Anda di halaman 1dari 13

JURNAL PRATIKUM FITOKIMIA

PRATIKUM VI
IDENTIFIKASI KURKUMIN PADA EKSTRAK TEMULAWAK

Oleh :
I Wayan Adi Putra Tanaya (172200073)
Kelas B2A

Hari, tanggal praktikum : Rabu, 27 November 2019

Dosen Pengampu : I Putu Gede Adi Purwa Hita, S.Farm., M.Farm., Apt

PROGRAM STUDI FARMASI KLINIS


UNIVERSITAS BALI INTERNASIONAL
2019
PRATIKUM 6
IDENTIFIKASI KURKUMIN PADA EKSTRAK TEMULAWAK

A. TUJUAN PRATIKUM
1. Mengetahui noda dan warna dari kurkuminoid pada pelarut dengan
konsentrasi yang berbeda.
2. Mengetahui noda dan warna dari kurkuminoid pada ekstraksi bertingkat
dengan pelarut yang berbeda

B. DASAR TEORI
Temulawak
Tanaman temulawak (curcuma xanthorrihiza) merupakan tanaman asli
Indonesia yang tumbuh liar di hutan-hutan jati di Jawa dan Madura. Temulawak
secara historis mempunyai kegunaan tradisional dan social cukup luas dikalangan
masyarakat Indonesia, banyak kalangan yang mempromosikkan temulawak
sebagai tanaman obat khas Indonesia, yang sangat efektif untuk mengatasi
gangguan lever, rematik dan lelah juga berkhasiat sebagai penghilang rasa sakit,
anti bakteri/jamur, anti diabetic, anti diare, anti oksidan, anti tumor, diuretic,
depresi dll. Tanaman ini dapat dipanen rimpangnya setelah berumur cukup tua,
yaitu apabila daun-daun dan batang telah menguning atau mengering . Cara
pemungutan rimpang temu lawak relatif mudah dan praktis, cukup dengan
menggali rumpun tanaman bersama akar-akarnya. Pada pertanaman yang baik dan
terpelihara secara intensif dapat menghasilkan rimpang segar sebanyak 10-20 ton
per hektar. Untuk mendapatkan simplisia kering dengan cara pencucian,
pengirisan, pengeringan yaitu penjemuran atau dengan udara panas yang mengalir.
Materia Medika Indonesia (1979) menyebutkan rimpang dicuci bersih, dikupas
kulitnya. diiris melintang dengan ketebalan 7-8 mm.Penjemuran atau pengeringan
irisan dilakukan tanpa saling bertumpuk .Untuk alas penjemur dapat digunakan
anyaman bambu, lantai penjemur atau tikar. Pengeringan dengan alat pengering
dilakukan pada suhu 50-55 ° C, agar diperoleh warna yang haik, lama
pengeringan adalah 7 jam . Syarat utarna simplisia sebagai bahan baku obat
tradisional maupun keperluan ekspor, harus bersih dari jamur . Untuk itu
penanganan pasca panen yang pertama kali harus diperhatikan adalah proses
pengeringan .
1. Morfologi Temulawak
a. Batang
Batang temu lawak termasuk tanaman tahunan yang tumbuh
merumpun. Tanaman ini berbatang semu dan habitusnya dapat
mencapai ketinggian 2-2,5 meter. Tiap rumpun tanaman terdiri atas
beberapa tanaman (anakan), dan tiap tanaman memiliki 2-9 helai daun.
b. Daun
Daun tanaman temulawak bentuknya panjang dan agak lebar.
Lamina daun dan seluruh ibu tulang daun bergaris hitam. Panjang daun
sekitar 50-55 cm, lebarnya + 18 cm, dan tiap helai daun melekat pada
tangkai daun yang posisinya saling menutupi secara teratur. Daun
berbentuk lanset memanjang berwana hijau tua dengan garis-garis
coklat. Habitus tanaman dapat mencapai lebar 30-90 cm, dengan jumlah
anakan perumpun antara 3-9 anak.
c. Bunga
Bunga tanaman temu lawak dapat berbunga terus-menerus
sepanjang tahun secara bergantian yang keluar dari rimpangnya (tipe
erantha), atau dari samping batang semunya setelah tanaman cukup
dewasa. Warna bunga umumnya kuning dengan kelopak bunga kuning
tua, serta pangkal bunganya berwarna ungu. Panjang tangkai bunga + 3
cm dan rangkaian bunga (inflorescentia) mencapai 1,5 cm. Dalam satu
ketiak terdapat 3-4 bunga.
d. Rimpang
Rimpang induk temu lawak bentuknya bulat seperti telur, dan
berukuran besar, sedangkan rimpang cabang terdapat pada bagian
samping yang bentuknya memanjang. Tiap tanaman memiliki rimpang
cabang antara 3-4 buah.
Warna rimpang cabang umumnya lebih muda dari pada rimpang
induk. Warna kulit rimpang sewaktu masih muda maupun tua adalah
kuning-kotor. Atau coklat kemerahan. Warna daging rimpang adalah
kuning atau oranye tua, dengan cita rasanya amat pahit, atau coklat
kemerahan berbau tajam, serta keharumannya sedang. Rimpang
terbentuk dalam tanah pada kedalaman + 16 cm. Tiap rumpun tanaman
temu lawak umumnya memiliki enam buah rimpang tua dan lima buah
rimpang muda.
e. Akar
Sistem perakaran tanaman temu lawak termasuk akar serabut.
Akar-akarnya melekat dan keluar dari rimpang induk. Panjang akar
sekitar 25 cm dan letaknya tidak beraturan.

Gambar 1. Temulawak (Curcuma xanthorizza Roxb.)

2. Sistematika Tumbuhan
Bahan yang digunakan dalam pratikum ini adalah temulawak dengan
klasifikasi sebagai berikut:
Kingdom : Plantae
Divisi : Spermatophyta
Sub Divisi : Angiospermae
Kelas : Monocotyledonae
Ordo : Zingiberales
Famili : Zingiberaceae
Genus : Curcuma
Spesies : Curcuma xanthorizza Roxb.

3. Kandungan kimia
Kandungan zat yang terdapat pada rimpang temulawak terdiri atas pati,
abu, serat, dan minyak atsiri. Komponen utama kandungan zat yang terdapat
dalam rimpang temulawak adalah zat kuning yang disebut “kurkumin”, dan
juga protein, pati, dan minyak atsiri.
Kadar minyak atsiri rimpang temulawak antara 4,6%-11%, mempunyai
rasa yang tajam dan bau khas aromatik (Afifah, 2003). Berdasarkan penelitian
Jantan dkk. (2012) senyawa kimia yang dominan terdapat pada minyak atsiri

temulawak adalah xanthorrizol dan β-curcumenen.


A. Xanthorrizol
Xanthorrizol adalah senyawa aktif utama pada minyak atsiri temulawak,
dengan nilai IC50 sebesar 1,93 μmol/L. Efek antioksidan yang kuat dari
xanthorrizol disebabkan adanya grup hidroksi fenol pada kerangka bisabolene.
Efek antioksidan muncul karena kemampuan komponen tersebut untuk
mencelatkan ion logam Cu2+ dan mampu menghambat inisiasi oksidasi LDL
dan pembentukan radikal bebas dari lipoprotein (Jantan et al, 2012). Struktur
xanthorizzol adalah seperti berikut.

Gambar 2.
Struktur
Xanthorizzol (Jantan et al, 2012)

Kandungan xanthorrizol dalam temulawak adalah sebesar 32% (Jantan


dkk., 2012). Berdasarkan Setiawan dkk. (2013) kelebihan senyawa
xanthorrizol adalah tidak berwarna, tidak berbau, tidak volatil, tahan panas
dan keasaman. Xanthorrizol merupakan antibakteri potensial yang mempunyai
spektrum luas terhadap aktifitas anti bakteri, stabil terhadap panas, dan aman
terhadap kulit manusia. Menurut Hwang (2004) xanthorrizol mempunyai
ketahanan yang baik terhadap panas, yakni pada temperatur tinggi antara 60-
121°C masih mempunyai aktifitas antibakteri.

B. Kurkuminoid
Salah satu kandungan utama temulawak adalah kurkuminoid.
Kurkuminoid merupakan bentuk campuran senyawa diarilheptanoid, yakni
kurkumin, demetoksi kurkumin, dan bisdemetoksi kurkumin dengan pigmen
utama yakni kurkumin (Cahyono dkk., 2011). Fraksi kurkuminoid dalam
temulawak terdiri dari dua komponen yaitu kurkumin dan desmetoksi
kurkumin (Grafianita, 2011). Rumus struktur kurkuminoid dapat dilihat pada
Gambar 3.
Gambar 3. Rumus Struktur Kurkuminoid (Cahyono dkk. 2011)

Kurkumin merupakan senyawa turunan fenol yang banyak dijumpai pada


kunyit dan temulawak (Setyowati dkk. 2013). Adanya gugus fenolik pada
senyawa kurkuminoid menyebabkan kurkuminoid mempunyai aktivitas
antioksidan yang kuat (Cahyono dkk. 2011).
Kurkumin adalah pigmen berwarna kuning. Pada isolasi senyawa murni,
kurkumin berbentuk bubuk kristalin dengan titik leleh 180- 183°C (Camble
dkk., 2011). Pigmen kurkumin larut dalam pelarut polar seperti etanol 95%
(Setyowati dkk. 2013). Berdasarkan Cahyono dkk. (2011) kurkumin
mengalami degradasi dibawah kondisi asam, basa, pengoksidasian, dan
pencahayaan. Kurkumin terdegradasi apabila terkena cahaya ultraviolet dan
daylight. Perlakuan pemanasan berupa pendidihan menyebabkan penurunan
kandungan kurkumin mengalami penurunan sebesar 32%.
4. Efek farmakologis Temulawak
a) Antibakteri
Temulawak bersifat bakteriostatik atau antibakteri pada mikroba jenis
staphyllococcus dan salmonella. Sifat antibakteri yang dimiliki temulawak
dipicu karena adanya kandungan curcuminoid di dalamnya. Curcuminoid
adalah kelompok senyawa fenolik yang terkandung dalam rimpang
tanaman famili Zingiberaceae, termasuk temu giring. Curcuminoid terdiri
dari curcumin, demethoxy-curcumin, dan Bis-demetoxy-curcumin, dan
mempunyai aktivitas antibakteria.

Gambar 4. Struktur (a) Kurkumin (b) demethoxy-curcumin (c) Bis-


demetoxy-curcumin
b) Antikanker
Zat aktif antikanker yang dikandung temulawak telah banyak diketahui,
yaitu curcumin. Curcumin mempunyai kemampuan untuk memacu sel T
dan sel B, sehingga mempunyai prospek cukup baik untuk meningkatkan
sistem imum (Varalakshmi dkk, 2008). Sel kanker dikenal sebagai nonself
yang bersifat antigenic pada sistem imun sehingga akan menimbulkan
respon imun seluler maupun humoral. Fungsi primer dari sitem imun
adalah untuk mengenal dan mendegradasi antigen asing (nonself)
yangtibul dalam tubuh. Institut Nasional Kanker telah mencoba
mengembangkan bahan ini dalam uji klinis anti kanker (Kelloff, 2000).
Efek antioksidan dari curcumin dapat menghambat proliferasi sel tumor,
kanker usus besar dan kanker payudara, sehingga temulawak bersifat
antikanker.
c) Antioksidan
Curcuminoid terdiri dari curcumin, demethoxy-curcumin, dan Bis-
demetoxy-curcumin. Keberadaan gugusan phenolik pada ketiga senyawa
tersebut dilaporkan juga menyebabkan aktivitas antioksidan yang kuat
pada sistem biologis (Ahsan, 1998), sehingga dapat mencegah penyakit-
penyakit yang berhubungan dengan reaksi peroksidasi. Efek antioksidan
dari curcumin dapat menghambat proliferasi sel tumor, kanker usus besar
dan kanker payudara. Selain itu, minyak atsiri yang terkandung dalam
temulawak memiliki kandungan flavonoid yang juga bersifat antioksidan.
d) Hipokolesterolemik
Hipokolestrolemik memiliki arti kadar kolesterol darah yang rendah.
Curcumin merupakan zat aktif yang memiliki efek hipokolesterolemia.
Melalui aktivitas hipokolesterolemik Curcumin, temulawak dapat
menurunkan kadar kolesterol total, dan mempunyai indikasi meningkatkan
kadar lipoprotein densitas tinggi (HDL) kolesterol.
e) Anti-Inflamasi
Curcumin, zat warna kuning alami yang diperbolehkan untuk pewarna
makanan ini telah cukup lama dikenal sebagai obat inflamasi atau anti
radang. Melalui aktivitas anti-inflamasinya, temulawak efektif untuk
mengobati penyakit radang sendi, rematik, atau artritis rematik.

5. Pemisahan Senyawa Kromatografi Lapis Tipis (Thin Layer


Chromatography)
Kromatografi Lapis Tipis (KLT) dan kromatograsi kolom pada prinsipnya
sama. Apabila suatu cuplikan yang merupakan campuran dari beberapa
komponen yang diserap lemah oleh adsorben akan keluar lebih cepat bersama
eluen, sedangkan komponen yang diserap kuat akan keluar lebih lama
(Hostettman, 1995). KLT merupakan suatu teknik pemisahan dengan
menggunakan adsorben (fase stasioner) berupa lapisan tipis seragam yang
disalutkan pada permukaan bidang datar berupa lempeng kaca, pelat
aluminium, atau pelat plastik. Pengembangan kromatografi terjadi ketika fase
gerak tertapis melewati adsorben (Deinstrop, Elke H,2007 ).
KLT dapat digunakan jika:
1. Senyawa tidak menguap atau tingkat penguapannya rendah.
2. Senyawa bersifat polar, semi polar, non polar, atau ionik.
3. Sampel dalam jumlah banyak harus dianalisis secara simultan, hemat
biaya, dan dalam jangka waktu tertentu.
4. Sampel yang akan dianalisis akan merusak kolom pada Kromatografi
Cair (KC) ataupun Kromatografi Gas (KG).
5. Pelarut yang digunakan akan mengganggu penjerap dalam kolom
Kromatografi Cair.
6. Senyawa dalam sampel yang akan dianalisis tidak dapat dideteksi
dengan metode KC ataupun KG atau memiliki tingkat kesulitan yang
tinggi.
7. Setelah proses kromatografi, semua komponen dalam sampel perlu
dideteksi (berkaitan dengan nilai Rf).
8. Komponen dari suatu campuran dari suatu senyawa akan dideteksi
terpisah setelah pemisahan atau akan dideteksi dengan berbagai metode
secara bergantian (misalnya pada drug screening).
9. Tidak ada sumber listrik.
KLT digunakan secara luas untuk analisis solute-solute organic terutama
dalam bidang biokimia, farmasi, klinis, forensic, baik untuk analisis kualitatif
dengan cara membandingkan nilai Rf solut dengan nilai Rf senyawa baku atau
untuk analisis kualitatif (Gandjar IG., 2008). Penggunaan umum KLT adalah
untuk menentukan banyaknya komponen dalam campuran, identifikasi
senyawa, memantau berjalannya suatu reaksi, menentukan efektifitas
pemurnian, menentukan kondisi yang sesuai untuk kromatografi kolom, serta
untuk memantau kromatografi kolom, melakukan screening sampel untuk obat
(Gandjar IG, 2008).
Kromatografi lapis tipis menggunakan plat tipis yang dilapisi dengan
adsorben seperti silika gel, aluminium oksida (alumina) maupun selulosa.
Adsorben tersebut berperan sebagai fasa diam. Fasa gerak yang digunakan
dalam KLT sering disebut dengan eluen. Pemilihan eluen didasarkan pada
polaritas senyawa dan biasanya merupakan campuran beberapa cairan yang
berbeda polaritas, sehingga didapatkan perbandingan tertentu. Eluen KLT
dipilih dengan cara trial and error.Kepolaran eluen sangat berpengaruh
terhadap Rf (faktor retensi) yang diperoleh.
6. Faktor Retensi
Faktor retensi (Rf) adalah jarak yang ditempuh oleh komponen dibagi
dengan jarak yang ditempuh oleh eluen. Rumus faktor retensi adalah:

Nilai Rf sangat karakterisitik untuk senyawa tertentu pada eluen tertentu.


Hal tersebut dapat digunakan untuk mengidentifikasi adanya perbedaan
senyawa dalam sampel. Senyawa yang mempunyai Rf lebih besar berarti
mempunyai kepolaran yang rendah, begitu juga sebaliknya. Hal tersebut
dikarenakan fasa diam bersifat polar. Senyawa yang lebih polar akan tertahan
kuat pada fasa diam, sehingga menghasilkan nilai Rf yang rendah. Rf KLT
yang bagus berkisar antara 0,2 - 0,8. Jika Rf terlalu tinggi, yang harus
dilakukan adalah mengurangi kepolaran eluen, dan sebaliknya.
C. ALAT DAN BAHAN
 Alat
1. Gelas ukur
2. Beaker gelas
3. Kertas saring
4. Timbangan
5. Pipet kapiler
6. Erlemeyer
7. Chamber
8. Silika gel
 Bahan
1. Chlroform
2. Etil asetat
3. Air
4. Etanol 96%
5. Etanol 80%,
6. Etanol 70%
7. Etanol 50%

D. CARA KERJA
1. Pembuatan pelarut etanol dengan metode aligasi
Contoh pembuatan 50 ml etanol 80% berbahan dasar etanol 96% dan air :

Aquadest yang diperlukan : 16/(16+80) x 50 ml = 8,33 ml


Etanol yang diperlukan : 80/(16+80) x 50 ml = 41,67 ml

2. Estraksi Bertingkat

Timbang simplisia temulawak 4g kemudian dimaserasi menggunakan


kloroform 20 ml (digojog selama 10 menit).

Kemudian disaring, filtrat diuapkan sampai 5 ml sedangkan maserat


dimaserasi lagi menggunakan etil asetat 20 ml (digojog selama 10
menit).
Kemudian disaring, filtrat diuapkan sampai 5 ml sedangkan maserat
dimaserasi lagi menggunakan etanol 96% 20 ml (digojog selama 10
menit).

Kemudian disaring, filtrat diuapkan sampai 5 ml sedangkan maserat


dimaserasi lagi dengan aquadest 20 ml (digojog selama 10 menit).

Kemudian disaring, filtrat diuapkan sampai 5 ml

Filtrat sebanyak 5 ml dari masing-masing maserasi (pelarut kloroform,


etil asetat, etanol 96%, dan air) kemudian ditotolkan menggunakan pipa
kapiler masing-masing 3 totolan pada plat KLT dan dieluasi
menggunakan fase gerak kloroform : etanol 96% : asam asetat (94: 5:
1). Lihat warna noda dan banyak noda yang timbul, dan bandingkanlah

Hasil yang diharapkan (mengandung kurkuminoid) yaitu terbentuk 3


noda pada plat KLT dengan Rf masing-masing : noda warna kuning
(Rf=1,2), noda warna jingga (Rf=1,45), noda warna jingga tua (Rf=2,2)
dimana masing-masing menunjukkan kandungan dari
3. Ekstraksi Dengan Perbedaan Konsentrasi Pelarut
desmetoksikurkumin, bisdesmetoksikurkumin, dan kurkumin
Siapkan masing-masing pelarut yang akan digunakan untuk maserasi
yaitu etanol 96%, etanol 80%, etanol 70%, dan etanol 50% dalam
erlenmeyer.

Kemudian timbang simplisia temulawak 4g kemudian dimaserasi


menggunakan masing-masing pelarut (etanol 96%, etanol 80%, etanol
70%, etanol 50% ) sebanyak 20 ml (digojog selama 10 menit).

Kemudian disaring, filtrat diuapkan sampai 5 ml sedangkan maserat


disimpan.
Filtrat sebanyak 5 ml dari masing-masing maserasi (pelarut etanol 96%,
etanol 80%, etanol 70%, etanol 50%) kemudian ditotolkan
menggunakan pipa kapiler masing-masing 3 totolan pada plat KLT dan
dieluasi menggunakan fase gerak kloroform : etanol 96% : asam asetat
(94: 5 : 1).

Lihat warna noda dan banyak noda yang timbul, dan bandingkanlah

Hasil yang diharapkan (mengandung kurkuminoid) yaitu terbentuk 3


noda pada plat KLT dengan Rf masing-masing : noda warna kuning
(Rf=1,2), noda warna jingga (Rf=1,45), noda warna jingga tua (Rf=2,2)
dimana masing-masing menunjukkan kandungan dari
desmetoksikurkumin, bisdesmetoksikurkumin, dan kurkumin.

E. HASIL PRATIKUM
DAFTAR PUSTAKA

Afifah, E., dan Tim Lentera. 2003. Khasiat dan Manfaat Temulawak Rimpang Penyembuh Aneka
Penyakit. Agromedia Pustaka. Jakarta.

Ahsan, H., Parveen, N., Khan, N.U., and Hadi, S.M., (1999), Pro-Oxidant, Anti-Oxidant And
Cleavage Activities On DNA Of Curcumin And Its Derivatives Demethoxycurcumin And
Bisdemethoxycurcumin, Chem.-Biol. Interact., 121, pp. 161-175.

Cahyono, B., Huda, M. D. K. dan Limantara, L. (2011). Pengaruh Proses Pengeringan Rimpang
Temulawak (Curcuma xanthorrhiza ROXB) terhadap Kandungan dan Komposisi
Kurkuminoid. Reaktor, 13 (3), hlm 165-171.

Deinstrop, Elke. 2007. Applied Thin-Layer Chromatography. 2 nd ed. Weinheim: Wiley-VCA


hal. 1-2.

Gandjar IG & Abdul R. 2008. Kimia Farmasi Analisis. Yogyakarta. Pustaka Pelajar.
Hidayat, S. dan Tim Flona. 2008. Khasiat Tumbuhan Berdasar Warna, Bentuk, Rasa, Aroma, dan
Sifat. PT Samindra Utama

Hostettman, 1995. Cara Kromatografi Preparatif”Penggunaan pada Isolasi Senyawa Alam”


ITB, Bandung.

Ibrahim bin Jantan, A.S. Ahmad, N.A.M. Ali, A.R. Ahmad dan H. Ibrahim, 1999. Chemical
composition of the rhizome oils of four Curcuma species from Malaysia. J.Essent.Oil.Res.
11 : 719 - 723.

M. Mateblowski (1991), Curcuma xanthorrhiza Roxb, penerbit PMI Verlag Said, Ahmad.
Khasiat & Manfaat Temulawak. PT. Sinar Wadja Lestari

Setyowati A., dan Suryani C. L. (2013). Peningkatan Kadar Kurkuminoid Dan Aktivitas
Antioksidan Minuman Instan Temulawak Dan Kunyit. Agritech, 33 (4).

Varalakshmi, Ch., A. Mubarak Ali., and B.V.V. Pardhasaradhi. 2008. Immunomodulatory Effect
of Curcumin : In Vivo. Int. J. Imm. 8 : 68

Anda mungkin juga menyukai