Anda di halaman 1dari 16

RESUME

KEBIJAKAN EKONOMI DI INDONESIA, 1900-1942

TUGAS PEREKONOMIAN INDONESIA

Disusun Oleh:

Shafira Cindy Meivianda (180810301079)

Luthfi Al Hakim (180810301081)

Winda Fitriatus Soleha (180810301084)

UNIVERSITAS JEMBER

JEMBER

2019
1. Masalah yang dihadapi pada tahun 1900-1942 :

Masalah yang pertama adalah masalah tentang beras. Pada paruh kedua
tahun 1911, harga beras di pasar dunia mulai naik. Pemerintah Hindia Belanda
menaikkan ekspor berasnya untuk mengkompensasi panen buruk di Cina dan
Jepang. Karena persediaan beras yang ada tampak tidak mencukupi untuk
memenuhi kebutuhan penduduk, atas saran Departemen Pertanian, pemerintah
memutuskan untuk melarang ekspor beras untuk sementara waktu. Regulasi ini
berlaku mulai tanggal 25 September 1911. Pelarangan terhadap ekspor beras
dapat dianggap sebagai intervensi pemerintah langsung yang pertama dalam
kehidupan ekonomi Hindia Belanda. Dunia perdagangan beras pada saat itu
berada di bawah pengawasan yang intensif.

Menjelang akhir 1917, diperpanjangnya penutupan pelabuhan dan


langkanya kapal pengangkut menyebabkan impor beras dari luar negeri
mengalami stagnasi. Semakin banyak negara pengekspor beras melakukan
pelarangan ekspor. Pada awal 1918, ketika semua pasar beras kecuali Siam
ditutup, pemerintah memutuskan untuk menjaga persediaan pangan dalam negeri.
Pertama, sebuah usaha dilakukan untuk memaksimalkan produksi beras dengan
mendorong penanaman padi pada sawah-sawah yang tersedia dan dengan
mendorong penanaman padi ladang (gogo) pada daerah-daerah yang
menghasilkan banyak beras.

Pemerintah juga terlibat dalam menciptakan dan menyebarkan persediaan


pangan. Pada awal 1918, Central Distribution Service dibentuk dengan tugas
mengirim persediaan beras ke daerah-daerah yang mengalami kekurangan beras.
Namun pada April 1918, pemerintah memutuskan untuk mengambil alih seluruh
perdagangan beras, dan membeli sejumlah besar beras segera setelah panen utama
untuk mencegah para pedagang menaikkan harga selama masih kekurangan
tersebut. Stagnasi dalam impor beras luar negeri, yang membahayakan persediaan
beras di pulau-pulau luar Jawa, mengilhami munculnya pernyataan mengenai
penanaman tanaman pangan. Peraturan ini mengharuskan agar semua perkebunan
di pulau-pulau luar Jawa harus menyediakan sebagian lahannya untuk penanaman
padi dan menyisihkan persediaan beras.

Pemerintah berharap untuk mengurangi luas perkebunan gula hingga 25%


agar dapat digunakan secara bebas. Namun ini tidak dapat mencegah keadaan
yang semakin memburuk menjelang 1919, ketika masalah tersebut harus
dipecahkan dengan bantuan sistem distribusi. Ketika pasar beras internasional
meningkat pada 1920, semua tindakan pembatasan perdagangan dan
pengangkutan beras dihapus.

Selama periode 1929-1936, masalah-masalah produksi beras yang sangat


krusial dalam perekonomian Indonesia, sekali lagi menyebabkan keterlibatan
pemerintah. Namun keadaan kali ini berbeda daripada keadaan selama Perang
Dunia 1 ketika terjadi kekurangan beras. Pada periode 1929-1936, banyak hal
yang terjadi yang menyebabkan pemerintah merasa harus campur tangan dengan
melaksanakan pelarangan impor. Dengan demikian, pasar domestik terputus
hubungannya dengan pasar beras internasional. Berbeda dengan yang terjadi pada
periode sebelumnya pada periode 1929-1936 pemerintah tidak berusaha
memecahkan masalah beras dengan sistem tindakan langsung, namun mencoba
mengurangi masalah dengan serangkaian petunjuk yang terutama ditujukan untuk
mengendalikan tingkat harga. Perhitungan matang yang digunakan untuk
melaksanakan tindakan-tindakan itu menunjukkan bahwa pemerintah telah
berhasil mengendalikan masalah tersebut.

Selama Perang Dunia 1, sebagaimana telah diperlihatkan di atas,


pemerintah merasa perlu campur tangan dalam produksi pangan. Masalah lain
yang timbul karena barang tersebut adalah ketergantungan Hindia Belanda pada
impor-impor luar negeri. Peranan penting jika dimainkan oleh Eropa pada
umumnya dan Nederland khususnya dalam menyediakan berbagai impor. Ketika
hubungan dengan Eropa terputus, persediaan barang-barang impor untuk Hindia
Belanda berhenti. Ini menimbulkan berbagai pendapat mengenai penyisihan
produk-produk yang hingga saat itu masih diimpor. Pada 1915, Gubernur Jendral
Idenburg membentuk sebuah komite untuk "Pengembangan Industri Manufaktur
di Hindia Belanda" yang berfungsi untuk memeriksa kemungkinan substitusi
impor yang berkaitan dengan perkembangan industri di Hindia Belanda. Dengan
demikian, masalah struktural perekonomian Indonesia akan ditangani.

Komite tersebut segera menghentikan kegiatannya dari mencari pengganti


impor ke mendapatkan pekerjaan penuh sebagai unsur penting dalam
pengembangan industri. Perubahan dalam penekanan ini mengakibatkan
timbulnya pertentangan antara komite tersebut dan divisi-divisi terkait dalam
Departemen Pertanian, Industr, dan Perdagangan yang lebih condong pada
industri kecil daripada industri besar. Pertentangan tersebut berakhir pada 1926
ketika komite yang dibentuk selama Perang Dunia 1 itu dibubarkan.

Perang Dunia 1 telah mengakibatkan perkembangan beberapa cabang


industri, baik di kalangan orang-orang Indonesia maupun barat, meskipun ada
usaha-usaha pemerintah yang tidak pernah berhasil untuk memainkan peran aktif.
Namun setelah perang berakhir banyak perusahaan tersebut tidak dapat lagi
bertahan dalam hubungan internasional mereka, karena derasnya persaingan
barang-barang Eropa, Amerika, dan Jepang. Kebangkitan ekonomi yang telah
dimulai pada 1921 ini, menyebabkan menurunnya minat di bidang industri.

Krisis pada 1930-an menegaskan masalah penting yang timpang mengenai


pertanian di Indonesia pada zaman kolonial. Upaya mengubah situasi dengan
merangsang pengembangan industri sesuai dengan kecenderungan pemerintah
untuk memberikan tekanan pada swasembada. Pembatasan-pembatasan kuota
yang dimaksudkan untuk membatasi impor, dapat menolong dalam menghadapi
impor khususnya barang-barang Jepang. Dengan bantuan Ordonansi Peraturan
Perdagangan ( Bedrijfsreglementerings-ordonnantie ) yang mensyaratkan lisensi
untuk membuka bisnis-bisnis tertentu, pemerintah berusaha mencegah
pembentukan atau perluasan perusahaan dengan sektor-sektor yang terancam yang
mungkin menghambat Persaingan di Hindia Belanda. Namun secara keseluruhan
campur tangan pemerintah dalam hal ini relatif kecil.
Perluasan kegiatan pemerintah setelah tahun 1900 yang berkaitan dengan
pelayanan kesejahteraan, dan peningkatan jumlah pegawai negeri yang
menyertainya, mengakibatkan pengeluaran pemerintah semakin besar. Namun
meningkatnya pengeluaran besar tidak tertutup oleh kenaikan pendapatan.
Kesenjangan antara pengeluaran dan pendapatan merupakan fokus perhatian
pemerintah ketika sebuah krisis muncul pada 1920. Regulasi-regulasi yang
diambil pada saat itu memberikan beberapa pengalaman bagi pemerintah dalam
bentuk kebijakan penghematan pengeluaran. Pemerintah membentuk komite
penghematan pengeluaran dan kemudian Komite Tinggi Pemotongan Anggaran
(Hoge Bezuinigingscommissie ) yang bertugas memberikan saran kepada
pemerintah dalam membuat rancangan kebijakan penghematan anggaran yang
dapat dipertanggungjawabkan. Pelaksanaan program pemotongan anggaran
tersebut mengakibatkan dibentuknya badan penghematan pengeluaran dalam
Departemen Keuangan. Secara umum, tindakan-tindakan yang dilaksanakan tidak
melampaui kompetensi pemerintah yang lama, namun pengalaman kerja dalam
mengembalikan keseimbangan finansial sangat memperdalam pengetahuan dalam
kebijakan ekonomi keuangan. Pengalaman ini sangat berguna dalam krisis tahun
1930-an.

Indonesia sangat terpukul oleh krisis pada tahun 1930-an. Karena banyaknya
produksi yang berorientasi ekspor sangat rentan terhadap siklus perdagangan.
Karena Indonesia bersifat agraris dan merupakan pengekspor bahan bahan
mentah, dan di samping itu merupakan negara debitur (pengutang), Indonesia
relatif lebih sensitif terhadap kemerosotan ekonomi dibandingkan negara lain
yang berada dalam kondisi yang berbeda. Harga-harga produk ekspor jatuh secara
drastis, lebih dari harga-harga barang impor. Akibatnya terms of trade (
perbandingan antara harga-harga impor dan harga-harga ekspor) Indonesia
memburuk.

2. Latar Situasi dan Kondisi


Studi ekonomi mulai menjadi pusat perhatian setelah perang dunia ll. Pada
taahun 1930 merupakan periode krisis ekonomi, menurut P.E. de Hen mengenai
kebijakan industri Belanda, langkah pertama yang dilakukan pemerintah adalah
memberlakukan hukum sosial pada akhir abad 19 yang mengakibatkan inspeksi
tenaga kerja. Ekonomi berkembang pada abad ke 20 yag dipengaruhi oleh kondisi
setelah perang dunia ke 1, revolusi rusia dan krisis pada tahu 1930-an. Terdapat
persyaratan kebijakan ekonomi seteah penag dunia ke ll namun tidak semua
syarat beraku di seluru negara pada tahun 19-1942.

Berikut Kondisi Ekonomi yang Ada Di Indonesia

Pada akhir abad ke-19 pemerintah kolonial menerima berbagai laporan


yang mencemaskan mengenai keadaan rakyat indonesia yang bertolak belakang
dengan kelompok liberal. Salah satu lembaga yang dibentuk pemerintah untuk
meningkatkan kesejahteraan adalah departmen pertanian yang sangat erat dengan
hasil pangan yang di pandang sebagai faktor peningkatan kesejahteraan.
Dukungan para pedagang terhadap kebijakan kesejahteraan (pemerintah) didorong
kuat oleh pertumbuhan ekonomi substansial yang muncul setelah 1900, sehingga
terjadi peningktan kemakmuran ekonomi. namun pada tahun 1925 kemakmuran
penduduk pribumi sekali lagi tertinggal.

Pada tahun 1911 hindia belanda menaikan ekspor beras di cina dan jepang,
namun pemerintah sempat melarang ekspor beras tanggal 25 september 1911
akibat persediaan beras tidak mencukupi kebutuhan penduduk. akhir tahun 1917
impor beras dari luar negri mengalami stagnasi. Pada tahun 1920 semua tindakan
pembatasan perdagangan dan pengangkutan beras dihapus akibat meningkatnya
pasar beras internasiaonal. selama 1929-1936 masalah produksi sangat krusial
dalam perekonomian indonesia namun pemerintah ikut adil dalam menyelesiakan
masalah tersebut.

Pada tahun 1915 gubernur jendral idenburg membentuk sebuah komite


untuk “pengembangan industri manufaktur di hindia belanda” yang berfungsi
untuk memeriksa kemungkinan substitusi impor yang berkaitan dengan
perkembangan industri hindia belanda. komite tersebut mengalihkan kegiatan dari
mencari pengganti impor untuk mendapatkan pekerjaan penuh sebagai unsur
penting dalam pengembangan industri. Perubahan dalam penekanan ini
mengakibatkan timbulnya pertentangan antar komite dan divisi (departemen
pertanian, industridan perdagangan). Pertentangan tersebut berakhir pada 1926.
Krisis pada 1930-an menegaskan masalah penting yang timpang mengenai
pertanian di indonesia pada zaman kolonial.

Setelah tahun 1900 terjadi perluasan kegiatan pemerintah yang


mengakibatkan pengeluaran pemerintah semakin besar. Terjadi kesenjangan
antara pengeluaran dan pendapatan pada tahun 1920 yang mengakibatkan krisis.

Deprasi terjadi pada tahun1930-an. Saat itu indonesia relatif lebih sensitif
terhadap kemrosotan ekonomi dibandingkan negara lain. Harga produk ekspor
jatuh secara drastis, lebih dari harga harga barang impor yang mengakibatkan
terms of trade indonesia memburuk. Untuk sebuah kreditur dengan cadangan
besar, kebijakan mempertahankan standar emas pada tingkat tertentu dapat
dilaksanakan, namun indonesia yang menggunakan mata uang gulden sulit
mnerima ketergantungan nederland terhadap gulde yang kuat. Akhirnya anggota
dewan rakyat menuntut hindia belanda. perdebatan tersebut sangat sengit pada
tahun 1935&1936 bahkan mengacu pada ancaman nyata untuk menghapus
sebagian utang nasional indonesia. Sejak awal krisis, para pejabat den haag
mendesak pemerintah di batavia untuk menghemat pengeluaran umum agar dapat
mencapai anggaran yang berimbang. Pada tahun 1930 pemerintah mengakui
bahwa pendapatan terbesar diperoleh dari pajak, konsumsi dan perdagangan yang
diambil dari perusahaan dan monopoli pemerintah. sehingga pendapatan tersebut
rentan terhadap fluktuasi dalam perekonomian internasional. Di indonesia
pemotongan anggaran lebih lanjut akan menjadi bencana politik, ekonomi, dan
sosial. Pada 1931 setelah yen di evaluasi terjadi pengurangan nilai mencapai 60%,
sehingga indonesia mengalami penetrasi ekonomi pada zaman kolonial belanda.
Untuk menghindari kritik, intervensi pemerintah didalam kehidupan ekonomi
selalu bersifat kontemporer. berbagai aspek kehidupan ekonomi dalam sektor
swasta indonesia semkin saling berkaitan dan kurang sistematis setelah tahun
1935. Setelah masalah Crisis Import Ordinance pada 1933, pemerintah dapat
menerapkan embargo temporer pada impor barang-barang tertentu. Akhir tahun
1930-an, pemerintah kolonial telah memegang kekuasaan yang sangat berbeda
dibanding dengan awal abad ke 20.

Pada 1905 departemen pertanian dibentuk yang merupakan gabungan


departemen pendidikan dan pegawai negeri. Sejak 1908 para penasihat pertanian
diangkat oleh departemen pertanian yang ditugaskan meningkatkan transfer
pengetahuan pertanian kepada penduduk pribumi dari tahun 1910 sampai 1920.
pada tahun 1910 pembentukan dinas perluasan pertanian (landbouw voorlichtings
diest= LVD) semakin mempunyai arti karena tugas ini harus mendapat perhatian
yang sistematis. Tahun 1918 dibentuk biro ekonomi pertanian, yang merupakan
realisasi dari apa yang tercantum dalam laporan Lesser Welfare. Tidak lama
setelah LVD dilembagakan pada tahun 1910, para pakar pertanian diizinkan
berhubungan langsung dengan penduduk pribumi. Setelah 1925 dalam jurnal buku
landbouw (pertanian) membahas pemusatan perhatian pada penelitian mengenai
ekonomi pedesaan dan argonomi yang dikaitkan dengan riset pertanian teknis dan
perekonomian pertanian penduduk ekonomi. Konferensi yang diadakan di
Bandung pada 1930 menyimpulkan bahwa kepala departemen statistik pertanian
Biro Pusat Statistik menunjukkan kesepihakan penelitian tersebut.

3. Paradigma Masyarakat Terhadap Perkembangan Ekonomi di


Indonesia Tahun 1900-1942

Pada akhir abad ke 19 ketika pemerintah menetapkan kebijakan


kesejahteraan ,masyaraka berpandangan bahwa kesejahteraan berkaitan dengan
hasil tanaman pangan. Pada masa tersebut msyarakat belum terlalu mengenal
tentang ilmu pertanian , sehingga pemerintah membantu masyarakat dalam
meningkatkan dan mendistribusikan hasil pertanian. Namun indonesai pada saat
itu cenderung konumtif sehingga menguntungkan para wirausaha belanda. sekitar
tahun 1918 dunia mengalami kekurangan persediaan beras, oleh karena itu
masyarakat meningkatkan hasil pertanian dibantu oleh pemeritah namun saat
produksi hasil pertanian meningkat tahun 1920 pasar beras internasional
meningkat. selama perang dunia 1 hindia belanda bergantung pada impor luar
negeri namun ketika hubungan dengan eropa terputus dan pada saat itu hindia
belanda belum mengetahui tentang industrialisasi sehingga belanda
memperkenalkan tentang indutri kepada hindia belanda namun pada tahun 1921
industri hindia belanda belum bisa bersaing dengan eropa, amerika dan jepang,
sehingga minat hidia belanda terhadap industri menurun. Pada tahun 1930-an
indonesia mengalami depresi akibat harga ekspor lebih rendah dari harga impor,
hal ini karena masyarakat menjual hasil panen tanpa mengetahui harga impor,
oleh karena itu pemerintah melakukan kebijakan seperti penyesuaia harga. pada
masa tersebut paradigma terhadap ekononomi di indonesia bahwa indonesia mata
uang gulde yang tinggi merugikan bangsa indonesia oleh karena itu indonesia
menuntut belanda agar menurunkan nilai mata uangnya, namun hal ini
mengakibatkan perselisihan antar kedua pihak yang berujung pada tidak
menurunnya uang gulde. Pada masa ini pemerintah mengalami krisis akibat mata
uang negara lain, sehingga pemerintah megurangi kuota impor. Pada masa
perluasan paradigma masyarakat adalah mengembangkan ilmu tentangpertanian
untuk kesejahteraan. terdapat beberapa penduduk indonesia kuliah di wageningen
untuk mendalami ilmu pertanian ,ekonomi pertanian dan ekonomi di pedesaan
dan lain lain. namun permasalaha yang masih belum terpecahkan adalah
bagaimana upaya peningkatan ekonomi dalam jangka panjang. namun setelah
lulus dari perkuliahan ternyata terliat kesenjangan yang lebar antara penedidikan
yang mereka dapat dengan kondisi indonesia. Namun dengan adanya pendidikan
tersebut perekonomian indonesia sedikit lebih baik dari sebelumnya.

4. Pendekatan dan Solusi Kebijakan yang Dimiliki

Meskipun program program kesejahteraan yang dirancang pada awal abad


ke-20 berada di bawah tekanan selama kemerosotan ekonomi, pelembagaan
pelayananlah yang menyelamatkan kebijakan kesejahteraan tersebut. Ini terus
berlanjut selama beberapa saat. Pada saat 1925, setelah depresi 1919-1921,
kemakmuran penduduk pribumi sekali lagi tertinggal. Ini mendorong muncul
kebijakan umum mengenai kesejahteraan dan menempatkan perekonomian
domestik di bawah pengawasan yang lebih intensif pada tahun-tahun berikutnya.
Laporan Meijet Ranneft dan Huender yang terkenal merupakan produk investigasi
pemerintah pada saat itu.

Untuk mengatasi masalah beras yang terjadi pada saat itu, pemerintah
memutuskan untuk melarang ekspor beras. Regulasi ini berlaku mulai tanggal 25
September 1911. Pemerintah juga lebih terlihat dalam menciptakan dan
menyebarkan persediaan pangan pada awal 1918, Central Distribution Service
dibentuk dengan tugas mengirim persediaan beras ke daerah-daerah yang
mengalami kekurangan beras. Pemerintah juga menghimbau untuk mengurangi
luas perkebunan gula hingga 25% agar dapat digunakan secara bebas. Namun
pada tahun 1929, pemerintah tidak berusaha memecahkan masalah beras dengan
sistem tindakan langsung, tetapi mencoba mengurangi masalah dengan
serangkaian petunjuk yang terutama ditujukan untuk mengendalikan tingkat
harga.

Selanjutnya, untuk mengatasi industrialisasi substitusi impor pada 1915,


Gubernur Jenderal Indonesia membentuk sebuah komite untuk "Pengembangan
Industri Manufaktur di Hindia Belanda" yang berfungsi untuk memeriksa
kemungkinan substitusi impor yang berkaitan dengan perkembangan industri di
Hindia Belanda. Namun, kebijakan tersebut mengakibatkan pertentangan. Pada
1926 pertentangan itu berakhir, ketika komite yang dibentuk selama Perang Dunia
1 itu dibubarkan. Kemudian pemerintah memberikan tekanan pada swasembada,
pembatasan pembatasan kuota, dan pemerintah berusaha mencegah pembentukan
atau perluasan perusahaan dalam sektor-sektor yang terancam yang mungkin
menghambat Persaingan di Hindia Belanda.

Untuk mengatasi Resesi pada tahun 1919 sampai 1921, pemerintah


membentuk komite penghematan pengeluaran dan kemudian Komisi Tinggi
Pemotongan Anggaran ( Hoge Bezuinigingscommissie ) yang bertugas
memberikan saran kepada pemerintah dalam membuat rancangan kebijakan
penghematan anggaran yang dapat dipertanggungjawabkan. Namun tindakan-
tindakan yang dilaksanakan tidak melampaui kompetensi pemerintah yang lama.

Setelah masalah krisis impor ordinance pada 1933, pemerintah dapat


menerapkan Embargo temporary pada impor barang-barang tertentu. Di satu
pihak, diberlakukan sistem kuota membatasi jumlah barang yang dapat diimpor,
sedangkan di lain pihak fenomena "kuota negara" juga memungkinkan
penyebaran jumlah impor tersebut di beberapa negara. Tindakan-tindakan
pembatasan penting dilakukan dalam memproteksi produk-produk Indonesia yang
dijual di pasar pasar luar negeri. Membatasi produksi dianggap sebagai cara
terbaik untuk menanggulangi akibat permintaan yang meningkat dan harga yang
menurun. Untuk membuat persetujuan tersebut resmi dan efektif, serangkaian
ordonansi dilaksanakan dan memberikan kekuasaan pengawasan terhadap
pemerintah atas produksi dan ekspor barang-barang yang termasuk dalam
persetujuan pembatasan. Akibat dari tindakan ini, sekitar 70% ekspor berada di
bawah pengawasan pemerintah pada tahun-tahun terakhir sebelum Perang Dunia
2. Dengan minyak mencakup 20% dari ekspor dapat dipastikan bahwa hanya
sekitar 10% ekspor berada di luar pengawasan atau monopoli pemerintah.

Pada 1902, Gubernur Jenderal Rooseboom menulis surat kepada Menteri


Urusan Tanah Jajahan, “Tanpa melebih-lebihkan, seseorang dapat menyatakan
bahwa kesejahteraan Hindia Belanda berkaitan erat dengan kemakmuran
pertaniannya.” Pernyataan ini menyertai permohonan untuk pembentukan sebuah
departemen baru. Rooseboom menyebutkan bahwa produk-produk pertanian yang
ditanam oleh penduduk pribumi dan tingkat kompetisinya menurun menyebabkan
ancaman terhadap kesejahteraan mereka. Tindakan jitu yang mendesak, terutama
dalam menyediakan jasa erluasan, dianggap sangat perlu dan sesuai dengan tujuan
kebijakan kesejahteraan ( welfare policy ). Pengetahuan yang dimiliki para
pegawai negeri terlalu umum untuk dapat memberikan suatu keahlian khusus.
Jawaban terhadap masalah ini adalah menciptakan sebuah departemen baru yang
akan mengutamakan keahlian pertanian. Usulan ini mendapat dukungan cukup,
sehingga pada 1905 Departemen Pertanian dibentuk dan merupakan gabungan
dari departemen yang pada mulanya merupakan bagian dari Departemen
Pendidikan dan Pegawai Negeri. Direktur dari lembaga ini, M. Treub, telah
membuat rancangan proposal. Ia menjadi direktur pertama departemen tersebut.

Untuk melaksanakan tindakan-tindakan ini, Departemen Pertanin baru


harus dijadikan pusat penelitian ilmiah demi keuntungan pertanian, dan bukan
hanya merupakan badan administratif. Meskipun ada komentar-komentar kritis
dari Direktur Pegawai Negeri, P.C. Arends, dan dari Majelis Hindia Belanda
(Raad van Indie), Treub diberi kesempatan untuk merealisasi pemikirannya
tersebut. Penelitian memainkan peranan penting dalam departemen baru tersebut,
yang dilaksanakan di Kebun Botani dan di berbagai laboratorium. Di beberapa
daerah Jawa, lahan-lahan percobaan (demonstration fields) diadakan untuk
menunjukkan hasil-hasil penelitian. Sejak 1908 dan selanjutnya, para penasihat
pertanian diangkat oleh Departemen Pertanian yang kemudian dipimpin oleh H.J.
Lovink yang tugasnya adalah meningkatkan transfer pengetahuan pertanian
kepada penduduk pribumi. Pada 1910, pembentukan Dinas Perluasan Pertanian
(Landbouw Voorlichtings Dienst = LVD) semakin mempunyai arti karena tugas
ini harus mendapat perhatian yang sistematis.Kemudian, pada 1921, memiliki
gelar dalam bidang teknologi pertanian menjadi keharusan bagi mereka yang
bekerja di sana. Sejak saat itu dan selanjutnya, LVD sangat berhubungan erat
dengan lembaga akademik di Wageningen.

5. Implikasi-implikasi dari kebijakan

Pada akhir abad ke 19, pemerintah kolonial menerima berbagai laporan


yang mencemaskan mengenai keadaan rakyat Indonesia. Dalam pidati Ratu
Wilhelmina pada pembukaan States General tahun 1901, sebuah kebijakan baru
diumumkan dengan mempertimbangkan kesejahteraan rakyat Indonesia dan
berpusat pada banyak sektor. Beberapa dari sektor ini disebutkan dalam surat-
menyurat antara Menteri Urusan Tanah Jajahan, Idenburg, dan Gubernur Jenderal
Rooseboom pada 1904. Mereka membicarakan penggunaan anggaran dana 30
juta gulden. Mereka menyebut irigasi, emigrasi, pembangunan jalan, kredit
pertanian, dan peningkatan industry. Sebuah komite akhirnya dibentuk untuk
memeriksa keadaan ekonomi rakyat Indonesia

Implementasi tindakan-tindakan tersebut berjalan sesuai dengan pola


berikut. Setelah dilakukan pemeriksaan, tindakan-tindakan yang dilakukan
biasanya diikuti dengan pengangkatan para pakar yang kompeten. Untuk
melaksanakan langkah secara efisien, biasanya ada tindak lanjut yang membuat di
lembagakannya pelayanan pemerintah dengan melibatkan para pakar. Dengan
demikian, terbentuklah badan penting pemerintah. Karena itu, 1905 dibentuk
Departemen Pertanian yang mengikutsertakan sekelompok pakar pertanian yang
ditugaskan untuk melakukan penelitian dan mengawasi proyek dan tindakan
untuk meningkatkan pemeliharaan tanaman pangan.

Politik etis, atau kebijakan kesejahteraan, pada mulanya tidak mendapat


banyak tantangan dari para pedagang karena tetap mengandung kebijakan laissez
faire terhadap sektor barat. Para industrialis, terutama di Nederland berpendapat
bahwa peningkatan daya beli penduduk Indonesia, pada akhirnya mendorong
peningkatan konsumsi pada barang-barang Belanda. Para wirausaha tidak
menentang kebijakan yang menyangkut kesejahteraan , sepanjang usaha
perdagangan bebas yang dilakukan oleh sektor barat tidak disentuh. Yang jelas,
kebijakan kesejahteraan menuntut dana pemerintah, dan ini yang mudah tersedia
pada masa kemakmuran ekonomi. Karena itu, setelah 1900, langkah-langkah
modern pertama, yang dimulai dengan modal awal 40 juta gulden dapat
direalisasikan.

Perluasan kegiatan pemerintah setelah tahun 1900, terutama yang


berkaitan dengan pelayanan kesejahteraan, dan peningkatan jumlah pegawai yang
menyertainya, mengakibatkan pengeluaran pemerintah semakin besar. Iklim
ekonomi yang mendukung pasti telah memberikan kesan bahwa pemerintah dapat
memperluas mandatnya. Namun, meningkatnya pengeluarann besar tidak tertutup
oleh kenaikan pendapatan. Kesenjangan antara pengeluaran dan pendapatan
merupakan focus perhatian pemerintah ketika sebuah krisis muncul pada 1920.

Indonesia sangat terpukul dengan krisis tersebut. Karena banyak produksi


yang berorientasi ekspor sangat rentan terhadap siklus perdagangan. Karena
Indonesia bersifat agraris dan merupakan pengekspor barang-barang mentah, dan
di samping itu merupakan negara debitur (penguang), Indonesia relative lebih
sensitive terhadap kemerosotan ekonomi dibandingkan dengan negara lain yang
berada dalam kondisi yang berbeda.

Di Hindia Belanda, kebijakan pemerintah yang berkaitan dengan krisis


dilakukan melalui dua fase. Pertama, pengurangan masalah dilakukan dengan
sebuah kebijakan krisis "bersifat pasif" yang mempertahankan standar emas dan
menggunakan kebijakan penyesuaian ( policy of adjustment ) sebagai instrumen
penting. Pada saat tindakan tersebut terbukti tidak manjur pada 1933, kebijakan
pemerintah yang "bersifat aktif" diambil, yang memberikan wewenang kepada
pemerintah untuk campur tangan dalam kehidupan ekonomi. Dengan kata lain,
sementara secara umum tujuan dari kedua fase kebijakan krisis tersebut adalah
untuk mempertahankan ekonomi Indonesia, target-target kebijakan ekonomi dan
instrumen-instrumen yang digunakan untuk mencapai target tersebut berbeda
dalam kedua fase.

Sejak awal krisis, para pejabat di Den Haag mendesak pemerintah di


Batavia untuk menghemat pengeluaran umum agar dapat mencapai anggaran
berimbang. Pengeluaran dan pendapatan nyata untuk tahun 1930 memberikan
gambaran yang semakin kelabu, menyimpang dari perkiraan. Tingkat pengeluaran
mengecewakan, demikian juga tingkat pendapatan, sehingga memaksa pemerintah
untuk mengakui bahwa bagian terbesar pendapatan pemerintah Indonesia berasal
dari pajak pendapatan, konsumsi dan perdagangan yang diambil dari perusahaan
dan monopoli pemerintah. Ini membuat pendapatan tersebut sangat rentan
terhadap fluktuasi dalam perekonomian internasional.
Tekanan untuk melakukan pemotongan anggaran yang lebih tepat
dilakukan oleh Menteri Urusan Tanah Jajahan, De Graaf dan terutama oleh
penggantinya Colijn. Namun, di Indonesia ada kesan bahwa sebanyak apapun
yang dilakukan tetap mungkin, dan bahwa pemotongan anggaran lebih lanjut akan
menjadi bencana politik ekonomi dan sosial. Setelah 1933 pemotongan anggaran
lebih lanjut menjadi sulit. Yang paling penting, tindakan-tindakan proteksi telah
dilakukan di berbagai negara yang mempunyai hubungan ekonomi dengan
Nederland dan Indonesia pada zaman kolonial sehingga memungkinkan bagi
keduanya untuk mempertahankan prinsip nonintervensi pemerintah.

Akibat tekanan ekonomi Jepang juga sangat berpengaruh langsung


terhadap Indonesia yang tidak langsung terhadap Nederland. Setelah Yen
didevaluasi pada 1931 dengan pengurangan nilai mencapai 60% terjadi penetrasi
ekonomi yang nyata dari Indonesia pada zaman kolonial. Produk-produk Jepang
yang murah mungkin menjadi barang melegakan bagi penduduk pribumi dalam
masa krisis ini, namun barang-barang Inggris dan Belanda merupakan ancaman
langsung. Namun, tindakan-tindakan perdagangan yang diambil oleh negara-
negara lain juga memberikan sumbangan terhadap ditinggalkannya kebijakan
perdagangan bebas di Hindia Belanda. Untuk menghindari kritik, intervensi
pemerintah di dalam kehidupan ekonomi selalu bersifat kontemporer.

Dengan menggunakan istilah “krisis” terhadap berbagai tindakannya, niat


pemerintah ini diberi penekanan. Tindakan-tindakan pemerintah yang telah
dilakukan sejak 1932 yang berkaitan dengan berbagai aspek kehidupan ekonomi
dalam sektor swasta Indonesia menjadi semakin saling terkait dan membentuk
suatu entitas yang lebih atau kurang sistematik setelah 1935. Tidaklah berlebihan
apabila dinyatakan bahwa menjelang 1930-an, pemerintah kolonial dalam
memegang kekuasaan yang sangat berbeda dibandingkan dengan awal abad ke-
20. Karena intervensi pemerintah semakin luas dan intens, muncul kebutuhan
untuk koordinasi. Kebutuhan ini dipenuhi dengan pembentukan Departemen
Urusan Ekonomi, yang muncul dari Departemen Pertanian, Industri dan
Perdagangan pada 1934. Departemen tersebut diubah oleh direkturnya, E.P.
Wellenstein menjadi senjata yang ampuh dan aktif dalam mempertahankan
perekonomian.

Anda mungkin juga menyukai