Anda di halaman 1dari 12

TINJAUAN STRATEGI PERPAJAKAN DAN PERENCANAAN PAJAK

2.1 Etika Praktik Perpajakan (Ethic Tax Application)

Pada dasarnya, tidak seorang pun yang senang membayar pajak dan potensi untuk bertahan
terhadap pembayaran pajak sudah melekat pada diri wajib pajak sesuai asumsi Leon Yudkin yang
mengatakan:

a. Bahwa wajib pajak selalu berusaha untuk membayar pajak yang terutang sekecil mungkin,
sepanjang hal itu dimungkinkan oleh ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.

b. Bahwa para wajib pajak cenderung untuk menyelundupkan pajak (tax evasion) yaitu usaha
penghindaran pajak terutang secara ilegal, sepanjang wajib pajak tersebut mempunyai alasan
yang meyakinkan bahwa akibat dari perbuatannya tersebut, kemungkinan besar mereka
tidak akan dihukum serta yakin pula bahwa rekan-rekannya melakukan hal yang sama.

Ukuran kepatuhan memenuhi kewajiban perpajakan, biasanya diukur dan


dibandingkan dengan besar kecilnya penghematan pajak (tax saving), penghindaran pajak
(tax avoidance) dan penyelundupan pajak (tax evasion) yang bertujuan untuk meminimalkan
beban pajak, melalui beberapa cara yaitu pengecualian-pengecualian, pengurangan-
pengurangan, insentif pajak, penghasilan yang bukan objek pajak, penangguhan pengenaan
pajak, pajak ditanggung negara sampai kepada kerja sama dengan aparat perpajakan, suap-
menyuap dan pemalsuan.

Perencanaan pajak (tax planning) adalah proses mengorganisasi usaha wajib pajak
atau kelompok wajib pajak sedemikian rupa sehingga utang pajaknya, baik pajak
penghasilan maupun pajak-pajak lainnya, berada dalam posisi yang paling minimal
sepanjang hal ini dimungkinkan baik oleh ketentuan peraturan perundang-undangan
perpajakan maupun secara komersial.

Penghindaran pajak merupakan usaha meminimkan beban pajak dengan cara


penggunaan alternatif-alternatif yang riil dan dapat diterima oleh fiskus. Penyelundupan
pajak merupakan perbuatan yang tercela yang dilakukan oleh wajib pajak atau penasihat
ahlinya yang bertujuan dengan sengaja melakukan pelanggaran terhadap ketentuan
peraturan perundang-undangan perpajakan yang berlaku, misalnya dalam bentuk tidak
memberitahukan fiskus keadaan yang sebenarnya.

2.2. Kerugian Pajak (Tax Losses)

Kerugian pajak adalah selisih antara potensi pajak dan realisasi penerimaan pajak. Kerugian pajak
dapat terdiri dari:

a. Kerugian karena ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.

Kerugian ini disebut juga sebagai pengeluaran pajak (tax expenditure), merupakan subsidi
terselubung yang diberikan oleh Pemerintah diluar pengontrol Anggaran Pendapatan dan Belanja
Negara (APBN) melalui pengecualian-pengecualian (exemptions) dan pengurangan-pengurangan
(deductions) sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.

b. Kerugian karena aparat pajak

Kerugian ini disebabkan oleh ekstensifikasi, intensifikasi dan penyelundupan bilateral (bilateral
evasion).

c. Kerugian karena wajib pajak

Kerugian ini disebabkan oleh persinggahan pajak (tax haven), penghindaran pajak (tax avoidance)
dan penyelundupan pajak (tax evasion) baik secara unilateral maupun bilateral.

Dari ketiga macam kerugian pajak tersebut, dari sudut pandang ketentuan peraturan perundang-
undangan perpajakan, kerugian dapat diklasifikasikan sebagai berikut:

a. Kerugian karena materi ketentuan peraturan perundang-

undangan perpajakan.

b. Kerugian karena pelaksanaan ketentuan peraturan

perundang-undangan perpajakan.

c. Kerugian karena pelanggaran ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.

i. Kerugian karena materi ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.

Yang termasuk dalam pengertian kerugian karena materi ketentuan peraturan perundang-
undangan perpajakan adalah selain subsidi pajak, juga perbuatan atau usaha pembayar pajak
untuk membayar pajak seefisien mungkin melalui celah-celah (loopholes) yang terdapat
dalam ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan. Hal ini dilakukan dengan cara
penghindaran pajak (tax avoidance) dan penghematan pajak (tax saving) yang sama sekali
tidak dapat dianggap sebagai pelanggaran hukum.

ii. Kerugian karena pelaksanaan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan

Naluri pembayar pajak yang selalu berusaha untuk membayar pajak sekecil mungkin atau
pun tidak membayar pajak sama sekali, menyebabkan pekerjaan instansi pajak dalam rangka
pengelolaan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan menjadi lebih sulit.

Akibatnya, usaha-usaha untuk menjangkau seluruh subjek pajak (ekstenfikasi) dan meliputi
semua objek pajak (intensifikasi) sering kali memenuhi harapan dan bahkan terperangkap
dalam kegiatan penyelundupan pajak bilateral (bilateral tax evasion).

iii. Kerugian karena pelanggaran ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.

Yang termasuk dalam kerugian karena pelanggaran ketentuan peraturan perundang-


undangan perpajakan, tidak saja sebatas pada kecurangan dan penggelapan dalam segala
bentuknya (penyelundupan pajak unilateral = unilateral tax evasion), tetapi menurul Oliver
Oldman juga meliputi kelalaian memenuhi kewajiban perpajakan yang disebabkan oleh
ketidaktahuan (ignorance), kesalahan (error), kesalahpahaman (misunderstanding) dan
kealpaan (negligence).

2.3. Penghindaran Pajak (Tax Avoidance) Dan Penyelundupan Pajak (Tax Evasion)

Pada dasarnya antara penghindaran pajak dan penyelundupan pajak mempunyai sasaran yang sama
yaitu mengurangi beban pajak, akan tetapi car penyelundupan pajak jelas-jelas merupakan
perbuatan ilegal dalam usaha mengurangi beban pajak tersebut.

Pengertian Penyelundupan Pajak dan Penghindaran Pajak.

Menurut Harry Graham Balter

Penyelundupan pajak merupakan usaha yang dilakukan oleh wajib pajak “apakah berhasil atau
tidak” untuk mengurangi atau sama sekali menghapus utang pajak yang berdasarkan ketentuan yang
berlaku sebagai pelanggaran terhadap perundang-undangan perpajakan.

Penghindaran pajak merupakan usaha yang sama yang tidak melanggar ketentuan peraturan
perundang-undangan perpajakan.

Menurut Ernest R. Mortenson

Penyelundupan pajak adalah usaha yang tidak dapat dibenarkan berkenaan dengan kegiatan wajib
pajak untuk lari atau menghindarkan diri dari pengenaan pajak.

Penghindaraan pajak berkenaan dengan pengaturan sesuatu peristiwa sedemikian rupa untuk
meminimkan atau menghilangkan beban pajak dengan memperhatikan ada atau tidaknya akibat-
akibat pajak yang ditimbulkannya. Oleh karena itu, pengindaran pajak tidak merupakan
pelanggaran atas perundang-undangan perpajakan atau secara etik tidak dianggao salah dalam
rangka usaha wajib pajak untuk mengurangi, menghindari, meminimkan atau meringankan beban
pajak dengan cara-cara yang dimungkinkan oleh undang-undang pajak.

Menurut N.A. Barr, S.R. James, A.R. Prest

Penyelundupan pajak mempunyai arti sebagai manipulasi secara ilegal atas penghasilannya untuk
memperkecil jumlah pajak yang terutang.

Penghindaran pajak diartikan sebagai manipulasi penghasilannya secara legal, yang masih sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan untuk memperkecil jumlah pajak yang
terutang.

Menurut Robert H. Anderson

Penyulundupan pajak adalah penyulundupan pajak yang melanggar undang-undang pajak.

Penghindaran pajak adalah cara mengurangi pajak yang masih dalam batas ketentuan peraturan
perundang-undangan perpajakan dan dapat dibenarkan, terutama melalui perencanaan pajak.
Pengertian Penghematan Pajak (Tax Saving)

Cara lain untuk mengefisienkan beban pajak adalah melalui penghematan pajak (tax saving)
yaitu suatu cara yang dilakukan oleh wajib pajak dalam mengelakkan utang pajaknya dengan jalan
menahan diri untuk tidak membeli produk-produk yang ada pajak pertambahan nilainya, pajak
penjualannya atau dengan sengaja mengurangi jam kerja atau pekerjaan yang dapat dilakukannya
sehingga penghasilannya menjadi kecil dan terhindar dari pengenaan pajak penghasilan yang besar.

Seperti telah diungkapkan sebelumnya, Oliver Oldman menegaskan bahwa pengertian


penyelundupan pajak tidak saja terbatas pada kecurangan dan penggelapan dalam segala bentuknya
tetapi juga meliputi kelalaian memenuhi kewajiban perpajakan yang disebabkan oleh:

a. Ketidaktahuan (ignorance), yaitu wajib pajak tidak sadar atai tidak tahu akan adanya
ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan tersebut.
b. Kesalahan (error), yaitu wajib pajak paham dan mengerti mengenai ketentuan peraturan
perundang-undangan perpajakan tetapi salah hitung datanya.
c. Kesalahpahaman (misunderstanding), yaitu wajib pajak salah menafsirkan ketentuan
peraturan perundang-undangan perpajakan.
d. Kealpaan (negligence), yaitu wajib pajak alpa unuk menyimpan buku beserta bukti-
buktinya secara lengkap.

Dengan demikian penyelundupan pajak dapat pula didefinisakan sebagai suatu tindakan atau
sejumlah tindakan yang merupakan pelanggaran terhadap ketentuan peraturan perundang-
undangan perpajakan seperti:

 Tidak dapat memenuhi pengisian Surat Pemberitahuan (SPT) tepat pada waktunya.
 Tidak dapat memenuhi pembayaran pajak tepat pada waktunya.
 Tidak dapat memenuhi pelaporan penghasilan dan pengurangannya secara lengkap
dan benar.
 Tidak dapat memenuhi kewajiban memelihara pembukuan.
 Tidak dapat memenuhi kewajiban menyetorkan paja penghasilan para karyawan
yang dipotong dan pajak-pajak lainnya yang telah dipungut.
 Tidak dapat memenuhi permintaan fiskus akan informasi pihak ketiga.
 Pembayaran dengan cek kosong bagi negara yang dapat melakukan pembayaran
pajaknya dengan cek.
 Melakukan penyuapan terhadap aparat perpajakan dan atau tindakan-tindakan
lainnya.

Sesuai dengan Pasal 38 dan Pasal 39 Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan
Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah diubah, terakhir dengan Undang-Undang
Nomor 16 Tahun 2000 bab Ketentuan Pidana adalah sebagai berikut :
Pasal 38

Setiap orang yang karena kealpaanya:

a. Tidak menyampaikan Surat Pemberitahuan; atau

b. Menyampaikan Surat Pemberitahuan, tetapi isinya tidak benar atau tidak lengkap, atau
melampirkan keterangan yang isinya tidak benar.

Sehingga dapat menimbulkan kerugian pada pendapatan negara, dipidana dengan pidana kurungan
paling lama 1 (satu) tahun dan denda paling tinggi 2 (dua) kali jumlah pajak terutang yang tidak
atau kurang bayar.

Pasal 39

1. Setiap orang dengan sengaja:

a. Tidak mendaftarkan diri atau menyalahgunakan tanpa hak Nomor Pokok Wajib Pajak atau
pengukuhan Pengusaha Kena Pajak sebagaimana dimaksud pasal 2: atau

b. Tidak menyampaikan Surat Pemberitahuan; atau

c. Menyampaikan Surat Pemberitahuan dan atau keterangan yang isinya tidak benar atau tidak
lengkap; atau

d. Memperlihatkan pembukuan, pencatatan, tidak memperlihatkan atau tidak meminjamkan


buku, catatan. Atau dokumen lainnya; atau

e. Tidak menyetorkan pajak yang telah dipotong atau dipungut;

Sehingga dapat menimbulkan kerugian pada pendapatan negara, dipidana dengan pidana penjara
paling lama 6 (enam) tahun dan denda paling tinggi 4 (empat) kali pajak terutang yang tidak atau
kurang bayar.

2. Pidana sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilipatkan 2 (dua) apabila seseorang melakukan
lagi tindak pidana dibidang perpajakan sebelum lewat 1 (satu) tahun, terhitung sejak selesainya
menjalani pidana penjara yang dijatuhkan.

3. Setiap orang yang melakukan percobaan untuk melakukan tindak pidana menyalahgunakan atau
menggunakan tanpa hak Nomor Pokok Wajib Pajak atau Pengukuhan Pengusaha Kena Pajak
sebagimana dimaksud dalam ayat (1) huruf a, atau menyampaikan Surat Pemberitahuan dan atau
keterangan yang isinya tidak benar atau tidak lengkap sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
huruf c dalam rangka mengajukan permohonan restitusi atau melakukan kompensasi pajak,
dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun dan denda paling tinggi 4 (empat) kali
jumlah restitusi yang dimohon dan atau kompensasi yang dilakukan oleh Wajib Pajak.
2.4. Sifat & Cara Pendekatan Perencanaan Pajak (Tax Planning)

Seperti diketahui, perencanaan pajak adalah suatu proses yang mendeteksi cacat teoritis
dalam ketentuan peraturan perundang-undanan perpajakan tersebur, untuk kemudian diolah
sedemikian rupa sehingga ditemukannya suatu cara penghindaran pajak yang dapat menghemat
pajak akibat cacat teoritis tersebut.

Adanya kekurangan yang konseptual dalam ketentuan peraturan perundang-undangan


perpajakan tidaklah berarti bahwa ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan harus
direvisi, karena perubahan suatu ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan
memerlukan banyak pertimbangan dan kriteria-kriteria yang tidak konsisten dan bertentangan
sama lainnya.

Dari sudut pandang teoritis yang sangat sederhana, sesungguhnya suatu penghasilan telah
diperoleh pada saat timbulnya perbedaan harga (kenaikan harga) suatu aset. Namun apabila
ditinjau, baik dari segi ketentuan peraturan perundang-undnagan perpajakan maupun dari segi
praktik akuntansi, bahwa pebghasilan tersebut bari direkognisi sebagai penghasilan pada saat
aset tersebut dijual atau dipindahtangankan. Menunda rekognisi penghasilan sampai dengan
pengalihan aset tersebut, secara praktis dapat digunakan sebagai alasan untuk membenarkan
perbuatan penghematan pajak

Perencanaan pajak merupakan suatu lapangan pekerjaan yang tidak seja mengisyaratkan
pengetahuan mengenai ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan, tetapi juga
ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya seperti Undang-Undnag Perusahaan (Company
Law) dan beberapa aspek dari Undang-Undang Perdagangan (Comercial Law), begitu pula
pengetahuan dan pemahaman tentang praktik akunting, praktik bisnis, dan perdagangan.

Perencanaan pajak tidak pula terlepas dari sistem pemungutan yang dianut di Indonesia
setelah reformasi pajak, yaitu sistem self-asessment. Ciri dan cara tersendiri dri sistem
pemungutan pajak tersebut adalah:

a. Bahwa pemungutan pajak merupakan perwujudan dari pengabdian keajiban dan peran serta
wajib pajak untuk secara langsung dan bersama-sama melaksanakan kewajiban perpajakan
yang diperlukan untuk pembiayaan negara dan pembangunan nasional.

b. Tanggung jawab atas kewajiban pelaksanaan pajak, sebagai pencerminan kewajiban di


bidang perpajakan berada pada anggota wajib pajak sendiri.

c. Wajib pajak diberikan kepercayaan untuk dapat melaksanakan kegotong-royongan nasional


melalaui sistem menghitung, memperhitungkan, dan membayar sendiri pajak yang terutang
(self-assessment).
2.5. Ekonomi Perencanaan Pajak

Hasrat untuk melakukan perencanaan pajak pada dasarnya didorong oleh dua ketentuan peraturan
perundang-undangan perpajakan, yaitu:

a. Ketentuan pertama menyangkut maslah Pajak Penghasilan itu sendiri yang bukan
merupakan biaya yang fiskal dapat dikurangkan dalam menentukan Penghasilan Kena Pajak
(Pasal 9 ayat (1) huruf h UU PPh). Sebagai konsekuensinya, apabila terdapat pengurangan
pembayaran PPh, maka tidak akan terjadi penurunan dalam jumlah biaya fiskal yang dapat
dikurangkan dan oleh karena itu juga tidak akan menimbulkan kenaikan Penghasilan Kena
Pajak.
b. Ketentuan kedua menyangkut kemungkinan dapat dikurangkannya biaya yang ada kaitannya
dengan penentuan besarnya pajak yang terutang, yang dalam ketentuan peraturan
perundang-undangan perpajakan tersebut sebagai biaya untuk mendapatkan, menagih dan
memelihara penghasilan (Pasal 6 ayat (1) huruf a UU PPh) . Oleh karena perencanaan pajak
terkait dengan penentuan besarnya pajak yang terutang, maka biaya yang dikeluarkan untuk
perencanaan pajak tersebut merupakan biaya yang fiskal dapat dikurangkan. Biaya neto
rancangan perencanaan pajak adalah biaya bruto dikurangi dengan jumlah-jumlah pajak
yang dapat dihemat, atau dengan kata lain biaya setelah pajak (after tax cost). Suatu
perencanaan pajak dapat dinyatakan sebagai berikut:

ATC = BTC x (1-MTR)

Keterangan : ATC = After Tax Cost


BTC = Before Tax Cost
MTR = Marginal Tax Rate

Apabia kedua ketentuan tersebut dikaitkan dengan rancangan perencanaan pajak, terbukti
kemudian bahwa rancangan tersebut akan mengasilkan keunggulan ekonomis, bila
dibandingkan dengan kegiatan mencari laba (profit seeking activities). Evaluasi atas seluruh
proyek investasi, didasarkan kepada perbandingan antara keuntungan setelah pajak (after tax
benefits) terhadap biaya setelah pajak (after tax cost). Khusus bagi proyek perencanaan
pajak, hasilnya akan bebas dari pengenaan pajak sehingga dengan demikian untuk kegiatan
perencanaan pajak tersebut yang dibandingkan adalah antara keuntungan sebelum pajak (pre
tax benefits) dan biaya setelah pajak (after tax cost).

Ekonomi Perencanaan Pajak

Situasi
Wajib Pajak Badan dihadapkan pada dua pilihan alternatif ekslusif yang kelihatannya sama-
sama menguntungkan.
Alternatif 1
Selama semester yang akan datang, wajib pajak merencanakan menyewa seorang ahli
akuntansi dan perpajakan dari salah satu Perguruan Tinggi, yang akan meneliti rancangan
perencanaan pajaknya dengan honorarium sebesar Rp2.000.000 apabila rancangan perencanaan
pajak tersebut berhasil diimplementansikan. Maka, akan dapat dihemat pajaknya sebasar
Rp21.000.000 kemungkinan berhasil/tidaknya rancangan tersebut diperkirakan sekitar 75%.

Alternatif 2
Selama semester yang akan datang, wajib pajak merencanakana menyewa seorang ahli
pemasaran, juga dari salah satu Perguruan Tinggi, yang akan meneliti rancangan perencanaan pasar
(marketing plan) dengan honorarium sebesar Rp1.800.000 apabila rancangan perencanaan pasar
tersebut berhasil. Maka, akan terdapat penurunan biaya sebesar Rp25.000.000 tanpa mempunyai
dampak terhadap penghasilan penjualannya. Kemungkinan berhasil/tidaknya rancangan tersebut
diperkirakan sekitar 80%. Tarif marginal adalah 30%.

Pertanyaan
Tanpa memerhatikan nilai uang karena perbedaaan waktu, alternatif mana yang akan
dilanjutkan oleh perusahaan ?

Analisis Alternatif 1 (Rp) Alternatif 2 (Rp)

Biaya sebelum pajak (before tax cost) 2.000.000,- 1.800.000,-

Dikurangi :
Pajak 30% 600.000,- 540.000,-

Biaya setelah pajak (after tax cost) – A 1.400.000,- 1.260.000,-


Kemungkinan hasil sebelum pajak
21.000.000,- 25.000.000,-
(possible pre tax payoff)
Kemungkinan berhasil 75% 80%

Hasil sebelum pajak yang diharapkan 15.750.000,- 20.000.000,-

Dikurangi :
Pajak 30% 0.- 6.000.000,-

Hasil setelah pajak yang diharapkan - B 15.750.000,- 14.000.000,-


Hasil setelah pajak (B) terhadap biaya
14.350.000,- 12.740.000,-
setelah pajak (A)
Keputusan
Alternatif-1 yang dipilih.

Observasi
Dengan melihat kenyataan tersebut diatas, dapat disimpulkan bahwa bias built in economic
dari ketentuan perundang-undangan perpajakan, saat ini untuk proyek perencanaan pajak
menunjukkan bahwa Alternatif 1 memiliki keuntungan neto setelah pajak yang diharapkan (net
after tax expected benefit) yang lebih besar. Sedangkan Alternatif 2 memperlihatkan biaya sebelum
pajak (pre tax cost) yang paling rendah dan apa yang terlihat disini kemungkinan penghasilan
sebelum pajak yang lebih besar memungkinkan pula keberhasilan yang sukses.

Analisis yang dilakukan terhadap contoh-contoh tersebut diatas, ditinjau dari sudut pandang
marjinal (marginal view point). Tujuannya adalah untuk menentukan bagaiman impact suatu
transaksi pada saat terjadi, dengan asumsi bahwa tidak ada perubahan yang terjadi atas semua
karakteristik situasi. Apabila ditinjau dari sudut perspektif ini, biaya setelah pajak (ATC) dari setiap
pengeluaran yang dapat dikurangkan akan turun apabila tarif pajak marginalnya (MTR) meningkat.
Kenyataan ini menjelaskan kenapa wajib pajak berpenghasilan rendah yang dikenakan dengan tarif
marjinal yang rendah, kurang berminat untuk melakukan perencanaan pajak apabila dibandingkan
dengan wajib pajak berpenghasilan tinggi.
Contoh perhitungn berikut ini memperlihatkan analisis perhitungan yang didasarkan kepada
tarif marjinal 15%.

Analisis Alternatif 1 (Rp) Alternatif 2 (Rp)

Biaya sebelum pajak (before tax cost) 2.000.000,- 1.800.000,-

Dikurangi :
Pajak 30% 300.000,- 270.000,-

Biaya setelah pajak (after tax cost) – A 1.700.000,- 1.530.000,-


Kemungkinan hasil sebelum pajak
21.000.000,- 25.000.000,-
(possible pre tax payoff)
Kemungkinan berhasil 75% 80%

Hasil sebelum pajak yang diharapkan 15.750.000,- 20.000.000,-

Dikurangi :
Pajak 30% 0.- 3.000.000,-

Hasil setelah pajak yang diharapkan - B 15.750.000,- 17.000.000,-


Hasil setelah pajak (B) terhadap biaya
14.050.000,- 15.740.000,-
setelah pajak (A)
Keputusan
Alternatif 2

Keunggulan ekonomik relatif (the relative economic advantage) dari suatu perencanaan
pajak atas kegiatan mencari laba, sesungguhnya bertitik tolak dari fakta yang menyatakan bahwa
Pajak Penghasilan yang terutang/dibayar, bukan merupakan biaya fiskal yang dapat dikurangkan.
Hal ini berarti bahwa secara relatif wajib pajak yang termasuk dalam kelas penghasilan yang
tarifnya tinggi, akan dibebani pula dengan pajak yang lebih tinggi atau dengan perkataan lain
mengurangi beban pajak melalui suatu perencanaan pajak akan lebih favorable bagi wajib pajak
yang berpenghasilan tinggi.

2.6. Tahapan Dalam Membuat Perencanaan Pajak

Agar perencanaan pajak dapat berhasil sesuai dengan yang diharapkan, maka rencana itu
seharusnya dilakukan melalui berbagai urutan tahap-tahap berikut ini :

a. Menganalisis informasi yang ada

b. Membuat satu model atau lebih rencana kemungkinan besarnya pajak.

c. Mengevaluasi pelaksanaan rencana pajak

d. Mencari kelemahan dan kemudian memperbaiki kembali rencana pajak.

e. Memuktahirkan rencana pajak (Barry Spitz, 1983)

A. Menganalisis Informasi (Basis Data) Yang Ada

Tahap pertama dari proses pembuatan perencanaan pajak adalah menganalisis komponen yang
berbeda atas pajak yang terlibat dalam suatu proyek dan menghitung seakurat mungkin beban pajak
yang harus ditanggung.

Seorang manajer perpajakan harus memperhatikan faktor-faktor baik internak maupun eksterna
yaitu :

 Fakta yang relevan

 Faktor pajak

 Faktor nonpajak lainnya.

B. Membuat satu model atau lebih rencana kemungkinan besarnya pajak.

Dalam membuat model pengaturan yang paling tepat, penting sekali untuk mempertimbangkan hal-
hal berikut ini:

 Apakah kepemilikan dari berbabagai hak, surat berharga, dan lain-lain harus dikuasakan
kepada satu atau lebih perusahaan, trust, atau kombinasi dari semua itu.
 Hubungan antara berbagai individu dan entitas.

 Oleh karena belum ditentukan lebih dahulu di mana entitas tersebut harus ditempatkan.

C. Evaluasi atas Perencanaan Pajak

Perencanaan pajak sebagai suatu perencanaan yang merupakan bagian kecil dari seluruh
perencanaan strategis perusahaan, oleh karena itu perlu dilakukan evaluasi untuk melihat sejauh
mana hasil pelaksanaan suatu perencanaan pajak terhadap beban pajak, perbedaan laba kotor, dan
pengeluaran selain pajak atas berbagai alternatif perencanaan. Variabel-variabel tersebut akan
dihitung seakurat mungkin dengan hipotesis sebagai berikut :

 Bagaimana jika rencana tersebut tidak dilaksanakan

 Bagaimana jika rencana tersebut dilaksanakan dan berhasil dengan baik.

 Bagaimana jika rencana tersebut dilaksanakan tetapi gagal.

Rumus untuk Menghitung Laba dan Rugi atas Suatu Perencanaan Pajak dan Aplikasinya

 A = Estimasi laba kotor suatu proyek jika tidak dilaksanakan perencanaan pajak.

 B = Estimasi laba kotor suatu proyek jika dilaksanakan perencanaan pajak.

 C = Estimasi beban pajak jika perencanaan pajak tidak dilaksanakan.

 D = Estimasi beban pajak jika perencanaan pajak dilaksanakan dengan baik.

 E = Estimasi beban pajak jika perencanaan pajak dilaksanakan tetapi gagal.

 F = Estimasi biaya (selain pajak) dari proyek jika perencanaan pajak tidak dilaksanakan.

 G = Estimasi biaya (selain pajak) dari proyek jika perencanaan pajak dilaksanakan.

Formulasi ini bisa dipakai dengan kombinasi berikut ini :

1. Jika (A – F) > (B – G) rencana tersebut jangan dilaksanakan, kecuali jika perbedaan lebih
kecil dari (C – D).

2. Jika E dianggap lebih material dari C, maka keputusan untuk melaksanakan atau tidak
melaksanakan suatu perencanaan pajak tergantung pada kemungkinan keberhasilan dari
perencanaan tersebut. Jika tidak ada perbedaan material (A-F) dan (B-G), maka bandingkan
antara (C-D) dan (E-C) untuk memutuskan dilaksanakan atau tidak perencanaan pajak
tersebut.

3. Jika terdapat perbedaan material antara (A-F) dan (B-G), maka keputusan untuk
dilaksanakan atau tidaknya perencanaan adalah dengan membandingkan antara :

{B – (D + G)} – {A – (C + F)} – {B – (E + G)}


Artikel yang terkait

1. Kewajiban Pajak Sebagai Perwujudan Filsafat Nilai.doc

2. Meningkatkan Rasio Kepatuhan Pajak di Indonesia.doc

3. Meningkatkan Kepatuhan Pajak Dimulai dari Pejabat Negara.doc

4. Kepatuhan Wajib Pajak Kunci Penerimaan Negara.doc

5. Pajak Tepat Negara Sehat.doc

6. Mengenal Penghindaran Pajak (Tax Avoidance).doc

7. Persandingan SPT dan LHKPN sebagai Upaya Pencegahan Korupsi.doc

8. Kewenangan Otoritas Pajak Untuk Meningkatkan Tax Ratio.doc

9. Transformasi Kelembagaan.doc

10. Badan Otonom Pajak di Mata Internasional.doc

Daftar Pustaka

Suandy, Early. 2011. Perencanaan Pajak. Edisi Revisi 5. Jakarta: Salemba Empat.

Zain, Mohammad. 2007. Manajemen Perpajakan. Edisi 3. Jakarta: Salemba Empat.

www.pajak.go.id

Anda mungkin juga menyukai