Disusun Oleh:
UNIVERSITAS JEMBER
JEMBER
2019
1. Masalah yang dihadapi pada tahun 1900-1942 :
Masalah yang pertama adalah masalah tentang beras. Pada paruh kedua
tahun 1911, harga beras di pasar dunia mulai naik. Pemerintah Hindia Belanda
menaikkan ekspor berasnya untuk mengkompensasi panen buruk di Cina dan
Jepang. Karena persediaan beras yang ada tampak tidak mencukupi untuk
memenuhi kebutuhan penduduk, atas saran Departemen Pertanian, pemerintah
memutuskan untuk melarang ekspor beras untuk sementara waktu. Regulasi ini
berlaku mulai tanggal 25 September 1911. Pelarangan terhadap ekspor beras
dapat dianggap sebagai intervensi pemerintah langsung yang pertama dalam
kehidupan ekonomi Hindia Belanda. Dunia perdagangan beras pada saat itu
berada di bawah pengawasan yang intensif.
Indonesia sangat terpukul oleh krisis pada tahun 1930-an. Karena banyaknya
produksi yang berorientasi ekspor sangat rentan terhadap siklus perdagangan.
Karena Indonesia bersifat agraris dan merupakan pengekspor bahan bahan
mentah, dan di samping itu merupakan negara debitur (pengutang), Indonesia
relatif lebih sensitif terhadap kemerosotan ekonomi dibandingkan negara lain
yang berada dalam kondisi yang berbeda. Harga-harga produk ekspor jatuh secara
drastis, lebih dari harga-harga barang impor. Akibatnya terms of trade (
perbandingan antara harga-harga impor dan harga-harga ekspor) Indonesia
memburuk.
Pada tahun 1911 hindia belanda menaikan ekspor beras di cina dan jepang,
namun pemerintah sempat melarang ekspor beras tanggal 25 september 1911
akibat persediaan beras tidak mencukupi kebutuhan penduduk. akhir tahun 1917
impor beras dari luar negri mengalami stagnasi. Pada tahun 1920 semua tindakan
pembatasan perdagangan dan pengangkutan beras dihapus akibat meningkatnya
pasar beras internasiaonal. selama 1929-1936 masalah produksi sangat krusial
dalam perekonomian indonesia namun pemerintah ikut adil dalam menyelesiakan
masalah tersebut.
Deprasi terjadi pada tahun1930-an. Saat itu indonesia relatif lebih sensitif
terhadap kemrosotan ekonomi dibandingkan negara lain. Harga produk ekspor
jatuh secara drastis, lebih dari harga harga barang impor yang mengakibatkan
terms of trade indonesia memburuk. Untuk sebuah kreditur dengan cadangan
besar, kebijakan mempertahankan standar emas pada tingkat tertentu dapat
dilaksanakan, namun indonesia yang menggunakan mata uang gulden sulit
mnerima ketergantungan nederland terhadap gulde yang kuat. Akhirnya anggota
dewan rakyat menuntut hindia belanda. perdebatan tersebut sangat sengit pada
tahun 1935&1936 bahkan mengacu pada ancaman nyata untuk menghapus
sebagian utang nasional indonesia. Sejak awal krisis, para pejabat den haag
mendesak pemerintah di batavia untuk menghemat pengeluaran umum agar dapat
mencapai anggaran yang berimbang. Pada tahun 1930 pemerintah mengakui
bahwa pendapatan terbesar diperoleh dari pajak, konsumsi dan perdagangan yang
diambil dari perusahaan dan monopoli pemerintah. sehingga pendapatan tersebut
rentan terhadap fluktuasi dalam perekonomian internasional. Di indonesia
pemotongan anggaran lebih lanjut akan menjadi bencana politik, ekonomi, dan
sosial. Pada 1931 setelah yen di evaluasi terjadi pengurangan nilai mencapai 60%,
sehingga indonesia mengalami penetrasi ekonomi pada zaman kolonial belanda.
Untuk menghindari kritik, intervensi pemerintah didalam kehidupan ekonomi
selalu bersifat kontemporer. berbagai aspek kehidupan ekonomi dalam sektor
swasta indonesia semkin saling berkaitan dan kurang sistematis setelah tahun
1935. Setelah masalah Crisis Import Ordinance pada 1933, pemerintah dapat
menerapkan embargo temporer pada impor barang-barang tertentu. Akhir tahun
1930-an, pemerintah kolonial telah memegang kekuasaan yang sangat berbeda
dibanding dengan awal abad ke 20.
Untuk mengatasi masalah beras yang terjadi pada saat itu, pemerintah
memutuskan untuk melarang ekspor beras. Regulasi ini berlaku mulai tanggal 25
September 1911. Pemerintah juga lebih terlihat dalam menciptakan dan
menyebarkan persediaan pangan pada awal 1918, Central Distribution Service
dibentuk dengan tugas mengirim persediaan beras ke daerah-daerah yang
mengalami kekurangan beras. Pemerintah juga menghimbau untuk mengurangi
luas perkebunan gula hingga 25% agar dapat digunakan secara bebas. Namun
pada tahun 1929, pemerintah tidak berusaha memecahkan masalah beras dengan
sistem tindakan langsung, tetapi mencoba mengurangi masalah dengan
serangkaian petunjuk yang terutama ditujukan untuk mengendalikan tingkat
harga.