal
DIII Keperawatan.
Pada Pasal 10 ayat (1) disebutkan bahwa dalam keadaan darurat untuk penyelamatan
nyawa seseorang/pasien dan tidak ada dokter di tempat kejadian, perawat dapat melakukan
pelayanan kesehatan diluar kewenangan. Pada pasal tersebut lebih ditekankan bahwa ditempat
kejadian tidak ada dokter, maka perawat berhak melakukan pelayanan kesehatan diluar
kewenangannya untuk penyelamatan nyawa pasien dalam keadaan darurat.
Pada Pasal 10 ayat (2). Pada ayat tersebut dijelaskan bahwa bagi perawat yang
menjalankan praktik di daerah yang tidak memiliki dokter dalam rangka melaksanakan tugas
pemerintah, dapat melakukan pelayanan kesehatan di luar kewenangan. Dengan dikeluarkannya
Pasal 10 ayat (2) pada Permenkes No. 148/2010 dapat dijadikan landasan hukum bagi perawat
yang melaksanakan praktik mandiri untuk melakukan pengobatan medis di daerah tertentu
selama daerah tersebut belum memiliki dokter. Meskipun demikian pengobatan medis yang
dilakukan perawat harus sesuai dengan ketentuan-ketentuan yang berlaku yaitu harus
mempertimbangkan kompetensi, tingkat kedaruratan, dan kemungkinan untuk dirujuk.
Dalam Permenkes No. 148/2010, terdapat kejelasan wewenang perawat dalam
memberikan obat kepada pasien. Pada Pasal 8 ayat (7) disebutkan bahwa perawat dalam
menjalankan asuhan keperawatan dapat memberikan obat bebas dan/atau obat bebas
terbatas (Triwibowo, 2010).

D. Kesimpulan
Perbuatan memberikan resep dan obat yang dilakukan oleh perawat Misran adalah
tindak malpraktik yang masuh dalam ranah hukum pidana karena melawan UU No. 29
Tahun 2010 tentang Praktik Kedokteran. Namun, setelah terbit Peraturan Menteri
Kesehatan No. 148 Tahun 2010, apabila terjadi kasus serupa maka perbuatan tersebut
adalah legal sesuai dengan peraturan yang berlaku.
Daftar Pustaka
Chazawi, A. 2007. Malpraktik Kedokteran: Tinjauan Norma dan Doktrin Hukum.
Malang: Bayumedia Publishing.

Hanafiah, J. Dan Amri, A. 2008. Etika Kedoteran dan Hukum Kesehatan. Jakarta: EGC.

Guwandi, J. 2004. Hukum Medik. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.

Jayanti, K.,J. 2009. Penyelesaian Hukum dalam Malpraktik Kedokteran. Yogyakarta:


Pustaka Yustisia.

Nasution, B.J. 2005. Hukum Kesehatan: Pertanggungjawaban Dokter. Jakarta: Rineka


Cipta.

Praptianingsing, S. 2007. Kedudukan Hukum Perawat dalam Upaya Pelayanan Kesehatan


di Rumah Sakit. Jakarta: Raja Grafindo Persada.

Triwibowo, C. 2010. Hukum Keperawatan: Panduan Hukum dan Etika bagi Perawat.
Yogyakarta: Pustaka Book Pulisher.

Anda mungkin juga menyukai