Anda di halaman 1dari 19

Pengelolaan Sampah Berbasis Masyarakat di Wilayah Pesisir

(Studi Kelurahan Pulau Penyengat)


Sulisa (1), Dian Prima Safitri (2), Imam Yudhi Prastya (3)
sulisaica@gmail.com, dianprima@umrah.ac.id, yudhiimam@umrah.ac.id
Program Studi Administrasi Publik, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik,
Universitas Maritim Raja Ali Haji

ABSTRAK

Kondisi geografis pulau Penyengat yang dikelilingi laut dan pulau terpisah
dari daratan menyebabkan beberapa lokasi pesisir pantai pulau Penyengat banyak
dipenuhi sampah. Perubahan musim angin yang membawa sampah, budaya
masyarakat yang membuang sampah di pesisir, keterbatasan lahan Tempat
Penampungan Sementara dalam menampung sampah, serta keterbatasan
kemampuan pemerintah dalam mengelola sampah, yang kemudian menjadikan
pulau Penyengat salah satu wilayah pesisir Kota Tanjungpinang yang memerlukan
pengelolaan sampah. Adapun tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui
bagaimana pengelolaan sampah di wilayah pesisir Kelurahan Pulau Penyengat
dalam mewujudkan pengelolaan sampah sesuai dengan peraturan daerah nomor 3
tahun 2015. Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah
deskriptif dengan pendekatan kualitatif. Hasil dari penelitian ini adalah
pengelolaan sampah yang dilakukan belum maksimal, karena pengelolaan sampah
tidak dilakukan pengolahan. Kurangnya sosialisasi dan pembinaan kepada
masyarakat dalam mengelola sampah rumah tangga, sehingga sampah dibakar dan
dapat merusak lingkungan. Kurangnya disiplin petugas kebersihan dalam
menjalankan tugasnya. Peran serta masyarakat dalam pengelolaan sampah masih
pasif, sehingga masih adanya perilaku masyarakat membuang sampah ke pantai.

Kata Kunci : Pengelolaan, sampah, perilaku.

PENDAHULUAN

Pulau Penyengat merupakan sebuah pulau yang berada didepan Kota

Tanjungpinang dan merupakan wilayah Kecamatan Tanjungpinang Kota. Pulau

yang dikelilingi oleh laut dan terpisah dari pulau lainnya, sehingga menjadi

potensi besar mendapati kiriman sampah atau menjadi penghasil sampah.

Perubahan musim angin yang membawa sampah dari pulau lain ke pulau

Penyengat, keterbatasan lahan yang ada dalam pengelolaan sampah di pulau

Penyengat, kemampuan petugas dalam menangani pengelolaan sampah,

1
keterbatasan akses pengangkutan laut dan biaya pengangkutan yang tinggi, serta

budaya membuang sampah ke pantai juga terjadi di lingkungan masyarakat,

sehingga menjadi penting untuk dilakukan pengelolaan sampah. Kondisi

persampahan di pulau penyengat terbagi dalam dua penanganan, yaitu

penanganan oleh petugas laut dan penanganan oleh petugas daratan. Berdasarkan

laporan gotong royong petugas kebersihan seksi kebersihan kawasan pesisir bulan

Januari-Maret 2018, berjumlah 3,5 kantong (0,2 m3 per kantong) per hari.

Berdasarkan hasil wawancara dan observasi lapangan, kondisi sampah yang

dibawa oleh petugas ke lokasi TPS berjumlah 1 ton per hari, dengan ritme

pengangkutan 2 kali sehari yang diangkut oleh pick up (kaisar) berkapasitas 1

kubik. Oleh karena itu, perlu dilakukan pengelolaan sampah yang melibatkan

peran masyarakat dengan cara memaksimalkan Tempat Pengolahan Sampah 3R,

sehingga didapatkan pengelolaan sampah yang paling relevan untuk wilayah

pesisir pulau Penyengat.

Gambar 1.
Wilayah Pesisir Pulau Penyengat

2
BAHAN DAN METODE

Pengelolaan sampah meliputi aspek pengurangan dan penanganan sampah. Dalam

aspek penanganan sampah meliputi : (1) Teknik operasional, (2) Kelembagaan,

(3) Biaya, (4) Peraturan hukum, dan (5) peran serta masyarakat, serta melihat

perilaku masyarakat di wilayah pesisir dalam pengelolaan sampah . Berdasarkan

langkah-langkah yang dilakukan dalam pengelolaan sampah, maka penelitian ini

menggunakan penelitian deskriptif kualitatif. Pada teknik pengumpulan data yang

dilakukan untuk menunjang penelitian ini, ada dua junis data, yaitu data primer

dan data sekunder. Data primer merupakan data yang didapatkan selama dalam

penelitian berlangsung melaui wawancara dan observasi lapangan, sedangkan data

sekunder data sekunder, adalah data yang didapatkan secara tidak langsung,

seperti, profil Kelurahan Penyengat, peta wilayah, jumlah tenaga harian lepas

wilayah darat dan laut, volume sampah yang ditangani, serta tupoksi kelembagaan

yang berwenang dalam pengelolan sampah. Informan penelitian adalah orang

yang dianggap dapat memberikan informasi dan data dalam menunjang penelitian

ini. Jumlah informan masyarakat 10 orang, karena penambahan terhentikan ketika

memiliki jawaban yang sama (jenuh). Informan kunci dalam penelitian ini adalah

Tokoh Masyarakat yang sekaligus pernah menjabat Kepala Desa dan Lurah pulau

Penyengat selama 16 tahun, Dinas PERKIM Kawasan Pesisir dan Dinas

Lingkungan Hidup Kota Tanjungpinang.

3
HASIL

Dalam aspek teknik operasional penanganan sampah di pulau Penyengat

hanya berlangsung pada tahap ketiga, yaitu pewadahan, pengumpulan dan

pemindahan tanpa adanya proses pengangkutan dan pengolahan atau pembuangan

sampah. Kondisi pewadahan yang lebih banyak terbuka, tanpa adanya pemilahan

jenis dan karakteristik sampah. Pengumpulan sampah oleh masyarakat dengan

memanfatkan pewadahan yang disediakan, dan diantara masyarakat yang tinggal

di daerah pesisir membuangnya ke pantai. Kemudian proses pengumpulan dan

pemindahan juga tidak terjadinya pemilahan sampah, sehingga kondisi sampah

yang dipindahkan oleh petugas bercampur dalam satu wadah, sehingga sampah

sering dalam kondisi basah ketika dipindahkan. Adapun pemindahan sampah

menggunakan jasa pick up (kaisar) dengan ritme pengangkutan yang bertambah,

dari 2 kaisar dengan sekali pengangkutan menjadi 2 kaisar dengan dua kali

pengangkutan. Pengangkutan sampah hanya dilakukan pada sampah yang berada

di pesisir pantai untuk dibawa ke Tempat Pemrosesan Akhir (TPA) Kota

Tanjungpinang dengan menggunakan akses laut (boat) yang berjumlah 2 (dua)

buah. Namun, kondisi sampah di TPS tidak dilakukan proses pengangkutan dan

pengolahan, sehingga sampah menumpuk pada satu lahan. Adapun pengolahan

sampah yang dilakukan dari zaman ke zaman adalah dengan cara dibakar melalui

inisiatif warga yang membawa sampah ke lahan yang berada di darat.

4
sampah permukiman darat sampah pesisir

pengangkutan TPA
sampah Organik sampah Anorganik Kota
pengumpulan

pewadahan Dibakar mandiri

pengumpulan

Gambar 2
pemindahan
Skema pengelolaan sampah di pulau Penyengat
TPS 3R

Dibakar petugas

Dalam aspek kelembagaan belum adanya badan pengelola sampah yang

bertanggung jawab terhadap pengolahan sampah, baik dari pihak RT/RW yang

berwenang maupin pihak dinas, meskipun fasilitas gedung yang sudah disediakan.

Sehingga sampah yang menumpuk tanpa dikelola, dan hanya dilakukan proses

pengolahan sampah dengan cara dibakar, menjadi tumpukan bukit sampah yang

mulai meninggi. Sedangkan dalam aspek pembiayaan, belum adanya biaya yang

terdapat dalam pengelolaan sampah di pulau Penyengat yang dikeluarkan

masyarakat baik dalam proses pengangkutan, pengumpulan, dan pembuangan

sampah. Hal ini dikarenakan proses tersebut dilakukan oleh pihak dinas

kebersihan melalui petugas. Dalam aspek peraturan hukum, peraturan daerah

sudah terdapat ketentuan hukum yang mengatur tentang pengelolaan sampah,

yaitu peraturan daerah nomor 14 tahun 2009 dan Peraturan daerah nomor 3 tahun

2015. Namun kurangnya sosialisasi dalam penyampaiam peraturan daerah,

sehingga banyak masyarakat yang belum mengetahui ketentuan-ketentuan

5
pengelolaan sampah. Hal ini dibuktikan dengan masih berlangsungnya

pengolahan sampah dengan cara dibakar. Sedangkan dalam aspek peran serta

masyarakat masih dikatakan menengah, sehingga masyarakat belum dapat

dilibatkan secara inisiatif sendiri, masih diperlukan arahan dan himbauan pihak

RT/RW dalam kegiatan gotong royong atau kerja bakti. Belum adanya inisiatif

penyediaan tong sampah di sumber-sumber sampah (rumah tangga) dengan sudah

dalam kondisi terpilah antar jenis dan karakteristik sampah.

PEMBAHASAN

Dalam pengelolaan sampah menurut Kodoati (2005), terdapat 5 (lima) dimensi

atau aspek dalam penanganan sampah di pulau Penyengat, yaitu aspek teknik

opeasional, aspek kelembagaan, aspek biaya, aspek peraturan hukum, dan aspek

peran serta masyarakat. Berikut adalah aspek-aspek penanganan sampah dipulai

Penyengat :

1. Teknik operasional

Pemerintah Kota Tanjungpinang sudah memberikan perhatian terkait

kebersihan lingkungan kawasan pesisir pulau Penyengat baik dari tingkat Kota

maupun tingkat Kelurahan dengan tingkat kerelevansianyang berbeda pula,

sehingga pengelolaan sampah di pulau Penyengat berbeda dengan wilayah pesisir

lainnya, karena terpisah dari daratan dan merupakan pulau sendiri

a. Pewadahan atau penampungan sampah.

Pengelolaan sampah pertama dimulai dari pewadahan yang ada ditingkat

timbulan atau sumber sampah (Faizah,2008), pewadahan individual harus

6
dimilki setiap rumah tangga, karena sistem pewadahan yang dikelola dengan

baik akan menunjang keberhasilan operasi pengumpulan sampah

(Harmayani, 2009). Adapun dalam kriteria pewadahan sampah, wadah tidak

mudah rusak, kedap air, tertutup, dan mudah dikosongkan (Kartika.2017).

Namun di pulau penyengat belum terdapat pewadahan individual sampah di

setiap rumah tangga, serta kondisi pewadahan yang terbuka, sehingga

membuat sampah bercampur dengan air. Sedangkan menurut perda nomor 3

tahun 2015 pasal 27 ayat 2 (dua), seharusnya sarana pemilahan dan

pewadahan sampah sebagaimana dimaksud harus diberi label atau tanda,

dibedakan bentuk, bahan dan warna wadah, dan menggunakan wadah

tertutup.

Gambar 3. Kondisi pewadahan sampah yang terbuka

b. Pengumpulan sampah.

Berdasarkan 2 (dua) jenis pola pengumpulan Standar Nasional Indonesia

(SNI), masyarakat pulau Penyengat menggunakan pola komunal yang

difasilitasi oleh pemerintah daerah. Prosedur pola komunal yang diterapkan

dengan melalui petugas kelurahan dimana petugas yang telah ditunjuk untuk

7
melayani kebersihan, mengumpulkan dan membawa sampah ke Tempat

Pembuangan Sementara, atau kontainer untuk dibawa ke Tempat

Pembuangan Akhir, sedangkan sarana pengumpulan dengan motor roda tiga

yang terdapat pemilahan sampah sehingga efektif dan efisien (Wijaya,2013).

Sedangkan proses pengumpulan sampah dipulau penyengat menggunakan

jasa pick up (kaisar) karena kondisi akses jalan yang berbeda dengan wilayah

daratan Kota Tanjungpinang.

c. Pemindahan sampah

Dalam pengelolaan sampah pesisir, pemindahan sampah tidak dilakukan ,

akan tetapi disediakan lahan kosong atau pesisir pantai (non TPS), yang

dijadikan tempat pengumpulan sampah dikarenakan tidak ada petugas yang

memindahkan sampah (Manik, 2015). Karakteristik sarana pemindahan

sampah yang ada dapat melalui, bak konstruksi, kontainer, atau transfer depo

(Faizah, 2008). Pemindahan di kota besar dilakukan petugas dengan

menggunakan peralatan mekanik maupun manual atau kombinasi keduanya.

Sedangkan di pulau Penyengat memiliki perbedaan sarana yang digunakan

oleh wilayah daratan, penerapan alat yang seharusnya memudahkan pekerjaan

dalam penanganan sampah tidak digunakan, sehingga pemindahan sampah

menggunakan kaisar seperti pda tahap pengumpulan sampah. Hal ini

dikarenakan oleh kondisi akses di pulau Penyengat, efisiensi biaya dan waktu.

d. Pengangkutan sampah

Pengangkutan sampah menggunakan alat pengangkutan yang berkapasitas

besar untuk membawa sampah ke Tempat Pemrosesan Akhir (Harmayani,

8
2009). Ada 2 (dua) cara pengangkutan sampah yang dilakukan di kawasan

pesisir. Pertama, hasil pemilahan sampah seperti botol-botol untuk diolah

mesin pencacah kemudian diangkut dengan perahu motor dan dijual. Kedua

sampah yang berasal dari pesisir pantai dilakukan pembersihan pantai 3

(tiga) kali seminggu kemudian diangkut menggunakan kapal motor (Manik,

2015). Sedangkan di pulau Penyengat, pengangkutan sampah pengumpulan

dari pesisir pantai yang diangkut ke TPA Kota dengan akses laut, namun

pengangkitan sampah dari TPS ke TPA kota belum dilakukan dengan

pertimbangan biaya pengangkutan yang relatif besar.

e. Pembuangan atau pengolahan sampah

Pembuangan atau pengolahan sampah merupakan tahapan akhir dalam

teknik operasional. Penerapan alternatif pengolahan sampah dengan

menggunakan metode recycle, memanfaatkan sampah anorganik sehingga

proses ini menunda atau mencegah penumpukan sampah anorganik TPA

(Surjandari, 2009). Pengolahan sampah dengan menerapkan konsep reduce,

reuse,dan recycle (3R) . Pertama, melakukan pengomposan sampah organik

dan mengumpulkan sampah anorganik ke pengepul atau membuat kerajinan.

Kedua, mengumpulkan sampah organik ke tempat dan mengumpulkan

sampah anorganik. Ketiga, membuang sampah organik dan anorganik ke

tempat sampah (Affandy, 2015). Sedangkan berdasarkan perda nomor 3

tahun 2015 pasal 36 ayat (1), seharusnya pengolahan sampah meliputi

kegiatan, pemadatan, pengomposan, daur ulang materi, dan mengubah

sampah menjadi sumber energi. Namun pengolahan sampah pada tahap

9
akhir teknik operasional tidak dilakukan sehingga sampah yang berada di

Tempat Pengolahan Sampah tidak dilakukan pengolahan.

2. Aspek kelembagaan

Aspek kelembagaan adalah aspek yang penting dalam kegiatan pengelolaan

sampah di suatu kawasan. Di pulau Penyengat belum terdapat kelembagaan atau

komunitas informal maupun formal yang ditunjuk pihak RT/RW dalam

pengelolaan sampah. sehingga sampah tidak terkelola dengan baik baik dari

sumber sampah maupun pemrosesan akhir sampah. Hasil penelitian Sitanggang

(2017) dan Riswan (2011), wilayah yang belum memiliki kelompok pengelola

sampah sehingga pelaksanaan pengelola sampah belum optimal. Adapun

kelembagan yang bertanggungjawab atas pengelolaan sampah di pulau Penyengat,

yaitu Dinas Perumahan Rakyat, Kawasan Permukiman Kebersihan dan

Pertamanan Kota Tanjungpinang dan Dinas Lingkungan Hidup Kota

Tanjungpinang. Namun dalam proses pelaksanaan masih belum maksimal, belum

terdapat strategi maupun upaya khusus yang dilakukan dalam pengelolaan sampah

di wilayah pesisir.

3. Aspek Biaya

Pembiayan kegiatan pengelolaan sampah berasal dari iuran warga, karena

tidak terdapat retribusi sampah maupun penerima retribusi sampah (Sitanggang,

2017). Sistem pengelolaan sampah terpadu kelurahan Jabungan dibiayai dari

penerimaan retribusi serta hasil penjualan produ TPS 3R, seperti kompos dan daur

ulang. Dalam aspek biaya di pulau Penyengat tidak terdapat biaya pengangkutan,

pengumpulan, dan pembuangan akhir sampah, karena proses tersebut dilakukan

10
oleh petugas dinas kebersihan dan masyarakat mengumpulkannya di pewadahan

yang disediakan serta tida terdapatnya hasil penjualan produk daur ulang karena

fasilitas gedung pengolahan di nonaktifkan sehingga tidak terdapat biaya yang

dialokasikan untuk pengelolaan sampah.

4. Aspek peraturan hukum

Dalam aspek peraturan hukum, pemerintah telah menjadikan perda sebagai

pedoman dalam pengelolaan sampah, yakni perda nomor 14 tahun 2009 tentang

sistem pengelolaan sampah dan perda nomor 3 tahu 2015 tentang pengelolaan

sampah. Hasil temuan penelitian, belum maksimalnya penyampaian perda kepada

masayrakat, sehingga masyarakat belum memahami pengelolaan sampah dalam

teknik operasional. Berdasarkan perda nomor 3 tahun 2015 BAB VI pasal 21 ayat

(1), pengelolaan sampah ketentuan yang mengatur terkait pengelolaan sampah,

seharusnya pengurangan sampah dapat dilakukan dengan prinsip 3R meliputi

kegiatan, pembatasan timbulan sampah, pendaur ulang sampah, dan atau

pemanfaatan kembali sampah. Namun, dikarenakan kurangnya penyampaian

dalam ketentuan hukum yangbelaku, maka pengelolaan sampah masih belum

dilakukan sebagaimana ketentuan berlaku.

5. Aspek peran serta masyarakat

Peran serta masyarakat dalam pengelolaan sampah tidak dapatdipungkiri

memiliki pengaruh yang signifikan terhadap berhasil atau gagalnya suatu

pengelolaan sampah. Partisipasi masyarakat dalam pengelolaan sampah dapat

berupa perencanaan pengelolaan sampah, pembangunan dan pengelolaaan sampah

(Manik, 2015). Seharusnya masyarakat perlu dilibatkan dalam masalah

11
pengelolaan sampah, karena peran serta masyarakat secara aktif sangat

menentukan keberhasilan pelaksanaannya (Riswan, 2011). Berdasarkan perda

nomor 3 tahun 2015 tentang pengelolaan sampah pasal 46 ayat (2), peran

masyarakat dapat dilakukan dengan : (1) pemberian usul, pertimbangan dan saran

kepada pemerintah daerah, (2) perumusan kebijakan pengelolaan sampah, (3)

pemberian saran dan pendapat dalam penyelesaian sengketa persampahan.

Namun peran-peran tersebut belum adanya keterlibatan yang diambil oleh

masyarakat pulau penyengat.

6. Perilaku masyarakat pesisir dalam pengelolaan sampah.

Pengelolaan sampah pesisir dan daratan tidaklah jauh berbeda dalam aspek

teknik operasionalnya, namun dalam perlakuan masyarakat dalam pengelolaan

sampah memilki perbedaan perilaku. Setiap manusia memiliki yang berbeda

tergantung dari bagaimana manusia atau individu berinteraksi dengan

lingkungannya. Dalam kaitannya dengan lingkungan hidup, perilaku manusia

dapat menentukan keberlanjutan kondisi lingkungan. Interaksi antara individu

dalam pengelolaan sampah masih acuh tak acuh dan kurang kepedulian untuk

mengelola sampah, seperti pemilahan sampah dari rumah. Masih terdapat

pembuangan sampah di pantai bagi warga yang bertempat tinggal di kawasan

pesisir pantai (Pinto, 2015). Perilaku pengelolaan sampah di daratan, masyarakat

menjaga kebersihan halaman sekitar ini dikarenakan bahwa kebersihan rumah dan

halaman sekitar merupakan kesadaran masing-masing individu. Ada yang selalu

membersihkan karena risih jika halamannya kotor, karena rumah dan halaman

merupakan hal privasi sehingga rajin dibersihkan. Jika masyarakat membuang

sampah sembarang di sekitar rumah maka sampah akan menumpuk dan

12
menimbulkan bau. Namun jika wilayah pantai, perilaku membuang sampah

sembarangan tidak membuat rumah masyarakat menimbulkan bau, karena sampah

hilang dibawa arus pantai (Charisa,2015).

Menurut Primyastanto, Dewi, dan Susilo, (2010), kurangnya kesadaran dan

pemahaman masyarakat tentang kebijakan kepesisiran, tingkat pendidikan

masyarakat yang rendah, watak masyarakat, serta tekanan biaya hidup

menyebabkan masyarakat pesisir sering melakukan perusakan lingkungan pesisir.

Adapun hal yang melatarbelakangi perilaku masyarakat pesisir, meliputi : (1)

Kebijakan kepesisiran. Pemahaman masyarakat tentang pembuangan sampah ke

peisisir pantai dikarenakan anggapan bahwa sampah yang dibuang akan hilang

dibawa air meninggalkan lokasi pembuangan. Sehingga masih ditemui

masyarakat yang membuang sampah ke pesisir pantai penyengat. Persepsi

masyarakat beranggapan tentang fungsi pantai sebagai tempat pembuangan

sampah. (2) Tingkat pendidikan masyarakat.Tingkat pendidikan yang rendah

mempengaruhi tingkat kesadaran masyarakat pesisir terhadap lingkungan.

Berdasarkan data tingkat pendidikan di Kelurahan pulau penyengat dapat

dikatakan masih menengah. Persentase terbesar tingkat pendidikan di pulau

Penyengat adalah lulusan Sekolah Dasar (SD) dengan persentase 33,2 %. (3)

Watak masyarakat. Watak merupakan karakter yang melekat pada sesorang,

kemudian menjadi karakteristik seseorang dalam kehidupannya. Berdasarkan hasil

observasi peneliti di lapangan, watak yang melekat pada masyarakat pulau

penyengat berpatok kepada generasi sebelumnya serta watak saling contoh

mencontohi kebiasaan membuang sampah di pantai. Ini dibuktikan dalam

aktivitas masyarakat bercermin kepada pengelolaan sampah secara tradisional

13
seperti membakar sampah di lahan terbuka daratan Pulau Penyengat. Sedangkan

watak saling contoh mencontohi kebiasaan membuang sampah ke pantai,

misalnya jika warga yang lain boleh membuang sampah ke pantai, maka warga

yang lain juga mengikuti. (4) Tekanan biaya hidup. Untuk memenuhi kebutuhan

hidup, sebagian masyarakat memanfaatkan kehadiran objek wisata sebagai daya

tarik dengan menggeluti bidang kuliner. Disepanjang jalan-jalan penyengat

banyak ditemui warung-warung, baik makanan kemasan maupun jajanan kuliner

lainnya di pesisir pantai. Hal ini juga menyebabkan perilaku masyarakat dalam

pengelolaan sampah dengan cara membuangnya ke pesisir pantai.

Dalam penelitian oleh Penny (2012) Perilaku masyarakat merupakan

gabungan dari pengetahuan, sikap, dan tindakan masyarakat.

a. Aspek pengetahuan.

Tingkat pendidikan merupakan suatu tolak ukur untuk melihat aspek

pengetahuan masyarakat Kelurahan Pulau Penyengat. Jumlah lulusan tingkat

SD (Sekolah Dasar) sebanyak 862 jiwa (33,2%), lulusan SMA (Sekolah

Menengah Atas) ada 736 jiwa (28,4%), sedangkan lulusan sarjana 163 jiwa

(6,2%). Hal ini membuktikan tingkat pendidikan di Kelurahan Pulau

Penyengat masih di dominasi lulusan Sekolah Dasar, dan dapat dikatakan

tingkat pendidikan di pulau Penyengat menengah, sudah terdapat masyarakat

yang mengetahui tentang bahaya membuang sampah di pantai, namun masih

menggunakan pengolahan sampah dengan cara di bakar (open dumping).

Namun masih juga terdapat masyarakat yang membuang sampahnya ke

pantai dengan menggunakan kantong plastik, sampah makanan ringan, dan

sampah organik seperti sampah ayam dan ikan.

14
b. Aspek sikap.

Sikap adalah respon masyarakat terhadap pengelolaan sampah. Adapun

sikap masyarakat yang muncul di Kelurahan Pulau Penyengat,seperti:

1. Sulit menggerakkan masyarakat dalam kegiatan yang dilakukan

seperti kerja bakti atau gotong royong.

2. Berkurangnya tanggungjawab terhadap sampah dikarenakan adanya

Petugas Harian Lepas lapangan yang ditunjuk dinas kebersihan.

3. Kurangnya kesadaran masyarakat untuk memilah sampah dari rumah

secara mandiri.

4. Malasnya mengikuti jadwal kerja bagi petugas harian lepas,sehingga

pulang sebelum waktu selesai.

c. Aspek tindakan masyarakat.

Tindakan masyarakat di wilayah pesisir dalam pengelolaan sampah

adalah sebagai berikut :

1. Mengangkut sampah dari laut, mengumpulkan di daratan, dan

membakarnya.

2. Membuang sampah ke pantai seperti sampah jajanan,popok bayi,

botol minuman plastik dll.

3. Memanfaatkan sampah organik untuk dijadikan kompos dan

digunakan untuk kebutuhan pribadi.

4. Menumpuknya sampah di lahan TPS tanpa di kelola dan diangkut ke

TPA.

15
KESIMPULAN

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan mengenai pengelolaan

sampah di wilayah pesisir Kelurahan Pulau Penyengat, maka dapat

disimpulkan sebagai berikut ;

1. Dalam aspek teknik operasional dimulai dari pewadahan,

pengumpulan, pemindahan, pengangkutan dan pengolahan sampah

hanya sampai tahap proses pemindahan sampah dari titik kumpul ke

TPS 3R Penyengat ujung. Sedangkan pengangkutan dan pemrosesan

akhir sampah untuk diolah di TPA belum terlaksanakan di Kelurahan

Pulau Penyengat. Sehingga sampah dikelola dengan cara dikumpulkan

dan dibakar oleh masyarakat di satu lahan pembakaran. Faktor

pengolahan sampah adalah keterbatasan alat dalam pengelolaan

sampah, sehingga ini juga menjadi penyebab sampah dikelola sesuai

dengan kemampuan masyarakat. Keterbatasan alat juga dikarenakan

kondisional, karena akses jalan yang tidak relevan untuk menggunakan

alat-alat berat.

2. Dalam aspek kelembagaan, tidak berjalannya Badan Pengelola Sampah

dan belum adanya petugas yang ditunjukkan RT/RW selaku badan

yang berwenang untuk membentuk lembaga yang bertanggungjawab

terhadap pengelolaan sampah. Pengolahan belum menggunakan

konsep 3R (Reduce, Reuse, Recycle) yang dikelola badan pengelola

sampah maupun komunitas masyarakat yang mengelola sampah.

Sudah berperannya lembaga pemerintah dalam pengelolaan sampah

baik dari aspek pengurangan oleh Dinas Lingkungan Hidup Kota

16
Tanjungpinang maupun penanganan sampah oleh Dinas Perumahan

Rakyat, Kawasan Permukiman Kebersihan dan Pertamanan Kota

Tanjungpinang. Namun belum adanya monitoring berkala yang

dilakukan, sehingga masih terdapat kelalaian dalam pengelolaan

sampah seperti, keterlambatan waktu petugas harian lepas dalam

melaksanakan tugasnya.

3. Tidak terdapat biaya atau tarif retribusi sampah, karena sampah

dikumpulkan oleh masyarakat, diangkut oleh petugas yang ditunjuk

dinas terkait, dan tidak adanya pemrosesan sampah yang dilakukan.

Sedangkan, dalam pemungutan biaya operasional dan pemeliharaan

tidak diadakan, karena tidak ada fasilitas gedung yag digunakan dalam

pengelolaan sampah di pulau Penyengat.

4. Kurangnya sosialisasi dalam meningkatkan pengetahuan masyarakat

terkait perda nomor 3 tahun 2015 tentang pengelolaan sampah,

sehingga masih banyak masyarakat yang belum melakukan

pengelolaan sampah sesuai peraturan daerah yang berlaku. Serta masih

minimnya peran aktif masyarakat untuk mengikutsertakan dirinya

dalam pengelolaan sampah. Budaya gotong royong di Kelurahan Pulau

Penyengat masih dikatakan menengah, sehingga masih terdapat

kesulitan dalam menggerakkan masyarakat untuk mengelola sampah.

5. Masih adanya perilaku masyarakat di wilayah pesisir yang membuang

sampah ke pantai, walaupun sudah tersedianya pewadahan sampah di

beberapa titik jalan Kelurahan Pulau Penyengat. Dan perilaku ini juga

17
dilakukan masyarakat yang tinggal di darat. Sehingga beberapa rumah

yang di wilayah pesisir pantai dipenuhi dengan sampah.

DAFTAR PUSTAKA
Aboejoewono. 1985. Pengelolaan Sampah Menuju ke Sanitasi Lingkungan dan
Permasalahannya Wilayah DKI Jakarta Sebagai Suatu Kasus. Jakarta.
Alfiandra. 2013. Kajian Partisipasi Masyarakat yang Melakukan Pengelolaan
Persampahan 3R di Kelurahan Ngaliyan dan Kalipancur Kota Semarang.
Semarang. Universitas Diponegoro.
Afoni Wijaya, Rizal Alfansi, Benardin. 2013.Jurnal Ekonomi dan Perencanaan
Pembangunan. Pengelolaan sampah di Kota Bengkulu. 95 :90.
Cicilia Kartika KI, Budi P Samadikun, Dwi Siwi Handayani. 2017. Jurnal Teknik
Lingkungan. Perencanaan Teknis Pengelolaan Sampah Terpadu (Studi
Kasus Kelurahan Jabingan, Kecamatan Banyumanik, Kota Semarang).12 :
4-5.

Chatlya Angela. 2016.Jurnal skripsi. Pengelolaan Sampah Pantai Oleh Dinas


Kebersihan dan Pertamanan Kota Bandar Lampung. Lampung. Universitas
Lampung.
Devi C Rifka. 2016. “Hubungan Tingkat Pendidikan Masyarakat dengan Perilaku
Pengelolaan Sampah di Pemukiman Nelayan Kelurahan Bandengan
Kecamatan Kota Kendal.Semarang”. Jurnal Universitas Semarang.
Enri Damanhuri, Tri Pamdi. 2011.. Pengelolaan sampah. Jurnal Institusi
Teknologi Bandung. Bandung.
Faizah. 2008. Pengelolaan Sampah Berbasis Masyarakat. Semarang. Universitas
Diponogoro.
Fitrijani Anggraini. 2011. Jurnal Permukiman. Aspek Kelelmbagaan Pada
Pengelolaan Tempat Pemrosesan Akhir Sampah Regional. 74:69
Gandhi Rahma Puspasari, Mussadun. 2016. Jurnal Pembangunan Wilayah dan
Kota. Peran Klembagaan dalam Pengelolaan Persampahan Di Kabupaten
Trenggalek. 399: 389-390
Isti Surjandari, Akhmad Hidayatno, Ade supriatna. 2009. Jurnal Teknik Industri.
Model Dinamis Pengelolaan Sampah untuk Mengurangi Beban
Penumpukan.147:138-139
Kadek Diana Harmayani. 2009. Analisisi Pendekatan Lima Aspek Pendukung
Penanganan Sampah dalam Penelitian Pengelolaan Sampah di Kabupaten
Tambunan. 11: 6
Liana Penny, H. Untung Bijaksana, Rizmi Yunita, Daniel Itta. 2012 Jurnal
Universitas Lambung Mangkurat. Kajian Perilaku Masyarakatmembuang

18
Sampah Di Bantaran Sungai Martapura Terhadap Lingkungan Perairan.
126:118
Matasse, Muhammad Wawan. 2017.Perilaku Masyarakat dalam Pengelolaan
Lingkungan Wilayah Pesisir Desa Lero Kecamatan Sindue Kab.
Donggala. 10:8
Monica Sitanggang, Ika Bagus Priyambada, Syafrudin. 2017. Jurnal Teknik
Lingkungan. Perencanaan Sistem Pengelolaan Sampah Terpadu (Studi
Kasus RW 6,7,Dan 8 Kelurahan Bndarharjo, Kec. Semarang Utara. 9: 5-8
Nida Khoirunnisa. 2016. Jurnal skripsi. Analisis Pengelolaan Sampah (Studi
Kasus Di Daerah Perbatasan Kabupaten Cirebon). 13 :3-8
Nur Azizah Affandy, Enik Isnaini, Cicik Helina Yulianti. 2015. Seminar Nasinal
Sains dan Teknologi Terapan. Peran Serta Masyarakat Dalam Pengelolaan
Sampah Komprehensif Menuju Zero Waste. 814:807
Rehito Traro Karo Manik, Indradjaja Makainas, Amanda Sembel. 2015. Sistem
Pengelolaan Sampah di Pulau Bunaken. 24: 21-22.

Reni Astuti Manurung. 2013.Jurnal Wilayah dan Lingkungan. Serta Masyarakat


dalam Pengelolaan Sampah di Kota Kecil Jawa Tengah (Studi kasus:
Kawasan Kupang Kidul, Kota Ambarawa. 224:231.
Riswan, Henna Rya Sunoko, Agus Hadiyarto. 2011. Jurnal Ilmu Lingkungan.
Pengelolaan Sampah Rumah Tangga di Kecamatan Daha Selatan. 33:31-
33
Rizqi Puteri Mahyudin. 2017.Jurnal Teknik Lingkungan. Kajian Permasalahan
Pengelolaan Sampah dan Dampak Lingkungan di Tempat Pemrosesan
Akhir.74:69.
Sara La. 2013. Pengelolaan Wilayah Pesisir Gagasan Memelihara Aset Wilayah
Pesisir dan Solusi Pembangunan Desa. Bandung. Alfabeta.
Zulmiro Pinto. 2015. Jurnal Wilayah dan Lingkungan. Kajian Perilaku
Masyarakat Pesisir yang Mengakibatkan Kerusakan Lingkungan (Studi
Kasus di Pantai Kuwaru, Desa Poncosari, Kecamatan Srandakan,
Kabupaten Bantul, Provinsi DIY). Semarang. 174:171.

19

Anda mungkin juga menyukai