Mekanisme Terjadinya Kejang
Mekanisme Terjadinya Kejang
___________________________________________________________________________
Abstract
Febrile seizures are seizures associated with fever and age. It says a fever when the body
temperature above 380 C. Usually febrile seizures occurred at age 3 to 5 years and most at the age of
14-18 months. Febrile seizures are common disorders in children. Seizures can also occur due to
infection of the lining of the meninges which can be determined by performing a lumbar puncture.
Abstrak
Kejang demam adalah bangkitan kejang terkait dengan demam dan umur. Dikatakan demam
apabila suhu tubuh diatas 380 C. Biasanya kejang demam terjadi pada umur 3 sampai 5 tahun dan
terbanyak pada umur 14-18 bulan. Kejang demam merupakan kelainan tersering pada anak. Kejang
juga dapat terjadi akibat adanya infeksi pada lapisan dari meninges yang dapat diketahui
dengan cara melakukan lumbal pungsi.
BAB I
PENDAHULUAN
Pada kebanyakan anak, etiologi untuk kejang tidak dapat ditentukan, dan dibuat
diagnosis epilepsi idiopatik. Walaupun hasil akhir pada kebanyakan kejang tidak
terkomplikasi pada anak adalah baik, sejumlah kecil mengalami kejang-kejang menetap yang
BAB II
ISI PEMBAHASAN
KEJANG DEMAM
Kejang demam jarang terjadi pada epilepsi, dan kejang demam ini secara spontan
sembuh tanpa terapi tertentu. Kejang demam ini merupakan gangguan kejang yang paling
lazim pada masa anak, dengan prognosis yang sangat baik secara seragam. Namun, kejang
demam dapat menandakan penyakit akut serius yang mendasari seperti sepsis atau menigitis
bakteria sehingga setiap anak harus diperiksa secara cermat dan secara tepat diamati
mengenai penyebab demam yang menyertai.
Kejang demam adalah tergantung umur dan jarang sebelum umur 9 bulan dan sesudah
umur 5 tahun. puncak umur mulainya adalah sekitar 14-18 bulan dan insiden mendekati 3-4%
anak kecil. Ada riwayat kejang demam keluarga yang kuat pada saudara kandung dan orang
tua, menunjukkan kecenderungan genetik. Penelitian binatang menunjukkan bahwa
vasopresin arginin dapat merupakan mediator penting pada patogenesis kejang akibat
hipertermia.1
Kejang yang terkait dengan kenaikan suhu yang cepat dan biasanya berkembang bila
suhu tubuh mencapai 390C atau lebih. Suhu tubuh kita diatur oleh sebuah pengatur suhu yang
terletak di otak tepatnya dibagian hipotalamus tepatnya dibagian pre optik anterior (pre =
Hipotalamus dapat dikatakan sebagai mesin pengatur suhu (termostat tubuh) karena
disana terdapat reseptor (penangkap, perantara) yang sangat peka terhadap suhu yang lebih
dikenal dengan nama termoreseptor (termo = suhu). Dengan adanya termorespetor ini, suhu
tubuh dapat senatiasa berada dalam batas normal yakni sesuai dengan suhu inti tubuh. Suhu
inti tubuh merupakan pencerminan dari kandungan panas yang ada di dalam tubuh kita.
Kandungan panas didapatkan dari pemasukan panas yang berasal dari proses metabolisme
makanan yang masuk ke dalam tubuh. Pada umumnya suhu inti berada dalam batas 36,5-
37,5°C.
Dalam berbagai aktivitas sehari-hari, tubuh kita juga akan mengelurakan panas
misalnya saat berolahraga. Bilamana terjadi pengeluraan panas yang lebih besar
dibandingkan dengan pemasukannya, atau sebaliknya maka termostat tubuh itu akan segera
bekerja guna menyeimbangkan suhu tubuh inti. Bila pemasukan panas lebih besar daripada
pengeluarannya, maka termostat ini akan memerintahkan tubuh kita untuk melepaskan panas
tubuh yang berlebih ke lingkungan luar tubuh salah satunya dengan mekanisme berkeringat.
Dan bila pengeluaran panas melebihi pemasukan panas, maka termostat ini akan berusaha
menyeimbakan suhu tersebutdengan cara memerintahkan otot-otot rangka kita untuk
berkontraksi (bergerak) guna menghasilkan panas tubuh.
Proses selanjutnya adalah, asam arakhidonat yang dikeluarkan oleh hipotalamus akan
pemacu pengeluaran prostaglandin (PGE2). Pengeluaran prostaglandin pun berkat bantuan
dan campur tangan dari enzim siklooksigenase(COX). Pengeluaran prostaglandin ternyata
akan mempengaruhi kerja dari termostat hipotalamus. Sebagai kompensasinya, hipotalamus
selanjutnya akan meningkatkan titik patokan suhu tubuh (di atas suhu normal).1,2
Adanya peningkatan titik patakan ini dikarenakan mesin tersebut merasa bahwa suhu
tubuh sekarang dibawah batas normal. Akibatnya terjadilah respon dingin/ menggigil.
Adanya proses mengigil ini ditujukan utuk menghasilkan panas tubuh yang lebih banyak.
Adanya perubahan suhu tubuh di atas normal karena memang setting hipotalamus yang
mengalami gangguan oleh mekanisme di atas inilah yang disebut dengan demam atau febris.
Demam yang tinggi pada nantinya akan menimbulkan manifestasi klinik (akibat) berupa
kejang (umumnya dialami oleh bayi atau anak-anak yangdisebut dengan kejang demam)
Kejang khas menyeluruh, tonik-klonik lama beberapa detik sampai 10 menit, diikuti
dengan periode mengantuk singkat pascakejang. Kejang demam yang menetap lebih lama
dari 15 menit menunjukkan penyebab organik seperti proses infeksi atau toksis dan
memerlukan pengamatan menyeluruh. Ketika demam tidak lagi ada pada saat anak sampai
dirumah sakit, tanggung jawab dokter yang paling penting adalah menentukan penyebab
demam dan mengesampingkan meningitis. Jika ada keragu-raguan berkenaan dengan
kemungkinan meningitis, pungsi lumbal dengan pemeriksaan cairan serebrospinalis (CSS)
terindikasi. Infeksi virus saluran pernapasan atas, roseola dan otitis media akut adalah
penyebab kejang demam yang paling sering.
Faktor resiko untuk perkembangan epilepsi sebagai komplikasi kejang demam adalah
riwayat epilepsi keluarga positif. Kejang demam awal sebelum umur 9 bulan, kejang demam
lama atau atipik, tanda perkembangan yang terlambat dan pemeriksaan neurologis abnormal.
Insidens epilepsi adalah sekitar 9% bila beberapa faktor risiko ada dibanding dengan insiden
1% pada anak yang menderita kejang demam dan tidak ada faktor risiko.1,2
Pada terapi pengelolaan rutin bayi normal yang menderita kejang demam sederhana
meliputi pencarian yang teliti terhadap penyebab demam. Cara-cara aktif untuk
mengendalikan demam termasuk penggunaan antipiretik, dan menenangkan orangtua.
Profilaksis antikonvulsan jangka pendek tidak terindikasi. Profilaksis antikonvulsan yang
lama untuk mencegah kejang demam berulang adalah perdebatan dan tidak lagi dianjurkan.
Antiepilepsi seperti fenitonin dan karbamazepin tidak efektif dalam pencegahan kejang
demam berulang dan dapat menurunkan fungsi kognitif pada anak yang diobati dibandingkan
dengan anak yang tidak diobati.
Natrium valproat efektif pada pengelolaan kejang demam, tetapi kemungkinan risiko
obat tidak membenarkan penggunaannya pada penyakit dengan pragnosis yang sangat baik
tanpa pengobatan. Diazeparn oral dianjurkan sebagai metoda yang efektif dan aman untuk
mengurangi risiko kejang demam berulang. Pada mulainya setiap sakit demam, diazeparn 0.3
mg/kg/8 jam peroral diberikan untuk selama sakit (biasanya 2-3 hari). Efek samping biasanya
ringan, tetapi gejala kelesuan, iritabilitas, dan ataksia dapat dikurangi dengan menyesuaikan
dosis.2
Apabila dilihat dari struktur organ target secara makro dapat diketahui penyusun
didalamnya adalah meninges, serebrum, dan medula spinalis. Meninges merupakan selaput
otak. Didalam meninges terdapat duramater yaitu lapisan yang paling kuat dan paling luar,
duramater terdiri dari 2 lapisan yaitu, lamina periosteal (sangat melekat dengan tulang
kepala), lamina meningeal (permukaan dalam yang licin). Kedua lapis duramater tersebut
menyatu kecuali pada saat membentuk sinus duramatris. Di dalam duramater terdapat sinus
Serebrum (otak besar) terdiri atas dua belahan yang disebut hemisfer (hemisphere)
ialah sebelah daripada kedua belahan yang membentuk serebrum atau serebelum (otak kecil)
yang terletak disebelah kaudal daripada serebrum. Kaudal berarti di sebelah atau di arah
ujung (ekor) sesuatu. Bila dilihat secara mikro serebrum dibagi menjadi hemisfer serebri kiri
dan kanan. Secara histologis terdiri dari enam lapisan yaitu lapisan molekular, lapisan
granular luar, lapisan sel-sel piramid, lapisan granular dalam, lapisan piramid/ganglioner dan
lapisan sel-sel multiform atau poliform. Semua lapis ini tidak mempunyai batas yang tegas
dan semua berisi neuroglia. Sel-sel di serebrum terdapat sel piramid, sel granuler, sel
horizontal dan sel martinotti.4
Sistem saraf pusat berfungsi untuk menerima dan mengintegrasikan semua rangsang
yang diterima di luar tubuh (eksteroseptif) dan dari dalam tubuh (interoseptif) melalui
reseptor-reseptor tertentu. Histologis SSP dibagi menjadi empat yaitu neuron, neuroglia, serat
saraf dan struktur tambahan. Neuron pada medula spinalis terletak di kolumnar berbentuk
huruf H (di substansi grisea). Pada otak terletak di lapisan permukaan korteks serebri
(substansi grisea). Pada serat saraf umumnya merupakan akson yang panjang dengan atau
tanpa mielin. Sedangkan struktur tambahan terdapat pembuluh darah, cairan serebrospinal,
dan selaput otak.
Apabila dilihat secara mikro otak dan medula spinalis terdiri atas dua lapisan yaitu
substansi grisea/kelabu dan substansi alba/putih. Di dalam substansi grisea/kelabu terdapat
perikarion dan serat saraf tidak bermielin sedangkan di dalam substansi alba/putih terdiri atas
akson yang bermielin. Di medula spinalis potongan melintang terdiri atas substansi alba
(sebelah luar) dan substansi grisea (sebelah dalam) berbentuk huruf H atau kupu-kupu.
Ada tiga funikulus yaitu dorsal, ventral dan lateral. Sedangkan substansi grisea berisi
perikarion, banyak terdapat di sinaps neuron mempunyai sel saraf motorik yang merupakan
sel saraf multipolar. Neuron motorik terdapat di kornu anterior medula spinalis. Sel sarafnya
yaitu dendrit (mengandung substansi Nissl), akson (tidak mengandung S.Nissl/akson hilock)
dan inti beserta anak inti terlihat jelas, besar.5
Dilihat secara makro medula spinalis berawal pada foramen magnum, sebagai
lanjutan dari medula oblongata, dan meneruskan diri sampai setinggi vertebta lumbalis
pertama atau kedua. Medula spinalis terbungkus rapat oleh membran yang disebut pia mater
dan dikelilingi cairan serebrospinalis (LCS) yang merupakan lanjutan langsung LCS yang
mengelilingi otak.
LCS terisi dalam ruang yang tertutup oleh membran ganda – membran fibrosa luar
(dura mater) dan membran transparan halus (araknoid mater) yang melekat erat pada lapisan
dalamnya. ruang diantara membran – membran ini (ruang subdura) biasanya hanya
merupakan ruang potensial dan mempunyai arti praktis yang terbatas. Ruang yang berisi LCS
diantara araknoid mater dan medula spinalis terbungkus oleh pia mater dikenal sebagai ruang
subaraknoid atau ruang intradura. Dura (dan demikian juga ruang subaraknoid) meluas
sebagai pipa yang ujungnya tersembunyi setinggi vertebra sakralis kedua.4,5
Ruang epidularis (atau ekstraduralis) terletak di dalam saluran dalam tulang vertebra,
di antara dura dan periosteum yang membatasi bagian dalam lamina vertebra. Periosteum dan
dua bergabung pada foramen magnum sehingga menutupi ruang epidura dibagian superior.
Sebaliknya ruang subaraknoid berlanjut ke kavum kranium. Ruang epiduralis dibatasi di
bagian inferior oleh hiatus sakralis yang tertutup oleh membrana sakrokoksigealis di apeks
tulang sakralis. Ruang epidura berisi nervus spinalis ketika mereka berjalan ke foramina
masing-masing dan juga berisikan jaringan alveolar, arteri dan pleksus vena.
Bagian ruang epidura yang terkandung di dalam bagian tulang sakralis disebut ruang
epidura kauda (atau sakralis). Karena dura mengandung LCS yang berakhir pada S2 pada
orang dewasa maka terdapat ruang diantara dura dengan membrana sakrooksigealis tempat
dimasukkannya penyuntikan anestesi lokal dengan aman sekali melalui membrana
sakrooksigealis.
Ruang paravertebralis dalam regio torakal dibatasi dibagian atas dan bawah oleh
periosteum iga dan dibagian lateral oleh ligamentum kostotransversum. Setiap ruang
paravertebralis torakalis menghantarkan nervus interkostalis masing-masing dari foramen
intervertebralis ke ruang interkostalis. Ruang paravertebralis sendiri-sendiri tidak
berhubungan langsung dengan ruang di atas dan dibawahnya, tetapi secara tidak langsung
melalui ruang epidura melalui foramina intervertebralis.
Pada regio lumbalis hubungan antara ruang menjadi lebih terbuka. Medula spinalis
merupakan bagian susunan saraf pusat yang terletak di dalam kanalis vertebralis dan
menjulur dari foramen magnum ke bagian atas region lumbalis. Trauma pada medula spinalis
dapat bervariasi dari trauma ekstensi fiksasi ringan yang terjadi akibat benturan secara
MEKANISME KEJANG
Meskipun mekanisme kejang yang tepat belum diketahui, tampak ada beberapa faktor
fisiologi yang menyebabkan perkembangan kejang. Untuk memulai kejang, harus ada
kelompok neuron yang mampu menimbulkan ledakan discharge yang berarti dan sistem
hambatan GABergik. Perjalanan discharge (rabas) kejang akhirnya tergantung pada eksitasi
sinaps glutamaterik. Bukti baru-baru ini menunjukkan bahwa eksitasi neurotransmitter asam
amino (glutamat, asparatat) dapat memainkan peran dalam menghasilkan eksitasi neuron
dengan bekerja pada reseptor sel tertentu.5
Diketahui bahwa kejang dapat berasal dari daerah kematian neuron dan bahwa daerah
otak ini dapat meningkatkan perkembangan sinaps hipereksitabel baru yang dapat
menimbulkan kejang. Misalnya, lesi pada lobus temporalis (termasuk glioma tumbuh lambat,
hematoma, gliosis dan malformasi arteriovanosus) menyebabkan kejang. Dan bila jaringan
abnormal diambil secara bedah, kejang kemungkinan berhenti. Lebih lanjut, konvulsi dapat
ditimbulkan pada binatang percobaan dengan fenomena membangkitkan.
Pada model ini, stimulasi otak subkonvulsif berulang (misal amigdala) akhirnya
menyebabkan konvulsi menyeluruh. Pembangkitan dapat menyebabkan terjadinya epilepsi
pada manusia pasca cedera otak. Pada manusia telah diduga bahwa aktivitas kejang berulang
dari lobus temporalis abnormal dapat menimbulkan kejang pada lobus temporalis normal
kontralateral dengan pemindahan stimulus melalui korpus kollosum.
Kejang adalah lebih lazim pada bayi dan binatang percobaan imatur. Kejang tertentu
pada populasi pediatri adalah spesifik umur (misal spasme infantil) yang menunjukkan bahwa
otak yang kurang berkembang lebih rentan terhadap kejang spesifik daripada anak yang lebih
tua atau orang dewasa.
Faktor genetik menyebabkan setidaknya 20% dari semua kasus epilepsi familial telah
dikenali, termasuk konvulsi neonatus benigna, epilepsi mioklonik juvenil dan epilepsi
mioklonik progresif. Sangat mungkin bahwa dalam waktu dekat dasar molekuler epilepsi
tambahan seperti epilepsi rolandik benigna dan kejang-kejang linglung akan dikenali. Juga
Cara diagnosis kejang dapat dilihat dari pengamatan kejang tergantung pada banyak
faktor, termasuk umut penderita, tipe dan frekuensi kejang dan ada atau tidak adanya temuan
neurologis dan gejala yang bersifat dasar. Pemeriksaan minimum untuk kejang tanpa demam
pertama pada anak yang lainnya sehat meliputi glukosa puasa, kalsium, magnesium, elektrolit
serum dan EEG.
Peragaan discharge paroksismal pada EEG selama kejang klinis adalah diagnostik
epilepsi, tetapi kejang jarang terjadi dalam laboratorium EEG. EEG normal tidak
mengesampingkan diagnosis epilepsi, karena perekaman antar kejang normal pada sekitar
40% penderita. Prosedur aktivasi yang meliputi hiperventilasi, penutupan mata, stimulasi
cahaya, dan bila terindikasi, penghentian tidut dan penempatan elektrode khusus (misal
hantaran zigomatik) sangat meningkatkan hasil positif. Discharge kejang lebih mungkin
direkam pada bayi dan anak daripada remaja atau dewasa.5
Memonitor EEG lama dengan rekaman video aliran pendek dicadangkan pada
penderita yang terkomplikasi dengan kejang lama dan tidak responsif. Monitor EEG ini
memberikan metode yang tidak terhingga nilainya untuk perekaman kejadian yang jarang
diperoleh selama pemeriksaan EEG rutin. Teknik ini sangat membantu dalam kalsifikasi
kejang karena ia dapat secara tetap menentukan lokasi dan frekuensu discharge kejang saat
perubahan perekaman pada tingkat yang sadar dan adanya tanda klinis. Penderita dengan
kejang palsu dapat dengan mudah dibedakan dari kejang epilepsi sejati dan tipe kejang (misal
Peran skenning CT atau MRI pada pengamatan kejang adalah kontroversial. Hasilnya
pada penggunaan rutin tindakan ini pada penderita dengan kejang tanpa demam pertama dan
pemeriksaan neurologis normal adalah dapat diabaikan. Pada pemeriksaan anak dengan
gangguan kejang kronis, hasilnya adalah serupa. Meskipun sekitar 30% anak ini
menunjukkan kelainan struktural (misal atrofi korteks setempat atau ventrikel dilatasi) hanya
sedikit sekali manfaat dari intervensi aktif sebagai akibat dari skenning CT.
Dengan demikian, skenning CT atau MRI harus dicadangkan untuk penderita yang
pemeriksaan neurologis abnormal. Kejang sebagian yang lama tidak mempan dengan terapi
antikonvulsan, defisit neurologis setempat dan bukti adanya kenaikan tekanan intrakranial
merupakan indikasi untuk pemeriksaan pencitraan saraf.
LUMBAL PUNGSI
Kembali pada kasus yang didapat, kejang-kejang yang dialami setelah satu minggu
panas tinggi segera dilakukan lumbal pungsi untuk diketahui apakah terdapat infeksi
didalamnya. Pungsi lumbal dikerjakan guna pemeriksaan sitologi bila terdapat kecurigaan
meningeal karsinomatosis atau meningeal limfomatosis. Sebagai sarana terapi, pungsi lumbal
dapat dikerjakan untuk memasukan methotrexate pada lekemia susunan saraf pusat, atau
amphotericine B untuk meningitis karena jamur mengurangi cairan serebrospinalis sebagai
terapi peningkatan tekanan intrakranial yang bersifat jinak (BIH) atau pada nyeri kepala
akibat perdarahan subaraknoidea.6
Posisi penderita sangat membantu keberhasilan pungsi lumbal. Penderita harus dalam
posisi fetal dengan punggung tegal lurus terhadap tempat tidur. Masukkan jarum ke bawah
kulit (setelah diberikan anestesi lokal) dan tentukan sudut tusukan jarum tersebut. Pastilah
arah jarum sejajar terhadap tempat tidur dan menyudut ke arah umbilikus penderita. Pada
penusukan lebih lanjut, bila jarum tidak masuk ke ruang subaraknoidea atau bila membentur
tulang, arah jarum tidak dapat berubah. Jarum tersebut ditarik kembali hingga sedikit
dibawah kulit dan coba arahkan kembali. Dengan berbagai pengalaman dapat dirasakan saat
jarum masuk ruang subaraknoidea.
Bila pungsi lumbal tidak mungkin dilakukan dalam posisi fetal, penderita didudukkan
dengan memeluk bantal, coba kembali pada posisi duduk (lebih mudah untuk menentukan
garis tengah). Perlu diingat bahwa pengukuran tekanan pada posisi duduk sulit
diinterpretasikan, untuk itu penderita ditidurkan kembali setelah jarum berhasil masuk ruang
subaraknoidea.8
Bila tidak mungkin dilakukan pungsi lumbal karena kelainan tulang atau infeksi lokal
tetapi pemeriksaan cairan serebrospinalis sangat diperlukan, lakukan pungsi sisternal atau
servikal dibawah bimbingan fluoroskopi.
KESIMPULAN
Melalui makalah ini dapat disimpulkan, meskipun mekanisme kejang yang tepat
belum diketahui tetapi mekanisme kejang ini melibatkan sel-sel saraf yang terdapat di
otak. Kejang juga dapat terjadi akibat adanya infeksi pada lapisan dari meninges yang
dapat diketahui dengan cara melakukan lumbal pungsi. Kejang dapat memiliki
multifaktoral penyebab, yang sebenarnya disebabkan oleh adanya muatan listrik yang
terlalu banyak di dalam lapisan korteks serebri yang disebabkan neurotransmitter
inhibitorik berkurang dan neurotransmitter eksitatorik bertambah jumlahnya.
1. Behrman, Kliegman, Arvin. Nelson ilmu kesehatan anak. 15th Ed. Jakarta: EGC,
2000.h. 2059.
2. Corwin EJ. Patofisiologi. 3rd Ed. Jakarta: EGC, 2007.h. 391.
3. Sabiston DC. Buku ajar bedah. Jakarta: EGC, 1994.h. 498-9.
4. Shadily H. Ensiklopedia umum. Yogyakarta: Kanisius, 2012.h. 769.
5. Satyanegara, Hasan RY, Abubakar S, Maulana AJ, Sufarnap E, Benhadi I et al.
Ilmu bedah saraf satyanegara. 4th Ed. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Umum,
2010.h. 17-9.
6. Boultan TB, Blog CE. Anestesiologi. 10th Ed. Jakarta: EGC, 1994.h. 123.
7. Weiner HL, Levitt LP. Buku saku neurologi. Jakarta: EGC, 2004.h. 248-51.
8. Rubenstein D, Wayne D, Bradcey J. Kedokteran klinis. 6th Ed Jakarta: Erlangga,
2003.h.101.